Vous êtes sur la page 1sur 7

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA

DALAM PERSIDANGAN
Pembuktian.

Di dalam persidangan para pihak dapat saja mengemukakan


peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya
ataupun untuk membantah hak orang lain, peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan tersebut belum menyatakan suatu kebenaran, kecuali bila
disertai bukti-bukti yang menurut hukum atau pembuktian secara yuridis.

Pembuktian diperlukan apabila terjadi sengketa dan dibawa ke muka


sidang pengadilan, jadi sesuatu yang tidak menjadi perkara dipengadilan,
pembuktian tidak diperlukan oleh yang bersangkutan.

Menurut pasal 164 HIR/ 284 RBg terdapat 5 (lima) macam alat bukti,
sebagai berikut:

1. Alat bukti tertulis ( surat ),

2. Alat bukti saksi,

3. Persangkaan,

4. Pengakuan,

5. Sumpah.

Akan tetapi sesuai dengan judul yang diberikan oleh panitia, panulis
akan mengemukakan secara singkat sehubungan dengan alat bukti yang ke
empat diatas yaitu tentang alat bukti Pengakuan dan nilai pembuktiannya
dipersidangan sebagaimana judul makalah ini.

Alat bukti Pengakuan.


Sebagai alat bukti, Pengakuan mempunyai dasar hukum sebagaimana
diatur dalam pasal 174,175 dan 176 HIR, 311,312 dan 313 R.Bg dan pasal
1923-1928 BW. Menurut Prof. MR.A.Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh
Teguh Samudera,SH mengemukakan bahwa: Pengakuan adalah keterangan
sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa-
apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.
Pengakuan masih diperselisihkan oleh para ahli hukum sebagai alat
bukti. Prof. R. Subekti,SH mengatakan bahwa tidak tepat memasukkan
pengakuan sebagai alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang
dikemukakan oleh pihak lain, maka yang mengemukakan dalil itu dibebaskan
dari pembuktian, sedangkan Prof. Schoeten dan Load Enggens berpendapat
bahwa pengakuan sebagai alat bukti merupakan hal yang tepat, karena suatu
pengakuan di muka hakim bersifat suatu pernyataan oleh salah satu pihak
yang berperkara dalam proses persidangan. Pengakuan merupakan
pernyataan kehendak (wisverlaring) dari salah satu pihak yang berperkara.
Dengan demikian semua pernyataan yang bersifat pengakuan di muka hakim
merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshadeling) dan setiap perlawanan
hukum itu merupakan suatu hal yang bersifat menentukan secara mutlak
(berchikkingshandeling). Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan
oleh salah satu pihak dalam persidangan, misalnya terhadap hal-hal
kebendaan (vermogensrechten) yang dimiliki sendiri perbuatan yang
dilakukan sendiri olehnya.

Oleh karena dalam pasal 174-176 HIR, pasal 311-313 R.Bg. dan pasal
1923-1928 KUH Perdata telah ditetapkan bahwa pengakuan merupakan
alat bukti, maka demi kepastian hukum harus dinyatakan bahwa pengakuan
itu merupakan alat bukti yang sah menurut hukum.

Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH bahwa pengakuan


sebagai alat bukti dibagi dalam tiga bentuk sebagai berikut:

1. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple).


Pengakuan murni dan bulat didasarkan atas patokan-patokan berikut:
- berupa penegasan pernyataan kehendak bebas dari fungsi memberi
pengakuan (wil verklaring) yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sidang (dimuka hakim).
- pernyataan kehendak berupa penegasan pembenaran DALIL atau

- perbedaan penafsiran tentang hukum materil atau salah kira mengenai


hukum (dwaling omtraathetrecht), tidak relevan dan tidak mengurangi
kemurnian dan kebulatan pengakuan.
2. Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie).
Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan terhadap dalil gugat yang
dibarengi dengan syarat. Jadi pada pengakuan berkualifikasi pihak yang
mengakui menambahkan sesuatu terhadap inti persoalan yang diakuinya
berupa syarat.
Contoh: Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah membeli rumah
dari Pengugat dengan berhutang sebesar Rp. 50.000.000,- atas
gugatan Penggugat tersebut Tergugat mengaku memang
berhutang membeli rumah dari Penggugat, tetapi harganya
hanya Rp. 30.000.000,- bukan Rp. 50.000.000,- sebagaimana
yang didalilkan oleh Penggugat.
3. Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis,aveu complexe).
Maksudnya adalah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Dengan kata lain
pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban Tergugat yang
merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan Penggugat,
namun diiringi dengan bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh
Penggugat.
Contoh: Penggugat menyatakan bahwa Tergugat berhutang membeli
rumah dari Penggugat sebesar Rp. 50.000.000,- Selanjutnya
Tergugat mengaku bahwa benar Tergugat berhutang membeli
rumah Penggugat seharga Rp. 50.000.000,- namun telah dibayar
lunas kepada Penggugat.
Pengakuan berkualifikasi dan Pengakuan berklausula sebagaimana
telah disebutkan pada huruf b dan c diatas, disebut juga pengakuan yang
tidak murni atau pengakuan bersyarat. Dalam hal ini dapat ditambahkan
sebagai contoh yaitu putusan MARI No. 8 K/Sip/1957, tanggal 20 Mei
1958. Dalam kasus ini Penggugat mendalilkan tanah terperkara adalah
miliknya dan minta pengosongan. Atas dalil tersebut Tergugat memberikan
pengakuan bahwa benar semula tanah terperkara milik Penggugat, akan
tetapi tanah tersebut telah Tergugat beli dari Penggugat.
Sehubungan dengan pengakuan bersyarat, pasal 176 HIR, 313 R.Bg
telah menetapkan azas yang disebut onsplitbaar aveau. Pengakuan
bersyarat tidak boleh dipecah atau dipisah dengan cara: menerima
sebagian dan menolak sebagian lainnya.
Dengan demikian pengakuan besyarat harus diterima secara
keseluruhan. Adapun rasio dari larangan memecah pengakuan bersyarat
untuk menghindari cara-cara penerapan yang menimbulkan kerugian
secara tidak adil dan tidak wajar bagi salah satu pihak. Contoh putusan
diatas, jika hakim hanya mengambil pengakuan tanah terperkara semula
benar milik Pengggugat, berarti secara tidak adil hakim menguntungkan
Penggugat, sekaligus merugikan Tergugat. Jika hakim pengambil
pengakuan Tergugat bahwa tanah terperkara telah dibelinya, penerapan
tersebut jelas menguntungkan Tergugat secara tidak adil dan merugikan
Penggugat secara tidak wajar.
Syarat formil dan materil dari alat bukti Pengakuan:
1. Syarat formil pengakuan:
a. Pengakuan disampaikan dalam proses pemeriksaan sidang.
Pengakuan diluar sidang tidak bernilai sebagai alat bukti. Walaupun
hakim mendengar suatu penegasan pengakuan tentang apa yang
diperkarakan, tetapi pengakuan terseut diberikan diluar sidang,
maka dianggap tidak memenuhi syarat formil sebagai alat bukti
pengakuan.
b. Pengakuan diberikan oleh pihak materil atau kuasanya.
Bisa disampaikan dalam bentuk lisan atau bisa dituangkan secara
tertulis dalam replik, duplik atau kesimpulan. Namun apabila
disampaikan oleh kuasa harus dengan surat kuasa khusus yang
dibuat untuk keperluan tersebut. Surat kuasa khusus untuk
mewakili dalam perkara, belum cukup untuk dipergunakan kuasa
mengucapkan pengakuan dalam persidangan tersebut.
2. Syarat materil pengakuan:
a. Pengakuan yang diberikan teresebut langsung berhubungan
dengan pokok perkara.
b. Pengakuan tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang
nyata dan terang.
c. Pengakuan tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan
ketertiban umum.
Nilai Pembuktian Pengakuan dalam Persidangan.
1. Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat.
Batas minimal pembuktian pengakuan murni dapat merujuk pada
ketentuan pasal 174 HIR, 311 R.Bg dan 1925 BW:
a. Pengakuan murni mengandung nilai pembuktian yang:
- sempurna (volledeg)
- mengikat (bindend), dan
- menentukan atau memaksa (beslisend, dwingend)

b. oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan bulat, dapat berdiri
sendiri sebagai alat bukti, dan tidak memerlukan tambahan atau
dukungnan dari alat bukti yang lain.

c. dengan demikian pada diri alat bukti pengakuan yang murni dan bulat,
sudah dengan sendirinya tercapai batas minimal pembuktian.
2. Nilai pembuktian pengakuan bersyarat:
a. tidak mempunyai nilai yang sempurna, mengikat dan menentukan.
b. oleh karena itu tidak dapat berdiri sendiri,
c. harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti yang
lain.
Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bersifat berkekuatan
pembuktian bebas.
Pada kesempatan ini dapat juga ditambahkan bahwa Pencabutan atau
penarikan kembali pengakuan hanya dimungkinkan apabila:
a. Karena kekeliruan terhadap kenyataan peristiwa (dwaling).
b. Pencabutan diganti dengan keterangan yang dapat dibuktikan
kebenarannya dengan dalil baru.

Sebagai mana mengenai uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap
perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para
pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu
pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada
pengakuan dari pihak lawan.
Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat
bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk
menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan
pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acaraperdata sangat tergantung kepada kasusnya
masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare
aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi
kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan
yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak
secara proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan
para pihak,daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan
kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran
formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran
material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam
rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Daftar Bacaan:
Abdul Manan , Prof. DR. H. SH.,S.IP.,M.Hum, Penerapan Hukum Acara
Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,Penerbit Yayasan Al-Hikmah
Jakarta, 2000.
Ahmad Mujahidin, DR. MH, Pembaharuan Hukum Acara Perdata peradilan
agama dan mahkamah syariyah di Indonesia, Penerbit Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), 2008.
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan
Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan
Agama, Edisi Revisi 2010.
Sudikno Mertokusumo, Prof. DR. SH, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1988.
Subekti, R, SH, Hukum Acara Perdata, Cet. Ke 3 Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI, 1989.
Teguh Samudera, SH, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, penerbit
Alumni Bandung, 1992.
Zainal Abidin Abubakar, H, SH, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan
dalam Lingkungan Peradilan Agama, penerbit Yayasan A-Hikmah,
Jakarta, 1993.

Vous aimerez peut-être aussi