Vous êtes sur la page 1sur 134

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI

DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA

OLEH
SHOLIHATI DIYAN TIMOR
H14103022

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

SHOLIHATI DIYAN TIMOR. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi dan Impor Jagung di Indonesia (dibimbing oleh YETI LIS
PURNAMADEWI).

Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan


(snack food), dan produk industri turunan berbasis jagung (integrated corn
industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras
tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia
bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan
pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan
merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia, keberadaanya diperlukan
untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang harus bersaing dengan
produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan
susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang berdaya saing tinggi di era globalisasi.
Produksi jagung Indonesia selama periode tahun 1985 2005 dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan yang disertai dengan peningkatan konsumsi
jagung terutama untuk industri. Namun, masih terbatasnya produksi jagung gigi
kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan
mengakibatkan impor jagung Indonesia pada kurun waktu tersebut juga
mengalami peningkatan secara fluktuatif. Sebagian besar jagung yang diimpor
berasal dari Cina, Amerika Serikat, dan Argentina.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perkembangan
produksi, konsumsi, dan impor jagung di Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia, dan (3) menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan data sekunder deret waktu periode tahun 1985 2005,
dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif dengan metode Two-Stages Least
Squares (2SLS). Model yang digunakan adalah model persamaan simultan dan
menggunakan alat bantu piranti lunak Microsoft Office 2003 dan E-Views 4.1.
Jagung lokal dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang
diproduksi, sedangkan jagung impor berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00
yaitu yellow maize atau corn.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi jagung di
Indonesia disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas
areal mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa,
disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada
musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena
sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan
benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih
terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama.
Meskipun secara nasional jumlah produksi jagung lebih besar
dibandingkan jumlah konsumsi jagung selama periode tahun 1985 2005, akan
tetapi impor jagung dari tahun ke tahun pada kurun waktu tersebut mengalami
peningkatan yang cukup tinggi. Hal tersebut karena industri pakan terus
mengalami perkembangan. Industri pakan sebagai konsumen jagung terbesar
membutuhkan bahan baku dari jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata). Di
satu sisi, jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia adalah jagung mutiara
(Zea mays indurata). Perbedaan jenis jagung inilah penyebab peningkatan impor
jagung. Peran pemerintah untuk melindungi petani jagung dalam negeri adalah
melalui tarif impor sebesar 5 10 persen dimana besarnya tarif yang diberlakukan
disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung Indonesia (musim panen atau tidak).
Hasil estimasi diperoleh pada taraf nyata lima persen. Untuk persamaan
luas areal panen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di
tingkat produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal
panen tahun sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel
produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil
jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun
sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal, sementara
variabel harga impor jagung dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya
berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Variabel nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung dan
harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor
jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata tetapi tidak
sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga kredit, nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.
Untuk mewujudkan peningkatan produksi jagung sekaligus menurunkan
impor jagung Indonesia adalah berupaya agar produksi jagung Indonesia lebih
kompetitif melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan
tercapai dengan memperbaiki sistem usaha tani jagung, seperti beralih
menggunakan benih varietas unggul (tipe jagung gigi kuda/Zea mays indentata),
penggunaan pupuk yang sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama dengan
pestisida, dan beralih ke lahan sawah beririgasi. Dengan demikian, impor akan
dapat diturunkan dan harga jagung di tingkat petani akan meningkat, sehingga
menggairahkan petani untuk lebih banyak menanam jagung. Kebijakan
pemerintah dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tarif impor
jagung, dan harga yang lebih berpihak kepada petani sangat dibutuhkan dalam
mewujudkan tujuan pertanian jagung Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI
DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA

Oleh

SHOLIHATI DIYAN TIMOR


H14103022

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,


Nama Mahasiswa : Sholihati Diyan Timor
Nomor Registrasi Pokok : H14103022
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi dan Impor Jagung di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing,

Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc


NIP. 131 967 243

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS


NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2008

Sholihati Diyan Timor


H14103022
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sholihati Diyan Timor lahir pada tanggal 22 April 1985
di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara, dari
pasangan Sholeh dengan Rohayati. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan
TK Kenanga V Solo kemudian dilanjutkan pendidikan SD Negeri Palur 07 Solo
sampai dengan kelas lima dan dilanjutkan di SD Negeri Cendono 04 Kudus
sampai dengan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Kudus dan lulus pada tahun 2000, selanjutnya tahun pertama sekolah
lanjutan atas penulis selesaikan di SMU Negeri 1 Sumber, Rembang dan
dilanjutkan di SMU Negeri 1 Tayu, Pati sampai dengan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan melanjutkan pendidikan
di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departeman Ilmu Ekonomi. Selama
menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif pada organisasi Sharia Economics Student
Club (SESC) pada Divisi Publikasi dan Informasi, Himpunan Profesi Ekonomi
Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada Departemen Research and Development,
dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Ilmiah (PKMI) yang berhasil
menjadi finalis di tingkat IPB dan juara III presentasi terbaik pada Pekan Ilmiah
Mahasiswa Nasional XVIII (PIMNAS XVIII) di Padang tahun 2005.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Taala


karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang berjudul
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di
Indonesia dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya:
1. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Sahara, SP, M.Si selaku Penguji Utama atas saran dan kritik yang telah
diberikan sehingga bermanfaat pada perbaikan skripsi ini.
3. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku Penguji dari Komisi Pendidikan.
4. Papa dan Mama yang telah penuh dengan doa dan kesabaran memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya.
5. De Cecep, De Fahni, dan De Fifi yang tanpa bosan menghibur penulis di
saat putus asa dan sedih.
6. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang penuh kesabaran
membantu penulis, baik pada saat seminar dan sidang.
7. Ibu Dewi Kartika selaku Kepala Bidang Tarif dan Non Tarif, Puslitbang
Departemen Perdagangan beserta staf (Mas Bagas Haryotejo, Bang Leo
Mualdy Christoffel, dan Mbak Aziza Rahmaniar Salam) yang telah
membantu dalam pengumpulan data.
8. Bang Charlos Mangunsong, Andina Oktariani, dan Rina Maryani yang
telah membantu dalam pengolahan data.
9. Deky Kurniawan yang telah menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian beserta teman-teman yang menjadi peserta pada seminar
tersebut.
10. Ika Sari Widayanti, Tirani Sakuntala Devi, dan Erni Dwi Lestari serta
teman-teman sau bimbingan skripsi penulis (Hany Larassati, Pritta
Amalia, dan Tuti Ratna Dewi) untuk saran dan kritik yang diberikan.
11. Conny, teman satu bumbingan skripsi sekaligus teman seperjuangan
penulis untuk kata SEMANGAT dan kebersamaan selama penyelesaian
skripsi ini.
12. Teman-teman Ilmu Ekonomi 40, Wisma Melati, Moshi-moshis Crew (Teh
Manal, Kak Zaqie, Kak Tulus, Ennie, Eva, Neneng, Dewi, dan Luluk), Teh
Ipah, Teh Itoh, Ceu Ani, Mbak Anna, dan Ndunk untuk motivasi yang
diberikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihak
yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

Sholihati Diyan Timor


H14103022
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................. 11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN............. 13
2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 13
2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga........................... 13
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional......................................... 21
2.1.3. Tarif..................................................................................... 25
2.1.4. Model Persamaan Simultan ................................................ 27
2.1.5. Penelitian Terdahulu ........................................................... 28
2.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 33
2.2.1. Fungsi Produksi................................................................... 33
2.2.2. Fungsi Impor ....................................................................... 40
2.2.3. Kerangka Pemikiran............................................................ 41
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 44
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 44
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................................... 44
3.3. Persamaan Model Ekonometrika .................................................... 45
3.3.1. Fungsi Produksi Jagung ...................................................... 45
3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung................................................... 46
3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung ............................................... 47
3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal ................................................ 48
3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia .......................................... 48
3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia ............................... 49
3.4. Hipotesis.......................................................................................... 51
3.5. Identifikasi Model ........................................................................... 52
3.6. Pengujian Model ............................................................................. 54
3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu.................................. 54
3.6.2. Uji Kesesuaian Model ......................................................... 55
3.6.3. Uji Multikolinearitas ........................................................... 56
3.6.4. Uji Autokorelasi .................................................................. 57
3.6.5. Uji Heteroskedastisitas........................................................ 58
3.7. Definisi Operasional ....................................................................... 59
IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG
DI INDONESIA..................................................................................... 62
4.1. Produksi Jagung di Indonesia ......................................................... 62
4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung ................ 62
4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung .................................................. 69
4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia ....................................................... 78
4.3. Impor Jagung di Indonesia .............................................................. 84
V. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI
DAN IMPOR JAGUNG ....................................................................... 91
5.1. Hasil Dugaan Model ....................................................................... 91
5.2. Dugaan Model Ekonometrika ......................................................... 93
5.2.1. Luas Areal Jagung............................................................... 93
5.2.2. Produktivitas Jagung ........................................................... 97
5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal ..................................................... 99
5.2.4. Impor Jagung Indonesia ...................................................... 103
5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia ........................................... 106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 111
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 111
6.2. Saran................................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 115
LAMPIRAN.................................................................................................... 119
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia
Tahun 1985 2005 ................................................................................. 3
1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun
1985 2005............................................................................................. 8
4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia
Tahun 2005 2007 ................................................................................. 63
4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas
Jagung di Indonesia Tahun 1985 2005 ................................................ 67
4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan .................................................... 75
4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 2005 ............. 79
4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia.................................................... 81
4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg).............................. 89
5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung
di Indonesia ............................................................................................. 93
5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia................ 97
5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di
Indonesia ................................................................................................. 100
5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................... 103
5.5. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia..................... 107
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1. Kurva Penawaran .......................................................................................13
2.2. Kurva Permintaan ......................................................................................19
2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional......................................................23
2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif.....................24
2.5. Fungsi Produksi..........................................................................................38
2.6. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................................43
3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan ...................................................50
4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia Tahun
2005 2007................................................................................................66
4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia
Tahun 2001 2005 ....................................................................................80
4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika ...............................................................84
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Pohon Industri Jagung........................................................................... 119
2. Produk Hasil Agroindustri Berbahan Baku Jagung .............................. 120
3. Data-data yang Digunakan dalam Penelitian ........................................ 121
4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung
di Indonesia ........................................................................................... 124
5. Uji Multikolinearitas Persamaan Luas Areal Panen Tanaman
Jagung di Indonesia............................................................................... 124
6. Uji Autokorelasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung
di Indonesia ........................................................................................... 124
7. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Luas Areal Tanaman Jagung
di Indonesia ........................................................................................... 124
8. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia.............. 125
9. Uji Multikolinearitas Persamaan Produktivitas Jagung di
Indonesia ............................................................................................... 125
10. Uji Autokorelasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia .......... 125
11. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Produktivitas Jagung di
Indonesia ............................................................................................... 125
12. Hasil Estimasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............... 126
13. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Jagung Lokal di
Indonesia ............................................................................................... 126
14. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia............ 126
15. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Jagung Lokal di
Indonesia ............................................................................................... 126
16. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................. 127
17. Uji Multikolinearitas Persamaan Jumlah Impor Jagung
Indonesia ............................................................................................... 127
18. Uji Autokorelasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............. 127
19. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Jumlah Impor Jagung
Indonesia ............................................................................................... 127
20. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia................... 128
21. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Impor Jagung
Indonesia ............................................................................................... 128
22. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Impor Jagung
Indonesia ............................................................................................... 128
23. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Impor Jagung
Indonesia ............................................................................................... 128
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jagung sebagai salah satu komoditas subsektor tanaman pangan pada

sektor pertanian memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian nasional.

Komoditi jagung mempunyai prospek yang cukup baik sebagai bahan pangan

maupun bahan baku industri. Seiring dengan perkembangan industri pakan,

industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis

jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat

kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor

pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan

industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1).

Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia (85,84 persen)

dibandingkan dengan industri snack food (6,44 persen) dan integrated corn

industry (7,73 persen). Kebutuhan jagung sebagai pakan ternak pada tahun 2007

mencapai kurang lebih 6,5 juta ton, dimana sebanyak empat juta ton digunakan

sebagai bahan baku pakan dan sisanya digunakan langsung oleh peternak

(Departemen Perindustrian, 2007).

Perkembangan industri pakan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan

industri peternakan yang selama ini harus bersaing dengan produk peternakan

impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami

peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein

hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya
saing tinggi di era globalisasi. Kandungan protein pada daging, telur, dan susu

lebih tinggi dibandingkan protein pada tahu. Jika harga protein telur Rp 75 per

gram sama dengan harga protein tahu per gramnya tetapi telur memiliki

kandnugan protein (12,5 persen) lebih besar dibandingkan tahu (7,5 persen),

sedangkan kandungan protein pada daging, khususnya daging ayam mencapai

18,5 persen dengan harga protein daging ayam Rp 85 per gram sedikit lebih mahal

dibandingkan dengan harga protein telur.

Rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk peternakan

menyebabkan konsumsi akan protein hewani juga relatif rendah. Konsumsi

daging masyarakat Indonesia tahun 2006 hanya sebesar 4,5 kg per kapita masih

rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,5 kg per kapita atau

Thailand 14 kg per kapita. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan Singapura dan

Malaysia, Indonesia sangat jauh tertinggal, karena konsumsi di kedua negara

tersebut berturut-turu telah mencapai 28 kg per kapita dan 38,5 kg per kapita

(Kompas, 2007). Oleh karena itu, ketersediaan jagung dalam negeri sangat

penting mendukung pertumbuhan industri peternakan agar dapat berproduksi

secara efisien sehingga harga produk peternakan terjangkau oleh masyarakat.

Sejak awal pertumbuhan industri peternakan dalam negeri pemerintah

terus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Hal ini terbukti

selama periode tahun 1985 2005 produksi jagung dalam negeri relatif meningkat

seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.1. Peningkatan produksi jagung tersebut

diupayakan melalui program Insus (Intensifikasi Khusus) yang berlanjut ke Supra

Insus berupa percepatan peningkatan produksi jagung hibrida dan komposit.


Kemudian program perluasan areal tanam/panen dan peningkatan Intensitas

Pertanaman (IP) di daerah-daerah penghasil jagung di Indonesia yang masih

terdapat potensi lahan cukup luas untuk pengembangan usaha tani jagung yang

mulai dirintis tahun 1996/1997. Tahun 2001 pemerintah mengadakan program

Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) diaktualisasikan

dalam Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN)

agar swasembada jagung dapat tercapai (Sumarno et al., 1998 dalam Sarasutha,

2002).

Tabel 1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia


Produksi Jagung Konsumsi Rumah Permintaan Industri
Tahun Indonesia (Ribu Ton) Tangga (Ribu Ton) (Ribu Ton)
1985 4.330 2.335,78 3.797,64
1986 5.920 1.974,96 5.193,08
1987 5.156 1.668,52 4.522,32
1988 6.652 1.603,10 5.834,75
1989 6.193 1.539,33 5.431,78
1990 6.734 1.450,80 5.906,78
1991 6.256 1.327,44 5.487,39
1992 7.995 1.211,73 7.013,25
1993 6.460 1.104,65 5.666,18
1994 6.869 893,55 6.025,07
1995 8.246 720,61 7.232,92
1996 9.307 584,06 8.164,04
1997 8.771 616,23 7.693,38
1998 10.169 650,04 8.920,20
1999 9.204 682,54 8.073,35
2000 9.677 728,37 8.488,13
2001 9.347 790,34 8.198,92
2002 9.585 863,29 8.407,76
2003 10.886 869,41 9.549,08
2004 11.225 877,37 9.846,26
2005 12.014 885,40 10.537,87
Rata-rata
pertumbuhan 6,20% -4,25% 6,21%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Pertumbuhan produksi jagung tersebut telah mampu mencukupi konsumsi

jagung secara nasional, bahkan dapat dikatakan surplus produksi karena terjadi

penurunan konsumsi di tingkat rumah tangga meskipun konsumsi untuk industri

meningkat, sehingga diperlukan terobosan teknologi pengolahan/penyajian

(product development) untuk meningkatkan kembali konsumsi jagung di tingkat

rumah tangga. Pada dasarnya terdapat perbedaan jenis jagung yang dikonsumsi

sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri, terutama industri pakan.

Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang

ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsisten),

sehingga hasilnya relatif rendah. Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung

mutiara (Zea mays indurata) yang umumnya berwarna putih. Jagung untuk bahan

baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan

sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju.

Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zea mays indentata)

yang umumnya berwarna kuning.

Mengingat industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di dalam

negeri dan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan belum banyak

diproduksi oleh petani jagung dalam negeri, maka kebutuhan jagung sebagai

bahan baku pakan sejauh ini dipenuhi melalui impor. Pemerintah akan

mengijinkan impor jagung selama kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan

belum mampu dipenuhi produksi jagung dalam negeri. Akibat masih terbatasnya

produksi jagung yang digunakan industri pakan perkembangan impor jagung

Indonesia relatif meningkat selama periode tahun 1985 2005 secara fluktuatif.
Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan

dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan

sebagai bahan baku industri pakan. Pemerintah tidak ingin memberatkan industri

pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya

produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga

produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani

jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani

jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya

insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent,

yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan

impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca

perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit.

Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan produksi jagung

Indonesia, terutama jagung gigi kuda (Zea mays indentata) perlu segera

ditingkatkan agar secara bertahap Indonesia mampu mengurangi bahkan

menghilangkan ketergantungan impor jagung. Faktor-faktor yang perlu

diperhatikan agar produksi jagung Indonesia dapat lebih ditingkatkan dan mampu

mencukupi konsumsi jagung, terutama industri pakan adalah berawal dari

perbaikan transparansi data produksi. Data produksi jagung Indonesia belum

dijelaskan apakah produksi jagung berupa jagung kering pipilan dengan kadar air

17 persen atau bentuk lain, seperti tanaman jagung, jagung sayur atau tongkol.

Data yang belum terspesifikasi sesuai dengan jenis jagung juga mempersulit

analisis konsumsi jagung sebagai bahan baku industri. Kemudian memperbaiki


variabel utama dalam penentuan produksi jagung, yaitu luas areal panen dan

produktivitas jagung. Peningkatan produksi jagung selama ini diduga dipengaruhi

oleh peningkatan produktivitas per hektar areal penanamannya, sedangkan jika

terjadi fluktuasi produksi antara lain karena mengikuti pola luas areal panen. Di

tahun 2005 produktivitas jagung Indonesia (3,43 ton per hektar) masih relatif

rendah dibandingkan dengan produktivitas jagung dunia (4,72 ton per hektar)

namun Indonesia masih berpotensi besar untuk meningkatkan produktivitas

jagung melalui perbaikan sistem usaha tani jagung.

Seiring dengan upaya peningkatan produksi melalui faktor-faktor di atas,

impor jagung Indonesia yang relatif meningkat dari tahun ke tahun meskipun

kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki kecenderungan

terdepresiasi juga perlu segera diatasi. Faktor utama penyebab terjadinya

peningkatan impor jagung Indonesia, selain jenis jagung gigi kuda (Zea mays

indentata) yang masih terbatas di Indonesia adalah tingkat harga jagung dunia

yang relatif selalu menurun karena ketersediaan jagung di pasar dunia selalu

melimpah akibat peningkatan ekspor jagung Amerika Serikat dan Cina. Faktor

lain yang menjadi pendorong para pengusaha pakan melakukan impor adalah

efisiensi, dimana pengusaha pakan hanya berurusan dengan seorang eksportir

jagung dari negara asal. Jika membeli jagung lokal pengusaha pakan harus

mengumpulkan jagung sedikit demi sedikit dari beberapa petani di berbagai

wilayah sebagai pasokan bahan baku dengan kualitas yang belum terstandarisasi

dan tidak kontinu setiap waktu. Tarif impor juga dianggap sebagai faktor penting
yang harus dianalisis secara tepat, sebab tarif impor diharapkan dapat membatasi

impor jagung ketika sedang dalam musim panen.

Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor komoditi

jagung di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu kajian atau penelitian yang

membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor

jagung Indonesia sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting

dalam produksi dan impor jagung sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang

seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri dan

mengurangi impor jagung ke Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Produksi jagung Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun selama periode tahun 1985 2005 ternyata disertai dengan peningkatan

konsumsi jagung terutama untuk industri. Jumlah produksi jagung yang lebih

besar dibandingkan dengan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tidak pernah

terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi jagung secara nasional. Akan

tetapi, selama kurun waktu tersebut impor jagung Indonesia memiliki

kecenderungan meningkat secara fluktuatif. Perbedaan jenis jagung yang banyak

diproduksi di Indonesia dengan jenis jagung yang diimpor merupakan penyebab

utama peningkatan impor meskipun Indonesia dapat dikatakan telah surplus

produksi. Produksi jagung lokal Indonesia yang umumnya tipe jagung mutiara

(Zea mays indurata) hanya enak dikonsumsi langsung sebagai campuran beras

dan tidak cocok digunakan sebagai bahan baku pakan.


Upaya untuk mengatasi kekurangan jagung gigi kuda (Zea mays

indentata) sebagai akibat tingginya konsumsi jagung sebagai bahan baku industri

pakan, pemerintah Indonesia mengijinkan para pengusaha pakan untuk

mengimpor jagung yang setiap tahunnya meningkat dan bahkan mulai tahun

1990-an status Indonesia telah berubah menjadi negara net importir jagung (Tabel

1.2) (Kasryno, 2002 dalam Kariyasa dan Sinaga, 2004). Hal tersebut telah

berdampak positif pada pengembangan sumber pendapatan dan lapangan kerja

yang luas bagi peternakan rakyat. Jika sejak awal perkembangan industri pakan

dan peternakan disertai dengan antisipasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan

jagung maka ketergantungan pada impor jagung tidak akan terjadi.

Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun


1985 2005
Tahun Ekspor Impor
1985 3.542 49.863
1986 4.433 57.369
1987 4.680 220.998
1988 37.454 63.454
1989 232.093 33.340
1990 136.641 515
1991 30.742 323.176
1992 136.523 55.498
1993 52.088 494.446
1994 34.091 1.109.253
1995 74.880 969.145
1996 26.830 616.942
1997 18.957 1.098.354
1998 632.515 313.463
1999 96.647 618.060
2000 28.066 1.264.575
2001 90.474 1.035.797
2002 16.306 1.154.063
2003 33.691 1.345.452
2004 32.679 1.088.928
2005 62.748 234.706
Rata-rata pertumbuhan 241,14% 3182%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Sebelum tahun 1980 penggunaan jagung di Indonesia hanya sebatas untuk

kebutuhan konsumsi langsung oleh sekelompok masyarakat di daerah-daerah

tertentu. Pada tahun 1980 sekitar 94 persen penggunaan jagung untuk memenuhi

konsumsi langsung dan hanya sekitar enam persen untuk industri pakan. Selama

periode 1980 2002 penggunaan jagung masih didominasi untuk kebutuhan

konsumsi langsung tetapi pangsanya relatif menurun. Sejak tahun 2003 pangsa

penggunaan jagung untuk kebutuhan konsumsi langsung relatif lebih kecil

dibandingkan untuk penggunaan industri pakan. Selama periode 2000 2004

penggunaan jagung untuk konsumsi langsung menurun dengan laju sekitar dua

persen per tahun, sementara penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri

pangan meningkat masing-masing sebesar 5,76 persen per tahun dan tiga persen

per tahun (Departemen Pertanian, 2005).

Konsumsi jagung oleh negara berkembang relatif meningkat karena pola

konsumsi terhadap produk peternakan cenderung meningkat akibat pertumbuhan

ekonomi, pertambahan penduduk dan urbanisasi. Pasandaran dan Kasryno (2003)

menjelaskan bahwa peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku pakan di

negara-negara berkembang dihadapkan pada permasalahan lambannya

peningkatan produksi jagung dalam negeri di negara masing-masing.

Perkembangan perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan defisit dan mencapai puncaknya pada tahun 2003,

yaitu sebesar 1,31 juta ton atau setara 163,41 juta US$ (Tabel 1.2). Hal ini

disebabkan karena penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan

di dalam negeri meningkat cukup tajam selama periode 1990 2001 dengan laju
sekitar 11,81 persen per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan industri pakan

terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40,29 persen. Pada tahun 2000

penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47,04 persen,

sementara 52,96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri.

Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi oleh

pertanian jagung Indonesia, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan

dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas,

maka tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di

Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di

Indonesia.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh

stakeholder dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produksi jagung

Indonesia dan mengurangi bahkan menghapus ketergantungan impor jagung.

Adapun stakeholder yang terkait dalam hal ini diantaranya mencakup tiga pihak,

yaitu pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi (produsen dan


konsumen jagung), dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai data dasar

(bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian terhadap sistem pertanian jagung nasional

dimana selalu terjadi kesenjangan dari waktu ke waktu. Permasalahan produksi

jagung di Indonesia yang dianalisis dalam penelitian ini tidak dibedakan

berdasarkan jenis jagung yang diproduksi (jagung lokal, jagung hibrida atau

jagung komposit) oleh petani jagung di Indonesia sehingga data produksi yang

digunakan adalah data produksi jagung nasional. Analisis impor jagung Indonesia

dalam penelitian ini didasarkan pada kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow

maize atau corn dan tidak dibedakan berdasarkan negara asal impor. Berdasarkan

pola data historis produksi dan impor jagung Indonesia dari tahun 1985 2005

dapat disimpulkan apakah terjadi kecenderungan meningkat atau menurun.

Adapun keterbatasan dari penelitian ini dimana tujuan dan penelitian dapat

dicapai dengan menggunakan data historis yang ada, antara lain:

1. Data yang digunakan adalah data tahunan, sehingga model persamaan

yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi semesteran, bulanan,

mingguan atau bahkan harian.

2. Terdapat beberapa faktor yaitu data curah hujan rata-rata di Indonesia;

jumlah penggunaan pupuk rata-rata di Indonesia; intensifikasi luas lahan

kering, sawah, dan pasang surut; harga benih jagung lokal, hibrida, dan

komposit yang dapat mewakili harga faktor produksi selain harga pupuk
urea yang diduga berpengaruh dalam menganalisis produktivitas jagung di

Indonesia.

3. Data produksi, luas areal panen, produktivitas, konsumsi, dan harga

jagung tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang terdapat di

Indonesia.

4. Data impor jagung berupa volume dan nilai impor jagung Indonesia yang

digunakan tidak dibedakan berdasarkan jenis-jenis jagung yang diimpor

dan negara asal impor jagung baik oleh perusahaan pakan maupun

importir, sehingga data impor yang digunakan hanya berdasarkan kode HS

Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.


II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga

Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa dalam lingkup

ekonomi merupakan jumlah suatu barang atau jasa (komoditi) yang rela dan

mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan pada tingkat

harga tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Penawaran dalam pertanian

merupakan banyaknya komoditas pertanian yang disediakan atau ditawarkan oleh

berbagai produsen di suatu daerah. Hubungan yang terjadi antara harga dan

jumlah yang ditawarkan adalah positif, yaitu semakin tinggi harga suatu komoditi

(dari 0P1 ke 0P2), semakin banyak jumlah komoditi yang ditawarkan produsen

(dari 0Q1 ke 0Q2) (Gambar 2.1).

Harga barang

Kurva Penawaran

P2

P1

0 Q1 Q2 Jumlah barang

Gambar 2.1. Kurva Penawaran

Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi semakin sedikit jumlah

komoditi yang ditawarkan. Soekartawi (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran produk

pertanian meliputi teknologi, harga input, harga produk yang lain, jumlah

produsen, harapan konsumen, dan elastisitas produksi.

Asumsi yang digunakan dalam teori penawaran ini adalah ceteris paribus,

yaitu keadaan dimana faktor-faktor lain dianggap tetap. Misalnya, apabila harga

komoditi itu sendiri naik, diasumsikan ceteris paribus berarti faktor-faktor selain

harga komoditi itu sendiri tidak mengalami perubahan (Lipsey, 1995). Jumlah

produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu

dan inventory (persediaan) dari periode-periode sebelumnya.

Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

suatu komoditi secara matematis dapat dituliskan dengan fungsi sebagai berikut:

QSK=f(PK, PS, PI, G, T, TX) .............................................................................. (2.1)

dimana:

QSK = Penawaran komoditi

PK = Harga komoditi itu sendiri

PS = Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer)

PI = Harga faktor produksi

G = Tujuan perusahaan

T = Tingkat penggunaan teknologi

TX = Pajak dan subsidi

Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara

langsung adalah:
1. Harga komoditi itu sendiri.

Dalam keadaan ceteris paribus, harga komoditi itu sendiri mempunyai

hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang ditawarkan. Tingkat

harga yang tinggi pada komoditi tersebut akan membuat produsen

menambah produksinya sehingga penawaran meningkat. Hal ini karena

peningkatan harga akan meningkatkan keuntungan produsen. Sebaliknya

jika harga komoditi tersebut menurun, minat produsen untuk berproduksi

akan berkurang sehingga penawaran akan turun. Dengan demikian,

perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang

kurva penawaran.

2. Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer).

Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi

pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Komoditi lain, baik

substitusi maupun komplementer juga mempengaruhi komoditi yang

bersangkutan. Peningkatan harga barang sustitusi akan menyebabkan

penurunan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sebaliknya,

penurunan harga barang substitusi akan meningkatkan penawaran

komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer,

kenaikan harganya akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi

yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang

komplementer akan berakibat turunnya penawaran komoditi yang

bersangkutan.
3. Harga faktor-faktor produksi.

Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh

perusahaan. Faktor-faktor produksi seperti mesin, tenaga kerja, dan bahan

baku akan mempengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan. Semakin

tinggi harga faktor-faktor produksi, maka keuntungan yang diperoleh

produsen berkurang, sehingga insentif produsen untuk berproduksi juga

berkurang. Jadi, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menurunkan

jumlah komoditi yang diproduksi dan ditawarkan.

4. Tujuan perusahaan.

Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa yang menjadi

tujuan perusahaan. Teori dasar ilmu ekonomi menyatakan bahwa tujuan

perusahaan adalah memaksimumkan laba. Akan tetapi, terdapat juga

perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba. Perusahaan

seperti itu dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa

terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.

5. Tingkat penggunaan teknologi.

Kunci utama dari penawaran suatu komoditi adalah teknologi. Teknologi

mengacu kepada bagaimana input diproses menjadi output. Apabila

teknologi yang digunakan dapat mempercepat proses produksi atau

mengurangi biaya produksi, maka keuntungan dan insentif produsen untuk

berproduksi akan meningkat. Akibatnya jumlah komoditi yang ditawarkan

akan meningkat. Jadi teknologi yang digunakan berkolerasi positif

terhadap penawaran suatu komoditi.


6. Pajak dan subsidi.

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan

mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi

insentif untuk berproduksi. Maka, penawaran komoditi tersebut akan

berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos

produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi

tersebut akan meningkat.

Asumsi ceteris paribus digunakan dalam pasar persaingan sempurna, dimana

perubahan semua faktor kecuali harga komoditi yang bersangkutan dapat

menyebabkan pergeseran kurva penawaran yang berarti peningkatan dalam

penawaran akan berakibat turunnya harga komoditi tersebut, dan sebaliknya.

Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli

oleh konsumen selama periode tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey,

1995). Dalam teori ekonomi mikro untuk mempelajari perilaku konsumen atau

masyarakat dalam mengonsumsi barang dan jasa dapat digunakan dua

pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal. Menurut

Sudarisman dan Algifari (1999) dalam Rahim dan Hastuti (2007), pendekatan

kardinal menganggap seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan

jasa selalu berusaha memperoleh kepuasan total yang maksimum dari barang dan

jasa yang dikonsumsi. Sedangkan pendekatan ordinal adalah kepuasan konsumen

dapat diukur secara kondirol (absolut), tetapi kepuasannya hanya mungkin dapat

diukur dengan angka ordinal (relatif). Iswardono (1994) juga menjelaskan faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan secara sistematis dapat dituliskan sebagai

berikut:

QDK=f(PK, PS, I, S, PD) .................................................................................... (2.2)

dimana:

QDK = Permintaan komoditi

PK = Harga komoditi itu sendiri

PS = Harga komoditi lain

I = Pendapatan

S = Selera

PD = Populasi penduduk

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu komoditi secara

langsung adalah:

1. Harga komoditi itu sendiri.

Dengan asumsi ceteris paribus, peningkatan harga komoditi yang

bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan penurunan harga

komoditi yang bersangkutan akan meningkatkan permintaannya.

Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan

yang negatif.

2. Harga komoditi lain.

Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas

komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi

substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang

bersangkutan, dan permintaan barang yang bersangkutan akan mennurun


jika harga komoditi substitusi turun. Sedangkan perubahan harga barang

komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan

secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin

rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.

3. Pendapatan.

Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk

komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.

4. Selera.

Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.

Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan

meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.

5. Populasi penduduk.

Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu

komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka

semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.

Harga barang

P2

P1

Kurva Permintaan

0 Q2 Q1 Jumlah barang

Gambar 2.2. Kurva Permintaan


Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah negatif.

Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang, maka

yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang. Kemudian

ketika harga barang diturunkan konsumen akan bersedia membeli lebih banyak

barang sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat (Gambar 2.2).

Permintaan suatu komoditas pertanian adalah banyaknya komoditas

pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 1999 dalam

Rahim dan Hastuti, 2007). Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan

keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan

diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen)

berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan

peternak).

Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan

permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya

yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdayanya

(Sunaryo, 2001). Perpotongan kurva penawaran dengan kurva permintaan suatu

komoditi dalam suatu pasar menentukan harga pasar komoditi tersebut, dimana

jumlah komoditi yang diminta sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan.

Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi kekuatan

penawaran dan permintaan kmoditi di pasar (Nicholson, 1995).

Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi

informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk
memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang

menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson, 1995).

Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan

turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga

produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah.

Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika

penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas

komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson,

1995).

2.1.2. Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional menganalisis dasar-dasar terjadinya

perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh suatu negara dari

pelaksanaan perdagangan internasional tersebut. Pada dasarnya perdagangan

internasional bertujuan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor dan

memperbesar penerimaan devisa sebagai penyediaan dana pembangunan bagi

negara yang bersangkutan. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa para aliran

Merkantilisme berpendapat satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi

kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit

mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam

aliran emas lantakan, atau logam mulia, khususnya emas dan perak. Kaum

Merkantilisme mengukur kekayaan sebuah negara dengan stok (cadangan) logam

mulia yang dimilikinya.


Lain halnya dengan Adam Smith yang berpendapat bahwa perdagangan

antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika

sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap)

negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien

dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam

memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh

keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam

memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya

dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. David Ricardo berpendapat

meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut

terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap

terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah

pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan

mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan

komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang

memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian absolut).

Pada umumnya model perdagangan internasional didasarkan pada empat

hubungan inti, antara lain sebagai berikut:

1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva

penawaran relatif.

2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.

3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan

permintaan relatif dunia.


4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade),

yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya,

terhadap kesejahteraan suatu negara.

Px/Py Px/Py Px/Py

Sx S(Ekspor) Sx

P3 A P3 A
Eks-
por
P2 B E B B E
Im-
A D(Impor) por
P1 A

Dx
x1 X x X x2 X
Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3
(Negara 1) (Negara 2) (Negara 3)

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional

Keterangan gambar:

Kurva 1: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 1 (x1).

Kurva 2: Menggambarkan perdagangan internasional komoditi X negara 1 dan 2

(x).

Kurva 3: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 2 (x2).

Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga

relatif komoditi X (Px/Py) sebesar P1 sebanyak x1, sedangkan negara 2 akan

berproduksi dan berkonsumsi di titik A pada harga relatif komoditi X di P3

sebanyak x2. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara


tersebut, harga relatif komoditi X akan berada di antara P1 dan P2. Apabila harga

relatif yang berlaku di negara 1 lebih besar dari P1, maka negara 1 akan memasok

lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Kelebihan

produksi tersebut akan diekspor ke negara 2. Di lain pihak, jika harga relatif yang

berlaku di negara 2 lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami

peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan akan melebihi penawaran

domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor komoditi X dari

negara 1.

Px

Dx Sx

E
P2 G J H
RE
T
P1 A C M N B

X
RE = Revenue Effect

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif

Kurva pada Gambar 2.4 menunjukkan dampak diberlakukannya tarif

impor di suatu negara. Sebelum adanya tarif impor harga komoditi berada pada P1

dengan konsumsi dan produksi domestik masing-masing berada di D1 (AB) dan

S1 (AC), sehingga harus melakukan impor komoditi X sebesar CB dari negara

lain. Jika negara tersebut memberlakukan tarif impor sebesar T, maka harga akan

melonjak menjadi P2. Akibat kenaikan harga tersebut maka konsumen akan
menurunkan konsumsinya menjadi D2 (AN), dan produksi meningkat menjadi S2

(AM), sehingga impor turun menjadi sebesar MN. Dengan demikian maka

dampak adanya tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, yaitu sebesar

BN. Sementara itu dampak terhadap produksi domestik bersifat positif, yaitu

meningkatkan produksi sebesar CM. Secara keseluruhan, pemberlakuan tarif

memberi pemasukan terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of the

tariff) sebesar banyaknya tarif (T) dikali banyaknya komoditi X yang diimpor

setelah tarif (MN), yaitu sebesar MNHJ.

2.1.3. Tarif

Tarif adalah pajak produk internasional (impor) di pasar domestik

(Sunaryo, 2001). Sedangkan, menurut Smith dan Blakslee (1995) yang dimaksud

tarif adalah bea masuk (atau pajak) yang dikenakan terhadap barang yang

diangkut dari satu wilayah pabean ke wilayah pabean lain, baik dengan tujuan

untuk melindungi atau untuk memperoleh penghasilan. Tarif menyebabkan harga

suatu barang impor lebih tinggi, sehingga membuat barang tersebut secara umum

kurang dapat bersaing di pasar negara pengimpor, kecuali jika negara pengimpor

tersebut tidak menghasilkan barang yang dikenai tarif tersebut. Kebijakan

pemerintah dalam menentukan dan memberlakukan tarif atas suatu komoditi

impor bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.

Hady (2004) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, sistem (cara

pemungutan) tarif bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:


1. Ad Valorem Tariff

Besarnya pungutan tarif atas barang impor ditentukan oleh tingkat

persentase tarif dikalikan harga dari barang tersebut. Sistem ini

memberikan keuntungan sebagai berikut:

1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga (inflasi).

2. Terdapat diferensiasi harga produk sesuai kualitasnya.

Sedangkan kerugian dari sistem ini antara lain:

1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,

khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga

barang yang lengkap.

2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk

perhitungan bea masuk antara importir dan bea cukai sehingga dapat

menimbulkan stagnasi (kemacetan) arus barang di pelabuhan.

2. Specific Tariff

Pungutan tarif ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang

impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991.

Keuntungan yang diperoleh jika menetapkan sistem ini antara lain:

1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang

sesuai kualitasnya.

2. Dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri dalam negeri.

Adapun kerugian dalam penetapan sistem ini adalah sebagai berikut:

1. Pengenaan tarif dirasakan kurang atau tidak adil karena tidak

membedakan harga atau kualitas barang.


2. Hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi yang bersifat

statis.

3. Compound Tariff

Pungutan tarif ini merupakan perpaduan antara sistem ad valorem dan

specific tariff.

2.1.4. Model Persamaan Simultan

Model empirik yang baik dalam menjelaskan fenomena ekonomi adalah

model yang dibuat sebagai suatu persepsi mengenai fenomena ekonomi aktual dan

didasarkan pada teori ekonomika. Ada beberapa model empirik yang dianggap

paling baik dalam kerangka model persamaan tunggal, yaitu model empirik

dengan pendekatan koreksi kesalahan atau sering disebut error correction method

(ECM) (Insukindro dan Aliman, 1999 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Akan

tetapi model koreksi kesalahan mempunyai kelemahan yang paling berbahaya

dalam model koreksi kesalahan, yaitu kemungkinan terjadinya overparameterisasi

(Breusch dan Wickens, 1998 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).

Pada banyak penelitian, terkadang peneliti dihadapkan pada fenomena

ekonomi aktual yang saling mempengaruhi antara variabel ekonomi yang satu

dengan yang lain dan telah disepakati sebagai suatu teori ekonomika. Hal ini biasa

disebut dalam teori ekonometrika sebagai model persamaan simultan

(simultaneous-equation models). Berbeda dengan model regresi persamaan

tunggal dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah

fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga

hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan
hubungan satu arah (variabel bebas merupakan penyebab dan variabel terikat

merupakan akibat). Model persamaan simultan merupakan suatu model dimana

sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan

ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut,

misalnya variabel terikat (Y) tidak hanya merupakan fungsi dari variabel bebas

(X) atau (Y)=f(X) akan tetapi X=f(Y) (Sprout dan Weaver, 1993 dalam Pasaribu

dan Saleh, 2001).

Di dalam model persamaan simultan tidak mungkin menaksir hanya satu

persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lainnya,

kecuali jika dibuat asumsi khusus. Perbedaannya dengan metode penaksiran

parameter dengan ordinary least squares (OLS) adalah pada metode ini dari setiap

persamaan satu per satu diterapkan tanpa memperhatikan kaitannya dengan

persamaan-persamaan lain, maka hasil penaksiran yang diperoleh tidak saja bias

tetapi juga tidak konsisten. Artinya jika jumlah sampel ditambah sampai tak

terhingga, penaksiran tidak akan mendekati atau tidak menggambarkan nilai

parameter yang sesungguhnya (Pasaribu dan Saleh, 2001).

2.1.5. Penelitian Terdahulu

Subandi (1998) dalam Nugraha, et al. (2003) menjelaskan bahwa

rendahnya rata-rata hasil produksi jagung nasional disebabkan oleh interaksi dari

beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Lahan. Sekitar 89 persen jagung dibudidayakan pada lahan sawah tadah

hujan dan tegalan dengan curah hujan yang tidak menentu, sehingga sering
mengalami kekeringan atau tergenang, serta pada tanah-tanah yang

umumnya memiliki kesuburan rendah, pH basa atau masam.

2. Petani. Petani jagung umumnya memiliki sumber daya yang terbatas,

lahan sempit dan terpencar dan banyak di antaranya terletak di daerah

terpencil dengan fasilitas komunikasi serta akses terhadap masukan yang

terbatas. Hal ini menyebabkan rendahnya adopsi teknologi baru.

3. Teknik budidaya yang diterapkan petani. Banyak petani yang mungkin

dianggap telah mengadopsi teknologi baru, namun kebanyakan mereka

masih menerapkan sebagian atau seluruh teknik budidaya tradisional

dengan masukan rendah, seperti mutu benih rendah, varietas lokal berdaya

hasil rendah, tanpa atau dengan pupuk takaran rendah, tanpa perlindungan

hama dan penyakit, dan populasi tanaman tidak memadai. Karena

kemampuan investasi dan daya tarik harga produk yang rendah, petani

menganggap bahwa teknologi baru, terutama hibrida, merupakan teknologi

yang mahal.

4. Penanganan pasca panen. Sekitar 69 persen jagung dipanen pada musim

hujan dan pengeringan sangat tergantung pada sinar matahari dan lantai

jemur. Kadar air jagung setelah penjemuran biasanya hanya mencapai 16

18 persen walaupun pada musim kemarau. Kontaminasi aflatoksin

terutama pada musim hujan dapat menurunkan mutu biji jagung yang

dihasilkan.

5. Harga. Di tingkat petani, harga jagung beragam tergantung pada daerah,

dengan kisaran 35 64 persen dari harga di pasar kabupaten. Harga yang


lebih rendah di tingkat petani biasanya terjadi di daerah-daerah terpencil.

Fluktuasi daya serap pasar dengan harga produk yang rendah ini kurang

memacu petani untuk mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara

pengusaha pakan dan petani dalam produksi dan pemasaran jagung telah

terjalin akhir-akhir ini, namun komitmen dalam pelaksanaan hal-hal yang

telah disepakati masih perlu ditingkatkan.

6. Dukungan pemerintah. Berbagai dukungan telah diberikan oleh

pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung domestik, seperti

penelitian pengembangan varietas, penyuluhan, produksi benih, kredit,

kebijakan harga dan pemasaran jagung, namun dukungan yang lebih

efektif masih diperlukan.

Pasandaran dan Kasryno (2003) melakukan penelitian di sentra utama

produksi jagung di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian

dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi jagung di enam propinsi sentra produksi

jagung berbeda-beda. Di Sumatera Utara produksi jagung lebih diorientasikan

untuk komersiil (dijual), sedangkan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi

Selatan digunakan untuk bahan pangan pokok, dan di Jawa Tengah dan Jawa

Timur untuk bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Namun, tujuan

tersebut mengalami pergeseran pangsa setelah pabrik pakan mulai berkembang,

produksi jagung lebih diorientasikan sebagai bahan baku pakan. Perubahan lain

yang terjadi adalah pergeseran penanaman jagung dari lahan kering ke lahan
beririgasi, yang ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas, di samping

karena penggunaan hibrida.

Kasryno (2003) menganalisis perkembangan produksi jagung di Indonesia,

yang ternyata produktivitas menjadi faktor utama peningkatan produksi jagung,

meskipun luas panen jagung relatif tidak banyak mengalami perubahan.

Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan adopsi teknologi baru,

berupa varietas jagung unggul baru. Peningkatan produktivitas jagung akan

meningkatkan insentif petani untuk menanam jagung sehingga produksi akan

meningkat.

Rachman (2003) menganalisis kebijakan perdagangan jagung domestik

dalam penelitiannya yang berjudul Perdagangan Internasional Komoditas Jagung,

dapat disimpulkan bahwa penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai

dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai

langkah antisipatif terhadap penurunan harag jagung di pasar internasional dan

untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas.

Situmorang (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi dan impor beras Indonesia menggunakan model persamaan simultan

dengan metode Two Stage Least Squares. Sebagai komoditi yang juga termasuk

dalam lingkup ketahanan pangan, ternyata produksi beras dipengaruhi oleh luas

arel panen tanaman padi, produktivitas padi, dan kebijakan harga dasar gabah.

Sedangkan dalam hal impor beras dipengaruhi harga impor beras, dimana harga

impor beras dipengaruhi oleh harga beras dunia dan harga impor tahun

sebelumnya.
Aldillah (2006) mencoba meramalkan permintaan dan penawaran jagung

nasional dengan menggunakan model ARIMA. Dari hasil peramalannya

menunjukkan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawarannya, sehingga

kondisi neraca jagung nasional selalu defisit hingga tahun 2015. Rendahnya

produksi jagung penyebab kecenderungan kecilnya pertumbuhan penawaran

jagung.

Purnamasari (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi dan impor kedelai di Indonesia, menggunakan metode Two Stage Least

Squares (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 6.12. Dari hasil

estimasi model secara keseluruhan hasil analisis yang diperoleh, luas areal panen

kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai domestik, harga jagung, dan

lag luas areal panen kedelai. Dalam jangka panjang luas areal panen kedelai

responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan perubahan harga

jagung. Produktivitas kedelai dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, harga riil

jagung, dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang

berpengaruh nyata terhadap harga kedelai domestik adalah harga riil kedelai di

tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil

kedelai domestik tahun sebelumnya. Harga kedelai di tingkat produsen

dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai,

jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun

sebelumnya. Jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai

internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi

kedelai.
Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai

impor Indonesia adalah harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil

kedelai impor tahun sebelumnya. Dalam hal intervensi pemerintah, hasil analisis

menunjukkan bahwa monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil

kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia

masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga

internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, mengupayakan agar petani

kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis

berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya dari pengusaha terkait.

2.2. Kerangka Pemikiran

2.2.1. Fungsi Produksi

Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang

maupun jasa (Lipsey, 1993). Produksi komoditas pertanian merupakan hasil

proses dari lahan pertanian dalam arti luas berupa komoditas pertanian (pangan,

hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan) dengan berbagai

pengaruh faktor-faktor produksi dan faktor-faktor hasil tangkapan (perahu, alat

tangkap, nelayan, jumlah trip, operasional dan musim) (Rahim dan Hastuti, 2007).

Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Riset-riset

yang telah dilakukan tidak hanya berperan dalam pengembangan kualitas input

melainkan juga mempengaruhi pemakaian dan kombinasi penggunaan input-input

tersebut. Proses produksi dalam rangka menghasilkan berbagai output seperti


yang diinginkan membutuhkan bermacam-macam input dengan kombinasi

tertentu yang berbeda-beda.

Fungsi yang digunakan untuk menjelaskan kombinasi input-input yang

diperlukan untuk menghasilkan output dalam produksi, para ekonom

menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah

hubungan fungsi yang memperlihatkan jumlah maksimum yang dapat diproduksi

oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input (Lipsey, 1993). Nicholson

(2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum

sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif

antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Salah satu fungsi produksi yang telah

populer digunakan untuk menjelaskan hubungan produksi dalam sektor pertanian

adalah fungsi produksi neoklasik (Debertin, 1986). Di dalam fungsi produksi

neoklasik dijelaskan bahwa peningkatan penggunaan input akan meningkatkan

produktivitas input tersebut. Kemudian produktivitas fisik marjinal (marginal

physical productivity) menjelaskan seberapa banyak tambahan output yang

dihasilkan melalui penambahan satu atau lebih input pada proses produksi dengan

menganggap input-input lainnya tidak berubah (konstan).

Fungsi produksi dapat dibuat dalam bentuk persamaan secara matematis

atau digambarkan secara grafis untuk menjelaskan bahwa setiap pelaku ekonomi

mempunyai tujuan masing-masing dalam proses kegiatan ekonominya, misalnya

seorang petani mengkombinasikan tenaga mereka dengan bibit, tanah, hujan,

pupuk dan peralatan mesin untuk memperoleh hasil panen. Produk pertanian yang
menggunakan sejumlah input tertentu, fungsi produksi secara matematis dapat

dituliskan sebagai berikut:

Y=f(X1,X2,X3,...,Xn)......................................................................................... (2.3)

dimana Y adalah output yang dihasilkan dan X1, ..., Xn adalah input yang

digunakan dalam proses produksi. Simbol fungsi f menunjukkan suatu bentuk

hubungan yang mengubah input menjadi output. Faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi komoditas pertanian dapat berupa:

1. Lahan Pertanian.

Lahan pertanian merupakan faktor utama penentu produksi komoditas

pertanian. Secara umum dinyatakan bahwa semakin luas lahan (yang

diolah/ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan dari

lahan tersebut.

2. Tenaga Kerja.

Tenaga kerja dalam hal ini yang dimaksud adalah petani. Petani harus

mempunyai kualitas berpikir yang maju agar dapat mengadopsi inovasi-

inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian

komoditas yang bernilai jual tinggi.

3. Modal.

Setiap kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan dibutuhkan modal terlebih

lagi dalam kegiatan proses produksi. Dalam kegiatan proses produksi

modal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan

modal tidak tetap (variable cost). Modal tetap terdiri dari tanah, bangunan,

mesin dan peralatan dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan modal tidak tetap

terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan upah yang dibayarkan kepada

tenaga kerja.

4. Pupuk.

Tanaman tidak hanya membutuhkan air sebagai konsumsi pokoknya tetapi

juga pupuk agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sutejo

(2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007) menjelaskan bahwa pupuk yang

sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk

organik atau pupuk alam merupakan hasil akhir dari perubahan atau

penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa tanaman atau binatang, misalnya

pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, bungkil, guano dan tepung tulang.

Sedangkan pupuk anorganik atau pupuk buatan merupakan hasil industri

atau hasil pabrik-pabrik pembuat pupuk, misalnya pupuk urea, TSP dan

KCL.

5. Pestisida.

Pestisida dibutuhkan ranaman untuk mencegah serta membasmi hama dan

penyakit yang menyerang tanaman tersebut.

6. Bibit.

Keunggulan suatu komoditas tanaman ditentukan dari bibit tanaman

tersbut berasal. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit dan

hasil komoditasnya berkualitas tinggi sehingga harganya dapat bersaing di

pasar.
7. Teknologi.

Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap

tanaman dan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.

8. Manajemen.

Peranan manajemen dalam usahatani modern menjadi sangat penting

dalam mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan

(planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan

evaluasi (evaluation).

Fungsi produksi yang digambarkan secara grafis dapar dilihat pada

Gambar 2.1. Kurva produksi akan bergerak ke atas atau meningkat pada tingkat

awal penambahan penggunaan input (x1) yang berarti akan menambah jumlah

hasil produksi. Titik A menggambarkan kondisi dimana penambahan input

tersebut menghasilkan tambahan hasil produksi yang maksimal. Kemudian pada

saat berada di Titik B kondisi yang terjadi menurunnya hasil produksi meski

penambahan penggunaan input tetap dilakukan, hal ini menunjukkan terjadinya

tambahan hasil yang menurun. Selanjutnya kurva akan mencapai titik maksimum,

yaitu pada Titik C dan mulai bergerak ke bawah atau menurun yang berarti setelah

melewati titik maksimum penambahan penggunaan input tidak akan menambah

hasil produksi. Kondisi ini terjadi misalnya ketika petani menggunakan pupuk

anorganik secara berlebihan pada lahan yang sama dengan jenis tanaman yang

sama secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Sehingga berakibat pada

kerusakan keseimbangan alami tanah dan produktivitas lahan tersebut semakin

berkurang.
TP 450

C
B
TP

x1 x2 x3 x (input)
MP,AP

AP

x1 x2 x3 x (input)
Biaya (Rp) MP

MC
SATC
SAVC

SAFC

SAFC
y1 y2 y3 y (output)

Harga (Rp)

Kurva Penawaran
Jangka Pendek

p3

p2

y (output)
Sumber: Debertin, 1986 dan Nicholson, 2002

Gambar 2.5. Fungsi Produksi


Keterangan gambar:

A : Titik balik kurva produksi C: Kondisi saat TP maksimum

B dan E: Kondisi saat AP maksimum D: Kondisi saat MP maksimum

Penambahan suatu input dalam proses produksi awalnya akan

menyebabkan kenaikan output secara signifikan, ceteris paribus. Tetapi perolehan

manfaat dari penambahan input tersebut akan semakin menurun ketika input

tersebut semakin banyak ditambahkan. Hal ini mencerminkan prinsip ekonomi

mengenai produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal

production). Selain memperhitungkan masalah penambahan suatu input terhadap

peningkatan output, juga perlu memperhitungkan produktivitas fisik rata-rata

(average product productivity) yaitu jumlah output per input. Skala hasil (return

to scale) dalam konsep fungsi produksi dibagi menjadi tiga. Pertama, sebuah

fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala hasil konstan (constant return to

scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada

peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan

seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka

fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala hasil menurun (decreasing

return to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output

lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil

meningkat (increasing return to scale). Dari kurva fungsi produksi dimana

produsen dapat menentukan jumlah output yang akan dihasilkan dengan tujuan

memaksimumkan keuntungan pada tingkat biaya produksi minimum dapat


diperoleh kurva penawaran dalam jangka pendek. Hal ini sesuai dengan

komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak.

2.2.2. Fungsi Impor

Impor dapat diartikan aliran masuknya barang dan jasa ke pasar sebuah

negara untuk dipakai. Negara meningkatkan kesejahteraannya dengan mengimpor

berbagai macam barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang lebih rendah

daripada yang dapat diproduksi di dalam negeri (Smith dan Blakeslee, 1995).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi suatu negara untuk melakukan impor

suatu komoditi antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan

domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut.

Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai

tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Di

samping itu, faktor-faktor lain seperti nilai tukar, harga impor, biaya transportasi,

tarif, selera konsumen, dan distribusi pendapatan juga berpengaruh terhadap

impor.

Hady (2004) menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan internasional di

bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam, antara lain sebagai

berikut:

1. Kebijakan Tariff Barrier.

Kebijakan Tariff Barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:

1. Pembebasan bea masuk (tarif) rendah adalah antara nol persen sampai

dengan lima persen dikenakan untuk bahan makanan pokok dan vital,

seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer, dan lain-lain.


2. Tarif sedang antara kurang dari lima persen sampai dengan 20 persen

dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang

belum cukup diproduksi di dalam negeri.

3. Tarif tinggi di atas 20 persen dikenakan untuk barang-barang mewah

dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri

dan bukan barang kebutuhan pokok.

2. Kebijakan Non-Tariff Barrier.

Kebijakan Non-Tariff Barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan

selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi

potensi manfaat perdagangan internasional.

2.2.3. Kerangka Pemikiran Operasional

Produksi jagung pada prinsipnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu

luas areal dan produktivitas. Perkembangan luas areal panen jagung yang relatif

masih kecil dibandingkan dengan perkembangan produktivitas jagung

menyebabkan produksi jagung belum mencapai hasil yang maksimal. Selama

periode tahun 1985 2005 produksi jagung Indonesia mampu mencukupi

konsumsi jagung Indonesia. Namun demikian, impor jagung Indonesia juga

mengalami peningkatan yang signifikan.

Peningkatan konsumsi produk peternakan harus tetap dipertahankan atau

bahkan lebih ditingkatkan agar kualitas sumber daya manusia Indonesia

meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap pneingkatan konsumsi jagung sebagai

bahan baku pakan, Produksi jagung Indonesia belum sepenuhnya mampu

mencukupi kebutuhan jagung untuk industri pakan meskipun produksi jagung di


dalam negeri relatif meningkat, sehingga Indonesia harus mengimpor jagung

untuk mencukupi konsumsi jagung industri pakan.

Penyebab utama peningkatan impor jagung adalah masih terbatasnya

produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan

baku oleh industri pakan. Selain itu, rendahnya harga impor jagung dibandingkan

dengan harga riil jagung lokal turut menyebabkan peningkatan impor jagung

Indonesia. Meski demikian, produktivitas jagung masih berpotensi untuk

ditingkatkan melalui penggunaan benih hibrida dan komposit dari jenis varietas

unggul dan adopsi teknologi oleh petani.

Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi dan

impor jagung Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

persamaan simultan. Setelah melakukan spesifikasi dan identifikasi model akan

dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan

impor jagung Indonesia. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat

digunakan untuk seluruh stakeholder agar dapat memajukan produksi jagung

Indonesia serta mengurangi ketergantungan impor jagung. Selain itu, hasil analisis

juga diharapkan dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Secara grafis, kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar

2.6.
Komoditas
Pertanian

Konsumsi Jagung Subsektor Tanaman


Indonesia Pangan (Jagung)

Permintaan Jagung oleh


Rumah Tangga dan Penawaran Jagung Era Perdagangan
Industri Indonesia Bebas

Produksi Jagung Tarif Impor Impor Jagung


Indonesia Indonesia

Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Mempengaruhi
Produksi Jagung Impor Jagung

Luas Areal Panen Persamaan Model Jumlah Impor


Jagung Ekonometrika Jagung

Produktivitas Metode Two Stages Harga Impor


Jagung Least Square Jagung Indonesia

Harga Jagung Lokal Interpretasi

Kesimpulan dan
Saran

Analisis Deskriptif

Analisis Kuantitatif

Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Operasional


III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam

bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 21 tahun, yaitu tahun

1985 2005, serta hasil wawancara dengan beberapa pihak yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi

pemerintah atau lembaga-lembaga terkait diantaranya Departemen Pertanian,

Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Badan Pusat Statistik

(BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak

(GPMT), Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Studi

Ekonomi, perpustakaan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet. Jenis

data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah produksi jagung Indonesia,

luas areal panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, volume atau

jumlah impor jagung Indonesia, harga jagung lokal, harga jagung di tingkat

produsen, harga pupuk urea, harga impor jagung, harga jagung dunia, tarif impor

jagung, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, pendeflasi Produk

Domestik Bruto (2000=100), Indeks Harga Perdagangan Jagung Dunia

(2000=100) dan lain-lain.

3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif dan metode kuantitatif. Gambaran perkembangan produksi dan impor


jagung Indonesia dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi. Metode kuantitatif

digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan

impor jagung Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah model

persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam penelitian diduga dengan

metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dengan menggunakan program Eviews

version 4.1 yang sebelumnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan

Microsoft Excel 2003.

3.3. Persamaan Model Ekonometrika

Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu

persamaan identitas, yaitu fungsi produksi jagung. Model persamaan produksi

jagung berbentuk persamaan identitas karena pada persamaan tersebut tidak

mengandung error, merupakan hubungan yang sudah pasti bukan perkiraan

(estimasi). Model persamaan lainnya merupakan fungsi persamaan struktural yang

menggambarkan respon pelaku ekonomi dan mencakup hubungan ekonomi.

Persamaan struktural dalam penelitian ini terdiri dari fungsi luas areal panen

tanaman jagung, fungsi produktivitas jagung, fungsi harga jagung lokal, fungsi

impor jagung, dan fungsi harga impor jagung. Model persamaan terdiri dari

variabel endogen dan variabel eksogen.

3.3.1. Fungsi Produksi Jagung

Produksi jagung pada tahun ke-t (QJt) merupakan perkalian antara luas

areal produktif atau panen jagung (LAPt) dengan produktivitas jagung pada tahun

tersebut (Yt). Persamaan produksi jagung dirumuskan sebagai berikut:


QJt=LAPt*Yt .................................................................................................... (3.1)

dimana:

QJt = Produksi jagung pada tahun ke-t (ribu ton).

LAPt = Luas areal panen jagung tahun ke-t (ribu ha).

Yt = Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).

3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung

Luas areal panen digunakan dalam model fungsi luas areal sebab diduga

sebagai proksi terhadap luas areal tanam yang dihasilkan. Luas areal panen

tanaman jagung (LAPt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di tingkat

produsen (PDt), harga riil kedelai (PKt), harga riil padi (PPt), tingkat suku bunga

kredit di Indonesia (SBt) dan luas areal panen tahun sebelumnya (LAPt-1).
B

Tanaman kedelai dapat diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman jagung

dalam penanamannya sehingga diharapkan akan memberikan pendapatan yang

lebih tinggi dibandingkan ketika mengusahakan jagung secara monokultur

(Purwono dan Hartono, 2006). Variabel harga riil padi dipilih untuk dimasukkan

ke dalam persamaan karena diduga tetap menjadi kompetitor dalam penggunaan

lahan. Persamaan luas areal panen tanaman jagung dapat dirumuskan sebagai

berikut:

LAPt=a0+a1PDt+a2PKt+a3PPt+a4SBt+a5LAPt-1+1 .......................................... (3.2)

dimana:

LAPt = Luas areal panen tanaman jagung tahun ke-t (ribu ha).

PDt = Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).

PKt = Harga riil kedelai tahun ke-t (Rp/kg).


PPt = Harga riil padi tahun ke-t (Rp/kg).

SBt = Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tahun ke-t (%).

LAPt-1 = Luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya (ribu ha).

a0 = Intersep.

ai = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).

1 = Variabel pengganggu.

Nilai dugaan parameter yang diharapkan, a1, a2>0; a3, a4<0; 0<a5<1.

3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung

Produktivitas jagung (Yt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung lokal

(PJt), harga riil pupuk urea (PUt), tingkat suku bunga kredit di Indonesia (SBt) dan

produktivitas jagung tahun sebelumnya (Yt-1).

Persamaan produktivitas jagung dapat dirumuskan sebagai berikut:

Yt=b0+b1PJt+b2PUt+b3SBt+b4Yt-1+2............................................................... (3.3)

dimana:

Yt = Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).

PJt = Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).

PUt = Harga riil pupuk urea tahun ke-t (Rp/kg).

SBt = Tingkat suku bunga bank di Indonesia tahun ke-t (%).

Yt-1 = Produktivitas jagung tahun sebelumnya (ton/ha).

b0 = Intersep.

bi = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).

2 = Variabel pengganggu.

Nilai dugaan parameter yang diharapkan, b1>0; b2, b3<0; 0<b4<1.


3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal

Harga riil jagung lokal (PJt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di

tingkat produsen (PDt), produksi jagung Indonesia (QJt), tingkat inflasi di

Indonesia (INFt) dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (PJt-1).

Persamaan harga riil jagung lokal dapat dirumuskan sebagai berikut:

PJt=d0+d1PDt+ d2QJt+d3INFt+d4PJt-1+3.......................................................... (3.4)

dimana:

PJt = Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).

PDt = Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).

QJt = Produksi jagung Indonesia tahun ke-t (ribu ton).

INFt = Tingkat inflasi di Indonesia tahun ke-t (%).

PJt-1 = Harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (Rp/kg).

c0 = Intersep.

ci = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).

3 = Variabel pengganggu.

Nilai dugaan parameter yang diharapkan, d1, d3>0; d2<0; 0<d4<1.

3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia

Jumlah impor jagung Indonesia (IJt) diduga dipengaruhi oleh Produk

Domestik Bruto Indonesia (PDBt), harga impor jagung (PMt), harga riil jagung

dunia (PWt) dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya (IJt-1).

Persamaan jumlah impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai

berikut:

IJt=e0+e1PDBt+e2PMt+e3PWt+e4IJt-1+5 .......................................................... (3.5)


dimana:

IJt = Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).

PDBt = Produk Domestik Bruto Indonesia tahun ke-t (Rp milliar).

PMt = Harga impor jagung tahun ke-t (Rp/kg).

PWt = Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).

IJt-1 = Jumlah impor jagung Indonesia tahun sebelumnya (ton).

e0 = Intersep.

ei = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).

5 = Variabel pengganggu.

Nilai dugaan parameter yang diharapkan, e1>0; e2, e3<0; 0<e7<1.

3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia

Harga impor jagung Indonesia (PMt) diduga dipengaruhi oleh nilai tukar

rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (ERt), jumlah impor jagung Indonesia

(IJt), harga riil jagung dunia (PWt), tarif impor jagung Indonesia (TIt) dan harga

impor jagung tahun sebelumnya (PMt-1).

Persamaan harga impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai

berikut:

PMt=f0+f1ERt+f2IJt+f3PWt+f4TIt+f5PMt-1+6 .................................................. (3.6)

dimana:

PMt = Harga impor jagung Indonesia tahun ke-t (Rp/kg).

ERt = Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat tahun ke-t (Rp/US$).

IJt = Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).

PWt = Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).


TIt = Tarif impor jagung Indonesia tahun ke-t (%).

PMt-1 = Harga impor riil jagung Indonesia tahun sebelumnya (Rp/kg).

f0 = Intersep.

fi = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).

6 = Variabel pengganggu.

Nilai dugaan parameter yang diharapkan, f1, f2, f3, f4>0; 0<f5<1.

PUt Yt-1
PPt PKt

LAPt SBt Yt

LAPt PDt

QJt PJt

INFt PJt-

PD PWt
ERt

IJt PMt

IJt-1 PMt TIt

Gambar 3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan

Keterangan gambar:

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Hubungan dua arah antara variabel dependen dan independen

: Hubungan satu arah antara variabel dependen dan independen


Berdasarkan persamaan model ekonometrika dari model persamaan

identitas produksi jagung dan persamaan struktural luas areal panen tanaman

jagung, produktivitas jagung, harga jagung lokal jagung, jumlah impor jagung dan

harga impor jagung di atas dapat dibuat bagan alur sistem persamaan identitas dan

struktural analisis faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung di

Indonesia. Bagan alur tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 bagaimana

hubungan antara variabel dalam masing-masing persamaan ataupun dengan

persamaan lain. Terdapat pula hubungan dua arah antara variabel seperti pada

hubungan luas areal panen tanaman jagung, produktivitas jagung, dan produksi

jagung.

3.4. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran,

dan model persamaan analisis yang telah dirumuskan sebelumnya, maka dapat

diajukan hipotesis penelitian. Hipotesis didasarkan pada fungsi-fungsi di atas yang

diduga ada beberapa variabel eksogen yang memiliki hubungan signifikan

terhadap variabel endogen. Variabel-variabel tersebut dapat diukur nilainya dan

data untuk masing-masing variabel tersebut tersedia.

Hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Luas areal panen tanaman jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh

harga riil jagung di tingkat produsen dan harga riil kedelai. Harga riil padi

sebagai tanaman kompetitor dalam penggunaan lahan serta tingkat suku


bunga kredit di Indonesia sebagai proksi atas modal yang dapat dimiliki

petani berpengaruh negatif terhadap luas areal panen tanaman jagung.

2. Produktivitas jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh harga riil

jagung lokal dan sebaliknya dipengaruhi secara negatif oleh harga riil

faktor produksi pupuk urea dan suku bunga kredit di Indonesia.

3. Jumlah impor jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh Produk

Domestik Bruto Indonesia. Sedangkan, harga impor jagung dan harga riil

jagung dunia berpengaruh secara negatif.

Adapun hipotesis-hipotesis yang diturunkan dari hipotesis utama antara

lain sebagai berikut:

1. Harga riil jagung lokal dipengaruhi secara positif oleh harga riil jagung di

tingkat produsen dan tingkat inflasi di Indonesia. Produksi jagung

Indonesia berpengaruh negatif terhadap harag riil jagung lokal.

2. Harga impor jagung dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, harga riil jagung

dunia dan tarif impor jagung Indonesia.

3.5. Identifikasi Model

Menurut Hallam (1990) dalam Kariyasa dan Sinaga (2004) model

merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang terjadi. Secara

ideal sebuah model menampilkan komponen-komponen utama dari fenomena

nyata yang diamati, agar dapat dilakukan estimasi secara akurat. Salah satu model

pendekatan kuantitatif yang sering dipakai untuk menganalisis masalah ekonomi


adalah model ekonometrika. Intriligator et al. (1996) dalam Kariyasa dan Sinaga

(2004) menjelaskan model ekonometrika adalah suatu model statistika yang

menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang

mencakup unsur stokastik. Suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria

ekonomi, statistika, dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977 dalam Situmorang,

2005).

Perumusan model persamaan dalam penelitian ini, khususnya digunakan

pada pendugaan perilaku luas areal panen tanaman jagung dan produktivitas

jagung secara nasional. Melalui model tersebut dalam upaya meningkatkan

produksi jagung nasional dapat dilakukan dengan disagregasi pada luas areal

panen tanaman jagung dan produktivitas jagung. Mengacu pada model Nerlove

dalam penelitian ini produksi jagung bukan merupakan persamaan struktural,

namun hanya merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara luas areal

panen tanaman jagung dengan produktivitas jagung.

Sebelum menentukan metode pendugaan yang akan digunakan, maka

terlebih dahulu perlu dilakukan uji keidentifikasian persamaan simultan dalam

model (Koutsoyiannis, 1977 dalam Purnamasari, 2006). Rumus uji

keidentifikasian model menurut order condition adalah:

K-M G-1 ........................................................................................................ (3.7)

dimana:

G = Total banyaknya persamaan.

K = Total banyaknya variabel dalam model.

M = Total banyaknya variabel dalam model tertentu.


Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)>(G-1), maka persamaan terdentifikasi

berlebih (over identified). Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)=(G-1), maka

persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), sedangkan jika suatu

persamaan menunjukkan kondisi (K-M)<(G-1), maka persamaan tidak

teridentifikasi (underidentified). Hasil uji keidentifikasian setiap persamaan

struktural harus exactly identified atau over identified agar dapat diduga

parameternya.

Model persamanan dalam analisis produksi dan impor jagung di Indonesia

terdiri dari lima model persamaan struktural, antara lain persamaan luas areal

panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, harga jagung lokal, jumlah

impor jagung dan harga impor jagung, serta satu persamaan identitas yaitu

produksi jagung di Indonesia. Model terdiri dari enam variabel current

endogenous, lima variabel lag endogenous, 10 variabel exogenous, sehingga ada

15 variabel predetermine. Hasil uji keidentifikasian model menunjukkan

persamaan adalah over identified (G=6, K=21, M=5). Dengan demikian, salah

satu metode pendugaan parameter yang dapat digunakan adalah dengan

menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares).

3.6. Pengujian Model

3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu

Uji-t digunakan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model

secara statistik bersifat signifikan atau tidak signifikan. Melalui uji-t akan terlihat

apakah secara statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang
digunakan dalam model secara terpisah memiliki pengaruh yang nyata terhadap

variabel terikat. Uji-t ini akan diuji apakah koefisien regresi satu per satu secara

statistik signifikan atau tidak signifikan.

Jika nilai tstatistik lebih besar dari nilai ttabel atau nilai p-value lebih kecil dari

nilai critical value () berdasarkan suatu level of significance tertentu maka

hipotesis H0=b1=0 ditolak, variabel bebas signifikan. Sebaliknya jika nilai tstatistik

lebih kecil dari ttabel atau nilai p-value lebih besar dari nilai critical value ()

berdasarkan suatu level of significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima dan

hipotesis H1 ditolak, variabel bebas tidak signifikan. Untuk menghitung nilai

tstatistik adalah:

b1
t1= ........................................................................................................... ......(3.8)
S1

e (X X )
1 2 ' 1
Sj= ....................................................................... ......(3.9)
NK
jj

dimana:

H0 : b1=b2=...=bi=0

H1 : bi 0

N = Jumlah observasi

S = Jumlah variabel independen

3.6.2. Uji Kesesuaian Model

Uji-F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh

koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel bebas. Jika

seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linear antara variabel dependen

dengan variabel independen.

R2
(k 1)
Fhitung= .............................................................................................(3.10)
(
1 R 2
)
(N k )

dimana:

R = Koefisien determinasi

N = Jumlah data

k = Jumlah koefisien regresi dugaan

H0 : b1=b2=...=bi=0

H1 : bi 0

Jika nilai Fstatistik lebih besar dari Ftabel atau nilai p-value lebih kecil dari

nilai critical value () berdasarkan suatu level of significance, maka hipotesis H1

diterima, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap variabel terikat. Jika hasil nilai Fstatistik lebih kecil dari Ftabel atau nilai p-

value lebih besar dari nilai critical value () berdasarkan suatu level of

significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima, artinya tidak ada satu pun

variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya.

3.6.3. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat hubungan yang

linear diantara variabel penjelas dalam suatu model. Terjadinya multikolinearitas

disebabkan karena adanya kecenderungan variabel-variabel dalam ekonomi

bergerak secara bersamaan. Dalam penetapan suatu model seringkali terdapat


kesulitan untuk memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel bebas

dengan variabel terikatnya. Multikolinearitas sering terjadi ketika R2 tinggi, yaitu

ketika nilainya antara 0,7 sampai dengan satu. Jika diantara variabel bebas

berkolerasi sempurna, maka estimasi koefisien tidak dapat ditentukan.

Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah terjadi multikolinearitas pada

suatu model atau tidak. Salah satu caranya adalah dengan melihat koefisien

korelasi. Jika nilai koefisien korelasi lebih besar o,8 , maka pada model terdapat

gejala multikolinearitas. Menurut Koutsoyiannis (1977) dalam Situmorang (2005)

berdasarkan ketentuan dari uji Klein, disebutkan bahwa masalah korelasi

sederhana antara variabel bebas bisa diabaikan jika nilai koefisien korelasinya

lebih kecil dari nilai koefisien korelasi determinasi atau keragamannya (korelasi

keseluruhannya).

3.6.4. Uji Autokorelasi

Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian

observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1978).

Adanya gejala autokorelasi dalam suatu persamaan akan menyebabkan persamaan

tersebut memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi

kurang akurat. Akibatnya, varian residual yang diperoleh akan lebih rendah

daripada semestinya sehingga mengakibatkan R2 menjadi lebih tinggi, hasil uji-t

dan uji-F tidak sah dan penaksir regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi

pengambilan contoh.

Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah data yang diamati

terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Durbin-Watson (uji-d). Nilai statistik-d
yang berada pada kisaran angka dua menandakan tidak terdapat autokorelasi.

Sebaliknya, jika semakin jauh dari angka dua, maka peluang terjadinya

autokorelasi semakin besar. Pengujian lain untuk melihat apakah ada autokorelasi

atau tidak, dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey-Serial

Correction Langrange Multiplier Test. Kriteria uji yang digunakan sebagai

berikut:

1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value () yang

digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi

autokorelasi.

2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value () yang

digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi autokorelasi.

3.6.5. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai ragam error

term pada variabel bebas tidak memiliki nilai yang sama untuk setiap observasi

(Nachrowi dan Usman, 2002). Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan

dan konsistensi dari penaksir 2SLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi

mempunyai variasi minimum (efisien). Bila pada suatu persamaan terjadi

heteroskedastisitas, maka akan berakibat:

1. Hasil estimasi tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator

tidak efisien.

2. Estimasi dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai

varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.


3. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan

dengan menggunakan rumus yang berkaitan dengan nilai variansnya.

Pengujian untuk mendeteksi gejala heteroskedastisitas dengan

menggunakan uji White Heteroskedasticity. Kriteria uji yang digunakan:

1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value () yang

digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi

heteroskedastisitas.

2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value () yang

digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi

heteroskedastisitas.

3.7. Definisi Operasional

1. Jagung yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan menurut

jenisnya menjadi jagung gigi kuda (Zea mays indentata), jagung mutiara

(Zea mays indurata), jagung manis (Zea mays saccharata), jagung

berondong (Zea mays everta), jagung tepung (Zea mays amylaceae),

jagung polong (Zea mays tunicata), ataupun jagung ketan (Zea mays

ceratina) karena jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok

dan sebagai bahan baku industri tidak dispesifikasikan secara khusus, baik

dalam hal produksi, konsumsi, maupun impor.

2. Produksi jagung Indonesia adalah jumlah total produksi jagung di

Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ribu ton.


3. Luas areal panen tanaman jagung adalah luas seluruh areal produktif atau

panen tanaman jagung di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu ha.

4. Produktivitas jagung merupakan hasil bagi antara produksi jagung

Indonesia dengan luas areal panen tanaman jagung per tahun yang

dinyatakan dalam satuan ton per ha.

5. Volume impor jagung Indonesia adalah jumlah seluruh impor jagung yang

dipasarkan di pasar domestik setiap tahun baik untuk konsumsi langsung

maupun bahan baku industri, tidak termasuk impor jagung ilegal yang

dinyatakan dalam satuan ton.

6. Harga riil jagung lokal adalah harga jagung lokal setelah dideflasi

(2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan

dalam satuan rupiah per kilogram.

7. Harga riil jagung di tingkat produsen adalah harga jagung di tingkat

produsen yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik

Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.

8. Harga riil pupuk urea yang mewakili harga riil faktor produksi merupakan

harga pupuk urea yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk

Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.

9. Harga impor jagung adalah harga jagung Indonesia yang merupakan hasil

bagi antara nilai impor jagung dengan volume impor jagung, dideflasi

(2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan

dalam satuan rupiah per kilogram.


10. Harga riil jagung dunia adalah harga jagung di Amerika Serikat Free on

Board dideflasi (2000=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Jagung

Dunia yang dinyatakan dalam satuan dollar Amerika per ton.

11. Nilai tukar mata uang rupiah adalah perbandingan dari perubahan mata

uang Amerika Serikat terhadap mata uang Indonesia yang dinyatakan

dalam satuan rupiah per dollar Amerika.

12. Tarif impor jagung adalah tarif yang ditetapkan pemerintah terhadap

jagung, dengan sistem (cara pemungutan) ad valorem yang dinyatakan

dalam satuan persen.

13. Pendeflasi Produk Domestik Bruto mengukur tingkat harga yang diterima

produsen pada tiga tahapan, yaitu barang jadi, barang setengah jadi, dan

barang jadi.
IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA

4.1. Produksi Jagung di Indonesia

4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung

Penelitian ekonomi jagung di Indonesia diketahui pertama kali dilakukan

oleh Peter Timmer bersama dengan tim dari The Food Research Institute of The

Stanford University pada tahun 1983 1985. Sejak penelitian tersebut pertanian

jagung di Indonesia mengalami banyak perkembangan didukung dengan adanya

Revolusi Hijau komoditi jagung yang dimotori oleh perubahan pola konsumsi

masyarakat dan Revolusi Peternakan sehingga konsumsi akan produk-produk

peternakan meningkat sebagai pemenuh kebutuhan sumber protein. Sebelum

dilakukan penelitian sekitar tahun 1970 2000 sentra produksi jagung di

Indonesia adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi

Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1970 keenam propinsi tersebut

memiliki pangsa areal tanam sekitar 84 persen dari total areal tanam di Indonesia

dengan pangsa produksi sekitar 83 persen dari total produksi di seluruh Indonesia.

Pada tahun 2001, pangsa areal tanamnya menurun menjadi 82 persen tetapi

pangsa produksinya meningkat menjadi 85 persen. Selama kurun waktu 1970

2001 hampir tidak terjadi perubahan antara keenam propinsi tersebut dengan

propinsi-propinsi lain di Indonesia sebagai sentra produksi jagung di Indonesia,

baik dari segi pangsa areal tanam maupun pangsa produksi (Pasandaran dan

Kasryno, 2003).
Tabel 4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia
Tahun 2005 2007 (Ton)
Pulau 2005 2006 (ASEM) 2007 (ARAM I)
Sumatera 2.655.130 2.388.491 2.429.024
(21,20%) (20,57%) (19,62%)
Jawa 7.455.724 6.688.571 7.085.179
(59,53%) (57,61%) (57,22%)
Bali dan Nusa 730.782 766.716 725.515
Tenggara (5,84%) (6,60%) (5,86%)
Kalimantan 189.141 215.872 254.726
(1,51%) (1,86%) (2,06%)
Sulawesi 1.459.460 1.515.378 1.850.651
(11,65%) (13,05%) (14,95%)
Maluku dan 33.657 35.618 36.466
Papua (0,27%) (0,31%) (0,29%)
Indonesia 12.523.894 11.610.646 12.381.561
(100%) (100%) (100%)
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
() : Persentase Laju Pertumbuhan Produksi per Tahun

Seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia saat ini produksi jagung

dalam negeri sangat ditentukan oleh produksi tujuh propinsi sentra jagung di

Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi

Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat. Pangsa areal panen ketujuh

propinsi tersebut mencapai 84,43 persen dari total area panen jagung nasional,

sementara pangsa produksinya mencapai 87,80 persen dari total produksi jagung

nasional (Tabel 4.1). Secara umum produksi jagung Indonesia ditentukan oleh dua

faktor utama, yaitu luas areal dan produktivitas per satuan luas. Produksi jagung

tahun 2006 (Angka Sementara) sebesar 11,61 juta ton turun sekitar 913,25 ribu

ton (7,29 persen) dibandingkan produksi tahun 2005. Penurunan produksi terjadi

karena luas panen turun seluas 279,56 ribu hektar (7,71 persen), selain itu faktor

iklim yang tidak sebaik tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap penurunan

produksi jagung dalam negeri, sedangkan produktivitas naik sebesar 0,16 kuintal
per hektar (0,46 persen). Produksi jagung tahun 2007 (Angka Ramalan I)

diperkirakan sebesar 12,38 juta ton, naik sebesar 770,92 ribu ton (6,64 persen)

dibandingkan tahun 2006. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena peningkatan

luas panen sekitar 104,22 ribu hektar (3,11 persen) dan produktivitas sebesar 1,18

kuintal per hektar (3,40 persen).

Jagung yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya dibedakan

menjadi tiga, antara lain (www.deptan.go.id):

1. Jagung lokal adalah jagung yang merupakan hasil pertanaman spesifik

lokasi, tidak merupakan benih hibrida dan impor, contoh Jagung Kodok,

Jagung Kretek, Jagung Manado Kuning dan Jagung Metro. Jagung jenis

lokal Indonesia umumnya tipe jagung mutiara (Zea mays indurata/ flint

corn) berbentuk bulat dan umumnya berwarna putih.. Jagung mutiara

biasanya berumur genjah sehingga hasilnya relatif rendah. Meskipun

demikian, banyak masyarakat yang menyukai jenis ini karena bila

dicampur beras tidak keras.

2. Jagung hibrida adalah jagung yang benihnya merupakan keturunan

pertama dari persilangan dua galur atau lebih dimana sifat-sifat

individunya Heterozygot dan Homogen. Contohnya: kelompok Cargil

seperti C1, C2, kelompok Pioneer seperti P1, P2, kelompok Bisi seperti

Bisi 1, kelompok Semar seperti Semar 1 dan kelompok CPI seperti CPI 1.

Termasuk ke dalam tipe jagung gigi kuda (Zea mays indentata/ dent corn)

yang berwarna kuning dan hampir 95 persen jagung yang diimpor

merupakan jagung jenis ini.


3. Jagung komposit adalah jagung yang benihnya campuran dari beberapa

varietas, sehingga individunya Heterozygot dan Heterogen. Contohnya:

Lamuru, Krisna, Gumarang, Bisma dan lain-lain.

Produksi jagung di Indonesia yang ditentukan oleh luas areal panen dan

produktivitas jagung selalu dikatakan meningkat berdasarkan data yang tersedia.

Meski demikian, tidak sedikit industri berbasis jagung di Indonesia, terutama

industri pakan yang membutuhkan jagung dalam jumlah besar dan kontinu

menyatakan sering terjadi kelangkaan jagung di pasar dalam negeri. Kondisi

produksi jagung di Indonesia sebagai salah satu negara produsen jagung dunia

peringkat kedelapan berdasarkan FAO (2005) dalam Outlook Tanaman Pangan

(2006) jika dibandingkan dengan negara-negara produsen jagung di dunia masih

sangat rendah dilihat dari persentase kontribusi produksi jagung Indonesia

terhadap produksi jagung dunia, yaitu hanya sebesar 1,73 persen. Meskipun

persentase kontribusi luas areal panen jagung di Indonesia terhadap luas areal

panen dunia sebesar 2,38 persen. Jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika

Serikat sebagai negara produsen jagung peringkat pertama di dunia sangat

berbeda kondisinya. Kontribusi produksi jagung Amerika Serikat di pasar dunia

mencapai 40,35 persen dengan kontribusi luas areal panen hanya sebesar 20,44

persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas areal panen bukanlah yang

utama dari dua variabel utama yang diduga mempengaruhi produksi jagung.

Perkembangan produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985

2005 lebih banyak ditentukan oleh perkembangan produktivitas, sedangkan

terjadinya fluktuasi produksi selama periode tersebut antara lain karena mengikuti
pola luas areal panen. Pola perkembangan produksi jagung di Indonesia berbeda

untuk wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Perkembangan produksi jagung

yang terjadi di Pulau Jawa memiliki kecenderungan lebih fluktuatif dibandingkan

di luar Pulau Jawa, hal ini disebabkan oleh besarnya persaingan dalam

penggunaan lahan di Pulau Jawa. Kondisi luas areal panen di luar Pulau Jawa

yang relatif meningkat didukung oleh daya saing jagung yang ditanam di lahan

sawah tadah hujan dan lahan kering relatif lebih baik dibanding jagung yang di

tanam di lahan sawah di Pulau Jawa.

13% 0%
2% 20%

6%

59%

Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007

Gambar 4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia 2005 2007

Sentra produksi jagung di Indonesia masih didominasi oleh Pulau Jawa

yaitu sekitar 59 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa hanya sekitar 41 persen

(Gambar 4.1). Sejak tahun 2001 pemerintah menggalakkan program Gema

Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung) yang telah berhasil

memacu petani untuk meningkatkan produktivitasnya dan terbukti dapat

meningkatkan produksi jagung di dalam negeri tetapi tetap belum mampu

memenuhi kebutuhan konsumsi untuk industri pakan di dalam negeri. Upaya


peningkatan produktivitas jagung akan lebih berhasil jika tidak hanya

meningkatkan penggunaan benih varietas unggul tetapi juga disertai dengan

pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta penerapan teknologi produksi yang

sesuai dengan lingkungan tumbuh.

Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas


Jagung di Indonesia Tahun 1985 2005
Produksi Luas Areal Panen Produktivitas
Tahun (Ribu Ton) ( Ribu Ha) (Ton/Ha)
1985 4.330 2.440 1,77
1986 5.920 3.143 1,88
1987 5.156 2.626 1,96
1988 6.652 3.406 1,95
1989 6.193 2.944 2,10
1990 6.734 3.158 2,13
1991 6.256 2.909 2,15
1992 7.995 3.629 2,20
1993 6.460 2.940 2,20
1994 6.869 3.109 2,21
1995 8.246 3.652 2,26
1996 9.307 3.744 2,49
1997 8.771 3.355 2,61
1998 10.169 3.848 2,64
1999 9.204 3.456 2,66
2000 9.677 3.500 2,77
2001 9.347 3.286 2,85
2002 9.585 3.109 3,08
2003 10.886 3.359 3,24
2004 11.225 3.357 3,34
2005 12.014 3.626 3,43
Rata-rata pertumbuhan 6,20% 2,96% 3,23%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006

Laju pertumbuhan luas areal panen tanaman jagung Indonesia hanya

sebesar 2,96 persen per tahun, masih terlalu rendah dibandingkan dengan Amerika

Serikat dimana laju pertumbuhan luas arealnya mencapai 20,44 persen per tahun,

mengingat Indonesia memiliki potensi lahan yang luas dan banyak yang belum
termanfaatkan. Berdasarkan data series yang dikeluarkan oleh Departemen

Pertanian (2005) menunjukkan bahwa selama periode tahun 1969 2006 terjadi

penambahan luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa mencapai angka

345.000 hektar atau meningkat sebesar 21,58 persen, sementara itu penambahan

luas areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa mencapai angka 802.000

hektar atau meningkat sebesar 95,82 persen. Tingginya tingkat penambahan luas

areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan penambahan

luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa dikarenakan daya saing produksi

jagung yang ditanam pada lahan sawah tadah hujan atau lahan kering di luar Pulau

Jawa relatif lebih baik dibandingkan daya saing produksi jagung yang ditanam

pada lahan sawah di Pulau Jawa. Meskipun demikian, perkembangan luas areal

panen tanaman jagung hingga saat ini masih dominan terjadi di Pulau Jawa meski

secara perlahan mengalami pergeseran ke luar Pulau Jawa. Faktor utama

penyebab penurunan pangsa luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa

adalah adanya persaingan dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung

dengan komoditi pangan lainnya seperti padi dan kedelai (Outlook Tanaman

Pangan, 2006).

4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung

Penerapan sistem usaha tani jagung berpengaruh terhadap perkembangan

produksi jagung. Analisis sistem usaha tani jagung memberikan informasi

bagaimana perkembangan produksi jagung Indonesia dilihat berdasarkan

perluasan areal tanam, penggunaan benih varietas unggul dan sarana produksi

serta penerapan teknologi. Perluasan areal dapat mengalami perubahan sesuai


dengan penemuan benih varietas yang lebih unggul. Kemudian penggunaan

varietas unggul dapat disesuaikan dengan jenis lahan yang ditanam. Sedangkan

salah satu bentuk penerapan teknologi adalah melalui penggunaan pupuk. Berikut

ini akan diuraikan usaha-usaha yang telah diterapkan di Indonesia dalam rangka

peningkatan produksi jagung melalui produktivitas jagung.

Jagung sebagian besar (60 65 persen) ditanam di lahan kering dan 35

40 persen ditanam di lahan sawah, dimana 10 15 persen diantaranya

diperkirakan ditanam di lahan sawah beririgasi. Pada periode 1970 1980 areal

beririgasi mengalami peningkatan dengan pesat dalam rangka pencapaian

swasembada beras. Hal tersebut berakibat pada berkurangnya luas lahan sawah

tadah hujan yang berarti berkurang pula lahan yang ditanami jagung. Setelah

swasembada beras tercapai pada tahun 1984 investasi yang dialokasikan untuk

irigasi dihentikan, sehingga setelah tahun 1990-an terbuka peluang untuk

peningkatan lahan sawah tadah hujan sebagai sarana pengembangan jagung.

Masalah utama penanaman jagung di lahan kering adalah kebutuhan air

yang sepenuhnya tergantung pada curah hujan. Selain itu, faktor kesuburan lahan

yang bervariasi dan adanya erosi yang mengakibatkan penurunan kesuburan lahan

juga menjadi kendala penanaman jagung di lahan kering. Jagung yang ditanam di

lahan kering dapat berupa varietas unggul bersari bebas atau varietas unggul

hibrida. Beberapa varietas bersari bebas yang dapat dipilih antara lain Arjuna,

Bisma, Lagaligo, Kalingga, Wiyasa, Rama dan Wisanggeni. Kemudian varietas

unggul hibrida yang dapat digunakan diantaranya Semar-2, Semar-3, CP-1, CP-2,

Bisi-1, Bisi-2, Pioneer-3, Pioneer-4 dan Pioneer-5.


Penggunaan lahan sawah untuk penanaman jagung setelah tanaman padi

hingga saat ini masih berkisar 21 persen dari total lahan sawah yang ada di

Indonesia (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Padahal peluang peningkatan

produktivitas jagung per satuan luas lebih baik dibandingkan di lahan kering

sebab kendala teknis pada kondisi tanah dan pendukung dari lahan sawah irigasi

relatif sedikit. Beberapa kelebihan lahan sawah irigasi diantaranya tingkat

kesuburan tanah yang lebih baik, ketersediaan air lebih terjamin, lebih dekat

dengan tempat penjualan sarana produksi dan kondisi prasarana umumnya juga

sudah lebih baik. Kemudian pada dasarnya semua varietas unggul jagung dapat

ditanam di lahan sawah baik yang bersari bebas atau hibrida maupun berumur

pendek, sedang atau dalam. Faktor lain yang perlu diperhatikan jika penanaman

jagung dilakukan di lahan sawah adalah permintaan spesifikasi konsumen pasar

setempat. Hal ini terkait dengan warna biji kuning atau putih dari varietas yang

ditanam. Di beberapa daerah, varietas jagung berbiji putih lebih disenangi

konsumen karena biasanya dicampur dengan nasi untuk bahan makanan pokok

dan keperluan lain. Sementara di daerah lain lebih memilih biji kuning karena

akan digunakan untuk bahan baku pakan dan industri.

Selain penanaman jagung di lahan kering dan lahan sawah terdapat salah

satu jenis lahan lain yang cukup potensial untuk penanaman jagung yaitu lahan

pasang surut. Lahan pasang surut pada umumnya mempunyai dua jenis tanah

yaitu aluvial dan gambur. Lahan pasang surut di Indonesia relatif masih cukup

luas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Masalah utama pada lahan

pasang surut adalah tingkat kesuburan tanah yang masih rendah, keadaan tanah
masam (pH 3 5) dan tingkat kelarutan mineral (Al) dan besi (Fe) masih tinggi

sehingga mempengaruhi ketersediaan fosfat dalam tanah. Salah satu cara untuk

mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pemberian kapur dan fosfat pada

lahan pasang surut. Varietas jagung yang dapat ditanam pada lahan pasang surut

tidak jauh berbeda dengan varietas yang ditanam di lahan kering.

Perkembangan penanaman jagung mengalami pergeseran dari lahan kering

ke lahan beririgasi sebagai akibat adanya Revolusi Hijau pada komoditi jagung.

Sebelum tahun 1970 sekitar 80 persen jagung ditanam di lahan tegalan/lahan

kering tetapi dengan penemuan bibit unggul yang tanggap terhadap pemupukan

dan kelembaban tanah penanaman jagung mulai bergeser ke lahan basah atau

sawah beririgasi. Bahkan jagung hibrida banyak ditanam di lahan sawah atau

lahan kering dengan curah hujan dan pada musim hujan yang tinggi. Penanaman

jagung di lahan sawah umumnya dilakukan pada musim kemarau setelah panen

padi tetapi pada lahan sawah yang berdrainase baik atau ketika ketersediaan air

tidak mencukupi untuk padi petani juga menanam jagung pada musim hujan. Jenis

jagung yang ditanam pada kondisi lahan demikian adalah jenis jagung hibrida.

Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas pada musim kemarau sekitar 75

persen lahan sawahnya ditanami jagung hibrida karena dinilai lebih kompetitif

dibanding padi atau palawija lainnya. Petani jagung di Jawa Timur, Jawa Tengah

dan Lampung memanfaatkan pengairan air tanah secara intensif pada musim

kemarau untuk menanam jagung hibrida. Meski demikian, tidak sedikit petani di

beberapa wilayah Indonesia yang masih menanam jagung lokal. Jagung lokal

termasuk ke dalam tipe jagung mutiara yang hasilnya relatif rendah.


Penggunaan varietas jagung juga dibedakan berdasarkan ketinggian tempat

penanaman. Pada daerah dataran rendah dapat digunakan jagung berumur dalam

atau sedang dan berumur genjah, seperti Harapan Baru, Metro, Parikesit, Bogor,

Composite-2, Arjuna, Bromo, Kalingga, Wiyasa, Harapan, dan Hibrida untuk

jenis varietas jagung berumur dalam atau sedang. Jenis jagung berumur genjah

untuk daerah dataran rendah yang dapat dipilih antara lain Penjalinan, Genjah

Kretek dan Genjah Kertas, dimana ketiga varietas jagung berumur genjah tersebut

merupakan varietas lokal. Lain halnya untuk varietas jagung di daerah dataran

tinggi yang hanya dapat menggunakan jagung berumur dalam seperti Bastar

Kuning, Bima, Pandu dan Harapan.

Faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya peningkatan produksi

jagung di Indonesia adalah jenis jagung yang ditanam oleh petani. Jika mayoritas

petani jagung di Indonesia telah beralih menanam jagung varietas unggul, seperti

hibrida dan komposit diduga akan meningkatkan produktivitas jagung sehingga

produksi jagung juga meningkat secara signifikan. Penggunaan varietas jagung

unggul merupakan faktor penting lain dalam upaya peningkatan produksi jagung

di Indonesia. Produktivitas jagung Indonesia hanya sebesar 3,43 ton per hektar

sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung Amerika Serikat

yang telah mencapai 9,31 ton per hektar. Hal ini mengingat masih tertinggalnya

adopsi teknologi oleh petani jagung dalam negeri karena teknologi baru

membutuhkan biaya yang relatif mahal sehingga pemerintah bersama pihak

swasta, khususnya pengusaha pakan seharusnya bekerjasama dalam hal investasi

teknologi pertanian jagung.


Secara umum benih jagung dikelompokkan menjadi dua, yaitu benih

varietas jagung bersari bebas dan hibrida. Benih varietas bersari bebas adalah

varietas yang benihnya dapat digunakan terus menerus pada setiap penanaman.

Benih ini berasal dari tongkol tanaman yang sesuai dengan varietas bersangkutan.

Benih varietas bersari bebas masih sering diusahakan oleh petani terutama untuk

keperluan sendiri. Varietas bersari bebas dapat dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu varietas sintetik dan komposit. Benih varietas sintetik berasal dari campuran

dua atau lebih galur perkawinan sendiri, sedangkan varietas komposit berasal dari

campuran sejumlah plasma nutfah yang telah mengalami perkawinan acak

(Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Keuntungan menggunakan benih varietas

bersari bebas adalah harganya relatif murah dan dapat ditanam beberapa kali tanpa

mengalami degenerasi yang serius tetapi potensi hasil yang diperoleh lebih rendah

dibanding benih varietas hibrida. Beberapa contoh varietas unggul bersari bebas

adalah Arjuna, Rama, Kalingga, Wiyasa dan Bisma.

Benih jagung hibrida merupakan benih dari varietas jagung hibrida yang

berasal dari keturunan pertama (F1) hasil persilangan varietas jagung bersari

bebas dan bersari bebas, bersari bebas dan galur, atau galur dan galur.Varietas

unggul jagung hibrida menjadi andalan utama meningkatkan produksi jagung

karena memiliki beberapa keunggulan dibanding varietas jagung bersari bebas,

seperti hasil yang diperoleh lebih tinggi yaitu sekitar tujuh ton per hektar,

pertumbuhannya lebih seragam dan tahan penyakit. Keunggulan-keunggulan yang

dimiliki varietas jagung hibrida diimbangi dengan harga yang relatif mahal untuk

kalangan petani dengan skala usaha kecil yang relatif dominan di Indonesia dan
tersedia dalam jumlah terbatas. Terlebih lagi benih jagung hibrida hanya dapat

digunakan untuk sekali tanam. Beberapa varietas benih jagung hibrida yang

dianjurkan ditanam di Indonesia diantaranya Hibrida C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2, 7

dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3 serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9.

Penanaman varietas jagung unggul adalah salah satu komponen penting

dalam program intensifikasi peningkatan produksi jagung. Selain penggunaan

benih varietas unggul tingkat produktivitas jagung juga ditentukan oleh mutu

benih. Penggunaan benih yang bermutu tinggi bersifat lebih responsif terhadap

teknologi produksi yang diterapkan dan menentukan kepastian populasi tanaman

yang tumbuh. Mutu benih didasarkan pada mutu genetik, fisik dan fisiologi. Mutu

genetik berhubungan dengan unsur kontaminasi benih itu sendiri terhadap benih

tanaman atau varietas lain. Mutu fisik benih dapat dilihat dari tingkat kebersihan

benih dari sisa tanaman, tangkai, batang, dan pecahan benih yang ukurannya

kurang dari ukuran sebenarnya atau kerikil. Sementara mutu fisiologi benih dapat

diukur dari tingkat stabilitasnya, termasuk daya kecambah dan vigor.

Berkaitan dengan kriteria mutu benih maka ditetapkan standarisasi dalam

serifikasi benih. Standarisasi mutu benih dalam program sertifikasi benih diatur

dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan. Kemudian dalam hal

perdagangan benih di Indonesia, mutu benih yang diperdagangkan dibina oleh

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang berkedudukan di masing-

masing daerah. Pembagian benih berdasarkan tingkat mutunya dibedakan menjadi

benih berlabel (warna label merah jambu) dan benih bersertifikasi (warna label

biru atau hijau).


Pupuk yang digunakan dalam penanaman jagung antara lain urea, SP-36,

KCl dan ZA, sedangkan jumlah takaran yang direkomendasikan untuk

memperoleh hasil maksimal serta penggunaan jagung oleh petani secara umum

dapat dilihat pada Tabel 4.3. Petani jagung di Indonesia, khususnya di sentra-

sentra produksi jagung menggunakan pupuk urea lebih dari jumlah takaran yang

direkomendasikan, yaitu rata-rata 378 kg per hektar karena diduga harga pupuk

urea lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk-pupuk lain. Penggunaan rata-

rata pupuk SP-36 oleh petani sebanyak 142 kg per hektar, pupuk KCl rata-rata

sebanyak 72 kg per hektar tetapi baru digunakan oleh 39 persen petani, sedangkan

pupuk ZA masih digunakan oleh sebagian kecil petani (14 persen) rata-rata

sebanyak 54 kg per hektar.

Tabel 4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan


Pupuk* Rekomendasi Takaran Harga Jumlah
Takaran (Kg Pemakaian (Kg Pupuk per Petani
per Hektar) per Hektar) Kg (Rp) (%)**
Urea 200 300 378 1.500 100
SP-36 100 200 142 1.800 80
KCl 0 100 72 1.750 39
ZA 0 100 54 - 14
Sumber: Djulin, Syafaat, dan Kasryno (2002)
*Pemakaian pupuk disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman
** Rata-rata petani di Indonesia

Pengendalian hama penyakit dapat dilakukan melalui penggunaan

pestisida. Petani jagung di Indonesia menggunakan dua jenis pestisida, yaitu

pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida padat hanya digunakan

oleh 21 persen petani jagung di Indonesia, sedangkan 42 petani jagung

menggunakan pestisida cair, dan 37 persen petani jagung belum menerapkan


teknologi baru berupa pengendalian hama penyakit (Djulin, Syafaat, dan

Kasryno, 2002).

Adisarwanto dan Widyastuti (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem

usaha tani sebagai upaya peningkatan produksi jagung di Indonesia akan berhasil

jika pemerintah mau bekerja sama dengan petani secara terpadu melalui beberapa

hal, antara lain:

1. Memperluas Areal Panen.

Perluasan areal panen adalah faktor potensial dalam mendukung

peningkatan produksi jagung yang dapat dilakukan melalui beberapa cara,

sebagi berikut:

a. Ekstensifikasi. Upaya pengadaan sumber pertunbuhan baru berupa

perluasan/penambahan areal penanaman. Perluasan penanaman

sebaiknya dilakukan di daerah-daerah seperti Hutan Tanaman Industri

(HTI), daerah transmigrasi, lahan pasang surut, lahan lebak, lahan tidur

dan lahan belum produktif lainnya.

b. Diversifikasi. Kegiatan penganekaragaman komoditas pertanian yang

dibudidayakan. Jika peningkatan jgaung dilakukan engan menjadikan

jagung sebagai tanaman pokok pada suatu kegiatan pola tanam, maka

kegiatan tersebut dikenal dengan diversifikasi horizontal. Sedankan

diversifikasi vertikal merupakan kegiatan penganekaragaman produk

industri yang berbahan baku jagung.

c. Rehabilitasi. Perbaikan potensi varietas unggul dengan pemurnian

benih atau penggantian benih hibrida yang sudah berkali-kali ditanam.


Di samping itu juga perlu dilakukan perbaikan kesuburan lahan,

misalnya dengan pemberian kapur pada lahan masam dan perbaikan

drainase di lahan pasang surut.

d. Peningkatan Intensitas Pertanaman (IP). Intensitas Pertanaman (IP)

diartikan banyaknya pertanaman dalam satu tahun pola tanam di suatu

daerah. Biasanya ditujukan untuk lahan tidur dengan pola tanam

monokultur maupun tumpang sari.

e. Penambahan periode panen jagung. Penanaman jagung di Indonesia

masih dilakukan pada waktu tanam tertentu saja, hal ini berakibat

produksi jagung relatif fluktuatif, yaitu berlebihan ketika musim panen

dan kekurangan ketika tidak di musim panen.

2. Meningkatkan Produktivitas.

Produktivitas dapat ditingkatkan dengan penanaman varietas unggul

disertai pengelolaan fisik yang dan hayati serta penerapan teknologi yang

efektif dan efisien.

3. Menekan Senjang Hasil.

Kesenjangan hasil merupakan perbedaan antara hasil riil yang dicapai

petani dengan potensi genetik dari suatu varietas yang ditanam.

Kesenjangan antara hasil yang diperoleh petani dengan hasil yang

mungkin dapat dicapai disebabkan oleh faktor biofisik dan faktor sosial

ekonomi dalam proses alih teknologi.


4. Mempertahankan Stabilitas Produksi.

Stabilitas hasil jagung pada suatu wilayah diartikan sebagai besarnya

perubahan hasil dari tahun ke tahun di wilayah tersebut dengan penerapan

teknologi produksi yang sam. Faktor yang mempengaruhi stabilitas hasil,

antara lain perkembangan hama penyakit dan kondisi lingkungan

(kekeringan, genangan, dan gulma).

5. Menurunkan Kehilangan Hasil.

Menurunkan persentase kehilangan hasil melalui penggunaan alat dan

mesin pertanian yang tepat dapat membantu meningkatkan total produksi

nasional. Peningkatan jasa mesin pertanian pascapanen menjadi faktor

penting dalam menekan kerugian petani.

4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia

Permintaan suatu komoditas pertanian pada umumnya terdiri dari

permintaan langsung (dikonsumsi) dan permintaan tidak langsung (diolah lebih

lanjut menjadi produk konsumsi atau lainnya) (Departemen Pertanian, 2006).

Pada dasarnya konsumsi jagung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai

bahan pangan, bahan baku industri olahan, dan bahan baku pakan (Purwono dan

Hartono, 2005). Peningkatan permintaan jagung pada periode 1990 2000

sebesar 3,4 persen tidak diimbangi dengan peningkatan produksi jagung dalam

negeri. Saat itu peningkatan jagung hanya sebesar 1,4 persen per tahun. Akhirnya,

kekurangan pasokan tersebut ditutup dengan impor yang terus meningkat sejak

tahun 1990. Permintaan jagung untuk bahan pangan pokok cenderung menurun
sejak tahun 1984, akan tetapi relatif konstan mulai tahun 1990, yaitu sekitar tiga

juta ton per tahun. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 kembali

meningkatkan permintaan jagung untuk bahan pangan pokok, sedangkan

penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami penurunan pada tahun

1998 dan kembali meningkat seiring dengan pulihnya perekonomian. Sebagian

besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama dalam pertanian jagung

di dalam negerinya. Indonesia yang masih dapat dikatakan sebagai negara

berkembang meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian

nasional mulai digantikan oleh sektor industri juga menghadapi masalah tersebut.

Masalah utama pertanian jagung negara berkembang adalah peningkatan produksi

jagung yang relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi jagung secara nasional

(Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 2005
(Ribu Ton)
Tahun Produksi Konsumsi Industri Industri
Pangan Pakan
2000 9.677 4.657 234 3.713
2001 9.347 4.567 2.415 3.955
2002 9.585 4.478 2.489 4.197
2003 10.886 4.388 2.564 4.438
2004 11.225 4.299 2.638 468
2005 12.524 4.174 2.713 3.419
Rata-rata 5,48%/tahun -2,17%/tahun 188,77%/tahun 111,90%/tahun
pertumbuhan
Sumber: Departemen Perdagangan, 2007

Permintaan jagung di Indonesia baik di tingkat rumah tangga maupun

industri menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Permintaan jagung di

tingkat rumah tangga meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk

yang relatif meningkat meskipun hanya di beberapa wilayah di Indonesia.

Sebelum tahun 1990 permintaan jagung untuk konsumsi langsung (rumah tangga)
lebih tinggi dibandingkan konsumsi industri. Kemudian pada tahun 2006

kondisinya telah berubah secara signifikan dimana permintaan jagung untuk

konsumsi industri jauh lebih besar dibandingkan konsumsi rumah tangga.

Tingginya permintaan jagung untuk konsumsi industri setelah tahun 1990

merupakan akibat perkembangan industri pakan secara nasional, dimana lebih dari

50 persen bahan baku pakan adalah jagung sehingga hasil produksi jagung banyak

diserap oleh indutri pakan (Gambar 4.2).

59
60 56
48 48 48
50
40
Unit 30
20
10
0
01

02

03

04

05
20

20

20

20

20

Tahun

Jumlah Perusahaan Pakan

Sumber: Statistik Peternakan, 2006


Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan
di Indonesia 2001 2005

Upaya-upaya untuk mengembangkan industri berbasis jagung sebagai

salah satu sektor yang potensial karena mempunyai rantai nilai yang cukup

panjang, seperti minyak jagung, industri tepung, dan pati jagung akan terus

digalakkan (Lampiran 2). Hal ini dapat terwujud apabila disertai dengan upaya-

upaya peningkatan dari sisi produksi jagung dalam negeri yang akan menjamin

ketersediaan jagung di dalam negeri baik dari segi jumlah, kualitas, harga, dan

kepastian pasokan.
Tabel 4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia
No. Nama Perusahaan Kota
1. PT. Cheil Jedang Superfeed Serang, Banten
2. PT. Charoen Pokphand Indonesia Jakarta Utara
3. PT. Cargill Indonesia Bogor, Jawa Barat
4. PT. Citra Ina Feedmill Jakarta Timur
5. PT. Gold Coin Indonesia Bekasi Barat
6. PT. Metro Inti Sejahtera Bekasi Barat
7. PT. Sierad Produce, Div. Feedmill Jakarta Selatan
8. PT. Central Pangan Pertiwi Jakarta
9. PT. Japfa Comfeed Indonesia Tanjung Bintang, Lampung
10. Vista Grain Corp Lampung
11. PT. Japfa Comfeed Indonesia Cirebon, Jawa Barat
12. PT. Welgro Feedmill Indonesia Bogor, Jawa Barat
13. PT. Wonokoyo Jaya Kusuma Serang, Banten
14. PT. Japfa Comfeed Indonesia Tangerang
15. PT. Sentra Profeed Intermitra Bandar Lampung
16. PT. Malindo Feedmill Jakarta Selatan
17. PT. Sinta Prima Feedmill Jakarta Barat
18. PT. Japfa Comfeed Indonesia Sidoarjo, Jawa Timur
19. PT. Charoen Pokphand Indonesia Surabaya, Jawa Timur
20. PT. Gold Coin Indonesia Surabaya, jawa Timur
21. PT. Sierad Produce, Div. Feedmill Sidoarjo, Jawa Timur
22. PT. Berlian Unggas Sakti Medan
23. PT. Bintang Terang Gemilang Serang, Banten
24. Universal Agribisnisindo/Luxindo Internusa Bekasi
25. Multiphala Agrinusa Sragen, Jawa Tengah
26. PT Suri Tani Pemuka Sidoarjo, Jawa Timur
27. PT. Wirifa Sakti Surabaya, Jawa Timur
28. PT. Bintang Terang Gemilang Sidoarjo, Jawa Timur
29. PT. Central Proteina Prima Semarang, Jawa Tengah
30. PT. Cheil Jedang Feed Jombang Jombang, Jawa Timur
31. PT. Cargill Indonesia Pasuruan, Jawa Timur
32. PT. Wonokoyo Jaya Corporindo Surabaya, Jawa Timur
33. PT. Mabar Feed Indonesia Medan
34. PT. Charoen Pokphand Indonesia Medan
35. PT. Indojaya Agrinusa Medan
36. PT. Gold Coin Indonesia Medan
37. PT. Allied Feeds Indonesia Bogor, Jawa Barat
38. PT. Panca Patiot Prima Sidoarjo, Jawa Timur
39. PT. Matahari Sakti Surabaya, Jawa Timur
40. PT. Arta Citra Terpadu (Tutup) -
41. PT. Subur Ripah (Tutup) -
42. PT. Farmindo Utama (Tutup) -
43. PT. Hirema (Tutup) -
44. PT. Buana Superior (Tutup) -
45. PT. Unggul Citra Top Feed (Tutup) -
46. PT. Restu Jaya (Tutup) -
47. PT. Satwa Biga Sampurna (Tutup) -
Sumber: GPMT, 2007
Industri pakan berkembang pesat setelah tahun 1980. sebagian besar

berlokasi di Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Berdasarkan

data Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian

(2007) di Indonesia terdapat 67 perusahaan pakan yang memanfaatkan jagung

sebagai bahan baku utama produksinya dengan total kapasitas terpasang sebesar

12 juta ton per tahun. Berbeda dengan data Gabungan Pengusaha Makanan

Ternak (GPMT) (2007) bahwa hanya terdapat 47 perusahaan pakan yang terdaftar

menjadi anggota GPMT dan delapan perusahaan diantaranya dinyatakan telah

tutup. Nama-nama perusahaan pakan anggota GPMT di Indonesia beserta

wilayahnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Perusahaan yang termasuk dalam industri makanan olahan berbahan baku

jagung (snack food) berjumlah 17 perusahaan dengan kapasitas terpasang sebesar

18.018 ton per tahun. Selain industri pakan dan industri makanan olahan (snack

food) juga terdapat industri berbasis jagung lain, seperti PT. Suba Indah

(integrated corn industry) yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan produk

turunan pengolahan jagung seperti Corn Starch, Corn Gluten dan Corn Meal yang

juga memanfaatkan jagung sebagai bahan baku industrinya dengan kapasitas

terpasang sebesar 360 ribu ton per tahun (Departemen Perindustrian, 2007).

Rata-rata pertumbuhan permintaan jagung oleh industri selama periode

tahun 1998 2005 adalah sebesar 4,31 persen lebih kecil jika dibandingkan

dengan rata-rata pertumbuhan sebelum krisis (1985 1997) yaitu sebesar 7,47

persen. Kondisi ini diduga karena pada saat krisis banyak industri pakan yang

tidak mampu bertahan sehingga permintaan akan jagung sebagai bahan baku
menurun drastis. Sebaliknya kondisi permintaan jagung untuk konsumsi langsung

yang relatif menurun pada saat krisis mengalami peningkatan hingga mencapai

12,13 persen sebagai akibat masyarakat melakukan diversifikasi pangan (Outlook

Tanaman Pangan, 2006). Berdasarkan data Departemen Perdagangan (2007)

menunjukkan bahwa kondisi lima tahun terakhir produksi dan konsumsi jagung di

Indonesia mengalami surplus produksi (Tabel 4.4). Dengan demikian, permintaan

jagung dalam negeri baik untuk konsumsi langsung dan bahan baku industri telah

mampu dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri tetapi kenyataannya

Indonesia masih mengimpor jagung yang kecenderungannya selalu meningkat.

Industri pakan sebagai konsumen utama komoditi jagung mulai

berkembang pesat di Indonesia setelah tahun 1980. Sebagian besar lokasi

pabriknya berada di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi jagung di

Indonesia, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara.

Pemilihan lokasi ini berhubungan dengan pasokan jagung sebagai bahan baku

utama pakan sehingga dalam hal kuantitas dan kualitas dapat terjamin. Kapasitas

terpasang perusahaan pakan mengalami peningkatan dimana selama periode tahun

1990 1994 hanya sebesar tujuh juta ton per tahun menjadi 11 juta ton per tahun

pada periode tahun 1995 2004. Kemudian meningkat lagi hingga mencapai 12

juta ton per tahun pada tahun 2005. Hal ini merupakan salah satu ciri dari

keberhasilan Revolusi Peternakan. Berbeda dengan kondisi perkembangan

produksi padi dan jagung akibat adanya Revolusi Pertanian yang bersifat supply

driven, sebab yang terjadi pada Revolusi Peternakan bersifat demand driven,
terjadi karena perubahan pola konsumsi msyarakat dengan meningkatnya

konsumsi daging, telur, dan susu.

4.3. Impor Jagung di Indonesia

Perubahan era pasar komoditas pertanian yang mengarah pada pasar bebas

membawa konsekuensi terhadap harga komoditas pertanian, yaitu harga pangan di

pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar internasional. Harga

komoditas pangan di pasar dunia secara langsung akan mempengaruhi harga

komoditas pangan di dalam negeri. Sebagai salah satu komoditas pangan,

fluktuasi perubahan harga jagung tidak terlepas dari arah kebijakan perdagangan,

pasar komoditas pangan dunia, stabilitas harga, dan fluktuasi nilai tukar rupiah

(Gambar 4.3). Akumulasi berbagai perubahan tersebut secara simultan akan

mempengaruhi fluktuasi harga jagung di dalam negeri (Meng dan Ekboir, 2001

dalam Rachman, 2003).


12,000.00

10,000.00

8,000.00

Rp/US$ 6,000.00

4,000.00

2,000.00

0.00
1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005
Tahun

Harga Jagung Dunia Nilai Tukar

Sumber: Departemen Perdagangan, 2007

Gambar 4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan


Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
Terdapat dua kondisi yang menjadi alasan mengapa suatu negara

mengimpor jagung dan bagaimana pemerintah seharusnya menyikapi

permasalahan tersebut. Kondisi pertama, produksi jagung lokal relatif cukup

memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pada saat yang sama harga jagung dunia

lebih murah dari harga jagung lokal. Pada kondisi seperti ini konsumen jagung

dalam negeri yang tingkat kebutuhannya sangat tinggi, seperti perusahaan pakan

akan lebih memilih impor jagung dibandingkan membeli jagung lokal. Impor

jagung oleh perusahaan pakan mendorong harga jagung lokal turun menyamai

harga jagung dunia. Hal ini akan memukul produsen jagung di dalam negeri,

sehingga pemerintah menetapkan tarif tertentu terhadap impor jagung. Kebijakan

tarif impor jagung ternyata belum mendorong petani jagung di dalam negeri

menjadi lebih efisien.

Kondisi kedua adalah ketika produksi jagung lokal relatif rendah

dibandingkan jumlah kebutuhan jagung di dalam negeri. Seperti pada kondisi

pertama, misalnya kebutuhan oleh pabrik pakan tidak dapat dipenuhi produksi

jagung lokal, maka pabrik pakan akan mengimpor jagung dari pasar dunia

sekalipun harganya lebih mahal. Jika harga jagung dunia lebih mahal maka pabrik

pakan akan melakukan pengurangan produksi, namun keputusan tersebut juga

dipengaruhi oleh rasio harga pakan dan harga hasil peternakan. Pada kondisi

seperti ini, seharusnya pemerintah terdorong untuk menetapkan kebijakan kuota

impor dengan tetap memperhatikan dampak atau konsekuensi yang timbul seperti

pasar gelap. Melalui struktur tataniaga jagung yang baik, produsen (petani)

jagung lokal dapat mengambil keuntungan atau insentif untuk meningkatkan


produksi jagung lokal karena kenaikan harga jagung dunia akan mendongkrak

kenaikan harga jagung di dalam negeri.

Kebutuhan jagung untuk bahan pangan pokok, bahan baku pakan serta

bahan baku industri olahan terus meningkat. Kebutuhan jagung untuk bahan baku

pakan semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri

peternakan yang menuntut kontinuitas pasokan bahan baku. Oleh karena itu,

volume impor jagung terus meningkat mengingat harga jagung di pasar dunia

relatif lebih murah dibanding harga jagung lokal serta kualitas produk lebih

terjamin (Rachman, 2003).

Pengenaan tarif impor atas komoditi jagung bertujuan untuk melindungi

petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974 1979 besarnya tarif impor yang

diberlakukan adalah sebesar lima persen, kemudian ditingkatkan menjadi 10

persen pada tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi lima

persen pada tahun 1994 hingga saat ini, bahkan penurunannya mencapai nol

persen ketika kondisi pertanian jagung di Indonesia tidak sedang dalam musim

panen. Pemenuhan jagung sebagai bahan baku industri pakan dan industri olahan

berbasis jagung sepenuhnya dipenuhi dari impor. Kebijakan pengenaan tarif

impor dan bentuk-bentuk proteksi lainnya tidak akan efektif mempengaruhi

kesejahteraan petani jagung di dalam negeri sebelum sistem produksi jagung

nasional dapat bersaing secara efisien (Rachman, 2003).

Keputusan terbaru mengenai besarnya tarif impor jagung telah ditetapkan

berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 600/PMK.010/2004 tanggal 23

Desember 2004 dinyatakan bahwa tarif impor jagung meningkat dari nol persen
menjadi lima persen. Kemudian tidak hanya impor jagung yang dikenakan tarif

impor tetapi juga impor pakan dikenakan tarif impor meski hanya sebesar nol

persen. Pati jagung sebagai produk olahan industri berbasis jagung yang juga

harus bersaing dengan produk impor yang harganya relatif lebih murah turut serta

dilindungi pemerintah. Hal ini ditetapkan berdasarkan Permenkeu Nomor

108/PMK.010/2005 bahwa impor pati jagung dikenakan tarif sebesar 10 persen

tetapi dengan tingkat tarif impor yang dinilai cukup harmonis tersebut ternyata

belum mampu meningkatkan daya saing industri pengolahan jagung (Departemen

Perindustrian, 2007).

Melihat perkembangan impor jagung sebagai bahan baku pakan semakin

meningkat karena kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan belum seluruhnya

dapat dipenuhi dari jagung lokal, maka pelaksanaan impor bahan baku tersebut

perlu dilakukan pengawasan secara ketat oleh pemerintah. Salah satu tujuan

pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para pihak

baik aparatur maupun Badan Usaha yang melakukan kegiatan importasi bahan

baku pakan, yaitu perusahaan importir dan perusahaan pakan, serta dalam upaya

pembinaan dan pengawasan dengan tujuan agar bahan baku pakan yang diimpor

dapat dijamin mutu dan aman dari media penyakit hewan menular, sebab bahan

baku pakan dapat menjadi agent penyakit hewan menular. Pengawasan ini

dilakukan melalui pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor. Pengaturan

pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor dilakukan oleh pemerintah yang

didasarkan pada tindakan Sanitary and Phitosanitary (SPS-Measures), World

Trade Organization (WTO), dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office


Internatinal des Epizootes/OIE) yang telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur

Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 63/TN.240/Kpts/DJBPP/Deptan/2002

(Departemen Pertanian, 2002).

Perkembangan impor jagung Indonesia setelah tahun 1990 menunjukkan

kecenderungan yang selalu meningkat. Kemudian pada tahun 2003 impor jagung

Indonesia meningkat signifikan sebagai akibat tingginya permintaan jagung untuk

industri pakan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri.

Sistem produksi dan distribusi jagung nasional yang belum bekerja dengan baik

diduga sebagai penyebab peningkatan impor jagung dari tahun ke tahun meskipun

produksi jagung dikatakan meningkat. Sistem statistik data sebagai peramalan dan

informasi perlu segera diperbaiki sebab hingga saat ini data produksi jagung di

Indonesia belum terdefinisi dengan baik dan jelas apakah perhitungan produksi

tersebut berupa jagung pipilan kering dengan kadar air 17 persen atau bentuk lain

seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan ternak, jagung sayur, dan lain-lain

(Kompas, 2007).

Di pasar jagung dunia, Indonesia menempati peringkat kedelapan sebagai

produsen jagung dengan kontribusi produksi jagung sebesar 1,73 persen (FAO,

2005 dalam Outlook Tanaman Pangan, 2006). Indonesia menjadi negara satu-

satunya dari kawasan Asia Tenggara yang telah masuk peringkat sepuluh terbesar

produsen jagung dunia. Meskipun demikian, Indonesia juga termasuk sebagai

konsumen jagung terbesar di dunia yang menempati peringkat kedelapan dengan

proporsi konsumsi sebesar 1,55 persen (FAO, 2005 dalam Outlook Tanaman

Pangan, 2006).
Tabel 4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg)
Negara 2000 2001 2002 2003 2004 2005
India 270.000 1.835.982 17.650.000 2.920.000 2.314.720 97.565.440
Argentina 35.846.493 37.657.731 23.818.980 222.292 1.024.047 372.128.472
Thailand 2.233.182 1.723.874 173.844.859 31.483.562 26.461.299 278.471.453
USA 192.240.257 219.764.033 465.097.422 71.553.249 8.344.800 150.532.671
Cina 387.338.271 885.635.118 325.933.707 1.032.736.361 1.308.677.535 192.490.004
Total 617.928.203 1.146.616.738 1.006.344.968 1.138.915.464 1.346.822.401 1.091.188.040
Sumber: Departemen Pertanian, 2006

Perkembangan impor jagung Indonesia selama periode 1985 2005 yang

relatif meningkat disebabkan karena harga jagung dunia lebih murah

dibandingkan harga jagung lokal. Peningkatan ekspor Amerika Serikat sebagai

produsen jagung peringkat pertama di pasar dunia diduga sebagai faktor utama

terjadinya penurunan harga jagung dunia. Ketika terjadi peningkatan jumlah

ketersediaan jagung di pasar dunia akan berdampak pada penurunan harga jagung

dunia dan peningkatan impor jagung Indonesia, Hal ini memaksa petani jagung

lokal untuk menurunkan harga sebab jika tidak maka jagung lokal tidak akan

terserap oleh industri berbasis jagung. Jika dilihat berdasarkan negara asal impor

jagung Indonesia selama lima tahun terakhir maka USA (Amerika Serikat) dan

Cina merupakan negara yang mempunyai kontribusi besar terhadap jumlah jagung

yang diimpor oleh Indonesia, masing-masing sebesar 31 persen dan 63 persen

kemudian sisanya berasal dari Argentina, India, dan Thailand (Tabel 4.6).

Kebijakan tarif impor jagung yang bertujuan untuk melindungi petani

jagung lokal, mulai tahun 1994 hingga saat ini adalah sebesar 0 5 persen.

Besarnya tarif tersebut sebenarnya kurang efektif baik dari sisi peningkatan

produktivitas petani jagnng lokal maupun pembatasan impor oleh industri

berbasis jagung. Petani jagung Indonesia masih menjadikan jagung sebagai


tanaman sekunder setelah padi, sebab harga padi selalu lebih baik dibandingkan

dengan harga jagung, sehingga kegiatan penanaman jagung cenderung bersifat

musiman. Kemudian dari sisi pembatasan impor, jika tarif impor jagung

ditingkatkan untuk membatasi impor jagung yang menjadi bahan baku industri

ternyata belum ada kepastian atau jaminan bahwa produksi jagung dalam negeri

akan mampu memenuhi kebutuhan jagung oleh industri berbasis jagung yang

membutuhkan pasokan jagung secara kontinu. Oleh karena itu, diperlukan

kerjasama yang baik untuk mengatasi permasalah tersebut.


V. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG

5.1. Hasil Dugaan Model

Berdasarkan hasil dugaan dari seluruh model persamaan yang telah dibuat

cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik seperti yang

terlihat dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan

struktural yaitu berkisar antara 0,63 sampai dengan 0,98. Nilai koefisien

determinasi (R2) yang diperoleh pada persamaan luas areal panen tanaman jagung

adalah sebesar 0,63, produktivitas tanaman jagung sebesar 0,98, harga riil jagung

lokal sebesar 0,63, jumlah impor jagung sebesar 0,80 dan harga impor jagung

sebesar 0,73. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum variabel-variabel bebas

yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan variabel terikatnya

dengan baik.

Besarnya nilai p-value untuk Fstatistik pada setiap persamaan umumnya

lebih kecil dari nilai taraf nyata () yang berarti variasi variabel-variabel bebas

dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama cukup mampu

menjelaskan dengan baik variasi variabel terikat pada taraf nyata lima persen.

Setiap persamaan struktural mempunyai variabel-variabel bebas dengan beberapa

tanda parameter yang sesuai dengan hipotesis dan cukup logis dari sudut pandang

ekonomi. Jika terdapat tanda parameter yang tidak sesuai dengan harapan dan

teori ekonomi, hal tersebut dikarenakan masih banyak variabel yang berpengaruh

namun tidak dimasukkan dalam persamaan karena keterbatasan akses data atau

ketersediaan data.
Nilai tstatistik digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel

bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil uji-t yang diperoleh

menunjukkan bahwa ada beberapa variabel bebas yang tidak signifikan atau tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata lima persen.

Besarnya nilai taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima persen

agar interpretasi hasil estimasi mendekati fenomena ekonomi aktual.

Masalah multikolinearitas dalam persamaan simultan dapat diabaikan jika

nilai koefisien sesuai dengan harapan atau logis dari sudut pandang ekonomi.

Multikolinearitas dipandang hanya sebagai gejala dalam persamaan simultan yang

tidak mempengaruhi validitas estimasi. Pengujian masalah autocorrelation dapat

dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) Statistic, tetapi karena dalam

persamaan terdapat variabel beda kala maka uji DW Statistic menjadi tidak valid,

sehingga digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Syaratnya jika

nilai probabilitas Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari

taraf nyata lima persen maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak

terdapat masalah autocorrelation. Dari hasil analisis diperoleh nilai probabilitas

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata lima

persen. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam setiap persamaan struktural

tidak terdapat masalah autocorrelation.

Pengujian masalah heteroskedastisitas digunakan White Heteroskedasticity

Test. Syaratnya jika nilai probabilitas White Heteroskedasticity Test lebih besar

dari nilai taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa persamaan-

persamaan dalam penelitian ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.

5.2. Dugaan Model Ekonometrika

Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model persamaan, maka

akhirnya diperoleh model persamaan produksi dan impor jagung Indonesia yang

terdiri dari lima model persamaan struktural.

5.2.1. Luas Areal Jagung

Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan luas areal panen tanaman

jagung adalah sebesar 0,6259 yang artinya 62,59 persen keragaman luas areal

panen tanaman jagung dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas

di dalam model persamaan yakni variabel harga riil di tingkat produsen, harga riil

kedelai, harga riil padi, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan luas areal

panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 37,41 persen dijelaskan oleh

faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil estimasi selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung
di Indonesia
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) 10.52293 2.453830 4.288369 0.0006
LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 1.254833 0.434681 2.886794 0.0113
LN_PKT (Harga riil kedelai) -0.555688 0.146156 -3.802023 0.0017
LN_PPT (Harga riil padi) -0.296317 0.425239 -0.696824 0.4966
SBT (Tingkat suku bunga kredit) 0.011249 0.003695 3.044093 0.0082
LN_LAPT1 (Luas areal panen tahun sebelumnya) -0.547945 0.224392 -2.441913 0.0275
R-squared 0.625942 Prob(F-statistic) 0.006692
Adjusted R-squared 0.501256 Durbin-Watson stat 1.871053
Sumber: Lampiran 4, Halaman 124
Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0067 yang lebih kecil

dari taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam

model persamaan luas areal panen jagung secara bersama-sama berpengaruh nyata

terhadap luas areal tanaman jagung.

Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel harga riil jagung di tingkat

produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit di Indonesia, dan luas areal

panen tanaman jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal

panen tanaman jagung pada taraf nyata lima persen. Sedangkan, harga riil padi

tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung (Lampiran 4).

Seperti terlihat dari tanda koefisien dugaannya, harga riil jagung di tingkat

produsen berpengaruh positif dan berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen

terhadap luas areal panen tanaman jagung. Nilai koefisien dugaan variabel harga

riil jagung di tingkat produsen sebesar 1,25, artinya jika terjadi peningkatan harga

riil jagung di tingkat produsen sebesar satu persen maka akan meningkatkan

keinginan petani untuk menanam jagung karena petani beranggapan bahwa

insentif yang akan mereka terima lebih tinggi, sehingga luas areal panen tanaman

jagung akan meningkat sebesar 1,25 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan

harga riil jagung lokal sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung

akan menurun sebesar 1,25 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan kondisi

pasar jagung dalam negeri yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar sejak

tahun 1990 yaitu sejak dicabutnya kebijakan harga dasar jagung. Sejak saat itu

BULOG tidak lagi melakukan intervensi dalam pemasaran jagung dengan

pertimbangan: (1) intervensi BULOG memerlukan biaya besar, (2) kompetisi


antar pedagang akan menciptakan keuntungan bagi petani jagung, dan (3)

permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun (Rachman, 2003).

Nilai koefisien dugaan variabel harga riil kedelai sebesar -0,56 yang

berarti jika terjadi kenaikan harga riil kedelai sebesar satu persen akan

menurunkan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, dan sebaliknya

jika terjadi penurunan harga riil kedelai sebesar satu persen akan meningkatkan

luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, ceteris paribus. Persaingan

dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung dan kedelai saat ini mulai

berkurang, sebab dengan berkembangnya sistem tumpangsari usahatani jagung

tidak hanya dapat dilakukan secara monokultur. Berdasarkan analisis usahatani

jagung sistem tumpangsari dengan kedelai dapat meningkatkan pendapatan yang

akan diperoleh petani dibandingkan dengan sistem monokultur (Purwono dan

Hartono, 2006).

Harga riil padi tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen

dengan nilai koefisien dugaan sebesar -0,30. Artinya jika terjadi peningkatan

harga riil padi sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan

menurun sebesar 0,30 persen, sebaliknya jika harga riil padi mengalami

penurunan sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan

meningkat sebesar 0,30 persen, ceteris paribus. Hal ini dapat dipahami karena

padi masih menjadi tanaman pangan utama di Indonesia yang dikonsumsi oleh

mayoritas penduduk di Indonesia. Meskipun telah diadakan program perluasan

areal tanam tanaman jagung ke luar Pulau Jawa pada lahan sawah tadah hujan dan
lahan kering tetapi masih tetap terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dengan

tanaman padi untuk di wilayah Pulau Jawa (Departemen Pertanian 2005).

Petani Indonesia dapat dikatakan masih tergolong lemah karena sebagian

besar menjalankan kegiatan produksi pertaniannya secara tradisional dan luas

areal pertanian yang dimiliki relatif sempit. Hal inilah yang menyebabkan petani

kesulitan dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank dibandingkan para

pelaku produksi di sektor industri. Tingkat suku bunga kredit di Indonesia

berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung dengan nilai

koefisien dugaan sebesar 0,01 yang berarti jika terjadi peningkatan tingkat suku

bunga kredit sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan

meningkat sebesar 0,01 persen. Ketika tingkat suku bunga kredit yang berlaku

meningkat petani akan mengusahakan pertanian jagung lebih efisien karena

dengan besarnya jumlah kredit yang diterima akan menambah modal yang dapat

digunakan untuk usaha pertanian jagung. Begitu pula sebaliknya dengan

menurunnya tingkat suku bunga kredit sebesar satu persen maka akan terjadi

peningkatan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,01 persen, ceteris paribus.

Kenaikan tingkat suku bunga kredit tidak berpengaruh besar terhadap luas areal

panen tanaman jagung karena masih banyak petani yang belum menggunakan

pinjaman kredit dari bank sebagai modal untuk mengadopsi teknologi, misalnya

dengan membeli bibit jagung unggul (hibrida atau komposit).

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, luas areal panen juga

dipengaruhi secara nyata oleh peubah beda kala. Nilai koefisien dugaan luas areal

panen tanaman jagung tahun sebelumnya sebesar -0,55. Yang mana dapat
diartikan ketika luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya mengalami

peningkatan sebesar satu persen akan menurunkan luas areal panen tanaman

jagung sebesar 0,55 persen. Sedangkan jika luas areal panen tanaman jagung

tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen akan meningkatkan

luas areal panen sebesar 0,55 persen, ceteris paribus. Pengembangan lahan

pertanian tanaman pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian

produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti pemukiman. Oleh karena itu,

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perluasan areal panen tanaman jagung

saat ini diarahkan pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di luar Pulau

Jawa dan telah terbukti dapat memberikan daya saing produksi relatif lebih baik.

5.2.2. Produktivitas Jagung

Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan produktivitas jagung

adalah sebesar 0,9823, artinya 98,23 persen keragaman produktivitas jagung dapat

diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas yakni variabel harga riil

jagung lokal, harga riil pupuk urea, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan

produktivitas tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 1,77 persen

dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil

estimasi dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) -0.296517 0.580733 -0.510591 0.6166
LN_PJT (Harga riil jagung local) 0.008087 0.111265 0.072683 0.9430
LN_PUT (Harga riil pupuk urea) 0.041094 0.061023 0.673415 0.5103
SBT (Tingkat suku bunga kredit) -0.000276 0.000754 -0.365684 0.7194
LN_YT1 (Produktivitas tahun sebelumnya) 0.998728 0.035322 28.27459 0.0000
R-squared 0.982299 Prob(F-statistic) 0.000000
Adjusted R-squared 0.977874 Durbin-Watson stat 1.747706
Sumber: Lampiran 8, Halaman 125
Dari nilai probability yang diperoleh untuk Fstatistik sebesar 0,0000 pada

taraf nyata lima persen berarti bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara

bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman jagung. Hasil

uji-tstatistik menunjukkan bahwa hanya produktivitas tahun sebelumnya yang

berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata lima

persen.

Harga riil jagung lokal tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas

jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien sebesar 0,01, yang

berarti produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,01 persen ketika harga riil

jagung lokal dapat ditingkatkan sebesar satu persen. Demikian juga ketika harga

riil jagung lokal mengalami penurunan sebesar satu persen maka akan

menurunkan produktivitas jagung sebesar 0,01 persen. Harga riil jagung lokal

menjadi ukuran seberapa besar insentif petani menanam jagung, sehingga

diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat berpihak kepada petani jagung.

Harga riil faktor produksi pupuk urea ternyata tidak berpengaruh secara

nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,04.

Artinya jika terjadi peningkatan harga riil pupuk urea sebesar satu persen maka

produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,03 persen, sebaliknya jika terjadi

penurunan harga riil pupuk urea maka produktivitas jagung akan menurun sebesar

0,03 persen, ceteris paribus. Meningkatnya harga pupuk berdampak pada

peningkatan biaya produksi yang harus ditanggung petani, dalam kondisi seperti

ini petani diduga berusaha seefektif dan seefisien mungkin, agar mendapat nilai

jual hasil yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seharusnya petani tanaman pangan
mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan

subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani

pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak (www.nakertrans.go.id).

Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap

produktivitas jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan

sebesar -0,0003 yang berarti jika tingkat suku bunga kredit meningkat satu persen

maka akan menyebabkan produktivitas jagung menurun sebesar 0,0003 persen,

dan sebaliknya produktivitas akan meningkat sebesar 0,0003 persen jika tingkat

suku bunga kredit diturunkan sebesar satu persen, ceteris paribus. Melalui

pemberian keringanan bunga kredit kepada petani disertai dengan program-

program peningkatan usaha tani dengan cara menggunakan bibit jagung yang

lebih unggul diharapkan dapat mewujudkan peningkatan produksi jagung

Indonesia sehingga swasembada jagung dapat segera tercapai yang seharusnya

telah terealisasi pada tahun 2007.

Nilai koefisien dugaan variabel produktivitas jagung tahun sebelumnya

sebesar 1,00, artinya jika terjadi kenaikan produktivitas jagung tahun sebelumnya

sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan meningkat sebesar satu

persen. Sebaliknya jika terjadi penurunan produktivitas jagung tahun sebelumnya

sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan turun sebesar satu persen,

ceteris paribus.

5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal

Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan harga riil jagung

lokal sebesar 0,6347, yang artinya 63,47 persen keragaman harga riil jagung lokal
dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model persamaan yakni

harga riil jagung di tingkat produsen, produksi jagung Indonesia, tingkat inflasi di

Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya

sebesar 36,53 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam

model persamaan. Hasil estimasi harga riil jagung lokal selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di


Indonesia
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) -2.234024 1.915697 -1.166168 0.2606
LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 0.740092 0.235168 3.147074 0.0062
LN_QJT (Produksi jagung Indonesia) -0.038279 0.071956 -0.531970 0.6021
INFT (Tingkat inflasi Indonesia) 0.011173 0.002804 3.985187 0.0011
LN_PJT1 (Harga riil jagung tahun sebelumnya) 0.640446 0.210810 3.038027 0.0078
R-squared 0.634713 Prob(F-statistic) 0.001927
Adjusted R-squared 0.543391 Durbin-Watson stat 1.592565
Sumber: Lampiran 12, Halaman 126

Variabel-variabel bebas yang terdapat dalam model persamaan harga riil

jagung lokal secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung

lokal. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0019

pada taraf nyata lima persen. Hasil uji-tstatistik pada taraf nyata lima persen

menunjukkan variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi di

Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata

pada taraf nyata lima persen. Produksi jagung Indonesia tidak berpengaruh nyata

terhadap harga riil jagung lokal pada taraf nyata lima persen.

Instrumen kebijakan pemerintah dalam hal harga jagung lokal yang

menonjol adalah kebijakan harga dasar jagung yang dimandatkan kepada

BULOG, serta stabilisasi harga jagung dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan

harga dasar jagung dimaksudkan untuk melindungi petani dari penurunan harga
yang berlebihan ketika musim panen. Kebijakan harga dasar jagung dimulai tahun

1977/1978, jauh setelah pemerintah menetapkan kebijakan harga dasar gabah

yang dimulai sejak tahun 1969 (Rachman, 2003). Penetapan harga dasar jagung

dipandang penting karena produksi jagung pada saat itu cenderung meningkat dan

ekspor cukup prospektif. Disamping itu, jagung merupakan bahan pangan pokok

kedua setelah padi, meski hanya di daerah-daerah tertentu dan juga menjadi bahan

baku utama pakan. Seiring dengan perkembangannya kebijakan harga dasar

jagung tidak mampu memacu produksi jagung lokal, sehingga pada tahun 1990

kebijakan harga dasar jagung tidak diberlakukan lagi.

Salah satu peran BULOG adalah untuk melakukan pengadaan jagung yang

bersumber dari petani lokal dan impor, kemudian disalurkan ke pasar-pasar dalam

negeri dan ekspor. Dari hasil analisis pada penelitian ini dapat dilihat bahwa harga

riil jagung di tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal,

dengan koefisien dugaan variabel harga riil jagung di tingkat produsen sebesar

0,74. Berarti jika terjadi kenaikan pada harga riil jagung di tingkat produsen

sebesar satu persen akan meningkatkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74

persen. Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil jagung di tingkat produsen

sebesar satu persen akan menurunkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74 persen,

ceteris paribus.

Produksi jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga riil jagung

lokal dan tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien

dugaan variabel produksi jagung Indonesia sebesar -0,04. Artinya jika terjadi

peningkatan produksi jagung sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal
akan menurun sebesar 0,04 persen, sebaliknya jika produksi jagung mengalami

penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan meningkat

sebesar 0,04 persen, ceteris paribus. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh

pedagang besar untuk mengekspor jagung ketika musim panen, dengan membeli

jagung melalui pedagang pengumpul/penebas yang membeli langsung dari petani

jagung dengan harga rendah, sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Sedangkan ketika produksi jagung Indonesia menurun pengusaha importir jagung

dan pabrik pakan memilih untuk mengimpor jagung yang dianggap lebih murah

dan efisien, karena hanya berurusan dengan satu eksportir dari negara pengekspor,

dibanding membeli jagung lokal yang harus dikumpulkan dari beberapa petani

sedikit demi sedikit karena ketiadaan pengepul jagung. Hal ini memaksa petani

jagung untuk tidak terlalu tinggi dalam meningkatkan harga jagung ketika

ketersediaan jagung terbatas, bahkan terkadang harus menyesuaikan dengan harga

jagung impor agar tetap dapat diserap oleh pabrik pakan.

Variabel tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh secara nyata pada taraf

nyata lima persen terhadap harga riil jagung lokal. Nilai koefisien dugaan variabel

tingkat inflasi di Indonesia sebesar 0,01. Artinya jika terjadi peningkatan tingkat

inflasi di Indonesia sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan

meningkat sebesar 0,01 persen, sebaliknya jika tingkat inflasi di Indonesia

mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan

menurun sebesar 0,01 persen, ceteris paribus.

Variabel harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata

terhadap harga riil jagung lokal dengan nilai koefisien dugaannya sebesar
0,64. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil jagung lokal pada tahun

sebelumnya sebesar satu persen, maka harga riil jagung lokal akan meningkat

sebesar 0,64 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil jagung lokal

tahun sebelumnya sebesar satu persen, maka akan menurunkan harga riil jagung

lokal sebesar 0,64 persen, ceteris paribus. Hal ini sangat dipengaruhi oleh

ekspektasi dan kekhawatiran petani jagung. Jika harga riil jagung tahun

sebelumnya dianggap terlalu tinggi akan menyebabkan perusahaan pengimpor

jagung dan pabrik pakan lebih memilih jagung impor. Oleh karena itu, untuk

mencegah terjadinya impor pada tahun berikutnya maka petani jagung

menetapkan harga yang tidak terlalu tinggi.

5.2.4. Jumlah Impor Jagung Indonesia

Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan jumlah impor

jagung Indonesia adalah sebesar 0,8048. Artinya keragaman dari variabel terikat

mampu diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model yakni Produk

Domestik Bruto Indonesia, harga impor jagung Indonesia, harga riil jagung dunia

dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar 80,48 persen. Sedangkan

sisanya sebesar 19,52 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model.

Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16.

Tabel 5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) 46.03297 63.62185 0.723540 0.4813
LN_PDBT (Produk Domestik Bruto Indonesia) 0.654427 1.373705 0.476395 0.6411
LN_PMT (Harga impor jagung Indonesia) -3.677738 0.619206 -5.939444 0.0000
LN_PWT (Harga riil jagung dunia) -4.534638 11.93973 -0.379794 0.7098
LN_IJT1 (Jumlah impor jagung Indonesia -0.317484 0.133696 -2.374669 0.0324
R-squared 0.804818 Prob(F-statistic) 0.000145
Adjusted R-squared 0.735111 Durbin-Watson stat 1.537057
Sumber: Lampiran 16, Halaman 127
Nilai probability untuk Fstatistik yang diperoleh sebesar 0,0001 pada taraf

nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model

persamaan jumlah impor jagung Indonesia secara bersama-sama berpengaruh

nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Melalui uji-tstatistik variabel yang

berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap impor jagung Indonesia

yaitu harga impor jagung Indonesia dan jumlah impor jagung Indonesia tahun

sebelumnya.

Produk Domestik Bruto Indonesia berpengaruh positif sebesar 0,65

terhadap jumlah impor jagung Indonesia pada taraf nyata lima persen, dapat

diartikan bahwa jika Produk Domestik Bruto Indonesia meningkat sebesar satu

persen maka jumlah impor jagung Indonesia akan meningkat juga sebesar 0,65

persen, dan sebaliknya jika Produk Domestik Bruto mengalami penurunan sebesar

satu persen akan menurunkan jumlah impor jagung Indonesia sebesar 0,65 persen,

ceteris paribus. Berdasarkan Angka Ramalan II tahun 2007 Badan Pusat Statistik

data produksi jagung Indonesia yang tersedia hanya sebanyak 12,44 juta ton lebih

rendah dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 13,54 juta ton. Dibandingkan

dengan produksi tahun 2003 lalu, produksi jagung Indonesia memang meningkat

1,56 juta ton di tahun 2007, karena adanya peningkatan luas areal panen seluas

73.000 hektar. Permasalahan mendasar yang harus segera diperbaiki berhubungan

dengan data produksi jagung Indonesia yang tidak pernah dijelaskan secara rinci

apakah produksi tersebut dalam bentuk jagung kering pipilan dengan kadar air 17

persen atau dalam bentuk lain, seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan

ternak sapi, jagung sayur, atau tongkol. Sehingga ketersediaan jagung lokal yang
tidak pernah jelas kuantitas dan kontinuitasnya tersebut menyebabkan impor

jagung Indonesia selalu meningkat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku

industri pakan sebagai pendukung perkembangan industri peternakan dan industri

pengolahan berbasis jagung. Semakin meningkatnya impor jagung Indonesia dari

tahun ke tahun mengakibatkan tujuan penghematan devisa negara akan sulit

tercapai dalam waktu singkat dengan hanya meningkatkan pemanfaatan

sumberdaya lokal.

Nilai koefisien dugaan variabel harga impor jagung Indonesia sebesar

-3,68, artinya setiap kenaikan harga impor jagung Indonesia sebesar satu persen

maka akan menurunkan jumlah impor jagung sebesar 3,68 persen, sebaliknya jika

harga impor jagung Indonesia turun sebesar satu persen maka jumlah impor

jagung Indonesia akan menurun sebesar 3,68 persen, ceteris paribus. Kenaikan

harga impor jagung terjadi bukan karena dipengaruhi oleh tingkat tarif impor

jagung Indonesia melainkan ditentukan oleh ketersediaan jagung di pasar

internasional. Salah satu contohnya ketika terjadi penurunan ekspor dari negara-

negara utama penghasil jagung, seperti Amerika Serikat yang dewasa ini

membutuhkan lebih banyak jagung sebagai bahan baku pembuatan ethanol sebab

pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan untuk beralih ke bahan bakar

biofuel agar tingkat pencemaran yang berasal dari bahan bakar fosil dapat segera

diatasi. Negara-negara maju diduga sebagai penyebab pemanasan globalkarena

tingginya tingkat penggunaan bahan bakar fosil dalam aktivitas perindustriannya.

Harga riil jagung dunia berpengaruh negatif terhadap jumlah impor jagung

Indonesia meskipun tidak secara nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai
koefisien dugaan sebesar 4,53 persen. Harga riil jagung dunia dari waktu ke waktu

memiliki kecenderungan menurun dikarenakan bertambahnya negara-negara yang

menjadi produsen jagung sehingga ketersediaan jagung di pasar internasional

selalu surplus jika dibandingkan kondisi pasar jagung di Indonesia yang belum

mampu memenuhi kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan yang selalu

meningkat. Oleh karena itu, para pengusaha di dalam industri peternakan selalu

berharap tarif impor jagung dapat dihapuskan agar biaya produksi industri

peternakan dapat ditekan karena jagung masih menjadi komponen bahan baku

utama pakan.

Variabel jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata

pada taraf nyata lima persen dan dari tanda koefisien dugaannya dapat diartikan

jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar satu

persen maka jumlah impor jagung akan menurun sebesar 0,32, sebaliknya jika

jumlah impor jagung tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen

maka jumlah impor akan menigkat sebesar 0,32 persen, ceteris paribus. Maka dari

itu, ketersediaan jagung di dalam negeri baik jumlah, kualitas, harga dan kepastian

pasokan perlu terus ditingkatkan.

5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia

Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga impor jagung adalah

sebesar 0,7272, artinya 72,72 persen keragaman harga impor jagung dapat

dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel bebas di dalam persamaan yakni

variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung

Indonesia, harga riil jagung dunia, tarif impor jagung Indonesia dan harga impor
jagung tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 27,28 persen

dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil estimasi selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 20.

Tabel 5.5. Hasil Estimasi Harga Impor Jagung Indonesia


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) -0.000453 9.135913 -4.96E-05 1.0000
LN_ERT (Nilai tukar rupiah terhadap dollar -0.535793 0.252542 -2.121601 0.0509
Amerika)
LN_IJT (Jumlah impor jagung Indonesia) -0.242829 0.041327 -5.875819 0.0000
LN_PWT (Harga riil jagung dunia) 2.758088 2.415975 1.141605 0.2715
TIT (Tarif impor jagung Indonesia) -0.123123 0.028649 -4.297615 0.0006
LN_PMT1 (Harga impor jagung Indonesia tahun 0.351007 0.151977 2.309608 0.0356
sebelumnya
R-squared 0.727150 Prob(F-statistic) 0.001241
Adjusted R-squared 0.636200 Durbin-Watson stat 2.301778
Sumber: Lampiran 20, Halaman 128

Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0012 pada taraf nyata

lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan secara

bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia

(Lampiran 20). Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, tarif impor jagung

Indonesia dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap

harga impor jagung pada taraf nyata lima persen (Lampiran 20).

Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh negatif

dan nyata pada taraf nyata lima persen terhadap harga impor jagung Indonesia.

Nilai koefisien dugaan variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah

sebesar 0,05 yang berarti ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika

terapreasi sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung

Indonesia sebesar 0,05 persen, begitu juga sebaliknya ketika kondisi nilai tukar

rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi maka akan meningkatkan harga


impor jagung Indonesia, ceteris paribus. Jika ketersediaan jagung lokal di pasar

dalam negeri belum mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi jagung lokal maka

pemerintah harus berperan dalam menjaga kestabilan nilai tukar agar kegiatan

produksi industri pakan dapat terlindungi dari fluktuasi nilai tukar yang akan

berpengaruh pada biaya produksi.

Jumlah impor jagung Indonesia mempunyai nilai koefisien dugaan

variabel sebesar -0,24. Berarti jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung

sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung Indonesia sebesar

0,23 persen, sebaliknya harga impor jagung Indonesia akan meningkat sebesar

0,23 persen jika terjadi penurunan jumlah impor jagung Indonesia sebesar satu

persen, ceteris paribus.

Nilai koefisien dugaan variabel harga riil jagung dunia sebesar 2,76 yang

tidak berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung pada taraf nyata lima

persen. Seiring dengan perkembangan harga riil jagung di pasar internasional

yang memiliki kecenderungan menurun maka harga impor jagung selalu dinilai

lebih murah dibanding harga riil jagung lokal. Tanda pada nilai koefisien dugaan

variabel harga riil jagung dunia dapat diartikan jika terjadi peningkatan harga riil

jagung dunia sebesar satu persen maka harga impor jagung Indonesia akan

meningkat sebesar 2,76 persen, sebaliknya jika harga riil jagung dunia mengalami

penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung impor akan menurun

sebesar 2,76 persen, ceteris paribus. Terbentuknya harga impor jagung ditentukan

oleh kekuatan tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengimpor dan


pabrik pakan yang mengimpor jagung dengan produsen (petani) jagung negara

asal sangat berpengaruh. Tetapi dalam hal ini sulit untuk diproksikan.

Tarif impor jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga impor

jagung Indonesia dengan nilai koefisien dugaan variabel sebesar 0,13 dan

berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Penentuan besar tarif impor

jagung yang disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung di Indonesia bertujuan

untuk melindungi petani jagung lokal, tetapi ternyata hingga saat ini belum

mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing jagung lokal. Ketika

Indonesia berada di musim panen jagung maka tarif impor jagung yang

diberlakukan adalah sebesar 10 persen, agar jumlah impor jagung Indonesia dapat

berkurang dan produksi jagung lokal dapat terserap oleh industri pakan dan

industri pengolahan berbasis jagung. Sedangkan pada kondisi dimana Indonesia

tidak mempunyai pasokan jagung lokal yang cukup, tarif impor jagung yang

diberlakukan akan diturunkan menjadi lima persen untuk memberikan keringanan

kepada pengusaha importir jagung dan pengusaha pakan, sehingga biaya produksi

pada industri-industri berbasis jagung dapat ditekan.

Harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh positif pada taraf

nyata lima persen sebesar 0,35. Artinya jika terjadi peningkatan harga impor

jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka hargaimpor jagung akan

meningkat sebesar 0,35 persen, sebaliknya jika harga impor jagung tahun

sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga impor jagung

akan menurun sebesar 0,35 persen, ceteris paribus.


Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia (2006) dari

sejumlah industri yang ada, baik industri pakan, industri snack food serta

intregated corn industry, maka kebutuhan jagung untuk industri setiap tahunnya

adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan kurang lebih 6,5 juta ton,

dimana empat juta ton digunakan sebagai bahan baku industri pakan

ternak, sedangkan sisanya digunakan langsung oleh peternak.

2. Kebutuhan jagung untuk industri makanan olahan kurang lebih 300 ribu

ton yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan atau snack food.

3. Kebutuhan Jagung untuk integrated corn industry adalah 1000 ton per hari

atau kurang lebih 360 ribu ton per tahun.

4. Total kebutuhan jagung untuk bahan baku industri sebesar kurang lebih

4,66 juta ton per tahun.

5. Impor jagung untuk memenuhi kebutuhan industri sebesar kurang lebih

1,27 juta ton per tahun selama periode 2000 2005.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kondisi produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985 2005

meningkat secara fluktuatif karena peningkatan luas areal dan produktivitas

tanaman jagung. Luas areal pada periode tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa

dan mengalami pergeseran penggunaan jenis lahan dari lahan kering ke lahan

beririgasi pada musim kemarau. Jenis jagung yang banyak diproduksi oleh petani

jagung dalam negeri adalah jagung lokal yang termasuk jenis jagung mutiara (Zea

mays indurata). Dari sisi produktivitas, produktivitas jagung Indonesia masih

relatif rendah meskipun meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan

sistem usaha tani petani jagung di Indonesia belum optimal, seperti terbatasnya

penggunaan benih varietas unggul, pemupukan yang belum berimbang lebih

dominan menggunakan pupuk urea, dan masih kurangnya penggunaan pestisida

untuk pengendalian hama.

Di satu sisi, konsumsi jagung juga mengalami peningkatan terutama

konsumsi untuk industri. Selama periode tahun 1985 2005 tidak terjadi

ketimpangan antara jumlah produksi dan konsumsi jagung secara nasional.

Industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan merupakan

konsumen utama jagung di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan

kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Akan tetapi,

peningkatan industri pakan belum diimbangi dengan produksi jagung gigi kuda

(Zea mays indentata) dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku pakan.
Maka dari itu, meskipun produksi jagung meningkat tetapi impor jagung

Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan

industri pakan. Jenis jagung yang diimpor adalah jagung gigi kuda (Zea mays

indentata) sebagai bahan baku pakan. Negara Cina, Amerika Serikat, Argentina,

Thailand, dan India merupakan negara-negara asal impor jagung Indonesia.

Perkembangan harga jagung di pasar dunia yang relatif menurun karena selalu

terjadi kelebihan penawaran jagung juga menjadi penyebab peningkatan impor

jagung Indonesia. Pemerintah menetapkan tarif impor jagung Indonesia bertujuan

untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Namun demikian, kebijakan tarif

impor jagung selama ini lebih berpihak pada industri pakan agar tetap dapat

berproduksi pada biaya seminimal mungkin sehingga tidak terjadi kenaikan pada

harga produk-produk peternakan.

Analisis faktor produksi pada taraf nyata lima persen berdasarkan variabel

utama yang mempengaruhi produksi, yaitu luas areal panen dan produktivitas

jagung, memberikan informasi bahwa untuk persamaan luas areal panen, variabel

yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil

tanaman palawija lain, yaitu harga riil kedelai yang menjadi kompetitor jagung

dalam penggunaan lahan, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun

sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas

tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat

produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya

berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal. Variabel harga riil jagung di
tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya

berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal.

Analisis impor jagung memberikan informasi bahwa variabel harga impor

jagung Indonesia dan jumlah impor Indonesia jagung tahun sebelumnya

berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Meskipun Produk

Domestik Bruto tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia

tetapi memiliki tanda yang sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis. Variabel nilai

tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung,

dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga

impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata

tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga

kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.

6.2. Saran

Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam

upaya mewujudkan peningkatan produksi jagung adalah pengembangan luas areal

panen sebaiknya dialihkan ke luar Pulau Jawa dan lahan yang digunakan

sebaiknya mempunyai sistem irigasi yang baik sehingga penanaman jagung tidak

lagi bersifat musiman. Peningkatan produktivitas tanaman jagung melalui

perbaikan sistem usaha tani diwujudkan dengan penyediaan dan penggunaan

benih varietas unggul baik hibrida dan komposit, penggunaan pupuk yang

berimbang untuk urea, SP-36, KCl. dan ZA, serta penggunaan pestisida untuk

pengendalian hama. Peningkatan produktivitas jagung, terutama jagung gigi kuda


(Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan akan

berdampak positif terhadap penurunan impor jagung Indonesia. Dengan demikian,

harga jagung di tingkat produsen akan meningkat dan mendorong petani untuk

lebih banyak menanam jagung. Pemerintah diharapkan dapat merumuskan

kebijakan dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor

jagung Indonesia yang lebih berpihak kepada petani jagung dalam negeri tanpa

memberatkan pengusaha di industri pakan.


DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. dan Yustina Erna Widyastuti. 2004. Meningkatkan Produksi


Jagung di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Aldillah, Rizma. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung


Nasional serta Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis
Jagung [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anonim. 10 September 2007. Hapus Bea Masuk Impor Jagung. Kompas: 17.

Anonim. 2007. Indonesia Berpotensi Jadi Pemasok Jagung Dunia [Sinar


Harapan Online].
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0115/ukm2.html [18
Mei 2007].

Anonym. 2007. "Jagung" [Wikipedia Indonesia].


http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung [6 April 2007].

Anonim. 2007. "Revitalisasi Pertanian".


http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi%20pertanian%202005.p
df [27 Mei 2007].

Anonim. 2007. "Statistik Usaha Tani".


http://www.deptan.go.id/editama/statistik/pengolahan_analisis_data/statisti
k%20usahatani.doc [1 Juni 2007].

Anonim. 2007. "Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian


Pertanian Indonesia".
http://www.nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/ketahanan_pangan.phpK
ETAHANAN [1 Juni 2007].

Anonim. 2007. Produksi Jagung.


http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/jagung/pendahuluan.asp [18 Mei 2007].

Debertin, David L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan


Publishing Company, New York.

Departeman Perindustrian. 2007. Kebijakan Nasional Program Pengembangan


Industri Pengolahan Berbasis Jagung. Direktorat Jenderal Industri Agro
dan Kimia, Jakarta.
Departemen Perdagangan. 2006. Statistik Perdagangan. Pusat Data Perdagangan,
Jakarta.

Departemen Pertanian. 2003. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan


Pengembangan, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan


2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2006. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan.


Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal


Peternakan, Jakarta.

Doll, John P. dan Frank Orazem. 1984. Production Economics: Theory with
Application Second Edition. John Wiley & Sons, New York.

Erwidodo, Hermanto dan Herena Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah


Tarif Impor Diberlakukan? Jawaban Analisis Simulasi. Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 21 No. 2: 175-195.

Erwidodo. 2006. Kebijakan Perdagangan Unggas dan Jagung. Departemen


Perdagangan, Jakarta.

Lipsey, Richard G., Paul N. Courant, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner. 1995.
Economics 10th ed. A. Jaka Wasana dan Kirbrandoko [penerjemah].
Binarupa Aksara, Jakarta.

Mutiaratri, Dyah Ayu. 2005. Analisis Peramalan dan Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Impor Gandum di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Ign Bayu


Mahendra [penerjemah]. PT Penerbit Erlangga, Jakarta.

Pasaribu, Syamsul Hidayat dan Samsubar Saleh. 2001. Pendekatan Koreksi


Kesalahan dalam Persamaan Simultan Studi Kasus: Pendapatan dan
Penawaran uang di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia,
Volume 16 No. 1: 18-29.

Prabowo, Hermas P. 8 November 2007. Jagung, Sebuah Contoh Keruwetan.


Kompas: 34.
Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi
dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Purwono dan Rudi Hartono. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Rahim, Abd. Dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian
(Pengantar, Teori, dan Kasus). Penebar Swadaya, Jakarta.

Rosmawati, Arvita. 2007. 2007 Swasembada Jagung. Jakarta.

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar


[penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Salvatore, Dominick. 2001. Managerial Economics dalam Perekonomian Global.


Erlangga, Jakarta.

Sarasutha, IG. P. 2002. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra
Produksi. Jurnal Litbang Pertanian, Volume 21 No. 2: 39-47.

Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi dan Impor Beras Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, Michael B. dan Merritt R. Blakeslee. 1995. Bahasa Perdagangan. Kusnedi


[penerjemah]. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Sunaryo, T. 2001. Ekonomi Manajerial: Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Erlangga,


Jakarta.

United States Department of Agriculture. 2007. World Agricultural Supply and


Demand Estimates. World Agricultural Outlook Board, United States.

Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta.

Yusdja, Yusmichad dan Adang Agustian. 2003. Analisis Kebijakan Tarif Jagung
Antara Petani Jagung dan Peternak. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume
I No. 1: 36-54.

Vous aimerez peut-être aussi