Vous êtes sur la page 1sur 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

B. Definisi
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan
gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh.
Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human
Immunodeficiecy Virus). Pada dasarnya HIV adalah sejenis parasit obligat
yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini
biasanya meyukai hidup dan berkembang biak pada sel darah putih manusia.
HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti
darah, cairan plasenta, air mani atau cairaan sperma, cairan sumsum tulang,
cairan vaginaa, air susu ibu dan cairaan otak. (www.tempointeraktif.com)
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut sel T-4 atau
disebut juga sel CD-4.
Stadium akhir dari infeksi HIV adalah AIDS. AIDS adalah suatu
keadaan dimana penurunan system kekebalan tubuh yang didapat
menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh terhadapa penyakit sehingga
terjadi infeksi, beberapa jenis kanker dan kemunduran system saraf. Infeksi
HIV yang berakhir menjadi AIDS, telah menjadi penyebab utama kematian
pada anak anak. (www.medicastore.com)
C. Etiologi
Penyebab terjadinya infeksi HIV adalah virus HIV-1 atau virus HIV-2.
HIV-1 menginfeksi terutama limfosit T CD-4. pengosongan limfosit CD-4
menyebaabkan immunodeficiency. 3 cara penularan virus kepada anak anak
1. Ketika anak masih berada dalam kandungan
2. Pada saat proses persalinan berlangsung
3. Melalui ASI (www.medicastore.com)
Penularan HIV-1 perinatal merupakan penyebab utama AIDS pediatri. Di
Amerika Serikat sekitar 7000 bayi dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV-1
setiap tahun, dan sekitar 2000 bayi menjadi terinfeksi. Ibu ibu yang
menularkan HIV-1 biasanya baik dan mempunyai angka limfosit T CD-4
normal dan sering tidak tahu bahwa mereka mempunyai infeksi HIV-1.
peluang untuk pengenalan awal infeksi HIV-1 sering merupakan wanita
ddengan kelas sosioekonomi rendah dan mungkin tidak mendapat perawatan
prenatal yang cukup. (Nelson,2000).

D. Manifestasi Klinis
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip
penyakit ringan seharihari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak
sehat. Kadangkadang dalam enam minggu pertama setelah kontak penularan
timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan
dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketian dan
selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4 5 tahun
mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, tergantung masing
masing penderita, mulai timbul diare berulang,penurunan berat badan secara
mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar
getah bening. Kemudian pada tahap lanjut akan terjadi penurunan berat bada
secara ccepat (10%), diare terus menerus lebih dari satu bulan disertai panas
badan yang hilang timbul atau terusmenerus. (www.tempointeraktif.com)
Infeksi sebelum, selama atau segera setelah lahir, tidak langsung
menampakkan gejala. Pada 10-20% kasus, gejala baru timbul pada saat anak
berumur 1-2 tahun, sedangkan pada 80-90 % kasus, gejalanya baru timbul
beberapa tahun kemudian. Sekitar 50% anak anak yang terinfeksi HIV,
terdiagnosis menderita AIDS pada umur 3 tahun. (www.medicastore.cm)
Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi
penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau
kandidiasis oral memberi kesan immunodeficiency yang mendasari.
Manifestasi klinis HIV-1 bervariasi karena immunodeficiency sekunder serta
keterlibatan multisistem yang disertai dengan infeksi virus kronis persisten.
(Nelson,2000)
Gejala awal yang biasa ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV adalah
sebagai berikut :
1. Pertumbuhan yang jelek, penurunan berat badan, demam yang
berlangsung atau berulang, diare yang menetap atau berulang,
pembengkakan kelenjar getah bening, pembeasaran hati dan limpa,
pembengkakan dan peradangan kelenjar pipi.
2. infeksi jamur yang menetap atau berulang (thrush) di mulut atau daerah
yang tetutup popok.
3. infeksi bakteri berulang (misalnya infeksi telinga tengah, pneumonia dan
meningitis).
4. infeksi opportunistic virus, jamur dan parasit.
5. Keterlambatan atau kemunduran perkembangan system saraf.
Sejumlah gejala dan komlikasi bisa timbul karena adanya penurunan
system kekebalan. Sekitar sepertiga anakanak yang terinfeksi HIV, menderita
peradangan paru (pneumonitis inteestisial limfositik), biasanya pada tahun
tahun pertama. Gejalanya berupa batuk aatau pembengkakan ujung jari tangan
(clubbing), tergantung beratnya penyakit.
Pneumonia pneumokistik karena organisme Pneumocytis carinii
merupakan ancaman yang serius pada anak anak. Anak anak yang terlahir
dengan infeksi HIV biasanya mengalami serangan pneumonia pneumokistik
minimal 1 kali pada 15 bulan pertama. Pneumonia pneumokistik merupakan
penyebab utama kematian pada anakanak dan orang dewasa yang mendeerita
AIDS. Pada sejumlah anak anak yang terinfeksi oleh HIV, kerusakan otak
yang progresif menyebabkan anak mengalami gangguan kecerdasan serta
memiliki kepala yang ukurannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan
tubuhnya. 20% dari mereka mengalami penurunan kemampuan sosial dan
berbahasa serta penurunan pengendalian otot. Bila terjadi kelumpuhan parsial
atau langkahnya menjadi goyah atau ototnya menjadi kaku.
Beberapa anak menderita hepatitis (peradangan hati) dan gagal ginjal
atau gagal jantung. Kanker jarang terjadi pada anak aanak, tetapi kadang
ditemukan limfoma non-Hodgkin dan limfoma otak. Sarcoma Kaposi sangat
jarang menyerang anak anak. Bayi yang terlahir dengan HIV biasanya
memiliki berat badan lahir yang rendah. Dalam waktu 2-3 bulan, penambahan
berat badannya juga jelek. (www.medicastore.com)

E. Stadium HIV/AIDS Pada Anak Menurut WHO


1. Stadium Klinis 1 :
a. Tanpa gejala (asimtomatis)
b. Limfadenopati generalisata persisten
2. Stadium Klinis 2
a. Hepatosplenomehaly persisten tanpa alas an
b. Erupsi popular pruritis
c. Infeksi virus kutil yang luas
d. Moluskum kontagiosum yang luas
e. Infeksi jamur di kuku
f. Ulkus mulut yang berulang
g. Pembesaran parotid persisten tanpa alaasan
h. Eritema lineal gingival (LGE).
i. Herpes zoster
j. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (otitis,
media, otore,sinusitis atau tonsillitis).
3. Stadium Klinis 3 :
a. Malnutrisi sedang tanpa alasan yang jelas tidak membaik dengan terapi
baku
b. Diare terus menerus tanpa alas an (14 hari atau lebih )
c. Demam terus menerus tanpa alasan ( di atas 37,5 C, sementara atau
terus menerus lebih dari 1 bulan).
d. Kandidiasis oral terus menerus (setelah usia 6-8 minggu).
e. Oral hairy leukoplakia (OHL).
f. Gingivitis atau periodonitis nekrositing berulkus yang akut
g. Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
h. Tuberkulosis paru
i. Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
j. Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
k. Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
l. Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 x 109/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50X 109/L) tanpa alasan.
4. Stadium Klinis 4 :
a. Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malnutrisi yang parah tanpa
alasan dan tidak mennaggapi terapi yang baku.
b. Pneumonia Pneumosistis (PCP).
c. Infeksi bakteri yang parah dan berulang (misalnya : empiema,
piomisotis, infeksi tulang atau sendi atau meningitis, tetapi tidak
termasuk pneumonia). Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau
kutaneus lebih dari 1 bulan atau visceral pada tempat apapun)
d. Tuberkulosis di luar paru
e. Sarkoma Kaposi
f. Kandidiasis esophagus (aau kandidiasis pada trachea, bronkus atau
paru)
g. Toksoplsmosis system saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
h. Ensefalopati HIV
i. Infeksi sitomegalovirus : retinitis atau infeksi CMV ynag
mempengaruhi organ lain,pada usia lebih dari 1 bulan).
j. Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
k. Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru,
kokidiomikosis)
l. Kriptosporidiosis kronis
m. Infeksi mikobakteri non TB diseminata
n. Limfoma serebral atau non-Hodgin sel B
o. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
p. Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait
HIV. (www.yayasanspiritia.com)

F. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus yang menunujukkan bahwa virus tersebut membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam
deoksirinonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap yang
dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk
peluru yang terpancung dimana p24 merupakan komponen structural yang
utama. Tombil (knob) yang menonjol lewat ddinding virus terdiri atas proten
gp120 yang terkait pada protein gp41. bagian yang secara selektif berikatan
dengan sel sel CD4 positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4 mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper (yang
dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infekai HIV); limfosit T4
helper ini merupakan sel yang paling banyak di antara ketiga sel di atas.
Sesudah terikat ddengaan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan
dua utas benang RNA yang iddentik ke dalam sel T4 helper. Dengan
menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan
melakukan pemrograman ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA akan
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen.
Silus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen,
mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin I) atau produk gen virus seperti
sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai
akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang
harus dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi
sel sel CD4+ lainnya.

G. Strategi pencegahan penularan HIV pada bayi daan anak


WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV
terhadap bayi (Depkes 2003) yaitu:
1. Mencegah jangan sampai ada wanita yang terinfeksi HIV
2. Apabila sudah terinfeksi, cegah jangan sampai ada kehamilan
3. Apabila sudah hamil, cegah penularan dari ibu kebayi dan anaknya
4. Apabila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan
bagi ODHA dan keluarganya
Pencegahan primer. Hal yang terutama dalam pencegahan primer bagi
petugas kesehatan aadalah mengikuti kaidah-kaidah universal standar yang
ada. Sementara ibu-ibu yang sehat perlu mengubah perilaku seksual dengan
menrpkan prinsip ABC, yaitu A=absitence, (tidak melakukan hubungan
seksual dengan pasangan), B= be faithful (setia pada pasangan), C= Condom
(penggunaan condom jika terpaksa melakukan hubungan dengan
pasangannya). Mereka juga tidak boleh menjadi pecandu narkoba suntikan,
terutama dengan penggunaan jarum suntikan secara berlebihan.
Penerapan universal precautions harus silakukan oleh petugas kesehatan
daalam melaksanakan asuhan kepada semua pasien.hal ini berrti semua darah
atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau kuman-kuman
penyakit yang lain. Transfusi darah haruslah memakai darah atau komponen
darah yang sudah dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana
diupayakan menggunakan transfuse dapah autologis ( dari daarah sendiri ).
Kepada pasangan yang menginginkan untuk hamil, sebaiknya dilakukan tes
HIV sebelum kehamilan, sementara bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV
pada kunjungan pertama. Kunci dari keberhasilan dari program ini adalah
Voluntari Counceling and Testing (VCT). Yaitu konseling dan kesiapan
menjalani tes HIV. Sasarannya adalah wanita muda dan pasangan ibu hamil
dan ibu menyusui. Prinsip pencegahan primer;
1. Mengubah perilaku seksual (ABC)
2. Konsultasi dan tes HIV (VCT)
3. Kewaspadaan Universal Precaution.
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janinnya. Intervensi
pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi empat hal, yaitu
mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah melahirkan (Depkes,2003:86):
1. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan.
2. Penggunaan antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan.
3. Penanganan obstetri selama persalinan.
4. Penatalaksanaan saat menyusui.

H. Cara persalinan yang disaarankan dalam pencegahan penularan HIV


dari ibu ke bayi
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan bedah Caesar tetapi
juga tidak melarangnya mengingat kondisi dimasing-masing daerah berbeda
dan perlu pertimbangan mengenai biaya untuk operasi, fasilitas untuk
tindakan, daan komplikasi akibat imunitas ibu yang rendah. Bedaah Caesar
dilakukan bila ada indikasi obsetrik. Hindari partus lama dan tindakan
invasive, amniotomi sebelum pembukaan lengkap, episiotomi, ekstasi vakum,
dan analisis gas pada bayi.
Menurut Depkes 2003 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
perawat setelah ibu melahirkan bayinya yaitu:
1. Kontra sepsi
Waktu yang paling lambat yang dianjurkan untuk kontra sepsi adalah 4
minggu setelah ODHA melahirkan. Jenis kontrasepsi adalah tidak spesifik,
karena secara umum asdalah sama.
2. Menyusui
Ibu yang positif HIV sebaiknya tidak menyusui bayinya karena daapat terjadi
penularan sebesar 10-20%, apalagi bila payudaara lecet radang. Pada keadaan
dimana ibu tidak bisa membeli susu formula atau lingkungan yang tidak
memungkinkan, seperti tidak tersedianya air bersih daan sosiokultural
( pemberian susu formula tidak bisa diterima, tidaak menguntungkan dan tidak
berkesinambunggan, serta tidak aman ), maka bayi dapat diberikan ASSI
secara eksklusif ( tanpa makan tambahan ) selama 4-6 bulan pertama
kehidupannya selanjutnya baru disapih. Pemberian ASI secara eksklusif
selama 4-6 bulan daapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat infeksi
selain HIV. Cara lain untuk menghindari penularan HIV adalah dengan
menghangatkan ASI diatas suhu 66C (Depkes 2003)
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
ART (anti retrovial terapi) menjadi semakin penting setelah ibu melahirkan,
karrena ibu harus memelihara anaknya sampai cukup besar, tanpa ART
dikhawatirkan umur iu tidak cukup panjang. Sedaaangkan untuk bayinya
harus mendaapat imunitas seperti bayi sehat, tes HIV harus sudah dikerjakan
saat bayi berumur 12 bulan.. apabila positif maka tes tersebut diulang saat
bati berumur 18 bulan.
BAB I
PENDAHULUAN

Jumlah orang yang terinfeksi HIV terus meningkat pesat dan tersebar luas
diseluruh dunia. WHO meyebutkan bahwa 16,3 penderita HIV-AIDS telah
meninggal terhitung sejak ditemukannya penyakit tersebut dan memperkirakan
bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita yang terinfeksi HIV akan mencapai 40
orang. Di Indonesia sejak ditemukan pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV
pada tahun 1987 hingga bulan januari 2001, telah dilaporkan 1226 kasus infeksi
HIV dan 461 kasus AIDS secara kumulatif, dimana 235 dari pasien AIDS tersebut
telah meninggal dunia.
Di asia tenggara pada tahun 2002 diperkkirakan ada 6,1 juta ODHA. Di
Indonesia sendiri ada 90.000-130.000 ODHA. Apbila angka kelahiran di
Indonesia adalah 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250-3.250 bayi yang lahir
dari ibu yang positif menderita HIV. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke
anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan dan menyusui dan hanya 10%
ditularkan lewat transfusi darah yang tercemar HIV maupun lainnya (Depkes
2003)
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS adalah
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler.
Penurunan imuitas biasanya diikuti dengan peningkatan resiko dan derajat
keparahan infeksi oporttnis serta penyakiy kaganasan.

A. Perjanan penyakit
Perjalanan HIV/AIDS di bagi dalam dua fase;
1. fase infeksi awal
pada fase awal infeksi akan terjadi respon imun berupa peningkatan
aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler, serum atau humoral dan anti
bodi. Induksi sel-sel T helper dan sel-sel yang lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi sel-sel factor system imun agar tetap berfungsi
dengan baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel T, sehingga T helper
tidak dapat memberikan indiksi kepada sel-sel efektor system imun.
Dengan tidak adanya sel T helper, sel-sel efektor system imun seperti T8
sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi dengan baik.
Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium yang
lebih lanjut
2. fase infeksi lanjut
fase ini disebut dengan imonodefisien, karene dalam serum pasien yang
terinfeksi HIV ditemukan adanya factor supresif berupa antibody
terhadap proliferasi sel T. adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut
dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak
mampu memberikan respon terhadap mitogen dan terjadi disfungsi imun
yang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, sitokin (IFNc; IL-2;IL-6),
antibody down regulation ( gp 120; anti p-24 ), TNFa, dan anti net.

Vous aimerez peut-être aussi