Vous êtes sur la page 1sur 37

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1,2
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia, diperkirakan
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Di Amerika, Asma
menjadi penyebab ke-3 tertinggi kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun, dapat
terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta
penderita Asma di Indonesia. Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia
menunjukkan prevalensi Asma yang bervariasi, di Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%;
Yogyakarta 10,5%. Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada anak berusia 13-14 tahun melaporkan prevalensi Asma di
Indonesia sebesar 2,1% pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
2.3

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi,
batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur
status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. 4,5

Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan


asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi menjadi tiga kategori
: 1). Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten ringan; 2) Asma sedang :
asma persisten sedang; 3) Asma berat : asma persisten berat. 6,7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Sistem Pernafasan

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan


a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara,
debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.1

b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di
belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus
fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang
lubang esofagus).1,2
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang
biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang tulang rawan yang
berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.1,2
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput
lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah
luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat
yang dilapisi oleh otot polos. 1
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada
2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus
itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus
kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8
cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping
dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus
bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). 1,2,8
Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli
terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli Paru-paru Paru-
paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel
dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m. Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. 1,2,8
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat
yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada
datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada
bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru. 2,9

2. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. 1

3. Epidemiologi

Prevalensi asma dipengaruhi banyak faktor, antara lain jenis kelamin,


umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anal laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan
pada masa menopause perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Umumnya
prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaprkan
prevalensi dewasa lebih tinggi dari pada anak. Angka ini juga berbeda-beda
antara satu kota dengan kota lain di Negara yang sama di Indonesia prevalensi
asma berkisar. 8

4. Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti
bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah.
a) Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. 3,4
b) Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat. 4,10

Gambar 4. Klasifikasi asma menurut derajat


c) Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh.
Namun pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol
manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan
pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan
kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa
efek samping. 5,10

Gambar 5. Klasfisikasi Asma berdasarkan pengobatan

d) Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala


Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-
ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna
untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu
sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan
oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala,
eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji
faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan
menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan
antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian
berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.
Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien
asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi
menjadi tiga kategori : 1). Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten
ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3) Asma berat : asma
persisten berat. Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma
berdasarkan tingkat kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang,
aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA
membaginya kedalam asma terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian,
dan asma tidak terkontrol. (Tabel 2) 5,10

Tabel. 1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa


Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermiten Bulanan <2 kali sebulan APE >80%
Gejala VEP1 >80% nilai
<1x/minggu tanpa prediksi APE
gejala diluar serangan >80%
serangan . nilai terbaik
serangan singkat Serangan singkat -
Variabiliti APE
<20%.
Persisten ringan Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
Gejala>1x/minggu VEP1 >80% nilai
tetapi<1x/hari. prediksi APE
Serangan dapat >80% nilai
mengganggu terbaik.
aktivitas dan tidur - Variabiliti APE
20-30%.
Persisten sedang Gejala setiap >2 kali sebulan APE 60-80%
hari.Serangan - VEP1 60-80%
dapat nilai prediksi APE
mengganggu 60-80% nilai
aktivitas dan tidur. terbaik.
Bronkodilator - Variabiliti APE
setiap hari >2 kali >30%.
sebulan Kontinyu APE
<60%
Persisten berat Gejala terus Aktivitas fisik VEP1 <60% nilai
menerus. Sering - terbatas prediksi APE
Sering kambuh. <60% nilai terbaik
Variabiliti APE
>30%

Tabel 2. Tingkat Kontrol Asma


Karakteristik Kontrol penuh Terkontrol sebagian Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada >2x/ minggu 3x
(2x/minggu)
Keterbatasan Tidak ada Ada Gambaran asma
harian terkontrol sebagian
Gejala Tidak ada Ada ada dalam setiap
nokturnal minggu
Kebutuhan Tidak ada >2x/minggu
pelega
(reliever)
Fungsi paru Normal <80% prediksi
(APE/VEP1)
Eksaserbasi Tidak ada >1 tahun 1x/minggu

5. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
a) Faktor Genetik , yaitu :
Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. 4,10
Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14
tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak. 5,10
Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan
faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat
mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum
jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 5,6
b) Faktor lingkungan
Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3,9
c) Faktor lain
Alergen makanan
Alergen obat-obatan tertentu
Bahan yang mengiritasi
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
Exercise-induced asthma
Perubahan cuaca.5,6

6. Patomekanisme
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin. 7
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator
seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
4,10
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym
dan metaloprotease sel epitel. 5,10
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma
adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan
mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa
serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase
(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas. 6
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF. 4,10
Gambar 7. Inflamasi dan remodeling pada asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara


lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. 4,10
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
3,4,10

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas.4,5
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 5,10
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2

7. Diagnosis
a) Gejala asma bronchial
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit
ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis.
Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat
diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru
digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi
fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah
dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi
asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma,
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. 5,10
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara
lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,
merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang
sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas
karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,
terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa
kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak
dengan bau bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja,
obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
3,4

b. Tanda klinis asma bronchial


Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat
ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan;
mengi, ekspirasi memanjang. 8
c. Pemeriksaan Penunjang
Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk
menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan.
Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur
faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah
udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat
normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan
obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV.
untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama
saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 4,10
X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang
tidak disebabkan asma.
Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi
dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji
tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). 4,10
Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam
klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi
saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda
ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam
sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di
luar riset.
Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang
menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes
provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet
ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran
alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa
partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam
bentuk nebulasi. 3,5,10

d. Penatalaksanaan
Medikasi Asma: Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol.
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal
dalam waktu satu bulan.
Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi
otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk,
tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk pelega adalah: Agonis beta2 kerja singkat,
Antikolinergik , Aminofillin, dan Adrenalin. 6,7
Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka
panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua

Tabel 3. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat


Serangan dan tempat PENGOBATAN TEMPAT
pengobatan SERANGAN PENGOBATAN
RINGAN Terbaik: Di rumah
Aktiviti relatif normal Inhalasi agonis beta-2 Di praktek dokter/
Berbicara satu kalimat Alternatif: klinik/ puskesmas
dalam satu napas Kombinasi oral agonis
Nadi <100 beta-2
APE > 80% dan teofilin

SEDANG Terbaik Darurat Gawat/ RS


Jalan jarak jauh Nebulisasi agonis beta- Klinik
timbulkan gejala 2 tiap 4 jam Praktek dokter
Berbicara beberapa Alternatif: Puskesmas
kata dalam satu napas -Agonis beta-2
Nadi 100-120 subkutan
APE 60-80% -Aminofilin IV
-Adrenalin 1/1000
0,3ml SK
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

BERAT Darurat Gawat/ RS


Sesak saat istirahat Terbaik Klinik
Berbicara kata perkata Nebulisasi agonis beta-
dalam satu napas 2 tiap 4 jam
Nadi >120 Alternatif:
APE<60% atau -Agonis beta-2 SK/ IV
100 l/dtk -Adrenalin 1/1000
0,3ml SK
Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV

MENGANCAM JIWA Seperti serangan akut Darurat Gawat/ RS


Kesadaran berubah/ berat ICU
menurun Pertimbangkan intubasi
Gelisah dan
Sianosis ventilasi mekanis
Gagal napas
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi
serangan akut.
Oksigen: Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar
saturasi oksigen 90% dan dipantau dengan oksimetri. 11
Agonis beta-2: Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan
IDT dan spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan
cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan
membutuhkan waktu lebih singkat. Pemberian inhalasi ipratropium bromide
kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons
bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin.
Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan
perbaikan faal paru (APE dan VEP1)). Alternatif pemberian adalah pemberian
injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus dilakukan
pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja singkat
injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila
dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan
dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan
NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada
penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka
dosis diturunkan setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam
darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. 12
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi
pada serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan, terutama jika:
Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal
tidak memberikan respons
Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
Serangan asma berat
Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena,
pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada
penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi
gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian
intravena.Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam
untuk tercapai perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan
glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg
hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam
perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah
adekuat. Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14
hari. Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam
waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu. 12,13
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi
bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala
sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan
asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan
dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/ gangguan pernapasan
kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK). 11

Gambar 10. Penanganan Asma Menurut GINA


e. Komplikasi
1) Pneumothoraks
2) Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3) Atelektasis
4) Aspergillosis bronkopulmoner alergik
5) Gagal napas
6) Bronkitis
7) Fraktur iga
Apabila kondisi asma menetap dan memburuk, dapat terjadi
asidosis respiratorik akibat status asmatikus. Status asmatikus adalah
keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa
yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dan dapat terjadi pada
beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan meningkat
sehingga kebutuhan O2 juga meningkat. Pada pasien yang mengalami
serangan tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 yang disebabkan
spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus dan mukus berlebihan.
Situasi ini dapat menyebabkan pneumothoraks akibat besarnya
tekanan saat ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi
asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.6, 11

f. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah
baik. Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul
semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah
dewasa. Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang
memadai. 13
BAB III

KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. HP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59 Tahun
Alamat : Banggai kepulauan
Pekerjaan : Nelayan
Tanggal Pemeriksaan : 20 Juli 2017
Ruangan : Flamboyan

B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Sesak
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan rujukan dari banggai kepulauan yang akan operasi
katarak akan tetapi sesaat tiba di palu pasien mulai merasakan sesak dan
kesulitan untuk bernafas. Sesak pertama kali muncul saat malam hari namun
memberat beberapa jam setelahnya, pada saat sesak pasien lebih nyaman
dengan posisi duduk dan dapat mengucapkan penggalan kalimat saja. Pasien
pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya, dalam 1 tahun merasakan
sesak kadang tidak pernah atau 1-2 kali serangan. Disertai dengan keluhan
batuk yang mendahului sesak yang dirasakan sejak 4 hari sebelumnya,
berlendir (+) bening (+), nyeri ulu hati (+) perut tersa penuh (+), mual (+)
muntah (-) nyeri pada tulang belakang penurunan bb (-), berkeringat malam (-
), demam (-), sakit kepala (+), buang air besar dan buang air kecil lancar.

Riwayat penyakit terdahulu:


- Riwayat sesak sudah dialami sejak kecil, riwayat menggunakan berotec.
- Riwayat alergi makanan (+) : pasien gatal jikan makan ikan tertentu.
- Riwayat HT (-) DM (-) asam urat belum pernah diperiksa
Riwayat penyakit keluarga:
- Tidak ada dalam keluarga yang menderita keluhan yang sama.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Sakit sedang / Compos Mentis
BB : 58 kg
TB : 155 cm
IMT : 58/(1,55)2
: 24,1 (overweight)

2. Tanda vital :
TD : 110/70 mmHg Pernapasan : 28 kali/menit
Nadi : 82 kali/menit Suhu : 36,9 0C

3. Kepala :
Wajah : Pucat (-), Sianosis (-), Edema (-) Jejas (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam
Mata : - Konjungtiva: anemis -/-
- Sklera : ikterus -/-
- Pupil : isokor, diameter + 2 mm/2 mm
Mulut : Hiperemis (-), Ulkus (-), Lidah kotor (-)

4. Leher :
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : Simetris, mengikuti gerakan menelan, pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada

5. Dada
Paru-paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : Vocal premitus sama pada kiri dan kanan, nyeri tekan (-),
massa (-)
- Perkusi : Sonor lapangan paru kiri dan kanan
- Auskultasi : Bronkhovesikuler +/+, Rh -/-, Wh +/+

6. Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI midclavicula sinistra
- Perkusi :
- Batas kanan atas SIC II linea parasternalis dextra.
- Batas kanan bawah SIC IV Linea parasternalis dextra.
- Batas kiri atas SIC II linea parasternalis sinistra.
- Batas kiri bawah SIC VI linea midclavicula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, bising (-) Gallop (-)

7. Perut :
- Inspeksi : kesan datar
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (+) epigastrium
- Perkusi : Tympani pada 4 kuadran abdomen

8. Anggota gerak :
- Atas : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
- Bawah : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak

D. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN
( 19 Juli 2017)
WBC 9,62 x 103/mm3 4,0-10,0
Eosinofil 6,1% 2-4%
Basofil 0,2% 0-1%
Neutrofil 72,7% 50-70%
Limfosit 14,1% 25-40%
Monosit 6,9% 2-8%
RBC 5,45 x 106/mm3 3,80-5,80
PLT 221 x 103/mm3 150-500
HGB 15,6 g/dl 12,0-18,0
Kolesterol total 266,1 mg/dl 50-200 mg/dl
Ureum 25,4 mg/dl 15,0-43,2 mg/dl
Kreatinin 0,87 mg/dl 0,80-1,30 mg/dl
GDS 94,3 mg/dl 70-14- mg/dl

Urinalisis (19 juli 1017)


Parameter Hasil Nilai rujukan
PH 5,5 <6,5 = asam
>65 = basa
Berat jenis 1,025
Protein (+/-) (-) negative
Glukosa (-) (-) negative
Keton (-) (-) negative
Bilirubin (-) (-) negative
Urobilinogen normal Normal
Nitrit (+) (-) negative
Leukosit (+2) (-) negative
Eritrosit (-) (-) negative
Sedimen
- Leukosit (+) penuh 0-2
- Eritrosit 2 0-1
- Silinder (-) (-) negatif
- Epitel (+) (+) positif
- Kristal (-) (-) negative

E. Resume

Pasien laki-laki 59 tahun masuk kerumah sakit dengan keluhan sesak sejak 3 hari
yang lalu, muncul saat malam hari dan terus memberat. Pasien masih dapat
berbicara penggalan kalimat dan lebih nyaman dengan posisi duduk. Batuk (+),
lendir (+) warna bening, nyeri ulu hati (+), mual (+), nyeri pinggang (+) riwayat
sesak sejak kecil, riwayat penggunaan berotec. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
TD: 110/70 mmHg, Pernapasan: 28 kali/menit, Nadi: 82 kali/menit, Suhu: 36,90C.
Konjungtiva anemis -/-, ikterus -/-, pemeriksaan thorax pada auskultasi
didapatkan adanya suara nafas bronkovesikuler, wheezing +/+, abdomen nyeri
tekan (+) epigastrium

F. Diagnosis Kerja

Asma bronchial + dyspepsia + ISK

G. Defirential diagnosis

Bronkitis
H. Penatalaksanaan

1. Non Medikamentosa:
- Istirahat yang cukup
- Menghindari pencetus asma dengan pakai baju yang hangat jika keluar
malam atau pada cuaca dingin, memakai masker jika memberihkan rumah
2. Medikamentosa:
- IVFD RL 20 Tpm
- O2 3-4 lpm
- Nebuizer combivent / 8 jam
- Aminofilin amp/drips/12 jam
- Dexamethasone amp/inj/ 12 jam
- Salbutamol 2 mg 3x1
- Cefixime 100 mg 2x1
- Lansoprazole 30 mg 1x1
- Ranitidine 150 mg 2x1

I. Anjuran Pemeriksaan:
1. Foto Thorax
2. spirometri

J. Diagnosis Akhir

Asma bronchial

K. Prognosis

Dubia et bonam

L. Follow Up
Tanggal : 19 Juli 2017
S : sesak (+), batuk (+), nyeri ulu hati(+)
O : TTV :
TD : 110/70 mmHg
N : 82x/menit
R : 22x/menit
Pemeriksaan Fisik :
Wheezing (+/+)
A : Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 tpm
O2 3-4 lpm
Nebuizer combivent / 8 jam
Ambroxol 3x1
Salbutamol 4 mg 3x1
Metilprednisolone 3x1
Ambroxol 3x1
Cefixime 100 mg 2x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Ranitidine 150 mg 2x1
Foto Thorax PA

Tanggal : 20 Juli 2017

S : batuk (+) disertai lendir, sesak (+), nyeri ulu hati (-)
O : TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 84x/menit
R : 20x/menit
Pemeriksaan Fisik
Wheezing (+/-)
Foto Thoraks :
Bronchitis
Cardiomegali
Tulang intak
A : Asma Bronkial
P : IVFD RL 18 tpm
Nebuizer combivent / 8 jam
Ambroxol 3x1
Salbutamol 4 mg 3x1
Methylprednisolon 3x1
Cefixime 100 mg 2x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Ranitidine 150 mg 2x1

Tanggal : 21 Mei 2017

S : batuk (+) berlendir, sesak (-), nyeri ulu hati (-)


O : TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 80x/menit
R : 20x/menit
Pemeriksaan Fisik :
Wheezing (-/-)
A : Asma Bronkial
P : AFF Infus
Ambroxol 3x1
Salbutamol 4 mg 3x1
Methylprednisolon 3x1
Cefixime 100 mg 2x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Ranitidine 150 mg 2x1
BAB IV
PEMBAHASAN

Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernapas, batuk,


dada sesak dan adanya mengi episodik. Gejala asma dapat terjadi secara spontan atau
mungkin diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi asma
semakin memburuk di malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan reaktivitas
bronkus mencapai titik terendah antara jam 3 4 pagi, meningkatkan gejala
bronkokontriksi.
Pada saat serangan pasien sesak dan berbicara dengan potongan kalimat,
kesadarannya baik namun sulit berjalan dan lebih nyaman dengan posisi duduk. Oleh
karena itu derajat seragan asma pada pasien ini adalah sedang. Berdasarkan teori,
derajat serangan sedang ditandai pasien mampu berjalan namun terbatas, kalimat
terbatas, kesadaran biasanya terganggu, tapi dalam penentuan klasifikasi tidak harus
memenuhi semua parameter (tabel 2).
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga
saturasi O2 arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan
nafas dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis dan
antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan
dengan pemberian kortikosteroid sistemik lebih awal.
Pemberian O2 pada pasien ini sekitar 3-4 liter per menit dengan tujuan untuk
memelihara saturasi O2 yang cukup (SaO2 92%), sehingga apabila telah mencukupi,
maka inhalasi O2 tidak diperlukan lagi. Pemberian kombinasi antara salbutamol dan
ipratropium Br (combivent) memberikan efek bronkodilatasi. Kombinasi ini
diberikan melalui inhalasi dengan menggunakan nebulizer untuk target sasaran
pengobatan di saluran pernapasan. Efek lokal yang diharapkan lebih maksimal dan
efek samping seminimal mungkin. Kombinasi antara 2-Agonis dan antikolinergik
dengan nama dagang Combivent digunakan didalam terapi. Obat ini terdiri atas
Salbutamol sulphate 2.5 mg dan Ipratropium Br 0.5 mg dengan kemasan vial 2,5 ml.
Dosis pemberiannya adalah 0,5-1 vial unit dosis setiap 1 sampai 2 jam dan
dilanjutkan setiap 4 sampai 6 jam melalui rute inhalasi (nebulisasi). Kombinasi antara
inhalasi 2-agonis dan antikolinergik (ipatropium bromida) dipercaya dapat
memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Pemberian antikolinergik secara
inhalasi memiliki mekanisme kerja yaitu memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan.
Agonis beta-2 kerja singkat (SABA) yang termasuk golongan ini adalah
salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang
lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana
agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan
mediator dari sel mast. Terapi inhalasi ditujukan untuk target sasaran di saluran
napas. Terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat dan dosis obat lebih kecil,
sehingga efek samping ke organ lain lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan
masuk di saluran napas dan paru, sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di
mulut dan tenggorokan. Pemberian obat dalam bentuk inhalasi ini ditujukan untuk
memberikan efek lokal yang maksimal dan memberikan efek samping yang
seminimal mungkin.
Didalam terapi juga digunakan obat golongan 2-Agonis, yaitu Salbutamol
dengan rute peroral. Obat simpatomimetik selektif 2 ini memiliki manfaat yang
besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Pemberian langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang
menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik.
Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh karena itu obat-obat
antiinflamasi berguna untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran napas.
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak digunakan
dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara lokal
maupun secara sistemik. Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang
paling efektif untuk mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses
inflamasi dan mencegah timbulnya berbagai gejala pada pasien asma. Kortikosteroid
saat ini diberikan segera pada serangan akut maupun kronik untuk mengatasi secara
cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat serangan asma.
Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai
anti inflamsi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitikon dan kemokin,
menghambat sintesis eikosaniod, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan
lekosit lain dijaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.
Selain itu pada pasien juga mengeluhkan adanya batuk sehingga terapi yang
diberikan yaitu Ambroxol. Obat golongan mukolitik merupakan obat batuk yang
bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan memecah
benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Agen mukolitik
berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada
ikatan komponen mukoprotein.
DAFTAR PUSTAKA

1.
World Health Organization [WHO]. Asthma. 2013. Online :
http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ diakses 3 Januari 2017
2.
Dumbi, S.A.N. Faktor Resiko Penyebab Asma Bronkial (Suatu Penelitian di
Wilayah Kerja Puskesmas Dulalowo). 2013; 1-10
3.
Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. You Can Control
Your Asthma. 2013; ISSN 2442-7659
4.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC; 2011
5.
Alsagaff H., Mukty A. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar Dasar Ilmu
Penyakit Paru Edisi 6. Surabaya: Airlangga University Press; 2009
6.
Corwin J.E. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC; 2008
7.
Manurung DC., Nasrlu E., Medison I. Gambaran Jumlah Eusinofil Darah Tepi
Penderita Asma Bronkial di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2(3): 122-126
8.
Renggaris, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008; 58(11): 444-451
9.
Katerine., Medison I., Rustam E. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai
Asma Dengan Tingkat Kontrol Asma. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1): 58-
62
10.
Mescher A.L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas Edisi 12. Jakarta: EGC;
2011
11.
Ekarini, N.P. Analisis Faktor Faktor Pemicu Dominan Terjadinya Serangan Asma
Pada Pasien Asma. 2012: 62-74
12.
Wendt, J.K., Symanski, E., Du, L.X. Estimation of Asthma Incidence Among
Low-Income Children in Texas. American Journal of Epidemiology. 2012;
176(8): 744-750
13.
Sundaru H., Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014

Vous aimerez peut-être aussi