Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial,
budaya, ekonomi, keamanan, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta
pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai
dalam bidang kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat
(Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga
termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat
yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta,
2006).
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan
suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta
tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud
World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi
(jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk (Pedoman
Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta
tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di Indonesia,
dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler
(MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun
2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan,
sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan pada 2009 tercatat
17.260 kasus baru kusta di Indonesia (7,49/100.000 penduduk) dan jumlah
kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per
10.000 penduduk.

1
Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat10.706 (Angka
Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar
sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk.
Di Sumatera Utara insiden (jumlah kasus baru) kusta 192 kasus
pada Januari-Desember 2010, dan 12 % dari kasus tersebut adalah anak
berumur kurang 15 tahun. Berdasarkan data, jumlah penderita kusta di
Sumut, masing- masing terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 10
penderita, Sibolga 13 penderita, Padang Lawas 10 penderita, Medan 42
penderita, Deli Serdang 15 penderita, Simalungun 17 penderita, Asahan 12
penderita, Labuhan Batu 12 penderita dan Tapanuli Selatan 13 penderita.
WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut:
impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on
Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series
No.
607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi
tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih, 2008).
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat
menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada
perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia aka
berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai penderita kusta. Hal
ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan
memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006).
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol
dibandingkan masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya
stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham dan
informasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan perilaku
masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan
penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan
masyarakat (Kuniarto, 2006).
Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri
dan mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung
kepada orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi

2
ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun
ketidakmampuan dalam bekerja maupun mendapat diskriminasi untuk
mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan
penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi
mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke
bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga
memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan
mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006).
Maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan hak dan
kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga
kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta
berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, padahal penderita kusta
memerlukan perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya perawatan. Hal-hal
tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto,
2006).
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah disebutkan dari pembahasan latar
belakang di atas, penyakit kusta tidak hanya merupakan masalah medis, tapi
juga memiliki dampak terhadap masalah psikis, sosial, dan juga ekonomi
yang akan mempengaruhi kualitas hidup dari penderita kusta itu sendiri.
Rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu
Tentang penyakit Kusta?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberitahukan
informasi tentang Penyakit Kusta.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini ialah untuk memberitahukan
kepada pembaca agar dapat lebih memahami tentang pengertian penyakit
kusta, meliputi pengertian penyakit kusta, riwayat ilmiah, epidemiologi,
faktor risiko, program pemberatasan penyakit kusta tersebut, dan lain-lain.

3
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar setiap pembaca,
khususnya mahasiswa keperawatan dapat mengaplikasikan ilmu yang
terdapat pada makalah ini untuk dijadikan bahan pembelajaran di
lapangan.

4
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Penyakit Kusta


2.1.1 Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi , selanjutnya menyerang kulit, mukosa
(mulut), saluran pernafasan bagian atas,sistem retikulo endotelial,
mata, otot, tulang dan testis ( Amirudin.M.D, 2000 ).
Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan
saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk
mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada
kulit ( Depkes, 2005 ).
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998). Kusta merupakan penyakit
kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer
Arif, 2000)
Penyakit kusta disebut juga lepra (leprosy) atau Morbus Hansen,
dan nama lain di India: Korh, Vaahi (Kala Vaah), Motala/ Motali
Mata, Pathala dan Bada Dukh (Kandouw, 2000). Nama tersebut
berbeda karena daerah yang berbeda menyebutkan lain, seperti pathala
di Sondwa dan Korh dan Kala Vaa di Thandla (Bhopal, 2002).

2.1.2 Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang
ditemukan oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara
morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel
dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora,

5
dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk
massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar
pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu
pembelahan sangat lama , yaitu 2-3 minggu , diluar tubuh manusia
(dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan
sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics
Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan optimal kuman
kusta adalah pada suhu 27-30C.

2.1.3 Patofisiologi
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB
kepada orang lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih
belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.Meskipun cara
masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara pasti,
namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling
sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi
apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas
pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan
pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah seseorang yang
menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan
bakteriologik dan memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin,
2000).
Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan
yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan

6
yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam menetapkan diagnosis
penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign,
yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.Kelainan kulit atau lesi dapat
berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi ) atau
kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf.ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).gangguan fungsi
saraf ini bisa berupa :
1) Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
2) Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau
kelumpuhan /paralise).
3) Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit
(BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang
meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

2.2 Epidemiologi Penyakit Kusta di Indonesia dan Kalimantan Tengah


Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia, namun sebagian kasus
yang terjadi pada daerah tropis dan sub tropis. konsultan rehabilitasi kusta
dari lembaga Netherlands Leprasy Relief, Firmansyah Arief
mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia
dengan penderita terbanyak setelah India dan Brazil. Penyebaran penyakit
ini dapat terjadi karena beberapa hal termasuk distribusi geografis. Sejarah
penyebaran penyakit kusta di Indonesia diduga dibawa oleh pendatang
dari India yang datang ke Indonesia untuk meyebarkan agamanya dan
berdagang. Namun jika dilihat penyebarannya, di Indonesia, terjadi
perbedaan distribusi. Perbedaan distribusi penyakit ini dapat terjadi karena
faktor etnik. Pada kasus kusta di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih
banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.

7
Epidemiologi sosial mengkaji saling keterkaitan antara faktor sosial
dengan distribusi penyakit dalam populasi. Distrbusi penyakit kusta yang
terjadi pada etnis Madura memiliki katian dengan faktor sosial. Ada
beberapa faktor sosial penyebab munculnya penyakit ini dan menjadi
endemik di jawa timur khususnya Madura, yaitu:
1. Kurangnya kesadaran terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan
2. Mayoritas masyarakat Madura dengan status sosio-ekonomi rendah
dengan pekerjaan sebagai petani garam
3. Eksklusivitas etnis Madura dan penanganan yang kurang tepat
kepada penderita.

Penyebab penyakit ini terus berkembang pada etnis Madura karena


kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit kusta. Masyarakat
Madura sebagian besar tidak mengetahui penyebab munculnya penyakit
ini. Berdasarkan artikel yang saya baca, masyarakat Madura hidup pada
lahan yang kurang subur dan kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
petani garam. Berdasarkan stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat Madura
termasuk pada golongan dengan status sosial-ekonomi rendah. Status
sosial-ekonomi memiliki pengaruh terhadap penyebab muncul dan
berkembangnya penyakit ini.

Rendahnya status ekonomi menyebabkan minimnya akses terhadap


pelayanan medis, hal ini menyebabkan mereka yang telah tertular sulit
untuk mendapatkan pengobatan medis yang layak. Status sosial-ekonomi
yang rendah juga berpengaruh terhadap sanitasi dan tindakan preventif
yang bisa mereka lakukan. Selain itu, dengan mengidap penyakit kusta,
mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga semakin
membuat mereka sulit mendapatkan biaya untuk penyembuhan. Dapat
disimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan
mereka hidup dengan sanitasi yang buruk dan akses terhadap pelayaan
kesehatan sehingga mereka terkena penyakit kusta. Penyakit ini
menyebabkan mereka tidak mndapatkan pekerjaan yang layak sehingga
status sosial ekonomi mereka semakin rendah. Penyakit kusta juga dapat

8
menyebabkan cacat penyakit akan membuat mereka tidak dapat
mendapatkan pekerjaan yang baik

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan


juga menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit ini. Rendahnya gizi
dan imunitas pada masyarakat Madura yang diakibatkan oleh gaya hidup
yang tidak sehat juga berpotensi tertular penyakit kusta.

Secara nasional, kondisi tersebut telah tercapai di tahun 2000,


sementara untuk tingkat Provinsi, Kalimantan Tengah belum mencapai
eliminasi tapi sudah berada dalam dearah low endemic. Stigma di
masyarakat masih mengangap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
kutukan sehingga ada yang mengucilkan diri atau dikucilkan oleh
lingkungannya. Oleh karena itu pentingnya peran kader untuk melaporkan
kepada petugas kesehatan jika ditemukan kasus.

Selama periode 2008 2013, angka penemuan kasus kusta pada


tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79% per 100.000
penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga
0,96 per 10.000 ( 7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah
mencapai target < 1 per 10.000 penduduk atau< 10 per 100.000 penduduk
( profil kesehatan 2013, Pusdatin). Dan mengalami penurunan dari tahun
2011 sebanyak 3.167 jiwa, terlihat pada grafik berikut.

9
10
11
2.3 Pengobatan atau Terapi
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:
1. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln
diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di
rumah.Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak

12
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln
diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan
petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di
rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif
dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.
3. Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
4. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg
dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
5. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.

13
2.4 Pengendalian atau Pencegahan Penyakit Kusta
Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami
tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan
program pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran
serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat
mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-
upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan
perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan
tersier .
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah
orang yang sehat menjadi sakit.Secara garis besar, upaya pencegahan
ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada
masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan
masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan.
Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai
resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan,
menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan
sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan
yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan
yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder
adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah
sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan
dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat
dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat

14
protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat
rehabilitasi medik.

2.5 Program Pemerintah Dalam Pemberantasan Penyakit Kusta


Tujuan :
Menurunkan angka kesakitan penyakit kusta, sehingga penyakit
kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat
Kebijakan :
1. Integritas peaksanaan program kusta ke dalam kegiatan rutin
puskesmas.
2. Pengobatan dengan MDT sesuai rekomendasi WHO dan diberikan
secara cuma-Cuma.
3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
4. Kemitraan dengan berbagai program dan sector terkait.

Strategi :

1. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan MDT yang


berkualitas diseluruh unit pelayanan kesehatan.
2. Meningkatkan mutu pelayanan melalui peningkatan kemampuan
serta ketrampilan petugas yang bertanggung jawab.
3. Meningkatkan peran serta Organisasi Profesi dan Organisasi
Kemasyarakatan.
4. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan program dan sektor
terkait dalam pemberantasan penyakit kusta.

Kegiatan :

1. Kegiatan pokok:
1) Penemuan penederita secara aktif dan pasif.
2) Diagnosis dan klasifikasi
3) Pengobatan dan pengendalian pengobatan
4) Pencegahan cacat dan perawatan diri
2. Kegiatan penunjang:

15
1) Pencatatan dan pelaporan
2) Penyuluhan
3) Pengelolaan logistic
4) Pelatihan
5) Pertemuan dan rapat konsultasi
6) Supervise
7) Monitoring dan evaluasi
8) Pemeriksaan laboratorium dan
9) Meningkatkan kualitas hidup eks penderita kusta

Indikator :

Untuk mengetahui keberhasilan program, digunakan beberapa


indicator dalam program pemberantasan kusta antara lain:

1. Angka Prevalensi (prevalensi rate = PR)


Jumlah kesakitan penderita terdaftar (pada suatu saat/ selama periode
tertentu) per-10.000 penduduk.
2. Angka penemuan (case defection rate)
Jumlah penderita baru yang ditemukan dalam periode waktu tertentu
(penemuan) per-10.000 penduduk.
3. Proporsi cacat tingkat 2
Jumlah penderita yang ditemukan telah mengalami cacat tk 2
diantara penderita yang baru ditemukan pada periode satu tahun.
4. Proporsi anak < 15 tahun
Jumlah penderita dibawah 15 tahun diantara penderita yang baru
ditemukan pada periode satu tahun yang sama.

16
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi , selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran
pernafasan bagian atas,sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis ( Amirudin.M.D, 2000 ).
Micobakterium Lapre merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat
obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti
mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan
saraf pusat. Microbakterium lapre masuk kedalam tubuh manusia, jika
orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan
lebih mengarah pada tberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh
orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada
lepromatosa.
Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara
miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas
kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga
menyebabkan daya tahan tubuh rendah . rentan terhadap penyakit infeksi
seperti kusta.

3.2 Saran
Terapkan prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hindari kontak
langsung dengan penderita kusta, memeriksakan diri apabila muncul
tanda-tanda kusta. Bila ditemukan sejak dini, kusta dapat disembuhkan
dan tidak sampai menimbulkan kecacatan pada tubuh.

17
DAFTAR PUSTAKA

Marilyn, E. Doenges, et-al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Monica


Ester, Penerjemah Jakarta:EGC
Muttakin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 1. Edisi
4. Renata Komalasari, Penerjemah. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. Brahm U. Pendit, Penerjemah. Jakarta: EGC
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume II.
Edisi 8. Agung Waluyo, Penerjemah. Jakarta : EGC

18

Vous aimerez peut-être aussi