Vous êtes sur la page 1sur 14

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE


(CVA-SAH)

Disusun Oleh :

Eky Madyaning Nastiti


NIM. 0910721004

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE


(CVA-SAH)

I. DEFINISI
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu pada setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai
arteri otak.( Sylvia A. Price, 2006 )
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada tahun 2009
mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke perdarahan dimana darah dari
pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu ruang di antara lapisan dalam (Pia mater)
dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling
umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.

II. EPIDEMIOLOGI
Stroke perdarahan subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh dunia,
menyebabkan kecacatan dan kematian. Terjadi sekitar 5-15% dari kejadian seluruh kejadian
stroke. Perdarahan Subarachnoid biasanya didapatkan pada usia dewasa muda baik pada laki-laki
maupun perempuan. Insidens perdarahan subarachnoid meningkat seiring umur dan lebih tinggi
pada wanita daripada laki-laki. Populasi yang terkena kasus perdarahan subarachnoid bervariasi
dari 6 ke 16 kasus per 100.000, dengan jumlah kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan Jepang.
Selama kehamilan, resiko untuk terjadinya rupture malformasi arteriovenous meningkat,
terutama pada trimester ketiga kehamilan.

III. ETIOLOGI
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma

IV. FAKTOR RISIKO


Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma SAH menurut
Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010) meliputi:
Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
Hipertensi
Merokok
Atherosklerosis
Kontrasepsi oral
Usia lanjut
Jenis kelamin
Pecandu alkohol berat

V. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh rupturnya
aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid dipenuhi dengan eritrosit
di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil di otak. Beberapa eritrosit akan
berikatan menjadi bekuan pada area perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan
dengan arachnoid villi dan trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga
berpindah dari ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki ruang
subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah eritrosit di CSF
atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989). Keadaan ini menyebabkan aliran
darah ke otak menjadi berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak
dan lama-lama akan menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan gangguan/
kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih hidup, sering mengalami
kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia, kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan
gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam American Association of Neuroscience Nurses,
2009).

VI. MANIFESTASI KLINIS


Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH dapat
dilihat dari derajat nya, yaitu:

Derajat GCS Gejala


1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku kuduk
ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit neurologis
fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan
desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.

Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis Nyeri kepala
mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku
kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia, hemiparesis,
hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh) . Kesadaran sering
terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat
terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et
al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan subarochnoid
yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda dengan sakit kepala biasa),
onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit kepalanya sedemikian rupa sehingga
mengganggu aktivitas yang dilaksanakan oleh penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian
diikuti nyeri dan kekakuan pada leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%)
kesadaran hilang umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%)
perdarahan subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya onset saat
melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang menetap selama beberapa
hari.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Radiologis
- CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa bentuk
berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian membentuk sesuatu yang secara
normal berwarna gelap muncul menjadi putih. Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk
bintang putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.

Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura sylvian, atau
fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular aneurysma. Darah berada di atas
konfeksitas atau dalam parenkim superfisial otak sering mengindikasikan arteriovenous
malformation atau mycotic aneurysm rupture (AANN, 2009).
- Pungsi lumbar
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna kuning yang
disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas pemeriksaan ini lebih besar
dari 99% (AANN, 2009).
- CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
- Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.

b. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis setelah
terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et al., 2009).
- Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis (Weiner, 2000).
- Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
- Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.

VIII. PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan umum
a) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan intensif atau lebih
baik di unit perawatan neurologis.
b) Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi pengunjung sampai
aneurisma ditangani.
c) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM setiap 4 jam).
d) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV setiap 8-12 jam)
atau lansoprazol (30 mg PO sehari)
e) Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan rangkaian
peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari) setelah terapi aneurisma.
f) Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum terapi
aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
g) Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale atau infus kontinu
insulin jika perlu
h) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada 37,2 0C; berikan asetaminofen/parasetamol (325-650
mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan peralatan cooling bila diperlukan.
i) Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).
j) Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama, 5 g IV
dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)
k) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat (15-45
mg/kg/hari PO atau IV)
l) Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul vasospasme
serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau PCWP (pulmonal capillary wedge
pressure) 12-16 mmHg.
m) Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain, lebih baik
pemberian makanan enteral.

2. Terapi lain
a) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
b) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama

3. Komplikasi umum
a) Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau lumbar.
b) Perdarahan ulang. Berikan terapi suportif dan terapu darurat aneurisma.
c) Vasospasme serebri. Beri nimodipin; pertahankan hipervolemi atau hipertensi yang diinduksi
dengan fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin; terapi endovascular (angioplasti transluminal
atau vasodilator langsung)
d) Bangkitan. Lorazepam (0,1 mg/kg, dengan kecepatan 2 mg/menit) atau diazepam 5-10 mg,
dilanjutkan dengan fenitoin (20 mg/kg IV bolus dengan kecepatan < 50 mg/menit sampai
dengan 30 mg/kg).
e) Hiponatremia. Pada SIADH: restriksi cairan; Pada serebral salt wasting syndrome: secara
agresif gantikan kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl atau NaCl hipertonis.
f) Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x sehari); evaluasi fungsi ventrikel; tangani
aritmia
g) Edema pulmonal. Berikan suplementasi oksigen atau ventilasi mekanik bila perlu

4. Perawatan jangka panjang


a) Rehabilitasi. Terapi fisik, pekerjaan, dan bicara
b) Evaluasi neuropsikologis. Lakukan pemeriksaan global dan domain specifik, rehabilitasi
kognitif
c) Depresi. Pengobatan antidepresan dan psikoterapi
d) Nyeri kepala kronis. NSAIDs, Antidepresan trisiklik, atau SSRIs; gabapetin.

TERAPI MEDIKAMENTOSA :
1. Edatif tranquilizer : fenobarbital (luminal) dan diazepam (valium)
Untuk menghindari kegelisahan dan tensi yang meningkat
2. Antiemetik : dimenhidrat
3. Analgetika : kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan fentanil
4. Antikonvulsan : fenitoin (dilantin), karbamazepin, fenobarbital
dengan dosis 30 mg peroral 3 kali perhari
5. Pencahar : diotil Na, sulfosuksinat, psilium hidrofilik musiloid
sedium 100 mg peroral perhari
6. Antasida : magnesium aluminium hidroksida, simetidin, ranitidin
7. Diuretik/ antiedema : furosemid (lasix), manitol
8. Steroid : deksametason (oradexon, kalmethasone)
9. Antifibrinolitik : epsilon-amino-kaproat (amicar), asam traneksamik
Pemberian anti fibrolitik dianggap bermanfaat untuk memecah
perdarahan ulang akibat lisis atau bekuan darah ditempat yang
mengalami perdarahan
10.Antidiuretik : vasopresin (pitresin)
11.Obat hipotensif intrakranial : tiopental (pentotal)
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID
HEMORRHAGE (CVA-SAH)

I. PENGKAJIAN
Anamnesis
a) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosa medis.
b) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis.
Keluhan yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak, adanya tanda
rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk),
penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia, hemiparesis,
hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).
c) Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat trauma,
riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan aktivitas, keluhan
pada gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, di
samping gejala kelumpuhan separuh badan atau ganggguan fungsi otak yang lain, selisah,
letargi, lelah, apatis, perubahan pupil, dll.
d) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif,
antidepresan, atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat trauma
kepala, kelainan kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.
e) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang menderita
hipertensi atau diabetes.
f) Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
g) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul pada
klien seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
h) Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.

PEMERIKSAAN FISIK
a) Tingkat kesadaran
Tingkat Responsivitas Klinis
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama kali
terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam mengikuti
perintah sederhana atau berbicara satu kata atau frase pendek.
Semikomatosa Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah, atau
berbicara koheren.
koma Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika distimulasi atau
dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.

Respon motorik Respon verbal Membuka mata


Menurut 6 Orientasi 5 Spontan 4
Terlokalisasi 5 Bingung 4 Terhadap panggilan 3
Menghindar 4 Kata tidak dimengerti 3 Terhadap nyeri 2
Fleksi abnormal 3 Hanya suara 2 Tidak dapat 1
Ekstensi abnormal 2 Tidak ada 1
Tidak ada 1

b) Keadaan umum
penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami ganguan
akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya
gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi)
1. Sistem Integumen
Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan kebiruan
kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada penekanan pada kulit yang
lama akan timbul dekubitus.
Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak kebiruan
2. Pemeriksaan Kepala atau Leher
Bentuk normal simetris
Bentuk kadang tidak simetris karena adanya kelumpuhan otot daerah muka tampak
gangguan pada mata kadaan onga mulut kotor karena kuang perawatan diri .
Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid tidak ada .
3. Sistem pernafasan
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstrusi jalan nafas, kelumpuhan otot
pernafasan penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat suara nafas ronchi dan
whezing.
4. Sistem kardio vaskuler
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi, tekanan intrakranial
meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau normal .
5. Sistem pencernaan
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus, gangguan BAB baik
konstipasi atau diare .
6. Ekstrimitas
Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai ROM : 2, serta kelumpuhan.
7. Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi kandung kencing, serta
didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.

c) Saraf Kranial
Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan) : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat kelopak mata, troklearis, dan
abdusens) : Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf Kranial V (trigeminus) : paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.
Saraf Kranial VII (fasialis) : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis) : tidak dietmukan tuli konduktif dan tuli perseptif.
Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) : Kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
Saraf Kranial XI (aksesoris) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius.
Saraf Kranial XII (hipoglosus) : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pemeriksaan neurologis
1. Tanda-tanda rangsangan meningen
Kaku kuduk umumnya positif, tanda kernig umumnya positif, tanda brudzinsky I, II, III, IV
umumnya positif, babinsky umumnya positif.
2. Pemeriksaan fungsi sensorik
Terdapat gangguan penglihatan, pendengaran atau pembicaraan.

d) Sistem Motorik
Refleks : pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
Gerakan involunter :pada umumnya kejang.
e) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Temporal Parietal

Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis setelah
terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik
adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi
Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau perubahan segmen ST (Dewanto et al.,
2009)
CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak awitan.
Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.
CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi
dengan CT Scan atau LP

II. PATHWAY
Ruptur aneurisma sakular, Malformasi arteriovena, Ruptur aneurisma fusiform, Ruptur
aneurisma mikotik, Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan
gangguan pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma

Pembuluh darah pecah

Ekstravasasi darah dari pembuluh darah arteri di otak

Masuk ke dalam ruang subarakhnoid

Menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis

Penekanan Edema serebri Infark serebri


jaringan otak

Risiko peningkatan TIK Penurunan perfusi jaringan serebral


CVA

Defisit neurologis

Frontal Dominan Nondomnian Oksipital

Gangguan Afasia (tidak Gangguan Disorientasi Kemampuan


Gangguan :
mampu berbicara sensorik Apraksia penglihatan
penilaian memori
(kehilangan
Kejang dan menulis) bilateral berkurang
,penampilan kemampuan
dan buta
psikomotor Agrafia (kehilangan melakukan
Gangguan
Tuli kemampuan gerakan
afek&proses bertujuan)
Konfabulasi menulis)
pikir,fungsi Distorsi Risiko
(mengingat Agnosia (tidak konsep ruang
motorik cidera
pengalaman mampu mengenali Hilang
strimuli sensori) kesadaran
Kehilangan imajiner) pada sisi
kontrol tubuh yang
volunter berlawanan
Kerusakan
komunikasi
verbal Penurunan
Hemiplegia dan kesadaran
hemiparese
Ketidakefektifan
Kerusakan
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN Defisit perawatan diri: bersihan jalan nafas
mobilitas
1. fisik
Risiko peningkatan TIK dan
yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial,
Mandi eliminasi
penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri,
oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia, kelemahan
neuromuskular pada ekstremitas.
5. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas lapang pandang.
6. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
7. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara
pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara
umum.

IV. INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial,
penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab koma/ Memperioritaskan intervensi, status
penurnan perfusi jaringan dan neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk
kemungkinan penyebab peningkatan TIK menentukan kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebri
terpelihara dengan baik. Peningkatan TD,
bradikardi, disritmia, dispnea merupakan
tanda peningkatan TIK. Peningkatan
kebutuhan metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola
mata merupakan tanda dari gangguan saraf
jika batang otak terkoyak.
Keseimbangansaraf antara simpatis dan
parasimpatis merupakan respons refleks
saraf kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku Tingkah laku non verbal merupakan indikasi
pada pgi hari. peningkatan TIK atau memberikan refleks
nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluha secara verbal.
Palpasi pembesaran bladder dan monitor Dapat meningkatkan respon otomatis yang
adanya konstipasi. potensial menaikkan TIK.
Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna untuk
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri,


oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam perfusi jaringan otak
dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala , mual, kejang tidak ada
- GCS 456
- Pupil isokor
- Refleks cahaya +
- TTV dalam rentang normal (TD: 110-120/80-90 mmHg; nadi: 60-100 x/menit; suhu:
36,5-37,50C; RR: 16-20 x/menit)
Intervensi Rasional
Tirah baring tanpa bantal. Menurunkan resiko terjadinya herniasi
otak.
Monitor asupan dan keluaran. Mencegah terjadinya dehidrasi.
Batasi pengunjung. Rangsangan aktivitas dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
Kolaborasi:
Cairan perinfus dengan ketat. Meminimalkan fluktuasi pada beban
vaskuler dan TIK, restriksi cairan dan cairan
dapat menurunkan edema.
Monitor AGD bila perlu O2 tambahan. Adanya asidosis disertai pelepasan O2 pada
tingkat sel dapat menyebabkan iskemia
serebri.
Steroid Menurunkan permeabilitas kapiler
Aminofel. Menurunkan edema serebri
Antibiotik Menurunkan konsumsi sel/ metabolik dan
kejang.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,


penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu meningkatkan dan
mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Klriteria hasil:
- Bunyi nafas bersih
- Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
- Dapat melakukan batuk efektif
- RR 16-20 x/menit
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena akumulasi sekret ata sisa
cairan mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan dada dan Pergerakan dada simetris dengan suara nafas dari paru-
auskultasi kedua lapang paru. paru mengindikasikan tidak ada sumbatan.
Ubah posisi setap 2 jam Mengurangi risiko atelektasis.
dengan teratur.
Kolaborasikan: Mengatur venstilasi dan melepaskan sekret karena
Aminofisil, alupen, dan relaksasi otot.
bronkosol.
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with Aneurysmal
Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC

Vous aimerez peut-être aussi