Vous êtes sur la page 1sur 4

Antara Program Kantong Plastik Berbayar dan Pengenaan Cukai Kemasan Plastik

Oleh Akhmad Solikin, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*

Mulai 21 Februari 2016 konsumen tidak bisa lagi mendapatkan kantong plastik secara gratis ketika
berbelanja di retail modern. Berdasarkan kesepakatan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (APRINDO), maka
program kantong plastik berbayar pun diberlakukan, dimana konsumen diharuskan membayar
harga minimal Rp200 untuk memperoleh kantong plastik (atau kantong kresek) ketika berbelanja di
gerai ritel moderen.

Program tersebut bertujuan untuk mengurangi sampah, khususnya sampah plastik, sesuai dengan
Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. UU tersebut,
pengelolaan sampah terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Program kantong
plastik berbayar termasuk dalam kategori pengurangan sampah. Program tersebut juga menandai
kampanye gerakan Indonesia Bebas Sampah 2020 oleh KLHK.

Program tersebut secara umum mendapat sambutan yang baik dari Pemerintah daerah (Pemda).
Beberapa Pemda bahkan menetapkan harga kantong plastik yang lebih tinggi dari Rp200. Misalnya
Pemerintah Kota Balikpapan menerapkan harga Rp1.500,00 per kantong dan Pemerintah Kota
Makassar menetapkan harga Rp4.500,00. Selain itu, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
memberlakukan harga Rp5.000,00 di seluruh tempat perbelanjaan, baik pasar swalayan maupun
minimarket.

Kewenangan Pemungutan dan Tata Kelola Dana

Meskipun program kantong plastik berbayar tersebut bertujuan baik, setidaknya terdapat dua
masalah yang berpotensi menghambat pencapaian tujuannya. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, pengelolaan sampah diatur dalam UU Pengelolaan Sampah. Meskipun demikian, UU
tersebut tidak memberikan kewenangan pemungutan dana untuk pengelolaan sampah. Pasal 21
UU No. 18/2008 menyatakan bahwa pemerintah memberikan insentif kepada setiap orang yang
melakukan pengurangan sampah dan memberikan disinsentif kepada orang yang tidak
melakukannya. Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif atau disinsentif
tersebut harus diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP No. 81/2012 sebagai peraturan
pelaksanaan dari UU No. 18/2008 juga tidak mengatur secara khusus mengenai pemungutan dana
tersebut.

Berdasarkan UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003), kewenangan untuk melaksanakan


pemungutan pendapatan negara berada pada Menteri Keuangan sebagai pengguna anggaran
dengan melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan harus
menyetorkan pungutan tersebut ke kas negara. Di lain pihak, pejabat pengelola keuangan daerah
dapat memungut pendapatan daerah berdasarkan peraturan daerah.

Oleh karena program kantong plastik berbayar merupakan program yang bersifat sukarela dan
pemungutan dilakukan bukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, maka ketentuan
dalam UU Keuangan Negara tidak dapat diberlakukan. Meskipun demikian, justru dengan
pemungutan dan pengelolaan dana yang dilakukan oleh pihak di luar pemerintah dalam desain
yang sekarang berlaku, dapat menimbulkan masalah ditinjau dari tata kelola kepemerintahan yang
baik (good governance).

Ternyata dana hasil program plastik berbayar tidak dikelola oleh pemerintah, tetapi dikelola
langsung oleh masing-masing pengusaha ritel. Manajemen dana seperti ini merupakan praktik yang
kurang baik ditinjau dari segi tata kelola kepemerintahan. Hasil survey YLKI juga menunjukkan
bahwa keluhan utama konsumen adalah tidak jelasnya pengelolaan dana hasil penjualan kantong
plastik (YLKI, 2016).

Selain itu. penggunaan dana tersebut juga potensial dapat menimbulkan masalah. Ternyata dana
tersebut digunakan oleh pengusaha gerai ritel untuk memberikan insentif kepada konsumen,
pengelolaan sampah, dan pengelolaan lingkungan hidup melalui program tanggung jawab sosial
perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) dengan mekanisme yang akan diatur oleh
masing-masing pengusaha ritel. Penggunaan dana untuk kegiatan CSR menimbulkan pertanyaan:
Mengapa program CSR harus didanai oleh konsumen?

Ketentuan mengenai CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), antara lain dalam
UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Bahkan dalam PP No. 81/2012 dikenal prinsip Extended Producer
Responsibility (EPR) bagi produsen, importir, distributor, maupun retailer dalam mengelola sampah
yang mereka hasilkan.

Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi (AntaraNews.com, 2016), dana dari hasil
program kantong plastik berbayar harus dikelola secara independen atau melalui badan khusus
yang kemudian dipergunakan untuk kegiatan pengendalian pencemaran lingkungan. Lebih lanjut,
beliau menjelaskan bahwa pengusaha ritel sebaiknya hanya bertugas mengumpulkan dana
tersebut.

Cukai sebagai Alternatif Solusi


Pembentukan lembaga independen atau badan khusus berpotensi menyelesaikan masalah tata
kelola. Artikel ini membahas solusi lain berkaitan dengan sampah plastik, yaitu mekanisme
pengenaan cukai sebagaimana wacana yang telah mengemuka di media akhir-akhir ini.

Selama ini, jenis Barang Kena Cukai sangat terbatas, yaitu tembakau, etil alkohol, dan minuman
mengandung etil alkohol. Sehingga pemerintah bermaksud untuk melakukan perluasan
(ekstensifikasi) barang kena cukai. Pada tahun 2008, pemerintah berwacana untuk mengenakan
cukai pada minuman ringan berkarbonasi (Chandra dan Gufraeni, 2009; LPEM-FEUI, 2013). Pada
tahun ini, sebagaimana dapat di baca di media, pemerintah sedang mengkaji pengenaan cukai atas
botol plastik (Republika.co.id, 2016) atau kemasan plastik (Kompas.com, 2016).

UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai pada Pasal
2 menetapkan karakteristik barang-barang yang dapat dikenakan cukai, yaitu barang yang
konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pengenaan cukai atas botol atau kemasan
plastik dimungkinkan dengan alasan untuk menjaga kelestarian lingkungan terkait potensi sampah
plastik yang dapat mencemari lingkungan (Sahwan et al., 2005).

Apabila dikenakan cukai, dana hasil pemungutan tersebut akan dimasukkan ke kas negara, dan
dapat digunakan untuk pendanaan program lingkungan yang dikelola oleh K/L. Berkaca dari
penggunaan dana cukai hasil tembakau, terdapat pula kemungkinan penyusunan kebijakan Dana
Bagi Hasil (DBH) cukai kemasan atau botol plastik. DBH tersebut dapat dikelola oleh Pemda
dengan menggulirkan program-program yang terkait langsung dengan lingkungan, terutama
pengelolaan sampah.

Pada intinya, desain kebijakan cukai kemasan atau botol plastik dapat disinergikan dengan
ketentuan pengelolaan sampah, atau pengelolaan lingkungan secara umum. Termasuk di
dalamnya adalah desain ketentuan untuk memberikan insentif dan disinsentif dalam rangka
mengubah perilaku konsumen. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, diharapkan program
kelestarian lingkungan dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan tata kelola
kepemerintahan yang baik.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis
bekerja
Referensi
AntaraNews.com. (21 Februari 2016). YLKI: Kantong Plastik Berbayar Rasional. http://www.
antaranews.com/berita/ 546268/ylki-kantong-plastik-berbayar-hal-rasional. Diakses 17 Juni 2016.

Chandra, E. M. dan Gufraeni, R. (2009). Kajian ekstensifikasi barang kena cukai pada minuman
ringan berkarbonasi. Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol.16(3), 170-
179.

Kompas.com. (17 Juni 2016). Ini.Alasan.Pemerintah.Kenakan.Cukai.untuk.Kemasan.Plastik.


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/17/180557926/ini.alasan.pemerintah.kenakan.cuk
ai.untuk.kemasan.plastik. Diakses 21 Juni 2016.

LPEM-FEUI. (2013). Laporan Akhir: Profil Industri Minuman Ringan dan Dampak Ekonomi
Pengenaan Cukai pada Minuman Berkarbonasi. Jakarta: LPEM-FEUI.
Republika.co.id. (12 April 2016). Botol Plastik Bisa Kena Cukai Rp200 per Botol.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/04/12/o5j5f1348-botol-plastik-bisa-kena-cukai-
rp-200-per-botol. Diakses 21 Juni 2016.

Sahwan, F. L., Martono, D. H., Wahyono, S., dan Wisoyodharmo, L. A. (2005). Sistem Pengelolaan
limbah Plastik di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(1), 311-318.

YLKI. (2016). Hasil Survei: Efektivitas Uji Coba Kebijakan Kantong Plastik Berbayar pada Ritel
Modern. http://ylki.or.id/2016/04/hasil-survei-efektivitas-uji-coba-kebijakan-kantong-plastik-berbayar-
pada-ritel-modern/. Diakses 21 Juni 2016.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun
1995 tentang Cukai.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Vous aimerez peut-être aussi