Vous êtes sur la page 1sur 23

Antibodi Monoklonal

1. Pengertian Antibodi Monoklonal


Antibodi monoklonal adalah antibodi sejenis yang diproduksi oleh sel plasma klon sel-sel positif sejenis.
Antibodi inidibuat oleh sel-sel hibridoma (hasil fusi 2 sel berbeda; penghasil sel positif limpa dan sel mieloma)
yang dikultur. Bertindak sebagai antigen yang akan menghasilkan anti bodiadalah limpa. Fungsi antara lain
diagnosis penyakit dan kehamilan. Antibodi monoklonal adalah zat yang diproduksi oleh sel gabungan tipe
tunggal yang memiliki kekhususan tambahan. Inia dalah komponen penting dari sistem kekebalan tubuh.
Mereka dapat mengenali dan mengikatke antigen yang spesifik (Anonim, 2012).
Pada teknologi antibodi monklonal, sel tumor yang dapat mereplikasi tanpa henti digabungkan dengan
sel mamalia yang memproduksi antibodi. Hasil penggabungan sel ini adalah hibridoma, yang akan terus
memproduksi antibodi. Antibodi monoklonal mengenali setiap determinan yang antigen (bagian dari
makromolekul yang dikenali oleh sistem kekepalan tubuh / epitope). Mereka menyerang molekul targetnya dan
mereka bisa memilahantara epitope yang sama. Selain sangat spesifik, mereka memberikan landasan
untuk perlindungan melawan patogen.
Antibodi monoklonal sekarang telah digunakan untuk banyak masalah diagnostik seperti
mengidentifikasi agen infeksi, mengidentifikasi tumor, antigen dan antibodi auto, mengukur protein dan level
drug pada serum, mengenali darah dan jaringan,mengidentifikasi sel spesifik yang terlibat dalam respon
kekebalan dan mengidentifikasi serta mengkuantifikasi hormon. Kemajuan sekarang telah memungkinkan untuk
memproduksi antibodi monoklonal manusia melalui rekayasa genetika dalam jumlah yang besar untuk
digunakan dalam terapi berbagai penyakit.
2. Pembuatan Antibodi Monoklonal
Menurut Radji (2010) bahwa cara pembuatan antibodi monoklonal untuk mendapatkan
antibodi yang homogen dapat dilihat pada Gambar 1 yang pada dasarnya terdiri dari beberapa
tahap, yakni;

a. Imunisasi Mencit
1) Antigen berupa protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan
secarasubkutan pada beberapa tempat atau secara intra peritoneal.
2) Setelah 23 minggu disusul suntikan antigen secara intravena, mencit yang tanggap kebal terbaik
dipilih.
3) Pada hari ke-12 hari suntikan terakhir antibodi yang terbentuk pada mencit diperiksa dan
diukurtiter antibodinya.
4) Mencit dimatikan dan limfanya diambil secara aseptis.- Kemudian dibuat suspensi sel limfa
untuk memisahkan sel B yang mengandung antibodi.
Cara imunisasi lain yang sering digunakan adalah imunisasi sekali suntik intralimfa
(Single-Shot Intrasplenic Immunization) Imunisasi cara ini dianggap lebih baik, karena eliminasi
antigen olehtubuh dapat dicegah.

Gambar 1. Bagan pembuatan antibodi monoklonal


(Sumber; Sarmoko, 2010)
b. Fusi sel kebal dan sel mieloma
1) Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limfa yang membuat antibodi akan cepat mati,
sedangkansel mieloma dapat dibiakkan terus-menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel hibrid
yang terdiri darigabungan sel limfa yang dapat membuat antibodi dan sel mieloma yang dapat
dibiakkan secaraterus menerus dalam jumlah yang tidak terbatas secara in vitro.
2) Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasilkan sel besar dengan dua
ataulebih inti sel, yang berasal dari kedua induk sel yang berbeda jenis yang disebut heterokarion.
3) Pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung kromosom kedua
induk yang disebut sel hibrid.
Frekuensi fusi dipengaruhi bebrapa faktor antara lain jenis medium, perbandingan jumlah
sel limpa dengan sel mieloma, jenis sel mieloma yang digunakan, dan bahan yang mendorong
timbulnya fusi (fusagon). Penambahan polietilen glikol (PEG) dan dimetilsulfoksida (DMSO)
dapat menaikan efisiensi fusi sel.
c. Eliminasi sel induk yang tidak berfusi
Frekuensi terjadinya hibrid sel limfa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu penting
untukmematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnyaa lebih banyak agar sel hibrid
mempunyaikesempatan untuk tumbuh dengan cara membiakkan sel hibrid dalam media selektif
yang mengandung hyloxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT).
d. Isolasi dan pemilihan klon hibridoma
1) Sel hibrid dikembangbiakkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel hibrid aka membentuk
kolonihomogen yang disebut hibridoma.
2) Tiap koloni kemudian dibiakkan terpisah satu sama lain.
3) Hibridoma yang tumbuh diharapkan mensekresi antibodi ke dalam medium, sehingga
antibodiyang terbentuk bisa diisolasi. Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama
adalah dilakukan untuk memperolehhibridoma yang dapat menghasilkan antibodi, dan yang
kedua adalah memilih sel hibridomapenghasil antibodi monoklonal yang potensial menghasilkan
antibodi monoklonal yang tinggi dan stabil.
Umumnya untuk menetukan antibodi yang diinginkan dilakukan dengan cara Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) atau radioimmunoassay (RIA). Pemilihan klon hibridoma
dilakukan dua kali, pertama adalah dilakukan untuk memperoleh hibridoma yang dapat
menghasilkan antibodi; dan yang kedua adalah memilih sel hibridoma penghasil antibodi
monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi monoklonal yang tinggi dan stabil.
3. Antibodi Monoklonal Generasi Baru
Antibodi monoklonal telah banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, baik untuk
diagnostik maupun untuk pengobatan, terutama untuk mengatasi kanker tertentu. Beberapa
antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan berasal dari sel mencit atau tikus,
sehingga sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima terapi antibodi
monoklonal tersebut. Hal ini disebabkan karena protein mencit dikenal sebagai antigen asing
oleh tubuh pasien sehingga menimbulkan reaksi respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi,
dan penghancuran atau destruksi dari antibodi monoklonal itu sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti telah mengembangkan pembuatan
antibodi monoklonal generasi baru, yaitu monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya
terdiri dari protein yang berasal dari manusia. Sehingga dapat mengurangi efek penolakan oleh
sistem imun pasien.
Beberapa jenis antibodi monoklonal generasi baru yang telah dikembangkan antara lain
adalah :
a. Murine Monoclonal Antibodies
Antibodi ini murni didapat dari tikus dapat menyebabkan human anti mouse antibodies
(HAMA) nama akhirannya momab (ibritumomab) (Hanafi dan Syahruddin, 2012).
b. Chimaric Monoclonal Antibodies
Antibodi ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk menciptakan suatu mencit
atau tikus yang dapat memproduksi sel hibrid mencit-manusia. Bagian variabel dari molekul
antibodi, termasuk antigen binding site berasal dari mencit, sedangkan bagian lainnya yaitu
bagian yang konstan berasal dari manusia. Salah satu contohnya antibodi monoklonal yang
struktur molekulnya terdiri dari 67% manusia adalah Rifuximab (Radji, 2010).
c. Humanized Monoclonal Antibodies
Antibodi ini dibuat sedemikian rupa sehingga bagian protein yang berasal dari mencit
hanya terbatas pada antigen binding site saja. Sedangkan bagian yang lainya yaitu bagian
variabel dan bagian konstan berasal dari manusia. Antibodi monoklonal yang struktur
molekulnya terdiri dari 90% manusia diantaranya adalah Alemtuzumab (Radji, 2010).
d. Fully Human Monoclonal Antibodies
Antibodi ini merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon
imun karena protein antibodi yang disuntikkan ke dalam tubuh seluruhnya merupakan protein
yang berasal dari manusia.
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi ini adalah
dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenik yang membawa gen yang
berasal dari manusia. Sehingga mampu memproduksi antibodi yang diinginkan (Radji, 2010).
Pendekatan lainnya adalah merekayasa suatu binatang transgenik yang dapat
mensekresikan antibodi manusia dalam air susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Untuk
lebih jelasnya struktur ke empat jenis antibodi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jenis antibodi monoklonal


(Sumber; Hanafi dan Syahruddin, 2012)
4. Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek
sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah antibody dependent cellular
cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity (CDC), mengubah signal transduksi sel
tumor atau menghilangkan sel permukaan antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target
muatan (radioisotop, obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di
tumor, antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi monoklonal digunakan
secara sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor (Hanafi dan
Syahrudin, 2012).
a. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) terjadi jika antibodi mengikat antigen sel
tumor dan Fc antibodi melekat dengan reseptor Fc pada permukaan sel imun efektor. Interaksi Fc
reseptor ini berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat penting pada pemilihan suatu antibodi
monoklonal. Sel efektor yang berperan masih belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit
mononuklear dan atau natural killer (NK).
Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi dan interaksi dengan Fc
reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dapat meningkatkan respons klinis
secara langsung menginduksi destruksi tumor melalui presentasi antigen dan menginduksi
respons sel T tumor.
Antibodi monoklonal berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor
permukaan sel NK. Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk menghancurkan
sel tumor (gambar 5a). Sel - sel yang hancur ditangkap antigen presenting cell (APC) lalu
dipresentasikan pada sel B sehingga memicu penglepasan antibodi kemudian antibodi ini akan
berikatan dengan target antigen (gambar 5b-d). Sel cytotoxic T lymphocytes (CTLs) dapat
mengenali dan membunuh sel target antigen (Gambar 3).

Gambar 3. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)


b. Complement dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan mengawali kaskade
komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan suatu metode pembunuh sel
tumor yang lain dari antibodi. Imunoglobulin G1 dan G3 sangat efektif pada CDC melalui jalur
klasik aktivasi komplemen (Gambar 4a). Formasi kompleks antigen antibodi merupakan
komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga memicu komplemen protein lain untuk
mengawali penglepasan proteolitik sel efektor kemotaktik / agen aktivasi C3a dan C5a (Gambar
4b). Kaskade komplemen ini diakhiri dengan formasi membrane attack complex (MAC)
(Gambar 4c) sehingga terbentuk suatu lubang pada sel membran. Membrane attack complex
(MAC) memfasilitasi keluar masuknya air dan Na++ yang akan menyababkan sel target lisis
(Gambar 4d)
Gambar 4. Complement Dependent Cytotoxicity (CDC)
c. Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT)
Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) menggunakan antibodi monoklonal
sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada
tumor, hal ini dapat meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibodi
monoklonal dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor (Gambar 5a) kemudian zat
sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan mengikat konjugasi antibodi monoklonal dan
enzim permukaan sel tumor (Gambar 5b-c) akhirnya inaktivasi prodrug terpecah dan
melepaskan active drug di dalam tumor (Gambar 5d).

Gambar 5. Antibodi Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT)

5. Rintangan Keberhasilan Terapi Antibodi Monoklonal


Distribusi antigen sel ganas sangat heterogen sehingga beberapa sel dapat mengenali
antigen tumor dan sel lainnya tidak. Densiti antigen bervariasi bila rendah antibodi monoklonal
tidak efektif. Aliran darah tumor tidak selalu optimal bila antibodi monoklonal dihantarkan
melalui darah maka sulit untuk mengandalkan terapi ini. Tekanan interstisial yang tinggi dalam
tumor dapat mencegah ikatan dengan antibodi monoklonal. Antigen tumor selalu dilepaskan
sehingga antibodi mengikat antigen bebas dan bukan sel tumor. Antibodi monoklonal diperoleh
dari sel tikus kemungkinan masih ada respons imun antibodinya yang disebut respons human
anti mouse antibodies (HAMA). Respons ini tidak hanya menurunkan kemanjuran terapi
antibodi monoklonal tapi juga menyisihkan kemungkinan terapi ulangan. Reaksi silang antibodi
monoklonal dengan antigen jaringan normal jarang sehingga aplikasi antibodi monoklonal
memberikan hasil yang baik pada keganasan hematologi dan tumor soliter walaupun terdapat
beberapa rintangan
6. Imunoterapi
Imunoterapi (IT) atau densitisasi atau hiposensitasi adalah pemberian ekstrak alergen
kepada penderita alergi yang jumlahnya secara perlahan ditingkatkan dengan tujuan
menghilangkan gejala yang ditimbulkan pejanan dengan alergen yang merupakan penyebab
penyakit. Pemberian antigen spesifik berulang kepada penderita dengan penyakit alergi
diharapkan akan memberikan proteksi terhadap gejala dan terjadinya inflamasi (Anonim, 2012).
Imunoterapi yang merupakan teknik pengobatan baru untuk kanker, yang mengerahkan
dan lebih mendayagunakan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi kanker. Karena hampir
selalu menggunakan bahan-bahan alami dari makhluk hidup, terutama manusia, maka
imunoterapi sering juga disebut bioterapi atau terapi biologis.
Imunoterapi kanker berupaya membuat sistem kekebalan tubuh mampu mengalahkan
keganasan sel-sel kanker, dengan cara meningkatkan/mengarahkan reaksi kekebalan tubuh
terhadap sel kanker, atau mengembalikan kemampuan tubuh dalam menaklukkan kanker (body
response modifiers BRM). Imunoterapi dapat dilakukan secara aktif atau pasif untuk
menstimulasi respon imun spesifik dan nonspesifik pada penderita kanker.
a. Imunoterapi Pasif
Imunoterapi secara pasif dilakukan dengan cara mentransfer antibodi dan sel-selimun ke
dalam tubuh penderita. Beberapa antibodi spesifik atau antibodi monoklonal yang mampu
bereaksi dengan antigen spesifik berbagai jenis sel kanker dapat digunakan untuk terapi kanker.
Antibodi monoklonal tersebut akan berikatan dengan antigen yang terdapatpada permukaan sel
tumor atau sel kanker dan mengaktifkan sistem komplemen,sehingga menyebabkan sitolisis.
Disamping itu reseptor yang terikat pada bagian Fc dari antibodi dapat merangsang sel-sel
efektorseperti sel NK, makrofag dan granulosit untuk menangkap kompleks antigen antibodi
pada permukaan sel tumor,sehingga dapat membunuh sel tumor melalui antibody-dependent
cell-mediated cytotoxicity (Radji, 2010).
Berbagai jenis antibodi monoklonal telah dikembangkan beberapa diantaranya telah
disetujui penggunaannya oleh FDA untuk mengobati beberapa jenis kanker, dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa jenis antibodi monoklonal yang digunakan untuk antikanker
Walaupun demikian, terdapat beberapa masalah dengan penggunaan imunoterapi antara
lain adalah;
1) Antibodi yang digunakan kurang efisien karena sel tumor terasosiasi dengan MHC kelas 1.
2) Sel tumor dapat menutup antigen sehingga terjadi kompleks antigen antibodi. Dengan demikian
sel-sel kekebalan tidak dapat menghancurkan sel tumor.
3) Antibodi kemungkinan terikat secara tidak spesifik pada sel-sel kekebalan, tidak dapat
berikatand engan sel tumor, sehingga tidak dapat merangsang sistem komplemen untuk
mengahancurkan sel tumor.
Penggunaan antibodi monoklonal untuk terapi kanker dibagi dalam 2 tipe, yaitu;
1) Naked Monoclonal Antibodies (Antibodi monoklonal murni)
Antibodi monoklonal yang penggunaannya tanpa dikombinasikan dengan senyawa lain.
Antibodi monoklonal murni mengikatkan diri pada antigen spesifik yang dimiliki oleh sel-sel
kanker sehinggad apat dikenali dan dirusak oleh sistem imun tubuh. Selain itu antibodi
monoklonal dapat mengikatkan diri pada suatu reseptor, dimana molekul-molekul pertumbuhan
untuk tidak dapat berinteraksi dengan sel kanker, maka antibodi monoklonal dapat mencegah
pertumbuhan sel kanker. Biasanya diberikan secara intravena dan efek sampingnya lebih ringan
dari kemoterapi.
Beberapa antibodi monoklonal yang bekerja dengan cara tersebut diantaranya adalah;
a) Trastuzumab (Herceptin), digunakan untuk terapi kanker payudara stadium lanjut. Trastuzumab
menyerang protein HER2 (merupakan protein yangterdapat dalam jumlah besar pada sel-sel
kankerpayudara).
b) Rituximab, digunakan untuk terapi sel B pada limfoma non-Hodgkin, bereaksi dengan sasaran
antigen CD20 yang ditemukanpada sel B.
c) Alemtuzumab, diigunakan untuk terapi B cell lymphocytic leukimia (B-CLL) kronik yang sudah
mendapat kemoterapi, Senyawa ini menyerang antigen CD52, yang terdapat pada sel B maupun
sel T.
d) Cetuximab, digunakan untuk kanker kolorektal stadium lanjut (bersamaan dengan obat
kemoterapi irinotechan) dan kanker leher dan kepala yang tidakbisa dilakukan tindakan
pembedahan. Senyawa ini ditujukan untuk protein epidermal growth factor receptors
(EGFR),dimana EFGR terdapat dalam jumlah besar pada beberapa sel kanker.
e) Bevacizumab, bekerja melawan protein Vascular Endhotelial Growth Factor (VEGF) yang
normalnya membantu tumor untuk membangun jaringan pembuluh darah baru (angiogenesis).
Senyawa ini digunakan bersama-sama dengan kemoterapi untuk terapi kanker kolorektal
metastatik.
2) Conjugated Monoclonal Antibodies (Antibodi monoklonal yang dikombinasi dengan
beberapa senyawa)
Senyawa yang dikombinasikan antara lain kemoterapi, toksin,dan senyawa radioaktif.
Antibodi monoklonal jenis ini akan beredar ke seluruh bagian tubuh sampai ia berhasil
menemukan sel kanker yang mempunyai antigen spesifik yang dikenali oleh antibodi
monoklonal. Obat ini hanya berperan sebagai wahana yang akan mengantarkan substansi-
substansi obat, racun dan materi radioaktif, menuju langsung ke sasaran yakni sel-sel kanker,
namun hebatnya, ia bisa meminimalkan dosis pada sel normal untuk menghindari kerusakan di
seluruh bagian tubuh. Conjugated MAbs kadang dikenal juga sebagai "tagged," "labeled," atau
"loaded" antibodies.
a) Chemolabeled
Chemolabeled adalah antibodi monoklonal yang dikombinasikan dengan obat kemoterapi.
Satu-satunya chemolabeled yang telah disetujui FDA untuk terapi kanker adalah Brentuximab
vedotin(Adcetris, dulu dikenal dengan nama SGN-35). Obat ini terdiri dari antibodi yang
mempunyai target antigen CD30 yang terikat kepada obat kemoterapi yang bernama
monomethyl auristatin E. Digunakan untuk terapi Hodgkin lymphoma dan anaplasticlarge cell
lymphoma yang tidak merespon terapi lain.
b) Radioimmunotherapy
Radioimmunotherapy adalah antibodi monoklonal dikombinasikan dengan senyawa
radioaktif. FDA menyetujui radioimmunotherapy pertama yang boleh digunakan adalah
Ibritumomabtiuxetan digunakan untuk terapi kanker B cell non-Hodgkin lymphoma yang tidak
berhasil dengan terapi standar. Radioimmunotherapy yang kedua adalah Tositumomab (Bexxar)
digunakan untuk tipe limfomanon-Hodgkin tertentu yang jugatidak menunjukkan respon
terhadap Rituximab (Rituxan)atau kemoterapi.
c) Immunotoksin
Immunotoksin adalah antibodi monoklonal dikonjugasikan dengan racun. Imunotoksin
dibuat dengan menempelkan racun yang berasal dari tanaman maupun bakteri pada antibodi
monoklonal. Berbagai racun dibuat untuk ditempelkan pada antibodi monoklonal seperti toksin
difteri, eksotoksin pseudomonas (PE40), atau yang dibuat dari tanaman, yakni risin A dari
Ricinus communis atau saporin dari Saponaria officinalis.
Salah satu imunotoksin yang mendapat persetujuan FDA untuk terapi kanker adalah
Gemtuzumab ozogamicin (Mylotarg). Obat ini mengandung racun calicheamicin. Racun ini
melekat pada antibodiyang langsung menuju sasaranantigen CD33, yang terdapat padasebagian
besar sel leukimia. Saat ini Gemtuzumab ozogamicin digunakan untuk terapi acute myelogenous
leukimia (AML)yang sudah menjalani kemoterapiatau tidak memenuhi syarat untuk kemoterapi.
b. Imunoterapi Aktif
Imunoterapi Secara Aktif dilakukan dengan cara memberikan senyawa imunopotensiasi
(biological response modifiers) untuk meningkatkan respon imun terhadap sel tumor antara lain
dengan cara meningkatkan aktifitas makrofag dan sel NKserta meningkatkan fungsi sel T.
Aktivitas spesifik dilakukan dengan pemberian vaksin hepatitis B, vaksin Human papiloma virus.
Atau dengan cara non spesifik dengan imunisasi BCG dan Corynebacterium parvum untuk
merangsang aktivitas makrofag agar mampu membunuh sel-sel tumor (tumorsid).
Beberapa jenis biological response modifiers yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis biological response modifiers yang digunakan sebagai imunoterapi


Jenis imunopotensiasi Produk Efek utama
Produk bakteri BCG, P. Acnes, muramil Mengaktifkan makrofag
dipeptida, trehalosa dan sel NK (melalui
dimikolat sitokin)
Molekul sintetik Piran, pirimidin Menginduksi produksi
interferon
Sitokin Interferon alfa, beta dan Mengaktifkan makrofag
gama IL-2 dan TNF dan sel NK

Beberapa senyawa sitokin digunakan untuk meningkatkan fungsi imun penderita karena
pada kenyataannya beberapa senyawa sitokin mempunyai fungsi yang spesifik terhadap
komponen tertentu dari sistem imun. Jenis sitokin yang digunakan adalah;
(i) Interleukin-2
Mengaktifkan sel T dan sel NK
Digunakan untukmengobatikarsinoma renal dan melanoma
(ii) Interferon alfa dan beta
Menginduksiekspresi MHCpada sel tumor
Digunakan untukmengobati leukimia
(iii) Interferon gama
Meningkatkanekspresi MHCkelas II
Digunakan untuk kanker rahim
(iv) Tumor necrocis factor-alpha(TNF-alfa)
Meningkatkanaktifitasmakrofag dansel-sel limfosit
Digunakan untukmembunuh sel-sel tumor

B. Antibodi Poliklonal
1. Pengertian Antibodi Poliklonal
Menurut Sarmoko (2010) antibodi poliklonal adalah antibodi dimana di dalam suatu
populasi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop
yang berbeda pada antigen yang sama. Selanjutnya Radji (2010) mengatakan bahwa dalam
antibodi poliklonal jumlah antibodi yang spesifik sangat sedikit, sangat heterogen karena dapat
mengikat bermacam-macam epitop dan sangat sulit menghilanagkan antibodi lain yang tidak
diinginkan.

2. Pembuatan Antibodi Poliklonal


Menurut Sarmoko (2010) Proses yang terjadi pada antibodi poliklonal adalah sebagai
berikut:
a. Diproduksi dengan imunisasi hewan dengan antigen yang tepat.
b. Serum dari hewan terimunisasi dikumpulkan
c. Antibodi dalam serum dapat dimurnikan lebih lanjut.
d. Karena satu antigen menginduksi produksi banyak antibodi maka hasilnya berupa polyclonal
/campuran antibodi.
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang
terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen
dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis,
patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah
antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik
dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini
terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah
oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan
panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan
berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya
fluoresensi.
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigen tertentu.
Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid
(biasanya berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik (melalui penyerapan
pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lain yang spesifik untuk
antigen yang sama, disebut sandwich ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi
pendeteksi ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat
berikatan juga dengan enzim, atau dapat dideteksi secara langsung oleh antibodi sekunder yang
berikatan dengan enzim melalui biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan
larutan deterjen lembut untuk membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat.
Setelah tahap pencucian terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk
memproduksi sinyal yang visibel, yang menunjukkan kuantitas antigen dalam sampel. Teknik
ELISA yang lama menggunakan substrat kromogenik, meskipun metode-metode terbaru
mengembangkan substrat fluorogenik yang jauh lebih sensitif.

Aplikasi ELISA
ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodi dalam suatu sampel,
karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi
konsentrasi antibodi dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk mendeteksi
kehadiran antigen. Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam industri makanan untuk mendeteksi
allergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang, walnut, almond, dan telur. ELISA juga
dapat digunakan dalam bidang toksikologi untuk uji pendugaan cepat pada berbagai kelas obat.
ELISA adalah tes skrining dahulu banyak digunakan untuk HIV karena kepekaan tinggi.
Dalam ELISA, serum seseorang diencerkan 400 kali lipat dan diterapkan pada pelat yang antigen
HIV yang terpasang. Jika antibodi terhadap HIV hadir dalam serum, mereka dapat mengikat
antigen HIV. Pelat ini kemudian dicuci untuk menghapus semua komponen lain dari serum.
Sebuah "antibodi sekunder" khusus disiapkan - antibodi yang mengikat antibodi lain - kemudian
diterapkan ke piring, mencuci diikuti oleh yang lain. Ini antibodi sekunder secara kimiawi terkait
di muka untuk enzim.
"Anti IgG manusia" Antibodi Ganda Sandwich ELISA
Dengan demikian, piring akan berisi enzim sebanding dengan jumlah antibodi sekunder
terikat ke piring. Sebuah substrat untuk enzim diterapkan, dan katalisis oleh enzim mengarah ke
perubahan pada warna atau fluoresensi. Hasil ELISA dilaporkan sebagai nomor; aspek paling
kontroversial dari tes ini adalah menentukan "cut-off" titik antara positif dan hasil negatif.
Sebuah titik cut-off dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan standar yang dikenal.
Jika tes ELISA digunakan untuk skrining obat di tempat kerja, konsentrasi cut-off, 50 ng / mL,
misalnya, didirikan, dan sampel yang berisi konsentrasi analit standar akan disiapkan. Diketahui
bahwa menghasilkan sinyal yang lebih kuat daripada sampel dikenal adalah "positif." Mereka
yang menghasilkan sinyal lemah, yang "negatif." Dokter Dennis E Bidwell dan Alister Voller
menciptakan tes.
Kegunaan lain dari ELISA meliputi:
1. deteksi antibodi mikobakteri dalam TB.
2. deteksi rotavirus dalam tinja.
3. deteksi penanda hepatitis B dalam serum.
4. deteksi enterotoksin E. coli dalam tinja.

Tipe-tipe ELISA
Ada beberapa tipe-tipe ELISA, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Indirect ELISA
2. Sandwich ELISA
3. Competitive ELISA

1. Indirect ELISA
(Gambar Mekanisme Indirect ELISA)

Tahap umum yang digunakan dalam indirect ELISA untuk mendeterminasi konsentrasi
antibodi dalam serum adalah:
a) Suatu antigen yang sudah dikenal dan diketahui konsentrasinya ditempelkan pada permukaan
lubang plate mikrotiter. Antigen tersebut akan menempel pada permukaan plastik dengan cara
adsorpsi. Sampel dari konsentrasi antigen yang diketahui ini akan menetapkan kurva
standar yang digunakan untuk mengkalkulasi konsentrasi antigen dari suatu sampel yang akan
diuji.
b) Suatu larutan pekat dari protein non-interacting, seperti bovine serum albumin (BSA) atau
kasein, ditambahkan dalam semua lubang plate mikrotiter. Tahap ini dikenal sebagai blocking,
karena protein serum memblok adsorpsi non-spesifik dari protein lain ke plate.
c) Lubang plate mikrotiter atau permukaan lain kemudian dilapisi dengan sampel serum dari
antigen yang tidak diketahui, dilarutkan dalam buffer yang sama dengan yang digunakan untuk
antigen standar. Karena imobilisasi antigen dalam tahap ini terjadi karena adsorpsi non-spesifik,
maka konsentrasi protein total harus sama dengan antigen standar.
d) Plate dicuci, dan antibodi pendeteksi yang spesifik untuk antigen yang diuji dimasukkan dalam
lubang. Antibodi ini hanya akan mengikat antigen terimobilisasi pada permukaan lubang, bukan
pada protein serum yang lain atau protein yang terbloking.
e) Antibodi sekunder, yang akan mengikat sembarang antibodi pendeteksi, ditambahkan dalam
lubang. Antibodi sekunder ini akan berkonjugasi menjadi enzim dengan substrat spesifik. Tahap
ini bisa dilewati jika antibodi pendeteksi berkonjugasi dengan enzim.
f) Plate dicuci untuk membuang kelebihan konjugat enzim-antibodi yang tidak terikat.
g) Dimasukkan substrat yang akan diubah oleh enzim untuk mendapatkan sinyal kromogenik/
fluorogenik/ elektrokimia.
h) Hasil dikuantifikasi dengan spektrofotometer, spektrofluorometer atau alat optik/ elektrokimia
lainnya.
Enzim bertindak sebagai amplifier, bahkan jika hanya sedikit antibodi terikat enzim yang
tetap terikat, molekul enzim akan memproduksi berbagai molekul sinyal. Kerugian utama dari
metode indirect ELISA adalah metode imobilisasi antigennya non-spesifik, sehingga setiap
protein pada sampel akan menempel pada lubang plate mikrotiter, sehingga konsentrasi analit
yang kecil dalam sampel harus berkompetisi dengan protein serum lain saat pengikatan pada
permukaan lubang.

2. Sandwich ELISA
Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:
a) Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi penangkap
b) Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir
c) Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate
d) Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat
e) Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan antigen
f) Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan berikatan dengan
antibodi primer
g) Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat dibuang
h) Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal berwarna/ berfluoresensi/
elektrokimia
i) Diukur absorbansinya untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari antigen
Keuntungan utama dari metode sandwich ELISA adalah kemampuannya menguji sampel
yang tidak murni, dan mampu mengikat secara selektif antigen yang dikehendaki. Tanpa lapisan
pertama antibodi penangkap, semua jenis protein pada sampel (termasuk protein serum) dapat
diserap secara kompetitif oleh permukaan lempeng, menurunkan kuantitas antigen yang
terimobilisasi.
Prinsip kerja sandwich ELISA dapat dilihat pada skema berikut ini:

3. Competitive ELISA
Tahapan pengerjaan ELISA kompetitif berbeda dari dua metode yang telah dibahas
sebelumnya, yaitu:
a) Antibodi yang tidak berlabel diinkubasi dengan kehadiran antigennya
b) Komplek antigen-antibodi ini selanjutnya ditambahkan pada lubang yang telah dilapisi antigen
c) Plate dicuci, sehingga kelebihan antibodi tercuci (semakin banyak antigen dalam sampel,
semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang menempel pada permukaan lubang,
karena inilah disebut kompetisi
d) Ditambahkan antibodi sekunder yang spesifik utnuk antibodi primer. Antibodi sekunder ini
berpasangan dengan enzim
e) Substrat ditambahkan, enzim akan mengubah substrat menjadi sinyal kromogenik/ fluoresensi.
Dalam ELISA kompetitif, semakin tinggi konsentrasi antigen orisinal, semakin lemah
sinyal yang dihasilkan. Prinsip kerjanya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Secara singkat tahapan kerja dalam metode ELISA dapat digambarkan sebagai berikut:
4. Beberapa dan Portable ELISA (M & P ELISA) (ELISA Reverse di makalah
yang diterbitkan)

Sebuah teknik baru (EP 1 499 894 B1 di EPO Buletin 25.02.209 N. 2009/09; USPTO
7510687 di USPTO Buletin 2009/03/31; ZL 03.810.029,0 di SIPO RRC Buletin 2009/08/04)
menggunakan fase padat terdiri dari polistiren immunosorbent batang dengan 8-12 ogives
menonjol. Seluruh perangkat direndam dalam tabung reaksi berisi sampel dikumpulkan dan
langkah-langkah berikut (cuci, inkubasi dalam conjugate dan inkubasi dalam chromogenous)
dilakukan oleh mencelupkan ogives di microwells standar microplates pra-diisi dengan reagen.

Keuntungan dari teknik ini adalah sebagai berikut:


Para ogives masing-masing dapat peka terhadap reagen yang berbeda, memungkinkan deteksi
simultan dari antibodi yang berbeda dan / atau antigen yang berbeda untuk multi-target tes;
Volume sampel dapat ditingkatkan untuk meningkatkan sensitivitas tes di klinik (darah, air liur,
urin), makanan (susu curah, telur dikumpulkan) dan (air) lingkungan sampel;
Satu ogive yang tersisa unsensitized untuk mengukur reaksi non-spesifik sampel;
Penggunaan perlengkapan laboratorium untuk mengeluarkan alikuot sampel, mencuci solusi dan
reagen dalam microwells tidak diperlukan, memfasilitasi pengembangan siap menggunakan
laboratorium-kit dan di tempat kit.

5. Material Dalam Metode ELISA


Antigen
Monoclonal Ab
Microplate
Blocking Buffer
Serum sample
Conjugate (secondary Ab + Enzyme)
Subtrate
Stop Sol.

Vous aimerez peut-être aussi