Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Fisiologi Apendik
Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir di muara apendik berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendik,
ialah imunoglobulin A (IgA). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendik tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah jaringan
limfe yang terdapat di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendik sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlah
jaringan limfe meningkat selama pubertas, menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Jumlah folikel limfoid mencapai puncaknya yaitu antara usia 12-20 tahun.
Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendik dan terjadi penghancuran
lumen apendik komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendik
bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).
Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
(Sjamsuhidayat, 2005).
FAKTOR RESIKO
1. Usia
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19
tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk. Hal
ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai
puncak pada usia pubertas. Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter
0,5-1 cm. Appendisitis akut jarang terjadi pada balita. Pada bayi appendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini
menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut. Appendiks
merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan
berpangkal pada sekum. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan
melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks.
2. Jenis kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR) pria :
wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14 Penelitian
Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per 100.000
penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis 15-20% terjadi
pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan appendicitis
seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista ovarium,
dan penyakit ginekologi lain.
3. Faktor lingkungan
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan
dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Kebiasaan
konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.
4. Tempat
Tiap tahunnya baik di negara maju maupun negara berkembang terjadi. Peningkatan
kasus yang berhubungan dengan pencernaan maupun pola makan serta kebiasaan
makan makanan disembarang tempat yang berdampak pada terjadinya
penyumbatan makanan pada usus karena terbentuknya benda padat (massa) di
ujung umbai cacing sehingga menyebabkan aliran keluar kotoran terhambat pada
daerah tersebut. Sumbatan ini bisa terbentuk dari sisa makanan yang mengeras,
lendir dalam usus yang mengental, bekuan darah, ataupun tumor kecil pada saluran
usus. Dengan adanya sumbatan ini, ditambah dengan terjadinya infeksi yang
mungkin terjadi pada daerah tersebut, maka terjadilah radang pada umbai cacing
tersebut atau disebut juga usus buntu.
Appendisitis atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal
yang sering dijumpai di Negara-negara maju, sedangkan pada Negara berkembang
jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada
masyarakat modern (pekotaan) dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup
banyak mengonsumsi serat. (Darwis, 2013)
5. Pola makan
Menurut peneliti Nurhayati 2011, lebih dari sebagian pola makan responden adalah
baik, namun masih banyak ditemukan pola makan responden yang buruk. Hal
tersebut kemungkinan besar dipengaruhi beberapa hal diantaranya adalah pola
makan yang kurang tepat, selain itu bahan makanan yang dikonsumsi dan cara
pengolahan serta waktu makan yang tidak teratur sehingga hal ini dapat
menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus.
Peningkatan angka kejadian appendisitis yang terjadi tidak lepas karena kebiasaan
pola makan yang kurang dalam mengkonsumsi serat yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meninggkatkan pertumbuhan kuman, sehingga
terjadi peradangan pada appendiks. Kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit Apendisitis. Tinja yang keras
dapat menimbulkan terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan
fungsional Apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya
ini akan mempermudah timbulnya Apendisitis. Diet memainkan peran utama dalam
pembentukan sifat feses, yang mana penting dalam pembentukan fekalit. (Darwis,
2013)
6. Jenis makanan
Jika dibandingkan antara jenis makanan yang baik dan jenis makanan yang buruk
maka jenis makanan yang buruk lebih banyak pada penderita apendisitis
dibandingkan dengan jenis makanan yang baik pada penderita apendisitis. Ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian apendisitis dan
jenis makanan.
Menurut Nurhayati 2011, bahwa apendisitis lebih cenderung disebabkan oleh jenis
makanan yang kurang serat, yang dikonsumsi yang terkandung banyak dari jenis
makanan karbohidrat. Oleh karena itu, untuk memenuhi beberapa fungsi tersebut,
setiap harus makan makanan yang bergizi dan berserat tinggi. Makanan yang bergizi
yaitu makanan yang
mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh. Serat makanan adalah polisakarida
yang terdapat dalam semua makanan nabati. Serat tidak dapat dicerna oleh enzim
cerna tapi berpengaruh baik untuk kesehatan. Serat terdiri atas dua golongan, yaitu
serat larut air dan tidak larut air. Serat tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa,
dan lignin yang banyak terdapat dalam dedak beras, gandum, sayuran, dan buah-
buahan. Serat golongan ini dapat melancarkan defekasi sehingga mencegah
konstipasi, apendisitis dan hemoroid. Serat larut air yaitu pektin dan mukilase yang
banyak terdapat dalam kacang-kacangan, sayur, dan buah- buahan. (Darwis, 2013)
7. Pekerjaan
Mereka yang bekerja mungkin sibuk dengan pekerjaannya dan lebih cenderung
mengonsumsi makanan fast food dibandingkan dengan nasi dan sebagainya.
Karena makanan fast food lebih gampang mereka dapatkan direstauran ataupun di
pedagang kaki lima atau street food. Seperti diketahui bahwa bahan makanan yang
banyak mengandung karbohidrat dan serat serta cairan mampu mengurangi risiko
terjadinya apendisitis. (Darwis, 2013)
8. Kecerendungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malforasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
9. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi
serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang tinggi.
Manifestasi Klinis
Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus
atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 - 12 jam, nyeri beralih
ke kuadran kanan, menetap, dan diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang -
kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum loka l. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak
ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya
pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005).
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung
sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayoryang menegang dari dorsal
(Pieter, 2005).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
rangsangan dindingnya (Pieter, 2005).
Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi setelah 36
- 48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36 - 48 jam, angka perforata menjadi 65%
(Hartman, 2000).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak
tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul
muntah - muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak
khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80 - 90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).
Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk. (Burkitt,
Quick, Reed, 2007)
B. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah
leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter
kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan
peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar
kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)
dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala)
didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bias
membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit
lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis
apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya
dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan
orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya
lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendiksitis menurur Mansjoer, 2000 :
Sebelum operasi
o Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
o Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
o Rehidrasi
o Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
o Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk
membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
o Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
Operasi
o Apendiktomi.
o Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.
o Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
Pasca operasi
o Observasi TTV.
o Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah.
o Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
o Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
o Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
o Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak.
o Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 230 menit.
o Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
o Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai
dengan :
o Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
o Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis
o Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran
ke kiri.
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi
daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi .
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai
dengan :
o Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi.
o Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
o Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan
istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak
serangan sakit perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses
dengan atau tanpa peritonitis umum
Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah dilakukan tindakan
apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan
abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki
dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi
adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk
pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.
3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)
Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk
pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.
4. Ileus
Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan
dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk pembedahan,
bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.
Komplikasi juga akan terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapimeningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
Patofisiologi
Mual muntah,
kembung, diare, Peningkatan
anoreksia suhu tubuh
Hipertermi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dr
kbutuhan
post operatif kerusakan jaringan
pasca bedah
pembatasan cairan
putusnya PD
intake cairan
pendarahan
risiko kekurangan
volume cairan risiko syok
hipovolemik
apendisitis akut
ekresi mukus
berlanjut
tekanan meningkat
bakteri invasi
apensdisitis
perforasi
Daftar Pustaka