Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1,2
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia, diperkirakan
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Di Amerika, Asma
menjadi penyebab ke-3 tertinggi kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun, dapat
terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta
penderita Asma di Indonesia. Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia
menunjukkan prevalensi Asma yang bervariasi, di Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%;
Yogyakarta 10,5%. Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada anak berusia 13-14 tahun melaporkan prevalensi Asma di
Indonesia sebesar 2,1% pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
2.3
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi,
batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur
status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. 4,5
TINJAUAN PUSTAKA
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di
belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus
fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang
lubang esofagus).1,2
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang
biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang tulang rawan yang
berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.1,2
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput
lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah
luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat
yang dilapisi oleh otot polos. 1
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada
2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus
itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus
kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8
cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping
dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus
bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). 1,2,8
Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli
terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli Paru-paru Paru-
paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel
dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m. Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. 1,2,8
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat
yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada
datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada
bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru. 2,9
2. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. 1
3. Epidemiologi
4. Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti
bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah.
a) Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. 3,4
b) Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat. 4,10
5. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
a) Faktor Genetik , yaitu :
Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. 4,10
Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14
tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak. 5,10
Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan
faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat
mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum
jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 5,6
b) Faktor lingkungan
Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3,9
c) Faktor lain
Alergen makanan
Alergen obat-obatan tertentu
Bahan yang mengiritasi
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
Exercise-induced asthma
Perubahan cuaca.5,6
6. Patomekanisme
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin. 7
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator
seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
4,10
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym
dan metaloprotease sel epitel. 5,10
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma
adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan
mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa
serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase
(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas. 6
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF. 4,10
Gambar 7. Inflamasi dan remodeling pada asma
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas.4,5
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 5,10
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2
7. Diagnosis
a) Gejala asma bronchial
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit
ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis.
Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat
diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru
digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi
fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah
dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi
asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma,
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. 5,10
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara
lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,
merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang
sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas
karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,
terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa
kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak
dengan bau bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja,
obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
3,4
d. Penatalaksanaan
Medikasi Asma: Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol.
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal
dalam waktu satu bulan.
Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi
otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk,
tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk pelega adalah: Agonis beta2 kerja singkat,
Antikolinergik , Aminofillin, dan Adrenalin. 6,7
Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka
panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua
f. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah
baik. Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul
semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah
dewasa. Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang
memadai. 13
BAB III
KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. HP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59 Tahun
Alamat : Banggai kepulauan
Pekerjaan : Nelayan
Tanggal Pemeriksaan : 20 Juli 2017
Ruangan : Flamboyan
B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Sesak
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan rujukan dari banggai kepulauan yang akan operasi
katarak akan tetapi sesaat tiba di palu pasien mulai merasakan sesak dan
kesulitan untuk bernafas. Sesak pertama kali muncul saat malam hari namun
memberat beberapa jam setelahnya, pada saat sesak pasien lebih nyaman
dengan posisi duduk dan dapat mengucapkan penggalan kalimat saja. Pasien
pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya, dalam 1 tahun merasakan
sesak kadang tidak pernah atau 1-2 kali serangan. Disertai dengan keluhan
batuk yang mendahului sesak yang dirasakan sejak 4 hari sebelumnya,
berlendir (+) bening (+), nyeri ulu hati (+) perut tersa penuh (+), mual (+)
muntah (-) nyeri pada tulang belakang penurunan bb (-), berkeringat malam (-
), demam (-), sakit kepala (+), buang air besar dan buang air kecil lancar.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Sakit sedang / Compos Mentis
BB : 58 kg
TB : 155 cm
IMT : 58/(1,55)2
: 24,1 (overweight)
2. Tanda vital :
TD : 110/70 mmHg Pernapasan : 28 kali/menit
Nadi : 82 kali/menit Suhu : 36,9 0C
3. Kepala :
Wajah : Pucat (-), Sianosis (-), Edema (-) Jejas (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam
Mata : - Konjungtiva: anemis -/-
- Sklera : ikterus -/-
- Pupil : isokor, diameter + 2 mm/2 mm
Mulut : Hiperemis (-), Ulkus (-), Lidah kotor (-)
4. Leher :
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : Simetris, mengikuti gerakan menelan, pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada
5. Dada
Paru-paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : Vocal premitus sama pada kiri dan kanan, nyeri tekan (-),
massa (-)
- Perkusi : Sonor lapangan paru kiri dan kanan
- Auskultasi : Bronkhovesikuler +/+, Rh -/-, Wh +/+
6. Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI midclavicula sinistra
- Perkusi :
- Batas kanan atas SIC II linea parasternalis dextra.
- Batas kanan bawah SIC IV Linea parasternalis dextra.
- Batas kiri atas SIC II linea parasternalis sinistra.
- Batas kiri bawah SIC VI linea midclavicula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, bising (-) Gallop (-)
7. Perut :
- Inspeksi : kesan datar
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (+) epigastrium
- Perkusi : Tympani pada 4 kuadran abdomen
8. Anggota gerak :
- Atas : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
- Bawah : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
E. Resume
Pasien laki-laki 59 tahun masuk kerumah sakit dengan keluhan sesak sejak 3 hari
yang lalu, muncul saat malam hari dan terus memberat. Pasien masih dapat
berbicara penggalan kalimat dan lebih nyaman dengan posisi duduk. Batuk (+),
lendir (+) warna bening, nyeri ulu hati (+), mual (+), nyeri pinggang (+) riwayat
sesak sejak kecil, riwayat penggunaan berotec. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
TD: 110/70 mmHg, Pernapasan: 28 kali/menit, Nadi: 82 kali/menit, Suhu: 36,90C.
Konjungtiva anemis -/-, ikterus -/-, pemeriksaan thorax pada auskultasi
didapatkan adanya suara nafas bronkovesikuler, wheezing +/+, abdomen nyeri
tekan (+) epigastrium
F. Diagnosis Kerja
G. Defirential diagnosis
Bronkitis
H. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa:
- Istirahat yang cukup
- Menghindari pencetus asma dengan pakai baju yang hangat jika keluar
malam atau pada cuaca dingin, memakai masker jika memberihkan rumah
2. Medikamentosa:
- IVFD RL 20 Tpm
- O2 3-4 lpm
- Nebuizer combivent / 8 jam
- Aminofilin amp/drips/12 jam
- Dexamethasone amp/inj/ 12 jam
- Salbutamol 2 mg 3x1
- Cefixime 100 mg 2x1
- Lansoprazole 30 mg 1x1
- Ranitidine 150 mg 2x1
I. Anjuran Pemeriksaan:
1. Foto Thorax
2. spirometri
J. Diagnosis Akhir
Asma bronchial
K. Prognosis
Dubia et bonam
L. Follow Up
Tanggal : 19 Juli 2017
S : sesak (+), batuk (+), nyeri ulu hati(+)
O : TTV :
TD : 110/70 mmHg
N : 82x/menit
R : 22x/menit
Pemeriksaan Fisik :
Wheezing (+/+)
A : Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 tpm
O2 3-4 lpm
Nebuizer combivent / 8 jam
Ambroxol 3x1
Salbutamol 4 mg 3x1
Metilprednisolone 3x1
Ambroxol 3x1
Cefixime 100 mg 2x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Ranitidine 150 mg 2x1
Foto Thorax PA
S : batuk (+) disertai lendir, sesak (+), nyeri ulu hati (-)
O : TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 84x/menit
R : 20x/menit
Pemeriksaan Fisik
Wheezing (+/-)
Foto Thoraks :
Bronchitis
Cardiomegali
Tulang intak
A : Asma Bronkial
P : IVFD RL 18 tpm
Nebuizer combivent / 8 jam
Ambroxol 3x1
Salbutamol 4 mg 3x1
Methylprednisolon 3x1
Cefixime 100 mg 2x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Ranitidine 150 mg 2x1
1.
World Health Organization [WHO]. Asthma. 2013. Online :
http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ diakses 3 Januari 2017
2.
Dumbi, S.A.N. Faktor Resiko Penyebab Asma Bronkial (Suatu Penelitian di
Wilayah Kerja Puskesmas Dulalowo). 2013; 1-10
3.
Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. You Can Control
Your Asthma. 2013; ISSN 2442-7659
4.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC; 2011
5.
Alsagaff H., Mukty A. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar Dasar Ilmu
Penyakit Paru Edisi 6. Surabaya: Airlangga University Press; 2009
6.
Corwin J.E. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC; 2008
7.
Manurung DC., Nasrlu E., Medison I. Gambaran Jumlah Eusinofil Darah Tepi
Penderita Asma Bronkial di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2(3): 122-126
8.
Renggaris, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008; 58(11): 444-451
9.
Katerine., Medison I., Rustam E. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai
Asma Dengan Tingkat Kontrol Asma. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1): 58-
62
10.
Mescher A.L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas Edisi 12. Jakarta: EGC;
2011
11.
Ekarini, N.P. Analisis Faktor Faktor Pemicu Dominan Terjadinya Serangan Asma
Pada Pasien Asma. 2012: 62-74
12.
Wendt, J.K., Symanski, E., Du, L.X. Estimation of Asthma Incidence Among
Low-Income Children in Texas. American Journal of Epidemiology. 2012;
176(8): 744-750
13.
Sundaru H., Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014