Vous êtes sur la page 1sur 19

Definisi

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen


akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000). Apendisitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun Insiden laki-laki lebih tinggi
(Sjamsuhidajat,2005)
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau
periumbilikus yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan. Terdapat juga keluhan
anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi,
tetapi kadang kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit
belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen
bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan
satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat
membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila
tanda rovsing, psoas, dan obturator positif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis
(Mansjoer,2000).
Anatomi
Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan sebuah
lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh folikel limfoid yang
banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada bagian
proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin menyempit ke arah ujung.
Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis yang rendah pada umur tersebut
(Pieter, 2005).
Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan
apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya.
Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan
manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).
Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu
bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup
ileosekal (Pieter, 2005).
Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria
(otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran
Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal,
menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan
crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan
dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada
pertemuan sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk
mencari apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan
saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a.
mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.
torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren (Pieter, 2005).

Fisiologi Apendik
Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir di muara apendik berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendik,
ialah imunoglobulin A (IgA). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendik tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah jaringan
limfe yang terdapat di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidayat dan Wim, 2004).
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendik sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlah
jaringan limfe meningkat selama pubertas, menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Jumlah folikel limfoid mencapai puncaknya yaitu antara usia 12-20 tahun.
Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendik dan terjadi penghancuran
lumen apendik komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendik
bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).
Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
(Sjamsuhidayat, 2005).

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:


1. Appendicitis Akut
o Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan.
Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal,
hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
o Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum
lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
o Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru
dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah
lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi. (Selvia, 2010)
Etiologi Dan Faktor Resiko
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks diantaranya :
1. Obstruksi lumen
Obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh
infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub
mukosa, 35 % karena statis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith
dapat ditemui pada macam-macam apendisitis akut diantranya : fekalith ditemukan 40%
pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus akut gangrenosa tanpa ruptur
dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura,
dan Enterobius vermikularis.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal.
Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi
secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi juga
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus
tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga
meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1
ml.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi
memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah
intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
2. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,
pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob < 10%.
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan erosi membran
mukosa apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di
kripte glandula intestinal. Selama infeksi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi
enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus.
Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflmasi. Beberapa keadaan yang
mengikuti setelah terjadinya obstruksi adalah akumulasi dan peningkatan tekanan dari
cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks, obstruksi vena dan arteri, yang akhirnya
menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan invasi bakteri.
(Wiyono,2013)

FAKTOR RESIKO
1. Usia
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19
tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000 penduduk. Hal
ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid mencapai
puncak pada usia pubertas. Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter
0,5-1 cm. Appendisitis akut jarang terjadi pada balita. Pada bayi appendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini
menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut. Appendiks
merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan
berpangkal pada sekum. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan
melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks.

2. Jenis kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR) pria :
wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.14 Penelitian
Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per 100.000
penduduk dengan rasio 1,07: 1.17 Kesalahan diagnosa appendicitis 15-20% terjadi
pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan appendicitis
seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista ovarium,
dan penyakit ginekologi lain.
3. Faktor lingkungan
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan
dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Kebiasaan
konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.
4. Tempat
Tiap tahunnya baik di negara maju maupun negara berkembang terjadi. Peningkatan
kasus yang berhubungan dengan pencernaan maupun pola makan serta kebiasaan
makan makanan disembarang tempat yang berdampak pada terjadinya
penyumbatan makanan pada usus karena terbentuknya benda padat (massa) di
ujung umbai cacing sehingga menyebabkan aliran keluar kotoran terhambat pada
daerah tersebut. Sumbatan ini bisa terbentuk dari sisa makanan yang mengeras,
lendir dalam usus yang mengental, bekuan darah, ataupun tumor kecil pada saluran
usus. Dengan adanya sumbatan ini, ditambah dengan terjadinya infeksi yang
mungkin terjadi pada daerah tersebut, maka terjadilah radang pada umbai cacing
tersebut atau disebut juga usus buntu.
Appendisitis atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal
yang sering dijumpai di Negara-negara maju, sedangkan pada Negara berkembang
jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada
masyarakat modern (pekotaan) dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup
banyak mengonsumsi serat. (Darwis, 2013)
5. Pola makan
Menurut peneliti Nurhayati 2011, lebih dari sebagian pola makan responden adalah
baik, namun masih banyak ditemukan pola makan responden yang buruk. Hal
tersebut kemungkinan besar dipengaruhi beberapa hal diantaranya adalah pola
makan yang kurang tepat, selain itu bahan makanan yang dikonsumsi dan cara
pengolahan serta waktu makan yang tidak teratur sehingga hal ini dapat
menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus.
Peningkatan angka kejadian appendisitis yang terjadi tidak lepas karena kebiasaan
pola makan yang kurang dalam mengkonsumsi serat yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meninggkatkan pertumbuhan kuman, sehingga
terjadi peradangan pada appendiks. Kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit Apendisitis. Tinja yang keras
dapat menimbulkan terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat sumbatan
fungsional Apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya
ini akan mempermudah timbulnya Apendisitis. Diet memainkan peran utama dalam
pembentukan sifat feses, yang mana penting dalam pembentukan fekalit. (Darwis,
2013)
6. Jenis makanan
Jika dibandingkan antara jenis makanan yang baik dan jenis makanan yang buruk
maka jenis makanan yang buruk lebih banyak pada penderita apendisitis
dibandingkan dengan jenis makanan yang baik pada penderita apendisitis. Ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian apendisitis dan
jenis makanan.
Menurut Nurhayati 2011, bahwa apendisitis lebih cenderung disebabkan oleh jenis
makanan yang kurang serat, yang dikonsumsi yang terkandung banyak dari jenis
makanan karbohidrat. Oleh karena itu, untuk memenuhi beberapa fungsi tersebut,
setiap harus makan makanan yang bergizi dan berserat tinggi. Makanan yang bergizi
yaitu makanan yang
mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh. Serat makanan adalah polisakarida
yang terdapat dalam semua makanan nabati. Serat tidak dapat dicerna oleh enzim
cerna tapi berpengaruh baik untuk kesehatan. Serat terdiri atas dua golongan, yaitu
serat larut air dan tidak larut air. Serat tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa,
dan lignin yang banyak terdapat dalam dedak beras, gandum, sayuran, dan buah-
buahan. Serat golongan ini dapat melancarkan defekasi sehingga mencegah
konstipasi, apendisitis dan hemoroid. Serat larut air yaitu pektin dan mukilase yang
banyak terdapat dalam kacang-kacangan, sayur, dan buah- buahan. (Darwis, 2013)
7. Pekerjaan
Mereka yang bekerja mungkin sibuk dengan pekerjaannya dan lebih cenderung
mengonsumsi makanan fast food dibandingkan dengan nasi dan sebagainya.
Karena makanan fast food lebih gampang mereka dapatkan direstauran ataupun di
pedagang kaki lima atau street food. Seperti diketahui bahwa bahan makanan yang
banyak mengandung karbohidrat dan serat serta cairan mampu mengurangi risiko
terjadinya apendisitis. (Darwis, 2013)
8. Kecerendungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malforasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
9. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi
serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang tinggi.
Manifestasi Klinis
Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus
atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 - 12 jam, nyeri beralih
ke kuadran kanan, menetap, dan diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang -
kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum loka l. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak
ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya
pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005).
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung
sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayoryang menegang dari dorsal
(Pieter, 2005).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
rangsangan dindingnya (Pieter, 2005).
Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi setelah 36
- 48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36 - 48 jam, angka perforata menjadi 65%
(Hartman, 2000).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak
tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering
tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul
muntah - muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak
khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80 - 90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).

Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) :


tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan
anoreksi
nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsanganperitoneum lokal
di titik McBurney
o nyeri tekan
o nyeri lepas
o defans muskuler
nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan
Pemeriksaan Diagnostik
A. Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk
mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah
demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5oC. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses
(Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari
tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiksterletak pada daerah
hipogastrium.
(Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltic
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan
terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado,
yaitu:

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk. (Burkitt,
Quick, Reed, 2007)

B. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah
leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter
kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan
peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar
kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)
dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala)
didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bias
membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit
lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis
apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya
dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan
orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya
lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendiksitis menurur Mansjoer, 2000 :
Sebelum operasi
o Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
o Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
o Rehidrasi
o Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
o Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk
membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
o Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
Operasi
o Apendiktomi.
o Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.
o Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan.
Pasca operasi
o Observasi TTV.
o Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah.
o Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
o Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
o Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
o Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak.
o Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 230 menit.
o Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
o Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai
dengan :
o Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
o Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis
o Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran
ke kiri.
Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi
daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi .
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai
dengan :
o Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi.
o Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
o Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan
istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak
serangan sakit perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses
dengan atau tanpa peritonitis umum

Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah dilakukan tindakan
apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan
abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki
dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi
adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk
pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.
3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)
Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk
pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.
4. Ileus
Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan
dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk pembedahan,
bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.
Komplikasi juga akan terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapimeningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
Patofisiologi

Material Apendikolit Hyperplasia folikel limfoid Kebiasaan diet rendah serat


submukosa Parasit dan pengaruh konstipasi

Iskemia & nekrosis dinding Obstruksi pada Fekalit(material garam


disertai peningkatan lumen apendekekal kalsium, debris fekal
intraluminal

Apendisitis nekrosis sekresi mukosa


lumen proksimal
Apendisitis supuratif (B) apendiks
Perforasi massa
periapendikular stasis
mukus terbendung
peritonitis Apendisitis
kronis/rekuren
lendir mengalir dari
elastis kurang
Intervensi bedah sekum ke apendiks
apendektomi Respon local syaraf
Thd inflamasi (a)

preoperatif Pasca operatif nyeri Peningkatan tekanan intraluminal &


peningkatan perkembangan bakteri

Respon psikologis Port de entre Kerusakan


misinterpretasi pasca bedah jaringan Peningkatan kongesti dan peningkatan
perawatan dan pasca bedah perfusi pd dinding apendiks
penatalaksanaan
Resiko infeksi
pengobatan
Apendisitis akut (a,b)
Perubahan pola
nutrisi pasca
bedah
Kecemasan
pemenuhan G3 gastrointestinal Respon
informasi sistemik

Mual muntah,
kembung, diare, Peningkatan
anoreksia suhu tubuh

Hipertermi

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dr
kbutuhan
post operatif kerusakan jaringan
pasca bedah

pembatasan cairan
putusnya PD

intake cairan
pendarahan

risiko kekurangan
volume cairan risiko syok
hipovolemik

apendisitis akut

ekresi mukus
berlanjut

tekanan meningkat

bakteri invasi

nyeri daerah peradangan gangguan aliran


kuadran kanan peritonium darah
bawah
apendisitis infark dinding
nyeri akut supuratif abdomen - gangren

radang persisten pendisitis gangren

apendisitis kronis dinding rapuh

apensdisitis
perforasi
Daftar Pustaka

Darwis;Haskas.Y,&Sirma. F. 2013. Faktor Resiko Kejadian Apendisitis DiRumah Sakit


Umum Daerah Kabupaten Pangkep. Vol 2(1). Ilmu Keperawatan STIKES Nani
Hasanuddin Makassar.
Naulibasa, K . 2010. Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun Di RSUP
H.Adam Malik Tahun 2006-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara,
Medan.
Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Kalesaran, Laurens, 1996. Sistem Skor Pada Diagnosis Apendisitis Akut. Semarang: UPT
Perpustakaan UNDIP selvia, bella. 2010. karakteristik penderita appendicitis rawat
inap di rumah sakit tembakau deli ptp nusantara ii medan tahun 2005-2009.
skripsi. fakultas kesokteran
Arif Mansjoer. et. al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R, De
Jong,Wim. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hartman, G. E., 2000. Apendisitis Akut. In : Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R.M.,
and Arvin, A.M., ed. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Edisi 15. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta: EGC
Rothrock, J.C. (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. (Ed.8, Vol. 1,2),.Alih bahasa oleh Agung Waluyo(dkk).
EGC: Jakarta.
Darwis;Haskas.Y,&Sirma. F. 2013. Faktor Resiko Kejadian Apendisitis DiRumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Pangkep. Vol 2(1). Ilmu Keperawatan STIKES Nani
Hasanuddin Makassar.
Naulibasa, K . 2010. Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-14 Tahun Di RSUP
H.Adam Malik Tahun 2006-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara,
Medan.
Wiyono, M.H. 2011. Aplikasi Skor Alvarado pada Penataksanaan Apendisitis Akut. Vol
17(44). Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta
Ishikawa, Hiroshi. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis.Departement of
Surgery, Sasebo Municipal Hospital. Waseda University

Vous aimerez peut-être aussi