Vous êtes sur la page 1sur 19

A.

Konsep Medis
1. Defenisi
Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh di atas rentang
normal (Wilkinson, Judith M, 2011).
Hipertermi adalah peningkatan temperatur tubuh diatas
kisaran normal karena kegagalan thermoregulasi. Dan batasan
karakteristik menurut NANDA International (2015-2017) adalah
Apnea, gelisah, hipotensi, kejang, koma, kulit kemerahan, kulit
terasa hangat, takikardi, takipnea, vasodilatasi, peningkatan
suhu tubuh diatas kisaran normal (Herdman, 2017).
Hipertermi merupakan keadaan ketika individu mengalami
atau berisiko mengalami kenaikan suhu tubuh <37,8 oC (100oF)
per oral atau 38,8oC (101oF) per rektal yang sifatnya menetap
karena faktor eksternal (Lynda Juall, 2000).
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas
ataupun mengurangi produksi panas. Hipertermi terjadi karena
adanya ketidakmampuan mekanisme kehilangan panas untuk
mengimbangi produksi panas yang berlebihan sehingga terjadi
peningkatan suhu tubuh. Hipertermi tidak berbahaya jika
dibawah 39C. Selain adanya tanda klinis, penentuan hipertermi
juga didasarkan pada pembacaan suhu pada waktu yang
berbeda dalam satu hari dan dibandingkan dengan nilai normal
individu tersebut (Potter & Perry, 2005).
Hipertermia adalah suatu kondisi dimana suhu tubuh melebihi
titik tetap (set point) lebih dari 37C yang diakibatkan oleh
kondisi tubuh atau eksternal yang menciptakan lebih banyak
panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh.
Hipertermia jika tidak ditangani dapat menyebabkan dehidrasi
yang akan mengganggu keseimbangan elektrolit dan dapat
menyebabkan kejang. Kejang berulang dapat menyebabkan
kerusakan sel otak yang dapat mengakibatkan gangguan
tingkah laku anak, serta dehidrasi yang berat dapat

1
menyebabkan syok dan bisa berakibat fatal hingga berujung
kematian. Tindakan kompres hangat adalah salah satu tindakan
mandiri perawat untuk menangani hipertermia. Dengan
demikian, hipertermi harus diatasi dengan penanganan yang
tepat (Wardiyah, Setiawati, & Setiawan, 2016).
2. Etiologi
Beberapa yang dapat menyebabkan kondisi hipertermi yaitu
penyakit/trauma, peningkatan metabolisme, aktivitas yang
berlebihan, pengaruh medikasi, terpapar lingkunagn panas,
dehidrasi dan pakaian yang tidak tepat (Nanda, 2012).
Hipertermi dapat disebabkan karena gangguan otak atau
akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan
suhu. Zat yang dapat menyebabkan efek perangsangan
terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menyebabkan
demam yang disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa
protein, pecahan protein, dan zat lain. Terutama toksin
polisakarida, yang dilepas oleh bakteri toksi/ pirogen yang
dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan
demam selama keadaan sakit.
Faktor penyebabnya :
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk
berkeringat
d. Pakaian yang tidak layak
e. Kecepatan metabolisme meningkat
f. Pengobatan/ anesthesia
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
h. Aktivitas yang berlebihan
3. Patofisiologi
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal
dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat
menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien.
Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu

2
pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal
dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara
lain IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah
monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello &
Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah
putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik
berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel
darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal
dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen
eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello &
Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah
dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-
mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai
selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan
penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan
menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu : fase kedinginan, fase
demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase
kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang
ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi

3
panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil.
Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan
antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan
suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan
vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha
untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan bewarna
kemerahan.
4. Gambaran Klinik
Beberapa tanda dan gejala pada hipertermi menurut NANDA
(2012):
a. Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
b. Konvulsi (kejang)
c. Kulit kemerahan
d. Pertambahan RR
e. Takikardi
f. Saat disentuh tangan terasa hangat
Fase fase terjadinya hipertermi
Fase I : awal
1) Peningkatan denyut jantung
2) Peningkatan laju dan kedalaman pernapasan
3) Menggigil akibat tegangan dan kontraksi obat
4) Kulit pucat dan dingin karena vasokonstriksi
5) Merasakan sensasi dingin
6) Dasar kuku mengalami sianosis karena vasokonstriksi
7) Pengeluaran keringat berlebih
8) Peningkatan suhu tubuh
Fase II : proses demam
1) Proses menggigil lenyap
2) Kulit terasa hangat / panas
3) Merasa tidak panas / dingin
4) Peningkatan nadi & laju pernapasan
5) Peningkatan rasa haus
6) Dehidrasi ringan sampai berat
7) Mengantuk , delirium / kejang akibat iritasi sel saraf
8) Lesi mulut herpetik
9) Kehilangan nafsu makan
10)Kelemahan , keletihan dan nyeri ringan pada otot akibat
katabolisme protein
Fase III : pemulihan
1) Kulit tampak merah dan hangat

4
2) Berkeringat
3) Menggigil ringan
4) Kemungkinan mengalami dehidrasi
5. Klasifikiasi
a. Hipertermia yang disebabkan oleh peningkatan produksi
panas
1) Hipertermia maligna
Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan
anesthesia. Hipertermia ini merupakan miopati akibat
mutasi gen yang diturunkan secara autosomal dominan.
Pada episode akut terjadi peningkatan kalsium
intraselular dalam otot rangka sehingga terjadi kekakuan
otot dan hipertermia. Pusat pengatur suhu di hipotalamus
normal sehingga pemberian antipiretik tidak bemanfaat.
Gambaran klinis meliputi kekakuan otot terutama otot
masseter sehingga menyebabkan rhabdomyolisis,
peningkatan CO2 tidal, takikardia, dan peningkatan suhu
tubuh yang cepat (0.50 1.00 C tiap 5 - 10 menit, suhu
dapat mencapai 440C) Tatalaksana utama adalah
menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan agresif
dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT,
rectal, dan IV), segera menghentikan pemakaian obat
anestesi, pemberian oksigen 100%, memperbaiki
asidosis, furosemid (1 mg/kg BB), manitol 20% (1 g/kg
BB),insulin, dextrose, hidrokortison, Dantrolone (antidote
spesifik 2.5 mg/kg BB IV dan kemudian tiap 5-10 menit)
dan mengatasi aritmia
2) Exercise-Induced hyperthermia (Exertional heat stroke)
Hipertermia jenis ini dapat terjadi pada anak
besar/remaja yang melakukan aktivitas fisik intensif dan
lama pada suhu cuaca yang panas. Pencegahan
dilakukan dengan pembatasan lama latihan fisik terutama

5
bila dilakukan pada suhu 30 0C atau lebih dengan
kelembaban lebih dari 90%, pemberian minuman lebih
sering (150 ml air dingin tiap 30 menit), dan pemakaian
pakaian yang berwarna terang, satu lapis, dan berbahan
menyerap keringat.
3) Endocrine Hyperthermia (EH)
Endocrine Hyperthermia adalah kondisi metabolik
atau endokrin yang menyebabkan hipertermia Kelainan
endokrin yang sering dihubungkan dengan hipertermia
antara lain hipertiroidisme, diabetes mellitus,
phaeochromocytoma, insufisiensi adrenal dan
Ethiocolanolone suatu steroid yang diketahui sering
berhubungan dengan demam (merangsang
pembentukan pirogen leukosit).
b. Hipertermia yang disebabkan oleh penurunan pelepasan
panas
Hipertermia yang disebabkan oleh penurunan
pelepasan panas yaitu hipertermia neonatal. Hipertermia
neonatal adalah peningkatan suhu tubuh secara cepat pada
hari kedua dan ketiga kehidupan yang bisa disebabkan oleh.
1) Dehidrasi
Dehidrasi pada masa ini sering disebabkan oleh
kehilangan cairan atau paparan oleh suhu kamar yang
tinggi. Hipertermia jenis ini merupakan penyebab
kenaikan suhu ketiga setelah infeksi dan trauma lahir.
Sebaiknya dibedakan antara kenaikan suhu karena
hipertermia dengan infeksi. Pada demam karena infeksi
biasanya didapatkan tanda lain dari infeksi seperti
leukositosis/leucopenia, CRP yang tinggi, tidak berespon
baik dengan pemberian cairan, dan riwayat persalinan
premature atau resiko infeksi.

6
2) Overheating
Pemakaian alat-alat penghangat yang terlalu panas,
atau bayi terpapar sinar matahari langsung dalam waktu
yang lama.
3) Trauma Lahir
Hipertermia yang berhubungan dengan trauma lahir
timbul pada 24%dari bayi yang lahir dengan trauma.
Suhu akan menurun pada1-3 hari tapi bisa juga menetap
dan menimbulkan komplikasi berupa kejang. Tatalaksana
dasar hipertermia pada neonatus termasuk menurunkan
suhu bayi secara cepat dengan melepas semua baju bayi
dan memindahkan bayi ke tempat dengan suhu ruangan.
Jika suhu tubuh bayi lebih dari 39 0C dilakukan tepid
sponged 350C sampai dengan suhu tubuh mencapai
370C.
4) Heat stroke
Tanda umum heat stroke adalah suhu tubuh > 40.5 0C
atau sedikit lebih rendah, kulit teraba kering dan panas,
kelainan susunan saraf pusat, takikardia, aritmia, kadang
terjadi perdarahan miokard, dan pada saluran cerna
terjadi mual, muntah, dan kram. Komplikasi yang bisa
terjadi antara lain DIC, lisis eritrosit, trombositopenia,
hiperkalemia, gagal ginjal, dan perubahan gambaran
EKG. Anak dengan serangan heat stroke harus
mendapatkan perawatan intensif di ICU, suhu tubuh
segera diturunkan (melepas baju dan sponging dengan
air es sampai dengan suhu tubuh 38,5 0 C kemudian anak
segera dipindahkan ke atas tempat tidur lalu dibungkus
dengan selimut), membuka akses sirkulasi, dan
memperbaiki gangguan metabolic yang ada.
5) Haemorrhargic Shock and Encephalopathy (HSE)

7
Gambaran klinis mirip dengan heat stroke tetapi tidak
ada riwayat penyelimutan berlebihan, kekurangan cairan,
dan suhu udara luar yang tinggi. HSE diduga
berhubungan dengan cacat genetic dalam produksi atau
pelepasan serum inhibitor alpha 1 trypsin. Kejadian HSE
pada anak adalah antara umur 17 hari sampai dengan 15
tahun (sebagian besar usia <1 tahun dengan median usia
5 bulan). Pada umumnya HSE didahului oleh penyakit
virus atau bakterial dengan febris yang tidak tinggi dan
sudah sembuh (misalnya infeksi saluran nafas akut atau
gastroenteritis dengan febris ringan). Pada 2-5 hari
kemudian timbul syok berat, ensefalopati sampai dengan
kejang/koma, hipertermia (suhu > 10C), perdarahan yang
mengarah pada DIC, diare, dan dapat juga terjadi anemia
berat yang membutuhkan transfusi. Pada pemeriksaan
fisik dapat timbul hepatomegali dan asidosis dengan
pernafasan dangkal diikuti gagal ginjal. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis,
hipernatremia, peningkatan CPK, enzim hati dan tripsin,
hipoglikemia, hipokalsemia, trombositopenia, penurunan
faktor II, V, hiperfibrinogenemia, dan alpha-1-antitripsin.
Pada HSE tidak ada tatalaksana khusus, tetapi
pengobatan suportif seperti penanganan heat stroke dan
hipertermia maligna dapat diterapkan. Mortalitas kasus
ini tinggi sekitar 80% dengan gejala sisa neurologis yang
berat pada kasus yang selamat. Hasil CT scan dan otopsi
menunjukkan perdarahan fokal pada berbagai organ dan
edema serebri.
6) Sudden Infant Death Syndrome (SIDS)
Definisi SIDS adalah kematian bayi (usia 1-12 bulan)
yang mendadak, tidak diduga, dan tidak dapat dijelaskan.

8
Kejadian yang mendahului sering berupa infeksi saluran
nafas akut dengan febris ringan yang tidak fatal.
Hipertermia diduga kuat berhubungan dengan SIDS.
Angka kejadian tertinggi adalah pada bayi usia 2- 4
bulan. Hipotesis yang dikemukakan untuk menjelaskan
kejadian ini adalah pada beberapa bayi terjadi mal-
development atau maturitas batang otak yang tertunda
sehingga berpengaruh terhadap pusat chemosensitivity,
pengaturan pernafasan, suhu, dan respons tekanan
darah.
Beberapa faktor resiko dikemukakan untuk
menjelaskan kerentanan bayi terhadap SIDS, tetapi yang
terpenting adalah ibu hamil perokok dan posisi tidur bayi
tertelungkup. Hipertermia diduga berhubungan dengan
SIDS karena dapat menyebabkan hilangnya sensitivitas
pusat pernafasan sehingga berakhir dengan apnea.
Penyelimutan bayi yang berlebihan, suhu ruangan yang
terlalu tinggi, dan posisi tidur bayi tertelungkup dapat
menyebabkan terbatasnya pengeluaran panas. Posisi
tidur telentang adalah yang paling aman untuk mencegah
SIDS. Infeksi ringan dengan febris yang digabung
dengan pembungkusan bayi berlebihan dapat
menimbulkan heat stroke dan SIDS.

Penyakit hipertermia digolongkan dalam 3 kategori: heat


cramps, heat exhaustion, dan heat stroke.
a. Heat cramps merupakan spasme dari otot-otot volunter
akibat dari kekurangan elektrolit.
1) Kedua-duanya garam dan air hilang melalui keringat.
Pasien dengan heat cramps biasanya mengganti air
yang hilang dengan minum, tetapi tidak mengganti
garam yang hilang.

9
2) Pengobatan
a) Letakkan pasien pada tempat yang sejuk.
b) Berikan cairan pengganti NaCL per oral dengan
minuman yang mengandung kadar garam tinggi atau
secara IV dengan larutan garam faal.
b. Heat exhaustion merupakan kehilangan garam dan air;
dengan salah satu kehilangannya lebih dominan.
1) Gejala-gejala meliputi sakit kepala, nausea, pusing, dan
gangguan penglihatan.
2) Pasien dapat mengalami demam sampai 102F tetapi
berkeringat.
3) Gunakan hasil laboratorium sebagai penuntun terapi
pengganti garam dengan cairan isotonik, atau air dengan
cairan hipotonik.
4) Dinginkan pasien sesuai dengan keperluan, dengan cara
pemajanan, pemberian kipas angin, dan metode lainnya.
c. Heat stroke merupakan hipertermia yang hebat (di atas
41 C atau 106F) dengan kehilangan kemampuan
regulasi panas.
1) Gejala-gejala meliputi keadaan bingung, koma, dan
serangan kejang.
2) Kelelahan dari fungsi regulasi hipotalamik dan kelenjar
keringat yang menimbulkan kehilangan kemampuan
pengeluaran panas, karena si pasien tidak berkeringat.
3) Kehilangan cairan dan garam biasanya tidak
berat.Komplikasi dapat meliputi kerusakan hipertermik
dari otak, hepar, ginjal, jantung, dan jaringan lainnya.
4) Pengobatannya adalah dengan menurunkan suhu badan
secepatnya.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah lengkap : mengindetifikasi kemungkinan
terjadinya resiko infeksi
b. Pemeriksaan urine
c. Uji widal : suatu reaksi oglufinasi antara antigen dan antibodi
untuk pasien thypoid
d. Pemeriksaan elektrolit : Na, K, Cl
e. Uji tourniquet

10
7. Komplikasi
Pengaruh hipertermia terhadap sawar darah otak/ BBB adalah
meningkatkan permeabilitas BBB yang berakibat langsung baik
secara partial maupun komplit dalam terjadinya edema serebral
(Ginsberg, et al, 1998). Selain itu hipertermia meningkatkan
metabolisme sehingga terjadi lactic acidosis yang mempercepat
kematian neuron (neuronal injury) dan menambah adanya
edema serebral (Reith, et al, 1996). Edema serebral (ADO
Regional kurang dari 20 ml/ 100 gram/ menit) ini mempengaruhi
tekanan perfusi otak dan menghambat reperfusi adekuat dari
otak, dimana kita ketahui edema serebral memperbesar volume
otak dan meningkatkan resistensi serebral. Jika tekanan perfusi
tidak cukup tinggi, aliran darah otak akan menurun karena
resistensi serebral meninggi. Apabila edema serebral dapat
diberantas dan tekanan perfusi bisa terpelihara pada tingkat
yang cukup tinggi, maka aliran darah otak dapat bertambah
(Hucke, et al, 1991).
Dengan demikian daerah perbatasan lesi vaskuler itu bisa
mendapat sirkulasi kolateral yang cukup aktif, kemudian darah
akan mengalir secara pasif ke tempat iskemik oleh karena
terdapatnya pembuluh darah yang berada dalam keadaan
vasoparalisis. Melalui mekanisme ini daerah iskemik sekeliling
pusat yang mungkin nekrotik (daerah penumbra) masih dapat
diselamatkan, sehingga lesi vaskuler dapat diperkecil sampai
daerah pusat yang kecil saja yang tidak dapat diselamatkan
lagi/nekrotik (Hucke, et al, 1991).
Apabila sirkulasi kolateral tidak dimanfaatkan untuk menolong
daerah perbatasan lesi iskemik, maka daerah pusatnya yang
sudah nekrotik akan meluas, sehingga lesi irreversible
mencakup juga daerah yang sebelumnya hanya iskemik saja
yang tentunya berkorelasi dengan cacat fungsional yang
menetap, sehingga dengan mencegah atau mengobati

11
hipertermia pada fase akut stroke berarti kita dapat mengurangi
ukuran infark dan edema serebral yang berarti kita dapat
memperbaiki kesembuhan fungsional (Hucke, et al, 1991).

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Beri obat penurun panas seperti paracetamol,
asetaminofen.
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Beri pasien banyak minum. pasien menjadi lebih mudah
dehidrasi pada waktu menderita panas. Minum air
membuat mereka merasa lebih baik dan mencegah
dehidrasi.
2) Beri pasien banyak istirahat, agar produksi panas yang
diproduksi tubuh seminimal mungkin.
3) Beri kompres hangat di beberapa bagian tubuh, seperti
ketiak, lipatan paha, leher belakang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas : umur untuk menentukan jumlah cairan yang
diperlukan
b. Riwayat kesehatan

12
1) Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat
pengkajian)
2) Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang
diderita pasien saat masuk rumah sakit): sejak kapan
timbul demam, sifat demam, gejala lain yang menyertai
demam (misalnya: mual, muntah, nafsu makn, eliminasi,
nyeri otot dan sendi dll), apakah menggigil, gelisah.
3) Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang
sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
pasien).
4) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang
sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau
tidak).
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : kesadaran, vital sign, status nutrisi
2) Pemeriksaan persistem
a) Sistem persepsi sensori
b) Sistem persyarafan : kesadaran
c) Sistem pernafasan
d) Sistem kardiovaskuler
e) Sistem gastrointestinal
f) Sistem integumen
g) Sistem perkemihan

3) Pada fungsi kesehatan


a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
b) Pola nutrisi dan metabolisme
c) Pola eliminasi
d) Pola aktivitas dan latihan
e) Pola tidur dan istirahat
f) Pola kognitif dan perseptual
g) Pola toleransi dan koping stress
h) Pola nilai dan keyakinan
i) Pola hubungan dan peran

13
2. Penyimpangan KDM

Infeksi

Pirogen eksogen dan pirogen endogen

Pirogen eksogen menstimulasi monosit, limfosit, dan neutrofil

Sel darah putih mengeluarkan zat kimia yg dinamakan pirogen

endogen

hipotalamus anterior dirangsang oleh pirogen eksogen dan

pirogen endogen

Prostaglandin

Terjadi mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas

antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme

volunter seperti memakai selimut.



Hipertermi

3. Diagnosa Keperawatan

a. Hipertermia

14
4. Rencana Keperawatan

Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

Hipertermia NOC NIC


Definisi : Thermoregulation Fever Treatment
Peningkatan suhu 1. Monitor suhu sesering
tubuh diatas kisaran Kriteria Hasil: mungkin
normal 1. Suhu tubuh dalam 2. Monitor IWL
Batasan rentang normal
3. Monitor warna dan suhu
Karakteristik : 2. Nadi dan RR dalam
kulit
1. Konvulsi rentang normal
2. Kulit 3. Tidak ada 4. Monitor tekanan darah,
kemerahan perubahan warna nadi dan RR
3. Peningkatan kulit dan tidak ada
5. Monitor penurunan
suhu tubuh pusing
tingkat kesadaran
diatas kisaran
normal 6. Monitor WBC, Hb, dan
4. Kejang Hct
5. Takikardi
7. Monitor intake dan
6. Takipnea
output
7. Kulit terasa
hangat 8. Berikan anti piretik
Faktor Yang
9. Berikan pengobatan
Berhubungan :
untuk mengatasi
1. Anastesia
penyebab demam
2. Penurunan
respirasi 10. Selimuti pasien

3. Dehidrasi
11. Lakukan tapid sponge
4. Pemajanan
lingkungan 12. Kolaborasi pemberian

15
yang panas cairan intravena
5. Penyakit
13. Kompres pasien pada
6. Pemakaian
lipat paha dan aksila
pakaian yang
tidak sesuai 14. Tingkatkan sirkulasi
dengan suhu udara
lingkungan
15. Berikan pengobatan
7. Peningkatan
untuk mencegah
laju
terjadinya menggigil
metabolisme
8. Medikasi 16. Temperature regulation
9. Trauma
17. Monitor suhu minimal
10. Aktivitas
tiap 2 jam
berlebihan
18. Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu

19. Monitor warna dan suhu


kulit

20. Monitor tanda-tanda


hipertermi dan hipotermi

21. Tingkatkan intake cairan


dan nutrisi

22. Selimuti pasien untuk


mencegah hilangnya
kehangatan tubuh

23. Ajarkan pada pasien


cara mencegah
keletihan akibat panas

16
24. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negatif dan
kedinginan

25. Beritahukan tentang


indikasi terjadinya
keletihan dan
penanganan emergency
yang diperlukan

26. Ajarkan indikasi dan


hipotermi dan
penanganan yang
diperlukan

27. Berikan anti piretik jika


perlu

Vital sign Monitoring


28. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
29. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah

30. Monitor VS saat pasien


berbaring, duduk atau
berdiri

31. Auskultasi TD pada


kedua lengan dan
bandingkan

17
32. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas

33. Monitor kualitas dari


nadi

34. Monitor frekuensi dan


irama pernapasan

35. Monitor suara paru

36. Monitor pola


pernapasan abnormal

37. Monitor suhu, warna,


dan kelembaban kulit

38. Monitor sianosis perifer

39. Monitor adanya cushing


triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)

40. Identifikasi penyebab


dari perubahan Vital
sign

18
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.


Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.

Herdman, T. Heather. (2015). Diagnosis Keperawatan : Definisi &


Klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta :
MediAction.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik vol.1. Jakarta : EGC.

Silbernagl, Stefan & Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Wilkonson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan :
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta :
EGC.

19

Vous aimerez peut-être aussi