Vous êtes sur la page 1sur 17

I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

(5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

Penelitian.

1.1. Latar Belakang Masalah

Menurut Lestari (2015), Dodol merupakan makanan tradisional yang

cukup populer yang sudah dikenal sejak zaman dahulu yang diolah dengan cara

tradisional. Saat ini dodol lebih dikenal dengan nama daerah asalnya seperti dodol

Garut, dodol Kudus atau jenang Kudus, gelamai dari Sumatra Barat, dodol durian

atau lempog dari Sumatra dan Kalimatan. Dodol termasuk produk olahan

setengah basah yang padat dan kenyal, produk sejenis yang dibuat secara

tradisional disebut jenang dengan tekstur lebih lembek dan berminyak. Saat ini

dodol sudah dipasarkan lebih luas, terutama di tempat-tempat pariwisata dengan

kemasan yang menarik.

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-2986-1992, dodol

adalah produk makanan yang dibuat dari tepung ketan, santan kelapa, dan gula

dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan

lain yang diizinkan. Dodol mempunyai tekstur lunak, mempunyai sifat elastis,

dapat langsung dimakan, tidak memerlukan pendinginan dan juga cukup kering

sehingga dapat stabil selama penyimpanan.


Dodol termasuk jenis makanan setengah basah (Intermediate Moisture

Food) yang mempunyai kadar air 10-40%, Aw 0,65-0,85, bertekstur lunak,

mempunyai sifat elastis, dapat langsung dimakan, tidak memerlukan pendinginan

dan tahan lama selama penyimpanan (Astawan dan Wahyuni, 1991).

Usaha kecil dan menengah (UKM) dewasa ini banyak menghasilkan

inovasi-inovasi yang berasal dari turun temurun maupun kreatifitas pelaku

usahanya. Salah satunya, UKM dodol kacang merah yang berlokasi di Dawuan

Subang yang menggunakan formulasi produk dan tahapan proses pembuatannya

merupakan resep warisan karuhun yang telah turun menurun (Herminiati dan

Luthfiyanti, 2017).

Menurut Herminiati dan Luthfiyanti (2017), permasalahan yang dihadapi

oleh UKM tersebut adalah daya simpan dodol kacang merah yang biasanya hanya

bertahan 2-3 minggu dengan ditandai mnculnya kapang pada bagian permukaan

dodol, peralatan yang digunakan untuk memarut kelapa dan menggiling kacang

merah masih dilakukan secara manual dengan skala rumah tangga, pengadukan

dodol masih secara manual dengan tenaga manusia, pengemasan dodol kacang

merah masih menggunakan kemasan plastik dan kertas dan dipasarkan secara

curah per kg sehingga pendapatan dari UKM masih kecil. Solusi perbaikan yang

akan dilakukan yaitu menerapkan teknologi proses yang terstandarisasi dengan

acuan SNI dodol nomor 01-2986-1992, memperkenalkan peralatan teknologi tepat

guna guna meningkatkan kapasitas produksi dan memperbaiki kemasan produk

untuk meningkatkan nilai jual dari dodol kacang merah untuk meningkatkan

pendapatan UKM.
Kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) merupakan komoditas kacang-

kacangan yang sangat dikenal masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (2011),

produksi kacang merah di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai

116.397 ton pada tahun 2010. Karena aplikasi yang terbatas dan pendeknya umur

simpan yang dimiliki kacang merah dalam bentuk mentah, maka perlu dilakukan

proses pengolahan secara berkelanjutan untuk memudahkan aplikasinya sebagai

ingredient pangan.

Menurut Farman (2011), Kacang merah (Vigna Angularis) merupakan

sumber serat yang baik, dimana setiap 100 gr kacang merah kering menyediakan

serat sekitar 4 gr , yang terdiri atas serat larut dan juga serat tidak larut. Serat larut

secara signifikan menurunkan gula darah,karena serat larut dapat menurunkan

respon glikemik pangan secara bermakna.

Kacang merah mempunyai kandungan senyawa fungsional golongan

polifenol yaitu prosianidin sebanyak 7-9%. Polifenol mempunyai peran antara lain

sebagai antibakteri yaitu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran

pencernaan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alberto et al.

(2006), bahwa efek antibakteri polifenol dari kulit apel dapat menghambat bakteri

patogen pada manusia seperti E.Coli dan Staphylococcus aureus.

Menurut PerKBPOM No. 7 Tahun 2013, Bahan Tambahan Pangan (BTP)

adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau

bentuk pangan. Bahan Tambahan Pangan (BTP) tidak dimaksudkan untuk

dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku

pangan. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan,

pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau

pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu

komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau

tidak langsung.

Teknologi proses yang diterapkan adalah penggunan bahan tambahan

pangan (BTP) untuk pengawet dodol yang sesuai dengan permenkes RI No 033

2012 yaitu potasium sorbat dengan penggunaan 1 g/kg, natrium propionat dengan

penggunaan maksimal 2 gr/kg dan natrium benzoat dengan penggunaan maksimal

1 gr/kg menganalisis kandungan gizi dalam produk dan menganalisis daya

simpanannya untuk dicantumkan pada label kemasan.

Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan

bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba. Baik

yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan

kesehatan lainnya maupun mikrobial yang nonpatogen yang menyebabkan

kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun di sisi lain, bahan

pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang

masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila macam pemakaian bahan

pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar menimbulkan

kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung misalnya keracunan

ataupun yang tidak bersifat langsung atau komulatif misalnya apabila bahan

pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik. Dalam kehidupan modern seperti

sekarang ini banyak dijumpai pemakaian bahan pengawet secara luas.sebagai


contoh, bahan pangan keluaran pabrik pada umumnya menggunakan bahan

tambahan pangan (food additives) termasuk didalamnya bahan pengawet secara

sengaja ditambahkan agar bahan pangan yang dihasilkan dapat mempertahankan

kualitasnya dan memiliki umur simpan lebih lama sehingga memperluas

jangkauan distribusinya (Cahyadi, 2006).

Menurut Hanifah, dkk (2012), pengertian umum dari kemasan adalah

suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dikemas dan dapat

memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. Adanya kemasan yang dapat

membantu mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di

dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan

getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik

pembeli.

Melindungi bahan pangan dari kontaminasi berarti melindunginya

terhadap mikroorganisme dan kotoran serta terhadap gigitan serangga atau

binatang pengerat lainnya. Melindungi kandungan airnya berarti bahwa makanan

didalamnya tidak boleh menyerap air dari atmosfer dan juga tidak boleh

berkurang kadar airnya. Jadi wadahnya harus kedap air. Perlindungan terhadap

bau dan gas dimaksudkan supaya bau atau gas yang tidak diinginkan tidak dapat

masuk melalui wadah tersebut dan jangan sampai merembes keluar melalui

wadah. Wadah yang rusak karena tekanan atau benturan dapat menyebabkan

makanan di dalamnya juga rusak dalam arti berubah bentuknya (Winarno, 1983).

Menurut Crompton (1979) dalam Mimi (2002), pada kemasan plastik,

perubahan fisiko kimia pada wadah dan makanannya sebenarnya tidak mungkin
dapat dihindari. Industri pangan hanya mampu menekan laju perubahan itu hingga

tingkat minimum sehingga masih memenuhi syarat konsumen.

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan

dibanding bahan pengemas lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat,

termoplatis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat

permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu

berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno, 1983).

Kelobot jagung merupakan bahan kemasan tradisional yang mudah didapat,

murah dan bersifat biodegradable. Kelobot jagung di Indonesia banyak digunakan

sebagai bahan kemasan makanan tradisional, diantaranya wajit Cililin khas Jawa

Barat, dodol Bali khas Denpasar, dan dodol Labusel khas Sumatra Barat. Kelobot

jagung yang dapat digunakan sebagai bahan kemasan adalah kelobot jagung dalam

keadaan kering. Lapisan terbaik yang digunakan sebagai kemasan dodol adalah

lapisan tengah kelobot jagung (Setyowati et al. (2007).

Berbagai jenis produk pangan memiliki sifat atau kriteria masing-masing,

sehingga pengemasan yang kurang tepat justru akan menyebabkan penurunan

mutu dari produk pangan tersebut. Dari berbagai jenis kemasan, kemasan plastik,

kelobot jagung (daun jagung) dan kertas minyak adalah kemasan yang sangat

memungkinkan untuk digunakan sebagai pengemas produk dodol kacang merah,

akan tetapi belum diketahui jenis kemasan yang terbaik yang sesuai dengan sifat

dari dodol kacang merah itu sendiri, sehingga dapat mempertahankan mutu dari

dodol kacang merah.

Aplikasi pembuatan dodol kacang merah dengan penambahan jenis bahan

pengawet yang berbeda dan jenis kemasan yang berbeda ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat keawetan pada dodol serta apakah bahan pengawet dan jenis

kemasan tersebut mempengaruhi daya simpan dodol kacang merah.

Penelitian ini merupakan sebuah pengkajian jenis pengawet yang tepat

serta jenis kemasan yang efisien untuk dodol kacang merah, sehingga digunakan

eksperimen menggunakan jenis bahan pengawet yang berbeda dan jenis kemasan

yang berbeda dan dilihat dari parameter fisik, kimia dan mikrobiologi.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka dapat

diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan dan pengaruh bahan tambahan pangan Natrium

Benzoat, Potasium Sorbat dan Natrium Propionat terhadap umur simpan dodol

kacang merah?

2. Bagaimana pengaruh jenis kemasan plastik poly propilen (PP), daun jagung

kering dan kertas minyak terhadap umur simpan dodol kacang merah?

3. Bagaimana pengaruh variasi bahan pengawet (Natrium Benzoat, Potasium

Sorbat dan Natrium Propionat) dan jenis kemasan (plastik poly propilen (PP),

daun jagung kering dan kertas minyak) terhadap umur simpan dodol kacang

merah?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui umur

simpan dodol kacang merah dengan menggunakan variasi jenis pengemas yang

berbeda dan penambahan bahan tambahan pangan Natrium Benzoat, Potasium


Sorbat dan Natrium Propionat berdasarkan pada karakteristik fisik, kimia dan

mikrobiologi yang diamati pada dodol kacang merah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan umur simpan dodol

kacang merah yang paling optimal dari variasi bahan kemasan yang berbeda dan

bahan tambahan pangan natrium benzoat, potasium sorbat dan natrium propionat

pada dodol kacang merah.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang

bermanfaat tentang umur simpan dodol kacang merah dengan penambahann

bahan tambahan pangan jenis pengawet.

2. Diharapkan pengetahuan mengenai bahan pengawet yang diijinkan dengan

konsentrasi yang sesuai dan jenis kemasan yang terbaik dapat memperpanjang

umur simpan dodol kacang merah sehingga dapat meningkatkan penjualan dan

dapat membantu UKM Enos Dawuan Subang dalam pengembangan produk.

3. Hasil penelititan ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penggunaan bahan

tambahan pangan yang sesuai untuk produk dodol.

4. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan landasan oleh UKM Enos Dawuan

Subang mengenai batas umur simpan dodol kacang merah dengan

menggunakan jenis bahan tambahan pangan dan jenis kemasan yang berbeda.

1.5. Kerangka Pemikiran

Salah satu makanan kudapan tradisional yang cukup digemari oleh

masyarakat Indonesia adalah dodol. Dodol termasuk ke dalam jenis pangan semi
basah yang memiliki karakteristik khas yaitu kadar air yang agak tinggi, tapi nilai

aw-nya cukup rendah, sehingga daya awetnya tidak terlalu singkat, yaitu dapat

mencapai kisaran 1-6 bulan. Salah satu industri rumah tangga di Bogor, tepatnya

di daerah Situgede, sudah mulai mengembangkan pembuatan dodol berbasiskan

talas bentul dengan menggunakan bahan baku berbentuk parutan talas segar. Akan

tetapi, mereka memiliki masalah dengan daya awet produk yang relatif singkat,

yaitu hanya mencapai 10 hari saja. Kerusakan utama dodol adalah tumbuhnya

kapang pada umur simpan 10 hari. Mereka mengharapkan agar umur simpan

dodol talas tersebut dapat ditingkatkan paling tidak hingga mencapai 1 bulan.

Hasyim (2009) menyatakan dodol dapat dikategorikan sebagai makanan

semi basah yang mempunyai kandungan air tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu

rendah serta tahan lama dalam penyimpanan. Makanan semi basah mempunyai

kadar air 20%-50% dan aktivitas air (aw) sebesar 0,7-0,9. Selain memiliki kadar

air yang cukup tinggi, umur simpan pada dodol juga relatif pendek sekitar 4-5

hari. Kerusakan yang terjadi pada dodol diantaranya adalah pertumbuhan jamur

maupun aroma tengik yang timbul pada dodol.

Sebagai makanan semi basah maka dodol rentan akan kerusakan pangan.

Menurut Syamsir (2010), kehilangan mutu dan kerusakan pangan disebabkan oleh

faktor-faktor antara lain karena pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan

sebagai substrat untuk memproduksi toksin di dalam pangan. Selain itu adanya

reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam

lingkungan penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan produk pangan. Serta

kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan)


maupun kontaminasi serangga, maupun bakteri-bakteri lainnya. Setiap reaksi

kimiawi dan enzimatis agar dapat berjalan membutuhkan kondisi lingkungan

yang optimum (misalnya suhu, pH, konsentrasi garam, ketersediaan air, kofaktor

dan faktor lainnya). Sehingga untuk mengontol kerusakan kita harus membuat

kondisi yang dapat menghambat terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki.

Menurut Arpah (2001), penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya

disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah

diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan kontak produk dengan udara,

oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Tingkat deteriorasi produk

dipengaruhi oleh lingkungan penyimpanan seperti suhu lingkungan, kelembaban

lingkungan, kadar Aw bahan, dan lain sebagainya.

Menurut Nollet (1996), beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan

uap air yang terdapat di dalam bahan pangan ke udara di sekitarnya adalah kadar

air, komposisi penyusun makanan, suhu, dan kelembaban udara. Oleh karena itu,

dalam melakukan pengujian umur simpan dari suatu produk pangan, sangatlah

penting untuk mengontrol semua faktor tersebut.

Saptarini (2007) dalam penelitiannya meyatakan, Pengamatan miselium

kapang dilakukan pada minggu 0, 1, 2, 4, 6, 8, dan 10, menunjukkan pertumbuhan

miselium kapang Syncephalastrum racemosum yang mula-mula berwarna putih

dan setelah tua menjadi abu-abu pada permukaan dodol susu dengan konsentrasi

pengawet 0,05 dan 0,10% pada semua jenis pengawet yang digunakan, sedangkan

pada permukaan dodol susu dengan konsentrasi pengawet 0,15 dan 0,20% sampai

minggu ke-10 tidak terlihat adanya pertumbuhan miselium kapang. Hasil


pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pengawet yang

digunakan maka semakin tinggi aktivitas antimikroba pengawet tersebut, di mana

efektivitas pengawet ditunyadijukkan dari penurunan jumlah satuan pembentuk

koloni kapang dibandingkan dengan jumlah satuan pembentuk koloni kapang

pada awal inokulasi (minggu ke-0).

Menurut Cahyadi (2008), bahan pengawet akan menghambat atau

membunuh mikroba yang penting dan kemudian memecah senyawa berbahaya

menjadi tidak berbahaya dan tidak menjadi toksik. Bahan pengawet akan

mempengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi

tertentu. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba

bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya hambatan

ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan.

Menurut Cahyadi (2008), penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat,

baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk

mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif mengawetkan pangan lainnya

karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak

yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak

ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan

dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan seperti boraks dan formalin.

Menurut Rimbawan (2001), jenis pengawet yang umum digunakan pada

makanan dan minuman adalah asam benzoat dan asam sorbat. Biasanya pengawet

ini digunakan dalam bentuk garamnya karena bersifat lebih larut air dari pada
bentuk asamnya. Tujuan penambahan pengawet ini adalah untuk mencegah

pertumbuhan bakteri, jamur dan kapang.

Bahan makanan atau minuman yang menggunakan bahan pengawet seperti

natrium benzoat dan kalium sorbat, jika dikonsumsi secara terus menerus akan

terakumulasi dan menimbulkan efek yang merugikan bagi kesehatan. Penggunaan

pengawet tersebut dalam jangka panjang dapat menimbulkan penyakit Lupus atau

Systemic Lupus Erithematosus (SLE). Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 033

tahun 2012, batas maksimum penggunaan natrium benzoate pada makanan sejenis

yaitu 1 g/kg, kalium sorbat dalam makanan sejenis jam atau selai yaitu 1 g/kg dan

natrium propionat dalam makanan sejenis yaitu 2 g/kg.

Menurut Branen, et. al dalam Siaka (2009), salah satu faktor yang dapat

membuat suatu produk bahan makanan bertahan lebih lama yaitu menambahkan

bahan pengawet makanan ke dalam bahan makanan, seperti senyawa benzoat.

Bahan pengawet benzoat digunakan untuk mencegah pertumbuhan dan

membunuh berbagai mikroorganisme seperti kapang, khamir, dan bakteri.

Pengawet ini sangat cocok digunakan untuk bahan makanan yang bersifat asam

seperti saus tomat. Mekanisme penghambatan mikroba oleh benzoat yaitu

mengganggu permeabilitas membran sel, struktur sistem genetik mikroba dan

mengganggu enzim intraseluler.

Menurut Cahyadi (2008), benzoat yang umumnya digunakan adalah

benzoat dalam bentuk garamnya karena lebih mudah larut dibanding dengan

asamnya. Dalam bahan pangan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif

yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi.


Menurut Buckle et. al (1996), sampai saat ini, suhu rendah selalu

digunakan untuk memperlambat kecepatan perubahan biokimia dan fisiko-kimia

yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada produk olahan pangan.

Menurut Hanifah (2012), Pengertian umum dari kemasan adalah suatu

benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dikemas dan dapat

memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. Adanya kemasan yang dapat

membantu mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di

dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan

getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik

pembeli.

Menurut Winarno (1983), didalam pengemasan bahan pangan terdapat dua

macam wadah, yaitu wadah utama atau wadah yang langsung berhubungan

dengan bahan pangan dan wadah kedua atau wadah yang tidak langsung

berhubungan dengan bahan pangan. Wadah utama harus bersifat non toksik dan

inert sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan

warna, flavour dan perubahan lainnya. Selain itu, untuk wadah utama biasanya

diperlukan syarat-syarat tertentu bergantung pada jenis makanannya, misalnya

melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya,

mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, tahan

terhadap tekanan atau benturan dan transparan.

Winarno (1983), menyatakan melindungi bahan pangan dari kontaminasi

berarti melindunginya terhadap mikroorganisme dan kotoran serta terhadap

gigitan serangga atau binatang pengerat lainnya. Melindungi kandungan airnya


berarti bahwa makanan didalamnya tidak boleh menyerap air dari atmosfer dan

juga tidak boleh berkurang kadar airnya. Jadi wadahnya harus kedap air.

Perlindungan terhadap bau dan gas dimaksudkan supaya bau atau gas yang tidak

diinginkan tidak dapat masuk melalui wadah tersebut dan jangan sampai

merembes keluar melalui wadah. Wadah yang rusak karena tekanan atau benturan

dapat menyebabkan makanan di dalamnya juga rusak dalam arti berubah

bentuknya.

Menurut Sulchan (2007), Polipropilen termasuk kelompok olefin, bersifat

lebih keras dan titik lunaknya lebih tinggi daripada PEDT, lebih kenyal tetapi

mempunyai daya tahan terhadap kejutan lebih rendah. Tidak mengalami stress

cracking oleh perubahan kondisi lingkungan, tahan terhadap sebagian besar

senyawa kimia kecuali pelarut aromatik dan hidrokarbon klorida dalam keadaan

panas, serta sifat permeabilitasnya terletak antara PEDR dan PEDT.

Menurut Winarno (1983), Polipropilen sangat mirip dengan polietilen dan

sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan

daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil

terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap.

Menurut penelitian Nurminah (2002), densitas kertas diperoleh dengan

membagi gramatur contoh bahan dengan tebal bahan. Dari hasil percobaan

didapat rataan densitas kertas kertas minyak memiliki nilai densitas 0.186 g/m3.

Menurut Nurminah (2002), secara teknis rapat massa mempunyai

hubungan erat dengan daya ikatan antar serat dan derajat fibrilisasi serat pulp

yang nantinya berpengaruh pada saat pencetakan (opasitas cetak). Dalam


prosesnya, peranan dan pengaruh filler Kaolin (clay) sangat berpengaruh pada

sifat fisik lembaran kertas khususnya rapat massa dan gramatur kertas (karton).

Kaolin berfungsi sebagai bahan pengisi antar serat, menambah berat kertas dan

menghaluskan kertas.

Menurut Adnan (2006), Kelobot jagung yang sudah di coating dapat

digunakan untuk kemasan yang memiliki sifat kekuatan tarik yang tinggi dan sifat

laju transmisi uap air dan oksigen yang rendah sehingga kemasan ini akan dapat

melindungi produk. Salah satunya adalah produk dodol dan wajit, penggunaan

kemasan kelobot jagung tidak hanya sebagai kemasan yang etnik tetapi dapat

digunakan untuk melindungi produk dari ketengikan.

Menurut Adnan (2006), berdasarkan analisa sifat fisik, kimia dan mekanis

yang telah diuji, kelobot jagung memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai

bahan kemasan sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-masing

kelobot jagung, misalnya dengan mencari bahan coating untuk kelobot jagung

sehingga dapat memperbaiki sifat laju transmisi uap air dan oksigen. Komponen

utama untuk coating yang digunakan haruslah berasal dari bahan yang dapat

menahan uap air dan oksigen salah satunya adalah coating komposit yang berasal

dari bahan hidrokoloid dan lipid.

Menurut Adnan (2006), Selama ini kelobot jagung sudah dimanfaatkan

oleh masyarakat sebagai kemasan produk dodol dan wajik. Kedua produk ini

termasuk dalam produk pangan semi basah yang sebenarnya termasuk dalam

produk yang peka terhadap oksigen dan uap air. Penggunaan kelobot jagung pada

produk dodol dan wajit sebenarnya lebih dilihat pada nilai jual seninya sebagai
bahan kemasan yang etnik. Warnanya yang coklat alami dan bentuknya yang unik

dapat menarik minat masyarakat untuk membeli produk wajit dan dodol yang

dikemas menggunakan kelobot jagung.

Menurut Syarief dan Halid (1993), suhu penyimpanan sangat berpengaruh

terhadap masa kadaluarsa, semakin tinggi suhu penyimpanan suatu bahan pangan,

reaksi-reaksi yang terjadi akan semakin cepat, dengan begitu semakin cepat waktu

kadaluarsanya. Jika suhu penyimpanan relatif stabil dari waktu ke waktu, maka

dapat digunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut :

k = ko.e-E/RT

Dimana : k = Konstanta penurunan mutu

ko = Konstanta (tidak tergantung suhu)

E = Energi aktivasi

T = Suhu mutlak (C+273)

R = Konstanta gas 1,986 kal/mol

1.6. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik hipotesis

dalam penelitian ini yaitu : Diduga bahwa penambahan bahan tambahan pangan

Natrium Benzoat, Potasium Sorbat dan Natrium Propionat yang divariasikan

dengan jenis kemasan plastik poly propilen (PP), daun jagung kering dan kertas

minyak dapat memperpanjang umur simpan dodol kacang merah tanpa merubah

sifat organoleptik dari dodol kacang merah serta dapat mempertahankan mutu

dodol kacang merah selama penyimpanan.


1.7. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 hingga bulan Juli 2017 di

Laboratorium Pengembangan Pasca Panen, Laboratorium Analisis Kimia dan

Laboratorium Mikrobiologi di Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna -

Lembaga Ilmu Pengetahuan Jl. KS. Tubun No. 5, Subang.

Vous aimerez peut-être aussi