Vous êtes sur la page 1sur 14

REFERAT

SINDROMA NEFROTIK

Disusun Oleh :
Lara Meiza Anindia
2012730056

Pembimbing :
dr. Mahesa Suryanagara, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
SINDROMA NEFROTIK

Definisi

keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif, hipoalbunemia,


edema dan hiperkolesterolemia. Kadang kadang gejala disertai
dengan hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal

Epidemiologi
Insidensi sindrom nefrotik (SN) diperkirakan 25 kasus/tahun tiap
100.000 anak usia <16 tahun. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6
kasus/tahun tiap 100.000 anak usia <14 tahun. Sebagian besar SN
pada anak (85%) memberikan respons terhadap pengobatan steroid
(SN sensitif steroid). SN sensitif steroid lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (2:1). Pada umumnya
SN sensitif steroid terjadi sebelum usia 8 tahun terutama sebelum 6
tahun dengan puncak kejadian pada usia 45 tahun

KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK

Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam :

Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit


terbatas hanya di dalam ginjal/glomerulus dan etiologinya
tidak diketahui (idiopatik) diduga ada hubangannya dengan
genetik, imunologi dan alergi
Sindrom nefrotik sekunder : menunjukkan dimana penyakit
tidak terbatas hanya di dalam ginjal/glomerulus, akan tetapi
penyakit berasal dari ekstrarenal atau dengan perkataan lain,
mempunyai etiologi khusus, merupakan bentuk yang jarang
dijumpai.
Sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalarn tiga kelornpok,
yaitu:

1. Kongenital
Bentuk ini ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya
kasus-kasus ini adalah Sindom Nefrotik Tipe Finlandia, suatu
penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif.

2. Responsif steroid
Kelompok ini sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM).

3. Resistensi Steroid

Berdasarkan gambaran histopatologi sindrom nefrotik dibagi menjadi


tipe:

Sindrom Nefrotik perubahan minimal


Sindrom Nefrotik perubahan nonminimal :
o Fokal dan segmental glomerulosklerosis
o Membranoproliferatif glomerulonefritis
o Proliferasi mesangial difusa
o Membranus glomerulonefritis (nefropati)

PATOFISIOLOGI

Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga


terjadi proteinuria adalah patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik. Alburnin
adalah plasma protein yang predominan hilang dalam urin, tapi juga protein
lain turut keluar seperti imunoglobulin, faktor koagulasi, transferin, dan lain-
lain. Keadaan klinis dan laboratorium pada sindrom nefrotik seperti oedem,
hipoalbumin. hiperlipidemia, terjadi akibat proteinuri. Keadaan patofisiologis
ini berlaku untuk semua jenis sindrom nefrotik tanpa membedakan morfologi
maupun etiologinya.
1. Proteinuria masif
Proteinuria secara umum merupakan kelainan primer pada
sindrom nefrotik, sedangkan kelainan klinis dan laboratoris lain
dianggap sebagai kelainan sekunder. Proteinuria pada sindrom
nefrotik merupakan proteinuria yang masif, dibedakan dengan yang
lain yang tidak berhubungan dengan sindrom nefrotik. Untuk
menyesuaikan dengan ukuran pasien pediatri yang bervariasi,
digunakan ukuran rata-rata untuk menentukan proteinuria pada
sindrom nefrotik, yaitu 40 mg/jam/m2 luas tubuh per hari.

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi


bergantung pada kelainan glomerulus. Pada SNKM protein yang
keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai
proteinuria selektif. Sedangkan pada sindrom nerotik kelainan non
minimal terjadi proteinuria non selektif (terdiri atas campuran albumin
dan protein dengan berat molekul besar).

Proteinuri dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu:

a. Hilangnya "muatan polianion" pada dinding kapiler glomerulus.


Semua permukaan kapiler glomerulus dalam keadaan normal
mempunyai muatan polianion atau muatan negatif dan yang
bertanggung jawab pada keadaan ini adalah `sialoglikoprotein` dan
`proteoglikan`, seperti heparin sulfat. Protein sulfat heparan yang
menimbulkan muatan negatif pada lamina elastika interna dan
eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul
bermuatan negatif seperti albumin. Sedangkan sialoprotein glomerulus
vaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki epitel,
tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini penting
untuk mengatur sel visceral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan
kaki epitel. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal
sebagai respon terhadap pengobatan steroid yang menyebabkan
hilangnya proteinuria.
b. Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.
c. Aaanya perubahan hemodinamik. yang mengatur aliran kapiler.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari
sintesis di hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi
renal, dan gastrointestinal. Meningkatnya katabolisme albumin di
tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau
menurun. Jadi pada keadaan hipoalbumin yang menetap, konsentrasi
albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh
meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya
katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena
meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya
sintesis hati.

Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya


globulin dan -1 globulin (normal atau rendah). Sedangkan -2
globulin, globulin, dan fibrinogen meningkat secara relative atau
absolute. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif
protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis
yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM,
IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom


nefrotik pada anak ialah bila kadar albumin plasma kurang dari 2,5
gr%.

3. Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled
theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskuler yang
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan
meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema

Terjadinya oedema menurut teori underfilled

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan


volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan
volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan
untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal
dan dapat dianggap sebagai. peristiwa kompensasi sekunder. Retensi
cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma,
selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat
gerakan cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseirnbangan hingga edema
stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar


renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia.
Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa
pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan
tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling
cairan ke da!am ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat
menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin
plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.

Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume plasma

Edema
Terjadinya edema menurut teori overfilled

Terbentuknya edema pada SN merupakan suatu proses yang


dinamis dan mungkin saja kedua proses underfilled dan overfilled
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang
sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan
gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskuler akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan
rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan
meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin
angiotensin-aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium
dan air dengan keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan
sedikit natrium.

Karena pasien dengan hipovolemia, disertai renin dan


aldosteron yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan
responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah normal
atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya
menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka
pemeriksaan renin dapat merupakan pertanda yang berguna untuk
menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak,
di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu
besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua
kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin.

4. Hiperlipidemia
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan
hiperlipidemia dan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan SNKM.
Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum
dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN
konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan
lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang
sangat menyolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya
normal pada anak-anak dengan SN. Seperti pada hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau
karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya
abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan
meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein,
melalui jalur vang berdekatan. Menurunnya degradasi ini rupanya
berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat
hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila
albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi
normal kembali.

Manifestasi Klinis
Proteinuria masif

Protein urin >40 mg/mLPB/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam. Rasio


protein/kreatinin urin >2,5. Dengan pemeriksaan Esbach, kadar protein
dalam urin 24 jam >2 g. Secara semikuantitatif dengan pemeriksaan Bang
atau Dipstick menunjukkan protein urin +2

Hipoalbuminemia

Kadar albumin dalam serum hingga mencapai <2,5 g/dL

Edema
Hiperlipidemia

Kolesterol total darah (>200 mg/dL). Meskipun demikian, hiperlipidemia


tidak lagi dijadikan sebagai kriteria diagnostik SN, karena penderita SN
terutama kelainan nonminimal dapat menunjukkan kadar lemak darah
normal
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain:

Urin lengkap Protein kuantitatif urin


Darah:
o Darah rutin
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3, C4, ANA
Terapi
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberin prednisone dosis penuh


(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi (apabila proteinuria
negative atau trace/ proteinuria <4mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu

Sebagian besar ahli menganjurkan induksi remisi sesuai protokol ISKDC,


yaitu pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison 60 mg/mLPB/hr
(setara dengan 2 mg/kgBB/hr), dalam dosis terbagi (maks. 80 mg/hr).
Pemberian ini dilakukan sampai remisi terjadi yang ditandai dengan
proteinuria () 3 hr berturut-turut. Selanjutnya prednison 40 mg/mLPB
selang sehari (alternate) dalam dosis tunggal untuk 4 minggu berikutnya

4 minggu 4 minggu

Remisi (+) Dosis


Proteinuria)
( alternating Prednison FD:
Edema )( (AD) 60 mg/mLPB/hr

Remisi):
( resisten steroid Prednison AD:
40 mg/mLPB/hr

Imunosupresan lain
Gambar 56 Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid Keterangan:

Prednison dosis penuh (full dose/FD) 60 mg/mLPB/hr (2


mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis diberikan setiap hr selama 4 mgg,
dilanjutkan dengan prednison 40 mg/mLPB/hr ( dosis
penuh), dapat diberikan secara alternating 40 mg/mLPB/hr
selama 4 mgg. Bila remisi tidak terjadi pada 4 mgg pertama,
maka penderita tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik
resisten steroid

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberin prednisone dosis penuh


(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi

1. Siklofosfamid

Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan


imunosupresif. Siklofosfamid menunjukkan kemampuan
memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi
penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan
mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednison tanpa
menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3
mg/kgBB/hr sebagai dosis tunggal selama 12 minggu. Terapi
prednison selang sehari tetap diberikan selama penggunaan
siklofosfamid ini

Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang


mungkin terjadi antara lain: leukopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi
varicella disseminata, sistitis hemoragik, alopesia, keganasan,
azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar
leukosit perlu diperiksa setiap mgg, dan pengobatan perlu dihentikan
dahulu bila kadar leukosit menjadi 5.000/mm Pengobatan kambuh
sering
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh
sering. Dosis yang umumnya digunakan

0,2 mg/kgBB/hr selama 812 mgg

3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmintik. Obat ini juga
memengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi
sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5
mg/kgBB diberikan selang sehari selama 412 bl

4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang
efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hr

Dalam penggunaannya, kadarnya dalam darah perlu dikontrol karena


memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan
kelainan histologis bahkan pada penderita yang ginjalnya normal
sekalipun. Efek samping lain yang sering ditemukan yaitu
hipertrikosis, hiperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi

Remisi
Prednison FD: 60
FD AD 8 minggu mg/mLPB/hr
Prednison AD: 40
mg/mLPB/hr
Prednison AD: 40
mg/mLPB/hr
Pemantauan:
Hemoglobin, leukosit,
trombosit setiap mgg
Leukosit <3.000/L

CPA dihentikan dulu
Leukosit >5.000/L
CPA diberikan lagi

Gambar 58 Pengobatan SN Kambuh Sering Keterangan:

Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4


mgg), dilanjutkan dengan prednison alternating 40
mg/mLPB/hr dan imunosupresan/sitostatik oral
(siklofosfamid 23 mg/kgBB/ hr) dosis tunggal selama 8
minggu

Prognosis
Bergantung pada etiologi, SN sensitif steroid memiliki prognosis baik,
meskipun sekitar 6070% akan mengalami kambuh yang setengah di
antaranya berbentuk kambuh sering atau ketergantungan steroid. Pada
umumnya kambuh pada SN dicetuskan oleh infeksi virus saluran respiratori
bagian atas SN resisten steroid biasanya memiliki prognosis tidak baik dan
akan berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik

Vous aimerez peut-être aussi

  • Flukonazole
    Flukonazole
    Document12 pages
    Flukonazole
    Aisyah
    Pas encore d'évaluation
  • Granuloma Inguinale
    Granuloma Inguinale
    Document12 pages
    Granuloma Inguinale
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Mikosis Non Dermatositosis
    Mikosis Non Dermatositosis
    Document53 pages
    Mikosis Non Dermatositosis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Flukonazole
    Flukonazole
    Document12 pages
    Flukonazole
    Aisyah
    Pas encore d'évaluation
  • Alopesia Areata Vs Tinea Kapitis
    Alopesia Areata Vs Tinea Kapitis
    Document7 pages
    Alopesia Areata Vs Tinea Kapitis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Fisiologi Kulit
    Fisiologi Kulit
    Document7 pages
    Fisiologi Kulit
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Dermatofitosis
    Dermatofitosis
    Document56 pages
    Dermatofitosis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • FRAMBUSIA
    FRAMBUSIA
    Document13 pages
    FRAMBUSIA
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • FRAMBUSIA
    FRAMBUSIA
    Document13 pages
    FRAMBUSIA
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • ANTRAKS
    ANTRAKS
    Document17 pages
    ANTRAKS
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Flukonazole
    Flukonazole
    Document12 pages
    Flukonazole
    Aisyah
    Pas encore d'évaluation
  • Laporan Kasus Katarak
    Laporan Kasus Katarak
    Document21 pages
    Laporan Kasus Katarak
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Dermatosis Vesikobulosa
    Dermatosis Vesikobulosa
    Document32 pages
    Dermatosis Vesikobulosa
    Lidia Dwi Putri
    Pas encore d'évaluation
  • Dermatosis Vesikobulosa
    Dermatosis Vesikobulosa
    Document32 pages
    Dermatosis Vesikobulosa
    Lidia Dwi Putri
    Pas encore d'évaluation
  • Laporan Kasus Kulit
    Laporan Kasus Kulit
    Document28 pages
    Laporan Kasus Kulit
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • ANTRAKS
    ANTRAKS
    Document17 pages
    ANTRAKS
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Flukonazole
    Flukonazole
    Document12 pages
    Flukonazole
    Aisyah
    Pas encore d'évaluation
  • Urt Ikaria
    Urt Ikaria
    Document26 pages
    Urt Ikaria
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • SKABIES
    SKABIES
    Document34 pages
    SKABIES
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Sifilis
    Sifilis
    Document21 pages
    Sifilis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Lapkas Konjungtivitis
    Lapkas Konjungtivitis
    Document26 pages
    Lapkas Konjungtivitis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Morpot Kalazion
    Morpot Kalazion
    Document11 pages
    Morpot Kalazion
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Anatomi Kulit
    Anatomi Kulit
    Document15 pages
    Anatomi Kulit
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Mikroorganisme Kulit
    Mikroorganisme Kulit
    Document16 pages
    Mikroorganisme Kulit
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Case Plasenta Previa
    Case Plasenta Previa
    Document15 pages
    Case Plasenta Previa
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Status Ujian
    Status Ujian
    Document8 pages
    Status Ujian
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Lapkas OMA
    Lapkas OMA
    Document8 pages
    Lapkas OMA
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Lapkas Konjungtivitis
    Lapkas Konjungtivitis
    Document16 pages
    Lapkas Konjungtivitis
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation
  • Laporan Kasus Mola Hidatidosa
    Laporan Kasus Mola Hidatidosa
    Document34 pages
    Laporan Kasus Mola Hidatidosa
    Eltanin Vanriri
    Pas encore d'évaluation