Vous êtes sur la page 1sur 27

REFERAT

ANTRAKS

Pembimbing :
dr. S. Abidin, Sp. A

Penyusun :
Devi Apriliani, S.Ked
030.12.071

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI 30 SEPTEMBER 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul Antraks ini tepat waktu.

Antraks adalah suatu penyakit zoonosis termasuk yang penting di Indonesia karena
belum banyak masyarakat yang mengetahui bahayanya bila seseorang berhubungan dan
mengkonsumsi hewan yang terinfeksi antraks atau produk hewan . Untuk mengingat kembali
gejala klinis, diagnosis,penatalaksanaan, dan pencegahan yang tepat. Insidens di Indonesia
terdapat 11 propinsi dan hanya di 4 propinsi yang dilaporkan banyaknya kasus yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah, NTB, dan NTT.

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak di RSAL dr. Mintohardjo periode 24 Juli 30 September 2017. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. S. Abidin, Sp.A selaku dokter
pembimbing dalam pembuatan referat ini dan rekan-rekan Kepaniteraan Klinik RSAL dr.
Mintohardjo yang ikut memberi bantuan serta semangat moril.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat masih terdapat kekurangan dan
kesalahan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam
penyusunan berikutnya. Semoga referat ini bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak.

Jakarta, September 2017

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


ANTRAKS
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO

Jakarta, September 2017

dr. S. Abidin, Sp. A

3
DAFTAR ISI

BAB I .............................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 5
BAB II............................................................................................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 7
2.1 Definisi .................................................................................................................................. 7
2.2 Epidemiologi ......................................................................................................................... 7
2.3 Mikrobiologi ......................................................................................................................... 8
2.4 Patogenesis .......................................................................................................................... 11
2.5 Gejala Klinis ....................................................................................................................... 13
2.5.1 Antraks inhalasi ........................................................................................................... 13
2.5.2 Antraks Kulit ................................................................................................................ 15
2.5.3 Antraks Gastrointestinal............................................................................................... 17
2.5.4 Antraks Orofaring ........................................................................................................ 17
2.5.5 Antraks Meningitis..19
2.6 Diagnosis............................................................................................................................. 18
2.7 Pemeriksaan Laboratorium ................................................................................................. 21
2.8 Penatalaksanaan.................................................................................................................. 21
2.8.1 Pengobatan ................................................................................................................... 24
2.8.2 Pencegahan ...................................................................Error! Bookmark not defined.
2.8.3 Vaksinasi ...................................................................................................................... 25
2.8.4 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi .................................................................... 25
BAB III ......................................................................................................................................... 26
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 27

4
BAB I

PENDAHULUAN

Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit tersebut
merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti domba, kambing, dan ternak.
Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet
atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat terinfeksi
apabila terjadi kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks atau produk binatang yang
terkontaminasi kuman antraks. Walaupun jarang, penularan melalui gigitan serangga juga dapat
terjadi. Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan
bioterorisme.1
Antraks kulit merupakan infeksi yang paling sering terjadi, dan ditandai dengan lesi kulit
terlokalisasi dengan eschar (ulkus nekrotik) sentral dikelilingi edema non pitting. Antraks
inhalasi ditandai dengan mediastinitis hemorhagik, infeksi sistemik yang progresif, dan
mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Antraks gastrointestinal jarang terjadi dan
dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi.1
Pada tahun 1877 Robert Koch berhasil mengisolasi bakteri ini di laboratorium. Penyakit
anthrax juga semakin dibicarakan dan dianggap penting karena selain berpengaruh terhadap
kesehatan manusia maupun ternak, juga berdampak negatif terhadap perekonomian serta
perdangangan khususnya ternak secara nasional maupun internasional. Selain itu ternyata
penyakit anthrax berpengaruh terhadap Sosio-politik dan keamanan suatu negara karena
endospora bakteri ini berpotensi untuk dipergunakan sebagai senjata biologis. Beberapa daerah
di Indonesia sampai merupakan daerah endemis anthrax diantaranya di wilayah Jawa Barat, Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.2
Menurut beberapa laporan di Indonesia pernah terjadi antraks pada tahun 2004 di
peternakan ostrich, Jawa Barat. Pada tahun 2007, di desa Kode, Nusa Tenggara Timur, antraks
menyebabkan kematian 8 orang dan 6 orang dirawat akibat mengkonsumsi daging sapi yang
terserang antraks.3
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Srihadi Agungpriyono
mengatakan, tanda-tanda antraks pada hewan amat khas antara lain perdarahan pada lubang

5
seperti hidung dan mulut. Tanda lain, hewan lesu, dan pembengkakan limpa di kiri atas perut.
Biasanya, dokter hewan akan membersihkan bekas ceceran darah dengan soda atau formalin.
Pencegahan biasanya, hewan ternak di daerah endemis antraks diberi vaksin secara selektif,
sedangkan vaksin bagi manusia belum ada. Pencegahan terbaik ialah menghindari aktivitas yang
memperbesar risiko terpapar hewan.4
Di Sleman Yogyakarta pada Januari 2017, ditemukan pasien Rumah Sakit Umum Pusat
Dr Sardjito meninggal dan didiagnosis terkena antraks meningitis ( radang selaput otak). Pasien
itu berasal dari kecamata Godean, Sleman. Adapun 16 warga Desa Purwosari, Kecamatan
Girimulyo, diduga terkena antraks kulit. Di desa itu diduga ada hewan terkena antraks.
Pengawasan peredaran daging sapi di Sleman diperketat dan divaksinasi agar tidak terjangkit
bakteri Bacillus anthracis.5

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit
tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti domba, kambing, dan
ternak. Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke dalam tubuh melalui kulit
yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat
terinfeksi apabila terjadi kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks atau produk binatang
yang terkontaminasi kuman antraks. Walaupun jarang, penularan melalui gigitan serangga juga
dapat terjadi. Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan
bioterorisme.1

2.2 Epidemiologi

Penyakit antraks paling sering terjadi pada binatang herbivora akibat tertelan spora dari
tanah. Spora dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Burung gagak
dikatakan dapat berperan dalam penyebaran mikroorganisme ini.1
Penggunaan Bacillus anthracis sebagai senjata biologis dianggap sebagai ancaman
keamanan nasional yang potensial oleh pemerintah AS. B anthracis memiliki kemampuan untuk
digunakan sebagai senjata biologis dan menyebabkan antraks, yang dapat dengan cepat
berkembang menjadi penyakit sistemik dengan angka kematian tinggi pada mereka yang tidak
diobati. Oleh karena itu, rencana yang jelas untuk mengelola anak-anak setelah peristiwa paparan
anthracis B anthracis harus ada sebelum pelepasan agen yang disengaja.6
Secara alamiah antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan
diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia. Pada umumnya penyakit timbul
setelah seseorang terpajan dengan hewan yang terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan 224 kasus
antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and Prevention (CDC)
melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus
dilaporkan terjadi pada tahun 2000. Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-

7
1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja
perkebunan.1
Sebanyak 99% kasus antraks di seluruh dunia menyerang kulit. Hanya sekitar 1 % yang
menyerang saluran pernapasan dan organ penting lainnya hingga menyebabkan kematian.
Sebagian besar, 99% menyebabkan kelainan kulit dan itu dapat disembuhkan, kata pakar
mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dr Abu Tholib MSc PhD.
Menurutnya, manusia yang terkena 8.000 spora bakteri antraks yang terinfeksi dalam waktu 8
jam tidak akan mengalami situasi yang membahayakan sebab spora bakteri tersebut secara
otomatis akan dinetralkan lender yang ada di saluran cerna.7
Pada tahun 1970 World Health Organization (WHO) memperkirakan apabila 50 kg
antraks dijatuhkan pada penduduk urban berjumlah lima juta orang akan mengakibatkan 250.000
terjangkit antraks dan 100.000 orang meninggal. AS pada tahun 1993 memperkirakan 130.000- 3
juta orang akan meninggal akibat aerosol spora antraks seberat 100 kg yang terbawa angin di
Washington DC, dan hal itu setara dengan daya bunuh bom hidrogen. Dari model ekonomi
diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan sebesar 26.2 milyar dolar tiap 100.000 orang
tertular.1,8

2.3 Mikrobiologi

Mikrobiologi Bacillus anthracis berasal dari bahasa Yunani dari kata batu bara: anthrakis,
karena penyakit ini menimbulkan warna hitam atau gambaran batu bara (coal like) pada lesi
kulit. Bacillus anthracis merupakan bakteri besar Gram positif, aerobik, berbentuk spora,
nonmotile, berukuran 1-1,5 m hingga 3-10 m, nonhemolitik pada agar darah domba, tumbuh
pada suhu 37C dengan gambaran seluler joint bamboo-rod dan membentuk gambaran koloni
curled hair yang unik. Endospora tidak terbagi, tidak mempunyai metabolisme yang dapat
diukur, dan resisten terhadap panas, udara kering, sinar ultraviolet, radiasi sinar gama, dan
beberapa desinfektan. Spora antraks akan mengalami germinasi menjadi bentuk vegetatif bila
masuk ke dalam lingkungan yang kaya nukleotida, asam amino dan glukosa, seperti yang
ditemukan dalam darah dan jaringan binatang atau manusia.1
Bentuk vegetatif kuman antraks akan cepat bertambah banyak dalam pejamu, tetapi bila
nutrien lokal telah habis maka kuman ini kemudian akan berubah bentuk menjadi spora.

8
Virulensi kuman antraks bergantung pada kapsul antifagosit dan komponen tiga toksin yaitu:
antigen protektif (AP), faktor letal (FL), dan faktor edema (FE).1
Bentuk vegetatif mempunyai kemampuan hidup yang buruk bila ada di luar tubuh
binatang atau manusia, jumlah koloni akan cepat menghilang dalam 24 jam bila diinokulasi
dalam air. Hal yang berbeda terjadi bila kuman dalam bentuk spora; spora dapat bertahan hidup
di tanah dalam waktu lama. Semua gen virulen antraks diekspresikan oleh bentuk vegetatif
kuman yang dihasilkan dari germinasi spora di dalam tubuh.1

Sifat-sifat kuman2
Penyakit antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis yang termasuk genus Bacillus. Bacillus
anthracis merupakan kuman berbentuk batang, aerobik, Gram positif, tidak berflagel, dengan
ukuran kira-kira 1-1,5 kali 3-5 mikrometer. Pada sediaan yang berasal dari darah atau binatang
terinfeksi, kuman tampak berpasangan atau tunggal.Kapsul kuman dibentuk pada jaringan
terinfeksi, namun tidak in vitro kecuali dibiak di media yang mengandung bikarbonat dan dieram
pada lingkungan 5-7% CO2.3
Kuman mudah tumbuh pada berbagai media. Untuk mendapatkan koloni yang
karakteristik, kuman sebaiknya ditumbuhkan pada media yang mengandung darah tanpa
antibiotika. Kuman tumbuh subur pada pH media 7.0-7.4 dengan lingkungan aerob. Suhu
pertumbuhan berkisar antara 12-45C tetapi suhu optimumnya 37C. setelah masa inkubasi 24
jam, koloni kuman tampak sebagai koloni yang besar, opak, putih-keabu-abuan dengan tepi tak
beraturan. Di bawah mikroskop, koloni tersusun seperti susunan rambut sehingga sering disebut
sebagai bentuk kaput medusa. Koloni kuman bersifat sticky sehingga jika diangkat dengan
sengkelit akan membentuk formasi seperti stalaktit (beaten egg-whites appearance).3

Kuman Antraks
Menurut Jawetz (2010), kuman antraks tidak menyebabkan hemolisis darah domba dan
reaksi katalasanya positif. Kuman mampu meragi glukosa dan menghidrolisa gelatin tetapi tidak
meragi manitol, arabinosa dan xilosa. Karena menghasilkan lesitinasa, maka kuman yang
ditumbuhkan pada media EYA (Egg-Yolk Agar) akan membentuk zona opaq.3
Terdapat tiga jenis antigen pada kuman antraks, yaitu:3
1. Antigen polipeptida kapsul;

9
Antigen kapsul merupakan molekul besar dan tersusun atas asam D-glutamat.
Sampai saat ini diketahui hanya ada satu tipe antigen kapsul. Kapsul berperan dalam
penghambatan fagosistosis kuman dan opsonisasinya.
2. Antigen Somatik
yang merupakan komponen dinding sel; Antigen somatik merupakan polisakarida
yang mengandung D-galaktosa dan N-asetil galaktosamin. Antigen somatik ini
bereaksi silang dengan darah golongan A dan pneumokokus tipe 14. Antibodi
terhadap antigen somatik tidak bersifat melindungi.
3. Antigen Toksin
Menurut Jawetz (2010), Virulensi kuman antraks ditentukan oleh dua faktor, yaitu
kapsul kuman dan toksin. Toksin kuman yang ditemukan pada tahun 1950-an oleh
Smith dan Keppie, terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. Faktor I (faktor edema atau EF);
b. Faktor II (faktor antigen protektif atau PA)
c. Faktor III (faktor letal atau LF)
Toksin kuman antraks pada pejamu akan menyebabkan kematian fagosit, edema,
kematian jaringan, dan perdarahan. Ketiga faktor ini jika berdiri sendiri-sendiri tidak toksis. PA
akan membentuk kompleks dengan EF menjadi toksin edema. PA juga membentuk kompleks
dengan LF menjadi toksin edema. PA juga membentuk kompleks dengan LF menjadi toksin
letal. Peran PA tampaknya memfasilitasi masuknya EF dan LF ke dalam sel dengan jalan
berikatan dengan reseptor seluler. Ikatan PA dengan reseptor selulernya membentuk saluran
yang memungkinkan EF dan LF masuk ke dalam sel. EF merupakan enzim adenilsiklasa inaktif.
Aktivasi EF terjadi oleh kalmodulin seluler dan setelah diaktivasi, EF akan mempercepat
perubahan ATP menjadi cAMP. Kemampuan EF mengubah ATP menjadi cAMP jauh lebih kuat
dibanding dengan toksin kuman kolera. LF merupakan metaloproteasa dan menjadi faktor
virulensi utama kuman. Penyuntikan toksin letal pada mencit akan memyebabkan kematian
dalam 38 menit. Dengan mekanisme tersebut, menjelaskan jika antibodi terhadap PA bersifat
protektif. Ikatan antibodi dengan PA menyebabkan EF dan LF tidak dapat masuk ke dalam sel
(Garcia,2010).3
Spora dibentuk di tanah, jaringan/ binatang mati dan tidak terbentuk di jaringan dan darah
binatang hidup. Spora yang merupakan endospora berkisar 1-2 mikrometer, sehingga sukar

10
tersaring oleh mekanisme penyaringan di saluran pernapasan atas. Dalam tanah, spora dapat
bertahan 40 sampai 60 tahun. Ini yang menyebabkan risiko penyebarannya sangat tinggi, melalui
rumput yang dimakan hewan, khususnya ternak berkuku genap seperti kerbau atau sapi
(Lane,2008). Spora antraks tahan terhadap pengaruh panas, sinar ultraviolet dan beberapa
desinfektan. Endospora dapat dimatikan dengan cara otoklaf pada suhu 120C selama 15 menit.
Bentuk vegetatifnya mudah dimatikan pada suhu 54C selama 30 menit.3

2.4 Patogenesis dan Patologi

Kuman antraks dapat menyerang manusia melalui tiga cara yaitu melalui kulit yang lecet, abrasi
atau luka, dapat melalui pernapasan (inhalasi) dan melalui mulut karena makan bahan makanan
yang tercermar kuman antraks misalnya daging yang terinfeksi dengan masak yang kurang
sempurna. Pernah juga dilaporkan infeksi akibat gigitan serangga yang telah makan bangkai
binatang pengidap antraks. Di Gambia dan Glasgow pernah dilaporkan penyebaran antraks
tersebut akibat penggunaan alat toilet secara bersama, misalnya sikat gigi. Penyebaran seperti ini
juga pernah dilaporkan oleh Elkin 1961 di Inggris dan Rusia serta Amidi 1974 di Iran (dikutip
oleh Heyworth 1975).9
Virulensi antraks tergantung dan toksin yang dihasilkan dan kapsul polipeptid, disamping
tergantung juga pada resistensi alamiah dan resistensi yang didapat oleh host. Selama ada infeksi
antraks yang meninggal dilaboratorium, Smith dan Keppie 1970 menyatakan bahwa toksin
bakteri yang ada dalam darah bertanggung jawab atas kematian tersebut. Kerentanan manusia
terhadap penyakit ini berada diantara binatang buas (carnivora) dan binatang mamalia
(herbivora), yaitu pada carnivora lebih tahan terhadap antraks sedangkan herbivora lebih rentan
terhadap infeksi B. Anthracis.9
Secara patologik pada penderita antraks dapat terjadi edema, hemoragik, nekrosis, dan berbagai
tingkat inflamasi. Kuman antraks mempunyai kapsul polipeptid glutamil yang sifatnya
menghalangi fagositosis sehingga hal inilah yang membantu menjelaskan patogenitas penyakit.
Pada infeksi antraks cairan edema berisi sebagian besar material kapsul bakteri. Sedangkan
toksinnya memberikan pengaruh terhadap endotel vaskuler, sehingga menyebabkan edema,
agregasi platelet untuk terjadinya trombosis dan gangren.9

11
Kelainan yang ditimbulkan pada kulit terjadi pada umumnya berupa ulkus dengan dikelilingi
oleh daerah hemoragi serta pusat nekrosis yang disebut maligant pustule. Hal ini dapat
berkembang lebih lanjut bagi penderita yang rentan dimana infeksi akan menyebar melalui
sirkulasi darah (hematogen) yang dapat mengakibatkan antraks septikemia dengan penyebaran
daerah nekrosis hemoragi dan trombosis dapat limpa serta organ lain, misalnya otak, meningen,
usus, dan paru, sedangkan pada penderita yang resisten kuman antraks akan terlokalisir pada
kulit yang terkena.9
Setelah kuman melekat pada permukaan kulit, kemudian kuman atau spora akan masuk melalui
luka, atau lecet, atau melalui cara lain misalnya melalui saluran pencernaan atau inhalasi.
Kuman atau spora berhasil masuk kedalam tubuh akan difagositosis oleh makrofag, dan dibawa
ke kelenjar getah bening (KGB) regional. Didalam magrofag, spora akan berkembang menjadi
bentuk vegetatif serta melepaskan diri dari magrofag. Selanjutnya kuman akan berkembang
didalam sistem limfatik dan kemudian masuk ke aliran darah dalam jumlah yang cukup banyak
antara 107 hingga 108/ml, dan kemudian menyebabkan terjadinya gejala-gejala sepsis. Karena
adanya kemampuan kuman untuk memproduksi faktor yang menekan terjadinya respon imun,
maka tidak dijumpai suatu imun yang bermakna setelah kuman ini lepas makrofag. Kita ketahui
bahwa kuman antraks juga memproduksi toksin serta faktor edema yang dapat menyebabkan
kematian mendadak karena syok dan gangguan pernapasan. Antigen pelindung pada kuman akan
berikatan dengan sel host (pejamu). Toksin akan meningkatkan kadar enzim silklik AMP intra
seluler yang akan menimbulkan terjadinya gangguan sistem homoaestasis cairan dalam sel,
sehingga terjadi edema yang berat.9
Toksin edema ini juga menyebabkan gangguan fungsi netrofil in vivo. Sedangkan toksin letal
akan memicu makrofag untuk menghasilkan TNF- serta II 1b, yang dapat menyebabkan
kematian secara mendadak. Plasmid pX02, memberikan kode untuk pembentukan 3 gen, yang
terlibat dalam usaha fagasitosis makrofag terhadap kuman vegetatif.9
Pada antraks saluran pencernaan (Gastrointestinal anthrax) dapat bermula dari antraks kulit
(cutaneos anthrax) kemudian berkembang menjadi septikemi dan menimbulkan antraks
usus/saluran pencernaan, tetapi kemungkinan juga spora masuk kedalam saluran pencernaan
karena penderita makan daging dari hewan yang tertular dan tidak dimasak dengan sempurna.
Limfadenitis hemoragik didaerah mesenterium hampir selalu ditemukan pada permulaan
penyakit. Diduga penyebaran pertama kali secara limfogen baru kemudian hematogen sehingga

12
terjadi septikemi (Brachman 1990). Pada otopsi dinding intestinal tampak edema, terutama
duodenum yang mungkin dapat menyebabkan obstruksi lumen. Juga dapat terjadi gangren,
hemaragi dan pembesaran kelenjar limfe servikal,, kemudian berkembang biak dan pasif yang
dapat menekan jalan pernapasan (Brachman 1990).9
Pada antraks paru-paru (pulmonary anthrax), spora antraks yang terhisap melalui partikel
pernapasan (1-3 m), yang kadang-kadang spora tinggal di hidung atau tenggorakan sehingga
hanya menimbulkan gejala subklinik (Chruickshank 1976, Christie 1983). Tetapi bila spora
mencapai dinding alveoli, kemudian ditangkap oleh sel fagosit dan dibawa kekelenjar
trakeobronkeal atau kelenjar limfe mediastinal. Kuman tersebut mengalami pembiakan dan
membuat toksin yang menyebabkan terjadinya nekrosis hemoragik terutama di mediastinum.
Penyebaran hematogen akan menyebabkan terjadinya septikemi dan pneumonia atau
peredangan pleura. Pada fase septikemi , toksin akan langsung berefek pada endotel kapiler
paru-paru yang dapat mengakibatkan terjadinya trombosis pembuluh darah kapiler paru.
Akhirnya akan terjadi gagal paru akibat trombosis tersebut atau akibat efek toksin pada susunan
syaraf pusat yang mempengaruhi sentrum pernapasaan (Christie 1983, Brachman 1990).9

2.5 Gejala Klinis

2.5.1 Antraks inhalasi


Antraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora ke dalam rongga alveolar, kemudian
makrofag akan memfagosit spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap
hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan
bentuk vegetatif terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk
tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus
antraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan. Sekali proses
germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan
perdarahan, edema, dan nekrosis. Pada monyet percobaan keadaan fatal terjadi pada hari ke-58
hingga ke-98 setelah terpajan.1
Antraks pulmonal atau disebut juga antraks inhalasi; biasanya fatal, walaupun telah diberi
antibiotika dan pengobatan intensif. Hal ini yang menjadi salah satu alasan kuman antraks
dipakai sebagai senjata biologis (Pile, 2005. Lane,2008). Pada tahun 1979, telah terjadi

13
kecelakaan di Fasilitas Mikrobiologi, Sverdlovsk, Rusia dengan tersebarnya spora antraks yang
mengakibatkan 79 orang terinfeksi dan 68 kematian.3
Masa inkubasi antraks inhalasi tergantung dosis spora yang terhisap, umumnya 10 hari,
tetapi dapat pula mencapai 6 minggu. Spora yang terhisap akan difagositosis dan terbawa ke
kelenjar limfe mediastinum dan peribronkial menyebabkan mediastinitis hemorhagik. Gejala
awal antraks inhalasi menyerupai infeksi viral saluran pernafasan atas akut berupa demam, batuk
kering, mialgia dan kelemahan. Secara radiologis tampak pelebaran mediastinum dan efusi
pleura. Dalam 1-2 hari, penderita biasanya jatuh dalam dipsnoe berat, stridor dan akhirnya
kematian.Kematian terjadi pada kurun waktu 1-10 hari dengan rata-rata sekitar 3 hari sejak
timbulnya gejala klinik. Salah satu komplikasi antraks kulit intestinal dan inhalasi adalah
meningitis. Biasanya fatal dan kematian terjadi dalam 1-6 hari sejak timbulnya gejala. Di
samping gejala infeksi umum seperti demam, mialgia, ditemukan pula gejala rangsang
meningeal dan gejala kenaikkan tekanan intrakranial seperti sakit kepala progresif, kaku kuduk,
delirium, kejang-kejang. Secara patologis terjadi meningitis hemorhagik disertai edema hebat di
leptomeningen. Cairan serebrospinalnya dapat berdarah dan mengandung banyak kuman antraks.
Oleh karena gambaran leptomeningen menunjukkan perdarahan massif sehingga tampak
berwarna merah, maka disebut juga Cardinals cap (Lane,2008).3
Istilah antraks pneumonia tidak digunakan karena ternyata setelah dilakukan pemeriksaan
patologis kelainan yang didapat terutama berupa torakal limfadenitis hemorhagis dan
mediastinitis tanpa bronkopneumonia tipikal. Akan tetapi pada kejadian antraks inhalasi di
Sverdlovsk, 25% kasus fatal ditemukan perdarahan fokal dan lesi nekrosis pulmonar
(mengingatkan kepada lesi Ghons fokal dari tuberkulosis primer).1
Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari
setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk
nonproduktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan
masuk ke dalam fase kedua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas
akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum,
dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor
dapat terjadi. Manifestasi klinis antraks inhalasi dapat dilihat pada Tabel 2.1, sedangkan
manifestasi radiologis dan patologis dapat dilihat pada Tabel 2.2

14
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Antraks Inhalasi1

Tabel 2.2 Manifestasi Radiologis dan Patologis Antraks Inhalasi1

Meningitis antraks merupakan penyakit antraks yang paling jarang terjadi. Penyakit itu timbul
akibat bakteremia yang terjadi setelah antraks inhalasi. Pada sebagian besar kasus cairan
serebrospinalis menjadi hemoragik dan sejumlah besar kuman basil Gram positif dapat
ditemukan. Angka kematian hampir mencapai 100%, akan tetapi terkadang dengan pemberian
antibiotik penderita dapat bertahan hidup.1

2.5.2 Antraks Kulit


Sering disebut sebagai black eschar atau malignant pustule yang paling sering terjadi,
yaitu lebih dari 90%. Penderita biasanya mempunyai riwayat kontak dengan hewan atau
produknya. Lesi pertama terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari pasca inokulasi spora dan
umumnya terdapat pada daerah ekstremitas, kepala dan leher (daerah terbuka). Lesi berwarna
kemerahan, gatal dan tak sakit. Dalam kurun waktu 24-36 jam lesi berubah membentuk vesikel
berisi cairan jernih. Karena bagian tengah vesikel nekrotik maka setelah vesikel pecah, akan

15
terbentuk keropeng berwarna hitam (eschar) di bagian tengahnya. Di sekitar lesi tampak edema
kemerahan hebat dan vesikel-vesikel kecil. Istilah pustula malignan sebenarnya salah, karena lesi
kulit antraks tidak purulen dan tidak sakit. Ditemukannya lesi purulen dan sakit biasanya
menunjukkan infeksi sekunder oleh kuman lain seperti stafilokokus dan streptokokus (Dixon,
1999).3
Lesi antraks kulit umumnya sembuh sendiri tanpa meninggalkan parut. Sekitar 10%
antraks kulit berlanjut menjadi antraks sistemik yang fatalitasnya tinggi. Komplikasi lain antraks
kulit adalah terjadinya bulae multipel disertai edema hebat dan renjatan. Edema maligna ini jika
mengenai leher dan di dalam dada akan menyebabkan gangguan pernafasan. Pada pemeriksaan
histologik, antraks kulit memperlihatkan nekrosis, edema hebat dan infiltrasi limfosit.3
Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita
biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan
terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai
yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher.
Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka.1
Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak
nyeri dan papula yang gatal. Duapuluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel
yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif.
Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus
nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya
terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan
limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi. Walaupun
antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi
gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi
atau jaringan parut.
Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan
syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan
bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.1

16
2.5.3 Antraks Gastrointestinal
Antraks gastrointestinal, walaupun dapat berakibat fatal, belum pernah dilaporkan di AS.
Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang
terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan
patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa
jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di
sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis. Sejumlah besar kuman Gram positif
dapat ditemukan pada cairan peritoneal. Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi.1
Merupakan tersering kedua. Gejala klinik antraks intestinal biasanya muncul 2-5 hari
setelah tertelannya spora yang umumnya berasal dari santapan daging tercemar, karena itu
antraks intestinal sering mengenai lebih dari satu anggota keluarga. Pada antraks intestinal ini
belum diketahui dimana pertama kali spora berubah menjadi bentuk vegetatif. Namun dari
pemeriksaan patologi diketahui bahwa kuman dapat ditemukan pada jaringan limfatik mukosa
dan submukosa, kelenjar limfoid mesenterik dan cairan peritoneal. Keluhan penderita biasanya
berupa demam, nyeri perut difus dan disertai nyeri lepas. Feses bercampur darah atau berupa
melena dengan konsistensi padat atau cair. Penderita kadang-kadang muntah berdarah atau
berwarna seperti kopi. Asites muncul dua sampai empat hari sejak gejala pertama timbul.
Kematian terjadi umumnya karena toksemia atau perforasi.1
Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena
ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan.
Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B.
Anthracis). Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala
akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat
menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam,
disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress.1

2.5.4 Antraks Orofaring


Gambaran klinis lebih ringan. Gejalanya berupa edema leher dan pembesaran kelenjar
limfe lokal dengan akibat kesulitan menelan dan kesulitan bernafas. Lesi di orofaring berupa
ulkus dengan pseudomembran.3

17
2.5.5 Antraks meningitis

Antraks meningitis dapat terjadi akibat dari komplikasi bentuk antraks yang lain. Biasanya
antraks bentuk ini dimulai dengan adanya lesi primer yang seterusnya berkembang menjadi
meningitis hemoragik dan kematian dapat terjadi antara 1-6 hari. Menurut Manson 1987, kecuali
infeksi antras pada selaput otak dapat juga terjadi peradangan dan perdarahan pada daerah
korteks. Bentuk antraks yang terakhir ini adalah bentuk antraks yang mempunyai prognosis
jelek, meskipun telah diberikan pengobatan sedini mungkin. Pungsi lumbal merupakan bagian
pemeriksaan yang tidak dapat ditinggalkan dari pemeriksaan penderita dengan gejala-gejala dan
tanda meningitis. Bila penderita menunjukkan penyakit perdarahan atau terdapat kenaikan
tekanan intracranial, harus dilakukan pemeriksaan CT Scan atai MRI lebih dahulu untuk mencari
adanya massa lesi.9

Cairan cerebro spinal berwarna keruh kuning kemerahan dan menunjukkan pleiositosis, jumlah
leuskosit 100-100.000 per mm3 kadar protein > 45 mg/dl diteukan pada 90% kasus. Kadar
glukosa rendah dari 40 %.9

2.6 Diagnosis

Kecurigaan antraks pada manusia bila ada pemaparan dengan hewan atau produk hewan
terkontaminasi oleh B. Anthracis. Diagnosis didasarkan pada gejala klinik dan hasil laboratorik.
Gejala klinik penderita antraks tergantung dari tipe antraks yang terjadi pada penderita. Antraks
kulit ditemukan adanya ulkus dengan jaringan nekrotik berwarna hitam ditengahnya dan
dikelilingi oleh vesikel-vesikel serta non pitting edema, juga pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan.9
Antraks pulmonal dapat diidentifikasi dari riwayat pemaparan pada pekerjaan dan gejala serta
hasil pemeriksaan radiologik.
Antraks intestinal dicurigai bila adanya gejala gastrointestinal dan gejala akut abdomen tanpa
diketahui sebabnya didaerah dimana prevalensi antraks cukup tinggi atau daerah
endemik/tertular antraks.9
Secara laboratoris dapat digunakan berbagai cara antara lain :9

18
1. Sediaan hapus dari tempat infeksi menunjukan basil antraks positif dengan pengecatan
polychrome eosin methylen blue. Pada antraks kulit dimana spesimen berasal dari eksudat
lesi, pada antraks paru dari sputum atau cairan pleura, antraks meningitis dari hasil fungsi
lumbal (cairan cerebo spinal) atau otopsi, sedangkan antraks intestinal dari feses atau
cairan ascites.
2. Kultur darah, terutama pada antraks diseminata, dengan medium agar.
3. Test serologik, dengan agar gel preciptin yang sering digunakan pada studi epidemiologi
antraks, tetapi test ini tidak bernilai untuk menentukan diagnosis dalam fase akut. Bahan
yang dicurigai sebagai sumber antraks direbus dalam air mendidih kemudian rebusan air
ditambah reagen askoli preciptin test. Bila positif akan tampak gumpalan.
4. Binatang percobaan yang rentan. Filtrat dari kultur disuntikan pada binatang percobaan
misalnya marmut, kelinci, atau tikus. Binatang tersebut akan mati dalam waktu 1-2 hari
dan dijumpai gejala antraks pada binatang tersebut. Kuman antraks dapat disolasi dari
seluruh tubuh binatang tersebut terutama organ limpa.

2.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Bahan pemeriksaan tergantung bentuk penyekit antraks. Pada umumnya spesimen adalah
cairan/pus pada bentuk lesi kulit, sputum pada bentuk pulmonal, tinja pada bentuk intestinal,
darah bentuk septikemia dan cairan serebro spinal pada bentuk meningitis. Pemeriksaan meliputi
pewarnaan/pengecatan, biakan, serologi, dan percobaan binatang.9

Cara pengambilan dan penampungan spesimen :9


1. Cara pengambilan dan penampungan spesimen berpedoman pada tindakan aseptis.
Cairan/pus diambil dengan aspirasi, bila lesi kulit (bula) masih utuh, atau diusap dengan
lidi kapas steril, kemudian dimasukan kedalam botol steril. Demikian juga untuk sputum,
tinja, darah, maupun LCS.
2. Pewarnaan
Dari spesimen dapat segera dilakukan pemeriksaan langsung mikroskopis, dengan
pengecatan Gram dan Giemsa. Bila ditemukan kuman batang garam posotif, ukuran
besar, nampak seperti ruas-ruas bambu, perlu mencurigai terutama bila dari cairan

19
aspirasi dan darah. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan teknik imunfluoresensis,
dapat memastikan B. Anthracis bila terjadi pendarahan.
3. Biakan
Dari spesimen dapat dibiakan pada media agar nutrient atau agar darah, dikeram pada
suhu 37oC selama semalam.
Bila spesimen diperkirakan terkontaminasi dengan kuman-kuman lain, maka spesimen
perlu dipanasi lebih dahulu 80oC, selama 30 menit. Koloni yang tumbuh diidentifikasi
lebih lanjut, baik secara mikroskopis maupun test biokimiawi. Koloni kasar caput
medusae, nonhemolitik, tidak fermentasi laktosa, fermentasi glukosa tanpa gas, non
motil, menyokong diagnosis B. Anthracis, dari hasil kultur dapat dilanjutkan tiping faga.
Test virulensi kultur dengan menyuntikan 0,1 cc larutan kuman dari biakan segar
kedalam intraperitonal marmut atau tikus. Dalam waktu 2-4 hari hewan percobaan
tersebut akan mati.
Pemeriksaan dengan menggunakan ekstrak kuman yang telah dilemahkan dengan
disuntikan secara subkutan pada binatang dilaboratorium memberikan sensitifitas sebesar
82-99%.
4. Serologis.
Serum penderita antraks mengandung antibodi terhadap B. Anthracis. Dengan teknik
hemaglutinasi dapat diketahui ada tidaknya antibodi terhadap antraks. Serologis dapat
dilakukan pemeriksaan ELISA untuk mengukur kadar antibodi, yang mempunyai
berbagai sensitifitas : 95-100% terhadap antigen kapsul , 72% terhadap antigen
pelindung, 42% untuk faktor letal, dan 26% untuk faktor edema. Cara serologis lain
adalah cara mikrohematologis, tetapi pemeriksaan ini banyak kelemahan. Demikian juga
untuk pemeriksaan imunologis terhadap toksin.
5. Test Ascoli
Serum penderita digunakan untuk mengetahui apakah jaringan atau kulit/rambut dari
binatang tersebut terkena antraks. Bila pada spesimen yang diperiksa terdapat presipitasi
pada batas ekstra dengan serum kebal anti antraks, maka positif, maka spesimen tersebut
mengandung antraks.
Cara pemeriksaan yang lain adalah secara Polimerase Chain Reaction (PCR) dengan
menggunakan marka kuman vvA dan Ba813. Metoda ini dengan dalam tahap penelitian

20
lebih lanjut. Demikian juga usaha untuk mengamplikasi plasmid keganasan diharapkan
akan segera dapat digunakan.

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Pengobatan

Seperti yang telah disebutkan diatas isolate B. anthracis yang alami biasanya sensitif terhadap
berbagai jenis antibiotika, termasuk Penicilline. Pengobatan dengan Penicilline telah lama
dipergunakan di Indonesia dengan hasil yang cukup memuaskan. Sehingga Penicilline masih
merupakan obat antibiotika yang paling ampuh untuk penderita antraks yang alami dan jarang
resisten. Tatalaksana pengobatan untuk penderita atau tersangka antraks, tergantung dari tipe
atau gejala klinisnya yaitu :9

1. Antraks kulit
Procain penicillin 2 x 1,2 juta IU diberikan secara IM selama 5-7 hari. Atau dapat juga dengan
menggunakan Benzyl penicillin 250.000 IU secara IM setiap 6 jam. Perlu diperhatikan
mengingat drug of choice untuk antraks adalah penicillin, sehingga sebelum diberikan
suntikan harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Bila penderita/tersangka hypersensitive
terhadap penicillin dapat diganti dengan memberikan Tetracycline, Chloramphenicol, atau
Erytromicine.

2. Antraks intestinal dan pulmonal


Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambah dengan Streptomycine 1-2 gram untuk
tipe pulmonal dan untuk tipe gastrointestinal Tetracycline 1 gram perhari. Terapi suportif dan
symptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander dan regimen vasopressor bila
diperlukan.
Nalin dkk 1977, antraks intestinal menggunakan chloramphenicol 6 gram per hari selama 5
hari, kemudian diteruskan 4 gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromycine 4
gram perhari untuk menghindari supresi sumsum tulang

21
Belakangan ini dicurigai adanya isolat hasil rekayasa genetika yang dirancang untuk resisten
terhadap berbagai jenis antibiotika. Laporan terakhir dari hasil biakan dan sensitifitas kuman
B.anthracis kiriman oleh teroris yang berhasil diisolasi dari Amerika Serikat baru-baru ini
ternyata diperoleh hasil snsitif terhadap Siprofloksasin dan Doksisiklin. Maka pada saat ini
untuk pengobatan terhadap kuman antraks yang dipergunaka sebagai bioterorisme dari hasil
rekayasa genetika, direkomendasikan menggunakan kedua obat tersebut seperti table berikut :

TABEL : PENGOBATAN TERHADAP TERSANGKA PENDERITA KLINIS


ANTRAKS TYPE PERNAFASAN

PENGOBATAN PROFILAXIS (TERPAPAR)

Type Pengobatan Dewasa Anak-Anak


Pengobatan Awal Ciprofloxacin, dosis Ciprofloxacin, 10-15mg
500mg setiap 12 jam atau per kg BB, oral setiap 12
Doxycycline, 100mg oral, jam atau Doxycycline,
2 kali perhari 100mg per oral 2 kali
perhari (> 8 Th dan > 45
Th)
Pengobatan Optimal Amoxicilin 500mg per oral Amoxicilin 500mg per oral
setiap 8 jam atau setiap 8 jam (BB > 20 kg)
Doxycyline, 100mg per untuk BB < 20 kg
oral setiap 12 jam diberikan 40 mg/kg BB per
oral dibagi 3 dosis (setiap
8 jam)

22
PENGOBATAN TERHADAP KLINIS ANTRAKS
Type Pengobatan Dewasa Anak-Anak
Pengobatan Awal Ciprofloxacin 400mg Ciprofloxacine 20-30 mg
intravena setiap 1 jam per kg BB, per hari (IV),
dibagi 2 dosis.
Pengobatan Optimal Penicilin G, 4 juta U intra Ciprofloxacine, 20-30
Vena setiap 4 jam atau mg/kg BB perhari setiap
Doxycyline, 100mg Intra 12 jam atau Penicilin G
Vena setiap 12 jam 50.000 unit/kg intra vena
setiap 6 jam (<12 th)
Umur > 12 th diberikan
penicilin G 4 juta U. I.V
setiap 4 hari.

Catatan : Lamanya pengobatan sampai dengan 60 hari.


Sumber : -Departmen of Medicine, Bullfinch 127, Massachusetts General Hospital,
55 Fruit St, Boston, MA 02114-2696.
- Children and antrax : A Fact Sheet for Clinicion, Nov 7th, 2001, U.S
Departement of Health and Human Services, CDC ATLANTA.
Dekontaminasi dilakukan bila dicurigai telah terjadi paparan pada seseorang, maka yang
bersangkutan dianjurkan untuk melakukan proses sebagai berikut :

Semua pakaian dilepas dan dimasukkan kedalam kantong plastik serta diikat rapat-rapat,
selanjutnya yang bersangkutan harus mandi dengan menggunakan sabun dan air yang cukup
banyak tetapi jangan menggunakan pemutih pakaian pada kulit bersangkutan
Untuk permukaan pada lingkungan sekitar dan barang milik perseorangan yang
terkontaminasi perlu dibersihkan dengan larutan 0,5% sodium hipoklorit setelah
penyelidikan terhadap daerah yang mungkin dianggap terpapar selesai. Tetapi jangan lupa
menggunakan sarung tangan dan masker bila melakukan hal ini.

23
2.8.2 Pencegahan

1. Kewaspadaan dini
Dalam mengantisipasi terjadinya kasus antraks terutama di daerah tertular, perlu diperhatikan
pada saat-saat menjelang perayaan hari raya (iedul fitri, iedul adha), biasanya kebutuhan hasil
produk ternak (daging) meningkat, sehingga banyak pemotongan hewan tidak dilakukan di
Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada, serta pada saat perubahan musim (dari kemarau ke
penghujan). Lokasi tersebut perlu diwaspadai.9

2. Pencegahan
Usaha pencegahan terhadap penyakit antraks dapat dilakukan dengan berbagai cara terutama
dalam menjaga kebersihan individu dan lingkungan, yaitu :9
Melaporkan ke Puskesmas setempat bila didapatkan penderita tersangka antraks, atau
melaporkan ke Peternakan (KCD)/Petugas Lapangan Peternakan kalau ada hewan yang sakit
dengan gejala antraks
Tidak diperbolehkan menyembelih hewan sakit antraks
Hewan hanya boleh disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) atau kalau hewan dipotong
diluar RPH maka harus mendapatkan ijin dahulu dari Dinas Peternakan setempat
Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan yang sakit antraks
Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota apabila menjupai
penderita/tersangka antraks
Bila penderita dengan gejala-gejala antraks segera berobat ke Puskesmas atau Rumah sakit
terdekat
Tidak dibenarkan untuk memandikan tubuh orang yang meninggal karena antraks
Dilarang membuat atau memproduksi barang-barang yang berasal dari hewan seperti
kerajinan dari tanduk,kulit,bulu, tulang yang berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit
antraks
Hewan yang rentan terhadap antraks seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, secara
rutin harus divaksinasi terhadap penyakit antraks kepada Dinas Peternakan

24
2.8.3 Vaksinasi
Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok
risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan
secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya
booster dilakukan setiap tahun.1
Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan
bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian
antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi
yang optimal.1

2.8.4 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi


Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke
manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat
dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari
kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang
berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi
sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.1
Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa
dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit
0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi.1

25
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Antraks merupakan penyakit yang terutama menyerang herbivora. Manusia biasanya menderita
antraks akibat kontak langsung atau tidak langsung dengan binatang atau bahan yang berasal dari
binatang yang terinfeksi. Manifestasi klinik terbesar dari antraks adalah antraks kulit, tersering
kedua adalah antraks intestinal, kemudian antraks pulmonal. Mortalitas antraks cukup tinggi
diakibatkan terjadinya penyebaran kuman secara hematogen dan limfogen yang mengakibatkan
septikemia dan toksemia. Antraks menarik perhatian masyarakat karena dapat digunakan sebagai
senjata biologis yang sangat ampuh. Umumnya digunakan endospora yang mempunyai daya
tahan tinggi dan diameter hanya berkisar 1-2 mikrometer, sehingga sukar tersaring oleh
mekanisme penyaringan saluran pernafasan atas, yang dapat menyebabkan antraks inhalasi.3
Agar penularan langsung antar manusia atau antar binatang dapat dihindari, maka perlu
dilakukan tindakan universal precaution dengan baik. Hal yang penting untuk mencegah
timbulnya antraks pada manusia adalah perlu untuk mengawasi penyakit antraks pada binatang.
Live avirulent animal vaccine cukup efektif dan dapat mengontrol antraks di daerah endemic.
Sebagai upaya lain dalam pencegahan terhadap manusia, sebaiknya memberikan vaksinasi pada
manusia terutama kepada pekerja-pekerja pabrik yang mempunyai risiko tinggi terkontaminasi
dengan produk-produk binatang. Bahkan di Amerika vaksinasi/immunisasi diberikan pada
anggota militer, berbentuk PA toxoid vaccine dan AVA (Anthrax Vaccine Adsorbed). 3

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Pohan HT. 2005. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks.Majalah Kedokteran


Indonesia; vol 55; no 1; hlm. 23- 29.
2. Rahayu A, Anthrax inIndonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya. Hlm.1-8
3. Tanzil K. 2013. Aspek Bakteriologis Penyakit Antraks. Jurnal Ilmiah WIDYA Kesehatan
Dan Lingkungan. Vol 1 No 1. Hlm. 1-5
4. Harian Kompas.1 Juni 2015. Hlm. 14
5. Harian Kompas.23 Januari 2017. Hlm. 14
6. Bradley JS, Peacock G, Krug SE, Bower WA, Cohn A. Delman DM, et al. 2014. Pediatric
Anthrax Clinical Management: Excecutive Summary. Vol 133 No 5. p.940-2
7. Harian Kompas. 25 Januai 2017. Hlm. 20
8. WHO. 2008. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Human and
Animal.
9. Departemen Kesehatan. 2002. Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Antraks Di
Indonesia.

27

Vous aimerez peut-être aussi