Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Annisa Sabrina Djunaedy
Yudianto
Tabel 2
Perhitungan Profitabilitas dengan Menggunakan Activity Based Costing ABC) System
No. Keterangan Sepatu Tipe A Sepatu Tipe B
1. Harga Jual Rp 75.000 Rp 45.000
2. Biaya Produksi Rp 55.003,84 Rp 27.356,93
3. Profit Rp 19.999,16 Rp 17.643,07
4. Presentase 26,67 % 39,2 %
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 2, dapat diketahui bahwa perhitungan biaya
produksi dengan menggunakan Activity Based Costing (ABC) System memberikan gambaran
yang berbeda mengenai profitabilitas produk dibandingkan dengan perhitungan biaya
produksi dengan menggunakan metode tradisional. Dari perhitungan pada tabel tersebut,
ketika menggunakan metode tradisional, sepatu tipe A memiliki tingkat profitabilitas produk
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sepatu tipe B, yaitu besar profit yang dihasilkan oleh
sepatu tipe A adalah sebesar 16,627% sedangkan profit yang dihasilkan oleh sepatu tipe B
adalah sebesar 15,25%.
Hal ini berbeda dengan ketika perusahaan menggunakan metode Activity Based
Costing (ABC). Pada saat perusahaan menggunakan Activity Based Costing (ABC) System,
produk dari perusahaan tersebut yang lebih memberikan kontribusi besar kepada perusahaan
adalah sepatu tipe B. Dari perhitungan pada tabel tersebut, ketika menggunakanABC, sepatu
tipe A justru memiliki tingkat profitabilitas produk yang lebih rendah dibandingkan dengan
sepatu tipe B, yaitu besar profit yang dihasilkan oleh sepatu tipe A adalah sebesar 26,67%
sedangkan profit yang dihasilkan oleh sepatu tipe B adalah sebesar 39,2%.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya profitabilitas produk
untuk model sepatu tipe B lebih bedar dibandingkan profitabilitas produk sepatu tipe A
karena sebenarnya model sepatu tipe B mengkonsumsi lebih sedikit sumber daya
dibandingkan dengan model sepatu tipe A. Hal inilah yang menajdi kesalahan penghitungan
biaya yang dilakukan dengan cara membagi secara merata biaya sumber daya untuk semua
jenis produk yang dihasilkan tanpa memperhitungkan proporsi penggunaan sumber daya
untuk masing-masing produk. oleh karena hal tersebut, sistem ABC memberikan informasi
yang lebih akurat dalam analisis profitabilitas produk dibandingkan dengan metode
tradisional.
B. Target Costing
1. Definisi Target Costing
Menurut Hansen dan Mowen (2000) target costing adalah suatu metode penentuan
biaya produk atau jasa berdasarkan harga (harga target) dimana pelanggan bersedia
membayarnya. Menurut Ford (1923) dalam Blocher et al. terjemahan Tim Penerjemah
Penerbit Salemba (2008:617) menjelaskan bahwa target costing adalah suatu metode dimana
perusahaan menentukan biaya yang harus dikeluarkan untuk suatu barang dan jasa yang
didasarkan pada harga pasar kompetitif, dengan demikian perusahaan dapat memperoleh laba
yang diharapkan dengan menghitung selisih antara harga kompetitif dengan laba yang
diharapkan.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa target costing merupakan
Penentuan biaya yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif,
sehingga produk tersebut akan dapat memperoleh laba yang diharapkan dan proses ini
dilakukan pada saat tahap perencanaan produk. Secara luas, target costing dapat diartikan
sebagai metode perencanaan laba dan manajemen laba yang difokuskan pada produk dengan
mempertimbangkan proses manufacturing sehingga target costing ini digunakan oleh
perancang sebelum proses dan proses desain dilakukan untuk mencapai tujuan perbaikan
usaha pada pengurangan biaya manufaktur produk di masa depan. Target costing digunakan
selama tahap perencanaan dan menuntun dalam pemilihan produk serta proses desain yang
akan menghasilkan suatu produk yang dapat diproduksi pada biaya yang diijinkan dan pada
suatu tingkat laba yang dapat diterima.
Penjelasan atas gambar tahapan proses target costing diatas adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi produk berkualitas tinggi yang memenuhi permintaan konsumen
Pada tahap ini, manajemen akan mengidentifikasi produk-produk mana yang
memenuhi permintaan konsumen. Selain itu, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan
pada tahap ini, yaitu:
a. Pihak manajemen akan menentukan harga jual produk yang akan diluncurkan ke
pasar. Dalam hal ini, pihak manajemen akan menentukan harga jualnya berdasarkan
kualitas produk yang akan diluncurkan tersebut, harga kompetitif produk tersebut di
pasaran, serta seberapa besar konsumen bersedia membayar produk tersebut.
b. Setelah pihak manajemen menetapkan harga jual produk yang akan diluncurkan
tersebut, kemudian pihak manajemen akan menentukan berapa besar target profit
yang diinginkan oleh perusahaan atas produk yang akan diluncurkan tersebut.
c. Hal yang harus dilakukan berikutnya adalah proses perhitungan target cost.
Perhitungan target cost dapat ditentukan dengan cara mencari selisih antara harga
jual yang telah ditetapkan untuk produk tersebut dengan target profit yang juga telah
ditentukan untuk produk yang akan diluncurkan tersebut. secara ringkas, perhitungan
target cost dapat dilihat sebagai berikut:
Target Cost = Selling PriceTarget Profit
target cost pada tahap ini sering disebut juga sebagai allowable cost atau biaya yang
diijinkan. Allowable cost juga dapat diartikan sebagai jumlah biaya yang
diperkenankan oleh perusahaan yang didapat dari selisih antara harga jual dengan
laba yang dinginkan oleh perusahaan.
d. Setelah allowable cost diketahui, maka langkah yang harus dilakukan berikutnya
adalah menghitung drifting cost (biaya taksiran). Drifting cost adalah penjumlahan
biaya bahan baku, biaya proses, dan biaya lainlain yang diperkirakan akan terjadi
untuk memproduksi produk yang bersangkutan. Drifting cost merupakan biaya yang
diestimasi berdasarkan biaya produk yang sedang berjalan. Komponen-komponen
yang termasuk dalam penentuan drifting cost ini antara lain, biaya tenaga kerja, biaya
bahan baku, biaya overhead, dan biaya-biaya lainnya.
2. Menetapkan target cost dengan menerapkan value engineering (VE)
Setelah mengetahui berapa besarnya allowable cost dan drifting cost, maka tahap
selanjutnya dalam metode target costing adalah melakukan value engineering. Value
engineering adalah sebuah upaya sistematis dengan cara mengevaluasi fungsi-fungsi dan
proses dalam organisasi serta melakukan perbaikan yang dibutuhkan agar dapat
menurunkan biaya sekaligus memuaskan kebutuhan konsumen. Value engineering
dilaksanakan dengan tujuan agar drifting cost atau biaya taksiran mencapai angka yang
sama atau kurang dari allowable cost atau target cost yang telah dihitung pada tahap
awal. Proses ini memerlukan peran serta semua fungsi dalam perusahaan untuk
bekerjasama menekan biaya sampai mencapai target.
Proses awal value engineering yaitu dengan mengevaluasi kegitan perusahaan mulai
dari merancang, mengembangkan, memproduksi, memasarkan, dan melayani konsumen
yang memakai produk tersebut. Tugas setiap departemen adalah untuk memeriksa biaya
dan kinerjanya kemudian mencari cara untuk memperbaikinya dengan tujuan agar target
cost dapat tercapai dan meningkatkan kepuasan pelanggan atas produknya.
Menurut Cowe (1994) dalam Himawan dan Pendajaya (2005), value engineering
melibatkan penilaian sistematis mengenai bahan-bahan. Komponen penampilan, desain,
dan sebagainya. Proses tersebut termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Apakah penggunaan produk tersebut menyumbangkan nilai?
b. Apakah biaya sesuai dengan kegunaannya?
c. Apakah produk tersebut memerlukan semua sifat-sifat (ciri-ciri/keistimewaannya)?
d. Adakah sesuatu yang lebih baik untuk kegunaan yang dimaksud?
e. Dapatkah bagian (komponen) yang terpakai dibuat dengan metode biaya yang lebih
rendah?
f. Dapatkah ditemukan produk standar yang akan dapat digunakan?
g. Apakah produk tersebut dibuat dengan alat-alat yang sesuai dan sudahkan
mempertimbangkan jumlah yang digunakan?
h. Apakah bahan-bahan tenaga kerja, biaya tak langsung, dan laba sesuai dengan
harganya?
i. Dapatkah pemasok lain yang dapat diandalkan menyediakan produk tersebut dengan
biaya yang lebih murah?
j. Adakah orang yang membelinya lebih murah?
3. Mencapai target cost pada tahap produksi berdasarkan perubahan praktek saat ini.
Setelah melakukan desain dan value enginering, maka target cost diharpakan dapat
tercapai dengan artian bahwa drifting cost sama dengan atau kurang dari biaya yang
diijinkan atau allowable cost.
Studi kasus: Tantalus Company
Studi kasus berikut menyangkut proses penentuan target cost untuk Tantalus
Company, sebuah produsen/pabrikan yang spesialisasinya memproduksi komponen otomotif
yang berkualitas tinggi. Sebagai bagian dari tujuan strategis, Tantalus memiliki target return
on sales yang bertujuan untuk mencapai harga yang kompetitif dan generasi dana yang cukup
untuk pemeliharaan keuntungan dan reinvestment.
Tantalus menerima pesanan untuk auto part complex, Produk A, dari Icarus
Corporation. Pesanan Pertama untuk 1.000 unit yang selanjutnya akan diikuti oleh volume
yang lebih tinggi dan ketika produksi massal produk itu dimulai. Menurut proposal dari
Icarus, permintaan awal dengan harga yang kompetitif adalah 50 per unit. Tantalus itu
menargetkan laba atas penjualan atau Return on Sales (ROS) adalah 20 persen, yaitu 10 (
50 x 20%) per unit.
Dengan demikian biaya yang diperbolehkan dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:
50 - 10 = 40 per unit
Jadi, Jika jumlah pesanan adalah 1.000 unit, maka total biaya yang diperbolehkan untuk
memproduksi produk pesanan dari Icarus Corporation adalah 40.000.
Drifting Cost
Selanjutnya, perhitungan Drifting Cost. Ini disebut biaya yang diijinkan atau
allowable cost yang didasarkan pada data saat ini dan dievaluasi pada saat perusahaan
mampu mencapai dalam hal biaya pada saat ini. Kesenjangan antara tingkat kinerja saat ini
dan tingkat yang diperlukan oleh kebutuhan target cost yang harus ditutup. Target cost secara
efektif ditetapkan oleh manajemen puncak dalam rencana strategis dan konsekuensinya
mereka ketat.
Untuk mencapai target ini, pertama biaya elemen atau kompnen-komponen relevan
yang terkait produk tersebut perlu ditentukan. Mengingat fakta bahwa tawaran kompetitif
diperlukan untuk mengamankan kontrak dan juga karena pabrik memiliki kapasitas berlebih
tetapi telah melewati titik impas (Break Event Point) dengan produk saat ini, diputuskan
bahwa biaya marjinal telah relevan. Keputusan ini didukung oleh fakta bahwa, karena resesi,
kapasitas produksi suku cadang adalah pada tingkat yang bahkan bisa menggabungkan
volume yang lebih tinggi kemudian tergambar ketika produksi penuh produk ibu (mother
product) pelanggan mulai. Seandainya hal ini tidak pernah terjadi, perusahaan tidak bisa pergi
pada tingkat harga ini karena volume yang lebih besar akan diperlukan untuk peningkatan
biaya tetap marjinal.
Selain itu, dampak biaya volume produksi yang direncanakan diperhitungkan pada
tahap ini. Maka rencana produksi untuk item tersebut telah dipersiapkan. Berdasarkan pada
pekerjaan ini, insinyur menentukan bahwa drifting cost per unit adalah 43,70, memberikan
43.700 secara total. Biaya per unit itu harus dipecah menjadi seperti berikut:
Bahan baku langsung (direct material) 13.700
Tenaga kerja langsung (direct labor) 7.500
Variable overhead terhadap Produk A 22.500
Total drifting product cost 43.700
Perlu dicatat terutama berkaitan dengan struktur biaya, tenaga kerja langsung terdiri
dari 17% persen dari total biaya, tetapi jumlah overhead hingga 51%..
Target cost
Langkah selanjutnya adalah untuk mulai mencoba untuk mencapai target cost bagi
perusahaan. Mandor memeriksa area produksi potensial per item dengan para pemimpin
kelompok. Para mandor membuat setiap usaha untuk mengurangi total drifting cost dari
43.700 ke biaya yang diijinkan sebesar 40.000. Dengan demikian target pengurangan biaya
yang dihitung dari selisih antara keduanya, sebesar 3.700.
Proses awal untuk menghilangkan perbedaan antara drifting cost dan target cost
dicapai melalui Value Engineering (VE) dan desain penilaian (appraisal design). Proses ini
didorong oleh pengakuan bahwa sesuatu seperti 90 persen dari biaya siklus hidup yang dapat
diidentifikasi pada tahap desain produk. Oleh karena itu, jauh lebih mudah untuk biaya
merancang keluar (design out) sebelum produksi daripada biaya kontrol keluar (control
out) pada tahap pasca-produksi. The Instituts Official Terminology of Management
Accounting mendefinisikan biaya siklus hidup (life cycle cost) sebagai 'praktek memperoleh,
selama masa hidup mereka, penggunaan terbaik dari aset fisik pada total biaya terendah untuk
entitas (terotechnology). Pada tahap ini, Tantalus berfokus dalam dua hal, yaitu pengurangan
dari unit yang rusak atau cacat dan mendesain kembali proses perakitan untuk mengurangi
biaya tenaga kerja dan terkait variabel beban pabrik.
DAFTAR PUSTAKA
Dicky, Yoanes. 2011. Penerapan Activity Based Costing (ABC) System dalam Perhitungan
Profitabilitas Produk. Jurnal Akuntansi Universitas Kristen Maranatha,Vol.3,No.1
Himawan dan Pendajaya. 2005. Penerapan Metode Target Costing sebagai Alat Bantu
Manajemen dalam Mengoptimalkan Perencanaan Laba. e-Journal ESENSI, volume 8
No.2
Malue, Jurgen. 2013. Analisis Penerapan Terget Costing sebagai Sistem Pengendalian Biaya
Produksi Pada PT Celebes Mina Pratama. Ejournal.unsrat.ac.id
Morgan, Malcom J. 1993. A case study in target costing : Accounting for Strategy. Research
in Management Accounting. Vol 5, pg 20.
Patricia Everaert, Stijn Loosveld, Tom Van Acker, Marijke Schollier, Gerrit Sarens. 2006.
Characteristics of target costing: theoretical and field study perspectives. Qualitative
Research in Accounting & Management, Vol. 3 Iss: 3, pp.236 - 263