Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Konflik Syiah dan Sunni merupakan konflik yang dilandasi motif kekuasaan, bukan motif
agama. Persaingan tersebut diwakili oleh rezim keturunan (bani) Umayah dan keturunan (bani)
Hasyim berebut kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Namun, dalam rangka melegitimasi dan
meraih simpatik, kedua belah pihak menarik konflik politik ke dalam isu agama.
Dengan berbagai rekayasa, diciptakanlah isu-isu peyimpangan pandangan akidah. Kedua belah
pihak menganggap keyakinan dan praktik kesyariatan para pendukung yang bersebrangan
sebagai keyakinan keliru. Diciptakan isu-isu penyimpangan, seperti kerasulan Imam Ali, para
pihak yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, dan lain-lain.
Isu penting yang diangkat oleh kelompok Syiah terkait aliran Sunni adalah perihal legalitas
kekuasaan para pendahulunya, seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebagian aliran Syiah
menganggap bahwa kekuasaan yang diraih oleh ketiga khalifah tersebut ilegal, karena merebut
hak wasiat yang seharusnya diterima oleh Imam Ali.
Kelompok Syiah merupakan kelompok Arab yang menjaid pendukung Imam Ali. Sedangkan,
Sunni diindikasikan sebagai kelompok Arab yang mendukung Muawiyah dalam konflik
kekuasaan. Ketika Imam Ali berkuasa, pusat kekuasaan dipindahkan ke Bashrah, yang
sebelumnya berada di Madinah selama beberapa periode khalifah sebelumnya. Ketika Muawiyah
berkuasa, setelah berhasil menggulingkan Hasan bin Ali, ibu kota pemerintahan dipindah ke
Damaskus.
Pemindahan ibukota oleh Imam Ali ke Bashrah tidak lepas dari strategis kekuasaan. Basrah
merupakan merupakan basis kekuatan Ali, karena sebelumnya dia menjadi gubernur di sana pada
masa kekhalifahan Usman. Untuk membangun banteng kekuasaannya, Ali menjadikan Bashrah
sebagai tempat menjalankan kekuasaan.
Diangkatnya isu Abu Thalib sebagai orang yang tidak mengimani kerasulan Muhammad sekadar
loncatan untuk membidik keberadaan kelompok Syiah yang berptaron kepada Ali. Target isu ini
adalah bahwa bapak kelompok Syiah merupakan orang yang lahir dari orang yang tidak
meyakini kebenaran kerasulan Muhammad. Melalui penalaran ini, kesimpulan yang mau
diarahkannya adalahpenegasan secara tidak langsung bahwa Syiah berasal dari orang yang
leluhurnya bukan orang beriman.
Pertengkaran teologis Sunni-Syiah merupakan efek domino dari konflik kekuasaan. Para
penggila kekuasaan menyeret masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup kepentingan politik.
Pertengkaran Sunni-Syiah merupakan pertarungan hampir abadi yang terjadi sepanjang sejarah
umat Islam. Sampai saat ini, pertarungan bekas kekuasaan tersebut menjadi pemicu yang paling
mudah meledakkan emosi masyarakat. Sentuhan-sentuhan kecil yang dibalut dengan isu
penyeimpangan akidah sangat mudah membakar permusuhan.
Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah bukan didasari pada konflik kekuasaan, melainkan kekeliruan
sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai teologi. Selain itu, rezim masa
lalu pun memberikan kontribusi dalam munculnyas konflik Sunni-Syiah.
Pada masa Orde Baru, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang berhasil menggulingkan para
penguasa otoriter. Para penganut Syiah dianggap sebagai para pengekspor revolusi Iran dan
revolusi lainnya yang didalangi kekuatan Syiah.
Sebagai bandingan, dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa pernah terjadi penghukuman mati
Syaikh Siti Jenar oleh kekuasaan Demak. Siti Jenar yang berhaluan Syiah, oleh kekuasaan
Demak diisukan membawa dan menyebarkan ajaran sesat. Akibatnya, dia dihukum mati. Fakta
yang sebenarnya adalah bahwa Syaikh Siti Jenar merupakan pemimpin gerakan bawah tanah
para pengikut Syiah di Indonesia yang akan mendongkel kekuasaan Demak yang berhaluan
Sunni. Alasan sosial yang paling mudah diterima oleh masyarakat untuk melegitimasi tindakan
politik kekuasaan Demak ketika itu adalah diangkatnya isu bahwa Syaikh SIti Jenar menganut
dan menyebarkan ajaran sesat, yaitu ajaran manunggaling gusti ing insun (Tuhan menyatu dalam
diriku).
Halaman Depan
Forum Tanya Jawab
Daftar Isi Artikel
Download
o Mp3 Doa Ahlul Bayt
o Mp3 Maktam
o Buku Dialog Sunni Syiah
Teks Doa-Doa
o Doa Tawassul
o Doa Kumail
Peran Imam Ali bin Abi Thalib KW dalam Persatuan Umat Islam
Sekarang, Muawiyah bin Abu Sufyan dengan memanfaatkan penyimpangan yang terjadi
semenjak peristiwa Saqifah berusaha menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh ayahnya
dalam rangka menghancurkan Islam. Potensi kebodohan, kesesatan yang dimilikinya
membantunya untuk menyiapkan rencana untuk membunuh hatinya umat Islam, penyambung
lidah kebenaran, pembawa bendera Islam dan yang menghidupkan syariat Islam.
Kesesatan yang telah lama menuntun kaki mereka sekali lagi menyeret merek untuk mematikan
cahaya hidayah dan melanggengkan kegelapan demi menyiapkan penyelewengan dan kejahatan.
Tangan-tangan setan itu kemudian berjabatan tangan dengan Ibnu Muljam di kegelapan malam.
Pedang itu menebas kepala seorang yang telah lama membelakangi dunia dan mengarah ke
rumah Allah dalam keadaan sujud. Ia kemudian dibiarkan begitu saja.
Sekelompok orang-orang sesat telah berkumpul untuk membunuh Imam Ali bin Abi Thalib,
tidak sulit untuk mengatakan bahwa penggeraknya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.
Kesepakatan mereka adalah membunuh Imam Ali bin Abi Thalib ketika ia pergi melaksanakan
salat subuh. Hal itu dikarenakan tidak satu pun dari mereka yang berani berhadap-hadapan
dengan singa Allah.
Pada waktu itu malam kesembilan belas dari bulan Ramadhan. Imam Ali bin Abi Thalib banyak
melakukan perenungan dengan melihat angkasa. Ia senantiasa mengulang-ulang perkataan,
Engkau tidak berbohong dan tidak pernah membohongi orang lain. Malam ini adalah waktu
yang engkau janjikan. Imam Ali bin Abi Thalib menghabiskan malamnya dengan berdoa dan
bermunajat kepada Allah swt. Setelah itu beliau keluar dari rumah menuju masjid untuk
menunaikan salat subuh. Sesampainya di masjid beliau membangunkan orang-orang yang
terbiasa beribadah di situ dan kemudian tertidur. Beliau mengucapkan, Salat salat.
Setelah itu Imam Ali bin Abi Thalib menunaikan salatnya. Ketika beliau tengah asyik
bermunajat kepada Allah, tiba-tiba seorang penjahat celaka bernama Abdurrahman bin Muljam
dengan bersuara lantang mengucapkan semboyan kelompok Khawarij Hukum adalah milik
Allah bukan milikmu, setelah itu ia mengayunkan pedangnya tepat mengenai kepala Imam Ali
bin Abi Thalib yang mengakibatkan kepalanya merengkah akibat bacokan tersebut. Merasakan
sabetan pedang di kepalanya Imam Ali bin Abi Thalib langsung mengucapkan kata, Aku
menang demi Tuhan pemilik Kabah.
Setelah itu terdengar suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlari menuju Imam Ali bin
Abi Thalib. Mereka mendapatkannya terjatuh di mihrabnya. Mereka kemudian membawanya
pulang ke rumahnya sambil kepalanya diikat sementara masyarakat dari belakang mengikuti
sambil menangis. Orang-orang berhasil menangkap Ibnu Muljam. Imam Ali bin Abi Thalib
berwasiat kepada anak tertuanya Hasan dan juga kepada anak-anaknya yang lain serta
keluarganya agar berlaku baik dengan tawanan. Ia kemudian berkata, Jiwa dibalas dengan jiwa.
Oleh karenanya bila aku mati maka kalian harus mengqisasnya dan bila aku hidup maka aku
akan mengambil keputusan sesuai dengan pendapatku.
Aku berwasiat kepada kalian berdua untuk bertakwa kepada Allah. Jangan kalian mengikuti
dunia sekali pun dunia menginginkan kalian. Jangan bersedih terhadap sesuatu yang hilang dari
tangan kalian. Berkatalah tentang kebenaran dan beramal untuk mendapat balasan dari Allah.
Jadilah penolong untuk orang mazlum dan bersikap keras terhadap orang zalim. Berbuatlah
sesuai dengan yang diperintahkan dalam Al-Quran. Serta jangan takut di cemooh oleh orang
dalam jalan Allah.
Luka beliau yang parah tidak memberikan waktu lagi untuknya. Imam Ali bin Abi Thalib telah
mendekati ajalnya. Akhir ucapan yang keluar dari bibirnya sebelum ajal menjemputnya adalah
firman Allah swt, Seperti ini mestinya orang-orang yang beramal baik mesti berbuat.
Kemudian ruhnya yang suci naik menuju surga yang dijanjikan.
Penguburan dan pidato pujian terhadap Imam Ali bin Abi Thalib Imam Hasan dan Husein yang
melakukan segala prosesi penguburan ayah mereka Imam Ali bin Abi Thalib mulai dari mandi,
pengkafanan dan pengebumian. Setelah itu Imam Hasan melakukan salat terhadap ayahnya
diikuti oleh sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat. Setelah selesai melakukan salat kemudian
mereka membawanya ke tempat peristiwaannya yang terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib
dimakamkan di kota Najaf dekat kota Kufah. Semua pelaksanaan selesai pada malam hari.
Setelah proses penguburan selesai, Shashaah bin Shuhan berdiri kemudian berpidato memuji
Imam Ali bin Abi Thalib. Ia berkata:
Wahai Abu Al-Hasan! Engkau sekarang lebih baik. Engkau lahir dengan baik, kesabaranmu
kuat, jihad dan perjuanganmu sungguh agung, engkau berhasil dengan pandanganmu, engkau
untung dalam perdaganganmu. Engkau menemui penciptamu dan Ia menerimamu dengan kabar
gembira-Nya serta engkau diapit oleh para malaikat. Engkau sekarang berada di samping
Musthafa Saw dan semoga Allah memuliakanmu berada di samping Muhammad Saw. Engkau
telah bergabung sama dengan derajat saudaramu Muhammad Saw. Engkau minum dari gelasnya.
Sekarang kau memohon kepada Allah agar memberikan kepada kami agar dapat mengikuti
jejakmu. Berbuat sesuai dengan perilakumu. Mengikuti orang yang engkau ikuti. Memusuhi
orang yang memusuhimu. Semoga Allah mengumpulkan kami dalam golongan orang-orang
yang mencintaimu. Engkau telah meraih sesuatu yang belum pernah diraih oleh seorang pun.
Engkau telah merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh seorang pun. Engkau telah
berjuang dengan sungguh-sungguh di samping saudaramu Muhammad Saw. Engkau telah
menegakkan agama Allah dengan sunguh-sungguh. Engkau telah menegakkan Sunah Nabi dan
menekan dengan keras fitnah sehingga Islam dan iman dapat tegak. Aku mengucapkan salawat
dan salam yang paling utama dan terbaik buatmu.
Pada bagian berikutnya, tulisan ini akan menyentuh kemunculan sikap berlebih-lebihan
(ghuluw), serta pemalsuan, penyusupan, dan distorsi riwayat (hadis). Artikel ini akan
membuahkan kesimpulan yang merujuk pada topik utama dari rangkaian tulisan ini dengan
catatan bahwa Ahlul Bait telah memancangkan fondasi yang kokoh untuk membangun persatuan
[umat Islam]. Kualitas-kualitas umum dari otoritas spiritual semacam itu dalam perdebatan
teologis, sosial, politis, dan hukum mereka merupakan bentuk ketulusan moral dan kasih sayang
mereka; sebagaimana tujuan mereka untuk selalu menuntun ke arah kebenaran ultim.
Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel yang akan mengulas sikap para Imam Syiah
sekaitan dengan persatuan umat Islam. Artikel ini mengawalinya dengan mendefinisikan makna
Persatuan Umat Islam dan dilanjutkan dengan menjelaskan sejumlah karakteristik persatuan
dimaksud; khususnya sebagaimana dijumpai dalam al-Quran dan Sunah. Kemudian, karya tulis
ini memaparkan sejumlah metode praktis untuk mencipta persatuan dan mencegah perpecahan,
dengan menyuguhkan teladan dari keluarga suci Nabi Saw.
Pada kenyataannya, jenis persatuan yang benar dan diharapkan adalah yang menerapkan
keduanya, baik dimensi sosio-politisnya maupun ideologi keagamaannya. Ini merupakan
sebentuk persatuan abadi yang dibangun di atas fondasi yang kokoh berupa pendekatan
keimanan dari berbagai mazhabini merupakan pendekatan fondasional antara prinsip-prinsip
dan pilar-pilar dari mazhab-mazhab tersebut dan bukan sekadar kedangkalan yang melahirkan
kebersamaan di antara segelintir ulama dari beberapa mazhab.
Beberapa kalangan memandang bahwa jalan yang mengarah pada persatuan Islam dan kedekatan
di antara mazhab-mazhab dapat dicapai hanya dengan melekatkan diri pada persamaan Islami
serta menghilangkan perbedaan sektarian dan asal-usul. Sebagian lain berbicara tentang
konvergensi mazhab-mazhab atau memilih salah satunya [sebagai titik peleburan]. Namun,
sebagian lain menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai persatuan adalah dengan
kembali ke masa khulafa rasyidin dan para penerusnya (kaum salaf) seraya menghidupkan
kembali gaya hidup mereka. Adapun sebagian kelompok lainnya mengungkapkan
pandangannya, bahwa Islam semestinya menghapus seluruh mazhab pemikiran tersebut,
termasuk pihak-pihak yang berupaya membangun persatuan dengan cara menggiring selainnya
memeluk mazhabnya.[1]
Masing-masing ulama tersebut, terlepas dari simpati yang mereka miliki terhadap komunitas
Islam sebagai suatu keseluruhan, bersandar pada pandangan religius dan politis yang [hanya]
berlaku dalam mazhab pemikiran mereka sendiri. Ini dengan sendirinya menjadi bukti tak
terbantah bahwa pandangan-pandangan mereka berikutnya bukan hanya mustahil, melainkan
bahkan senyatanya kian mempertajam perbedaan. Setiap mazhab pemikiran Islam berdiri tegak
di atas serangkaian prinsip dan derivat keyakinannya (ijtihad); hal yang sama juga berlaku pada
setiap ulama fikih atau teologi, dan keinginan untuk mempertahankan mazhabnya, tentu saja,
merupakan sesuatu yang sangat wajar. Bagaimana pun, campur tangan dari elemen-elemen
sektarian tertentu serta melibatkan mereka dalam perbincangan seputar persatuan tidak akan
membawa kita ke mana-manasemua itu hanya menghasilkan definisi yang keliru mengenai
persatuan serta dukungan yang tidak layak ke arahnya.
Bentuk persatuan Islam yang efektif dan benar-benar diharapkan adalah yang menekankan
pentingnya manfaat dan tujuan pendekatan antar keyakinan religius dan yang berasal dari
kalangan yang memiliki banyak kesamaan ketimbang perbedaan mazhab. Kaum Muslim,
misalnya, mengimani Tuhan yang Maha Esa, mengakui utusan-Nya, dan mengusung Kitab
samawi yang sama, yang disebut dengan al-Quran. Tujuan utama mereka adalah keberhasilan
hidup di dunia dan akhirat, juga kedekatan dengan Allah Swt.
Dengan mengikuti metode yang lebih sesuai dan lebih intelek -yang mengakar di jalan Ahlul
Bait dan dibangun di atas sumber-sumber keagamaan yang kongkrit- harapan persatuan niscaya
dapat diwujudkan. Karakteristik dari persatuan semacam itu mencakup hal-hal berikut:
1. Persatuan Islam yang didambakan menegaskan bahwa kaum Muslim, terlepas dari ragam
ideologi politik, fikih, dan teologisnya, merupakan umat yang satu. Elemen-elemen mendasar
dari umat semacam ini adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip umum seperti keesaan Allah
Swt, kenabian, kebangkitan, serta keyakinan dan komitmen terhadap rangkaian hukum dan
praktik keagamaan yang diakui seluruh Muslim. Berkat penerimaan terhadap prinsip-prinsip
tersebut, tak satu pun perbedaan-perbedaan sepele serta ragam pandangan fikih, teologis, dan
sejarah yang mampu mengancam kesatuan umat.
Kalangan yang menyimpang dan para pelaku bidah, seperti kaum ghulat (ekstrimis) dan
nawashib (musuh-musuh Ahlul Bait) -dengan menyertakan sikap cermat terhadap makna dan
contoh dari kedua kelompok tersebut- senantiasa ditolak oleh masyarakat Islam. Mereka telah
dipandang keluar dari lingkaran Islam oleh kedua mazhab utama (Sunni dan Syiah) serta
dipisahkan dari kaum Muslim lainnya. Karena itu, mazhab pemikiran Islam diperbolehkan untuk
melindungi dan membela keunikan mazhab mereka -tentunya, ini hanya jika masing-masing
memiliki keunikan legitimate yang dapat dipertahankan dengan keyakinan qurani yang kokoh,
yang merupakan bagian dari persamaan-persamaan dan prinsip-prinsip pemikiran Islam yang
definitif. Kalangan pendamba persatuan yang sebenarnya harus menarik garis antara elemen-
elemen fondasional religius dan kualitas-kualitas kemazhaban, tanpa menghiraukan seberapa
kuatnya semua itu dapat dipertahankan. Kekhasan teologis dan yurisprudensial yang unik dari
mazhab pemikiran mereka, bahkan jika semua itu menyebabkan kesempurnaan, perluasan, dan
peningkatan pemahaman, serta kedekatan terhadap kebenaran, seyogianya tidak dimasukkan
dalam prinsip-prinsip agama yang definitif. Ini hanya dikhususkan pada kasus keimanan yang
tidak terlalu penting, seperti keabadian al-Quran atau kontroversi sejarah lainnya, termasuk isu-
isu seputar takdir, keadilan, dan kekudusan. Mereka yang memfokuskan dirinya pada isu-isu
minor tersebut dan saling menolak satu sama lain atau menuduh satu sama lain sebagai kafir
agaknya tidak mempertimbangkan apakah mereka sendiri adil atau suci.
2. Persatuan Islam meniscayakan bahwa perdebatan intelektual dengan mazhab pemikiran lain
harus mengacu pada tolok ukur perdebatan yang etis, sikap toleran, dan nilai-nilai moral.
Masing-masing mazhab, seraya tetap bersikukuh dengan keyakinannya, harus memperlakukan
dan berbicara dengan selainnya secara santun. Dalam persatuan semacam itu, alih-alih mencap
pihak lain sebagai korup, salah paham terhadap pandangan selainnya, saling menghina satu sama
lain, dan meributkan detail masalah-masalah minor, justru yang terjadi adalah [muncul dan
menguatnya] sikap menghargai pandangan [pihak lain], menghormati perasaan dan agama, serta
kemauan untuk memaafkan selainnya. Tidak ada celah untuk melukai perasaan atau kepercayaan
religius seseorang; dan tidak ada celah untuk melemahkan mazhab religius tertentu dalam upaya
untuk memaksa para pengikutnya berpindah mazhab -semuanya atas nama mencapai persatuan
Islam.
3. Tipe persatuan umat Islam yang sesungguhnya dan benar-benar didamba adalah yang
berdasarkan pada sumber-sumber dan prinsip-prinsip religius. Ini seyogianya dipandang sebagai
kewajiban agama yang mengakar dalam keinginan individu. Persatuan bersyarat -yakni,
persatuan sementara yang menekankan kebutuhan-kebutuhan dalam rentang waktu tertentu atau
[dikarenakan] ancaman yang ada atau masih bersifat potensial (yang juga dapat disebut dengan
persatuan taktis atau persatuan politis)- hanya akan menempatkan api dalam sekam.
Sekalipun individu-individu dari sebuah kelompok tertentu -yang dipandang musyrik,
murtad, kafir, penghuni neraka, lebih najis dari anjing- ditolerir dalam jangka waktu
tertentu dikarenakan adanya sejumlah manfaat yang bersyarat, dukungan mereka tetap tidak akan
dapat diperoleh. Sebaliknya, mengingat kemunafikan inheren dalam bentuk persatuan ini,
kebencian terhadap kelompok lain akan semakin meningkat. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah
persatuan yang kuat dan permanen, yang ketika para ulama dari pelbagai mazhab Islam secara
resmi mengakui pihak lain berada dalam lingkaran Islam -terlepas dari perbedaan-perbedaan
dalam tingkatan-tingkatan mereka- sebagai Muslim, mukmin, dan kalangan yang selamat.
Mereka jangan sampai memandang bahwa merekalah satu-satunya kalangan yang beriman dan
bahwa versi sejarah dan ideologi yang mereka anut menjadi tolok ukur yang memisahkan antara
keimanan dan kekafiran. Resistensi dan perbedaan di antara mazhab-mazhab Islam tidak
selamanya, dan memang tidak, sebanding dengan resistensi dan perbedaan agama dan aturan-
aturan praktis. Terbuka kemungkinan secara intelektual untuk bekerjasama dengan selainnya,
menyeru mereka pada kebajikan, serta mencegah mereka dari kemungkaran.
4. Dalam persatuan Islam yang didamba-dambakan, kaum beriman dari suatu kelompok
seyogianya tidak sampai menyebabkan pihak tertentu menganggap mereka berpura-pura,
bersikap jahat, atau tidak dapat diterima. Tolong camkan persoalan penting ini, bahwa kalangan
yang meyakini dirinya mampu melihat Allah Swt pada Hari Pembalasan tidak mesti digolongkan
ke dalam mazhab Mujassamah (korporealis) atau Mushabbah (antromorfis). Mereka yang
meyakini quiditas dari esensi dan sifat Ilahi tidak mesti digolongkan ke dalam mazhab
Muaththilah (kalangan yang menolak mengimani Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan). Kalangan
yang menolak karakter esensial kebajikan dan keburukan tidak sampai menganggap Allah Swt
sebagai sosok sewenang-wenang. Demikian pula, tidaklah adil untuk menyatakan bahwa
seseorang yang mengungkapkan perasaan cintanya terhadap keluarga Nabi Saw dengan cara
mencium dan menunjukkan penghormatan terhadap makam suci mereka atau yang mengecam
keras dan menjauhi musuh-musuhnya, adalah musyrik dan halal dibunuh.
5. Para pendamba persatuan (dan bukan semata-mata persatuan yang superfisial) tidak pernah
menghentikan upaya mereka sekaitan dengan pelbagai marabahaya dan kesulitan yang terdapat
dan terjadi di tengah masyarakat Islam. Mereka tak kunjung menyurutkan langkah sekaitan
dengan keragaman pandangan teologis dan fikih. Sebaliknya, mereka memfokuskan diri pada
jenis-jenis opini, konfrontasi, kesalahpahaman, dan baru-baru ini, hasutan untuk merangsang
sensitifitas religius. Menurut Syahid Muthahhari ra, ancaman terhadap kaum Muslim yang
berasal dari kesalahpahaman yang tidak masuk akal di antara kedua belah pihak jauh lebih
berbahaya ketimbang yang berasal dari perbedaan-perbedaan religius yang bersifat aktual.
Perbedaan-perbedaan religius di antara kaum Muslim bukanlah faktor yang menghambat
persatuan; bukan pula faktor yang mengendala terbangunnya persaudaraan di bawah spirit qurani
orang-orang beriman sungguh bersaudara. (QS. al-Hujurat [49]: 10) Tuhan yang disembah
mereka semua adalah esa dan mereka semua menegaskan hal itu: Tiada Tuhan selain Allah.
Mereka semua mengimani kenabian Muhammad Saw dan bahwa rantai kenabian berakhir
bersamanya. Mereka semua meyakini bahwa agamanya adalah agama terakhir. Mereka semua
menjadikan al-Quran sebagai kitab samawinya, membacanya, dan menganggapnya sebagai
konstitusinya. Mereka mengerjakan shalat dengan menghadap kiblat yang sama dan
mengumandangkan azan. Setiap tahun, mereka semua berpuasa dalam satu bulan tertentu, bulan
Ramadhan. Mereka merayakan hari Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka melaksanakan ibadah haji
dengan cara yang sama serta berkumpul bersama di Rumah Allah. Mereka mencintai dan
menyanjung keluarga Nabi Saw. Semua itu sudah cukup untuk menciptakan jalinan kalbu di
antara mereka dan mengobarkan rasa persaudaraan Islam dalam diri mereka.
Kaum Muslim diwajibkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan rasa hormat dan
persahabatan; mereka harus memiliki perasaan cinta terhadap satu sama lain sebagaimana
saudara kandungnya sendiri. Jelas sudah bahwasanya cinta dan hasrat meningkatkan sentimen-
sentimen tersebut. Adapun yang menghancurkan ikatan persaudaraan dan menyebabkan
perpecahan suatu kelompok sangat dibenci Sang Pembuat Hukum dan bertentangan dengan
hikmah-Nya yang Maha Agung. Dipahami betul bahwa jika dosa paling besar menjadi lazim
dalam kehidupan suatu kelompok, niscaya akan tercipta kebencian, kedengkian, perpecahan, dan
permusuhan; ia akan menjadi akar korupsi di tengah komunitas. Pohon kemunafikan akan
tercipta dan persatuan masyarakat akan tercabik-cabik; fondasi-fondasi agama akan runtuh
seiring meningkatnya korupsi dan kesesatan.[3]
Pada saat yang sama, bagaimana pun, pintu-pintu penelitian seyogianya ditutup rapat sekaitan
dengan keterbatasan ini, khususnya dikarenakan para Imam memandang al-Quran sebagai poros
persatuan paling penting, prinsip-prinsip yang digali dari teks-teks suci ini. Karena itu, sekaitan
dengannya, upaya pada tingkat yang paling mungkin mesti dilakukan guna mengetengahkan
prinsip-prinsip dari sudut pandang Islam. Semua itu terbagi dalam dua kategori.
Demikia pula, al-Quran meletakkan di baris terdepan ajarannya cara mencegah permusuhan,
kedengkian, dan kebencian di antara individu dan kelompok, juga penolakan terhadap
permusuhan, kontroversi, dan kemunafikan intelektual. Di samping berasal dari al-Quran,
persoalan penting ini juga dibahas secara serius dalam riwayat-riwayat keislaman yang akan
dikemukakan dalam pembahasan berikutnya.[8] Al-Quran sebagai sumber Islam paling otoritatif,
memandang perpecahan dan perselisihan di tengah masyarakat sebagai langkah-langkah setan
dan faktor utama di balik kehancuran.[9] Perpecahan kaum Muslim menjadi kelompok-
kelompok terpisah ditempatkan bersamaan dengan hukuman Ilahi; akibat-akibat yang
ditimbulkannya berupa kegetiran perang dan kesulitan.[10]
Al-Quran memandang permusuhan dan kebencian sebagai sikap tidak bersyukur kepada Allah
Swt; ia memperhitungkan semua itu sebagai dosa dan perbuatan durhaka. Ia menegaskan bahwa
semua itu merupakan perbuatan setan dan karenanya melarang keras kedurhakaan dan
permusuhan. Upaya menghilangkan permusuhan ini telah dinyatakan sebagai salah satu tugas
penting kenabian. Dalam pandangan kitab samawi yang suci ini, salah satu faktor utama di balik
kebinasaan bangsa-bangsa terdahulu adalah perpecahan dan perselisihan di tengah
masyarakatnya. Faktor terpenting dari perpecahan di tengah masyarakat adalah perbedaan-
perbedaan yang berhubungan dengan agama. Perselisihan dan perpecahan hanya mengakibatkan
stagnasi, keterpisahan, dan kerapuhan fondasi kehidupan sosial.[11]
Al-quran mengajarkan kita -melalui ayat-ayatnya yang menekankan pemikiran dan perenungan
mendalam seputar agama, serta melalui ayat-ayatnya yang memerintahkan kita
mempertimbangkan berbagai pandangan untuk kemudian memilih yang terbaik di antaranya-
bahwa kita harus menahan diri dari argumen-argumen yang tidak bermanfaat dan dari argumen-
argumen yang menggiring pada permusuhan. Menariknya, seraya menyerukan kasih sayang
sosial dan pengurangan perdebatan dan perpecahan sosial, al-Quran memerintakan kaum Muslim
untuk menahan diri dari mempersengit perdebatan intelektual dengan kalangan Ahlul Kitab. Ia
menegaskan untuk menyerahkan masalah mencari kebenaran kepada Allah Swt dan Hari
Pembalasan.[12] Dalam seruan yang dialamatkan kepada Ahlul Kitab, disampaikan sebuah
ajakan kepada prinsip-prinsip umum dan bersama-sama menghadapi kaum musyrik dan orang-
orang kafir.[13] Seraya memberikan perhatian terhadap pentingnya persatuan dan persaudaraan
serta sikap tegas al-Quran dalam melarang kaum Muslim mempersengit perdebatan, menyulut
perpecahan, terbagi ke dalam kelompok-kelompok, dan menempuh jalan yang berbeda,[14]
dasar-dasar perbedaan dan perpecahan dapat dijejaki pada sejumlah sifat buruk tertentu yang
bersifat etis-moral, seperti sikap curiga, fitnah, mencari-cari kesalahan, memata-matai kaum
yang beriman, tuduhan, penistaan, tutur kata melecehkan, ejekan, egosentrisme, arogansi
(kecongkakan), kebencian, dan memutus tali silaturahmi.[15]
Dengan meneliti pelbagai ayat dan riwayat yang berkenaan dengannya, dapat dinyatakan secara
umum bahwa tujuan penting yang ingin diraih al-Quran adalah mempersatukan umat di mana
debat kusir, perpecahan, peperangan, dan pertumpahan darah tidak akan pernah terjadi. Orang-
orang akan berkumpul dalam suasana yang akrab, penuh kerjasama, persaudaraan, cinta, dan
keadilan. Sepanjang artikel ini, kita akan mengetengahkan sekitar 50 ayat yang berhubungan
dengan persatuan dan metode untuk mencapainya, termasuk perpecahan berikut faktor-faktor
yang melatar-belakanginya. Berikut adalah sejumlah contoh dari ayat yang dimaksud:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,
agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]: 103)
Dalam ayat ini, sebagai tambahan dalam mengenalkan poros persatuan sebagai rahmat ilahi,
Allah Swt melarang kita dari berpecah belah. Di tempat lain, Dia membenci perbedaan dan
perpecahan yang menjadi metode [pergaulan sosial] kaum terdahulu:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang
berat. (QS. Ali Imran [3]: 105)
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya dan mereka (ahli
Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena
kedengkian di antara mereka. (QS. asy-Syura [42]: 13-14)
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. al-Anam [6]:
153)
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.
tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. ar-Rum
[30]: 32)
Dalam al-Quran, Allah Swt memandang perpecahan bertolak belakang dengan gaya hidup
profetik (kenabian) dan Sunah. Dia memfirmankan dalam al-Quran al-Karim:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan,
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah
terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat. (QS. al-Anam [6]: 159)
Kaum Muslim dilarang terlibat dalam debat kusir. Akibat dari debat kusir disebutkan dalam al-
Quran lewat pernyataannya:
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. al-Anfal [8]: 46)
Sebagaimana terlihat, makna eksplisit dari ayat-ayat tersebut menunjukkan larangan untuk
berdebat kusir, mempertajam perbedaan, dan berpecah belah dalam agama. Perintah telah
diberikan untuk berpegang teguh pada Tali Allah dan perpecahan digambarkan sebagai
kebiasaan kaum musyrik dan kalangan yang telah binasa. Kutukan terhadap kaum musyrik
dalam beberapa ayat tersebut bukan dikarenakan kemusyrikan mereka, melainkan dikarenakan
perbedaan antara ucapan dan perbuatan mereka yang memecah belah agama.[16]
Menjawab pertanyaan ini secara positif akan membawa kita berhadap-hadapan dengan
serangkaian pertanyaan lain dan berupaya menjawabnya. Sebagai contoh, mengajak seseorang
untuk memikirkan dan merenungkan secara mendalam ihwal agama yang menyatakan secara
implisit bahwa berbagai pandangan dan pemahaman secara tak terelakkan bakal terbentuk.
Dapatkah dikatakan bahwa Islam memerintahkan sesuatu namun menolak menanggung akibat-
akibat alamiahnya dan pada kenyataannya bahkan melarangnya? Jelas terbukti bahwa kita tidak
dapat meminta seseorang untuk berpikir mengenai sesuatu dan kemudian melarangnya untuk
mengungkapkan kesimpulannya yang berkenaan dengannya.Tentu saja, terdapat kriteria yang
diterapkan pada proses menalar. Namun, sekalipun jika dua individu menggunakan kriteria yang
sama dalam menalar, tak ada jaminan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang mereka hasilkan juga
bakal sama.
Perbedaan di antara potensi kognitif seseorang serta kemampuannya untuk memahami dan
berintuisi merupakan keniscayaan yang tak dapat disangkal. Pada kenyataannya, sejumlah
komentator al-Quran pernah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk membuktikan bahwa
keragaman sudut pandang merupakan hikmah penciptaan.[17] Pada gilirannya, perbedaan-
perbedaan tersebut menghasilkan pemahaman intelektual yang beragam, yang dibutuhkan untuk
menciptakan keyakinan dan pandangan yang bervariasi. Kebutuhan tersebut hanya dapat
dihilangkan jika sumber keragaman dan perbedaan itu dihilangkan. Terbukti dengan sendirinya
bahwa penghilangan sumber tersebut adalah mustahil; lantas, bagaimana perbedaan-perbedaan
tersebut dapat diatasi tanpa menghilangkan sumbernya?
Karena itu, perbedaan pandangan dan sudut pandang di antara berbagai mazhab teologi, politik
dan fikih dalam Islam tidak dapat dihakimi tanpa membedakan kasus-kasusnya dan memahami
motif-motifnya.[18] Namun demikian, karakteristik-karakteristik dari perbedaan-perbedaan yang
tidak diharapkan harus dibedakan secara kontras dengan perbedaan-perbedaan tersebut
berdasarkan sejumlah kriteria tertentu. Dalam budaya qurani dan aturan praktis Islam, ihwal
yang dipandang lebih penting ketimbang apapun adalah mengobservasi batas-batas,
mengungkapkan criteria-kriteria praktis dan teoretis, serta mengemukakan metode-metode untuk
mengklarifikasi perbedaan; bukan mengenyahkan sumber-sumbernya. Artikel ini akan
mencukupkan dirinya dengan mengemukakan dua kasus penting yang berkenaan dengannya:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. (QS. Ali Imran [3]: 105)
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya dan mereka tidak
berpecah belah (ke dalam mazhab-mazhab), kecuali setelah datang pada mereka ilmu
pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (QS. asy-Syura [42]: 13-14)
Dalam kesempatan ini, Allah Swt menyatakan bahwa sejumlah bangsa tidak berpecah belah
hingga setelah mereka mendapatkan pengetahuan. Dalam ungkapan yang lain, mereka secara
sadar dan sengaja berpecah belah, dan ini tidak akan terjadi kecuali dikarenakan adanya elemen-
elemen pembangkangan yang mereka perlihatkan satu sama lain. Motif dan semangat yang sama
ini juga disebutkan al-Quran dalam kasus-kasus lain.[19] Saat menarasikan perbedaan-perbedaan
dan perpecahan-perpecahan tersebut -yang acapkali diatributkan pada bani Israil, khususnya
pada kalangan pembesar agamanya- tidak terdapat sebutan yang dikemukakan bahwa mereka
mencari kebenaran atau berkeinginan untuk memahaminya, atau sekaitan dengannya, apakah
dengannya (perbedaan dan perpecahan) mereka benar-benar menemukan aspek realitas tertentu
atau tidak. Alasan di balik semua ini adalah bahwa realitas dari situasi yang ada sudah serba-jelas
bagi mereka -setelah pengetahuan datang kepada mereka. Karena itu, dalam terminologi al-
Quran, motif di balik perpecahan mereka adalah pembangkangan (pelanggaran, penindasan, atau
kedengkian) kalangan pembesar agama mereka. Untuk alasan ini, Allamah Thabathabai
mengatakan, Dalam al-Quran, Allah Swt tidak mengutuk perpecahan atau perbedaan kecuali
semua itu diiringi hasrat jasmaniah dan bertentangan dengan tuntunan rasional.[20]
Dalam pelbagai kasus, terlepas dari fakta bahwa al-Quran menegaskan bahwa seseorang tidak
akan dikenai hukuman atas kesalahan-kesalahannya dan apa yang telah perbuat jika itu
disebabkan kelalaiannya, perhatian yang jauh lebih banyak diarahkan pada kalangan yang
menyebabkan perpecahan secara sengaja (taammud) dan yang bersumber dari pembangkangan
(bagha). Tindakan-tindakan semacam itu tidak dapat ditoleransi di dunia ini dan akan
membuahkan serangkaian akibat yang mengerikan di masa mendatang. Al-Quran membolehkan
kita untuk memerangi mereka yang terus menerus memecah belah dan membeda-bedakan serta
orang-orang yang berbuat demikian dikarenakan kedurhakaan dan pembangkangan [terhadap
kebenaran]. Firman Allah Swt:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS. al-
Hujurat [49]: 9)
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. al-Anam [6]:
153)
Menurut ayat ini, jalan yang lurus adalah jalan di mana tidak terdapat perpecahan. Jika
seseorang atau kelompok menempuh jalan perpecahan dan pemisahan, yang menjauhkannya dari
jalan wahyu yang tidak terdapat perbedaan, maka dia berarti telah melangkah keluar dari jalan
yang lurus. Makna yang nyata dari ayat tersebut menyataka bahwa jalan yang lurus adalah
jalan Nabi Islam Saw. Di tempat lain, al-Quran memandang jalan yang lurus sebagai jalan para
nabi, syuhada, orang-orang saleh, dan shiddiqin.[21] Menarik untuk dicatat bahwa dalam ayat
yang telah dikemukakan sebelumnya, al-Quran pertama-tama menyebut jalan yang lurus dan
kebutuhan untuk menempuhnya sebagai prasyarat untuk menghindari terjadinya perpecahan ke
dalam beberapa kelompok yang berbeda.[22]
Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu,
dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada
(agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.
(QS. Ali Imran [3]: 101 dan 103)
Berpegang teguh kepada tali Allah adalah memegang teguh ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya
(yakni, al-Quran dan Sunah), di mana tuntunan telah dijamin. Berpegang teguh kepada Rasul-
Nya adalah, senyatanya, memegang teguh al-Quran; keduanya berasal dari sumber yang satu.
Alasannya adalah bahwa dalam al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk menaati Nabi Saw.
Secara fundamental, menaati Allah tidak dapat dicapai kecuali melalui Rasul-Nya.[23]
Tali (habl) Allah Swt adalah al-Quran yang diwahyukan-Nya. Ayat-ayat al-Quran tersebut, ibarat
tali atau tambang, terikat dan terhubung dengan Allah Swt.[24]
Secara esensial, gagasan tentang akhlak yang mulia (makarim al-akhlaq) -yang dalam ungkapan
Nabi Saw sendiri merupakan hikmah dari diutusnya beliau oleh Allah Swt- tak lain dari
menciptakan masyarakat yang berdasarkan pada persaudaraan, bahasa bersama, sikap saling
mencintai, memaafkan, kesucian, kedermawanan, optimisme, keadilan, kasih sayang, dan
kesantunan; itu juga bermakna menjauhi peperangan, saling mencela, pesimisme, fitnah, rasisme,
tuduhan palsu terhadap kaum Muslim, serta perlakuan tidak etis lainnya. Nasihat etis Nabi Saw
dipenuhi frase seperti saling mencintai, saling menolong, konfrontasi positif, ketakwaan,
perdamaian, musyawarah, dan sikap memaafkan. Tentu saja menyajikan daftar dari kasus-kasus
tersebut berada di luar cakupan dari artikel ini. Karena itu, kiranya sudah mencukupi jika
disebutkan beberapa di antaranya:
Nabi Saw menyabdakan bahwa persatuan umat Islam menyebabkan kebaikan dan rahmat,
sementara perpecahan merupakan faktor di balik kebinasaan dan siksa. Beliau bersabda,
Berkumpul bersama (bersatu) itu kebaikan (sebuah rahmat) sedangkan perpecahan adalah
siksa.[25] Dalam pandangan Nabi Saw, berkumpul bersama bersifat positif, dan semakin suatu
komunitas berkumpul bersama, maka semakin baik.[26] Imbauan Nabi Saw yang terus menerus
untuk shalat berjamaah dan hadir di masjid juga diriwayatkan dalam ratusan hadis.[27]
Rasulullah Saw yang agung menyampaikan sejumlah pernyataan di mana memisahkan diri dari
kebersamaan Islami dipandang sebagai bentuk meninggalkan barisan Islam dan kembali ke abad
Jahiliyah. Beliau menyabdakan, Simpul Islam telah ditanggalkan dari leher seseorang yang
memisahkan dirinya dari komunitas Muslim. Beliau juga mengatakan, Barangsiapa yang
memisahkan diri dari komunitas Muslim walaupun sejengkal akan mati dalam keadaan
jahiliyah.[28]
Diriwayatkan pula sabda ringkas Nabi Saw lainnya yang terkait dengannya, Tangan Allah
berada di atas/bersama jamaah.[29] Bergabunglah dalam jamaah dan berhati-hatilah dengan
perpecahan. Janganlah berpecah belah karena orang-orang sebelum kalian yang berpecah
belah mengalami kebinasaan. Janganlah berpecah belah atau hati kalian akan menjadi
bercabang. Dan, Mereka yang terpecah ke dalam mazhab-mazhab sebelum kalian telah
binasa.[30]
Tentu saja, seseorang tidak dapat meyakini bahwa masing-masing hadis tersebut memang berasal
dari Rasulullah Saw. Demikian pula, motif-motif untuk memalsukan hadis-hadis tersebut
khususnya soal penyalahgunaan ungkapan semacam kebutuhan terhadap sebuah komunitas
dan menahan diri dari mematahkan tongkat kaum Muslim oleh para pemimpin bani
Umayyahtidak dapat diabaikan. Namun demikian, penekanan Rasulullah yang berulang kali
terhadap persatuan komunitas Muslim, dan lebih penting lagi, tindakan-tindakan beliau yang
terkait dengannya, mendukung makna umum dari hadis-hadis tersebut.
Demi memperkuat manifesto orang beriman adalah saudara dari orang beriman (orang
beriman saling bersaudara)[31], Nabi Saw menuturkan sejumlah hadis, di antaranya:
Seorang beriman menolong dan ditolong. Tak ada kebaikan dalam diri seseorang yang
menolong dan tidak ditolong. Orang-orang terbaik adalah yang bermanfaat bagi selainnya.[32]
Kaum mukmin saling bersaudara Mereka ibarat satu tangan yang mengepal ke arah orang-
orang yang berhadap-hadapan dengan mereka.[33]
Kaum beriman ibarat sebuah bangunan; masing-masing bagian saling menguatkan satu sama
lain.[34]
Kaum beriman dalam hal persahabatan, kasih sayang, dan cinta ibarat satu tubuh; jika salah satu
organnya merasakan sakit, maka seluruh organ tubuh lainnya juga akan merasakan sakit
bersamanya sepanjang malam dan mengalami demam.[35]
Beliau juga menyabdakan, Temuilah saudaramu dengan wajah ceria. Menjadikan saudaramu
tersenyum merupakan amal kebajikan bagimu. Ampunan dianugerahkan kepada seseorang yang
tidak memendam kebencian terhadap saudaranya. Tidak pantas bagi seorang mukmin untuk
mengkhianati saudaranya. Layak bagi Allah untuk menjauhkan api neraka dari setiap Muslim
yang membela kehormatan saudaranya.
Nabi Saw sangat menganjurkan untuk saling memberi salam satu sama lain, seraya menyebutnya
sebagai salah satu perbuatan yang disaksikan para malaikat. Beliau melarang keras seorang
Muslim tetap marah dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari serta memerintahkan untuk
mendamaikan mereka. Seseorang yang memberi dan menerima hadiah -tanpa memandang nilai
hadiah tersebut- demi mempererat hubungan persahabatan dan memperkuat ikatan persaudaraan
serta persatuan (di tengah perpecahan antar kelompok-kelompok dan elemen-elemen egosime
dalam masyarakat), akan diberi ganjaran yang sama dengan yang diterima seseorang yang
berjihad di jalan Allah Swt. Karena itu, dalam tubuh masyarakat di mana Rasulullah Saw
menjadi suri-teladan dan saksinya, manfaat seorang individu menggantikan kecenderungan pada
kelompok, serta kasih sayang dan intelektualisme mengatasi kekerasaan dan sensitivitas
[emosional].[36]
Sebagai tambahan, Rasulullah Saw menggambarkan kaum Muslim sebagai susunan gigi -
semuanya sama dan sederajat. Beliau menyabdakan, Kaum Muslim sama dengan gigi (dalam
mulut seseorang). Beliau juga bersabda, Tak satupun dari kalian menjadi bagian dari kaum
Muslim kecuali kalian mencintai untuk saudara kalian apa-apa yang kalian cintai untuk diri
sendiri.
Dalam menegaskan kesetaraan dan persaudaraan Islam, Rasulullah Saw bersabda, Seorang
Muslim adalah saudara Muslim lainnya.Mereka tidak saling menzalimi satu sama lain, tidak
saling berbohong satu sama lain, tidak menahan diri dari saling menolong satu sama lain, dan
tidak saling menista satu sama lain. Tingkat kekuatan yang memadai untuk berbuat kejahatan
diciptakan seseorang manakala dirinya mengolok-olok saudaranya sendiri. Seluruh milik seorang
Muslim -hidup, harta, dan orang-orang yang dicintainya- haram bagi Muslim lainnya.
Rasulullah Saw memandang hal berikut sebagai salah satu tanda dan karakter seorang Muslim,
Seorang Muslim adalah sosok yang menjadikan Muslim lainnya merasa aman dari ucapan dan
perbuatannya. Terdapat tiga hal di mana tak ada apapun selain keikhlasan merasuk ke dalam hati
seorang beriman (maksudnya, mustahil baginya untuk mengkhianati mereka) Ketiga, masalah
persatuan di antara kaum Muslim. Ini artinya, ia tidak akan menjadi seorang munafik, tidak akan
mematahkan tongkat kaum Muslim, dan tidak akan memecah belah komunitas Muslim.[37]
Rasulullah Saw tidak hanya mencukupkan dirinya dengan menyeru dan berbuat; namun,
gayahidup beliau juga dibentuk di atas fondasi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berikut
adalah daftar upaya-upaya dan metode-metode Nabi Saw yang mulia dalam menciptakan
persatuan di antara para sahabatnya:
1. Mendirikan masjid dan menyerukan kaum Muslim untuk berkumpul di situ demi
melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah.
5. Mengkhususkan Rasulullah Saw yang mulia sebagai pusat rujukan hukum dalam
menyelesaikan perselisihan.
6. Peperangan masuk akal melawan kebiasaan dan sikap intoleran abad Jahiliyah.
Menjalankan masing-masing poin tersebut serta menempatkan segenap upaya Rasulullah Saw di
balik pembentukan umat yang bersatu, yang berkumpul di dekat Allah Swt dan Rasulullah Saw
merupakan keagungan tersendiri. Semua itu dapat menjadi model dan teladan praktis bagi
seluruh Muslim. Di sini, kami hanya akan meninjau beberapa di antara kasus-kasus tersebut.
Di antara faktor terpenting di balik perpecahan individual maupun kelompok sosial adalah sikap
intoleran (tidak toleran), sektarianisme, dan tribalisme keagamaan. Klaim ini dapat dijelaskan
dengan meninjau kembali perpecahan-perpecahan yang ada dalam masyarakat Islam. Salah satu
kawasan utama dari upaya Rasulullah Saw adalah pencegahan atau pengaturan bentuk-bentuk
intoleransi tersebut. Berkenaan dengannya, beliau bersabda, Allah akan mengumpulkan
seseorang yang di hatinya terdapat setitik intoleransi (ashabiyyah)[39] dengan bangsa Arab
Jahiliyah. Beliau juga mengatakan, Seseorang yang mengajak orang-orang ke arah intoleransi
akan memperoleh [hukuman] membunuh sebagaimana pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di
zaman Jahiliyah.[40] Beliau memberlakukan pelbagai undang-undang di Madinah dengan
tujuan untuk menghilangkan perselisihan dan persaingan antar-suku, sekaligus mengatur dan
membimbing mereka. Manakala Rasulullah Saw memasuki kota ini dan mengetahui bahwa dua
rival bebuyutan, yakni suku Aus dan Khazraj, saling bersaing untuk mendapat kehormatan
menjamu Rasulullah Saw, beliau dengan bijak bersabda, Aku akan singgah di rumah tempat
untaku berhenti [melangkah]. Beliau juga menggunakan taktik menggerakan prajurit-
prajuritnya dengan cepat untuk memadamkan perselisihan yang muncul di tengah para
sahabatnya dalam peperangan bani Mushthalaq.
Bagaimana pun, dengan [menimbang] terlembaganya sedemikian rupa hubungan antara abad
Jahiliyah dengan kecenderungan ke arah tribalisme, kondisi-kondisi semacam itu tidak
sepenuhnya tumbang di masa kehidupan Rasulullah Saw. Adakalanya intoleransi dan kebencian
internal antara kaum Muhajirin dan Anshar tidak hanya mengakibatkan mereka saling berhadap-
hadapan satu sama lain, melainkan juga menyebabkan mereka berhadap-hadapan dengan
Rasulullah Saw. Sebagai contoh, Zubair ibn Awwam yang merupakan seorang Muhajirin,
terlibat dalam pertikaian dengan seorang Anshar seputar pengairan (irigasi). Rasulullah Saw
mengakhiri pertikaian itu dengan menyatakan bahwa orang Anshar tersebut akan mendapat jatah
irigasi setelah Zubair. Mendengar itu, orang Anshar tersebut kontan menilai keputusan
Rasulullah Saw dengan menggunakan kriteria intoleran dan kesukuan warisan zaman Jahiliyah.
Ia berkata pada Rasulullah Saw, Keputusanmu memihak sepupumu.[41]
Berkenaan dengan sikap moderat beliau sewaktu berinteraksi dengan kalangan yang
menentangnya, terdapat banyak bukti al-Quran, juga yang berasal dari riwayat, yang
menunjukkan bahwa beliau senantiasa berusaha mencegah pelbagai kesalahpahaman, tudingan
tidak berdasar, dan pandangan menghina terhadap mereka (kalangan penentang beliau -penerj.).
Jelas dipahami dari contoh-contoh tersebut, serta ratusan contoh lain yang maktub dalam buku-
buku sejarah dan hadis, bahwa Rasulullah Saw, selain menyerukan dan menekankan soal
masyarakat yang bersatu, juga menaruh perhatian pada pelbagai metode untuk mencapainya.
Rasulullah Saw berupaya keras dengan berbagai cara untuk mengenyahkan sebab-sebab
perselisihan yang muncul di tengah umat Islam, bahkan setelah wafatnya. Menentukan karakter
paling penting dari al-Quran dan Sunah, termasuk menunjuk Ahlul Bait untuk menempati posisi
rujukan politik dan keagamaan, merupakan keseluruhan contoh dari upaya-upaya tersebut.
Karena itu, tugas penting yang harus dipikul pemimpin politik, intelektual, dan sosial adalah
mengadopsi metode yang sama dengan yang digunakan Rasulullah Saw sekaligus menjadikan
beliau sebagai suri-teladan
Saya pernah menonton sebuah film dokumenter tentang Sayyid Musa Sadr di jaringan televisi
satelit Al-Manar. Dia ulama besar, pioner pasukan perlawanan Hizbullah di Lebanon di era 70an,
di tahun-tahun awal invasi Zionist Israel. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.
Ada sesuatu di film dokumenter itu: sebuah gambar yang melekat di benak hingga kini. Sebuah
memori sejarah yang bisa jadi oase pelajaran bagi kita yang hidup sekarang. Bahkan di
Indonesia.
Di film berdurasi panjang itu, ada foto yang memperlihatkan momen-momen dia tengah
berbicara di hadapan jamaah sebuah geraja berarsitektur agung. Dia dengan sorban hitam
keulamaanya, dengan wajahnya yang teduh lalu gereja itu, sebuah gereja di Sidon sepertinya,
berdiri di sebuah mimbar dengan latar tembok-tembok tinggi dan ornamen kaca gereja yang
memukau.
Dua keagungan seperti berkumpul di foto itu. Seperti perasan yang terbaik dari Islam dan
Kristen.
Musa Sadr memang menara suar kala itu sebelum akhirnya hilang misterius. Dia, hingga kini
dianggap pahlawan oleh hampir semua kalangan dan agama di Lebanon, diyakini kemungkinan
besar diculik saat berkunjung ke Libya. Nasibnya tak jelas sejak itu. Ada yang bilang dia telah
mati, meski tak sedikit yang meyakininya masih hidup dan tertawan.
Tapi sebelum kepergiannya, dia telah mewariskan sesuatu yang berharga: fikih persatuan. Secara
singkat, dia memfatwakan bahwa di saat persatuan umat beragama dan bangsa dan negara jadi
taruhan, urusan fikih harus dimundurkan. Sepenting apapun.
Tak pada tempatnya saya berpanjang-panjang soal tersebut. Tapi satu yang jelas, fikih persatuan
itu menghasilkan buah yang segar; sesuatu yang mungkin menjelaskan aliansi super-kuat antara
kalangan Kristen dengan pasukan perlawanan Hizbullah dalam kancah politik modern Lebanon
dan front bersenjata menghadapi agresor Israel hingga detik ini.
Nah, saya cerita semua itu dengan benak yang masih terendam berita-berita mencemaskan dalam
dua bulan terakhir. Di berbagai penjuru dunia orang dengan mudah melihat adanya kekuatan yg
seperti hendak membenturkan Islam dan Kristen, Islam dan Islam. Kita lihat ada upaya
pembakaran Al Quran di Amerika Serikat, ada penghargaan untuk kartunis penghina Nabi di
Eropa, dan masih banyak rangkaian peristiwa lain. Termasuk di Indonesia.
Di Bekasi beberapa waktu yang lalu misalnya, televisi seperti ingin kita percaya kalau telah
terjadi perselisihan hebat antara Islam dan Kristen di sana. Antara warga Muslim dan warga
Kristen dalam soal pendirian rumah peribadatan. Lalu di Cirebon, Bogor, Jakarta dan Nusa
Tenggara kita dengar berita yang kurang lebihnya sama: perselisihan besar antara pengikut
Ahmadiyah dan mereka yang menolak keberadaan kelompok itu. Darah telah tumpah.
Kecemasan timbul-tenggelam.
Tulisan ini tak bermaksud menyajikan jawaban untuk persoalan pelik itu. Meski jelas, kita semua
menanti kehadiran pemimpin agama yang visioner. Kita menanti banyak ulama seperti Musa
Sadr yang mengajarkan persatuan jauh lebih penting ketimbang apapun. Kita perlu suara ulama
yang bisa mengerem dan menghentikan pucuk-pucuk ekstrim yang kadang menyembul dan
menciptakan keriuhan besar untuk tidak mengatakan memprovokasi benturan antar penganut
agama.
Kita sudah punya banyak persoalan dan ekstrimisme, baik dalam cara pikir maupun pola tindak,
adalah hal terakhir yang ingin kita saksikan.
Dan kabar yang terdengar dari Iran dalam sepekan terakhir sepertinya bisa jadi contoh. Ceritanya
ini berawal dari sebuah surat Istiftai (permohonan fatwa) dari kalangan ulama Syiah di Arab
Saudi ke Ayatullah Sayyed Ali Khameini, wali faqih sekaligus pemimpin Republik Islam Iran.
Secara khusus di surat itu, mereka meminta jawaban tegas atas sejumlah hal yang menurut
mereka sangat mencemaskan, sumber bagi kekacauan internal kalangan Muslim.
Telah terdengar oleh mereka bahwa Yasir al-Habib, seorang yang menyebut dirinya ulama dan
berdomisili di London, sering melontarkan hujatan dan penghinaan berupa kalimat-kalimat tak
senonoh dan melecehkan terhadap istri Rasul, Ummul Muminin Aisyah.
Langkah itu, kata mereka dalam surat, telah menghadirkan sensasi negatif berupa ketegangan di
tengah masyarakat Islam. Sebagian orang, karena minimnya pengatahuan dan pandangan,
nampaknya membeli ucapan Yasir itu, kata mereka. Sebagian lagi, meski lebih kecil,
mengeksploitasinya secara sistematis di sejumlah televisi satelit dan internet demi
mengacaukan dan mengotori dunia Islam dan menyebarkan perpecahan antar muslimin.
Dari Tehran, Sayyed Ali Khamenei memberikan yang mereka minta. Sebuah fatwa, putusan
yang mengikat dan membawa implikasi hukum. Bunyinya singkat: Diharamkan melakukan
penghinaan terhadap (tokoh-tokoh yang diagungkan) Ahlussunnah wal Jamaah apalagi
melontarkan tuduhan terhadap istri Nabi dengan perkataan-perkataan yang menodai
kehormatannya, bahkan tindakan demikian haram dilakukan terhadap istri-istri para Nabi
terutama penghulu mereka Rasul termulia.
Fatwa itu merupakan yang mutakhir dan menempati posisi terpenting dalam rangkaian kecaman
kalangan ulama Syiah atas Yasir al-Habib dan para provokator sebangsanya.
Fatwa Pemimpin Tertinggi Iran ini jelas berbeda dengan fatwa-fatwa yang biasa keluar dari
majlis-majlis ulama di dunia Sunni. Pasalnya, fatwa ini membawa solusi kaki tangan
pelaksanaan yang didukung segenap aparatur Republik Islam Iran.(syiahali)
Referensi
[6] Qs. al-Baqarah [2]: 143; Ali Imran [3]: 10; al-Anbiya [21]: 92.
[7] QS. Ali Imran [3]: 102-103; al-Hujurat [49]: 10; al-Maidah [5]: 2.
[8] Merujuk Mizan al-Hikmah, vol. 2, hal. 456; vol. 3, hal. 43; vol. 6, hal. 65; Tafsir ibn Katsir,
vol. 2, hal, 194-195; vol. 1, hal. 396; al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol. vol. 3, hal. 374; vol. 7,
hal. 393; Tafsir Muhit al-Adham, vol. 2, hal. 374; Nahj al-Balaghah, khutbah Qasimah, 120
dan 147.
[9] Merujuk QS. al-Baqarah [2]: 208 dan 253; Ali Imran [3]: 103; an-Nisa [4]: 157.
[10] QS. al-Anam [6]: 65; al-Maidah [5]: 14, 64, dan 91; al-Baqarah [2]: 213. Untuk informasi
lebih jauh, silahkan merujuk al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol. 3, hal. 372-375; vol. 11, hal. 60-
65.
[11] Merujuk ayat-ayat seperti asy-Syuara [26]: 13; Ali Imran [3]: 64; dan al-Araf [7]: 46.
[12] Contoh-contoh ayat di mana Allah Swt dipandang sebagai hakim terakhir adalah az-Zumar
[39]: 3; al-Hajj [22]: 68-69; al-Anam [6]: 164.
[14] QS. al-Anam [6]: 159; ar-Rum [30]: 31-32; az-Zukhruf [43]: 65; QS. al-Anbiya [21]: 37;
Ali Imran [3]: 105.
[15] Sebagai contoh, silahkan merujuk QS. al-Hujurat [49]: 11-12; al-Huzamah [104]: 1-2; an-
Nisa [4]: 112; an-Nur [24]: 4; al-Aam [6]: 153.
[18] Beberapa komentator al-Quran telah menyatakan bahwa ayat-ayat yang mengutuk
perpecahan ke dalam mazhab-mazhab dan perbedaan-perbedaan, sebagaimana telah disebutkan,
berkaitan dengan kelompok-kelompok dan kumpulan-kumpulan yang bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip keagamaanyakni, mereka merupakan kalangan di luar agama. Lih., Milad, al-
Taaddudiyyah wa al-Hiwarfi al-Khuththab al-Islami, hal. 127.
[19] Merujuk QS. al-Baqarah [2]: 213; Ali Imran [3]: 19; al-Jatsiyah [45]: 16; Yunus [10]: 9.
[25] Kanz al-Ummal, vol. 7, hal. 557; Nahj al-Fashahah, hal. 1202; juga merujuk riwayat ke-56,
638, 1234, 2769, 2726, 2855, dan 3211.
[27] Sebagai contoh, silahkan merujuk pada ibid., hal. 552-585. Terdapat sekitar 150 hadis Nabi
Saw dalam buku rujukan ini yang menyebutkan kewajiban tersebut.
[28] Nahj al-Fashahah, hadis ke-2769; merujuk Bihar al-Anwar, vol. 26, hal. 67-73 untuk
kompilasi ini.
[32] Kanz al-Ummal, vol. 1, hal. 142 dan 155; terdapat banyak tradisi serupa dalam buku ini,
merujuk hal. 140-166.
[37][37] Hasil penelitian yang lebih apik dan mendetail seputar masalah ini dapat dijumpai
(diriwayatkan kedua mazhab besar Islam) dalam al-Wahdah al-Islamiyahfi al-Hadits al-
Mushtarakah, hal. 73-119.
[38] Alasan internal perpecahan adalah adanya perseteruan lama antara kaum Muhajirin dan
Anshar (dengan sebutan seperti orang-orang Mekah dan orang-orang Madinah, utara dan selatan,
qahthani dan udnani), antara bani Hasyim dan bani Umayyah, serta permusuhan sebelumnya
antara kelompok-kelompok internal Anshar (suku Aus dan Khazraj). Adapun alas an eksternal
perpecahan berupa rencana jahat kaum Yahudi dan munafikin yang berusaha memecah belah
kaum Muslim.
[40] Sunan ibn Majah, vol. 2, kitab al-Fitan, bab al-Ashabiyyah, hal. 1302, hadis ke-3948.
[41] Shahih Bukhari, vol. 3 dan 4, kitab al-Masaqat, hal. 235-237. Untuk informasi lebih jauh,
silahkan merujuk Majmueh Maqalat Pezhuhishi dar Sirah Nabawi, hal. 284 dan seterusnya.