Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Alzheimer Disease
Alzheimer disease (AD) merupakan kelainan genetik pada gen autosomal dominan. AD
merupakan bentuk umum dari demensia yaitu gangguan fungsi intelektual dan memori didapat
yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan tingkat kesadaran.
AD ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi
yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang
mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat
tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan
reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara
nikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi
neurofibrillary.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma,
neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi
penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal
bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit alzheimer adalah
penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika,
tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan)
juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Epidemiology
Riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30 %
pasien mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan. Seseorang dengan riwayat
keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama memiliki risiko 2-3 kali menderita AD,
walaupun sebagian pasien tidak punya riwayat keluarga yang positif.
Pathway
Patofisiologi
Komponen utama patologi AD adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles,
hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano Bodies. Plak neuritik
mengandung b-amyloid ekstraselular, protein komplemen, mikroglia teraktivasi, sitokin-sitokin,
dan protein fase akut. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada
kromosom 21 yang menunjukkan adanya hubungan dengan down sindrom.
Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia, dan muncul di jaringan otak orang usia
lanjut yang tidak demensia. Neurofibrillary tangles (NT) merupakan struktur intraneuron yang
mengandung tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Lansia yang normal
memiliki NT di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal tapi jarang ditemukan pada
orang tanpa demensia.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang
terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah
fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane
neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi
fragmen fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang
menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel sel glia
yang akhirnya membentuk fibril fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut,
dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan
radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh
darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi,
perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada
otak
Gejala klinik
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahanlahan, sehingga pasien dan
keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa
stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:
Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer yang diterbitkan suatu
konsensus oleh the national Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke
(NINCDS) dan the Alzheimers Disease and Related Disorders Association (ADRDA).
1. Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari:
o Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental
atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
o Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
o Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
o Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
o Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
o Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
- Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas
slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
3. Gambaran Klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,
setelah mengekslusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
o Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
o Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
o Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut,
seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder)
o Kejang pada penyakit yang lanjut
o Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4. Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
o Onset yang mendadak dan apolectic
o Terdapat deficit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, deficit lapang
pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
o Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa addanya gangguan neurologis,
psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanaya variasi
pada awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit
o Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab
demensia
Terapi
Pengobatan untuk mempertahankan fungsi kognitif
a. Kolinesterase inhibitor
Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin, dan galantamin adalah
kolinesterase inhibitor yang telah disetujui oleh U.s. Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan ini adalah
dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar asetilkolin di
jaringan otak.
Pasien-pasien yang menggunakan kolinesterase inhibitor lebih dapat mempertahankan
kemampuan mereka untuk aktivitas kehidupan sehari-hari, lebih sedikit timbul perubahan
perilaku, lebih tidak bergantung kepada pramuwerdha dan lingkungan sekitar, serta dapat
menunda masuk ke panti werdha.
Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini
adalah mual, muntah, dan diare, dapat pula timbul penurunan berat badan, insomnia,
mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatig. Umumnya muncul saat awal
terapi, dan dapat dikurangi bila interval peningkatan dosis diperpanjang dan dosis
rumatan diminimalkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama
dengan memantin dan vitamin E.
b. Antioksidan
Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil cukup baik adalah alfa tokoferol
(vitamin E). pada satu penelitian pemberian vitamin E dapat memperlambat progresi
penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Efek vitamin E pada pasien demensia mauun
gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasi dengan
kolinesterase inhibitor.
c. Memantin
Memantin adalah suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah
melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus.
Bila memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat inhibitor dosis
tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status fungsional,
dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan
placebo.
d. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan
thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase
(45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin
hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan
bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
e. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi
kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada
penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
f. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik
alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu,
didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
g. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,halusinasi) dan
tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki
gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic
anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari)
Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik
tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi
prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan
hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi
sekunder.
Referensi
Richardsz SS, Sweet RA. Dementia. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Comprehensive text
book of psychiatry volume 1. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2009; 1176-
1185.
Salloway S, Correia S. Alzheimer disease: time to improve its diagnosis and treatment.
Jayadev S, Steinbart EJ, Chi YY, Kukull WA, Schellenberg GD, Bird TD. Conjugal
alzheimer disease: risk in children when both parents have alzheimer disease. Arch
Neurol. 2008; 65(3): 373-378.