Vous êtes sur la page 1sur 36

Case Report Session

ABSES PERITONSIL DAN SUBMANDIBULA

Oleh:

Alfioni Parsiska 1310311096

Prima 1110312026

Hadi

Preseptor:

dr. Rossy Rosalinda , Sp.THT-KL

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG

2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
1.4 Manfaat Penulisan 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi 4
2.2 Definisi 7
2.3 Epidemiologi 7
2.4 Klasifikasi 8
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko 10
2.6 Patofisiologi 13
2.7 Gambaran Klinis 15
2.8 Diagnosa 19
2.9 Penatalaksanaan 20
2.10 Komplikasi 27
2.11 Prognosis 28

BAB 3. LAPORAN KASUS 29


BAB 4. DISKUSI 45

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Telinga 4


Gambar 2.2 Membran Timpani 5
Gambar 2.3 Bangunan di sekitar telinga tengah 6
Gambar 2.4 Patofisiologi OMSK 13
Gambar 2.5 Teori Kolesteatoma 16
Gambar 2.6 Panduan Tatalaksana OMSK 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan

membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses

leher dalam. Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia

leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,

mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda

klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang

terlibat.1

Anatomi dari abses leher dalam sangat komplek, sehingga sulit untuk

menentukan lokasi infeksi. Untuk membuat diagnosis dari abses leher dalam

cukup sulit karena abses ini ditutupi oleh beberapa jaringan lunak yang ada pada

leher dan juga sulit untuk mempalpasi serta menginspeksi dari luar.2

Dari penelitian didapatkan bahwa angka kejadian abses submandibula

berada di bawah abses peritonsil dan retrofaring. Namun dewasa ini, angka

kejadiannya menduduki urutan tertinggi dari seluruh abses leher dalam. 70 85%

dari kasus disebabkan oleh infeksi dari gigi, selebihnya karena sialadenitis,

limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Selain itu, angka

kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang

kurang lengkap. Komplikasi juga lebih sering pada daerah yang tidak mudah
mendapatkan pengobatan modern. Di RSUP Dr. M. Djamil Padang dari Januari

2001- Juni 2006 terdapat 11 kasus abses submandibula.3

1.2. Rumusan Masalah


Case ini membahas mengenai abses submandibula dengan komplikasinya

meliputi anatomi, definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,

diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi yang diakibatkan.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan case ini adalah untuk memahami mengenai anatomi,

definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis,

penatalaksanaan, dan komplikasi dari abses submandibula.

1.4. Metoda Penulisan


Case ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai

literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Leher


Struktur superfisial leher terdiri atas otot sternocleidomastoideus dan
trapezius serta triangle. Otot sternomastoid membagi empat area dari sisi leher
menjadi segitiga anterior dan posterior. Segitiga posterior terdiri atas
sternomastoid, trapezius dan klavikula sedangkan segitiga anterior terdiri atas
sternomastoid, garis medial bagian anterior leher dan batas inferior mandibula.

Gambar 1. Segitiga leher.


A menunjukkan platysma, yang merupakan bagian atap segitiga anterior dan
posterior. B menunjukkan pembagian leher oleh sternomastoid menjadi
segitiga anterior dan posterior. C dan D menunjukkan subdivisi dari segitiga

Segitiga posterior dibagi oleh otot omohyoid inferior menjadi segitiga


oksipital superior dan segitiga supraklavikula inferior. Atap segitiga posterior
terdiri atas fasia dan otot platysma. Bagian bawah dibentuk oleh serangkaian otot
memanjang - capitis splenius, levator skapula dan scalenes tengah dan posterior -
semua ditutupi oleh fascia prevertebral. Isi terpenting dari segitiga posterior
adalah saraf aksesorius (saraf kranial XI), pleksus brakhialis, bagian ketiga dari
arteri subklavia dan kelenjar getah bening.
Segitiga anterior disusun oleh sternomastoid, garis median anterior leher
dan batas inferior mandibula. Segitiga anterior dilintasi oleh otot digastrikus dan
stylohyoid dan oleh superior omohyoid. Otot-otot ini memungkinkan pembagian
lebih lanjut dari segitiga anterior, seperti segitiga karotis. Segitiga karotis berisi
sebagian dari arteri karotis eksternal dan cabang-cabangnya. Arteri karotid umum
dan internal dan vena jugularis interna cenderung tumpang tindih dengan
perbatasan anterior dari sternomastoid.

Gambar 2. Pembagian segitiga leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potesial yang dibatasi oleh
fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher
menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Fasia servikalis superfisialis
Terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di
prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
2. Fasia servikalis profunda
Terdiri dari tiga lapisan yaitu:
a. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus musculus
sternokleidomastoideus, musculus trapezius, musculus masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing
layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
b. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus musculus sternohioid, musculus sternotiroid, musculus
tirohioid dan musculus omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid
dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula
dan skapula. Divisi viscera membungkus organ-organ anterior leher yaitu
kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari
divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi
musculus konstriktor dan musculus buccinator.
c. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi
alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan
dinding anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian
anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta
menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke
os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung
karotis (carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks (Calhoun, 2001).

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan


daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher, terdiri atas:
a. ruang retrofaring
b. ruang bahaya (danger space)
c. ruang prevertebra
2. Ruang suprahioid, terdiri atas:
a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. ruang peritonsil
f. ruang temporalis
3. Ruang infrahioid
Terdiri atas ruang pretrakeal.
Gambar 3. Ruang potensial leher dalam
(A) Potongan aksial, (B) potongan sagital

Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS:


parapharyngeal space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG:
submandibular gland; GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid
muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral
pterygoid muscle; TM: temporal muscle (Ariji, 2002).
2.1.1 Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang
submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot
miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan
ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior (Soepardi, 2007).
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari
badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior
oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus,
superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan
superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva
sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes (Calhoun, 2001). Ruang
submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya, oleh karena
itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya (Ariji, 2002).

Gambar 4. Ruang submandibula

2.2 Definisi
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher

dalam sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Pada abses

submandibular, ruang potensial ini terdiri dari ruang sublingual dan submaksila

yang dipisahkan oleh otot milohioid.

2.3 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.
Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi
(Soepardi, 2007; Calhoun, 2001).
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari
mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus
mylohyoid. Infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui
beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior
dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor (Huang, 2004;
Ariji, 2002).
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai
kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob
yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus
influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp,
Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam
adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella,
maupun Fusobacterium (Rosen, 2002).

2.4 Patofisiologi
Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab
melalui beberapa proses, antara lain:
1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut, wajah atau
infeksi leher superficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik.
2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi
abses fokal.
3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang
leher dalam
4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh
dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu
daerah sekeliling batas posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-
akar gigi molar dibawah mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut
dan gigi geligi dapat timbul di trigonum submandibularis. Infeksi dari
submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya (Ariji, 2002;
Rosen, 2002).

2.5 Diagnosis
Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak,
trismus (akibat keterlibatan musculus pterygoid), disfagia dan sesak nafas
(akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong
ke belakang).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan didapatkan adanya pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material
yang bernanah atau purulent. Angulus mandibula dapat diraba. Lidah
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang (Soepardi, 2007; Ariji, 2002;
Ballenger, 1994).

Gambar 5. Abses submandibula pada anak


Gambar 6. Abses submandibula pada dewasa

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material
yang purulen dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
b. Radiologis
- Rontgen jaringan lunak kepala AP
- Rontgen panoramik
Dilakukan apabila penyebab abses submandibula berasal dari gigi.
- Rontgen thoraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
c. Tomografi Komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standar pada abses
leher dalam. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas
rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.
Gambar 7. CT-scan axial, menunjukkan pembesaran musculus pterygoid medial
(tanda panah), peningkatan intensitas ruang submandibular dan batas yang jelas
dari musculus platysmal (ujung panah).

Gambar 8. Algoritma Pemeriksaan Benjolan di Leher

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding penyakit abses submandibula, antara lain :
1. Parotitis
Parotitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus mumps, bersifat
self limitting disease. Gejala klinis meliputi pembengkakan dan rasa nyeri pada
kelenjar saliva terutama kelenjar parotid disertai adanya demam, sakit kepala,
malaise dan anoreksia. Pada abses submandibula ini tidak didapatkan
pembengkakan pada kelenjar parotis dan tidak didapatkan riwayat kontak dengan
pasien parotitis sebelumnya.
2. Angina Ludwig
Angina ludwig atau angina ludovici merupakan infeksi ruang
submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada pembesaran
submandibula. Sumber infeksi berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman
aerob dan anaerob. Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan leher disertai
pembengkakan di daerah submandibula yang hiperemis dan keras pada perabaan,
dasar mulut yang membengkak dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga
menimbulkan sesak napas. Pada abses submandibula tidak teraba fluktuasi dan
tidak mendorong lidah ke belakang.
3. Abses parafaring
Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa demam, nyeri
pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral faring
hingga menonjol kearah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos
jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Pada pemeriksaan foto jaringan
lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea,
udara di daerah subkutis, cairan didalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah
jaringan lunak leher. Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak
dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto
toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,
pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan
tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses.
Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras
pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.
4. Abses retrofaring
Gambaran klinis berupa gejala infeksi umum seperti demam, lekositosis,
nyeri tenggorok dan nyeri menelan, nyeri dan bengkak pada leher di belakang
angulus mandibula, trismus dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
terdorong atau menonjol ke arah medial. Mungkin terdapat juga edema pada
uvula, pilar tonsil dan palatum. Pada foto leher jaringan lunak, terlihat penebalan
jaringan lunak parafaring. Mungkin terlihat pendorongan trakhea ke samping
depan. Dengan tomografi komputer abses dan penjalarannya dapat terlihat jelas.
5. Abses peritonsil
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), kadang-kadang sukar membuka mulut
(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila
ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in
neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot
tengkuk (cervical muscle inflammation). Dari CT scan biasanya tampak kumpulan
cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi dengan peripheral rim
enhancement.

2.7 Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah:
1. Antibiotik (parenteral)
Antibiotik kombinasi adalah pilihan terbaik karena mikroorganisme
penyebabnya adalah campuran. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat, pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan uji kepekaaan,
kuman aerob memiliki angka sensitifitas >70% terhadap terhadap ceforazone
sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone. Metronidazole dan
klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk bakteri anaerob
gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari
(Soepardi, 2007; Huang, 2004).
Tabel 1. Pola Kepekaan Kuman Anerob Terhadap Antibiotik (Boyanova, 2006)
Antibiotik R I S
Bacteroides Amoksilin 7 0 0 7
fragilis Metronidazole 0 0 7 7
Klindamisin 1 3 2 6
Ampisilin/sulbaktam 6 0 0 6
Provotella Amoksilin 11 1 37 49
Metronidazole 0 0 49 49
Klindamisin 2 3 32 37
Fusobacterium sp Ampisilin/sulbaktam 0 1 42 43
Amoksilin 1 3 11 15
Gram negatif lain Metronidazole 0 0 15 15
Klindamisin 1 0 13 14
Gram positif lain Ampisilin/sulbaktam 0 0 15 15
Amoksilin 2 0 5 7
Gram positif Metronidazole 2 1 5 8
non spora Klindamisin 0 0 7 7
Ampisilin/sulbaktam 0 0 5 5
Metronidazole 1 0 13 14
Klindamisin 0 1 11 12
Ampisilin/sulbaktam 0 0 14 14
Metronidazole 40 0 17 57
Klindamisin 3 2 48 53
Ampisilin/sulbaktam 0 0 56 56

S= sensitif I= intermediate R= resisiten

2. Evakuasi abses
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses (Soepardi, 2007). Bila abses belum terbentuk,
dilakukan penatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses
terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam), maka evakuasi abses dapat dilakukan
(Gomez, 2007).

Gambar 9. Insisi dan drainase abses

2.8 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini
cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor
melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi
dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis
atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat

didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak

terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan

pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang


sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50%

walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka

mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka

mortalitas 60% (Gomez, 2007; Brook, 2002).


BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn I

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Pasar Guguk 2x11 Kayu Tanam

Suku : Minang

MR : 974619

ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki berumur 23 tahun datang ke IGD RS Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 31 Maret 2017 dengan :

Keluhan utama: .

Bengkak di leher sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang

Tidak bisa membuka mulut yang semakin memberat sejak +_ 1 hari yang

lalu
Pada pasien mengeluhkan bengkak dibawah rahang kiri sejak +_ 2 minggu,

kemudian berobat ke puskesmas stem[at dan bidan, tapi tau diberi obat apa

dan keluhan tidak berkurang.


Sukar membuka mulut sejak +_ 1 minggu yang lalu, semakin memberat sejak

1 hari yang lalu.


Suara bergumam ada sejak 1 minggu yang lalu
Air ludah terkumpul dimulut ada, air liur tercampur nanah tidak ada.
Nyeri menelan ada sejak +_ 2minggu yang lalu
Sukar menggerakan leher tidak ada
Nyeri dada tidak ada, sesak napas tidak ada
Demam (+) 5 hari SMRS, batuk (+) 5 hari SMRS, pilek (-)

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat nyeri menelan berulang disangkal


Riwayat ketulangan sebelumnya tidak ada
Riwayat kencing manis tidak ada
Riwayat sakit gigi sebelumnya disangkal
Riwayat hipertensi tidak ada

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

Pasien seorang mahasiswa, belum menikah.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 130/ 70 mmHg

Nadi : 80 x/menit
Napas : 20 x/menit

Suhu : 36,4 o C

Pemeriksaan Sistemik

Kepala : normochepal, rambut hitam

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB

Paru

Inspeksi : simetris kiri, kanan statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor kiri = kanan

Auskultasi : suara nafas vesikuler normal, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : ictus tidak terlihat

Palpasi : ictus kordis teraba 2 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada

Abdomen

Inspeksi : tak tampak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Extremitas : akral hangat, perfusi baik.


STATUS LOKALIS THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Daun telinga Kel. Kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Dinding liang Cukup Lapang (N) Cukup Lapang Cukup Lapang

telinga (N) (N)


Sempit Tidak ada TIdak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Serumen Bau Ada Ada
Warna Kuning Kuning
Jumlah Sedang Sedang
Jenis Mukopurulen Mukopurulen
Membran Timpani
Utuh Warna Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya Arah jam 7 Arah jam 5

Bulging Tidak ada Tidak ada

Retraksi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada


Perforasi Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada

Kuadran Tidak ada Tidak ada

Pinggir Tidak ada Tidak ada

Mastoid Tanda radang Tidak ada Tidak ada


Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes garputala Rinne (+) (+)
512 Hz

Swabach Sama dg Sama dg pemeriksa

pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan normal
Audiometri -
Timpanometri Tidak dilakukan
Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Hidung luar Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan Tidak ada Tidak ada

kongenital
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus Paranasal

Inspeksi

Pemeriksaan Dekstra Sinistra


Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Rinoskopi Anterior

Vestibulum Vibrise Ada Ada


Radang Tidak ada Tidak ada
Kavum nasi Cukup lapang (N) Ya Ya
Sempit Tidak Tidak
Lapang Tidak Tidak
Sekret Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Jumlah Tidak ada Tidak ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konka media Ukuran Eutrofi Eutrof i
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum Cukup lurus/ Cukup lurus Cukup lurus

deviasi
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Peforasi Tidak ada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh Tidak ada Tidak ada

vasokonstriktor

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Koana Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Mukosa Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
Konka superior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Edema - -
Adenoid Ada/ tidak Tidak Tidak
Muara tuba Tertutup sekret Tidak Tidak

eustachius
Massa Lokasi - -
Ukuran - -
Bentuk - -
Permukaan - -
Post nasal drip Ada/ tidak Tidak ada Tidak ada
Jenis - -

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Trismus Ada 1cm
Uvula Edema Terdapat
Bifida Tidak ada
Palatum mole Simetris/ tidak Asimetris Asimetris

arkus faring
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Bercak/ eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tonsil Ukuran T1 Sukar dinilai
Warna Merah muda -
Permukaan - -
Muara/kripti Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada

dengan pilar
Peritonsil Warna Merah muda Fluktuatif (+)
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Gigi Karies/ radiks Ada Ada
Kesan Gigi geligi baik Pre mobi
Lidah Warna Merah muda
Bentuk Normal
Deviasi Tidak ada
Massa Tidak ada

Laringoskopi indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Epiglotis Bentuk Tidak dapat dinilai
Warna -
Edema -
Pinggir rata/ tidak -
Massa -
Aritenoid Warna - -
Edema - -
Massa - -
Gerakan - -
Ventrikular band Warna - -
Edema - -
Massa - -
Plika vokalis Warna - -
Gerakan - -
Pinggir medial - -
Massa - -
Subglotis/ trakea Massa - -
Sekret ada / tidak - -
Sinus piriformis Massa - -
Sekret - -
Valekulae Massa - -
Sekret (jenisnya) - -

Regio Submandibula Sinistra: edem (+), Hiperemis (+), fluktuatif (+)

Aspirasi submandibula: pus (+)

Aspirasi peritonsil: pus (-)

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.

RESUME

Anamnesis

Tidak bisa membuka mulut yang semakin memberat sejak +_ 1 hari yang

lalu
Pada pasien mengeluhkan bengkak dibawah rahang kiri sejak +_ 2 minggu,

kemudian berobat ke puskesmas stem[at dan bidan, tapi tau diberi obat apa

dan keluhan tidak berkurang.


Sukar membuka mulut sejak +_ 1 minggu yang lalu, semakin memberat sejak

1 hari yang lalu.


Suara bergumam ada sejak 1 minggu yang lalu
Air ludah terkumpul dimulut ada, air liur tercampur nanah tidak ada.
Nyeri menelan ada sejak +_ 2minggu yang lalu
Sukar menggerakan leher tidak ada
Nyeri dada tidak ada, sesak napas tidak ada
Demam (+) 5 hari SMRS, batuk (+) 5 hari SMRS, pilek (-)

Pemeriksaan Fisik

Status Lokalis

Telinga

Aurikula Dekstra Sinistra

Liang telinga lapang, massa di liang telinga (-), sekret (-), membran timpani utuh,

refleks cahaya (+) , mastoid : tenang, tanda tanda parese N. VII (-), serumen (+)

Rhinoskopi Anterior

Kavum nasi dekstra dan sinistra

Kavum nasi lapang, deviasi septum (-), konka inferior eutrofi, konka media

eutrofi, sekret (-), massa (-)

Tenggorok

Arkus faring asimetris, uvula terdapat, tonsil T1-tosil kiri sukar dinilai, kripti

tidak melebar,detritus (-), peritonsil kiri fluktuaif (+)

Regio Submandibula Sinistra

Edema (+), Hiperemis (+), fluktuatif (+)

Aspirasi Submandibula Sinistra: Pus (+)

Aspirasi peritonsil: (+)


Diagnosis Kerja

Abses Submandibula Sinistra dan Selulitis peritonsil.

Terapi

- IVD RL8J/kolf + tramolol 1 ampul

- Cefthiaxone 2x1 sr (IV) (skin test)

- Metronidazole 3x500 mg (IV)

- Dexametason 3x5 mg (IV)

Rencana Pemeriksaan

- Pemeriksaan labor darah rutin

- Informed consent untuk insisi aspirasi dalam lokal anastesi (pasien setuju)

- Acc rawat pre op: pro insisi explorasi abses dalam GA (pasien setuju)

- Co anastesi

Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam


BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 23 tahun dengan diagnosis kerja

Abses Submandibula Sinistra dan Selulitis peritonsil. Diagnosis ditegakkan dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Berdasarkan anamnesa yang dilakukan kepada pasien, pasien datang

dengan keluhan utama bengkak di leher kiri sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan

ini disertai dengan adanya nyeri dan sulit menelan. Keluhan bengkak di leher

disertai nyeri dan disfagia dapat diakibatkan oleh otitis eksterna, otomikosis,

OMA stadium perforasi atau OMSK. Nyeri tenggorok tidak ada. Pasien tidak

nyeri telinga, pusing berputar, hidung tersumbat, keluar sekret dan demam tidak

ada.

Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan tidak ditemukan sekret,

membran timpani perforasi sentral dan tidak ditemukan kolesteatom. Dalam

menegakan diagnosa, otitis eksterna (OE) pada pasien dapat disingkirkan karena

dalam pemeriksaan fisik tidak ada terdapat nyeri tekan tragus dan nyeri tarik

telinga. Diagnosa otomikosis juga dapat disingkirkan karena tidak ada keluhan

gatal yang dirasakan pasien selama menderita gangguan pendengaran dan

keluarnya cairan dari telinga. Selain itu, untuk diagnosa otitis media akut (OMA)

stadium perforasi dapat disingkirkan, oleh karena gejala pada pasien sudah sejak 2

tahun yang lalu dan gejala ini bukan lagi termasuk pada gejala yang bersifat akut.

Susp. OMSK tipe aman fase aktif ditegakkan dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala telah
berlangsung 2 tahun dan tidak menetap. Pada anamnesa didapatkan adanya keluar

cairan dalam 4 hari sebelumnya, oleh karena itu dikatakan sebagai fase aktif, di

mana saat fase aktif ini adanya sekret yang secara aktif kluar dari telinga. Pada

pemeriksaan otoskopi, didapatkan adanya perforasi tipe sentral pada kuadran

posterior inferior. Adanya perforasi yang berjenis sentral, menandakan itu suatu

OMSK yang bersifat benigna atau aman. Di mana kalau untuk menegakkan

diagnosa OMSK tipe bahaya, perforasinya berjenis marginal atau atik, oleh karena

itu OMSK tipe bahaya dapat disingkirkan karena letak perforasinya. Selain itu,

pada pasien juga tidak terdapat adanya kolesteatoma yang mana kolesteatoma

menandakan suatu OMSK tipe maligna atau bahaya. Jadi, daat disimpulkan

bahwa pada pasien ini bisa ditegakkan diagnosa OMSK tipe benigna atau aman

fase aktif.

Terapi pada pasien ini

- IVD RL8J/kolf + tramolol 1 ampul

- Cefthiaxone 2x1 sr (IV) (skin test)

- Metronidazole 3x500 mg (IV)

- Dexametason 3x5 mg (IV)

Anjuran terapi: Timpanoplasty

Untuk pembersihan liang telinga dipilih H2O2 3%, adapun untuk efek

antibakteri pada cairan ini lemah. Dengan mengharapkan efek effervessence dari

larutan tersebut diharapkan dapat mengangkat debris ke permukaan luka.

Pemilihan antibiotik topikal Ofloxacin yaitu pada obat ini efektif pada bakteri

gram positif-negatif aerob. Mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim DNA

gyrase yang nantinya akan memutuskan rantai DNA bakteri. Efek lain dari obat
ini, yaitu tidak bergantung pada RNA bakteri. Terapi menggunakan Ciprofloxacin

karena pada obat ini memiliki spekterum yang luas pada gram positif-negatif.

Bekerja dengan menghambat enzim gyrase dan diserap cepat pada saluran cerna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et al.


Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. Int J Oral Maxillofac Surg. 2002. 31: 1659.

2. Marcincuk MC. Deep Neck Infection. Diakses dari www.emedicine.com.


Last update 27 Mei 2005

3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid 1.
Edisi ke-13. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1994. 295-304.

4. Boyanova L, et al. Anaerobic bacteria in 118 patient with deep space head
and neck infections from the university of hospital of maxillofacial surgery,
sofia, bulgaria. J Med Micribol. 2006. 55: 1285-89.

5. Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J


Antimicrob Chemother. 2002. 50: 805-10.

6. Calhoun KH. Head and neck surgery-otolaryngology. Volume 2. 3nd Edition.


USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001. 705,712-3.

7. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the


submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias.
2007. 19: 52-3.

8. Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection:


analysis of 18 cases. Head and neck. 2004. 860-4.

9. Lalwani AK. Neck Masses. Current Diagnosis & Treatment. Otolaryngology


Head and Neck Surgery Second Edition. New York: Mc Graw Hill Lange.
2007.

10. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Abses leher dalam.
Dalam: Fachruddin D, Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI. 2007. 226.

11. Standring S. Grays Anatomy. The Anatomical Basis of Clinical Practise.


Churcill LivingStone: Elsevier. 2004.

12. Rahilly RO, Muller F, Carpenter S, Swenson R. 2009. Basic Human


Anatomy: A Regional Study of Human Structure. [online version]. Tersedia di
http://www.darmouth.edu. Diakses pada 1 Januari 2017.
13. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. Int J Infectious Dis. 2009. 13:327-33.

14. Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds presentation,
UTMB, Dept. Of Otolaryngology. 2002.

15. Yang S.W, Lee M.H, See L.C, Huang S.H, Chen T.M, Chen T.A. Deep neck
abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of antibiotics.
Infection and Drug Resistance. 2008. 1:1-8.

Vous aimerez peut-être aussi