Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar thyroid akibat kelainan glandula thyroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar thyroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar thyroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Pada struma gondok endemik, Perez membagi menjadi:
Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III : terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
Derajat 0a : tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
Derajat 0b : jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila
kepala ditegakkan.

2. Epidemiologi Struma
Menurut WHO, Indonesia merupakan Negara yang dikategorikan endemis
kejadian struma (goiter). Penyakit ini dominan terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Umumnya 95% kasus struma bersifat jinak (benigna)
dan sisanya 5 % kasus kemungkinan bersifat ganas (maligna).
3. Anatomi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua
bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk
lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar
10-20 gram. Kelenjar thyroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan
bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini
memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap
molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut
dikendalikan oleh kadar hormon perangsang thyroid TSH (thyroid stimulating
hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium
adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari
makanan dan minuman yang mengandung yodium. Gambar anatomi thyroid
dapat dilihat di bawah ini.

a. Vaskularisasi Kelenjar Thyroid


Kelenjar thyroid memperoleh darah dari a. Thyroidea superior, inferior dan
ima yang terletak antara kapsula fibrosa dan fascia pretrachealis.
a. Thyroidea superior adalah cabang pertama dari a. Caroticus externus,
melintas turun ke kutub masing-masing labus kelenjar thyroid,
menembus fascia pretarachealis dan membentuk ramus glandularis
anterior dan posterior
a. thyroidea inferior adalah cabang dari truncus thyrocervicalis, melintas
ke superomedial di belakang carotid sheat dan mencapai aspek posterior
kelenjar thyroid. Truncus thyrocervicalis adalah cabang dari a. Subclavia.
a.thyroidea ima dipercabangkan dari truncus brachiocephalicus atau
langsung dipercabangkan dari arcus aortae.
Tiga pasang vena thyroidea menyalurkan darah dari pleksus vena pada
permukaan anterior kelenjar thyroid dan trachea. V. Thyroidea superior
menyalurkan darah dari kutub atas, v. Thyroidea media menyalurkan
darah dari bagian tengah kedua lobus dan v. Thyroidea inferior
menyalurkan darah dari kutub bawah. V. Thyroidea superior dan media
bermuara ke v. Jugularis interna dan v. Thyroidea inferior barmuara ke v.
Brachiocephalica.

b. Innervasi Kelenjar Thyroid


Persarafan simpatis diperoleh dari ganglion cervicalis superior dan
danglion cervicalis media yang mencapai kelenjar thyroid dengan mengikuti
a. Thyroidea superior dan inferior. Serat-serat saraf simpatis memiliki efek
perangsangan [ada aktifitas sekresi kelenjar thyroid.
Nervus laryngeus superior mengandung komponen motoris untuk m.
Cricothyroidea, dan komponen sensoris untuk dinding laring di cranial plica
vocalis. N. Laryngeus reccurens mengandung komponen motoris untuk
semua otot intrinsik laringeus dan komponen sensoris untuk dinding laring
di caudal plica vocalis

c. Aliran Limfe Kelenjar Thyroid


Pembuluh limfe kelenhar thyroid melintas di dalam jaringan ikat antar
lobulus dan berhubungan engan anyaman pembuluh limfe kapsular. Dari
sini pembuluh limfe menuju ke lymphonodus cervicalis anterior profinda
prelaryngealis, pretrachealis dan paratrachealis.
Kelenjar tiroid berperanan mempertahankan derajat metabolisme dalam
jaringan pada titik optimal.Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada
kebanyakan sel tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan hidrat
arang, dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan serta maturasi normal.
Apabila tidak terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin, akan
timbul kelambanan mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi
mental dan dwarfisme. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan
meninbulkan penyusutan tubuh, gugup, takikardi, tremor, dan terjadi
produksi panas yang berlebihan.

4. Fisiologi Kelenjar Thyroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tiroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organic dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat
dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT).
Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang
disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami
diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon
tiroid terikat pada globulin, globulin pengikat tiroid (thyroid-binding globulin,
TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine,
TPBA).
Proses pembentukan hormon tiroid :
a. Proses penjeratan ion iodida dengan mekanisme pompa iodida. Pompa ini
dapat memekatkan iodida kira-kira 30 kali konsentrasinya di dalam darah;
b. Proses pembentukan tiroglobulin. Tiroglobulin adalah glikoprotein besar
yang nantinya akan mensekresi hormon tiroid;
c. Proses pengoksidasian ion iodida menjadi iodium. Proses ini dibantu oleh
enzim peroksidase dan hidrogen peroksidase.
d. Proses iodinasi asam amino tirosin. Pada proses ini iodium (I) akan
menggantikan hidrogen (H) pada cincin benzena tirosin. Hal ini dapat
terjadi karena afinitas iodium terhadap oksigen (O) pada cincin benzene
lebih besar daripada hidrogen. Proses ini dibantu oleh enzim iodinase agar
lebih cepat.
e. Proses organifikasi tiroid. Pada proses ini tirosin yang sudah teriodinasi
(jika teriodinasi oleh satu unsur I dinamakan monoiodotirosin dan jika dua
unsur I menjadi diiodotirosin).
f. Proses coupling (penggandengan tirosin yang sudah teriodinasi). Jika
monoiodotirosin bergabung dengan diiodotirosin maka akan menjadi
triiodotironin. Jika dua diiodotirosin bergabung akan menjadi
tetraiodotironin atau yang lebih sering disebut tiroksin. Hormon tiroid tidak
larut dalam air jadi untuk diedarkan dalam darah harus dibungkus oleh
senyawa lain, dalam hal ini tiroglobulin. Tiroglobulin ini juga sering disebut
protein pengikat plasma. Ikatan protein pengikat plasma dengan hormon
tiroid terutama tiroksin sangat kuat jadi tiroksin lama keluar dari protein ini.
Sedangkan triiodotironin lebih mudah dilepas karena ikatannya lebih lemah.
Metabolisme T3 dan T4 :
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam.
SebagianT4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses
monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas
mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis.
Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3,5
triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada
tingkat seluler.
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
a. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya
kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
b. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid
(TSHreseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi
hormone meningkat
c. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada
hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
d. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tiroid:
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,
tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi
intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula
glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi
insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai
karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi besi dan hipotiroidisme.

5. Klasifikasi Struma dan Manifestasi Klinisnya


a. Istilah Klinis
Non toksik
Toksik
b. Faal
Eutiroid
Hipertiroid
Hipotiroid
c. Morfologi
Bentuk kista : Struma kistik
Bentuk Noduler : Struma nodusa
Bentuk diffusa : Struma diffusa
Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
d. Pembesarannya
Struma Non Toxic Diffusa
Struma Non Toxic Nodusa
Stuma Toxic Diffusa
Struma Toxic Nodusa3
Istilah toksik dan non toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Definisi : Pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-
gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
c. Goitrogen :
Obat: Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, sayur-mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
a. Defisiensi Iodium
b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto atau postpartum thyroiditis
c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
f. Terpapar radiasi
g. Penyakit deposisi
h. Resistensi hormon tiroid
i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
j. Silent thyroiditis
k. Agen-agen infeksi
l. Suppuratif Akut : bacterial
m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
n. Keganasan Tiroid
3 Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
Aktivasi reseptor TSH
Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin
like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4 Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab
pastinya.
Berdasarkan morfologinya :
1. Struma Hyperplastica Diffusa
Suatu stadium hiperplasi akibat kekurangan iodine (baik absolute
ataupun relatif). Defisiensi iodine dengan kebutuhan excessive biasanya
terjadi selama pubertas, pertumbuhan, laktasi dan kehamilan. Karena kurang
iodine kelenjar menjadi hiperplasi untuk menghasilkan tiroksin dalam
jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan supply iodine yang
terbatas. Sehingga terdapat vesikel pucat dengan sel epitel kolumner tinggi
dan koloid pucat. Vaskularisasi kelenjar juga akan bertambah. Jika iodine
menjadi adekuat kembali (diberikan iodine atau kebutuhannya menurun)
akan terjadi perubahan di dalam struma koloides atau kelenjar akan menjadi
fase istirahat.
2. Struma Colloides Diffusa
Ini disebabkan karena involusi vesikel tiroid. Bila kebutuhan excessive
akan tiroksin oleh karena kebutuhan yang fisiologis (misal, pubertas, laktasi,
kehamilan, stress, dsb.) atau defisiensi iodine telah terbantu melalui
hiperplasi, kelenjar akan kembali normal dengan mengalami involusi.
Sebagai hasil vesikel distensi dengan koloid dan ukuran kelenjar membesar.
3. Struma Nodular
Biasanya terjadi pada usia 30 tahun atau lebih yang merupakan
sequelae dari struma colloides. Struma noduler dimungkinkan sebagai
akibat kebutuhan excessive yang lama dari tiroksin. Ada gangguan berulang
dari hiperplasi tiroid dan involusi pada masing-masing periode kehamilan,
laktasi, dan emosional (fase kebutuhan). Sehingga terdapat daerah
hiperinvolusi, daerah hiperplasi dan daerah kelenjar normal. Ada 11 daerah
nodul hiperplasi dan juga pembentukan nodul dari jaringan tiroid yang
hiperinvolusi. Tiap folikel normal melalui suatu siklus sekresi dan istirahat
untuk memberikan kebutuhan akan tiroksin tubuh. Saat satu golongan
sekresi, golongan lain istirahat untuk aktif kemudian. Pada struma nodular,
kebanyakan folikel berhenti ambil bagian dalam sekresi sehingga hanya
sebagian kecil yang mengalami hiperplasi, yang lainnya mengalami
hiperinvolusi (involusi yang berlebihan/mengecil)

6. Patofisiologi
Aktifitas utama kelenjar tiroid adalah untuk berkonsentrasi yodium dari
darah untuk membuat hormon tiroid. Kelenjar tersebut tidak dapat membuat
hormon tiroid cukup jika tidak memiliki cukup yodium. Oleh karena itu,
dengan defisiensi yodium individu akan menjadi hipotiroid. Akibatnya, tingkat
hormone tiroid terlalu rendah dan mengirim sinyal ke tiroid. Sinyal ini disebut
thyroid stimulating hormone (TSH). Seperti namanya, hormon ini merangsang
tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid dan tumbuh dalam ukuran yang besar.
Pertumbuhan abnormal dalam ukuran menghasilkan apa yang disebut sebuah
gondok.
Kelenjar tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH)
yang juga dikenal sebagai thyrotropin. TSH disekresi dari kelenjar hipofisis,
yang pada gilirannya dipengaruhi oleh hormon thyrotropin releasing hormon
(TRH) dari hipotalamus. Thyrotropin bekerja pada reseptor TSH terletak pada
kelenjar tiroid. Serum hormon tiroid levothyroxine dan triiodothyronine umpan
balik ke hipofisis, mengatur produksi TSH. Interferensi dengan sumbu ini TRH
hormon tiroid TSH menyebabkan perubahan fungsi dan struktur kelenjar tiroid.
Stimulasi dari reseptor TSH dari tiroid oleh TSH, TSH reseptor antibodi, atau
agonis reseptor TSH, seperti chorionic gonadotropin, dapat mengakibatkan
gondok difus. Ketika sebuah kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel
ganas metastasis untuk tiroid terlibat, suatu nodul tiroid dapat berkembang.
Kekurangan dalam sintesis hormon tiroid atau asupan menyebabkan
produksi TSH meningkat. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan
cellularity dan hiperplasia kelenjar tiroid dalam upaya untuk menormalkan
kadar hormone tiroid. Jika proses ini berkelanjutan, maka akan mengakibatkan
gondok. Penyebab kekurangan hormon tiroid termasuk kesalahan bawaan
sintesis hormon tiroid, defisiensi yodium, dan goitrogens.
Gondok dapat juga terjadi hasil dari sejumlah agonis reseptor TSH.
Pendorong reseptor TSH termasuk antibodi reseptor TSH, resistensi terhadap
hormon tiroid hipofisis, adenoma kelenjar hipofisis hipotalamus atau, dan
tumor memproduksi human chorionic gonadotropin.
Pemasukan iodium yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh,
hiposekresi TSH, glukosil goitrogenik (bahan yang dapat menekan sekresi
hormone tiroid), gangguan pada kelenjar tiroid sendiri serta factor pengikat
dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi hormone tiroid.
Bila kadarkadar hormon tiroid kurang maka akan terjadi mekanisme umpan
balik terhadap kelenjar tiroid sehingga aktifitas kelenjar meningkat dan terjadi
pembesaran (hipertrofi).
Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ lain di sekitarnya. Di
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Goiter
dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita
suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit.
Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau.

7. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelenjar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.
2. Hipotiroid
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi
atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop
atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi,
kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
3. Hipertiroid
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain
itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian
atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok,
dan atrofi otot.
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai berikut:
Anamnesis
a. Penderita datang dengan keluhan adanya benjolan pada leher depan bagian
tengah
b. Usia dan jenis kelamin: nodul tiroid timbul pd usia < 20 tahun atau > 50
tahun dan jenis kelamin laki-laki resiko malignancy tinggi (20-70%).
c. Riwayat radiasi daerah leher & kepala pada masa anak-anak malignancy 33-
37%
d. Kecepatan tumbuh tumor. Nodul jinak membesar lama (tahunan), nodul
ganas membesar dengan cepat (minggu/bulan)
e. Gangguan menelan, sesak nafas, suara serak & nyeri (akibat
penekanan/desakan dan/atau infiltrasi tumor sebagai pertanda telah terjadi
invasi ke jaringan atau organ di sekitarnya)
f. Asal dan tempat tinggal (pegunungan/pantai)
g. Benjolan pada leher, lama, pembesaran
h. Riwayat penyakit serupa pada keluarga
i. Struma toksik :
Kurus, irritable, keringat banyak
Nervous
Palpitasi
Hipertoni simpatikus (kulit basah dingin & tremor)
j. Struma non-toksik :
Gemuk
Malas dan banyak tidur
Gangguan pertumbuhan
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
a. Tekanan darah meningkat
b. Nadi meningkat
c. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
d. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik:
Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodull dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik
dan kemudian menjadi lunak.
Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda infiltrasi
atau metastase ke jaringan sekitar.
20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif.
Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido
mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berrys sign).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid (Pengukuran T3
(Triodothyroxin) dan T4 (Tiroksin))
Pemeriksaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA)
dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada
semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150
nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme,
kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL;
TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana
basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali
normal.
Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
antibodi tiroglobulin
antibodi mikrosomal
antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
Pemeriksaan Radiologis
A. Foto Rontgen
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga, foto rontgen leher [posisi AP dan
Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan
intubasi anastesinya, bahkan tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik
tersebut sampai memelukan CT-scan leher.
B. USG
Pemeriksaan USG dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa
bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas
atau jinak. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
Dapat menentukan jumlah nodul
Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya
pembesaran tiroid.
Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
C. Radioisotop
Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan
memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan
kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun
bentuk lesinya. Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan
karena adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang menangkap
iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami proses trapping juga ikut
dalam proses organifikasi, sedangkan ion pertechnetate hanya ikut dalam
proses trapping. Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi
dan sekaligus membedakan berbagai penyebab hipertiroidisme dan juga
menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan hipertiroidisme.
Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan klinik dan kadar
hormon tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah ukuran,
bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada
pemeriksaan ini pasien diberi NaI peroral dan setelah 24 jam secara
fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh
tiroid. Nilai normalnya 10-35%. Jika kurang dari 10% disebut menurun
(hipotiroidisme), jika diatas 35% disebut meninggi (hipertiroidisme).
Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang
dibandingkan sekitarnya.
Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Scintiscan yodium radio aktif dengan teknetium porkeknera, untuk
melihat medulanya.
Sidik ultrasound untuk mendeteksi perubahan-perubahan kistik pada
medula tiroid.
Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu
dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap
radioaktivitas yang lebih tinggi.
D. Pemeriksaan FNAB
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja. Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat
juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul.
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan
bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik
biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif
palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
E. Pemeriksaan potong beku
(VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan untuk
meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau
bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau
jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid
dengan parafin block.

8. Penatalaksanaan
Perawatan akan tergantung pada penyebab gondok. Penyebab gondok dapat
bermacam-macam, antara lain:
A. Defisiensi Yodium
Gondok disebabkan kekurangan yodium dalam makanan maka akan
diberikan suplementasi yodium melalui mulut. Hal ini akan menyebabkan
penurunan ukuran gondok, tapi sering gondok tidak akan benar-benar
menyelesaikan.
B. Hashimoto Tiroiditis
Jika gondok disebabkan Hashimoto tiroiditis dan hipotiroid, maka akan
diberikan suplemen hormon tiroid sebagai pil setiap hari. Perawatan ini akan
mengembalikan tingkat hormon tiroid normal, tetapi biasanya tidak
membuat gondok benar-benar hilang. Walaupun gondok juga bisa lebih
kecil, kadangkadang ada terlalu banyak bekas luka di kelenjar yang
memungkinkan untuk mendapatkan gondok yang jauh lebih kecil. Namun,
pengobatan hormon tiroid biasanya akan mencegah bertambah besar.
C. Hipertiroidisme
Jika gondok karena hipertiroidisme, perawatan akan tergantung pada
penyebab hipertiroidisme. Untuk beberapa penyebab hipertiroidisme,
perawatan dapat menyebabkan hilangnya gondok. Misalnya, pengobatan
penyakit Graves dengan yodium radioaktif biasanya menyebabkan
penurunan atau hilangnya gondok.
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon
tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
Obat antitiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH.
Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan
hormone tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme
yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-
tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU)
dan metimasol/karbimasol.
Indikasi :
i. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang
dan tirotoksikosis.
ii. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan,
atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
iii. Persiapan tiroidektomi
iv. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
v. Pasien dengan krisis tiroid
Pengobatan dengan yodium radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak
mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam
kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukemia, atau
kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau
cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan
empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
Indikasi :
i. Pasien umur 35 tahun atau lebih
ii. Hipertiroidisme yang kambuh
iii. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
iv. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
Operasi
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para
pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium
radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-
reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan
tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita
yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormone tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin
banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan
pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan
dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan
tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam
jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Indikasi pembedahan :
i. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons
terhadap obat antitiroid.
ii. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat
antitiroid dosis besar
iii. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
iv. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik
v. Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih
nodul
vi. Multinodular
Untuk nodul tunggal tiroid yang bukan oleh karena keganasan dilakukan
tindakan isthmolobektomi, sedangkan multinoduler dilakukan tindakan
subtotal tiroidektomi atau near total tiroidektomi, tetapi para ahli bedah
endokrin menganjurkan total tiroidektomi. Menurut ahli bedah endokrin,
terdapat 2 pilihan operasi yang dianjurkan pada penderita hipertiroid:
Bilateral tiroidektomi atau near total tiroidektomi
Total tiroidektomi
Banyak gondok, seperti gondok multinodular, terkait dengan tingkat
normal hormon tiroid dalam darah. Gondok ini biasanya tidak
memerlukan perawatan khusus setelah dibuat diagnosa yang tepat.

9. Komplikasi
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan juga pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak terhadap
gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Penekanan
pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau.
Bila pembesaran ke arah luar, maka akan memberi bentuk leher yang besar
dapat semetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
ini lebih berdampak pada estetika atau kecantikan. Perubahan bentuk leher
dapat mempengaruhi rasa aman dan konsep diri pasien.

10. Pencegahan
Menurut Ari (2010) beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam merubah pola perilaku
makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beryodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena
dapat menjangkau daerah luas maupun terpencil. Iodisasi dilakukan dengan
memberikan yodida pada saluran air dalam pipa yang mengalir.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk daerah
endemik berat dan endemik sedang.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak diatas 6 tahun 1 cc
dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
11. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik. Prognosis
yang jelek berhubungan dengan hipertiroidism yang tidak terobati. Pasien
harusnya mengetahui jika hipertiroid tidak diobati maka akan menimbulkan
osteoporosis, arrhythmia, gagal jantung, koma, dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC
: Jakarta.

2. Grace Pierce, Borley Neil. 2007. Struma. At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga.
Jakarta : EMS

3. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.

4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

5. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,


Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

6. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.

Vous aimerez peut-être aussi