Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
tersusun sedemikian rupa dan bekerja sinergis dalam mendeteksi aroma.
Ujung-ujung saraf tadi berakhir dalam suatu struktur berbentuk gelembung-
gelembung penciuman. Oleh karena itu, benturan keras di bagian kepala bisa
mengakibatkan anosmia. Selain terkena benturan, kerusakan saraf indra
penciuman juga dapat terjadi karena tekanan tumor di area hidung atau
kepala. Kondisi ini bisa mencetuskan anosmia total atau kacaunya kinerja
saraf, hingga terjadi kesalahan persepsi mengenai aroma. Bau sampah
misalnya, dikira bau tempe goreng. Halusinasi bau ini pun bisa terjadi karena
gangguan pada otak, misalnya akibat epilepsi.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada
usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan
kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Tiga prinsip utama dalam
menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
2
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam
pencegahan dan penanganan masalah anosmia dan epistaksis.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi penghidu
b. Mengetahui dan memahami definisi anosmia
c. Mengetahui dan memahami etiologi anosmia
d. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis anosmia
e. Mengetahui dan memahami patofisiologi anosmia
f. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik yang harus dijalani
penderita anosmia
g. Mengetahui dan memahami definisi epistaksis
h. Mengetahui dan memahami etiologi epistaksis
i. Mengetahui dan memahami klasifikasi epistaksis
j. Mengetahui dan memahami patofisiologi epistaksis
k. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan untuk penderita epistaksis
l. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang yang harus dijalani
penderita epistaksis
m. Menetahui dan memahami pencegahan yang harus dilakukan pada
epistaksis
n. Mengetahui dan memahami komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
epistaksis
o. Memahami dan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan yang tepat
untuk penderita anosmia dan epistaksis
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan serta keterampilan mahasiswa dalam
pengerjaan makalah dan presentasi di depan kelas. Menambah kecakapan dan
rasa percaya diri mahasiswa serta lebih memahami masalah gangguan alat
indra khususnya indra penciuman terutama masalah anosmia dan epistaksis
serta memahami asuhan keperawatan pada klien dengan masalah anosmia dan
epistaksis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
a. Neuroepitel olfaktorius
5
b. Bulbus olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus
frontal. Bundel akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung
dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam
masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penghidu pada
usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia. Akson
dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron
kedua dalam gromerulus.
c. Korteks olfaktorius
6
Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus
olfaktorius (N I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-
sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan
adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau strawberi,
apel, dan lain-lain.
Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori
trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan
kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf
trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan seseorang
dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin, rasa geli dan
dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis asam.
Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus
berinteraksi secara fisiologis.
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N
O) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan
pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas
ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum
diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga organ
Jacobsons. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada
hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian elektrofisiologik,
tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.
2.2 Anosmia
2.2.1 Definisi
Anosmia adalah hilangnya indera penghidu (penciuman), dalam
hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera
penciuman. Bisa bersifat permanen maupun sementara.
2.2.2 Etiologi
Penyebab anosmia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Lesi hidung
2. Obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf.
3. Proses natural dari penuaan atau pun kebnayakan influenza
4. Trauma kepala
5. Infeksi saluran nafas
6. Penyakit sinonasal
7
2. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa
mendeteksi seluruh bau.
3. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
4. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat
dideteksi)
5. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan
yang di makan.
6. Berkurangnya nafsu makan.
2.2.4 Patofisiologi
Anosmia terjadi karena kerusakan pada organ proses penghidu,
kerusakan dapat terjadi pada neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius,
dan korteks olfaktorius pada otak. Kerusakan pada neuroepitel olfaktorius
mengakibatkan impuls tidak dapat ditangkap dengan adekuat ataupun
tidak dapat ditangkap sama sekali, sehingga tidak ada impuls yang akan
diinterpretasikan. Kerusakan pada bulbus olfaktorius mengakibatkan
impuls tidak dapat dihantarkan/ di teruskan ke korteks serebri. Adanya
kerusakan pada korteks olfaktorius pada korteks serebri yang diakibatkan
oleh trauma kepala mengakibatkan impuls yang dihantarkan oleh bulbus
olfaktori tidak dapat diinterpretasikan, sehingga individu tidak bisa
mempersepsikan/ menginterpretasikan stimulus aroma.
Adanya mekanisme yang menyebabkan gangguan penghidu seperti
gangguan potensial aksi dari sel membran, gangguan pada
neurotransmitter dan perubahan pada permukaan mukus. Mekanisme ini
mempengaruhi proses penghantaran impuls dari neuroepitel olfaktorius
menuju ke korteks serebri, sehingga stimulus bau tidak dapat
diinterpretasikan. (Huriyati, 2013).
Rasa dan bau terangsang oleh bahan kimia untuk merangsang
reseptor dalam waktu bersama-sama sistem kemosensori berkombinasi
mereka menghasilkan sensasi rasa dan disfungsi yang menyebabkan
kelainan. Ada dua sisitem kemosensori hidung yang ditandai oleh ujung
saraf bebas, saraf trigeminal dan reseptor sensorik dari saraf penciuman.
Sepertiga, vomeronasal, organ ada tetapi fungsi diragukan. Ujung saraf
trigeminal bebas, di dinding bagian hidung merespon nonselektif untuk
berbagai zat kimia yang mudah menguap, termasuk konsentrasi tinggi.
Secara neurogenik indra penciuman dapat hilang dengan tiga cara
yaitu :
1. Oleh adannya sumbatan hidung mencegah zat volatil dari mencapai
reseptor yang menyebabkant hilangnya penciuman.
2. Dengan penurunan reseptor atau fungsi saraf kranial menyebabkan
hilangny penciuman sensorik.
8
3. Oleh proses patologis yang mempengaruhi jalur dari olfactory bulb
(penghentian dari saraf kranial pertama) ke korteks penciuman dan
bagian lain dari otak.
Gangguan penciuman tidak selalu permanen. Neuron reseptor
memiliki umur yang terbatas pada sekitar 30 hari, dengan penggantian
terus-menerus. Ini merupakan faktor penting dalam pemulihan dari
anosmia penyebab tertentu, yang mungkin memakan waktu berbulan-
bulan. Pemulihan penciuman terjadi pada 2/3 kasus dengan kelumpuhan
saraf kranial, kadang-kadang selama lima tahun.
9
olfaktorius.2,5,10,23 C. Pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau
kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak
memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi
komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya
sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk
kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor.
3. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan
menggunakan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu.
Ada beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT
(University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC),
Tes Sniffin Sticks, Tes Stick Identification Test for Japanese
(OSIT-J).
a. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).
10
Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi
odoran, dan evaluasi nervus trigeminal. Untuk ambang
penghidu digunakan larutan butanol 4% dan diencerkan
dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat
8 pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk
butanol 4% diberi nomor 0, dilanjutkan dengan pengenceran
diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan test dimulai dari
nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk
menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi
odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu
didapat bila jawaban betul 5 kali berturut-turut tanpa
kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri
dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung
kanan atau sebaliknya. 2,26 Tes kedua yaitu identifikasi
penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat, vanila,
bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan
identifikasi dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC.
11
kali diperkenalkan oleh Hummel28 dan kawan-kawan. Tes ini
sudah digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah
dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi dokter
di Eropa.28,29 Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter
1,3 cm yang berisi 4 ml odoran dalam bentuk tampon dengan
pelarutnya propylene glycol.7 Alat pemeriksaan terdiri dari
tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran.
Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3
detik dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung
yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan (gambar 4).
31 Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk
menghindari identifikasi visual dari odoran.
Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang
penghid (Treshold/T), diskriminasi penghidu
(Discrimination/D), dan identifikasi penghidu
(Identification/I). 29 Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-
butanol sebagai odoran.
12
2.2.6 WOC
Sinusitis atau
peradangan pada
sinus
Hiposemia
Anosmia
MK : Perubahan
Nafsu makan Sekresi yang
sensori presepsi
menurun (anoreksia) berlebihan (rinore)
MK : Gangguan nutrisi
MK : Bersihan jalan
kurang dari kebutuhan
nafas tidak efektif
13
2.3 Epistaksis
2.3.1 Definisi
Epistaksis adalah pendarahan dari hidung akibat pecahnya
pembuluh darah. Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan
penyakit. Pendarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan
setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal pendarahan
dan menghentikan, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
sebabnya. (Adam GL,Boies LR,1997).
Epistaksis merupakan pendarahan dari bagian dalam hidung primer
ataupun sekunder, baik spontan atau akibat rangsangan dan berlokasi di
sebelah anterior dan posterior (John Jacob Ballenger).
Epistaksis menurut pendaraha yang keluar dari hidung ( hemoragi
dari hidung) disebabkan oleh rupturnya pembuluh kecil yang
mengalami distensi dalam mebran mukosa pada area hidung ( Brunner
& Suddarth). Epistaksis sering kali merupak gejala dari penyakit lain.
Kebanyakan ringan biasanya dapat berhenti dengan sendirinya tanpa
memerlukan bantuan medis tetapi epistaksis yang berat walaupun
jarang merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani (Prof. Dr. Efiaty, dkk).
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa
bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan
pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area),
yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan
juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan
dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara
inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior.Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya.Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.Ligasi
(Nuty WN, Endang M. 1988).
14
2.3.2 Etiologi
Sering kali epistaksis timbul tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang kadang jelas disebabkan oleh kelainan local (trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi local, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan) pada hidung atau kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital (Prof. Dr.
Efiaty, dkk).
1. Trauma
Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan , misalnya mengkorek
hidung, benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu
keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih berat seperti terkena
pukulan, terjatuh ataupun kecelakaan lalu lintas. Trauma akibat
sering mengkorek hidung dapat menyebabkan ulcerasi dan
pedarahan di mukusa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis
juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
2. Kelainan anatomi
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
pendarahan telangiektasis herediter (hereditary hemmoragic
telengiectasia / osleers diasese). Juga sering terjadi pada Von
15
willendrand disease. Telengiactasis hemorragic hereditary adalah
kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler
yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya pendarahan.
Pasien ini juga menderita telangietaksis di wajah, tangan dan bahkan
di traktus gastrointestinal serta pembuluh darah paru.
3. Kelainan pembuluh darah
Biasanya akibat pembuluh darah yang lebih lebar, tipis, jaringan ikat
dan sel-selnya lebih sedikit.
4. Infeksi local
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifi, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa.
Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat sehingga memudahkan terjadinya pendarahan di
hidung.
5. Benda asing
Perporasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat predisposisi
pemdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami
deviasi atau perporasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian mengakibatkan pendarahan.
6. Tumor
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang kadang ditandai dengan mukus yang
benoda darah, hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat
menuebabkan epsitaksis berat. Karena pada tumor terjadi
pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah
yang baru(neovaskularisasi).
7. Pengaruh udara lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan rendah atau
lingkungan udara sangat kering
8. Kelainan sistemik
a. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes
melius dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis pada hiptertensi
biasanya hebat dan sering kambuh serta prognosisnya kurang baik.
b. Kelainan darah
Penyakit seperti leukemia, trombositopenia, anemia serta
hemophilia.
16
c. Infeksi sistemik
Yang paling banyak adalah demam berdarah, demem tifoid ,
influenza, serta morbilli.
d. Perubahan tekanan atmosfir
Epistaksis terjadi apabila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Atau karena adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa
hidung. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang dibebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal ,
selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang untuk pecah.
e. Kelainan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause
karena pengaruh perubahan hormonal. Pada saat hamil terjadi
peningkatan estrogen dan progesteron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju kesemua membran mukosa di tubuh termasuk
di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh sehinga
terjadi epistaksis.
17
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan
dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang
perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air
dingin.
2. Mimisan Belakang
Mimisan belakang (epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan
pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang.Mimisan
belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang
kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup
kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab
yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.
Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan
kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan
muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada
yang keluar melalui lubang hidung.
18
Beberapa penyebab mimisan belakang :
a Hipertensi
b Demam berdarah
c Tumor ganas hidung atau nasofaring
d Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
e Kekurangan vitamin C dan K.
f Dan lain-lain
2.3.4 Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia
menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh
darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya
kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang
lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
2.3.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah ABC,
AirwayPrinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah
menjaga ABC.
1. A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan
duduk menunduk.
2. B (breathing): pastikan proses bernapas dapat berlangsung,
batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke belakang
tenggorokan.
19
3. C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu
sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus)
apabila terdapat gangguan sirkulasi. posisikan pasien dengan duduk
menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring
posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas
20
sedikit bekuan darah .pembuluh darah tersebut dapat di kauterisasi
secara kimia ataupun listrik. Pengguanaan anstestik topikal dan agen
vasokontriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xi-kokain dengan
epenefrin, selanjutnya lakukan kauterisassi, misalnya dengan larutan
asam trikloroasetat 50% pada pembuluh darah tersebut. Jika pembuluh
darah menonjol pada kedua sisi septum, diusahakan agar tidak
mengkauterisasi pada daerah yang sama pada kedua sisi. Walaupun
mengunakan zat kauterisasi dengan penetrasi yang rendah, namun
daerah permukaan yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya,
maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng di atas
jaringan parut sebagai pengganti mukosa pada saluran napas normal,
akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mukus. Dengan
melambatnya dan terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami kauterisasi maka akan terbentuk krusta pada
septum. Apabila kemudian pasien mengorek hidungnya untuk
mengelupaskan krusta, maka akan mencederai lapisan permukaan dan
menimbulkan pendarahan yang baru dan menyempurnakan lingkaran
setan dengan kembali ke dokter untuk tindakan kauterisasi selanjutnya.
Pada pendarahan yang sangat aktif, tidak ada cara kauterisasi yang
efektif maupun yang aman, pendarahan yang berulang dari suatu
pembuluh septum dapat diatasi dengan meninggikan aliran mukosa
setempat, kemudian biarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau
dengan merekontruksi deformitas septum dasar untuk menghilangkan
daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi ketegangan mukosa (Adam
GL,Boies LR,1997).
21
trikloroasetat 10% atau dengan elektro kauterisasi dapat di coba apabila
pembuluh darah tersebut kecil. Sebaliknya jika besar atau bila mana
dengan tindakan kauterisasi pendarahan anterior masih berlangsung
ataupun sumber pendarahan yang sulit dikenali, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kassa yang telah diberi
vasellin yang dicampur dengan betadine atau zat antibiotika.
Antibiotika profilaktik dianjurkan karena ostia sinus tersumbat olah
tampon dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah, yang
menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu dapat
juga melapisi tampon dengan dengan krim antibiotik untuk mengurangi
pertumbuhan bakteri dan pembentukanbau.
22
dimasukan cateter karet melalui nares anterior sampai tapak di
orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung cateter
kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada salah satu
sisi tampin bellocq dan kemudian ditarik keluar hidung. Benang yang
telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring.
Jika masih terdapat pedarahan dapat dibantu dengan pemasangan
tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kassa yang diletakan di
tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai
benang lagi pada tampon bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak
boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakan pada pipi. Benang ini
berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari
perawatan.
Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus
dirawat di rumah sakit, sedangkan pasien tua atau dengan suatu
penyakit primer ditempatkan di ruang perawatan intensif. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan saat pasien masuk ke rumah sakit antara lain :
a. Pemantauan tanda-tanda vital
b. Elektrokardiogram
c. Penggunaan oksigen bilamana perlu (hati-hati pada penyakit paru
obstruktif menahun) karena adanya kemungkinan komplikasi
sekunder akibat sedasi, kehilangan darah akut dan penurunan PO2
arteri sehubungan pemasangan tampon.
d. Pemantauan Analisa gas darah arteri
e. Pemantauan Hb dan Hematokrit sedikitnya tiap 12 jam
f. Pemeriksaan kelainan pendarahan (PT,PTT, hitung trombosit)
g. Semua tes yang dilakukan untuk melakukan evalusasi medis yang
memadai dari setiap kemungkinan penyebab primer epistaksis,
misalnya FBS, BUN dan creatinine
h. Pemberian cairan intravena, karena masukan oral yang buruk
i. Pemberian analgetik dan sedasi perlu dilakukan tanpa menyebabkan
depresi pernafasan
j. Diit cairan jernih
k. Pemeriksaan faring untuk mencari pendarahan aktif
l. Kepala ditinggikan 45 derajat
m. Antibiotic spectrum luas profilaktik karena terputusnya pola drainase
hidung dan sinus
n. Penentuan jenis dan kecocokan silang darah apabila kehilangan
darah yang cukup bermakna (Adam GL, Boies LR 1997)
23
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat
lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis
epistaksis.
2. Pemeriksaan darah, lengkap, gula darah.
3. Fungsi hemostatis.
4. EKG
5. Tes fungsi hati dan ginjal
6. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring
7. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma
2.3.7 Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain :
1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes
larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud
(jangan memasukan cotton bud melebihi 0,5-0,6 cm ke dalam
hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras
5. Bersin melalui mulut
6. Hindari memasukan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari
7. Batasi pengunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan
pendarahan seperti aspirin dan ibuprofen
8. Konsultasi kedokter bila alergi tidak bias ditangani dengan obat
alergi biasa
9. Berhentilah merokok, merokok menyebabkan hidung menjadi
kering dan menyebabkan iritasi
2.3.8 Komplikasi
1. Sinusitis
2. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung).
3. Deformitas (kelainan bentuk) hidung.
4. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah).
5. Kerusakan jaringan hidung.
24
6. Infeksi
25
2.3.9 WOC
Hipertermi
Kerusakan Jaringan Permeabilitas membran
Mukosa Hidung
Kerusakan Vaskular
Pembuluh Darah
Agregasi Trombosit
Ruptur Pembuluh
Darah Hidung
Trombositopeni
EPISTAKSIS
MK : Nyeri
MK : Bersihan Jalan MK : Cemas
MK : Pendarahan Napas Tidak Efektif
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
27
3.1.2 Analisa Data
DS : Nafsu makan
berkurang karena Kerusakan sel
pasien kesulitan dalam olfaktori atau
mengenali bau kerusakan neuro
olfaktori
anoreksia.
Gangguan perasa
Nafsu makan
berkurang
Gangguan pemenuhan
nutrisi
DO : Data kebutuhan
Influenza, penuaan,
nutrisi atau porsi
operasi, konsumsi
makan obat,tumor
Kerusakan sel
DS: Kemampuan
olfaktori atau
makan berkurang kerusakan neuro Gangguan nutrisi
oalfaktori kurang dari kebutuhan.
karena rasa makanan
tidak enak,
Nafsu makan
berkurang
28
3.1.3 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi sensori rasa berhubungan dengan penurunan
perasa.
2. Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan
kerusakan sel olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius.
3. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
29
Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
Intervensi Rasional
3.1.5 Evaluasi
1. Perasa pasien dapat kembali normal.
2. Penciuman pasien kembali normal sehingga dapat membau kembali .
3. Nafsu makan pasien dapat bertambah.
30
3. Keluhan utama : biasanya klien mengeluhkan sulit bernapas, keluar
darah dari hidung.
4. Riwayat penyakit dahulu :
a. Pasien pernah menderita penyakit akut dan pendarahan hidung
atau trauma
b. Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c. Pernah menderita sakit gigi graham
5. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh
keluarga yang mungkin berhubungan dengan penyakit klien
sekarang.
6. Riwayat psikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas atau
sedih )
b. Interpersonal : berhubungan dengan orang lain
7. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat-
obatan tanpa memperhatikan efek samping.
a. Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi
gangguan pada hidung.
b. Pola istirahat dan tidur
Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena
sering pilek.
c. Pola persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan
konsep diri menurun.
2) Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena akibat pilek terus
menerus (baik purulent, serous atau mikoporulen).
8. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda-tanda vital dan
kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah
dan bengkak).
1) Data subyektif : mengeluh badan lemas
2) Data obyektif :
a. Gelisah
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan denyut nadi
d. Anemia
e. Tampak pendarahan mengucur dari hidung
31
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perdarahan berhubungan dengan trauma minor atau mukosa hidung
yang rapuh.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
jalan napas.
3. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
4. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung.
3.2.3 Intervensi
Perdarahan berhubungan dengan trauma minor atau mukosa hidung yang rapuh. (00206)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pendarahan dapat berhenti.
Kriteria hasil :
Domain : 11
Kelas :2
Pendarahan berhenti
1. Luka sembuh atau kering
2. HB dalam rentang normal
Intervensi
1. Mererapkan tekanan manual atas jembatan hidung
2. Observasi TTV
3. Antisipasi kekurangan HB
4. Hentikan pendarahan dan menghindari perluasan luka
5. Kelola pemberian obat anti hemoragic
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan napas. (00031)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil :
Domain : 11
Kelas :2
Airway pantency
1. Menunjukan jalan napas yang paten (tidak merasa tercekik, irama dan frek napas
dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal).
2. Saturasi O2 dalam batas normal.
Intervensi
Airway management
1. Pastikan kebutuhan oral/trakeal suctioning
2. Berikan O2 sesuai indikasi
32
3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Keluarkan secret/mucus/darah dengan batuk efektif atau suction
6. Auskultasi suara napas, catat apabila ada suara napas tambahan
7. Berikan bronkodilator bila perlu
8. Monitor status hemodinamik
9. Monitor respirasi dan status O2
Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran napas atau pengeringan mukosa. (00132)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami nyeri.
Kriteria hasil :
Domain : 12
Kelas :1
Pain control
1. Mampu mengontrol nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
33
3. Mampu mengenali nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. TTV dalam rentang normal
6. Tidak mengalami gangguan tidur
Intervensi
Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara konprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan factor prespitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Control lingkungan yang dapat memperngaruhi nyeri
4. Kurangi factor prespitasi nyeri
5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
6. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
7. Tingkatkan istirahat
8. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
9. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 35 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Surabaya
Tanggal MRS : 13 September 2015
Tanggal pengkajian : 13 September 2015
2. Keluhan Utama :
Kemampuan membau menurun.
3. Riwayat Penyakit Saat Ini :
34
Tn.A merasa gelisah karena kemampuan membaunya menurun, nafsu
makan berkurang dan susah tidur selama tiga hari.
5. Riwayat Keluarga :
Tidak ada
6. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath) : Penurunan kemampuan membau, RR 23x/menit
B2 ( Blood) :
B3 (Brain) : Gangguan di neuro olfaktorius
B4 (Bladder) :
B5 (Bowel) :Penurunan nafsu makan, gangguan nutrisi, berat badan
turun, lemas.
B6 (Bone ) :
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsy neuroepitelium olfaktorius
2. CT scan
3. MRI Kepala
4. Tes odor stix
5. Tes alcohol 12 inci
6. Scratch and sniff card
7. The university of pennysylvania smell identification test (UPSIT)
B. ANALISA DATA
Ansietas
35
DO : Sinusitis kambuh,
BB : 55 kg (turun) konsumsi obat, trauma,
alergi
DS :
Nafsu makan
berkurang karena Kerusakan sel olfaktori
pasien kesulitan dalam atau kerusakan neuro
mengenali bau olfaktori
makanan.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafsu makan berkurang (00002).
D. INTERVENSI
1.
Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
Domain : 9 (coping/stress tolerance)
Kelas : 2 (coping responses)
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawan 1x24 jam
kecemasan klien dapat menghilang atau berkurang.
NIC NOC
Anxiety Reduction (5820) Domain: psychosocial health (III)
a. Ciptakan suasana tenang dan Class: self control (o)
bersahabat untuk pasien Anxiety self-control (1402)
b. Berikan informasi yang akurat a. Monitor intensitas kecemasan
mengenai pengobatan dan b. Kontrol respon kecemasan
36
diagnosis pasien c. Menggunakan strategi koping
c. Dorong keluarga untuk terus efektif
ada di sekitar pasien d. Menggunakan teknik relaksasi
d. Identifikasi perubahan tingkat untuk mengatasi kecemasan
kecemasan
e. Bantu dan anjurkan pasien
untuk menggunakan teknik
relaksasi untuk mengurangi
kecemasan
f. Berikan obat untuk mengurangi
kecemasan
2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d nafsu makan
berkurang (00002).
Domain : 2 ( nutrition)
Kelas : 1 (ingestion)
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam nafsu
makan pasien meningkat dan nutrisi terpenuhi
NIC NOC
Manajemen nutrisi (1100) Domain physiologic health (II)
a. Tentukan status kebutuhan Class degstion & nutrition (K)
nutrisi pasien dan kemmapuan Status nutrisi (1004)
untuk memenuhi nutrisi yang a. Intake nutrisi (1-5)
dibutuhkan b. Intake makanan (1-5)
b. Identifikasi alergi pasien c. Energy (1-5)
terhadap makanan atau tidak d. Berat badan (1-5)
toleran Domain physiologic health (II)
c. Tentukan jumlah kalori dan tipe Class degstion & nutrition (K)
nutrisi yang dibutuhkan untuk Status nutrisi : intake makanan dan
memenuhi kebutuhan nutrisi cairan (1008)
pasien. a. Intake makanan oral (1-5)
Monitoring nutrisi (1600) b. Intake cairan oral (1-5)
a. Monitor perkembangan berat c. Intake cairan intravena (1-5)
badan pasien
b. Monitor turgor kulit
c. Monitor intake makanan
d. Tentukan rekomendasi makanan
37
3. 4 Asuhan Keperawatan Klien dengan Kasus Epistaksis
Kasus:
Ny.L (38 tahun) datang ke rumah sakit dengan keluhan sulit bernapas
dan hidungnya mengeluarkan darah. Sebelumnya Ny.L pernah MRS satu
bulan yang lalu akibat mengalami trauma hidung ringan karena kebiasaan
terlalu sering mengkorek hidungnya. Setelah dilakukan pengkajian oleh
perawat didapatkan data TD: 100/60 mmHg, Nadi : 110/menit, RR:
24/menit, badannya terasa lemas dan gelisah.
A. PENGKAJIAN
a. Identitas :
Nama : Ny.L
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Budha
Tanggal MRS : 21 Juli 2015
Tanggal pengkajian : 21 Juli 2015
b. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan sulit bernapas dan hidungnya mengeluarkan
darah.
c. Riwayat penyakit sekarang
Ny.L saat ini mengeluhkan kesulitan bernapas dan hidungnya
mengeluarkan darah, badannya terasa lemah dan gelisah.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah MRS sebulan yang lalu karena mengalami trauma hidung
ringan akibat kebiasaannya yang terlalu sering mengorek hidung.
e. Pemeriksaan fisik:
B1 : takipnea, RR 24/menit
B2 : TD turun yaitu 100/60 mmHg, warna kulit normal
B3 :-
B4 : elektrolit normal
B5 : nafsu makan turun
B6 : kelelahan
B. ANALISA DATA
38
2. TD: 100/60 mmHg Pendarahan hebat arteri
3. Tampak adanya etmodialis posterior
perdarahan yang
keluar dari hidung
Pendarahan
DS : Trauma hidung
Pasien merasa gelisah
DO :
1. Pasien terlihat Epitaksis
gelisah
2. TD: 100/60 mmHg
3. RR : 24x/menit Pendarahan hebat arteri
4. Keluar keringat etmodialis posterior
berlebihan Ansietas
Ansietas
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Perdarahan berhubngan dengan trauma minor atau mukosa hidung yang
rapuh (00206).
Domain : 11 (safety/protection)
Kelas : 2 (physical injury)
39
Tujuan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam
perdarahan dapat berhenti.
NIC NOC
Bleeding reduction: Nasal (4024) Domain: physiologic health (II)
a. Menerapkan tekanan manual Class: cardiopulmonary (E)
tulang hidung Blood loss severity
b. Observasi TTV pasien a. Kehilangan darah (1-5)
c. Antisipasi kekurangan HB b. Kulit dan membrane mukosa
d. Hentikan perdarahan dan pucat (1-5)
hindari perluasan area luka c. Ansietas (1-5)
e. Kelola pemberian obat anti
hemoragik
2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan napas (00031).
Domain : 11
Kelas :2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24
jam pasien menunjukan keefektifan jalan napas
NIC NOC
Airway management (3140) Domain: physiologic health (III)
a. Pastikan kebutuhan oral/trakeal Class: cardiopulmonary (E)
suctioning Cardiopulmonary status (0414)
b. Berikan O2 sesuai indikasi a. RR (1-5)
c. Anjurkan pasien untuk istirahat b. Irama napas (1-5)
dan napas dalam c. Saturasi oksigen (1-5)
d. Posisikan pasien untuk d. Sianosis (1-5)
memaksimalkan ventilasi
e. Keluarkan secret/mucus/darah
dengan batuk efektif atau
suction jika perlu
f. Auskultasi suara napas, catat
apabila ada suara napas
tambahan
g. Berikan bronkodilator bila
perlu
h. Monitor status hemodinamik
i. Monitor respirasi dan status O2
3.
Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
Domain : 9 (coping/stress tolerance)
40
Kelas : 2 (coping responses)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24
jam pasien menunjukan penurunan kecemasan
NIC NOC
Anxiety Reduction (5820) Domain: psychosocial health (III)
a. Jelaskan semua prosedur, Class: self control (O)
termasuk efek samping dari Anxiety self-control (1402)
tindakan yang akan dilakukan a. Dapat mengontrol intensitas
b. Berikan informasi yang kecemasan (1-5)
akurat mengenai pengobatan b. Merencanakan koping untuk
dan diagnosis pasien mengatasi situasi stress (1-5)
c. Dorong keluarga untuk terus c. Menggunakan teknik relaksasi
ada di sekitar pasien mengurangi kecemasan (1-5)
d. Identifikasi perubahan
tingkat kecemasan
e. Bantu dan anjurkan pasien
untuk menggunakan teknik
relaksasi untuk mengurangi
kecemasan
f. Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan
g. Kaji tanda-tanda verbal dan
non-verbal kecemasan
41
BAB IV
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ.2002. Hidung dan sinus paranasal Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa
Aksara
Baughman, Diane dan JoAnn C. Hackley. 1996. Keperawatan Medikal-
Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Vol 2 E/5. Jakarta: EGC
Bulechek, Gloria M, Howard K. Butcher, dan Joanne Mc Closkey
Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby
Effy huriyati, Bestari Jaka Budiman, Tuti nelvia Gangguan fungsi
penghidu dan pemeriksaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang/RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Ganong WF.2001. Smell and taste. In Review of medical physiology. 20th ed.
San Fransisco: Medical Publishing Division
Gibson, John. 1990. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat.
Jakarta: EGC
Herdman, T. H. and Kamitsuru, S (Eds). 2014. NANDA International
Nursing Diagnosis: Defitions & Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Moorhead, Sue dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC)
Measurement of Health Outcomes Fifth edition. USA: Mosby
43