Vous êtes sur la page 1sur 16

AKLIMATISASI ANGGREK

Oleh :
Annisa Puspita Arum B1K014012
Meifie Nuur Aafiyah B1A015003
Monika B1A015017
Rofiana Isa Murti B1A015021
Khoni Hani Alfaiz B1A015047
Rizki Aulia B1B015024
Rombongan : II
Kelompok :6
Asisten : Sultoni Yakub

LAPORAN PRAKTIKUM ORCHIDOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anggrek merupakan yang paling berevolusi dan salah satunya kelompok


terbesar di antara angiosperma. Orchidaceae adalah keluarga yang paling beragam
tanaman berbunga, terdiri dari 30.000 - 35.000 Spesies milik 600 - 800 marga.
Anggrek juga banyak digunakan sebagai obat bius di seluruh dunia. Ekstrak
herbal anggrek membantu mengurangi atau mencegah penyakit seperti hipertensi,
migrain, alergi, sakit kepala, dan kram (Riva et al., 2016). Tanaman anggrek
merupakan salah satu jenis tanaman hias yang penting dan populer dalam industri
florikultur di Indonesia karena keunggulannya, yaitu keindahan dan karakter
bunga yang unik (bentuk, ukuran, dan warna bunga bervariasi) dan memiliki nilai
komersil tinggi (Zasari et al., 2010). Metode seperti kultur jaringan telah
dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk
tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif, salah satunya tanaman
anggrek. Tanaman yang diperbanyak melalui kultur jaringan dapat diperoleh
beribu-ribu bibit anggrek dari tanaman tunggal dalam waktu relatif singkat
melalui salah satu jaringan meristem. Jaringan meristem yang bisa dipakai untuk
kultur jaringan antara lain adalah ujung tunas, tunas samping, ujung batang, ujung
daun dan tunas apikal (Sarwono, 2002).
Planlet yang tumbuh dalam kultur jaringan di laboratorium memiliki
karakteristik stomata daun yang lebih terbuka dan sering tidak memiliki lapisan
lilin pada permukaan daun. Planlet sangat rentan terhadap kelembapan rendah.
Mengingat sifat-sifat tersebut, sebelum ditanam di lapangan maka planlet
memerlukan aklimatisasi. Lingkungan tumbuh (terutama kelembapan) berangsur-
angsur disesuaikan dengan kondisi lapangan saat dilakukan aklimatisasi (Wardani
et al., 2009). Aklimatisasi merupakan proses adaptasi tanaman hasil kultur in
vitroyang sebelumnya ditumbuhkan didalam botol kultur dengan suplai media
yang lengkap. Aklimatisasi juga merupakan proses pengkondisian planlet di
lingkungan baru yang aseptik ke luar botol dengan media tanah atau pakis
sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi benih yang siap ditanam di
lapangan (Yusnita 2004).
Tahap aklimatisasi sesudah dipindahkan dari botol, bibit sangat rentan
sehingga memerlukan perlindungan dari kekeringan, temperatur yang kurang
baik, dan serangan dari predator atau patogen. Perawatan dilakukan dengan baik
selama beberapa minggu awal, bibit tersebut akan beradaptasi pada kondisi baru
dan memperlihatkan ketahanan yang lebih baik dibandingkan bibit yang
diperbanyak secara vegettif. Proses selanjutnya setelah aklimatisasi anggrek
adalah compotting, seedling, overpot dan repotting (Wetherell, 1982).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum aklimatisasi anggrek adalah


1. Dapat meningkatkan keterampilan melakukan aklimatisasi.
2. Meningkatkan prosentase keberhasilan bibit anggrek yang tetap hidup.
3. Menentukan macam-macam jenis media aklimatisasi yang sesuai dengan
masing-masing jenis anggrek.
II. TELAAH PUSTAKA

Salah satu tahapan terpenting dalam perbanyakan tanaman secara in vitro


adalah aklimatisasi yang akan menentukan keberhasilan tumbuh planlet di
lingkungan ex vitro. Aklimatisasi adalah proses adaptasi suatu planlet terhadap
perubahan dari lingkungan heterotrof ke lingkungan autotrof. Tahapan ini
dilakukan agar tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur
dengan suplai media lengkap tetap dapat bertahan hidup secara mandiri dan
berfotosintesis pada kondisi lingkungan eksternal (Wulandari & Dewi, 2014).
Tanaman yang dapat tumbuh dalam keadaan in vitro jelas sangat berbeda dengan
tanaman yang tumbuh pada keadaan yang biasa atau disebut juga dengan in vivo.
Oleh sebab itu tanaman in vitro harus mempunyai teknik khusus dalam
pemindahannya ke media in vivo. Pada tanaman in vivo mengalami penguapan
melalui permukaan daun karena kelemababan yang ada pada udara bebas lebih
rendah jika dibandingkan dengan kelembaban pada daun (Wetherell, 1982).
Penyesuaian terhadap iklim pada lingkungan baru yang dikenal dengan
aklimatisasi merupakan masalah penting apabila membudidayakan tanaman
menggunakan bibit yang diperbanyak dengan teknik kultur jaringan. Masalah ini
dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain : 1. Pada habitatnya yang alami,
anggrek epifit biasanya tumbuh pada pohon atau ranting. Oleh karena itu,
pemindahan tanaman dari botol ke media dalam pot sebenarnya telah
menempatkan tanaman pada lingkungan yang tidak sesuai dengan habitatnya. 2.
Tumbuhan yang dikembangkan menggunakan teknik kultur jaringan memiliki
kondisi lingkungan yang aseptik dan senyawa organik yang digunakan tanaman
sebagian besar didapat secara eksogenous. Oleh karena itu, apabila dipindahkan
kedalam pot, maka tanaman dipaksa untuk dapat membuat sendiri bahan organik
secara endogenous (Gunardi, 1985).
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet
yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukan beberapa sifat yang kurang
menguntungkan, seperti lapisan lilin (kutikula tidak berkembang dengan baik,
kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang
berkembang dan stomata sering kali tidak berfungsi (tidak menutup ketika
penguapan tinggi). Keadaan itu menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka
terhadap transpirasi, serangan cendawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas
tinggi dan suhu tinggi. Oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro
memerlukan penanganan khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi
linkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan intensiitas
cahaya. Disamping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup
penting khususnya bila puucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum
membentuk sistem perakaran yang baik (Rahardja, 1988).
III. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan adalah kawat yang ujungnya menyerupai huruf U,


pinset, baskom, pot tanah, dan tray.
Bahan yang digunakan adalah sthyrofoam, bibit anggrek botolan, dan
moss.
B. Metode

1. Alat dan bahan disiapkan.


2. Tutup botol dibuka, diisi dengan air yang bersih sambil dikocok pelan-pelan
agar media terlepas dari akarnya.
3. Bibit anggrek ditarik pelan-pelan menggunakan kawat pengait, ditarik pada
bagian pangkal batang dan usahakan agar akar keluar terlebih dahulu, agar
tidak rusak daunnya.
4. Bibit anggrek direndam dalam larutan fungisida yang telah disiapkan selama
2 menit, kemudian ditiriskan.
5. Bibit anggrek ditaman kedalam pot tanahkecil yang telah berisi steroform dan
moss (perbandingan sthyrofoam dan moss yaitu 1:3).
6. Bibit anggrek disiram dengan sedikit air dan usahakan agar daun tidak
tersiram air.
7. Pot diletakkan dalam tray dan harus terlindungi dari sinar matahari secara
langsung dan kelembapan udara harus tinggi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 4.1. Aklimatisasi Phalaenopsis sp.


B. Pembahasan

Hasil yang diperoleh dari praktikum aklimatisasi anggrek yaitu tanaman


terlihat sehat tanpa adanya hama dan penyakit disekitar media, hal ini menunjukan
bahwa proses aklimatisasi pada anggrek berhasil. Bibit anggrek yang keluar dari
botol perlu beradaptasi dengan lingkungan luarnya yang memiliki tingkat
intensitas cahaya yang tinggi dan kelembapan udara yang tinggi pula. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hendaryono (1998), yang menyatakan bahwa selain
akar, daun-daun yang terbentuk secara in vitro belum dapat beradaptasi dengan
baik karena helaiannya tipis dan lunak serta kemampuan fotosintesisnya rendah,
disamping itu, stomata belum berfungsi dengan baik dan lapisan lilin kutikula
tidak berkembang baik sehingga proses transpirasi menjadi tinggi bila ditanam
secara in vivo. Pelaksanaan propagasi tanaman dapat dikelompokkan menjadi
empat tahap. Tahap pertama ialah over planting dan pengeluaran bibit dari botol.
Tahap kedua, budidaya dalam kompot. Tahap ini tanaman belum mampu untuk
mandiri, di dalam botol, bibit hidup berdesak-desakan satu dengan yang lain.
Tahap ketiga, budidaya dalam pot. Tanaman sudah dapat dilatih untuk
mempertahankan hidupnya sendiri. Tahap keempat, pemeliharaan tanaman
dewasa. Tahap terakhir ini merupakan tahap yang paling berat, sebab bila faktor-
faktor lingkungan tidak terpenuhi secara optimum, tanaman-tanaman tersebut
tidak bisa berkembang dan tumbuh dengan sehat.
Aklimatisasi adalah masa adaptasi tanaman hasil pembiakan pada kultur
jaringan yang semula kondisinya terkendali kemudian berubah pada kondisi
lapangan yang kondisinya tidak terkendali lagi, disamping itu tanaman juga harus
mengubah pola hidupnya dari tanaman heterotrof ke tanaman autotrof. Bibit
anggrek yang dipelihara dalam keadaan steril dengan lingkungan (suhu, dan
kelembaban) optimal, sangat rentan terhadap lingkungan eksternal. Aklimatisasi
bertujuan untuk mempersiapkan planlet agar siap ditanam di lapangan. Tahap
aklimatisasi mutlak dilakukan pada tanaman hasil perbanyakan secara in vitro
karena planlet akan mengalami perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor
lingkungan. Hal ini bisa dipahami karena pembiakan in vitro (dalam botol) semua
faktor lingkungan terkontrol sedangkan di lapangan faktor lingkungan sulit
terkontrol (Widiastoety & Bahar, 1995). Aklimatisasi melahirkan kembali
mengatasi dengan bertahap menurunkan kelembapan udara. Ventilasi
menggunakan penutupan longgar pas atau ventilasi mengurangi kelembapan
relatif, yang mengarah ke peningkatan transpirasi tanaman dan pengembangan
stomata fungsional untuk mengendalikan kehilangan air. Selama proses
aklimatisasi, bibit harus mengatasi fase kritis ketika perilaku heterotrofik dari in
vitro tanaman digeser ke fungsi autotrof (Helena et al., 2012).
Menurut Cha-um et al. (2010), dalam proses aklimatisasi pigmen
fotosintesis pada plantlet akan berkurang secara signifikan setelah dilakukan
transplantasi ke lingkungan secara in vivo. Hal ini tergantung pada temperatur,
kepadatan, dan interaksi keduanya. Chla pada plantlet yang teraklimatisasi dapat
diamati dengan kepadatan 605% dipadu dengan suhu 152, 252, dan 3520C
hal yang sama juga berpengaruh pada Chl b. Laju transpirasi pada planlet yang
teraklimatisasi akan tereduksi, tergantung dari tingginya kepadatan dan temperatur
saat stomata bertambah.
Menurut Suradinata et al. (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi
aklimatisasi anggrek seperti jenis bibit anggrek, media in vitro, umur bibit,
teknik aklimatisasi, media aklimatisasi dan kemampuan pelaksana. Media tumbuh
yang baik untuk aklimatisasi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu tidak
lekas lapuk, tidak menjadi sumber penyakit, mempunyai aerasi yang baik, mampu
mengikat air dan zat-zat hara secara baik, mudah didapat dan memiliki harga yang
relatif murah. Kemasaman media (pH) yang baik untuk pertumbuhan tanaman
anggrek berkisar antara 5-6.
Media tumbuh bagi bibit merupakan lingkungan baru dalam proses
aklimatisasi. Media tumbuh yang baik bagi anggrek (familiOrchidaeae) harus
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain tidak cepat melapuk dan
terdekomposisi, tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman, mempunyai aerasi
dan drainase yang baik secara lancar, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara
optimal, dapat mempertahankan kelembapan di sekitar akar, untuk pertumbuhan
anggrek dibutuhkan pH media 5-6, ramah lingkungan serta mudah di dapat dan
relatif murah harganya (Wardani, 2009). Media tumbuh sangat penting untuk
pertumbuhan dan produksi bunga optimal, sehingga perlu adanya suatu usaha
mencari media tumbuh yang sesuai. Media tumbuh yang sering digunakan di
Indonesia antara lain yaitu moss, pakis, serutan kayu, potongan kayu, serabut
kelapa, arang dan kulit pinus. Praktikum aklimatisasi ini menggunakan media
moss. Media moss ini mengandung 23% unsur N dan mempunyai daya mengikat
air yang baik, serta mempunyai aerasi dan drainase yang baik. Media yang lain
yang biasanya dipakai untuk aklimatisasi adalah pakis, karena memiliki daya
mengikat air, aerasi dan drainase yang baik, melapuk secara perlahan-lahan, serta
mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya
(Wiryanta, 2007).Media tumbuh sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi
bunga secara optimal, sehingga perlu adanya suatu usaha untuk mencari media
yang sesuai. Media tumbuh yang sering digunakan di Indonesia adalahmoss,
pakis, serutan kayu, sabut kelapa, arang dan kulit pinus (Suradinata et al., 2012).
Media tanam menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dari setiap
pertumbuhan anggrek karena media tumbuh sebagai tempat berpijak akar
anggrek. Jenis media tanam yang digunakan pada setiap daerah tidak sama. Media
tumbuh untuk anggrek yang ditanam di dalam pot umumnya berupa arang, pakis,
batubara atau sabut kelapa. Pakis (Alsophia glauca) sebagai salah satu media
tanam yang banyak digunakan berasal dari batang tumbuhan paku. Media tanam
ini mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi, terdiri dari serabut-serabut
yang kaku sehingga membentuk celah-celah mikro (udara) yang memudahkan
akar tanaman tumbuh ke segala arah dan kelebihan air dalam media dapat dengan
mudah mengalir serta mengandung zat hara organik. Anggrek selalu
membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya seperti
tanaman lainnya dalam hal ini yaitu pemupukan. Unsur-unsur yang dibutuhkan
yaitu unsur makro dan mikro, semua unsur tersebut harus selalu tersedia didalam
media tanam anggrek (Suradinata et al., 2012).
Moss adalah media yang berasal dari rumput laut. Mossini memiliki
beberapa kelebihan antara lain dapat menyerap air dan mempertahankan air
dengan baik, menjaga kelembapan media dan lingkungan sekitar anggrek serta
dapat menyerap dan menyimpan pupuk (Widiastoety dan Hendastuti, 1985).Pakis
merupakan media yang selama ini digunakan untuk pembesaran bibit kompot
anggrek bulan. Kompot adalah hasil perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan
yang sudah diaklimatisasi dalam pot berjumlah 10-30 bibit tiap pot. Media pakis
memberikan nilai prosentase tanaman hidup yang lebih baik dibandingkan dengan
serasah. Media lain menghasilkan prosentase tanaman hidup lebih dari 60%,
sehingga media tersebut dapat digunakan dalam pembesaran bibit kompot anggrek
bulan. Serasah dan serat sabut kelapa merupakan limbah pertanian dan diharapkan
dapat menggantikan pakis dan moss sebagai media pembesaran bibit kompot
anggrek (Muhit, 2010).
Sthyrofoam digunakan untuk menyerap kelebihan air yang masuk pada
media tanam, fungisida berfungsi untuk mencegah terjadinya serangan jamur,
bakteri, dan serangga penggangu pada tanaman, media tanam maupun pot perlu
direndam dalam fungisida terlebih dahulu untuk menghindari tumbuhnya jamur
serta bakteri yang menyebabkan pelapukan pada media tanam dan mengganggu
pertumbuhan bibit anggrek. Bibit anggrek botolan digunakan sebagai bahan uji
praktikum aklimatisasi. Alat yang digunakan antara lain kawat yang menyerupai
huruf U yang berfungsi untuk mengambil bibit anggrek dalam botol, baskom
sebagai wadah untuk cairan fungisida, pot plastik berfungsi sebagai tempat untuk
media tanam anggrek, tray digunakan sebagai tempat untuk meletakkan pot-pot
hasil aklimatisasi anggrek. Pinset berfungsi sebagai alat untuk mengambil moss
dan sthyrofoamuntuk dimasukkan kedalam pot plastik sebagai media tanam bibit
anggrek (Wiryanta, 2007).
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi
menurut Santoso (2005) yaitu sebagai berikut:
1. Keasaman (pH)
Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau
kebasaan dari larutan dalam air. Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar
dari ion H dalam larutan. Nilai di dalam pH berkisar antara 0 (sangat asam)
sampai 14 (sangat basa), sedangkan titik netralnya adalah pada pH 7.
Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan
mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0
dan 6,0. Eksplan sudah mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur dalam media
kultur jaringan mempunyai peran yang sangat penting dalam menstabilkan pH.
Penyimpangan pH dalam medium yang mengandung garam tinggi kemungkinan
terjadi lebih kecil, karena kapasitas buffernya lebih besar. Kapasitas kultur sel
untuk penggunaan NH4+ sebagai satu-satunya sumber N tergantung pada
pengaturan pH dari medium di atas 5.
2. Kelembapan
Kelembapan relatif (RH) lingkungan biasanya mendekati 100%. RH
sekeliling kultur mempengaruhi pola pengembangan.
3. Cahaya
Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan
organogenesis. Cahaya ultra violet dapat mendorong pertumbuhan dan
pembentukan tunas kalus pada intensitas yang rendah, sebaliknya pada intensitas
yang tinggi proses ini akan terhambat. Pembentukan kalus maksimum sering
terjadi di tempat yang lebih gelap.
4. Temperatur
Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang
optimum umumnya adalah berkisar di antara 20 0-300C, sedangkan temperatur
optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor
lingkungan, di samping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi.
Ciri-ciri bibit yang berkulitas baik yaitu planlet tampak sehat dan tidak
berjamur, ukuran planlet seragam, berdaun hijau segar, dan tidak ada yang
menguning. Selain itu planlet tumbuh normal, tidak kerdil, komposisi daun dan
akar seimbang, pseudobulb atau umbi semu mulai tampak dan sebagian kecil telah
mengeluarkan tunas baru, serta memiliki jumlah akar serabut 3-4 akar dengan
panjang 1,5-2,5 cm. Prosedur pembiakan dengan kultur in vitro baru bisa
dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan
keberhasilan yang tinggi. Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan planlet
agar siap ditanam di lapangan. Tahap aklimatisasi mutlak dilakukan pada tanaman
hasil perbanyakan secara in vitro karena planlet akan mengalami perubahan
fisiologis yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini bisa dipahami karena
pembiakan in vitrosemua faktor lingkungan terkontrol sedangkan di lapangan
faktor lingkungan sulit terkontrol (Yusnita, 2004).
Bibit anggrek dari botol yang telah siap diaklimatisasikan dapat
digolongkan menjadi dua golongan yang sifat pertumbuhannya simpodial tidak
mengenal masa istirahat (Rest Period), sedangkan yang bersifat monopodial
mengenal masa istirahat, sehingga transplan inangnya (pindah tanam) harus
didasarkan atas kenyataan adanya masa istirahat itu. Anggrek monopodial saat
yang tepat untuk mengeluarkan bibit dari dalam botol adalah waktu tanaman
memperlihatkan pertumbuhan yang kuat, cepat, dan segar. Anggrek yang bersifat
simpodial paling tidak memperlihatkan adanya umbi semu (Psedobulbus),
setidaknya umbi kedua (Diah, 2003). Menurut Untari et al., (2007), alasan yang
menyebabkan bibit anggrek tidak tumbuh yaitu bibit mengalami penguapan atau
transpirasi yang tinggi karena tidak dilakukan penutupan dengan botol plastik
pada awal pengaklimatisasian, sehingga daun menjadi layu dan kemampuan
fotosintesis menurun. Intensitas cahaya dan kelembapan yang tidak diperhatikan
saat pengaklimatisasian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Hasil bibit tanaman yang telah diaklimatisasi tampak sehat dan tidak ada
hama dan penyakit disekitar media.
2. Prosentase keberhasilan bibit anggrek yang tumbuh bisa mencapai 90 %.
3. Media yang digunakan untuk anggrek Phalaenopsis sp. yaitu moss dan
steroform.

B. Saran
Sebaiknya untuk praktikum kali ini sebaiknya setiap anggota kelompok
tidak hanya menakukan aklimatisasi pada satu jenis anggrek saja, melainkan ada
beberapa jenis anggrek yang berbeda.
DAFTAR REFERENSI

Cha-um, S., Ulziibat, B., & C. Kirdmanee. 2010. Effects of temperature and
relative humidity during in vitro acclimatization, on physiological
changes and growth characters of Phalaenopsis adapted to in vivo. AJCS,
4(9:750-756.
Diah, Widiastoety, D. 2003. MerawatCattleya. Jakarta: Swadaya.
Gunardi, Tom. 1985. Anggrek untuk pemula. Penerbit Angkasa, Bandung.

Helena. L., Barbara. H., Nataa. ., Damijana. K. & Zlata. L. 2012.


Acclimatization of Terrestrial Orchid Bletilla striata Rchb.f.
(Orchidaceae) Propagated UnderIn Vitro Conditions. Acta agriculturae
Slovenica, 99:6975.

Hendaryono, S. 1998. Budidaya Anggrek dengan Bibit Dalam Botol. Yogyakarta:


Kaninus.
Muhit, A. 2010. Teknik Penggunaan Beberapa Jenis Media Tanam Alternatif dan
Zat Pengatur Tumbuh pada Kompot Anggrek Bulan. Buletin Teknik
Pertanian 15(2):60-62.
Rahardja, PE. 1988. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman
Secara Modern. Jakarta: Penebar Swadaya.
Riva, S. S., A. Islam1 and M. E. Hoque. 2016. In vitro Regeneration and Rapid
Multiplication of Dendrobium bensoniae, an Indigenous Ornamental
Orchid. The Agriculturists: 14(2): 24-31.
Santoso, A. 2005. PanduanBudi Daya Perawatan Anggrek. Jakarta: Agromedia.
Sarwono, B. 2002. Mengenal dan Membuat Anggrek Hibrida. Jakarta: Agromedia.
Suradinata, Y. R., A. Nuraini& A. Setiadi. 2012. Pengaruh Kombinasi Media
Tanam dan Konsentrasi Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Anggrek Dendrobium sp. pada Tahap Aklimatisasi. J. Agrivigor
11(2):104-116.
Untari, Rina, Edhi Sandra & Dwi Murti Puspitaningtyas. 2007.
Aklimatisasi Bibit Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl).
Buletin Kebun Raya Indonesia10(1).
Wardani, S. Hot. S & Syarifuddin, I. 2009. PengaruhMedia Tanamdan Pupuk
Daunterhadap Aklimatisasi Anggrek Dendrobium (Dendrobium sp.).
Skripsi. Medan: Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Wetherell, W. F. 1982. Introduction In Vitro Propagation. New Jersey: Avery
Publishing Group.
Widiastoety, D. & F. A. Bahar. 1995. Pengaruh Berbagai Sumber dan Karbohidrat
terhadap Plantet Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultura5 (3): 76-80.
Widiastoety, D.& L. Hendastuti. 1985. Pengaruh penggunaan berbagai
macammedium tumbuh terhadap pertumbuhan anggrek
Phalaenopsis cornu-cervi.Bulletin Penelitian Hortikultura 12 (3): 39-
48.
Wiryanta, W. 2007. Media Tanam Untuk Tanaman Hias. Jakarta: Agromedia.
Wulandari, Tya dan Dewi Sukma. 2014. Karakterisasi Morfologi dan
Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan
Selama Tahap Aklimatisasi. J. Hort. Indonesia. 5(3):137-147.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien.
Jakarta: Agromedia.
Zasari, M,Sri, R, Yusnita dan Dwi,H. 2010. Respon Pertumbuhan Tunas dari
ProtocormLike Bodies Menjadi Planlet Anggrek Dendrobium Hibrida
In Vitro terhadap Dua Jenis Media dan Pemberian Tripton. Jurnal
Agrotropika 15 (1): 23-27.

Vous aimerez peut-être aussi