Vous êtes sur la page 1sur 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Autisme
a. Pengertian autisme
Autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi, dan bermain imajinatif,
yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Mereka mempunyai keterbatasan pada
level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis mengalami beberapa derajat Retardasi
Mental. Autisme biasanya muncul sejak tiga tahun pertama kehidupan seorang anak (Priyatna,
2010). Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak pada anak yang ditandai
munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada
interaksi sosial, dan perilakunya.
Autisme merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas
mentalnya sendiri. Autis dapat terjadi di semua kalangan masyarakat (Veskarisyanti, 2008).
Autis adalah Suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir
maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3
tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak
atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007).

2. Etiologi
Penyebab autisme Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor, yaitu:
1) Kerusakan jaringan otak Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa
korelasi antara autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan bahwa
kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti
lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis, bagian otak yang
mengendalSSikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat
kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan
penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein
dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi
dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental
(Huzaemah, 2010).
2) Terlalu banyak vaksin Hepatitis B Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak
vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit 9 autisme. Hal ini dikarenakan
vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal.
3) Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah Autis disebabkan kombinasi makanan yang
salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada
usus besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa
teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari
penyebab dan proses terjadinya autis.
3.Klasifikasi
Klasifikasi autisme Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autism, diantaranya :
1) Aloof Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial,
dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2) Passive Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan
hanya menerima saja.
3) Active but odd Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat
repetitif dan aneh.

4. Penatalaksanaan autisme
Menurut Danuatmaja, (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat disembuhkan
(not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif.
Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul dengan normal.
Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis
bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi.
Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
1) Berat atau ringannya gejala, terganting pada berat-ringannya gangguan di dalam sel otak.
2) Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin
besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak
mampu dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
3) Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autism tidak mampu bicara seumur
hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang
mampu bicara dengan lancer. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan
ketrampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui gambar-
gambar.
4) Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari. Di samping itu,
seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain :
a) Terapi obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi,
memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang
dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada
diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping
obat dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan
yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu
ada kehatihatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka
panjang (Danuatmaja, 2003). Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon
anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depresan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara
neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah
dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat ini
akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia
lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik,
maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dihentikan (Danuatmaja, 2003).
b) Terapi biomedis
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak-anak dengan masalah alergi
makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet
dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya gangguan pada fungsi
tubuh yang sering terjadi anak autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh
yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang
kemudian akan mempengaruhi fungsi otak. Diet yang sering dilakukan pada anak autis
adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak
mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah
campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu).
Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi
asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat
menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah
fungsi otak yang berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Danuatmaja, 2003).
Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk
mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif
sebagian besar dari mereka.
c) Terapi wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme mengalami
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang,
namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk
berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech
therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus
sesuai dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis).
d) Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang bersifat self-
maladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang
dapat diterima oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk membantu anak ini
agar lebih bisa menyesuaikan diri didalam masyarakat. (Danuatmaja, 2003).
e) Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik
kurang baik yang dilakukan melalui gerakan-gerakan. Terapi okupasi ini dapat membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya
sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal
yang membutuhkan ketrampilan otot jari tangannya seperti menunjuk, bersalaman,
memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya (Danuatmaja, 2003).
f) Terapi sensori integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan mengartikan seluruh rangsang
yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang
terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga
lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktifitas ini merangsang koneksi
sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan kapasitas untuk
belajar.

5. Pengkajian Keperawatan
a) Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.
b) Riwayat keluarga yang terkena autisme.
c) Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan
1. Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
2. Cedera otak.
d) Status perkembangan anak.
Anak kurang merespon orang lain.
Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
Keterbatasan Kongnitif.
e) Pemeriksaan fisik
Tidak ada kontak mata pada anak.
Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).
Terdapat Ekolalia.
Tidak ada ekspresi non verbal.
Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain
Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
Peka terhadap bau

2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan komunikasi yang berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus.
Hasil yang diharapkan :
Anak mengkomunikasikan kebutuhannya dengan menggunakan kata-kata atau gerakan tubuh
yang sederhana, konkret; bayi dengan efektif dapat mengkomunikasikan kebutuhannya
(keinginan akan makan, tidur, kenyamanan, dsb).
Intervensi :
a. Ketika berkomunikasi dengan anak, bicaralah dengan kalimat singkat yg terdiri atas 1 hingga 3
kata, dan ulangi perintah sesuai yang diperlukan. Minta anak untuk melihat kepada anda ketika
anda berbicara dan pantau bahasa tubuhnya dengan cermat.
b. Gunakan irama, musik dan gerakan tubuh untuk membantu perkembangan komunikasi sampai
anak dapat memahami bahasa.
c. Bantu anak mengenali hubungan antara sebab dan akibat dengan cara menyebutkan perasaannya
yang khusus dan mengidentifikasi penyebab stimulus bagi mereka.
d. Ketika berkomunikasi dengan anak, bedakan kenyataan dengan fantasi, dalam pernyataan yang
singkat dan jelas.
e. Sentuh dan gendong bayi, tetapi semampu yang dapat ditoleransi.

2. Risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di
rumah sakit
Hasil yang diharapkan :
Anak memperlihatkan penurunan kecenderungan melakukan kekerasan atau perilaku merusak
diri sendiri, yang ditandai oleh frekuensi tantrum dan sikap agresi atau destruksi berkurang, serta
peningkatan kemampuan mengatasi frustasi.
Intervensi :
a. Sediakan lingkungan kondusif dan sebanyak mungkin rutinitas sepanjang periode perawatan di
rumah sakit
b. Lakukan intervensi keperawatan dalam sesi singkat dan sering. Dekati anak dengan sikap
lembut, bersahabat, dan jelaskan apa yang anda akan lakukan dengan kalimat yang jelas dan
sederhana. Apabila dibutuhkan, demonstrasikan prosedur kepada orang tua.
c. Gunakan restrain fisik selama prosedur ketika membutuhkannya, untuk memastikan keamanan
anak dan untuk mengalihkan amarah dan frustasinya.
d. Gunakan teknik modifikasi perilaku yang tepat untuk menghargai perilaku positif dan
menghukum perilaku yang negatif.
e. Ketika anak berperilaku destruktif, tanyakan apakah ia mencoba menyampaikan sesuatu

3. Risiko Perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan


Hasil yang diharapkan :
Orang tua mendemonstrasikan keterampilan peran menjadi orang tua yang tepat yang ditandai
oleh ungkapan kekhawatiran mereka tentang kondisi anak dan mencari nasihat serta bantuan.
Intervensi :
a. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka.
b. Rujuk orang tua ke kelompok pendukung autisme setempat dan ke sekolah khusus jika
diperlukan
c. Anjurkan orang tua untuk mengikuti konseling (bila ada).

Vous aimerez peut-être aussi