Vous êtes sur la page 1sur 7

A.

Ruang Parafaring

Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral,
pterigofaringeal, atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik dengan dasarnya pada
bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid. Batas ruang ini adalah
dasar tengkorak di bagian superior (pars petrosus os temporal dan ossphenoid), os hyoid di inferior,
rafe pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal di medial dan
lapisan superfisial fasia servikal profunda yangmeliputi mandibula, pterygoid medial dan parotis di
lateral. Ruang parafaring berhubungandengan beberapa ruang leher dalam termasuk ruang
submandibula, ruang retrofaring, ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi
menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior atau
muskuler atau prestyloid dan kompartemen posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang
prestyloid berisilemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di
medialdan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v. jugularis
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis dan saraf kranialis
IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan yang tipis. (Ballenger,1994)

Abses Parafaring

B. Definisi

Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring. (Keat Jin
Lee,2003)

C. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan dengan beberapa macam yaitu secara
langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan
terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan
otot tipis (m. konstriktor faringsuperior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. 10,11

Cara kedua bisa dengan proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.

Cara ketiga yaitu akibat penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau
submandibula.

Ruang potensial ini berbentuk sperti corong dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak
pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis dan apeksnya pada kornu mayor tulang hyoid.
Batas bagian dalam adalah ramus asenden mandibula dan perlekatan otot pterigoideus media dan
bagian posterior kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dariotototot prevertebra. Setiap fosa
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar oleh prosesus stiloideus dan perlekatan otot-otot.
Bagian anterior (prestiloideus) merupakan bagian yang lebih besar. Dan bagian ini dapat terkena
proses supuratif sebagai akibat daritonsil yang terinfeksi, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis,
karies gigi, dan pembedahan. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena
jugularis, saraf vagus, dan saraf simpatis. Bagian ini dipisahkan dari spatium retrofaring oleh selaput
fasia yang tipis. Kuman penyebab abses leher dalam (termasuk abses parafaring) dari berbagai
penelitian merupakan campuran dari berbagai macam kuman, baik aerob, anaerob, maupunfakultatif
anaerob. Kuman aerob dominan Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia, Staphylococcus aureus.
Kuman anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus, Fusobacteriu Dan Bacteroides.
(Novialdi,2011)

D. Patofisiologi

Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda setempat yang
sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang melapisinya. Seringkali
dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi
suatu thrombosis dari vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m.stiloglosus ke dasar mulut
dimana terbentuk abses. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan
ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis
atausuatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-
pembuluhdarah dan mengakibatkan infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.(Ballenger,2009)

E. Gejala Klinis

Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien
akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen prestyloid terdapat
kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial dan m.ptyerigoid interna.
Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti pada abses peritonsilaris. Infeksi
ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisivertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses
peritonsilar harus dilakukan palpasi karena pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya
aneurisma dari a.karotid interna.Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi
akut dan trimus tidak selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor
atauaneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah sembuh ketika pasien datang
sehingga anamnesis onset kejadian penting. Pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya
aneurisma dari a.karotid interna.Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi
akut dan trimus tidak selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor
atau aneurisma. (Soepardi,2008)

Gambar klinis abses parafaring (Gadre,2006)

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila meragukan
dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Gejala
klinis berupa demam, nyeri pembengkakan di sekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding
lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan
lunak leher dan tomografi komputer. Foto jaringanlunak leher antero-posterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. (Meylani,2011)

Gambaran CT-Scan; A. Tampak Abses Parafaring (Panah), B. Selulitis pada abses parafaring
dengan abses di ruang masseter.( Gadre,2006)

Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh
gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan
pembengkakandaerah jaringan lunak leher. Namun pada pemerikasaan foto polos leher ada
keterbatasan yaitu tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan
foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,
pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer
dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah
densitas rendah, peningkatangambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak
disekitar abses. Pemeriksaankultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian anitbiotikayang sesuai. (Diana,2011)

G. Diferensial Diagnosis

Parotitis, abses submandibular, dan tumor. (Gadre,2006)

H. Tatalaksana

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral yang sensitif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar,
diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Dari sebuah penelitian melaporkan
pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penisilin G, klindamisin dan
gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole,
kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilindan metronidazole, masing-masing
didapatkan angka keberhasilan 67,4%,76,4%, 70,8%, 61,9%. Secara empiris kombinasi ceftriaxone
dengan metronidazole masih cukup baik. (Novialdi,2011)
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika 24-48 jam
dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Cara melalui insisi dari intraoral dan atau insisi ekstranasal. Jika
terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnyadiperlukan istirahat di
tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi anti mikroba sangat perlu, akan
lebih baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil.
(Soepardi,2008)

Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan anestesi sebelum
tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral
faring. Dengan memakaiklem arteri eksplorasi dilakukan menembus m. konstriktor faring superior ke
dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dansebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal. (Soepardi,2008)

Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan
yang jelas. (Soepardi,2008)

Insisi dari luar dilakukan 2 jari di bawah dan sejajar mandibular. Secaratumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomasteoideus kearah atas belakang menyusuri bagian
medialmandibular dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaringdenganterabanya prossesus
stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,insisi dilakukan veritkal dari pertengahan insisi
horizontal ke bawah didepan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher) (Soepardi,2008)

Gambar Bentuk dan penampakan arah insisi Metode Moser (Dorothy,2006)

Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi ataudiatas
bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung dimasukkan ke dalam
ruang abses tersebut, kemudian secara hati-hati diperluas dengan merenggangkan cunam. Suatu insisi
lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas
yang besar, sekitar drain boleh dimasukantampon longgar dengan kassa iodoform. Kassa dikeluarkan
setelah 1-2 hari, sedangkan draindidiamkan selama kira-kira 1 minggu. (Soepardi,2008)

Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah kartilago krikoid,
ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M. Sternokleidomastoideus,dan bila perlu
diseksi diteruskan ke venter posterior M. Digastrikus. (Soepardi,2008)

I. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas menyebabkan peradanganintracranial, ke
bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari
infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darahsekitarnya. Dapat terjadi
tromboflebitis septic vena jugularis. Bila terjadi periflebitis atauendoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septicemia. Dapat juga terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi
arteri karotis interna. Kompikasi ini dapat member kesandengan adanya perdarahan awal yang kecil
(perdarahan tersamar). (Keat Jin Lee,2003)

IV. KESIMPULAN

Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengancara : langsung,
yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi denganan algesia. Peradangan terjadi
karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerobdan anaerob) menembus lapisan otot
tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkanruang parafaring dari fossa tonsilaris. Proses
supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan
vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.Penjalaran
infeksi dari ruang peritonsil,retrofaring atau submandibula. Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu nyeri
tekan daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke
kiri, dan adanya demam. Terlihat edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding
lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial.
Pada rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang
disebabkan oleh menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, namun mungkin
tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang melekat padanya
sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus. Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara
perenteral terhadap kuman aerobdan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan denganantibiotika 24-48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Jika terdapat pus, tidak
ada caralain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur,kompres
panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika
disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yangdiambil.Komplikasi
yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalahterkenanya pembuluh darah
sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis.Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septicemia

DAFTAR PUSTAKA
Meylani, Fitri. Dkk. Referat Abses Parafaring. Departemen Ilmu THT RSPADGatot Soebroto Jakarta.
2011. Hal : 7-15.2.Sari, Diana. Dkk. Abses Leher Dalam, Abses Parafaring. Bagian Departemen
IlmuPenyakit THT-KL, Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran : Anatomi Laring.Edisi keenam.
Jakarta : EGC. 2006. Hal. 805-813.

Ballenger JJ.Abses Leher Dalam, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi Faring danOrofaring. Dalam :
Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13.Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta;
1994. Hal 295-304
Dorothy F., Richard V. S. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In:Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review.Thieme. New York. 2006:pp.560-561.

Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokanKepala Leher:
Disfonia. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia; 2008. Hal: 231-
234.

Novialdi, Pulungan M.R. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL FK Univ. Andalas/RS. Dr. M.
Djamil Padang. Padang. 2011. hal. 1-25.

Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokanKepala Leher: Abses
Leher Dalam. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit FakultasKedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal:
226-230.

Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-HillProfessional. 2003. Hal :
483-490
Daftar pustaka

Infections of the Deep Spaces of the Neck. Gadre Ak, Gadre Kc Bailey, Bj, Johnson, Jt. 2006.665-84.

Meylani, Fitri. Dkk. Referat Abses Parafaring. Departemen Ilmu THT RSPADGatot Soebroto Jakarta.
2011. Hal : 7-15.

2.Sari, Diana. Dkk. Abses Leher Dalam, Abses Parafaring. Bagian Departemen IlmuPenyakit THT-KL,
Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13.

3.Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran : Anatomi Laring.Edisi keenam.
Jakarta : EGC. 2006. Hal. 805-813.

4.Ballenger JJ. Abses Leher Dalam, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi Faring danOrofaring. Dalam :
Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13.Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta;
1994. Hal 295-304

5.Dorothy F., Richard V. S. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In:Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review.Thieme. New York. 2006:pp.560-561.

6.Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokanKepala Leher:
Disfonia. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia; 2008. Hal: 231-
234.

7.Simarmata Filia.Abses Submandibula. Dalam: Makalah Kedokteran FakultasKedokteran Universitas


Riau. Riau; 2011. Hal : 1-16.

8.Novialdi, Pulungan M.R. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL FK Univ. Andalas/RS. Dr.
M. Djamil Padang. Padang. 2011. hal. 1-25.

9.Huang,T.T. et.al. Deep Neck Infection: Analysis Of 185 Cases. In: Med & Health2007. Wiley
InterScience. 2004: Hal. 158-163.

10.Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokanKepala Leher:
Abses Leher Dalam. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit FakultasKedokteran Universitas Indonesia;
2008. Hal: 226-230.

11.Keat Jin Lee.Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-HillProfessional. 2003. Hal :
483-490.14

12.Ballenger, JJ. Anatomy of the Larynx, In: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Headand Neck. 13

Th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. Hal 230-245.

13.Gadre AK, Gadre KC.Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,Jhonson JT, editors.
Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia:JB.Lippincott Company 2006. Hal :
666-681.

14.Adam GL,Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam.Jakarta : EGC. Hal :
369-377.

Vous aimerez peut-être aussi