Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhi

berbagai keputusan yang diambil oleh perusahaan, salah satunya adalah

keputusan pendanaan. Pajak mempengaruhi keputusan pendanaan perusahaan

karena membedakan perlakuan pemajakan antara bunga (konsekuensi yang

timbul dari kegiatan pendanaan eksternal dengan sumber dana dari utang (debt

financing) dengan dividen (konsekuensi yang timbul dari kegiatan pendanaan

eksternal dengan sumber dana dari ekuitas (equity financing). Perbedaan

perlakuan tersebut adalah perbedaan pengakuan biaya yang timbul dari kegiatan

pendanaan. Biaya yang timbul dari debt financing (biaya bunga) dapat diakui

sebagai biaya fiskal (sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1). Sedangkan

biaya yang timbul dari equity financing (dividen) tidak dapat diakui sebagai

biaya fiskal (sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1).

Mayoritas sistem perpajakan di dunia (termasuk di Indonesia)

memperlakukan bunga dan dividen secara berbeda, yaitu dengan mengakui

biaya bunga sebagai biaya fiskal sedangkan dividen tidak dapat diakui sebagai

biaya fiskal. Biaya fiskal (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan) merupakan pengurang penghasilan bruto perusahaan, sehingga

dengan biaya fiskal yang besar, maka pajak yang harus dibayar oleh perusahaan

berkurang. Biaya bunga diakui sebagai biaya fiskal karena biaya bunga

merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menjalankan usaha

1
(cost of doing business). Sedangkan dividen pada dasarnya merupakan

pembagian laba (dividen dibagikan kepada pemilik atau pemegang saham jika

perusahaan memperoleh laba sesudah pajak yang positif), sehingga tidak dapat

diakui sebagai biaya fiskal.

Karena sistem perpajakan mengakui biaya bunga sebagai biaya fiskal

(sehingga memberikan manfaat pajak bagi perusahaan), maka secara implisit

sistem perpajakan mendorong perusahaan untuk melakukan debt financing

daripada equity financing. Hal tersebut dikenal dengan istilah debt bias. Debt

bias menyebabkan berbagai distorsi di bidang ekonomi (De Moijj, 2011;

Hemmelgarn dan Nicodeme, 2012)

Pertama, debt bias menghasilkan perusahaan yang cenderung memiliki

DER tinggi, sehingga perusahaan lebih rentan bangkrut, karena memiliki

bankruptcy cost (cost of financial distress) yang besar seiring dengan

peningkatan utang (De Moijj, 2011). Dengan DER tinggi, perusahaan

memperoleh insentif pajak (berupa pengakuan biaya bunga yang besar sebagai

biaya fiskal). Dengan biaya fiskal yang besar, maka Penghasilan Kena Pajak

(PKP) perusahaan berkurang

Kedua, debt bias dituding memperparah krisis keuangan. Sekalipun

beberapa peneliti (Slemrod, 2009; Lloyd, 2009; Keen dan Others, 2010;

Hemmelgarn dan Nicodeme, 2010) menilai bahwa debt bias bukan merupakan

penyebab utama krisis keuangan, tetapi debt bias menyebabkan debt financing

lebih disukai perusahaan, sehingga jika ada banyak perusahaan memiliki utang

besar dan jatuh tempo pada saat krisis, maka debt bias dapat memperparah

krisis.

2
Ketiga, debt bias membuka peluang bagi perusahaan untuk menurunkan

laba yang dilaporkan (reported profit) di laporan keuangan (De Moijj, 2011).

Hal tersebut dilakukan perusahaan dengan mempersulit penentuan PKP.

Penentuan PKP dipersulit perusahaan dengan penggunaan instrumen keuangan

hibrida (hybrid financial instrument) sebagai sumber pendanaan. Perkembangan

instrumen keuangan hibrida yang cukup pesat memungkinkan instrumen

tersebut mengandung unsur utang dan ekuitas (seperti convertible bond),

sehingga batas antara utang dengan ekuitas menjadi kurang jelas. Hal tersebut

mempersulit penentuan PKP, karena utang dan ekuitas diperlakukan berbeda

menurut UU PPh yang berlaku.

Keempat, debt bias dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (multi

national corporation (MNC) sebagai celah untuk melakukan perencanaan

pajak. MNC disinyalir lazim melakukan perencanaan pajak. MNC

memanfaatkan pengakuan biaya bunga sebagai biaya fiskal sebagai salah satu

sarana untuk menekan beban pajak, sehingga muncul kecenderungan bahwa

fungsi utang bukan hanya sebagai sumber pendanaan saja tetapi juga sebagai

sarana untuk menekan beban pajak. Praktik menekan beban pajak dengan

menggunakan utang dikenal dengan istilah thin capitalization. Metoda thin

capitalization yang dilakukan MNC adalah dengan jalan mendanai perusahaan

anak dengan pinjaman dari perusahaan induk, hal tersebut dilakukan untuk

memperoleh manfaat pajak dari biaya bunga. Dengan mengakui setoran modal

dari perusahaan induk sebagai utang, maka bunga yang dibayar oleh

perusahaan anak kepada perusahaan induk tidak dapat dilaporkan sebagai

dividen, sehingga muncul istilah dividen terselubung. Dari uraian tersebut, maka

3
dapat disimpulkan bahwa thin capitalization merupakan metoda yang digunakan

oleh perusahaan, pada umumnya, untuk menekan beban pajak dengan

melaporkan ekuitas sebagai utang. Tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda di

setiap negara dimanfaatkan oleh MNC yang memiliki perusahaan anak di

berbagai negara sebagai sarana untuk menekan beban pajak. MNC menekan

beban pajak dengan cara mendanai perusahaan anak dengan utang (jika

perusahaan anak berlokasi di negara dengan tarif pajak penghasilan yang tinggi)

dan mendanai perusahaan anak dengan ekuitas (jika perusahaan anak berlokasi

di negara dengan tarif pajak penghasilan yang rendah).

Alasan lain perusahaan lebih memilih debt financing (dibanding equity

financing) selain memberikan manfaat pajak adalah karena utang tidak

menimbulkan biaya kepemilikan. Biaya kepemilikan timbul jika perusahaan

melakukan equity financing (misal: menerbitkan saham). Dalam equity

financing, investor (pemegang saham) memiliki hak untuk mengendalikan

perusahaan, sehingga jika perusahaan berencana menerbitkan saham baru, maka

pemegang saham lama mungkin saja menolak rencana tersebut, karena mereka

enggan untuk berbagi kepemilikan dengan pemegang saham baru. Pemegang

saham memperoleh return yang tidak tetap atas investasi yang mereka tanamkan

ke perusahaan (dividen dibagikan jika perusahaan memperoleh laba sesudah

pajak yang positif) dan memperoleh prioritas terakhir dalam pembagian aset

perusahaan jika perusahaan mengalami pailit. Sedangkan dalam debt financing,

kreditor tidak memiliki hak untuk mengendalikan perusahaan, namun mereka

berhak memperoleh return yang tetap atas investasi yang mereka tanamkan ke

perusahaan (bunga harus tetap dibayarkan sekalipun perusahaan mengalami

4
kerugian) dan memperoleh prioritas pertama dalam pembagian aset perusahaan

jika perusahaan mengalami pailit.

Untuk mengatur kegiatan pendanaan usaha Wajib Pajak (WP),

Pemerintah berencana memberlakukan kembali kebijakan pembatasan DER.

Undang-undang yang mengatur pembatasan DER adalah UU No. 36 Tahun 2008

Pasal 18 ayat (1) tentang perbandingan antara utang dan ekuitas/modal (DER).

Bunyi pasal tersebut adalah Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan

keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal

perusahaan untuk keperluan perhitungan pajak berdasarkan Undang-undang

ini.

Pemerintah pernah memberlakukan kebijakan pembatasan DER seiring

dengan penerbitan KMK No. 1002/KMK.04/1984 pada 8 Oktober 1984. DER

dalam KMK tersebut ditetapkan sebesar 3,0 atau 3:1 atau 300%. Namun

kebijakan tersebut dicabut sejak 8 Maret 1985 dengan diterbitkannya KMK No.

254/KMK.01/1985.

Kebijakan pembatasan DER diharapkan mampu mempengaruhi

keputusan pendanaan perusahaan sebagai WP agar perusahaan tidak terlalu

bergantung pada utang sebagai sumber pendanaan. Menurut Dirjen Pajak,

kebijakan ini diharapkan mampu membatasi praktik thin capitalization yang

disinyalir dipraktikkan oleh perusahaan di Indonesia. Kebijakan ini juga

diharapkan dapat memicu perusahaan yang belum listing di Bursa Efek di

Indonesia (perusahaan tertutup) yang memiliki DER diatas batasan DER yang

ditetapkan dalam KMK (misal diatas 3,0) memilih untuk melakukan IPO

(menjadi perusahaan terbuka), karena jika perusahaan tersebut tidak melakukan

5
IPO, maka perusahaan tersebut akan kesulitan untuk mendanai ekspansi usaha

dan berpotensi terkena disinsentif pajak jika tambahan utang perusahaan

menyebabkan DER perusahaan melampaui batasan DER yang ditetapkan.

Perusahaan tertutup memiliki dua pilihan sumber pendanaan (eksternal dan

internal). Pendanaan eksternal hanya dimungkinkan dengan private debt

financing (mengajukan kredit ke bank dan/atau lembaga keuangan lainnya).

Sedangkan public debt financing (menerbitkan dan menjual obligasi ke

masyarakat) dan equity financing (menerbitkan dan menjual saham ke

masyarakat) tidak dapat dilakukan oleh perusahaan tertutup. Dengan melakukan

IPO, maka perusahaan memiliki alternatif pilihan sumber pendanaan yang lebih

banyak (private debt financing, public debt financing, dan equity financing).

Perusahaan yang melakukan IPO diharapkan mampu memperbaiki kinerja usaha

dan terbuka dengan kondisi keuangannya.

Kebijakan pembatasan DER mengundang kontroversi di kalangan

pengusaha. Pendapat pengusaha terpecah terkait kebijakan ini. Kamar Dagang

dan Industri Indonesia (KADIN) merupakan salah satu pihak yang menolak

kebijakan ini. Argumentasi yang digunakan oleh pihak KADIN untuk menolak

kebijakan ini adalah karena kebijakan ini dinilai dapat memperburuk iklim

investasi di Indonesia. Wakil Ketua KADIN Bidang Fiskal, Moneter, dan

Kebijakan Publik, Haryadi Sukamdhani, menyatakan bahwa upaya tersebut

(memberlakukan kebijakan pembatasan DER) sama saja dengan memperlambat

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Haryadi juga menyatakan bahwa Pemerintah

tidak seharusnya memberlakukan kebijakan pembatasan DER. Karena

menurutnya, perbankan selama ini telah menetapkan batasan DER. Pengusaha

6
telah mengikuti batasan DER yang ditetapkan oleh perbankan, yaitu sebesar 2,33

(utang 70% dan ekuitas 30%). Batasan DER tersebut diklaim kalangan dunia

usaha telah berjalan dengan baik, sehingga Pemerintah tidak perlu

memberlakukan kebijakan baru. Haryadi, lebih lanjut menyatakan bahwa

Pemerintah menuding pengusaha memperbesar biaya bunga sebagai upaya untuk

mengurangi pajak. Padahal peningkatan utang sektor swasta disebabkan oleh

tren suku bunga saat ini yang tengah menurun dan tidak terkait dengan

perencanaan pajak. Hariyadi pun membantah apabila kalangan dunia usaha

dinilai kerap berutang dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu pendek.

Disisi lain Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO),

Sofjan Wanandi, merupakan salah satu pihak yang menyetujui kebijakan ini

(meskipun dengan beberapa syarat). Menurutnya, kebijakan ini bertujuan baik

yaitu agar pengusaha berjaga-berjaga. Namun Sofjan mengingatkan bahwa

kebijakan pembatasan DER jangan terlalu kaku, mengingat saat ini sebagian

besar pembangunan dilakukan oleh pengusaha, sehingga diharapkan kebijakan

ini tidak kontraproduktif dengan pembangunan. Sofjan selanjutnya menyatakan

bahwa Pemerintah seharusnya melihat perbedaan pada setiap perusahaan dari

segi pendanaan.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) merupakan salah satu

pihak yang tidak mempermasalahkan kebijakan ini. Menurut Sekjen HIPMI,

Harry Warganegara, kebijakan pembatasan DER tidak masalah jika

diberlakukan. Ini suatu hal yang wajar, katanya. Menurutnya, kebijakan

tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Tingginya utang luar

negeri perusahaan yang umumnya bersifat jangka pendek dan menggunakan

7
mata uang asing berpotensi menciptakan instabilitas keuangan dan

makroekonomi. Pada akhirnya, keadaan ini dapat menimbulkan kepanikan dan

pelarian modal asing ke luar negeri (capital flight).

Kementerian Keuangan masih terus mengkaji sektor usaha yang akan

dikenakan pembatasan DER. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan

Kebijakan Fiskal (BKF), Bambang Brodjonegoro, saat ini Pemerintah masih

mendalami jumlah sektor yang akan diatur, apakah cukup dua sektor, yaitu

sektor keuangan (perbankan) dan sektor rill atau lebih dari dua sektor.

Penetapan besar DER yang dibatasi perlu mempertimbangkan beberapa

faktor. Pertama, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). BMPK

ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No.

7/3/PBI/2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No.

8/13/PBI/2006 dan dilengkapi oleh Paket Kebijakan Perbankan April 2008.

BMPK merupakan persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan

terhadap modal bank. BMPK ditetapkan maksimum sebesar 20% dari modal

bank (30% untuk perusahaan yang listing di Bursa Efek di Indonesia dengan

porsi kepemilikan publik sebesar 40% yang wajib dipertahankan sampai kredit

lunas (Paket Kebijakan Perbankan April 2008). Dengan besar BMPK 20%,

maka perusahaan dapat mengoperasikan aset sebesar Rp5 dengan dana Rp1 yang

berasal dari ekuitas dan sisanya (Rp4) didanai oleh utang. Kedua, rata-rata DER

perusahaan yang listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan terbuka).

Perusahaan terbuka, seperti perusahaan pada umumnya, memiliki karakteristik

bisnis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka memiliki struktur modal yang

berbeda-beda. Rata-rata DER perusahaan terbuka juga harus diperhatikan dalam

8
perumusan kebijakan pembatasan DER. Jika rata-rata DER perusahaan terbuka

lebih rendah dari DER yang ditetapkan, maka mungkin saja thin capitalization

marak terjadi untuk memperoleh manfaat pajak dari biaya bunga.

Disisi Pemerintah, pemberlakuan kebijakan pembatasan DER berpotensi

meningkatkan penerimaan pajak. Peningkatan tersebut sebesar biaya bunga yang

tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal (non-deductible interest expense)

dikalikan dengan tarif PPh Badan yang berlaku. Peningkatan penerimaan pajak

bagi Pemerintah, dengan kata lain, merupakan peningkatan beban pajak bagi

perusahaan (disinsentif pajak). Peningkatan tersebut pada akhirnya dibebankan

kepada konsumen (masyarakat) berupa penyesuaian (umumnya kenaikan) harga

barang dan/atau jasa yang diproduksi perusahaan.

Dampak lain atas pemberlakuan kebijakan pembatasan DER adalah

berpotensi memperburuk iklim investasi Indonesia. Misal jika batasan DER

yang ditetapkan sebesar 3,0 (sesuai KMK tahun 1984), maka perusahaan perlu

memiliki ekuitas sebesar Rp1,25 dan utang sebesar Rp3,75 untuk

mengoperasikan aset sebesar Rp5. Jika batasan DER yang ditetapkan mengikuti

besar BMPK (4,0), maka perusahaan mampu mengoperasikan aset sebesar Rp5,

dengan ekuitas hanya sebesar Rp1 dan utang sebesar Rp4, sehingga dapat

dikatakan bahwa kebijakan pembatasan DER menimbulkan cost berupa

berkurangnya jumlah investasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan

jumlah ekuitas yang sama besar.

Dengan konsekuensi tersebut, maka efektivitas kebijakan pembatasan

DER perlu diteliti lebih lanjut.

9
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah kebijakan pembatasan DER perlu diberlakukan kembali ?

Kebijakan pembatasan DER untuk saat ini dirasakan belum

perlu diberlakukan kembali, karena dinilai menghambat pertumbuhan

ekonomi Indonesia. Kebijakan ini justru kontraproduktif dengan sikap

Pemerintah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Disisi Pemerintah, pemberlakuan kebijakan ini berpotensi meningkatkan

penerimaan pajak. Namun disisi perusahaan, pemberlakuan kebijakan ini

justru meningkatkan beban pajak perusahaan. Selain itu, kebijakan ini

dinilai kompleks dalam implementasinya, karena setiap sektor

perusahaan memiliki kebutuhan dan struktur modal yang berbeda,

sehingga besar batasan DER yang ditetapkan juga harus berbeda. Hal

tersebut membuat peraturan pajak menjadi semakin kompleks.

Kebijakan pembatasan DER (secara implisit) telah diberlakukan

untuk sektor perbankan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sektor

non-perbankan. Bank Indonesia (secara implisit) telah memberlakukan

kebijakan ini, yaitu dalam bentuk BMPK (Batas Maksimum Pemberian

Kredit). Namun perlu dicatat, bahwa kebijakan pembatasan DER oleh

Bank Indonesia (BMPK) lebih bertujuan untuk menerapkan prinsip

kehati-hatian dalam pemberian kredit dalam rangka menjaga kesehatan

sektor perbankan (dengan mengatur bank untuk tidak memberikan kredit

yang terkonsentrasi kepada satu atau beberapa debitor). Pemberian

kredit yang terkonsentrasi kepada satu atau beberapa debitor dinilai

berisiko tinggi, karena jika debitor tidak mampu membayar kembali

10
pokok dan bunga pinjaman (kredit macet), maka operasional bank

menjadi terganggu.

Pemberlakuan kebijakan pembatasan DER tampaknya lebih

berpengaruh positif jika diberlakukan bagi perusahaan yang belum listing

di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan tertutup), karena dinilai

menguntungkan bagi pasar modal Indonesia. Perusahaan tertutup yang

kekurangan dana untuk ekspansi usaha dan memiliki DER diatas yang

ditetapkan akan terdorong untuk melakukan IPO (menjadi perusahaan

terbuka), karena jika perusahaan mengajukan kredit secara berlebihan

untuk ekspansi usaha maka perusahaan mengalami disinsentif pajak.

Kebijakan pembatasan DER tampaknya lebih efektif jika

diberlakukan untuk multi national corporation (MNC), karena sumber

pendanaan MNC rentan akan perekayasaan. Perekayasaan yang

dimaksud adalah thin capitalization, yaitu suatu metoda umumnya

untuk menekan beban pajak yang digunakan MNC dengan melaporkan

ekuitas sebagai utang dalam rangka memperoleh manfaat pajak dari

biaya bunga. Tarif pajak yang berbeda-beda di setiap negara juga

dimanfaatkan MNC untuk menekan beban pajak, yaitu dengan mendanai

perusahaan anak dengan debt financing (jika perusahaan anak beroperasi

di negara dengan tarif pajak yang tinggi) dan dengan equity financing

(jika perusahaan anak beroperasi di negara dengan tarif pajak yang

rendah).

Kebijakan pembatasan DER merupakan salah satu strategi

intensifikasi pajak yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan

11
penerimaan pajak. Namun sampai saat ini, masih banyak perusahaan

sebagai WP yang belum/tidak membayar pajak (karena belum

terdaftar sebagai WP dan/atau belum memiliki NPWP), sehingga strategi

yang lebih tepat dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan

pajak adalah dengan strategi ekstensifikasi.

2. Berapa besar batasan DER yang ditetapkan ?

Jika kebijakan pembatasan DER tetap diberlakukan, maka besar

batasan DER yang ditetapkan perlu memperhatikan status perusahaan

listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan terbuka) atau

belum/tidak listing di Bursa Efek di Indonesia (perusahaan tertutup) dan

klasifikasi usaha (sektor) perusahaan.

Efektivitas kebijakan pembatasan DER benar-benar bergantung

pada besar batasan DER yang ditetapkan. Jika besar batasan DER yang

ditetapkan lebih longgar dari rata-rata pasar (rata-rata DER sektor

perusahaan) dan/atau ketentuan BMPK, maka muncul peluang bagi

perusahaan untuk melakukan thin capitalization dalam rangka

mengklaim biaya bunga yang lebih besar. Sebaliknya, jika besar batasan

DER yang ditetapkan lebih ketat dari rata-rata pasar dan/atau ketentuan

BMPK, maka memunculkan distorsi ekonomi yaitu: di satu sisi,

penerimaan pajak meningkat, namun di sisi lain, iklim investasi

Indonesia menjadi kurang ramah bagi pelaku usaha, karena kegiatan

investasi perusahaan menjadi terhambat jika perusahaan kekurangan

modal untuk ekspansi usaha. Jika perusahaan kekurangan modal untuk

12
ekspansi usaha, maka perusahaan akan mengajukan kredit atau

menerbitkan dan menjual obligasi. Namun jika kebijakan pembatasan

DER diberlakukan, peningkatan utang menyebabkan disinsentif pajak

(jika peningkatan utang tersebut menyebabkan DER perusahaan

melampaui batasan DER yang ditetapkan). Disinsentif pajak tersebut

menyebabkan perusahaan enggan untuk melakukan ekspansi usaha, yang

pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Besar batasan DER yang ditetapkan untuk perusahaan terbuka

seharusnya berbeda dengan perusahaan tertutup. Besar batasan DER

untuk perusahaan terbuka sebaiknya ditetapkan sebesar rata-rata DER

perusahaan terbuka di sektor yang sama atau tidak berbeda jauh dari

besar BMPK. Besar batasan DER untuk perusahaan tertutup sebaiknya

tidak jauh berbeda dari perusahaan terbuka, yaitu dengan

mempertimbangkan besar rata-rata DER perusahaan terbuka di sektor

yang sama.

Besar batasan DER juga harus memperhatikan sektor usaha

perusahaan. Sektor usaha tertentu cenderung memiliki DER tinggi

(seperti sektor keuangan dan pertambangan), sehingga besar batasan

DER juga harus dibedakan menurut sektor usaha perusahaan.

3. Apakah konsekuensi atas kebijakan pembatasan DER ?

Pemberlakuan kebijakan pembatasan DER disisi Pemerintah

membawa dampak berupa meningkatnya penerimaan pajak, namun

berpotensi mengurangi kontribusi investasi terhadap Produk Domestik

13
Bruto (PDB). Investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

(PMTDB), sebagai salah satu komponen dalam PDB, menyumbang

23,95% (2010), 24,42% (2011), 25,24% (2012) PDB Indonesia.

Peningkatan kontribusi investasi terhadap PDB dari tahun 2010 sampai

2012 mungkin tidak terulang lagi jika kebijakan pembatasan DER

diberlakukan, karena investasi perusahaan menjadi tertekan. Misal jika

batasan DER yang ditetapkan sebesar 3,0 (sesuai KMK tahun 1984),

maka perusahaan perlu memiliki ekuitas sebesar Rp1,25 dan utang

sebesar Rp3,75 untuk mengoperasikan aset sebesar Rp5. Jika batasan

DER yang ditetapkan mengikuti besar BMPK (4,0), maka perusahaan

mampu mengoperasikan aset sebesar Rp5, dengan ekuitas hanya sebesar

Rp1 dan utang sebesar Rp4, sehingga dapat dikatakan bahwa pembatasan

DER menimbulkan cost, yaitu berupa berkurangnya jumlah investasi

yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan jumlah ekuitas yang sama

besar.

Perusahaan yang memiliki DER diatas yang ditetapkan

mengalami disinsentif pajak (yaitu sebesar biaya bunga yang tidak dapat

dikurangkan (non-deductible interest expense) dikalikan tarif PPh Badan

yang berlaku). Disinsentif tersebut menyebabkan beban pajak perusahaan

bertambah dan pada akhirnya dibebankan kepada konsumen

(masyarakat) berupa penyesuaian (umumnya kenaikan) harga barang

dan/atau jasa yang diproduksi perusahaan. Kenaikan tersebut

menyebabkan penurunan permintaan barang dan/atau jasa (dengan

14
asumsi daya beli masyarakat konstan), yang pada akhirnya menurunkan

konsumsi agregat dalam perekonomian.

Dampak positif pemberlakuan kebijakan pembatasan DER bagi

Pemerintah antara lain meningkatkan penerimaan pajak (karena tidak

seluruh biaya bunga dapat diakui sebagai biaya fiskal) dan membatasi

ruang gerak praktik thin capitalization (karena penggunaan utang secara

berlebihan menimbulkan disinsentif pajak). Namun bagi perusahaan,

pemberlakuan kebijakan ini tampaknya lebih banyak menimbulkan

dampak negatif antara lain iklim investasi Indonesia menjadi kurang

ramah bagi perusahaan (karena perusahaan yang memiliki utang besar

,yang sebenarnya digunakan untuk ekspansi usaha, mengalami disinsentif

pajak). Disinsentif tersebut menyebabkan perusahaan enggan untuk

melakukan ekspansi usaha jika belum/tidak memiliki modal yang cukup.

Pada akhirnya, keengganan perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha

berpotensi menimbulkan dampak negatif atas pemberlakuan kebijakan

ini bagi Pemerintah, yaitu berupa pengurangan kesempatan kerja dan

perlambatan pertumbuhan ekonomi.

15
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti apakah kebijakan

pembatasan DER perlu diberlakukan kembali atau tidak, kemudian untuk

meneliti alternatif batasan DER yang dapat digunakan sebagai batasan DER

dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Penelitian ini juga bertujuan untuk

meneliti efektivitas pemberlakuan kebijakan pembatasan DER, yang difokuskan

pada penerimaan PPh Badan dan praktik thin capitalization, dan untuk meneliti

faktor-faktor yang menjadikan utang lebih menarik (dibanding ekuitas) sebagai

sumber pendanaan eksternal perusahaan sampel

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan memberi manfaat kepada pihak-pihak terkait,

antara lain:

1. Bagi peneliti. Menjawab rasa keingintahuan peneliti tentang faktor-faktor

yang menjadikan utang lebih menarik (dibanding ekuitas) sebagai

sumber pendanaan eksternal sampel dan tentang efektivitas kebijakan

pembatasan DER dilihat dari tujuannya, yaitu untuk meningkatkan

penerimaan PPh Badan dan membatasi praktik thin capitalization.

2. Bagi Pemerintah. Pemerintah diharapkan mampu memformulasikan

kebijakan pembatasan DER yang tidak menimbulkan dampak negatif

terlalu besar bagi dunia usaha. Pemerintah juga diharapkan mampu

menganalisis dan/atau mengantisipasi setiap loopholes yang mungkin

muncul sebagai akibat pemberlakuan kebijakan ini.

16
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu melakukan pengembangan

dari keterbatasan penelitian ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Literatur

Bab ini menjelaskan mengenai literatur dan teori yang digunakan peneliti

dalam penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai metoda penelitian, jenis penelitian,

populasi dan sampel penelitian, sumber data penelitian, metoda analisis, dan

alat analisis.

Bab IVAnalisis dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian dan penjelasan tentang gambaran umum hasil

penelitian yang diperoleh dari analisis data penelitian.

Bab V Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian yang berisi kesimpulan

dan saran dari hasil analisis data penelitian.

Daftar Pustaka

17

Vous aimerez peut-être aussi