Vous êtes sur la page 1sur 3

Keagamaan bisa membantu seorang penderita untuk menentukan keputusan dalam hidup dan

kesehatannya dari sisi pandang spiritual dan religius.


Ketika agama sudah menjadi ukuran sentral dalam hidup, adalah mungkin agama memegang
peranan penting menjelang kematian, terutama bagi mereka yang menganggap agama adalah
penting.
Kegiatan keagamaan dapat menyebabkan pasien menerima kematiannya dengan mudah dan
cepat. Ini akan melepaskan mereka dari rasa cemas, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi
dan perasaan bersalah, yang akan menghasilkan relaksasi fisik yang meringankan rasa sakit atau
gejala lainnya. Ritual keagamaan menyiapkan kebutuhan psikospiritual yang dalam, dibandingkan
cara non religius.

Agama Islam
Katakanlah bahwasannya kematian itu, yang kamu lari dari padanya, sesungguhnya ia pasti akan
menemui kamu juga, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Tuhan) yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, lalu Ia khabarkan kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan. (QS.
Al-Jumuah: 8) Dimana saja kamu berada kematian itu pasti akan menemui kamu,walaupun kamu
berada di mahligai-mahligai yang amat kokoh. (Qs An-Nisa: 78) Bimbinglah orang yang hendak
mati mengucapkan (kalimat/perkataan): tiada Tuhan selain Allah (HR.Muslim). Barangsiapa
mati dan akhir perkataannya tidak ada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga. (Al-Hadits)

Agama Kristen
Orang-orang yang meninggal bukan lagi jiwa yang hidup sebagaimana statusnya sejak ia tercipta
(1 Kor 15:45), sebab ia sudah ditinggalkan oleh Roh yang kembali kepada Allah, satu-satunya
yang tidak pernah mati (Pkh 12:7; 1 Tim 6:16). Dalam Perjanjian Baru, kematian paling sering
muncul dalam konteks kebangkitan, bukan dalam konteks kebinasaan.
Kitab Suci menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua realitas eksistensial yang
harus dijalani oleh setiap orang (2 Sam 1: 23; Ams 18: 21). Kematian dirumuskan hakekatnya
sebagai penarikan kebali nafas kehidupan atau Roh Allah dari dalam kehidupan manusia (Ayb 34:
14-15). Manusia dianggap sudah mati, ketika nafas kehidupan sudah tidak ada lagi dalam
tubuhnya (1 Raj 17: 17). Kenyataan tentang kematian ini secara tegas dapat ditemukan dalam
kitab Pengkhotbah yang mengatakan bahwa setiap makhluk sama dihadapan kematian (Pkh 2:
16).
Dalam konteks Perjanjian Baru, kematian lebih dimengerti sebagai mati bersama Kristus dengan
harapan akan bangkit bersama Kristus. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi,
mengungkapkan arti kematian kristen, bahwa oleh Kristus kematian itu memiliki arti yang lebih
positif Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Flp 1: 21). Dengan ini Paulus
menampilkan dimensi baru dari kematian kita: Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup
dengan Dia (2 Tim 2: 11). Aspek yang baru pada kematian kristen terdapat dalam kata-kata ini:
oleh pembaptisan warga kristen secara sakramental sudah mati bersama Kristrus, supaya dapat
menghidupi satu kehidupan baru.
Dalam pandangan Paulus di atas kita mengerti bahwa kematian merupakan titik akhir peziarahan
manusia di dunia ini. Kematian merupakan suatu kesadaran bahwa hidup manusia adalah terbatas
di hadapan Allah. Keterbatasan manusia di hadapan Allah ini disebabkan oleh kuasa dosa. Dosa
telah membawa manusia kepada kematian dan keterputusan relasi dengan Allah sendiri. Kitab
Mazmur mengungkapkan realita ini dengan baik: Masa hidup kita tujuh puluh tahun dan jika kita
kuat delapan puluh (Mzm 90: 10). Ungkapan kitab Mazmur ini mengingatkan kepada kita bahwa
kehidupan di dunia ini hanya sementara.

Agama Budha
Kematian dalam ajaran Buddhis biasa disebut lenyapnya indra vital terbatas pada satu kehidupan
tunggal dan bersamaan dengan fisik kesadaraan proses kehidupan. Kematian merupakan
transformasi arus kesadaran seseorang yang terus mengalir dalam satu bentuk kehidupan ke
bentuk kehidupan yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh kebodohan batin ataupun kemelekatan.
Pada akhir kehidupan fisik, pada saat bersamaan terdapat pemutusan hubungan antara proses
mental dan tubuh, yang dengan cepat fisik akan mengalami kelapukan. Tetapi kelahiran lagi
dengan cara yang tepat terjadi dengan segera pada beberapa alam kehidupan. Dalam buddhis
tidak dikenal adanya sosok entitas abadi yang mungkin juga kita kenal sebagi roh abadi yang
tidak bertransformasi ataupun satu sosok entitas kehidupan tunggl.
Kematian dalam pandangan Buddhis bukanlah akhir dari segalanya, namun kematian berarti
putusnya seluruh ikatan yang mengikat kita terhadap keberadaan kita yang sekarang. Semakin
kita dapat tidak terikat pada dunia ini dan belenggunya, akan semakin siap kita dalam menghadapi
kematian dan pada akhirnya akan semakin dekat kita pada jalan menuju keadaan tanpa
kematian. Dalam Buddhis, sesungguhnya kematian tidak dapat dipisahkan dari kelahiran, dan
juga sebaliknya dimana setiap yang mengalami kelahiran akan juga mengalami kematian.

Agama Hindu
Kelahiran dan kematian merupakan dua kata yang berkorelasi dalam tatanan agama Hindu,
namun batasan yang tidak jelas membentuknya menjadi dua proses yang nyaris tanpa jeda dan
spasi, karena dalam agama Hindu mengisyaratkan bahwa apa yang pernah terlahirkan pasti akan
menemui kematian, begitu pula sebaliknya apa yang sudah "mati" maka akan terlahir kembali
(Samsara) mengikuti hukum semesta (Rta) selama pisau pemutus siklus ini belum mampu
memotong dua proses ritual semesta ini. Seperti halnya di dalam Bhagawad Gita II. 27
menyebutkan :

Jatasya hi druvo mrtyur,


Dhruvam janma mrtasya ca,
Na tvam soritutn arhasi,
Tasmad apariharye'rthe

Artinya:
Karena pada apa yang lahir, kematian adalah pasti dan pasti pula kelahiran pada yang mati. Oleh
karena itu pada apa yang tidak dapat dielakkan, engkau seharusnya tidak bersedih hati.

Satu hal yang bisa kita tangkap dalam ajaran Hindu bahawasanya ada dua asas didalam diri
manusia yaitu asas roh (Atman) dan asas materi namun tetap merupakan satu kesatuan, roh
bersifat abadi dan badan merupakan eksistensi kemanusiaan itu sendiri yang dengan demikian
kematian hanyalah keberpisahan dari kedua asas diatas dimana atman merupakan kualitas rohani
yang pada saat datangnya kematian bersifat abadi sedangkah badan sebagai kualitas kebendaan
yang pada saat datangnya kematian akan mengalami proses peleburan (Lina), hal ini tersirat
dalam Bhagavad Gita yaitu :

Antavanta ime deha,


Nityasyo'kpih saririnah,
Anasino'prameyassya,
Tasmad yudhyasva bharata

Artinya:
Badan wadag dari jiwa yang abadi, tak terhancurkan dan takterbatas ini, dipahami sebagai badan
wadag yang fana. Oleh karena itu berperanglah O, Bharata. (BG, IL 18).

Namun apabila kita mengikuti rumusan yang digariskan dalam Bhagavad Gita bahwasanya "Apa
yang ada akan selalu ada, dan yang tiada tidak akan pernah ada" (BG, 11.16) maka badan atau
asas materi itu akan tetap "ADA" seperti halnya jiwa itu sendiri, yang pada saat kematian
menjemput, secara empiris badan merupakan substansi yang hancur dan menjadi substansi yang
baru, contohnya ketika manusia mati rubuhnya kembali pada asasnya yang semula yaitu Panca
Mahabuta (tanah, air, api, udara dan ether) yang menjadi makanan tumbuhan h1ngga,binatang
yang pada akhirnya -menjadi santapan manusia, dengan demikian ia membentuk tubuh yang baru
sesuai dengan kualitasnya, hal ini sesuai pula dengan Teori evolusi dalam teks-teks Siwatattwai
Sedangkan jiwa yang abadi akan mengalami proses migrasi kedalam wadahnya yang baru, proses
keberpindahan inilah yang disebut Punarbhawa atau kelahiran kembali sesuai dengan guna dan
karmanya dalam kehidupan terdahulu, hal ini sekaligus menjadi teori tentang kehidupan setelah
kematian menurut Hindu yang sekaligus membedakannya dengan agama-agama semit. Proses
penerimaan ajaran Punarbhawa ini mengalami perjalanan yang sangat panjang dari kitab Veda
Samhita hingga akhirnya ditegaskan dalam Upanisad, salah satunya Sweta swatara upanisad
yang menyebutkan :

Sthulani suksmani bahuni caiwa,


Rupani dehi swa-gunair vrnoti kriyagunair
atma-gunais ca tesam samyoga
hetur aparo'pidrstah

Artinya :
Atman yang berinkarnasi sesuai dengan sifat dan karmanya, memilih sebagai tubuhnya wujud
yang kasar atau halus. Dia menjadi tampak berkeadaan berbeda dari satu inkarnasi ke inkarnasi
berikutnya. (Swetaswatara V.12).

Dengan menyadari proses punarbhawa, setiap manusia hendaknya mensyukuri hidupnya karena
lahir menjadi manusia sangatlah utama dan sulit diperoleh hingga jangan sampai lahir, kembali
pada kehidupan yang lebih rendah dan mulai mempersiapkan hidupnya sekarang untuk kemajuan
spiritual dan mengakhiri proses samsara dengan mengembalikan sang diri menuju asalnya.

Iking tang janma wwang, ksanika-swabhawa ta ya, tan pahi lawan kedapning kilat, durlabha tova
matangnyan pongakena ya ri kagawayanning , dharmasadhana, sakarananging manasanang
sangsara, swargaphala kunang

Artinya:
Kelahiran menjadi manusia, pendek dan cepat keadaannya itu, tak ubahnya dengan gerlapan kilat,
dan amat sukar pula diperoleh; oleh karenanya itu, gunakanlah sebaik-baiknya kesempatan
menjadi manusia ini untuk melakukan penunaian Dharma, yang menyebabkan musnahnya proses
lahir dan mati, sehingga berhasil mencapai sorga. (Sarasamuccaya, 8).

Vous aimerez peut-être aussi