Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu
berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum.2,3,4

Gambar 1. Appendix vermicularis4)

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.
Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada
dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.2,3

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1


Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2

2.2 INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun terjadi peningkatan rasio
pada usia 15-30 tahun yaitu sekitar 23 kasus per 10.000 penduduk, dan menurun seiring
bertambahnya usia.5

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

2.3.1 Obstruksi

Penyebab yang tepat belum diketahui namun diperkirakan penyebabnya adalah


obstruksi parsial dan peningkatan produksi mukus, sedangkan CA merupakan
penyebab sekunder.11
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat
pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus
alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya
Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma,
stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta
gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7)

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 2)
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,
muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 2,6,7 )

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan


suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7)

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan


gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis,
khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burneys. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang
berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan
penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di
punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter
atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada
testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi
urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk
terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi
abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.6
2.3.2 Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis
anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang
normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika
pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis
acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 1,2,7)

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan


lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.
2)
Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada
Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri
ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,
Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes
fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria
dapat ditemukan. 1,2,7)
Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta 2)

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)

Eschericia coli Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.

Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

Coccus Gr (+) Batang Gram (-)

Streptococcus anginosus Clostridium sp.

Streptococcus sp. Coccus Gram (+)

Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan
non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali
pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan
laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi.
Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai
akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah
terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus
Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari
secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.
Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal
masih kontroversi. 2,6)
2.3.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene 7)

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan
kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma
Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara
orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora
normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

2.4.1 Gejala Klinis

Pada sebagian besar pasien nyeri perut merupakan keluhan utama mereka,
berupa nyeri yang konstant pada daerah preumbilical atau epigastric, kemudian sesuai
perkembangan penyakit nyeri menjadi jelas dan terlokalisir di kuadran kanan bawah
dekat titik Mc Burney(dapus piis).

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan
nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri
perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang
disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-
rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi
anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang
panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal
1,2,3,7,8
Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya


suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga
> 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai
muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh
stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah
anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
2,8
diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen
mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix.12,13

Tabel 1. Gejala Appendicitis acuta 9)

Gejala* Frekuensi (%)

Nyeri perut 100


Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50
demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.10

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.2

Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal
pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus
biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat
diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan
peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.2,3

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burneys. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsings sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.9

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.8

Pemeriksaan Fisik

Penting untuk diingat bahwa posisi apendiks bervariasi. Dari 100 pasien yang
menjalani pemeriksaan CT scan tiga dimensi (3-D) dasar usus buntu terletak di titik
McBurney hanya pada 4% pasien; 36% di basis berada dalam jarak 3 cm; 28% 3-5 cm
dari titik McBurney; dan, pada 36% pasien, basis usus buntu lebih dari 5 cm dari titik
McBurney. 1

Temuan pemeriksaan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri
tekan rebound, nyeri pada perkusi, kekakuan. Meskipun nyeri tekan RLQ hadir 96%
pada pasien, ini adalah temuan nonspesifik. Nyeri tekan RLQ pada palpasi di atas titik
McBurney adalah tanda yang paling penting pada pasien.1

Temuan pemeriksaan fisik meliputi : 2

1. Rebound tenderness, nyeri pada perkusi, kekakuan, dan guarding:


Temuan paling spesifik
2. RLQ tenderness: Hadir dalam 96% pasien, tapi tidak spesifik
3. LLQ Tenderness: merupakan manifestasi utama pada pasien dengan
inversus situs atau pada pasien dengan lampiran panjang yang
meluas ke LLQ.
4. Bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang hadir dengan
hemiscrotum yang meradang
5. Pada wanita hamil, nyeri tekan RLQ dan nyeri yang mendominasi
pada trimester pertama, namun pada paruh akhir kehamilan kuadran
kanan atas (kanan) nyeri dapat terjadi.

Tanda-tanda aksesori pada pasien :2

1. Rovsing Sign (nyeri RLQ dengan palpasi LLQ): memberi kesan


iritasi peritoneal
2. Obturator sign (nyeri RLQ dengan rotasi internal dan eksternal
pinggul kanan yang dilipat): Memberi kesan apendiks yang
meradang terletak jauh di hemipelvis kanan.
3. Psoas sign (nyeri RLQ dengan perpanjangan pinggul kanan atau
dengan fleksi pinggul kanan terhadap resistensi): Mengacu bahwa
usus buntu meradang terletak sepanjang otot psoas kanan.
4. Dunphy sign (nyeri tajam pada RLQ yang disebabkan oleh batuk
sukarela): Memberi kesan peritonitis lokal
Diagnosis

Tes laboratorium berikut tidak memiliki temuan yang spesifik untuk


apendisitis, namun mungkin membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien
dengan atipikal presentasi:

CBC
C-reaktif Protein (CRP)
Tes fungsi hati dan pankreas Urinalisis (untuk membedakan radang usus buntu
dari kondisi saluran kemih)
Beta-hCG urin (untuk membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik
dini pada wanita usia subur)
Asam 5-hydroxyindoleacetic urin (5-HIAA)

CBC

WBC> 10.500 sel / L: 80-85% orang dewasa dengan radang usus buntu
Neutrofilia> 75-78% pasien
Kurang dari 4% pasien dengan radang usus buntu memiliki jumlah WBC
kurang dari 10.500 sel / L dan neutrofilia kurang dari 75%

Pada bayi dan pasien lanjut usia, jumlah WBC sangat tidak dapat
diandalkan karena pasien ini mungkin tidak melakukan respon normal terhadap
infeksi. Pada wanita hamil, leukositosis fisiologis membuat jumlah CBC tidak
berguna untuk diagnosis radang usus buntu.

C-reaktif Protein (CRP)


Tingkat CRP> 1 mg / dL umum terjadi pada pasien dengan radang usus
buntu
Kadar CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan radang usus buntu
menunjukkan perkembangan penyakit gangren, terutama jika dikaitkan
dengan leukositosis dan neutrofilia.
Pada orang dewasa yang memiliki gejala lebih dari 24 jam, tingkat CRP
normal memiliki nilai prediksi negatif 97-100% untuk apendisitis.

Urinary 5-HIAA

Tingkat HIAA meningkat secara signifikan pada apendisitis akut dan menurun
saat peradangan bergeser ke nekrosis pada usus buntu. Oleh karena itu,
penurunan tersebut bisa menjadi tanda peringatan awal perforasi usus buntu.

CT Scan

CT scan dengan media kontras oral atau dubur Gastrografin enema telah
menjadi studi pencitraan yang paling penting dalam evaluasi pasien dengan
presentasi atipikal apendisitis. CT abdomen dosis rendah mungkin lebih baik
untuk mendiagnosis anak-anak dan orang dewasa muda yang terpapar radiasi
CT yang menjadi perhatian khusus.

Ultrasonografi

Ultrasonografi mungkin menawarkan alternatif yang lebih aman


sebagai alat diagnostik utama untuk radang usus buntu, dengan CT Scan
yang digunakan pada kasus-kasus di mana ultrasonogram negatif atau
tidak meyakinkan.
Pada pasien anak-anak, kebijakan klinis American College of
Emergency Physicians (ACEP) merekomendasikan ultrasonografi,
namun bukan pengecualian, dari apendisitis akut; untuk secara definitif
menyingkirkan apendisitis akut, ACEP merekomendasikan CT
Apendiks yang sehat biasanya tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi;
Ketika usus buntu terjadi, ultrasonogram biasanya menunjukkan
struktur tubular tak terkompres berdiameter 7-9 mm
Ultrasonografi vagina sendiri atau dikombinasikan dengan pemindaian
transabdominal mungkin berguna untuk menentukan diagnosis pada
wanita usia subur.

Penatalaksanaan

Appendektomi tetap satu-satunya pengobatan kuratif radang usus buntu, namun


pengelolaan pasien dengan massa usus biasanya biasanya dibagi menjadi 3 kategori
pengobatan berikut: 1

Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah terapi antibiotik intravena
(IV), operasi usus buntu interval dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian.
Pasien dengan abses yang didefinisikan dengan lebih baik: Setelah drainase
perkutan dengan antibiotik IV dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan
kateter di tempat.
Apendektomi interval dapat dilakukan setelah fistula tertutup. Pasien dengan
abses multikompartmental: Pasien ini memerlukan drainase bedah dini.

Meskipun banyak kontroversi mengenai pengelolaan apendisitis akut


nonoperatif, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan
kondisi ini. Antibiotik yang dipertimbangkan untuk pasien dengan radang usus buntu
harus menawarkan cakupan aerobik dan anaerobik penuh. Durasi administrasi terkait
erat dengan tahap radang usus buntu pada saat diagnosis, mempertimbangkan temuan
intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa penelitian, antibiotik
profilaksis harus diberikan sebelum setiap usus buntu. Bila pasien menjadi afebris dan
jumlah sel darah putih (WBC) menormalkan, pengobatan antibiotik dapat dihentikan.
Cefotetan dan cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik antibiotik.

Non Bedah

Terapi non bedah mungkin berguna saat appendectomy tidak dapat diakses
atau bila prosedurnya berisiko tinggi. Laporan anekdot menggambarkan keberhasilan
antibiotik IV dalam mengobati apendisitis akut pada pasien tanpa akses terhadap
intervensi bedah

Dalam sebuah penelitian prospektif terhadap 20 pasien dengan apendisitis yang


terbukti dengan ultrasonografi, gejala dipecahkan pada 95% pasien yang menerima
antibiotik saja, namun 37% dari pasien ini mengalami apendisitis rekuren dalam 14
bulan.

Uji coba Appendicitis Acuta (APPAC), yang membandingkan terapi antibiotik


dengan appendectomy dalam pengobatan 530 pasien dengan apendisitis akut tanpa
komplikasi yang dikonfirmasi oleh computed tomography (CT), tidak dapat
menunjukkan inferioritas manajemen antimikroba versus pembedahan.

Antibiotik pra operasi

Antibiotik praoperasi telah menunjukkan kemanjuran dalam menurunkan


tingkat infeksi luka pasca operasi dalam banyak penelitian prospektif terkontrol, dan
obat ini harus diberikan bersamaan dengan konsultan bedah. Cakupan gram-negatif
dan anaerob spektrum luas ditunjukkan. Pasien dengan alergi penisilin harus
menghindari antibiotik tipe beta-laktamase dan sefalosporin. Carbapenem adalah
pilihan yang baik pada pasien ini.Pasien hamil harus menerima kategori kehamilan
antibiotik A atau B.

Medikamentosa
Tujuan terapi adalah untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi.
Dengan demikian, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan radang usus
buntu, dan semua itu. Agen yang sedang dipertimbangkan harus menawarkan cakupan
aerobik dan anaerobik penuh. Durasi administrasi berhubungan erat dengan stadium
radang usus buntu pada saat diagnosis.Agen antibiotik efektif dalam mengurangi
tingkat infeksi luka pasca operasi dan dalam memperbaiki hasil pada pasien dengan
abses usus atau septikemia. The Surgical Infection Society merekomendasikan untuk
memulai antibiotik profilaksis sebelum operasi, menggunakan agen spektrum yang
tepat selama kurang dari 24 jam untuk apendisitis nonperforasi dan kurang dari 5 hari
untuk apendisitis berlubang. Regimen memiliki khasiat yang kurang lebih sama, jadi
pertimbangan harus diberikan pada fitur seperti alergi obat, kategori kehamilan (jika
ada), toksisitas, dan biaya.

1. Penicillin
Penicillins adalah antibiotik bakterisida yang bekerja melawan organisme
sensitif pada konsentrasi yang cukup dan menghambat biosintesis dinding
sel mucopeptide.
2. Sefalosporin
sefalosporin secara struktural dan farmakologis berhubungan dengan
penisilin. Mereka menghambat sintesis dinding sel bakteri, sehingga
aktivitas bakterisida.
3. Aminoglikosida
Aminoglikosida memiliki aktivitas bakterisida yang bergantung pada
konsentrasi. Agen ini bekerja dengan mengikat ribosom 30S, menghambat
sintesis protein bakteri.
4. Karbapenem
Karbapenem secara struktural terkait dengan penisilin dan memiliki
aktivitas bakterisida yang luas. Karbapenem mengerahkan efeknya dengan
menghambat sintesis dinding sel, yang menyebabkan kematian sel. Mereka
aktif melawan organisme gram negatif, gram positif, dan anaerobik.

Diagnosis Banding

Akurasi keseluruhan untuk mendiagnosis apendisitis akut sekitar 80%, yang


sesuai dengan tingkat appendektomi negatif rata-rata 20%. Akurasi diagnostik
bervariasi menurut jenis kelamin, dengan kisaran 78-92% pada pasien pria dan 58-85%
pada pasien wanita.Sejarah klasik anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh rasa
mual, kuadran kanan bawah (RLQ), dan muntah terjadi hanya pada 50% kasus. Muntah
yang mendahului rasa sakit adalah sugestif dari obstruksi usus, dan diagnosis radang
usus buntu harus dipertimbangkan kembali.

Diagnosis banding apendisitis sering merupakan tantangan klinis karena radang


usus buntu dapat meniru beberapa kondisi perut .Pasien dengan banyak kelainan
lainnya hadir dengan gejala yang mirip dengan radang usus buntu, seperti berikut ini:

Penyakit radang panggul (PID) atau abses tubo-ovarium


Endometriosis Kista ovarium atau torsi
Ureterolithiasis dan kolik ginjal
Degenerasi leiomiomata uterus
Divertikulitis
Penyakit Crohn
Colonic carcinoma
Cholecystitis Bakteri enteritis
Adenitis mesenterika dan iskemia
Omental torsion
Biliary colic
Kolik ginjal
Infeksi saluran kemih (ISK)
Gastroenteritis
Enterocolitis
Pankreatitis
Ulkus duodenum

Misdiagnosis pada wanita usia subur

Apendisitis salah didiagnosis pada 33% wanita hamil yang tidak hamil.
Kesalahan diagnosa yang paling sering terjadi adalah PID, diikuti oleh gastroenteritis
dan infeksi saluran kemih. Dalam membedakan nyeri apendiks dari PID, anoreksia dan
onset nyeri lebih dari 14 hari setelah menstruasi menunjukkan radang usus buntu. PID
sebelumnya, keputihan, atau gejala kencing menunjukkan PID. Pada pemeriksaan fisik,
nyeri di luar RLQ, nyeri tekan serviks, keputihan, dan urinalisis positif mendukung
diagnosis PID.

Meskipun apendektomi negatif tampaknya tidak mempengaruhi kesehatan ibu


atau janin, penundaan diagnostik dengan perforasi meningkatkan morbiditas janin dan
maternal. Oleh karena itu, evaluasi agresif terhadap apendiks diperlukan pada wanita
hamil.

Tingkat gonadotropin korion beta-human gonadotropin (beta-hCG) berguna


dalam membedakan radang usus buntu dari kehamilan ektopik dini. Namun,
sehubungan dengan jumlah WBC, leukositosis fisiologis selama kehamilan membuat
penelitian ini kurang bermanfaat dalam diagnosis daripada di lain waktu, dan tidak ada
parameter WBC yang dapat membedakan yang tepat dikutip dalam literatur.

Misdiagnosis pada anak-anak

Apendisitis salah didiagnosis pada 25-30% anak-anak, dan tingkat kesalahan


diagnosis awal berbanding terbalik dengan usia pasien. Kesalahan diagnosa yang
paling umum adalah gastroenteritis, diikuti oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah.

Anak-anak dengan radang usus buntu yang salah terdiagnosis lebih mungkin
dibandingkan rekan mereka yang muntah sebelum onset rasa sakit, diare, konstipasi,
disuria, tanda dan gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan kelesuan atau
iritabilitas. Temuan fisik cenderung tidak didokumentasikan pada anak-anak dengan
kesalahan diagnosa dibandingkan pada orang lain termasuk suara usus; tanda
peritoneal; temuan dubur; dan temuan telinga, hidung, dan tenggorokan.

Pertimbangan pada pasien lansia

Apendisitis pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun menyumbang 10%
dari semua appendectomies. Kejadian misdiagnosis meningkat pada pasien lanjut usia.

Pasien yang lebih tua cenderung mencari perawatan medis kemudian dalam
perjalanan penyakit; Oleh karena itu, durasi gejala yang melebihi 24-48 jam sebaiknya
tidak menghalangi klinisi dari diagnosis. Pada pasien dengan kondisi komorbid,
penundaan diagnostik berkorelasi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Vous aimerez peut-être aussi