Vous êtes sur la page 1sur 24

LAPORAN KASUS POLI PENYAKIT SARAF

TIC FASIALIS

Disusun untuk melengkapi tugas kegiatan Praktek Kerja


Lapangan Ilmu Kedokteran Klinik
di Poli Penyakit Saraf
RSUD Blambangan

Pembimbing:
dr. Andar Setyawan, Sp.S

Disusun oleh :
Malun Nasrudin 121611101094
Nurlailiyatul 101611101030

POLI PENYAKIT SARAF


ILMU KEDOKTERAN KLINIK
RSUD BLAMBANGAN - BANYUWANGI
2017
BAB 1. RIWAYAT KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. B
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat : Dusun Sampangan, Muncar- Banyuwangi
Pekerjaan : Pedagang

1.2. Anamnesa
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mata sebelah kiri kedutan.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan mata sebelah kirinya terasa berkedut sejak 6 bulan
yang lalu. Kedutan tersebut muncul terutama saat pasien kecapekan dan saat
bergurau dengan teman dipasar. Keluhan ini hilang timbul, kadang timbul 10-
15 kali sehari dan timbulnya bisa tiba-tiba tanpa rangsangan. Kedutan yang
dirasakan pasien kadang juga bisa terasa sampai mulut. Pasien juga
mengeluhkan batuk pilek sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak memiliki riwayat seperti dikeluhkan pasien

1.3 Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik status generalis
Vital sign
TD : 160/100 mmHg
Respirasi : 20 x/menit
Nadi : 95 x/menit

2
b. Status neurologis
Kesadaran
GCS (Glasgow Coma Scale) : 4-5-6
Pada GCS ada skala penilaian:
Respon buka mata/Eye opening 1-4 (E)
Respon verbal terbaik 1-5 (V)
Respon motorik terbaik 1-6 (M)

c. Pemeriksaan N.Cranialis
N I (N. Olfactorius) : tidak dilakukan
N II (N. Opticus) : Tes ketajaman penglihatan tidak dilakukan
Refleks Cahaya langsung +/+
Refleks Cahaya Tidak langsung +/+
N III, IV, VI (N. Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen)
Ptosis (-/-), Endophtalmus (-/-), Exophtalmus (-/-)
Pupil bulat, isokor, tepat berada di tengah,
Gerak bola mata baik kesegala arah
N V (N. Trigeminus)
a) Sensorik
N. Ophtalmicus : Normal
N. Maxilaris : Normal
N. Mandibularis : Normal
b) Motorik: gerakan membuka dan menutup mulut baik
N VII (N.Fasialis)
Mengangkat alis +/+,
Menutup dan membuka mata +/+
Lipatan Nasolabial (Nasolabial fold) +/+
N VIII (N.Vestibulococlearis) : tidak dilakukan
N IX,X ( N.Glossopharingeus, N.Vagus)
Posisi uvula tepat berada di tengah
Refleks menelan (+)
3
N XI (N. Accesorius)
Mengangkat bahu kanan/kiri normal, Kontraksi M. Sternocleidomastoideus
normal
N XII (N. Hipoglossus)
Kedudukan lidah simetris saat dijulurkan.
d. Pemeriksaan intraoral dan ekstra oral
a) Ekstra Oral: sudut mulut bagian kanan terangkat (posisi sudut mulut sebelah
kanan lebih tinggi daripada sebelah kiri)
b) Intra Oral
Periodontitis (+)
Gangren pulpa (+)
Gangren radiks (+)
c) Pemeriksaan Kelenjar
Kelenjar limfe subamndibula dexter : teraba, tidak sakit
Kelenjar limfe submandibula sinister : tidak teraba, tidak sakit
Kelenjar limfe submentalis : tidak teraba, tidak sakit
e. Pemeriksaan penunjang
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

1.4 Resume
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan:
Pasien perempuan berusia 63 tahun, Pasien mengeluhkan mata sebelah kirinya
terasa berkedut sejak 6 bulan yang lalu. Kedutan tersebut muncul terutama saat
pasien kecapekan dan saat bergurau dengan teman dipasar. Keluhan ini hilang
timbul, kadang bisa hilang timbul seharian penuh dan timbulnya tiba-tiba tanpa
rangsangan. Kedutan yang dirasakan pasien kadang juga bisa terasa sampai mulut.
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat seperti dikeluhkan pasien

4
Vital sign
TD: 160/100 mmHg
Respirasi: 20 x/menit
Nadi: 95 x/menit
Status kesadaran pasien compos mentis, GCS 4-5-6

1.5 Diagnosa
Diagnosa klinis : Mata dan pipi kedutan
Diagnosa topik : Nervus Facialis
Diagnosa etiologi : Tic Facialis

1.6 Penatalaksanaan:
1. Medikamentosa
Drug of choice : benzodiazepine
- Antikonvulsi : Clobazam 0-0-5
- Antipsikotik : Halloperidol 1,5 mg 3x0,5
2. Kuratif
Terapi ini bertujuan untuk mengurangi gejala penyakit yang dapat berupa
terapi farmakologi atau non farmakologi. Pada kasus ini, terapi yang dilakukan
adalah terapi farmakologi yaitu mengonsumsi obat antikonvulsi dan antipsikotik.
Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi gejala yaitu adanya rasa kedutan pada
mata kiri.

5
BAB 2. KAJIAN TEORI

2.1 NERVUS FASIALIS


Nukelus fasialis menerima serabut-serabut yang menyilang dan tidak
menyilang melalui traktus kortikobulbaris. Otot-otot wajah dibawah dahi
menerima persarafan korteks kontralateral (hanya serabut kortikobulbaris yang
menyilang). Apabila terdapat suatu lesi rostral dari nukleus fasialis akan
menimbulkan paralisis dari otot-otot fasialis kontralateral kecuali otot frontalis
dan orbikularis okuli. Karena otot frontalis dan orbikularis okuli menerima
persarafan dari kortikal bilateral, maka otot-otot tersebut tidak akan dilumpuhkan
oleh lesi yang mengenai satu korteks motorik atau jaras kortikobulbarisnya.
Saraf kranial N. VII (fasialis) mengandung 4 macam serabut, yaitu :
(Lumbantobing, 2000)
1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali M.
Levator palpebra (N. III)), M. Platisma, M. Digastrikus bagian posterior, M.
Stilohioid dan M. Stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3
bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus
trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang
tindih)) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus elsterna dan bagian
luar gendang telinga.
Nervus fasialis terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-
otot ekspresi wajah. Disamping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah, kelenjar air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung.
Dan ia juga menghantarkan berbagai jenis sensasi eksteroseptif dari daerah
6
gendang telinga, sensasi 2/3 depan lidah, dan sensasi viseral umum dari kelenjar
ludah, mukosa hidung, dan faring. Dan sensasi proprioseptif dari otot-otot yang
disarafinya.
Sel sensorik terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis
di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 depan lidah dihantar melalui saraf
lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang
menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion
genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti-inti akar desenden dari
saraf trigeminus.
Inti motorik N. VII terletak di pons. Serabutnya mengitari inti N. IV dan
keluar di bagian lateral pons. N. VII bersama N. Intermedius dan N. VIII
kemudian memasuki meatus akustikus internus. Disini N. VII bersatu dengan N.
Intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan
kemudian masuk ke dalam Os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui
foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi otot-otot wajah.

Gambar 1. Anatomi nervus fasialis

7
2.2 TIC FASIALIS
Tic fasialis berasal dari kata tic dan fasialis. Tic termasuk salah satu
bentuk hyperkinetic movement disorders, disamping athetosis, chorea, dystonia,
myoclonus, dan tremor (Dito 2009). Tic merupakan gerakan involunter yang
sifatnya, mendadak, cepat, singkat, stereotipik, kompulsif dan tak berirama, dapat
merupakan bagian dari kepribadian normal. Sedangkan fasialis merupakan syaraf
cranial ke VII (N.VII) yang mempersarafi daerah wajah.
Tic fasialis adalah suatu keadaan terjadinya gangguan gerakan wajah tidak
disadari, yang tidak terasa sakit yang disebabkan karena kerusakan syaraf cranial
VII (N. Fasialis).Gerakan pada tic fasialis bersifat setempat pada otot tertentu,
sejenak, namun berkali. Gerakannya dapat berupa wajah yang berkedut, meringis
atau mata yang berkedip-kedip.Tic fasialis tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kelainan posisi arteri atau simpul pada arteri yang menekan syaraf cranial VII
dimana terdapat batang otak.

2.2.1 ETIOLOGI
Penyebab tic fasialis yaitu:
a. Herediter/diwariskan (inherited)
1. Distonia torsi
2. Neuroakantosis
3. Penyakit Huntington
4. Penyakit Wilson
b. Didapatkan/diperoleh (acquired)
1. Infeksi (misal: chorea sydenham, ensefalitis).
2. Obat-obatan
Dicetuskan misalnya oleh:
a. Stimulan
b. Levodopa (obat parkinson)
c. Antikonvulsan (antikejang): karbamazepin, lamotrigin.
d. Neuroleptik
3. Pertumbuhan/perkembangan (developmental)
8
4. Stroke
5. Toksin (misal: karbon monoksida)
6. Trauma kepala

2.2.2 KLASIFIKASI
Tic fasialis diklasifikasi menjadi:
1. Tic Motor
Tic motor dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, tetapi mereka
sering melibatkan otot-otot wajah, mata, kepala dan leher. Gerakan-gerakan ini
menghasilkan seperti, wajah berkedut, meringis, berkedip, mengangkat bahu.
a. Simple/sederhana
Biasanya tiba-tiba, singkat, berarti gerakan yang biasanya hanya
melibatkan satu kelompok otot, seperti mata berkedip, sentakan kepala, atau
mengangkat bahu, wajah meringis, berjongkok dan melompat, menjentikkan jari,
mengangkat bahu.
b. Kompleks/kronik
Tic motorik kompleks biasanya lebih terarah-muncul dan yang bersifat
lebih lama. Melibatkan lebih dari satu kelompok otot atau mereka terdiri dari
serangkaian tics motor sederhana.
Contoh tic motorik yang kompleks yang menarik-narik baju, menyentuh
orang, menyentuh benda, echopraxia dan copropraxia.
2. Tic vokal (Phonic)
Tic Phonic adalah suara disengaja dihasilkan oleh udara yang bergerak
melalui hidung, mulut, atau tenggorokan.
a. Simple/sederhana
Tic phonic sederhana melibatkan membuat suara dengan menggerakkan
udara melalui hidung atau mulut. Contohnya membersihkan tenggorokan,
sniffing, atau mendengkur, batuk, dan desis.
b. Kompleks/kronik

9
Tic phonic kompleks termasuk echolalia, palilalia, lexilalia, dan coprolalia.
Coprolalia adalah gejala yang sangat dipublikasikan Tourette Sindrom (TS),
namun hanya sekitar 10% dari pasien TS menunjukkan coprolalia.
3. Sindrome Tourete

2.2.3 PATOGENITAS
Sebagian besar kasus tic fasialis sebelumnya yang dianggap idiopatik
mungkin disebabkan oleh pembuluh darah yang menyimpang (misalnya cabang
distal dari arteri anterior inferior cerebellar atau arteri vertebralis) mengompresi
nervus fasialis dalam cerebellopontine angle.Lesi kompresi misalnya pada tumor
mungkin dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus fasialis.
Gerakan involuntar pada tic timbul akibat lesi difus pada putamen dan
globus palidus; disebabkan oleh terganggunya kendali atas refleks-refleks dan
rangsang yang masuk, yang dalam keadaan normal ikut memengaruhi putamen
dan globus palidus. Ini disebut release phenomenon, yang berarti hilangnya
aktivitas inhibisi yang normal.
Gerakan klonik berlangsung untuk kontraksi tonik berkelanjutan dari otot
yang terlibat. Iritasi kronis pada nervus fasialis atau nukleus fasialis merupakan
penyebab yang mungkin daritic fasialis. Iritasi dari nucleus nervus fasialis
diyakini menyebabkan hipereksitabilitas dari nucleus nervus fasialis, sementara
iritasi pada segmen proksimal saraf dapat menyebabkan ephatic transmisi dalam
nervus fasialis.
Gerakan otot wajah involunter pada tic bisa bangkit sebagai suatu
pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut
mulut dapat terangkat dan kelopak mata memejam secara berlebihan. Gerakan
otot wajah sebagai gerakan kebiasaan sering dijumpai pada anak atau orang
dewasa yang psikolabil. Nervositas dan kurang kepercayaan diri sering terlihat
pada wajah seseorang. Adakalanya gerakan involunter kebiasaan sangat keras dan
bilateral, sehingga raut muka saling berubah. Meringis, mencucu, memejamkan
mata merupakan gerakan involunter kebiasaan pada kebanyakan psikopat.

10
Adakalanya kata-kata yang kotor atau ludah dikeluarkan pada waktu yang
bersamaan pada saat gerakan involunter terjadi. Sindrom tic fasialis yang disertai
koprolalia (mengelurkan kata-kata kotor) dikenal sebagai tic gilles de la tourette.

2.2.4 EPIDEMIOLOGI
Tik sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari. Gejala awal muncul
sekitar usia 5-10 tahun. Prevalensi tertinggi usia 9-11 tahun. Rasio pria:wanita =
3:1.

2.2.5 MANIFESTASI KLINIS


Gerakan involunter pada wajah hanya sebuah gejala. Lelah, anxietas, dan
membaca mungkin merangsang gerakan tersebut. Otot pada salah satu bagian
wajah tidak sengaja kejang, biasanya diawali dengan kelopak mata, kemudian
menyebar menuju pipi dan mulut. Gangguan tersebut pada hakekatnya tidak
menyakitkan tetapi bisa memalukan.
Tic mempunyai ciri khas, yaitu:
1. Bergelombang; menguat dan melemah
2. Di-eksaserbasi (diperburuk) oleh stres, cemas dan kelalahan
3. Tidak terjadi saat tidur, namun terdeteksi dengan pemeriksaan
polisomnogram. Pendapat lain mengatakan bahwa tik dapat muncul saat tidur
dengan intensitas yang lebih ringan.
4. Meskipun dapat ditekan atau dicegah sebentar, namun
berakibat meningkatnya "dorongan dari dalam". Dengan kata lain, tik sering
didahului oleh "sensasi aneh", dorongan beraksi yang sulit ditahan. "Sensasi
aneh" yang merupakan sensasi sensoris ini mungkin melibatkan sistem limbik
dalam interaksi jalur motorik dan sensorik.
5. Setelah tik muncul, penderita merasa lebih lega.

Perwujudan tic, yaitu:


1. Mengangkat bahu
2. Sering batuk-batuk kecil
11
3. Memejam-mejamkan mata
4. Menggerak-gerakkan hidung
5. Suka menjilati telapak tangan
6. Menggeleng-gelengkan kepala
7. Memiliki kebiasaan mendehem
8. Suka memegang-megang kemaluan
9. Suka menarik-narik nafas dari hidung
10. Memiliki kebiasaan batuk seolah membersihkan kerongkongan

Gejala dari tic fasialis antara lain yaitu:


1. Berkedut intermitten dari otot kelopak mata
2. Mata berkedip secara berlebihan
3. Wajah yang berkedut
4. Ekpresi wajah seperti meringis atau mencucu
5. Sudut mulut terangkat

Gambar 2. Wajah tic fasialis

2.3 DIAGNOSIS
Tic fasialis secara karakteristik ditandai adanya kontraksi involunter otot
wajah yang dipersarafi N.VII (N. fasialis),tidak disadari, yang tidak terasa sakit
yang bersifat setempat pada otot tertentu, sejenak, namun berkali. Tempat
12
terjadinya biasanya di satu sisi saja misalnya pada pipi, mulut,atau kelopak mata.
Gerakannya dapat berupa wajah yang berkedut, meringis atau mata yang
berkedip-kedip.
Tic dapat dibedakan dengan fasial myokimia.Secara klinis karakteristik
facial myokimia berupa suatu gerakan menyerupai getaran otot muka yang
menetap dan berlanjut. Gambaran EMG berupa salah satu cetusan (discharge)
spontan yang asinkron dari motor unit yang berdekatan.
Pada tic, gerakan biasanya bersifat tiba-tiba, sesaat,stereotipik dan
terkoordinasi serta berulang dengan interval yang tidak teratur. Penderita biasanya
merasakan keinginan untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut. Dengan
demikian penderita merasa lega. Penderita tic biasanya berhubungan dengan
penyakit obsesive compulsive.
Diagnosa pasti penyebab tic fasialissulit ditegakkan. Menegakkan
diagnosis tic fasialis dapat dengan pemeriksaan fisik saja, tidak ada
pemeriksaanpenunjang khusus yang diperlukan. Namun pada keadaan khusus
diperlukan EEG untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kejangAda beberapa
penyebab yang dapat menimbulkan tic fasialis yaitu tumor, malformasi pembuluh
darah dan proses infeksi lokal yang semuanya dapat menimbulkan penekanan
pada nervus VII.
Sebagai penyebab terbanyak dan telah dibuktikan yaitu adanya penekanan
oleh pembuluh darah . Dari 140 kasus tic fasialis yang dilakukan tindakan
mikrovaskular dekompresi didapatkan copressing vessel yang paling sering adalah
Anterior Inferior Cerebellar Artery ( AICA) pada 73 kasus ( Madjid S.dkk,1998).

2.4 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada tic fasialis sebaiknya diobati terlebih dulu dengan
medika mentosa dengan pemberian Carbamazepin dengan dosis 600-1200
mg/hr.Pada hasil penelitian lain dikatakan carbamazepin efektif pada lebih dari
50% kasus. Dapat pula diberikan pelemas otot (baclofen dengan dosis 10-60 mg/
hari).

13
Bila dengan kedua macam obat tersebut kurang berhasil maka dapat
digunakan Botulinum Toxin injeksi (BOTOX) dengan dosis rata-rata 3,22
unit/cm2 secara langung pada lokasi nyeri. Toksin botulinum merupakan
neurotoksin hasil produksi Clostridium Botulinum yang menghambat pelepasan
asetilkolin di muscular junction. Cara kerjanya yaitu menimbulkan efek paralisis
pada otot yang disuntik dengan jalan memblokade secara irreversibel transmisi
kolinergik pada terminal saraf presinap. Dosis yang digunakan tergantung dari
daerah otot yang akan disuntik. Obat suntikan ini merupakan hasil pengolahan
toksin botulinum serotipe A. Secara klinis kelemahan akan tampak 1-3 hari
setelah pemberian toksin ini dan akan berakhir 3-6 bulan kemudian tergantung
dosis dan kepekaan individu.
Operasi dekompresi terhadap pembuluh darah juga merupakan suatu cara
pengobatan terhadap Tic fasialis. Operasi ini memiliki efek samping yang cukup
serius. Menurut penelitian Janneta dkk dekompresi mikrovaskuler merupakan
terapi pilihan bagi tic fasialis disamping botox.

2.5 DEFERENSIAL DIAGNOSA


1. Facial myokimia
Tic dapat dibedakan dengan fasial myokimia .Secara klinis karakteristik
facial myokimia berupa suatu gerakan menyerupai getaran otot muka yang
menetap dan berlanjut. Gambaran EMG berupa salah satu cetusan (discharge)
spontan yang asinkron dari motor unit yang berdekatan.Facial myokimia muncul
sebagai vermikular twitching dibawah kulit, sering dengan penyebaran seperti
gelombang. Hal ini dibedakan dari gerakan wajah abnormal lainnya dengan
karakteristik electromyogram. Facial myokimia dapat terjadi dengan beberapa
proses di batang otak. Pada kasus yang berat mungkin bermanfaat jika diberikan
toksin botulinum. Kebanyakan kasus adalah idiopatik dan sembuh tanpa
pengobatan dalam beberapa minggu.

14
2. Hemifacial spasme
Hemifasial spasme secara karakteristik ditandai adanya kontraksi
involunter otot wajah yang dipersarafi N.VII (N. fasialis), bersifat paroksismal,
timbil secara sinkron dan intermitten pada satu sisi wajah.
Pada spasme hemifasial typical kontraksi dimulai pada musculus
orbicularis oculi dan menjalar secara bertahap ke otot daerah pipi dan menyebar
ke daerah mulut, meliputi musculus orbicularis oris,buccinator dan platysma.
Spasme hemifasial atypical lebih jarang ditemukan. Pada spasme hemifasial
typikal kontraksi dimulai pada musculus orbicularis oris dan buccinator, dan
menyebar ke musculus orbicularis oculi.

2.6 PROGNOSIS
Prognosis dari tic fasialis tergantung pada pengobatan dan bagaimana
respon pasien terhadap pengobatan. Beberapa individu akan relatif bebas dari
gejala, beberapa mungkin membutuhkan pembedahan. Lainnya mungkin hanya
dapat diobati dengan toksin botulinum atau obat-obatan.Pada tic fasialis kurang
dari 10 % pasien mengalami kambuh kembali dari gejala mereka.

2.7 OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)

Prinsip pengobatan epilepsi adalah :


1. Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam
setahun.
2. Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan setelah
penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan
dan kemungkinan efek samping.
3. Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan.
4. Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi.
5. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai.

15
6. Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama.
Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan
obat kedua dinaikkan secara bertahap.
7. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan kombinasi
OAE.
8. Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi.

Mekanisme kerja obat antiepilepsi menjadi 2 bagian besar, yaitu : efek


langsung padamembran yang eksitabel dan efek melalui perubahan
neurotransmitter. Berikut penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme
tersebut:

1). Efek langsung pada membran yang eksitabel.

Perubahan pada permeabilitas membran serta mencegah aliran frekuensi tinggi


dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi. OAE dengan
mekanisme ini antara lain:

a). Fenitoin : Ikaphen , Dilantin , Kutoin

Fenitoin diindikasikan sebagai terapi awal atau terapi tambahan pada


serangan parsial kompleks atau serangan tonik klonik.Efek sampingnya dapat
menimbulkan hiperplasia gingival yang reversibel dan efek samping kosmetik
lainnya.Mekanisme aksinya dengan memblokade kanal natrium dan beraksi
dengan konduktansi pada klorida dan kalsium, serta neurotransmisi voltage-
dependent.

Fenitoin memiliki kinetika eliminasi tergantung dosis dan dihidroksilasi di


hati oleh sistem enzim. Peningkatan dosis yang kecil dapat meningkatkan waktu
paruh dan kadar dalam serum yang besar. Peningkatan kadar tunak mungkin tidak
proporsional dengan toksisitas yang dihasilkan dari peningkatan dosis 10% atau
lebih.

b). Karbamazepin : Tegretol

Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan
general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme
kerja obat ini dengan menghambat kanal Na selama pelepasan dan mengalirnya
muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik.

c). Etosuksimid
16
Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absence pada anak-anak
yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik.Mekanisme kerja obat
ini menghambat kanall Ca tipe T. Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus
Ca2+, menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T).Arus kalsium tipe T
diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu pada saraf talamus
sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis dari serangan
absence.Penghambat arus tersebut karenanya merupakan kerja terapeutik dari
etosuksimid.

d). Valproat : asam dipropilasetat, Depakene , Depakote , Ikalep

Valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi general


idiopatik, epilepsi fokal, epilepsi mioklonik,epilepsi fotosensitif, sindrom lennox
dan second-line pada terapi spasme infantil. Valproat memiliki mekanisme aksi
yang multipel, yaitu mengahambat kanal Ca tipe T dan meningkatkan fungsi
GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi.Obat ini meningkatkan sintesa
GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD).Obat ini
menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan muatan.

Valproat menghambat metabolisme beberapa obat termasuk fenobarbital,


fenitoin dan karbamazepin, menyebabkan konsentrasi obat-obat tersebut dalam
darah menjadi meningkat. Penghambatan metabolisme fenobarbital menyebabkan
kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga menimbulkan stupor atau koma.

e). Okskarbazepin : Trileptal

Okskarbazepin merupakan 10-keto analog dari karbamazepin,


dikembangkan dalam upaya untuk menghindari autoinduksi dan potensi interaksi
sebagaimana terdapat pada karbamazepin.OAE ini telah memperoleh lisensi di
seluruh dunia, lebih dari 50 negara.Beberapa negara telah menggunakan
okskarbamazepin sebagai obat pilihan pertama.

Okskarbamazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan


pada serangan parsial (sederhana, kompleks, umum sekunder) pada dewasa dan
anak-anak, termasuk pasien yang baru terdiagnosa.Mekanisme aksinya dengan
menghambat kanal Na dan berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi
tegangan tinggi sehingga mengaktivasi kanal Ca.

f). Lamotrigin : Lamictal

Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien dewasa dengan


serangan parsial yang tidak terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti

17
fenitoin dan karbamazepin.Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis yang
minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil laboratorium.

2). Efek melalui perubahan neurotransmitter

a). Penghambatan aksi glutamat

Obat-obat dengan aksi ini antara lain:

(1). Felbamat

Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA. Felbamat


terbukti efektif baik pada monoterapi maupun terapi tambahan pada serangan
parsial pada pasien dengan usia 14 tahun, obat ini jugabermanfaat untuk sindrom
lennox-gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain.

(2). Topiramat : Topamax

Topiramat diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk serangan parsial


dan untuk serangan umum tonik-klonik primer pada pasien dewasa dan anak-anak
berusia 2 hingga 16 tahun.Topiramat dilaporkan memiliki sedikit interaksi dan
diberikan sebanyak 2 kali sehari.Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal
Na, memulai influx GABA-mediated chloride dan memodulasi efek dari reseptor
GABAA dan bereaksi pada reseptor AMP.

b).Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada


membran pasca-sinaptik dan neuron. Obat-obat dengan aksi ini antara
lain:

(1). Klonazepam : Riklona 2

Klonazepam sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang


tinggi terhadap reseptor GABAA.Efektif untuk serangan mioklonik, serangan
umum dan sedikit berperan pada serangan parsial.Obat ini digunakan sebagai
terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter.Klonazepam juga digunakan sebagai
terapiemergensi pada status epileptikus seperti diazepam.

(2). Fenobarbital : fenobarbiton, Luminal

Fenobarbital beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada


tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl,
mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas
glutamat.Fenobarbital merupakan OAE dengan spektrum luas, digunakan pada
terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder.Obat ini digunakan sebagai
second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya
18
kognitif, namun pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first
drug.

(3). Klobazam : Frisium

Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin (1982) yang memiliki


khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan
sebagai obat tambahan pada absence yang resisten terhadap klonazepam.Tidak
dapat dikombinasi dengan valproat.Klobazam merupakan terapi tambahan pada
serangan parsial, umum, terapiintermittent, terapi one-off profilaktik, dan non-
konvulsif status epileptikus.

(4). Gabapentin : Neurontin

Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang sangat dekat dengan


GABA.Walaupun dirancang sebagai agonis GABA, pengalaman dan bukti klinis
menunjukan bahwa gabapentin tidak beraksi atau sedikit beraksi terhadap reseptor
GABAA maupun GABAB.Sementara itu, gabapentin juga tidak berpengaruh
terhadap sintesis GABA.Awalnya gabapentin diteliti manfaatnya sebagai
antispasmodik dan sebagai analgetik.Kemudian gabapentin diteliti manfaatnya
sebagai OAE.Saat ini gabapentin sudah memperoleh lisensi untuk dipakai sebagai
OAE di Inggris, Amerika Serikat, Eropa daratan dan berbagai negara lainnya,
namun demikian ada yang menggunakan gabapentin sebagai analgetik walaupun
tanpa lisensi.Gabapentin dipakai sebagai adjuvan untuk serangan parsial atau
serangan umum sekunder pada terapi epilepsi.

3). Obat dengan mekanisme lain

a). Levetiracetam : Keppra

Levetiracetam diterima oleh FDA untuk mengatasi serangan parsial. Obat


ini dapat digunakan bersama denganobat lain pada orang berusia 4 tahun ke atas.
Keppra juga diterima oleh FDA untuk mengatasi mioklonik pada orang dewasa
dan epilepsi mioklonik juvenil untuk orang berusia 12 tahun ke atas.Obat ini
diekskresi di ginjal, dan dosisnya dapat mengalami perbedaan pada orang yang
mengalami gangguan ginjal.

19
BAB 3. PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 63 tahun, Pasien mengeluhkan pipi sebelah


kirinya terasa berkedut sejak 6 bulan yang lalu. Kedutan tersebut muncul
terutama saat pasien kecapekan dan saat bergurau dengan teman dipasar. Keluhan
ini hilang timbul, kadang bisa hilang timbul seharian penuh dan timbulnya tiba-
tiba tanpa rangsangan. Kedutan yang dirasakan pasien kadang juga bisa terasa
sampai mulut. Keluarga pasien tidak memiliki riwayat seperti dikeluhkan pasien
Setelah itu dilakukan pemeriksaan dan didapatkan diagnosis Tic
Facialis.Tic fasialis adalah suatu gangguan gerakan wajah yang tidak disadari dan
disebabkan karena kerusakan syaraf cranial VII (N. Fasialis). Gerakan pada tic
fasialis bersifat setempat pada otot tertentu, sejenak, namun berkali, dapat berupa
wajah yang berkedut atau mata yang berkedip-kedip.Pada kasus ini otot yang
terkena adalah otot-otot pada pipi kanan yang ditandai dengan pipi kanan berkedut
dan sudut mulut bagian kanan posisinya lebih tinggi dari sebelah kiri. Penyakit ini
umumnya timbul setelah umur 40 tahun, namun juga dapat terjadi pada anak-anak
dan lebih sering pada wanita. Pada kasus ini penderita berusia 63 tahun dan
berjenis kelamin perempuan.
Sebagian besar kasus tic facialis idiopatik, kemungkinan disebabkan oleh
kelainan posisi arteri atau simpul pada arteri yang menekan syaraf cranial VII
dimana terdapat batang otak sehingga otot-otot sekitar menjadi kedut atau kejang.
Kemungkinan juga dapat disebabkan oleh tumor yang dapat menekan nervus
fasialis. Dalam kasus ini masih tidak diketahui apakah terdapat tumor yang
menekan arteri karena tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Gerakan berkedut (involuntar) yang timbul pada kasus tic disebut release
phenomenon yaitu terganggunya kendali atas reflek dan rangsang yang masuk
pada putamen dan globus palidus. Gerakan involuntar pada tic bisa timbul sebagai
suatu tanda bahwa pasien sedang gelisah atau depresi.Kasus ini termasuk dalam
klasifikasi tic facialis motorik simpel karena bagian tubuh yang terlibat adalah
satu kelompok otot-otot wajah pipi kiri yang berkedut, serta durasinya singkat.

20
Penatalaksanaan
1. Istirahat untuk mengurangi rasa gelisah terutama saat rasa berkedut mulai
muncul
2. Terapi
Terapi yang digunakan adalah terapi kuratif untuk mengurangi gejala yang
muncul. Terapi yang dilakukan adalah terapi farmakologi yaitu mengonsumsi obat
antidepresan (Clobazam) dan antipsikotik (Halloperidol 1,5 mg sebanyak 3x0,5).
Klobazam termasuk golongan benzodiazepin yang bekerja berdasarkan
potensiasi inhibisi neuron dengan asam gama-aminobutirat (GABA) sebagai
mediator. Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin (1982) yang memiliki
khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan
sebagai obat tambahan pada absence yang resisten terhadap klonazepam. Tidak
dapat dikombinasi dengan valproat. Klobazam merupakan terapi tambahan pada
serangan parsial, umum, terapi intermittent, terapi one-off profilaktik, dan non-
konvulsif status epileptikus.

Haloperidol merupakan obat-obatan antipsikotik. Haloperidol digunakan


pada penanganan kondisi gugup, gangguan emosional, dan mental ( schizoprenia),
tic pada Tourette syndromes, kelainan bipolar, mual dan muntah, kegelisahan,
psikosis akut, dan halusinasi. Obat ini dapat dikonsumsi oral, injeksi
intramuskular, dan intravena. Haloperidol memiliki efek samping terdapat
gangguan pada pergerakan, meningkatkan kematian pada kasus psikosis yang
disebabkan oleh demensia pada orang dewasa.

Implikasi Dental Pasien Dengan Pengobatan Anti Psikotik


Beberapa pertimbangan perawatan pada pasien dengan pengobatan
antipsikotik seperti pemakaian vasopresor pada larutan anastesi lokal dan
penggunaan antihistamin . banyak agen antipsikotik memiliki aksi alpha-blocking
yang melawan setiap peningkatan resistensi vaskular sistemik diikuti absoprsi
sistemik terhadap vasopresor yang ada dalam larutan anastesi.

21
Implikasi Dental Pasien Dengan Pengobatan Sedatif-Anxiolitik
Satu-satunya interaksi obat dengan benzodiazepin yang perlu diperhatikan
dokter gigi adalah penggunaan antibiotik macrolide, seperti erytromycin.
Antibiotik jenis ini berkompetisi untuk enzym CYP3A4, yang mengkatalis reaksi
oksidatif yang menon-aktifkan banyak obat golongan benzodiazepine dengan
demikian meningkatkan level dalam serum dan memperpanjang waktu paruhnya.
Lorazepam (Ativan) merupakan eksepsional karena obat ini dimetabolisme via
konjugasi daripada melalui oksidasi.

22
BAB 4. KESIMPULAN

1. Definisi tic fasialis adalah suatu keadaan terjadinya gangguan gerakan wajah tidak
disadari, yang tidak terasa sakit yang disebabkan karena kerusakan syaraf cranial
VII (N. Fasialis).Gerakan pada tic fasialis bersifat setempat pada otot tertentu,
sejenak, namun berkali-kali.
2. Etiologitic fasialis idiopatik, facial nerve compression by mass, rangsangan iritatif
pada ganglion geniculatum, kegelisahan.
3. Gejala dari tic fasialisantara lain yaitu berkedut intermitten dari otot kelopak
mata, mata berkedip secara berlebihan, wajah yang berkedut, Ekpresi wajah
seperti meringis atau mencucu, Sudut mulut terangkat
4. Penatalaksanaan dari tic fasialis antara lain carbamazepin dosis 600-1200 mg/hari,
Botulinum toxin injeksi serotype A, danoperasi dekompresi pembuluh darah.
5. Prognosis dari tic fasialis tergantung pada pengobatan dan bagaimana respon
pasien terhadap pengobatan. Beberapa individu akan relatif bebas dari gejala,
beberapa mungkin membutuhkan pembedahan. Lainnya mungkin hanya dapat
diobati dengan toksin botulinum atau obat-obatan.Padatic fasialis kurang dari 10
% pasien mengalami kambuh kembali dari gejala mereka.

23
DAFTAR PUSTAKA

Carpenter D. O., Hemifacial spasm, HANDBOOK OF PATHOPHYSIOLOGY,


1st edition, Pennsylvania: Springhouse, 2001
Lumbantobing S. M., Nervus Fasialis, NEUROLOGI KLINIK PEMERIKSAAN
FISIK DAN MENTAL, ed. 4, Jakarta: FKUI, 2004.
Mardjono M., Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, NEUROLOGI
KLINIS DASAR, ed. 9, Jakarta: Dian Rakyat, 2003
http://emedicine.medscape.com/article/1170722
http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp
http://www.mountsinai.org/patient-care/health-library/diseases_neurologi.
Anurogo, dito. Clinical Update 2009: Tic. www.kabarindonesia.com [diakses:
Desember 2008]
Greenstain, B. & Greenstein, A. The Brain Stem. Color Atlas of Neuroscience.
New York: Thieme, 2000:222.
Mansour M.H, Cox S.C: Patients presenting to the General Practitioner with pain
of dental origin. MJA ,2006;185: 64 -67.
Meliala L . Neuralgia Kranial, dalam Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS dkk,
Nyeri Neuropatik: Patofisiologi dan Penatalaksanaan. 2001: hal 129-137.
Rohkamm, R. Normal and Abnormal Function of the Nervous System. Color
Atlas of Neurology. New York: Thieme, 2004:94.
Weaker, F. Trigeminal Nerve. Structures of the Head and Neck. Philadelphia: F.
A. Davis Company, 2014:250-1.
Marshall RJ, Bleakley A. Lost in translation. Homer in English; the patients
story in medicine. Med Humanit.2013.

24

Vous aimerez peut-être aussi