Vous êtes sur la page 1sur 21

TUGAS REFRESHING

DEMAM TYFOID

Disusun oleh:

Rizky Nugraha

2012730089

Dokter Pembimbing:

dr. Tety Suratika, Sp.PD

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD CIANJUR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Di Indonesia, demam


tifoid banyak dijumpai pada populasi usia 3-19 tahun. Demam tifoid menempati urutan
ketiga penyakit terbanyak pada pasien ranap di RS di Indonesia.2 Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no.6 tahun 1962 tentang
wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.
Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-Undang wabah dan wajib dilaporkan,
namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui
secara pasti.3,4
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai dalam bentuk epidemik, tetapi lebih
sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih
dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhii : pasien dengan demam tifoid dan yang
lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109-1011 kuman per gram tinja.
Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh
carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier
adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu
merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam
kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat,
akibat radang menahun.2,3,4
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Angka kejadian
demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal ini
banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan
penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih merupakan masalah
besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul
sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup tinggi berkisar antara
354-810 / 100.000 penduduk pertahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga
berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat terkena demam tifoid,
tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan
dan tidak tersedianya tempat buang air besar di dalam rumah.3,4
Di daerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang
dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal.
Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur
antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40
tahun.4
Epidemi adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi
tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju
ekspektasi ( dugaan ), yang didasarkan pada pengalamaan mutakhir. Dengan kata lain
epidemik adalah wabah yang terjadi secara cepat daripada yang diduga. Endemik adalah
penyakit yang umum yang terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu
populasi. Sporadik adalah wabah kecil yang meningkat dengan tetap sampai terjadi
wabah besar.4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Selama terjadinya infeksi, kuman
tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah. Demam Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus
Abdominalis,Typhoid fever atau Enteric fever.1,2

2.2. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita
kelompok umur 5-30 tahun, laki-laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang
pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang,
sehingga dapat menimbulkan wabah.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih
sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih
dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat
ditemukan.

Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan
yang lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih lbih dari
satu tahun). Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Di daerah
nonednemik penyebarran memalui tinja.5

2.3. ETIOLOGI
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella
berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil
dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk
antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies
enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu
mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan
antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang
dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang
lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini
tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan
eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah
S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.2
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat
yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu pasien
dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi
melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan
yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada
perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu,
bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan
diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Disfungsi kandung
empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada
di dalam kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung
jaringan ikat, akibat radang menahun.2
Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan
higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang
berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya
karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi
melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui
perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus),
dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.2

2.4. PATOFISIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan
Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Usus
yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus
halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).2
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke
plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk
kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel
atau ruang sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.2
Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam
lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid,
karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.2
Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri
yang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear
di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan
otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena
infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar
mesentrika. Kelainan kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ
tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal, jantung, empedu mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi karier intestinal.2
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga
menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).2
Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid2 :

1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di


hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di
hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada
akhirnya juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus.
2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator,
dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan
pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan
lainnya yang kurang begitu penting.
3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi
salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.

Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan kapsuler Vi


yang menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri sehingga fagositosis
terganggu. Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding bakteri,
menyebabkan prolonged fever dan gejala-gejala toksik dari demam tifoid, walaupun ada
pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejal ini disebabkan oleh sitokin yang
dihasilkan leukosit terhadap rangsangan endotoksin.2
Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal.
Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri, disusul minggu kedua
terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi plaque peyeri dan selanjutnya
dalam minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks.
Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.2

Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, serta
nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa
membesar.2

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe


mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya
juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan
mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu
selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita
dapat tetap mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman.2

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu
sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh,
penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan
orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi
pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih
sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.2
Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif) akibat
miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis, v. safena
dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae
transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot
diafragma, m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada
penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan
lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.2

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat
berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum, iga
dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik disertai
adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan
dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil dan
bertambahnya sel mononuklear.2

2.5. GAMBARAN KLINIS


Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan hampir
selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore
hingga malam hari, pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual, muntah. Biasanya
terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak
enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.2
Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap
tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat
ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami
delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain berupa bradikardia
relatif dengan limpa membesar lunak dapat pula ditemukan. Perbaikan dapat mulai
terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum
tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah
demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin
terjadi sampai dua atau tiga kali.2
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik
tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan
menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak
diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten), sore dan malam
lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi, kadang-
kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3
suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.2

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak
jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.2

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan


kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid). Bila
klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala delirium lebih
menonjol.2

Brandikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan


yang sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak
diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya
ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, atau gejala-gejala klinis yang dapat
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.2

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya


kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas
biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada
kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya
berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan,
letargi dan demam.2

2.6. LANGKAH DIAGNOSTIK


Anamnesis2
Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari, nyeri kepala,
pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, epistaksis.

Pemeriksaan fisik2
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Tampak toksik
Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat
pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak
meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang
lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada minggu
pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang
tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang
ditemukan pada orang Indonesia).
Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
Bradikardia relatif.
Hepato-splenomegali.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang
menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler
akibat rangsangan peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat
mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah
segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah pemeriksaan radiologi
menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran
ileus paralitik.
Pemeriksaan penunjang

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan


leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan jitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. LED pada demam tifoid dapat meningkat.2

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,


leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel
polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,
walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia
(<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi
usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi
pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan
keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%
penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.
Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa
kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak
daripada wanita.2

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk
basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang
diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.
fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik
demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada
imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi
setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi,
tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian
antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi
sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat
akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka
semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas
meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada
diagnosis dini infeksi.2

1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas
normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-
kadang dapat ditemukan leukositosis.2

2. SGOT dan SGPT.


SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam
tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.2

3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak
menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
tergantung pada beberapa faktor2, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.


b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c. Vaksinasi di masa lampau.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen
yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum
pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium.2

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat
antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O
yang berasal dari tubuh kuman.2

b. Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H
yang berasal dari flagela kuman.2

c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi
yang berasal dari simpai kuman.2

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan


titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien
menderita demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan
titer antibodi O mencapai 1/200, titer antibodi H 1/640, atau terdapat kenaikan 4
kali pada titer sepasang. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan
aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti oleh
agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan , sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu
uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.2

Interprestasi uji Widal, yaitu :


Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid.
Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid.
Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.
Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan
pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin
akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.
Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab
demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen
O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama.

5. Tubex Tf
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.

Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.

6. Uji Typhidot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi


spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap
IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. 2,8 Dikatakan
bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

2.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya yaitu :
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus
istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-
ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila
tidak ada indikasi.2
2. Nutrisi
- Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral
adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi,
dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.2

- Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus;
karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak
menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka
hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa
penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain
macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau
makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.2

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulose (rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet
cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila
penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita.2

Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa
lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi
perdarahan dan atau perforasi.2

3. Pemberian obat animikroba2


KLORAMFENKOL Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas
Tiamfenikol Dosis 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun
pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kotrimoksazol Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80
mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin Dosis 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama
2 minggu.
Sefalosporin generasi ke 3 Ceftriaxone 3-4 gram dalam dextros
100 cc selama jam per infus sekali
sehari selama 3-5 hari.
Cefotaxime 2-3 x 1 gr
Golongan florokuinolon Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6
hari.
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari.
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau telah diindikasikan
hanya pada keadaan tertentu saja antara lain
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta
syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organism dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
Kortikosteroid : penggunaannya hanya
diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septik. Diberikan
dexametason dosis 3 x 5 mg.

2.7. KOMPLIKASI2
Komplikasi intestinal Perdarahan intestinal, perforasi usus,
peritonitis

Komplikasiekstra-intestinal Kardiovaskular :
gagalsirkulasiperifer, miokarditis,
tromboflebitis.
Darah : anemia hemolitik,
trombositopenia, KID, thrombosis.
Neuropsikiatrik/tifoidtoksik.
Pankreas : pankreatitis
2.8. PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan Perbaikan sanitasi
lingkungan, Peningkatan higiene makanan dan minuman, Peningkatan higiene
perorangan, Pencegahan dengan imunisasi.3
Indikasi vaksinasi
hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi
untuk daerah berkembang,
orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
Petugas laboratorium.

Jenis Vaksin
Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul
polisakarida.
Vaksin oral : Ty21a

Efek Samping Vaksinasi


yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri, dan edema 3-35% bahkan
reaksi berat termasuk hipotensi , nyeri dada, dan syok

2.9. PROGNOSIS
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan.
Hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi.
Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak sepenuhnya sembuh dari infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the Management of Typhoid Fever (WHO 2011)


2. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam FKUI jilid III
3. Permenkes RI no 5 tahun 2014 tentang panduan praktik klinis bagi dokter difasilitas
kesehatan primer
4. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2008. Data Surveilans Epidemiologi Tahun 2007. Jakarta.
5. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases
2010, 10:45

Vous aimerez peut-être aussi