Vous êtes sur la page 1sur 4

Paling enak menyesap teh hangat di pagi hari sambil menikmati pemandangan.

Mendengar
kicau burung dan angin yang sejuk. Rasanya semua lengkap apalagi jika ditemani orang yang
tersayang. Membayangkan suasana seperti itu sudah cukup menyiksa hati karena yang terjadi
sebenarnya 180 derajat berbeda dari apa yang dibayangkan. Teh hangat harus bikin sendiri.
Pemandangan nol besar. Tetanggaku sedang merenovasi rumah, alhasil suara bising dan
debunya ikut kunikmati juga. Burung dan angin sejuk juga tidak ada. Di kota besar seperti ini
rasanya mustahil mendengar kicau burung liar dan merasakan angin sejuk. Orang tersayang
juga nggak ada. Bukannya nggak punya pacar, tapi rasanya malas sekali membayangkan dia
duduk bersamaku sambil minum teh. Aku jadi teringat Dimas. Ya dia pacarku.

Pertama kali orang tahu aku jadian sama Dimas, dijamin semuanya nggak percaya.
Bagaimana bisa cowok ganteng, pintar, eksis dan dikeceng sama puluhan siswa sekolah itu
bisa nembak cewek seperti aku? Sampai hari ini aku juga nggak ngerti, lagipula aku juga
nggak terlalu peduli apa kata orang lain. Hal yang paling menyebalkan yang pasti dirasakan
sebagai pacar dari cowok yang ganteng adalah banyak orang yang jealous dan nggak suka
sama kamu. Nggak cuma sama teman seangkatan. Kakak kelas bahkan adik kelas pun ikut-
ikutan sinis. Mulai dari bisik-bisik tetangga sampai tunjuk-tunjuk jari. Kukira kejadian seperti
cuma akan terjadi selama seminggu. Ya paling lama sebulan lah. Ternyata sampai sekarang
sudah tiga bulan pun, aku masih harus cuek dan pura-pura nggak nyadar saat orang-orang
berbuat seperti itu. Orang-orang masih tidak percaya bahwa aku ini pacarnya Dimas.
Parahnya Dimas sepertinya sama sekali tidak peduli akan penderitaan yang aku rasakan.
Hubungan kami pun tidak ada kemajuan sejak hari pertama jadian. Kami tidak pernah sms-
an. Ngobrol paling-paling lewat chat fb. Jalan-jalan pun hanya satu kali dan bayar masing-
masing. Aku sering berpikir sebenarnya Dimas kesurupan atau salah minum obat saat
menembakku.

***

Rasanya baru saja menikmati hari sabtu, sekarang sudah harus siap-siap ke sekolah. Tebak
apakah Dimas menjemputku untuk pergi sekolah? Tepat sekali, tentu saja tidak. Malah dia
nebeng mobil ayahku. Sempat terpikir jangan-jangan dia cuma parasit yang ingin mengambil
keuntungan dariku.

Perjalanan dari rumah ke sekolah hanya memakan waktu lima belas menit, tapi kantor ayahku
agak jauh jadi kami berangkat subuh.

Ira, temenin ke kantin yuk, ajak Dimas sesampainya di sekolah. Ini tidak biasanya.
Setahuku ibunya selalu memberi dia sarapan.

Sebelum mengangguk tanda setuju, aku ingat sepagi ini bibi-bibi kantin belum jualan, pasti
masih beres-beres. Kamu belum sarapan? Jam segini kantin belum buka. Kamu makan bekal
aku aja, kataku sambil menunjuk tas.

Dimas makan di kelasku. Seperti biasa, belum ada orang yang datang. Suasana sangat sepi,
yang terdengar hanya Dimas yang sedang mengunyah. Lamunanku buyar saat Dimas
menyenggolku dan menyerahkan undangan ulang tahun. Kamu bisa ikut kan?
Acaranya besok jam 8 malam. Aku berpikir untuk mengingat jadwal esok hari. Aku tidak
punya acara dan orang tuaku sepertinya akan memberi izin. Orang tuaku sangat menyukai
Dimas, terutama ibuku. Dia ganteng, pintar, dan sopan. Sempurna.

Mmmm, jawabku singkat sekaligus menjadi akhir percakapan kami hari itu. Percakapan
singkat seperti itu termasuk lumayan. Biasanya kami tidak pernah bicara di sekolah. Aku
cukup lega ternyata Dimas masih menganggapku sebagai pacarnya. Buktinya dia mengajakku
ke pesta ulang tahun temannya.

***

Rama

Ira, balasku sambil menjabat tangan cowok yang baru aku kenal itu. Sebelum cowok itu
datang, aku duduk sendirian. Dimas menyuruhku duduk setelah kami menandatangani kanvas
yang disiapkan sebagai kenang-kenangan untuk si orang yang berulang tahun. Kukira malam
ini aku bisa terus bersama Dimas. Dia malah sibuk ngobrol dengan teman-temannya. Kenapa
aku tidak dia gandeng dan dia kenalkan pada teman-temannya itu? Lalu untuk apa dia
mengajakku.

Rama adalah cowok yang ramah. Itulah kesan pertama yang kudapat. Sebenarnya obrolan
kami hanya sebentar karena tidak lama setelah Rama datang Dimas menghampiriku.

Rama. Kenalin ini Ira. Cewek gue, kata Dimas sambil merangkul pundakku. Ekspresi
Rama yang penuh senyum itu tiba-tiba berubah setelah mendengar perkataan Dimas.

Oh. Setelah anggapan yang sangat singkat itu, Dimas langsung menyeretku. Dia
menggandengku kemana-mana. Aku jadi tertawa sendiri. Apakah dia sedang cemburu?

Senyumku masih terhias sampai aku berbaring di tempat tidur. Ini pertama kalinya Dimas
bertingkah seperti itu. Dia bagai memamerkan spanduk yang bertulis Ini cewek gue. Jangan
ganggu dia.

***

Mataku menyusuri judul buku yang ada. Menyerah karena tidak menemukan buku yang
dicari, aku bertanya pada mas-mas penjaga toko buku.

Sekarang giliran mas itu yang menyusuri buku-buku. Ini dia, kata mas-nya sambil meraih
buku yang dimaksud. Seorang cowok dengan cepatnya mengambil buku itu. Sialnya buku
yang dia ambil adalah buku yang terakhir. Mas penjaga toko pun minta maaf karena stok
buku sudah habis.

Ira?, sapa cowok yang mengambil buku terakhir itu.

Rama. Kami jalan bersama sampai keluar dari toko buku. Rama yang penuh senyum itu
pun kembali lagi. Tidak seperti saat terakhir bertemu di pesta ulang tahun.
Tadi kamu cari buku ini? Sayang sekali aku yang mengambil stok terakhir, kata Rama
sambil mengangkat kantong plastik berisi buku yang baru dia beli. Ini untukmu saja.

Kontan aku kaget dengan apa yang dikatakan Rama. Oh. Nggak usah. Nggak apa-apa kok.
Walaupun aku sudah menolaknya tapi tetap saja Rama memaksa memberikan buku itu.

Ya udah. Kita cari buku ini di toko lain. Pokoknya kamu harus bawa pulang buku ini.
Akhirnya aku menyetujui ajakan Rama.

Rama tidak hanya asal bicara. Sejak awal dia ingin aku memiliki buku itu. Aku pun pulang
dengan membawa satu buah kantong berisi buku.

Tidak seperti Dimas, Rama adalah orang yang menyenangkan. Biasanya aku akan canggung
jika harus mengobrol berdua saja dengan orang yang baru aku kenal, tapi Rama berbeda.
Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Keluar begitu saja dari bibirku. Dua jam mengunjungi
berbagai toko buku pun begitu tidak terasa.

***

Kamu kemarin ke mana?, tanya Dimas begitu bertemu denganku di koridor sekolah. Ini
kejadian aneh. Selama ini dia tidak pernah peduli ke mana aku pergi. Kenapa dia harus
bertanya saat jawabannya tidak bisa kukatakan?

Kemarin aku ke toko buku. Kenapa?, jawabku dengan berusaha menghilangkan nada
canggung yang tidak bisa kusembunyikan.

Dimas tertawa setelah mendengar jawabanku. Kamu sekarang udah berani bohong?,
dengan nada menantang. Dia menunjukkan isi kotak inbox di handphonenya. Pesan dari
Rama, Gue pinjam pacarmu sebentar. Kami hanya ke toko buku. Walaupun hanya dua jam,
tapi aku senang. Thanks.

Awalnya ku kira dia hanya main-main, ternyata ada saksi yang bilang bahwa kau memang
pergi dengannya, lanjut Dimas.

Memangnya kenapa kalau aku jalan dengan Rama? Apa kau pernah meluangkan waktumu
saat ku membutuhkanmu? Apa kau pernah peduli padaku?. Bentakku. Aku tak tahu tapi
amarah keluar begitu saja. Suasana di koridor pun jadi memanas. Aku tidak peduli pada
orang-orang yang memperhatikan kami. Aku merasa hanya ada aku dan Dimas. Seakan
waktu berhenti di tempat kejadian itu. Aku benar-benar marah. Selama ini aku berusaha sabar
memiliki pacar seperti dia. Mungkin orang lain beranggapan bahwa aku adalah wanita yang
paling beruntung, tapi aku merasa aku adalah yang paling sial. Terkurung. Tidak bebas
bagaikan burung. Sang majikan memutuskan untuk membeli burung itu di toko hewan, tapi
dia tidak merawatnya. Tidak memberikan kasih sayang kepada hewan peliharaannya.

Kami berdua diam dalam hening. Bergulat dengan pikiran masing-masing. Semuanya
berakhir dengan kata pamungkas dariku. Kita putus saja.

***
Sms bertubi-tubi datang padaku. Semua dari Dimas dan semua isinya diketik dengan huruf
besar. NGGAK, AKU NGGAK TERIMA, KITA NGGAK BISA PUTUS SECARA
SEPIHAK, AYO BICARA.

Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan apa yang harus kulakukan.

***

Udah lah Mas. Kamu nggak bisa kayak gini terus. Kalau gue jadi Ira, hue juga bakal
melakukan hal sama. Lo mau begini terus sampai nikah? Tujuan lo itu untuk bikin Rama sakit
hati dan frustasi kan? Tapi ujung-ujungnya yang sakit hati dan frustasi itu bukan Cuma Rama.
Lo dan Ira juga akan merasakannya, jelas Fadlan, berusaha meyakinkan sahabat
dihadapannya itu.

Dimas menyesap cappucino yang dia pesan kemudian tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Apa yang dikatakan Fadlan memang ada benarnya. Apakah dia akan berhenti sampai di sini?
Akankah dia membuka pada Ira semua kebohongan yang ada?

***

Huh menyebalkan. Brengsek tuh cowok. Berani-beraninya dia jadian sama cewek

Vous aimerez peut-être aussi