Vous êtes sur la page 1sur 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia memiliki lima indera yang sangat penting dalam
mempersepsikan benda yang ada disekitarnya. Salah satu dari kelima indera
tersebut adalah indera penghidu (penciuman).
Insiden gangguan penghidu di Amerika Serikat diperkirakan sebesar
1,4% dari jumlah penduduk. Sementara menurut beauchamp (2014), sebesar
1-2% dari seluruh penduduk di Amerika mengalami kehilangan fungsi
penghidu. Meskipun lebih dari enam juta penduduk amerika mengalami
anosmia tetapi sampai sekarang ilmuwan dan dokter masih mempunyai
pemahaman yang terbatas mengenai mekanisme biologis yang mendasari
hilangnya sensasi penghidu.
Di Austria, Switzerland, dan Jerman sekitar 80.000 penduduk
pertahun berobat ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu.
Penyebab tersering gangguan penghidu adalah rinosinusitis kronik, rinitis
alergi, infeksi saluran nafas atas dan trauma kepala (Huriyati E. dan Tuti
Nelvia, 2014).
Di Indonesia Siahaan dkk tahun 1995 melaporkan 32,3% penderita
yang berobat di RSCM dengan gangguan penghidu sebagai keluhan utama.
Gangguan penghidu dapat muncul pada sekitar 21% sampai 25% penderita
Rinosinusitis kronis (Chang H., et al ,2009). Di Indonesia tidak banyak
sumber data yang merilis mengenai kehilangan sensasi penghidu secara jelas
dan terperinci. Data yang ada pada hasil RISKESDAS tahun 2007 dan 2013
juga tidak mewakili adanya kehilangan sensasi penghidu penduduk
Indonesia, tetapi jika merujuk pada temuan Chang H., et. al. (2009), tentunya
diprediksi cukup banyak penduduk di Indonesia yang mengalami gangguan
penghidu.
Salah satu penyakit pada indera penciuman yang mengakibatkan
gangguan pada pembauan adalah anosmia. Anosmia adalah hilang atau
terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek
karena beberapa sebab. Penyebab terbanyak adalah usia tua. Separuh
penduduk Amerika berusia di atas 65 tahun dan tiga perempat di atas usia 80
tahun menderita anosmia dalam derajat yang berbeda-beda.
Anosmia dapat pula terjadi pada usia muda, misalnya karena pukulan
keras pada kepala, flu yang tak kunjung sembuh, zat kimia beracun, dan
beberapa penyebab lain yang membahayakan jiwa. Diketahui, bagian dalam
hidung terlapisi mukosa atau lapisan lembut yang lembap. Sel-sel di dalam
mukosa bersentuhan dengan bagian saraf penciuman yang disebut axons, lalu
masuk rongga dalam yang dinamakan foramina. Foramina ini berhubungan
dengan tengkorak kepala. Sel-sel dan axons-nya berjumlah sekitar 20-24,

1
tersusun sedemikian rupa dan bekerja sinergis dalam mendeteksi aroma.
Ujung-ujung saraf tadi berakhir dalam suatu struktur berbentuk gelembung-
gelembung penciuman. Oleh karena itu, benturan keras di bagian kepala bisa
mengakibatkan anosmia. Selain terkena benturan, kerusakan saraf indra
penciuman juga dapat terjadi karena tekanan tumor di area hidung atau
kepala. Kondisi ini bisa mencetuskan anosmia total atau kacaunya kinerja
saraf, hingga terjadi kesalahan persepsi mengenai aroma. Bau sampah
misalnya, dikira bau tempe goreng. Halusinasi bau ini pun bisa terjadi karena
gangguan pada otak, misalnya akibat epilepsi.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada
usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan
kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Tiga prinsip utama dalam
menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi penghidu ?
2. Apakah definisi anosmia ?
3. Apakah etiologi anosmia ?
4. Bagaimana manifestasi klinis anosmia ?
5. Bagaimana patofisiologi anosmia ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang harus dijalani pada penderita
anosmia ?
7. Apakah definisi epistaksis ?
8. Apakah etiologi epistaksis ?
9. Apa saja klasifikasi epistaksis ?
10. Bagaimana patofisiologi epistaksis?
11. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita epistaksis ?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dijalani penderita epistaksis ?
13. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada epistaksis ?
14. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan dari epistaksis ?
15. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada penderita
anosmia dan epistaksis ?

2
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam
pencegahan dan penanganan masalah anosmia dan epistaksis.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi penghidu
b. Mengetahui dan memahami definisi anosmia
c. Mengetahui dan memahami etiologi anosmia
d. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis anosmia
e. Mengetahui dan memahami patofisiologi anosmia
f. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik yang harus dijalani
penderita anosmia
g. Mengetahui dan memahami definisi epistaksis
h. Mengetahui dan memahami etiologi epistaksis
i. Mengetahui dan memahami klasifikasi epistaksis
j. Mengetahui dan memahami patofisiologi epistaksis
k. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan untuk penderita epistaksis
l. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang yang harus dijalani
penderita epistaksis
m. Menetahui dan memahami pencegahan yang harus dilakukan pada
epistaksis
n. Mengetahui dan memahami komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
epistaksis
o. Memahami dan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan yang tepat
untuk penderita anosmia dan epistaksis

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan serta keterampilan mahasiswa dalam
pengerjaan makalah dan presentasi di depan kelas. Menambah kecakapan dan
rasa percaya diri mahasiswa serta lebih memahami masalah gangguan alat
indra khususnya indra penciuman terutama masalah anosmia dan epistaksis
serta memahami asuhan keperawatan pada klien dengan masalah anosmia dan
epistaksis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Penghidu


Hidu merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan, bagian dalam panjangnya 10 12
cm. rongga hidung di bagi oleh dua septum, di dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah di antara dinding lateral
hidung dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior dan meatus superior.
Konka dapat berubah ukuran sehingga dapat mempertahankan lebar rongga
udara yang optimum. Katup hidung merupakan saluran tersempit dari saluran
napas atas (Adam GL,Boies LR,1997. Seotjipto,Damayanti 2012).

Nares anterior adalah saluran-saluran didalam hidung. Saluran-saluran


bermuara ke dalam bagian ynag dikenal sebagai vestibulum hidung. Rongga
hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan
bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir. Semua sinus yang
mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung.
Rongga hidung sendiri berfungsi sebagai berikut :
1. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan
2. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu
hidung
3. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
4. Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersam-sam udara pernafasan
oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir.

Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah sebagai berikut:

4
a. Neuroepitel olfaktorius

Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di


konka superior, septum bagian superior, konka media bagian superior
atau di dasar lempeng kribriformis. Luas area olfaktorius ini 5 cm.
Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang
berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul coklat pada
sitoplasma kompleks golgi.
Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang
merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada
ujung dari masing-masing dendrit terdapat olfactory rod dan diujungnya
terdapat silia. Silia menonjol pada permukaan mukus. Pada neuroepitel
ini terdapat sel penunjang atau sel sustentakuler. Sel ini berfungsi sebagai
pembatas antara sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan
melindungi epitel olfaktorius dari kerusakan akibat benda asing. Mukus
dihasilkan oleh kelenjar Bowmans yang terdapat pada bagian basal sel.
Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius,
bersatu dengan mukus yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan
berikatan dengan reseptor protein G yang terdapat pada silia. Ikatan
protein G dengan reseptor olfaktorius akan menyebabkan stimuli guanine
nucleotide, yang akan mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk
menghasilkan second messenger yaitu adenosin monofosfat. Ini akan
menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel dan menghasilkan
depolarisasi sel membran dan menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus
olfaktorius.

5
b. Bulbus olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus
frontal. Bundel akson saraf penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung
dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus olfaktorius. Dalam
masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penghidu pada
usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia. Akson
dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron
kedua dalam gromerulus.

Perjalanan impuls di bulbus olfaktorius

c. Korteks olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks


frontal merupakan pusat persepsi terhadap penghidu. Pada area
hipotalamus dan amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran,
dan area enthorinal merupakan pusat memori dari odoran.

6
Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus
olfaktorius (N I). Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-
sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan
adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau strawberi,
apel, dan lain-lain.
Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori
trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan
kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf
trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan seseorang
dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin, rasa geli dan
dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis asam.
Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus
berinteraksi secara fisiologis.
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N
O) dan organ vomeronasal (VMO). Sistem saraf terminal merupakan
pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas
ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum
diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga organ
Jacobsons. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada
hubungan antara organ ini dengan otak. Pada pengujian elektrofisiologik,
tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.

2.2 Anosmia
2.2.1 Definisi
Anosmia adalah hilangnya indera penghidu (penciuman), dalam
hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera
penciuman. Bisa bersifat permanen maupun sementara.

2.2.2 Etiologi
Penyebab anosmia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Lesi hidung
2. Obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf.
3. Proses natural dari penuaan atau pun kebnayakan influenza
4. Trauma kepala
5. Infeksi saluran nafas
6. Penyakit sinonasal

2.2.3 Manifestasi Klinis


Pasien biasanya mengeluhkan beberapa gejala yaitu :
1. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa
mendeteksi bau.

7
2. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa
mendeteksi seluruh bau.
3. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
4. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat
dideteksi)
5. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan
yang di makan.
6. Berkurangnya nafsu makan.

2.2.4 Patofisiologi
Anosmia terjadi karena kerusakan pada organ proses penghidu,
kerusakan dapat terjadi pada neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius,
dan korteks olfaktorius pada otak. Kerusakan pada neuroepitel olfaktorius
mengakibatkan impuls tidak dapat ditangkap dengan adekuat ataupun
tidak dapat ditangkap sama sekali, sehingga tidak ada impuls yang akan
diinterpretasikan. Kerusakan pada bulbus olfaktorius mengakibatkan
impuls tidak dapat dihantarkan/ di teruskan ke korteks serebri. Adanya
kerusakan pada korteks olfaktorius pada korteks serebri yang diakibatkan
oleh trauma kepala mengakibatkan impuls yang dihantarkan oleh bulbus
olfaktori tidak dapat diinterpretasikan, sehingga individu tidak bisa
mempersepsikan/ menginterpretasikan stimulus aroma.
Adanya mekanisme yang menyebabkan gangguan penghidu seperti
gangguan potensial aksi dari sel membran, gangguan pada
neurotransmitter dan perubahan pada permukaan mukus. Mekanisme ini
mempengaruhi proses penghantaran impuls dari neuroepitel olfaktorius
menuju ke korteks serebri, sehingga stimulus bau tidak dapat
diinterpretasikan. (Huriyati, 2013).
Rasa dan bau terangsang oleh bahan kimia untuk merangsang
reseptor dalam waktu bersama-sama sistem kemosensori berkombinasi
mereka menghasilkan sensasi rasa dan disfungsi yang menyebabkan
kelainan. Ada dua sisitem kemosensori hidung yang ditandai oleh ujung
saraf bebas, saraf trigeminal dan reseptor sensorik dari saraf penciuman.
Sepertiga, vomeronasal, organ ada tetapi fungsi diragukan. Ujung saraf
trigeminal bebas, di dinding bagian hidung merespon nonselektif untuk
berbagai zat kimia yang mudah menguap, termasuk konsentrasi tinggi.
Secara neurogenik indra penciuman dapat hilang dengan tiga cara
yaitu :
1. Oleh adannya sumbatan hidung mencegah zat volatil dari mencapai
reseptor yang menyebabkant hilangnya penciuman.
2. Dengan penurunan reseptor atau fungsi saraf kranial menyebabkan
hilangny penciuman sensorik.

8
3. Oleh proses patologis yang mempengaruhi jalur dari olfactory bulb
(penghentian dari saraf kranial pertama) ke korteks penciuman dan
bagian lain dari otak.
Gangguan penciuman tidak selalu permanen. Neuron reseptor
memiliki umur yang terbatas pada sekitar 30 hari, dengan penggantian
terus-menerus. Ini merupakan faktor penting dalam pemulihan dari
anosmia penyebab tertentu, yang mungkin memakan waktu berbulan-
bulan. Pemulihan penciuman terjadi pada 2/3 kasus dengan kelumpuhan
saraf kranial, kadang-kadang selama lima tahun.

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik


2.2.5.1 Pemeriksaan Penunjang
a. Biopsi neuroepitelium olfaktorius
Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas
dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang
dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi
harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
b. CT scan
Kelainan tulang, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga
sebelumnya
c. MRI kepala
Mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan
lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa
anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii
anterior, dan sinus menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii
anterior,, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung
dan sinus paranasalis.

2.2.5.2 Pemeriksaan Fungsi Hidu


1. Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis gangguan penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat
trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas,
riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif,
kebiasaan merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan
gangguan penghidu menyebabkan gangguan penghidu.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan
rinoskopi anterior, posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada
atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip,
hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa
tumor akan mempengaruhi proses transport odoran ke area

9
olfaktorius.2,5,10,23 C. Pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau
kelainan dihidung. Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak
memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan tomografi
komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya
sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk
kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor.
3. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan
menggunakan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu.
Ada beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya tes UPSIT
(University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC),
Tes Sniffin Sticks, Tes Stick Identification Test for Japanese
(OSIT-J).
a. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).

Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku


yang masing-masing berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan
dengan menghidu buku uji, dimana didalamnya terkandung 10-
50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6
kategori yaitu normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia
sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan malingering. 2,25
Gambar alat tes UPSIT.

b. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center


(CCCRC).

10
Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi
odoran, dan evaluasi nervus trigeminal. Untuk ambang
penghidu digunakan larutan butanol 4% dan diencerkan
dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat
8 pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk
butanol 4% diberi nomor 0, dilanjutkan dengan pengenceran
diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan test dimulai dari
nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk
menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi
odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu
didapat bila jawaban betul 5 kali berturut-turut tanpa
kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri
dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung
kanan atau sebaliknya. 2,26 Tes kedua yaitu identifikasi
penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat, vanila,
bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan
identifikasi dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC.

c. Tes Sniffin Sticks.

Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari


penghidu dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori
working group olfaction and gustation di Jerman dan pertama

11
kali diperkenalkan oleh Hummel28 dan kawan-kawan. Tes ini
sudah digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah
dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi dokter
di Eropa.28,29 Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter
1,3 cm yang berisi 4 ml odoran dalam bentuk tampon dengan
pelarutnya propylene glycol.7 Alat pemeriksaan terdiri dari
tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran.
Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3
detik dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung
yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan (gambar 4).
31 Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk
menghindari identifikasi visual dari odoran.
Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang
penghid (Treshold/T), diskriminasi penghidu
(Discrimination/D), dan identifikasi penghidu
(Identification/I). 29 Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-
butanol sebagai odoran.

12
2.2.6 WOC

Tumor hidung Influenza Cidera pada hidung Laringotomi


atau polip nasal dan kelainan atau trakeotomi
kongenital pada
hidung
Obstruksi saluran Sekresi mukus yang
Aliran udara
nafas berlebihan
kehidung
Rusak atau berkurang
hilangnya struktur
Obstruksi saluran
saraf penghidu
nafas
Berlangsung lama

Sinusitis atau
peradangan pada
sinus

Hiposemia

(penurunan fungsi penciuman)

Anosmia

Hilangnya sensasi penciuman

MK : Perubahan
Nafsu makan Sekresi yang
sensori presepsi
menurun (anoreksia) berlebihan (rinore)

Intake nutrisi menurun Obstruksi saluran


nafas

MK : Gangguan nutrisi
MK : Bersihan jalan
kurang dari kebutuhan
nafas tidak efektif

13
2.3 Epistaksis
2.3.1 Definisi
Epistaksis adalah pendarahan dari hidung akibat pecahnya
pembuluh darah. Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan
penyakit. Pendarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan
setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal pendarahan
dan menghentikan, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
sebabnya. (Adam GL,Boies LR,1997).
Epistaksis merupakan pendarahan dari bagian dalam hidung primer
ataupun sekunder, baik spontan atau akibat rangsangan dan berlokasi di
sebelah anterior dan posterior (John Jacob Ballenger).
Epistaksis menurut pendaraha yang keluar dari hidung ( hemoragi
dari hidung) disebabkan oleh rupturnya pembuluh kecil yang
mengalami distensi dalam mebran mukosa pada area hidung ( Brunner
& Suddarth). Epistaksis sering kali merupak gejala dari penyakit lain.
Kebanyakan ringan biasanya dapat berhenti dengan sendirinya tanpa
memerlukan bantuan medis tetapi epistaksis yang berat walaupun
jarang merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani (Prof. Dr. Efiaty, dkk).
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa
bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan
pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area),
yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan
juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan
dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara
inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior.Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya.Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.Ligasi
(Nuty WN, Endang M. 1988).

14
2.3.2 Etiologi
Sering kali epistaksis timbul tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang kadang jelas disebabkan oleh kelainan local (trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi local, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan) pada hidung atau kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital (Prof. Dr.
Efiaty, dkk).
1. Trauma
Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan , misalnya mengkorek
hidung, benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu
keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih berat seperti terkena
pukulan, terjatuh ataupun kecelakaan lalu lintas. Trauma akibat
sering mengkorek hidung dapat menyebabkan ulcerasi dan
pedarahan di mukusa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis
juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
2. Kelainan anatomi
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
pendarahan telangiektasis herediter (hereditary hemmoragic
telengiectasia / osleers diasese). Juga sering terjadi pada Von

15
willendrand disease. Telengiactasis hemorragic hereditary adalah
kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler
yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya pendarahan.
Pasien ini juga menderita telangietaksis di wajah, tangan dan bahkan
di traktus gastrointestinal serta pembuluh darah paru.
3. Kelainan pembuluh darah
Biasanya akibat pembuluh darah yang lebih lebar, tipis, jaringan ikat
dan sel-selnya lebih sedikit.
4. Infeksi local
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifi, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa.
Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat sehingga memudahkan terjadinya pendarahan di
hidung.
5. Benda asing
Perporasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat predisposisi
pemdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami
deviasi atau perporasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian mengakibatkan pendarahan.
6. Tumor
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang kadang ditandai dengan mukus yang
benoda darah, hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat
menuebabkan epsitaksis berat. Karena pada tumor terjadi
pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah
yang baru(neovaskularisasi).
7. Pengaruh udara lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan rendah atau
lingkungan udara sangat kering
8. Kelainan sistemik
a. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes
melius dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis pada hiptertensi
biasanya hebat dan sering kambuh serta prognosisnya kurang baik.
b. Kelainan darah
Penyakit seperti leukemia, trombositopenia, anemia serta
hemophilia.

16
c. Infeksi sistemik
Yang paling banyak adalah demam berdarah, demem tifoid ,
influenza, serta morbilli.
d. Perubahan tekanan atmosfir
Epistaksis terjadi apabila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Atau karena adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa
hidung. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang dibebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal ,
selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang untuk pecah.
e. Kelainan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause
karena pengaruh perubahan hormonal. Pada saat hamil terjadi
peningkatan estrogen dan progesteron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju kesemua membran mukosa di tubuh termasuk
di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh sehinga
terjadi epistaksis.

2.3.3 Klasifikasi Epistaksis


1. Mimisan depan
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian
depan, maka disebut 'mimisan depan' (epistaksis anterior).Lebih dari
90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih
sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan
pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat
lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang
sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan,
kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber
pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di
dinding samping rongga hidung.
Penyebab Mimisan depan :
a. Mengorek ngorek hidung
b. Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian
atau ruangan berAC.
c. Terlalu lama terpapar sinar matahari
d. Pilek atau sinusitis
e. Membuang ingus terlalu kuat

17
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan
dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang
perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air
dingin.

Beberapa langkah untuk mengatasi mimisan depan :

a. Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke


depan.
Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi
dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju
perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir
lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk
ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke
paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan kematian.
b. Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan
dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit.
Usahakan jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit terlewati.
Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
c. Beri kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin
membantu mengerutkan pembuluh darah, sehingga perdarahan
berkurang.
d. Setelah mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek hidung dan
menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3
jam.
e. Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya
dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan
tampon (kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau tindakan
kauterisasi. Selama dalam perjalanan, penderita sebaiknya tetap
duduk dengan posisi tunduk sedikit kedepan.

2. Mimisan Belakang
Mimisan belakang (epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan
pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang.Mimisan
belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang
kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup
kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab
yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.
Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan
kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan
muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada
yang keluar melalui lubang hidung.

18
Beberapa penyebab mimisan belakang :
a Hipertensi
b Demam berdarah
c Tumor ganas hidung atau nasofaring
d Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
e Kekurangan vitamin C dan K.
f Dan lain-lain

Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena


itu, penderita harus segera dibawa ke puskesmas atau RS. Biasanya
petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang. Caranya,
kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga belakang mulut
(faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung yang keluar
melalui mulut ini dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang
ada di lubang hidung ditarik, maka kasa dan balon ikut tertarik dan
menyumbat rongga hidung bagian belakang. Dengan demikian
diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini gagal, petugas medis
mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah lain yang mungkin
dipertimbangkan adalah operasi untuk mencari pembuluh darah yang
menyebabkan perdarahan, kemudian mengikatnya. Tindakan ini
dinamakan ligase.

2.3.4 Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia
menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh
darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya
kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang
lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

2.3.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah ABC,
AirwayPrinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah
menjaga ABC.
1. A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan
duduk menunduk.
2. B (breathing): pastikan proses bernapas dapat berlangsung,
batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke belakang
tenggorokan.

19
3. C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu
sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus)
apabila terdapat gangguan sirkulasi. posisikan pasien dengan duduk
menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring
posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas

Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan


pendarahan, tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis. Pengobatan disesuaikan dengan keadaan
penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak. Secara garis besar
penanganan pada kasus epistaksis sebagai berikut: (Adam GL,Boies
LR,1997).
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi
duduk, kecuali bila penderita sangat lemah atau dalam keadaan
syok.
2. Tentukan sumber pendarahan.
3. Kompresi hidung dan menutup lubang hidung dan menutup hidung
yang bermasalah dengan kassa atau kapas yang telah direndam
dengan dekongestan topikal terlebih dahulu. Penekanan langsung
sebaiknya dilakukan terus-menerus setidaknya 5 sampai 20 menit.
Miringkan kepala kedepan agar mencegah darah mengalir ke bagian
posterior faring, hal ini untuk mencegah rasa mual dan obstruksi
jalan napas.
4. Kemudian pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
dan patokain/lidokain, serta bantuan alat penhisap untuk
membersihkan bekuan darah, hal ini untuk menentukan sumber
pendarahan dengan jelas.
5. Pada anak-anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
pedarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala di
tegakkan, kemudian cuping hidung ditekan kearah septum selama
beberapa menit ( metode Trotter )
6. Pada Epistaksis minor berulang
Saat pasien pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam
keadaan pendarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis
berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa
serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali, namun
serangan terakhir mungkin menyebabkan pasien menjadi takut
sehingga dia mencari pertolongan.

Pemeriksaan hidung pada keadaan ini dapat mengungkap adanya


pembuluh-pembuluh yang menonjol melewai septum anterior, dengan

20
sedikit bekuan darah .pembuluh darah tersebut dapat di kauterisasi
secara kimia ataupun listrik. Pengguanaan anstestik topikal dan agen
vasokontriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xi-kokain dengan
epenefrin, selanjutnya lakukan kauterisassi, misalnya dengan larutan
asam trikloroasetat 50% pada pembuluh darah tersebut. Jika pembuluh
darah menonjol pada kedua sisi septum, diusahakan agar tidak
mengkauterisasi pada daerah yang sama pada kedua sisi. Walaupun
mengunakan zat kauterisasi dengan penetrasi yang rendah, namun
daerah permukaan yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya,
maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng di atas
jaringan parut sebagai pengganti mukosa pada saluran napas normal,
akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mukus. Dengan
melambatnya dan terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami kauterisasi maka akan terbentuk krusta pada
septum. Apabila kemudian pasien mengorek hidungnya untuk
mengelupaskan krusta, maka akan mencederai lapisan permukaan dan
menimbulkan pendarahan yang baru dan menyempurnakan lingkaran
setan dengan kembali ke dokter untuk tindakan kauterisasi selanjutnya.
Pada pendarahan yang sangat aktif, tidak ada cara kauterisasi yang
efektif maupun yang aman, pendarahan yang berulang dari suatu
pembuluh septum dapat diatasi dengan meninggikan aliran mukosa
setempat, kemudian biarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau
dengan merekontruksi deformitas septum dasar untuk menghilangkan
daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi ketegangan mukosa (Adam
GL,Boies LR,1997).

1. Pada epistaksi anterior


Pasien dengan pendarahan aktif lewat bagian depan hidung harus
dalam posisi duduk tegak. Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan
lauran kokain 4% dimasukan dengan hati-hati kedalam hidung. Dan
bisa sambil di lakukan pengisapan untuk mengaspirasi darah yang
berlebihan. Setelah sumber pendarahan dapat terlihat dengan jelas,
tindakan kautersasi dengan larutan nitras argenti 20 30 %, asam

21
trikloroasetat 10% atau dengan elektro kauterisasi dapat di coba apabila
pembuluh darah tersebut kecil. Sebaliknya jika besar atau bila mana
dengan tindakan kauterisasi pendarahan anterior masih berlangsung
ataupun sumber pendarahan yang sulit dikenali, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kassa yang telah diberi
vasellin yang dicampur dengan betadine atau zat antibiotika.
Antibiotika profilaktik dianjurkan karena ostia sinus tersumbat olah
tampon dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah, yang
menyediakan lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu dapat
juga melapisi tampon dengan dengan krim antibiotik untuk mengurangi
pertumbuhan bakteri dan pembentukanbau.

2. Epistaksis pada posterior

Pada epistaksis posterior dicurigai apabila sebagian besar


pendarahan terjadi kedalam faring, tampon anterior gagal mengkontrol
pendarahan atau pada pemeriksaan hidung di dapatkan pendarahan yang
terletak pada posterior dan superior. Situasi ini sering terjadi pada orang
tua yang mungkin telah mengalami arteriosklerosis, namun dapat terjadi
pula pada individu yang mengalami trauma hidung yang berat. Pada
kasus epistaksis posterior, beberapa ahli menganjurkan blok ganglion
sfenopalatum yang bersifat diagnostik dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml
Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara berhati-hati kedalam
kanalis palatina mayor akan menyebabkan vasokontriksi arteri
sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan
efek anastesia untuk pemasangan tampon posterior. Tampon posterior
atau tampon bellocq, dibuat dari kassa dengan ukuran lebih kurang
3x2x2 cm dengan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan
1 buah lain nya pada sisi lainnya. Tampon harus menutup koana
posterior (nares posterior). Untuk pemasangan tampon bellocq,

22
dimasukan cateter karet melalui nares anterior sampai tapak di
orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut. Ujung cateter
kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada salah satu
sisi tampin bellocq dan kemudian ditarik keluar hidung. Benang yang
telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah nasofaring.
Jika masih terdapat pedarahan dapat dibantu dengan pemasangan
tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kassa yang diletakan di
tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai
benang lagi pada tampon bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak
boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakan pada pipi. Benang ini
berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari
perawatan.
Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus
dirawat di rumah sakit, sedangkan pasien tua atau dengan suatu
penyakit primer ditempatkan di ruang perawatan intensif. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan saat pasien masuk ke rumah sakit antara lain :
a. Pemantauan tanda-tanda vital
b. Elektrokardiogram
c. Penggunaan oksigen bilamana perlu (hati-hati pada penyakit paru
obstruktif menahun) karena adanya kemungkinan komplikasi
sekunder akibat sedasi, kehilangan darah akut dan penurunan PO2
arteri sehubungan pemasangan tampon.
d. Pemantauan Analisa gas darah arteri
e. Pemantauan Hb dan Hematokrit sedikitnya tiap 12 jam
f. Pemeriksaan kelainan pendarahan (PT,PTT, hitung trombosit)
g. Semua tes yang dilakukan untuk melakukan evalusasi medis yang
memadai dari setiap kemungkinan penyebab primer epistaksis,
misalnya FBS, BUN dan creatinine
h. Pemberian cairan intravena, karena masukan oral yang buruk
i. Pemberian analgetik dan sedasi perlu dilakukan tanpa menyebabkan
depresi pernafasan
j. Diit cairan jernih
k. Pemeriksaan faring untuk mencari pendarahan aktif
l. Kepala ditinggikan 45 derajat
m. Antibiotic spectrum luas profilaktik karena terputusnya pola drainase
hidung dan sinus
n. Penentuan jenis dan kecocokan silang darah apabila kehilangan
darah yang cukup bermakna (Adam GL, Boies LR 1997)

23
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat
lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis
epistaksis.
2. Pemeriksaan darah, lengkap, gula darah.
3. Fungsi hemostatis.
4. EKG
5. Tes fungsi hati dan ginjal
6. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring
7. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma

2.3.7 Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain :
1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes
larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud
(jangan memasukan cotton bud melebihi 0,5-0,6 cm ke dalam
hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras
5. Bersin melalui mulut
6. Hindari memasukan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari
7. Batasi pengunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan
pendarahan seperti aspirin dan ibuprofen
8. Konsultasi kedokter bila alergi tidak bias ditangani dengan obat
alergi biasa
9. Berhentilah merokok, merokok menyebabkan hidung menjadi
kering dan menyebabkan iritasi

2.3.8 Komplikasi
1. Sinusitis
2. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung).
3. Deformitas (kelainan bentuk) hidung.
4. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah).
5. Kerusakan jaringan hidung.

24
6. Infeksi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksisnya sendiri ataupun akibat


usaha penangulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat
menimbulkan sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang
berdarah (bloody tears) dikarenakan darah mengalir secara retrograde
melalui duktus nasolakrimalis dan septicemia. Sedangkan pemasangan
tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan
mealui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat pendarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia,
tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,
insufisiensi coroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus
segera dilakukan pemberian cairan intravena ataupun transfuse darah.
Akibat pendarahan hebat akan menyebabkan aspirasi darah ke dalam
saluran nafas bawah. Akibat pembuluh darah yang terbuka akan
menyebabkan infeksi.

25
2.3.9 WOC

Infeksi lokal Trauma Lokal, Tumor, Arbovirus Aedes


Gaya Hidup Nasal,
Pembedahan, Perubahan
Inflamasi Tekanan Atmosfir/udara, Infeksi Virus
Benda Asing Dengue

Hipertermi
Kerusakan Jaringan Permeabilitas membran
Mukosa Hidung
Kerusakan Vaskular
Pembuluh Darah
Agregasi Trombosit
Ruptur Pembuluh
Darah Hidung
Trombositopeni

Kerusakan Endotel Pembuluh


Darah terutama di hidung

EPISTAKSIS

Sistem Saraf Pusat Rejatan Hipovolemik Darah di Hidung Psikososial


dan Hipoksia

MK : Nyeri
MK : Bersihan Jalan MK : Cemas
MK : Pendarahan Napas Tidak Efektif

26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3. 1 Asuhan Keperawatan Anosmia


3.1.1 Pengkajian
a. Identitas
Nama Pasien : Sesuai dengan rekam medis.
Umur : Usia pasien yang tertulis saat pasien masuk rumah.
sakit
Pekerjaan : Pekerjaan pasien yang dijalani sebelum masuk ke
rumah sakit yang dapat diketahui dari data pasien atau dari informasi
keluarga.
Jenis kelamin : Data dapat diperoleh dari kartu identitas pasien.
Alamat :Data diperoleh dari data rekam medis pasien.
b. Keluhan Utama : Ketidakmampuan pasien untuk mendeteksi bau
c. Riwayat penyakit sekarang : Penurunan kemampuan membau
d. Riwayat penyakit dahulu : Adanya obstruksi saluran pernafasan
ataupun e. kerusakan syaraf dan dapat juga karena influenza
e. Riwayat penyakit keluarga : Salah satu keluarga mengalami influenza
jadi dapat beresiko tingginya terjadi anosmia.
f. Pemeriksaan Fisik :
a. B1 (Breath) : Influenza, penurunan gangguan membau, RR naik
b. B2 ( Blood) : HR naik, TD naik
c. B3 (Brain) : Kesadaran kompos mentis, ansietas, gangguan di
neuro olfaktorius
d. B4 (Bladder) : Tidak ada masalah yang terjadi
e. B5 (Bowel) : Penurunan nafsu makan, ganngguan nutrisi
f. B6 (Bone ) : Lemas,gangguan tidur
g. Pemeriksaan Penunjang
a. Biopsy neuroepitelium olfaktorius
b. CT scan
c. MRI Kepala
d. Tes odor stix
e. Tes alcohol 12 inci
f. Scratch and sniff card
g. The university of pennysylvania smell identification test (UPSIT)

27
3.1.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah keperawatan


DO : Kebutuhan nutrisi Tumor, penuaan,
atau porsi makan konsumsi obat

DS : Nafsu makan
berkurang karena Kerusakan sel
pasien kesulitan dalam olfaktori atau
mengenali bau kerusakan neuro
olfaktori
anoreksia.

Gangguan membau Perubahan persepsi


total
sensori penciuman

Gangguan perasa

Nafsu makan
berkurang

Gangguan pemenuhan
nutrisi

DO : Data kebutuhan
Influenza, penuaan,
nutrisi atau porsi
operasi, konsumsi
makan obat,tumor

Kerusakan sel
DS: Kemampuan
olfaktori atau
makan berkurang kerusakan neuro Gangguan nutrisi
oalfaktori kurang dari kebutuhan.
karena rasa makanan
tidak enak,
Nafsu makan
berkurang

Nutrisi tidak tercukupi

28
3.1.3 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi sensori rasa berhubungan dengan penurunan
perasa.
2. Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan
kerusakan sel olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius.
3. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia

3.1.4 Intervensi dan Rasional

Perubahan persepsi sensori rasa berhubungan dengan penurunan perasa

Tujuan : Indra perasa kembali normal.


Kriteria hasil: meningkatkan indra perasa pasien

Intervensi Rasional

1. Memonitor keadaan umum 1. Untuk memantau perkembangan


pasien kondisi pasien.
2. Memonitor tanda vital 2. Untuk memantau perkembangan
kondisi pasien.

Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan sel


olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius.

Tujuan : Gangguan persepsi berkurang atau hilang.


Kriteria hasil : Meningkatkan penciuman klien.

Intervensi Rasional

1. Kaji ketajaman pembau pasien 1. Untuk mengetahui kondisi


2. Beri stimulasi bau-bau tertentu indra pembau pasien dan
3. Kolaborasi dengan ahli tingkat keparahan dari
fisioterapi kerusakan olfaktori pasien.
2. Stimulasi bau digunakan untuk
merangsang indra pembau dan
untuk mengetahui tingkat
keparahan dari kerusakan
olfaktori pasien.
3. Untuk menunjang kesembuhan
pasien dan memberikan terapi
yang tepat untuk pasien

29
Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia.

Tujuan : Nutrisi tercukupi.


Kriteria hasil : Pasien menghabiskan porsi makan.

Intervensi Rasional

1. Sajikan makanan selagi hangat. 1. Makanan yang hangat dapat


2. Berikan makanan sedikit tapi menambah nafsu makan pasien
sering. dan dapat meningkatkan
3. Kolaborasi pemberian diet konsumsi makan pada pasien.
dengan ahli gizi.
2. Pemberian makanan yang
sedikit tapi sering digunakan
untuk memaksimalkan intake
nutrisi tanpa kelelahan dan
energi besar serta menurunkan
iritasi saluran cerna.

3. Merencanakan diet dengan


kandugan gizi yang cukup untuk
memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan kalori
sehubungan dengan status
hipermetabolik klien

3.1.5 Evaluasi
1. Perasa pasien dapat kembali normal.
2. Penciuman pasien kembali normal sehingga dapat membau kembali .
3. Nafsu makan pasien dapat bertambah.

3. 2 Asuhan Keperawatan Epistaksis


3.2.1 Pengkajian
1. Identitas
Biodata : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan.
2. Riwayat penyakit sekarang :

30
3. Keluhan utama : biasanya klien mengeluhkan sulit bernapas, keluar
darah dari hidung.
4. Riwayat penyakit dahulu :
a. Pasien pernah menderita penyakit akut dan pendarahan hidung
atau trauma
b. Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c. Pernah menderita sakit gigi graham
5. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh
keluarga yang mungkin berhubungan dengan penyakit klien
sekarang.
6. Riwayat psikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas atau
sedih )
b. Interpersonal : berhubungan dengan orang lain
7. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat-
obatan tanpa memperhatikan efek samping.
a. Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi
gangguan pada hidung.
b. Pola istirahat dan tidur
Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena
sering pilek.
c. Pola persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan
konsep diri menurun.
2) Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena akibat pilek terus
menerus (baik purulent, serous atau mikoporulen).
8. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda-tanda vital dan
kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah
dan bengkak).
1) Data subyektif : mengeluh badan lemas
2) Data obyektif :
a. Gelisah
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan denyut nadi
d. Anemia
e. Tampak pendarahan mengucur dari hidung

31
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perdarahan berhubungan dengan trauma minor atau mukosa hidung
yang rapuh.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
jalan napas.
3. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
4. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung.

3.2.3 Intervensi

Perdarahan berhubungan dengan trauma minor atau mukosa hidung yang rapuh. (00206)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pendarahan dapat berhenti.
Kriteria hasil :
Domain : 11
Kelas :2
Pendarahan berhenti
1. Luka sembuh atau kering
2. HB dalam rentang normal
Intervensi
1. Mererapkan tekanan manual atas jembatan hidung
2. Observasi TTV
3. Antisipasi kekurangan HB
4. Hentikan pendarahan dan menghindari perluasan luka
5. Kelola pemberian obat anti hemoragic

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan napas. (00031)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil :
Domain : 11
Kelas :2
Airway pantency
1. Menunjukan jalan napas yang paten (tidak merasa tercekik, irama dan frek napas
dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal).
2. Saturasi O2 dalam batas normal.
Intervensi
Airway management
1. Pastikan kebutuhan oral/trakeal suctioning
2. Berikan O2 sesuai indikasi

32
3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Keluarkan secret/mucus/darah dengan batuk efektif atau suction
6. Auskultasi suara napas, catat apabila ada suara napas tambahan
7. Berikan bronkodilator bila perlu
8. Monitor status hemodinamik
9. Monitor respirasi dan status O2

Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita. (00146)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan klien teratasi.
Kriteria hasil :
Domain :9
Kelas :2
Kontrol kecemasan
1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapakan gejala cemas.
2. Menunjukan tekhnik untuk mengontrol cemas.
3. TTV dalam rentang normal.
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan aktifitas menunjukan
berkurangnya kecemasan.
Intervensi
Penurunan kecemasan
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap prilaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
5. Berikan informasi yang factual tentang diagnosis dan tindakan prognosis
6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
7. Intruksikan klien mengunakan teknik relaksasi
8. Identifikasi tingkat kecemasan
9. Bantu pasien untuk mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
10. Kelola pemberian obat anti ansietas.

Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran napas atau pengeringan mukosa. (00132)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami nyeri.
Kriteria hasil :
Domain : 12
Kelas :1
Pain control
1. Mampu mengontrol nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang

33
3. Mampu mengenali nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. TTV dalam rentang normal
6. Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi
Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara konprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan factor prespitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Control lingkungan yang dapat memperngaruhi nyeri
4. Kurangi factor prespitasi nyeri
5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
6. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
7. Tingkatkan istirahat
8. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
9. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik

3. 3 Asuhan Keperawatan Klien dengan Kasus Anosmia


Kasus :
Tn. A (35 th) datang ke rumah sakit Universitas Airlangga pada tanggal 13
September 2015 dengan keluhan gelisah karena kemampuan membaunya
menurun. Tn A tidak dapat mencium bau atau aroma masakan walaupun
dirasakan orang lain baunya sangat menyengat. Keluhan ini telah
dialaminya selama 3 hari. Sebelumnya, Tn A memiliki riwayat sinusitis. Tn
A juga mengeluhkan sulit tidur dan nafsu makannya berkurang sehingga
berat badannya turun dari 60 kg menjadi 55 kg dan lemas. TB/BB
170cm/55kg, RR 23x/menit.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 35 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Surabaya
Tanggal MRS : 13 September 2015
Tanggal pengkajian : 13 September 2015

2. Keluhan Utama :
Kemampuan membau menurun.
3. Riwayat Penyakit Saat Ini :

34
Tn.A merasa gelisah karena kemampuan membaunya menurun, nafsu
makan berkurang dan susah tidur selama tiga hari.

4. Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Pernah mengalami sinusitis.

5. Riwayat Keluarga :
Tidak ada

6. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath) : Penurunan kemampuan membau, RR 23x/menit
B2 ( Blood) :
B3 (Brain) : Gangguan di neuro olfaktorius
B4 (Bladder) :
B5 (Bowel) :Penurunan nafsu makan, gangguan nutrisi, berat badan
turun, lemas.
B6 (Bone ) :

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsy neuroepitelium olfaktorius
2. CT scan
3. MRI Kepala
4. Tes odor stix
5. Tes alcohol 12 inci
6. Scratch and sniff card
7. The university of pennysylvania smell identification test (UPSIT)

B. ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DO : Sinusitis kambuh,
RR: 23x/menit konsumsi obat, trauma,
alergi
DS:
Pasien terlihat gelisah
karena tidak dapat Kerusakan sel olfaktori
mengenali aroma atau kerusakan neuro
Ansietas
apapun. olfaktori

Gangguan membau total

Ansietas

35
DO : Sinusitis kambuh,
BB : 55 kg (turun) konsumsi obat, trauma,
alergi
DS :
Nafsu makan
berkurang karena Kerusakan sel olfaktori
pasien kesulitan dalam atau kerusakan neuro
mengenali bau olfaktori
makanan.

Gangguan membau total Ketidakseimbangan


nutrisi kurang dari
kebutuhan
Gangguan perasa

Nafsu makan berkurang

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafsu makan berkurang (00002).

D. INTERVENSI
1.
Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
Domain : 9 (coping/stress tolerance)
Kelas : 2 (coping responses)
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawan 1x24 jam
kecemasan klien dapat menghilang atau berkurang.

NIC NOC
Anxiety Reduction (5820) Domain: psychosocial health (III)
a. Ciptakan suasana tenang dan Class: self control (o)
bersahabat untuk pasien Anxiety self-control (1402)
b. Berikan informasi yang akurat a. Monitor intensitas kecemasan
mengenai pengobatan dan b. Kontrol respon kecemasan

36
diagnosis pasien c. Menggunakan strategi koping
c. Dorong keluarga untuk terus efektif
ada di sekitar pasien d. Menggunakan teknik relaksasi
d. Identifikasi perubahan tingkat untuk mengatasi kecemasan
kecemasan
e. Bantu dan anjurkan pasien
untuk menggunakan teknik
relaksasi untuk mengurangi
kecemasan
f. Berikan obat untuk mengurangi
kecemasan

2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d nafsu makan
berkurang (00002).
Domain : 2 ( nutrition)
Kelas : 1 (ingestion)
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam nafsu
makan pasien meningkat dan nutrisi terpenuhi
NIC NOC
Manajemen nutrisi (1100) Domain physiologic health (II)
a. Tentukan status kebutuhan Class degstion & nutrition (K)
nutrisi pasien dan kemmapuan Status nutrisi (1004)
untuk memenuhi nutrisi yang a. Intake nutrisi (1-5)
dibutuhkan b. Intake makanan (1-5)
b. Identifikasi alergi pasien c. Energy (1-5)
terhadap makanan atau tidak d. Berat badan (1-5)
toleran Domain physiologic health (II)
c. Tentukan jumlah kalori dan tipe Class degstion & nutrition (K)
nutrisi yang dibutuhkan untuk Status nutrisi : intake makanan dan
memenuhi kebutuhan nutrisi cairan (1008)
pasien. a. Intake makanan oral (1-5)
Monitoring nutrisi (1600) b. Intake cairan oral (1-5)
a. Monitor perkembangan berat c. Intake cairan intravena (1-5)
badan pasien
b. Monitor turgor kulit
c. Monitor intake makanan
d. Tentukan rekomendasi makanan

37
3. 4 Asuhan Keperawatan Klien dengan Kasus Epistaksis
Kasus:
Ny.L (38 tahun) datang ke rumah sakit dengan keluhan sulit bernapas
dan hidungnya mengeluarkan darah. Sebelumnya Ny.L pernah MRS satu
bulan yang lalu akibat mengalami trauma hidung ringan karena kebiasaan
terlalu sering mengkorek hidungnya. Setelah dilakukan pengkajian oleh
perawat didapatkan data TD: 100/60 mmHg, Nadi : 110/menit, RR:
24/menit, badannya terasa lemas dan gelisah.

A. PENGKAJIAN
a. Identitas :
Nama : Ny.L
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Budha
Tanggal MRS : 21 Juli 2015
Tanggal pengkajian : 21 Juli 2015
b. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan sulit bernapas dan hidungnya mengeluarkan
darah.
c. Riwayat penyakit sekarang
Ny.L saat ini mengeluhkan kesulitan bernapas dan hidungnya
mengeluarkan darah, badannya terasa lemah dan gelisah.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah MRS sebulan yang lalu karena mengalami trauma hidung
ringan akibat kebiasaannya yang terlalu sering mengorek hidung.
e. Pemeriksaan fisik:
B1 : takipnea, RR 24/menit
B2 : TD turun yaitu 100/60 mmHg, warna kulit normal
B3 :-
B4 : elektrolit normal
B5 : nafsu makan turun
B6 : kelelahan

B. ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS : Trauma hidung
Badannya terasa lemas.
Perdarahan
DO: Epitaksis
1. Pasien terlihat
gelisah

38
2. TD: 100/60 mmHg Pendarahan hebat arteri
3. Tampak adanya etmodialis posterior
perdarahan yang
keluar dari hidung
Pendarahan

DS: Trauma hidung


Pasien mengeluhkan sesak
napas.
Epitaksis
DO:
1. RR : 24x/menit
2. Irama napas tidak Pendarahan hebat arteri
teratur etmodialis posterior
Bersihan jalan napas
tidak efektif
Hambatan saluran napas
bagian atas

Bersihan jalan napas


tidak efektif

DS : Trauma hidung
Pasien merasa gelisah
DO :
1. Pasien terlihat Epitaksis
gelisah
2. TD: 100/60 mmHg
3. RR : 24x/menit Pendarahan hebat arteri
4. Keluar keringat etmodialis posterior
berlebihan Ansietas

Koping tidak efektif:


pendarahan hebat pada
nasal

Ansietas

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Perdarahan berhubngan dengan trauma minor atau mukosa hidung yang
rapuh (00206).
Domain : 11 (safety/protection)
Kelas : 2 (physical injury)

39
Tujuan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam
perdarahan dapat berhenti.

NIC NOC
Bleeding reduction: Nasal (4024) Domain: physiologic health (II)
a. Menerapkan tekanan manual Class: cardiopulmonary (E)
tulang hidung Blood loss severity
b. Observasi TTV pasien a. Kehilangan darah (1-5)
c. Antisipasi kekurangan HB b. Kulit dan membrane mukosa
d. Hentikan perdarahan dan pucat (1-5)
hindari perluasan area luka c. Ansietas (1-5)
e. Kelola pemberian obat anti
hemoragik

2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan napas (00031).
Domain : 11
Kelas :2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24
jam pasien menunjukan keefektifan jalan napas

NIC NOC
Airway management (3140) Domain: physiologic health (III)
a. Pastikan kebutuhan oral/trakeal Class: cardiopulmonary (E)
suctioning Cardiopulmonary status (0414)
b. Berikan O2 sesuai indikasi a. RR (1-5)
c. Anjurkan pasien untuk istirahat b. Irama napas (1-5)
dan napas dalam c. Saturasi oksigen (1-5)
d. Posisikan pasien untuk d. Sianosis (1-5)
memaksimalkan ventilasi
e. Keluarkan secret/mucus/darah
dengan batuk efektif atau
suction jika perlu
f. Auskultasi suara napas, catat
apabila ada suara napas
tambahan
g. Berikan bronkodilator bila
perlu
h. Monitor status hemodinamik
i. Monitor respirasi dan status O2

3.
Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya kehilangan sensasi
pembau (00146).
Domain : 9 (coping/stress tolerance)

40
Kelas : 2 (coping responses)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24
jam pasien menunjukan penurunan kecemasan

NIC NOC
Anxiety Reduction (5820) Domain: psychosocial health (III)
a. Jelaskan semua prosedur, Class: self control (O)
termasuk efek samping dari Anxiety self-control (1402)
tindakan yang akan dilakukan a. Dapat mengontrol intensitas
b. Berikan informasi yang kecemasan (1-5)
akurat mengenai pengobatan b. Merencanakan koping untuk
dan diagnosis pasien mengatasi situasi stress (1-5)
c. Dorong keluarga untuk terus c. Menggunakan teknik relaksasi
ada di sekitar pasien mengurangi kecemasan (1-5)
d. Identifikasi perubahan
tingkat kecemasan
e. Bantu dan anjurkan pasien
untuk menggunakan teknik
relaksasi untuk mengurangi
kecemasan
f. Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan
g. Kaji tanda-tanda verbal dan
non-verbal kecemasan

41
BAB IV
KESIMPULAN

Anosmia adalah hilangnya indera penghidu (penciuman), dalam hal


ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera penciuman.
Bisa bersifat permanen maupun sementara.
Anosmia terjadi karena kerusakan pada organ proses penghidu,
kerusakan dapat terjadi pada neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan
korteks olfaktorius pada otak. Kerusakan pada neuroepitel olfaktorius
mengakibatkan impuls tidak dapat ditangkap dengan adekuat ataupun tidak dapat
ditangkap sama sekali, sehingga tidak ada impuls yang akan diinterpretasikan.
Kerusakan pada bulbus olfaktorius mengakibatkan impuls tidak dapat
dihantarkan/ di teruskan ke korteks serebri. Adanya kerusakan pada korteks
olfaktorius pada korteks serebri yang diakibatkan oleh trauma kepala
mengakibatkan impuls yang dihantarkan oleh bulbus olfaktori tidak dapat
diinterpretasikan, sehingga individu tidak bisa mempersepsikan/
menginterpretasikan stimulus aroma.
Epistaksis adalah pendarahan dari hidung akibat pecahnya pembuluh
darah. Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit.
Pendarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit
umum. Penting sekali mencari asal pendarahan dan menghentikan, di samping
perlu juga menemukan dan mengobati sebabnya.
Sering kali epistaksis timbul tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang
kadang jelas disebabkan oleh kelainan local (trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi local, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan)
pada hidung atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital

42
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger JJ.2002. Hidung dan sinus paranasal Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa
Aksara
Baughman, Diane dan JoAnn C. Hackley. 1996. Keperawatan Medikal-
Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Vol 2 E/5. Jakarta: EGC
Bulechek, Gloria M, Howard K. Butcher, dan Joanne Mc Closkey
Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby
Effy huriyati, Bestari Jaka Budiman, Tuti nelvia Gangguan fungsi
penghidu dan pemeriksaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang/RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Ganong WF.2001. Smell and taste. In Review of medical physiology. 20th ed.
San Fransisco: Medical Publishing Division
Gibson, John. 1990. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat.
Jakarta: EGC
Herdman, T. H. and Kamitsuru, S (Eds). 2014. NANDA International
Nursing Diagnosis: Defitions & Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Moorhead, Sue dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC)
Measurement of Health Outcomes Fifth edition. USA: Mosby

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Media dan Nanda NIC NIC Edisi Revisi
Jilid 1. Jogja: Mediaction

Setiadi.2007.Anatomi dan fisiologi Manusia.yogyakarta:graha ilmu.

43

Vous aimerez peut-être aussi