Vous êtes sur la page 1sur 262

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRESS KERJA

PADA PEKERJA DI PT X TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH

Asri Karima

NIM : 1110101000069

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2014
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2014

Asri Karima

i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Juli 2014

Asri Karima, NIM: 1110101000069


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X
Tahun 2014
xiv + 196 halaman, 3 bagan, 23 tabel, 3 lampiran
ABSTRAK
Stress kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat
ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal
dari lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di PT X
menunjukkan bahwa terdapat empat (36,4 %) dari sebelas pekerja yang mengalami
gejala stress cukup tinggi. Stress kerja memiliki dampak yang beragam yang dapat
mempengaruhi kesehatan pekerja maupun performa perusahaan. Oleh karena itu,
peneliti melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja
pada pekerja di PT X tahun 2014.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross


sectional. Sampel penelitian berjumlah 69 orang dari total populasi yang berjumlah
113 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random
sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan uji t-
independen dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linier ganda.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang masuk sebagai model akhir


multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik
interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja. Sedangkan faktor yang paling dominan
berhubungan dengan stress kerja adalah jumlah beban kerja.

Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar dilakukannya langkah


pengendalian bagi perusahaan berupa penurunan suhu udara dengan menggunakan
ventilasi dilusi di plant, penyesuaian kualitas seragam, melakukan komunikasi yang
efektif setiap meeting departemen mingguan dengan para pekerja serta menerapkan
strategi manajemen konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar
pekerja, serta mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan jumlah beban kerja

ii
dengan kemampuan pekerja dan memperkaya pekerjaan yang harus dilakukan
pekerja untuk mencegah kebosanan. Adapun saran bagi pekerja yaitu menyampaikan
ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja kepada Departemen HSE serta berpikir
positif terhadap kemampuan diri dan menjalin relasi untuk mempermudah mencari
lowongan kerja.

Kata Kunci : Stress kerja, Pekerja, Jumlah beban kerja, Kurangnya Kesempatan
Kerja

Daftar bacaan : 140 (1990-2014)

iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH MAJOR
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
Undergraduate Thesis, July 2014

ASRI KARIMA, NIM: 1110101000069

Factors Associated with Job Stress in PT Xs Workers Year 2014

xiv + 196 pages, 3 images, 23 tables, 3 attachments

ABSTRACT

Job stress is a physical and emotional disturbances as a result of mismatch


between the capabilities, resources or needs of the worker which comes from the
work environment. Based on the results of preliminary studies in PT X suggested
that there were four (36.4%) of the eleven workers who experienced a quite high
symptoms of stress. Job stress has various impact which can influence the workers
health and the company's performance. Therefore, researcher conducted a study
factors associated with job stress in workers at PT X in 2014.

This study was an descriptive analytical study with cross sectional design.
Samples numbered 69 out of a total population of 113 people. Sampling was done by
systematic random sampling method. Bivariate analysis were performed by Pearson
correlation test and independent t-test and multivariate analysis was performed by
multiple linear regression.

The result from this study showed that there were five factors that included to
the final multivariate models such as the quantitative of workload, lack of
employment opportunities, interpersonal conflict, temperature, and variations in
workload. While the most influence factor associated with job stress was the
quantitative of workload.

Therefore, the researchers suggested to perform the control measures by


decreasing air temperature with dilution ventilation at the plant, adjustment the
uniform material quality, implementing effective communication in weekly
department meeting with employees and management strategies to resolve conflicts
that occur between workers, and redesigning jobs to adjust the amount of workload

iv
with the ability of workers and to enrich the variation of workers job to prevent
boredom. Suggestions for the workers are telling to the HSE Department about the
discomfort of workplace temperature, be positive thinking to yourself ability, and
building a relation to help you in finding a job.

Keyword : Job stress, Employee, Quantitative workload, Lack of job


opportunity

References : 140 (1990-2014)

v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Asri Karima

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Depok, 9 Januari 1993

Alamat : Jalan Borneo Raya No 5 RT 10 RW 13


Depok Timur 16418

No. Handphone : 081212355109

E-mail : riikarima.asri@live.com

Pendidikan Formal

Tahun Nama Institusi

2010 2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Program Studi Kesehatan Masyarakat

2007 2010 SMA Negeri 3 Depok

2004 2007 SMP Negeri 3 Depok

1998 - 2004 SD Negeri Mekar Jaya XVIII Depok

viii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu
memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014. Sholawat
serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun
umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan


banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini kepada:

1. Keluarga saya (ibu, bapak, kakak, dan adik) terima kasih atas segala doa dan
dukungan selama penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat
yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik.
4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar
dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu,
doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen pembimbing II yang selalu siap
memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Fase Badriah Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas
kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk
perbaikan skripsi penulis.

ix
7. Ibu Raihana Nadra Alkaff MMA selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif
untuk perbaikan skripsi penulis.
8. Ibu Meilani Anwar M.Epid selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih
atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk
perbaikan skripsi penulis.
9. Untuk kak Moch. Noval Mauludi terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan
pertolongannya selama penyusunan skripsi. Thanks dear for helping me
wholeheartedly.
10. Bapak Ruri selaku manajer HRGA yang sudah mengijinkan penulis
melaksanakan penelitian ini.
11. Ibu Niken, Pak Himawan, Pak Cecep, Pak Jamal dan seluruh pekerja di PT X
yang telah bersedia membantu penelitian ini.
12. Untuk teman-teman K3 2010, Kiki, Dewi, Sinta, Evi, Dini, Mono, Agung,
Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbal, Zaki, dan Sony semoga silaturahmi kita
tetap terjaga meski sudah jarang berjumpa. Semoga kita dapat meraih
kesuksesan dengan jalan yang diridhoi Allah Swt.
13. Teman-teman di masa lalu, Kebabers dan Kesmas UIN angkatan 2010 yang
sudah membantu selama perkuliahan dan penyusunan skripsi penulis.

Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh


kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Juli 2014

Penulis

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i

ABSTRAK .................................................................................................................. ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ....................................................... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... viii

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix

DAFTAR ISTILAH .................................................................................................. xi

DAFTAR BAGAN .................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 6

1.4 Tujuan......................................................................................................... 7

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 7

1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7

1.5 Manfaat ...................................................................................................... 9

1.5.1 Bagi Perusahaan ................................................................................ 9

1.5.2 Bagi Pekerja ...................................................................................... 9

1.5.3 Bagi Peneliti...................................................................................... 9

1.6 Ruang Lingkup ........................................................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stress ........................................................................................ 11

2.2 Stress Kerja ............................................................................................ 12


2.2.1 Stress Akut ................................................................................... 15

2.2.2 Stress Kronis ................................................................................ 17

2.3 Tahapan Stress ....................................................................................... 18

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja.................................... 21

2.4. 1 Karakteristik Pekerjaan ............................................................... 21

2.4.2 Karakteristik Individu .................................................................. 37

2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan .......................................................... 44

2.4.4 Faktor Pendukung ........................................................................ 45

2.5 Dampak Stress Kerja .............................................................................. 46

2.5.1 Dampak Bagi Pekerja ................................................................... 46

2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan ............................................................. 50

2.6 Pencegahan Stress Kerja ........................................................................ 51

2.7 Penanggulangan Stress Kerja ................................................................ 54

2.8 Cara Pengukuran Stress Kerja ............................................................... 56

2.9 Instrumen Pengukuran Stress Kerja ....................................................... 57

2.10 Kerangka Teori .................................................................................... 60

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN


HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep............................................................................. 61

3.2 Definisi Operasional......................................................................... 63

3.3 Hipotesis .......................................................................................... 69

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian ................................................................... 70

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 70

4.3 Populasi dan Sampel.............................................................................. 70

4.3.1 Populasi ....................................................................................... 70


4.3.2 Sampel .......................................................................................... 71

4.3.3 Metode Sampling ......................................................................... 72

4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 73

4.6 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ....................................................... 75

4.6.1 Validitas ........................................................................................ 75

4.6.2 Reliabilitas .................................................................................... 76

4.6 Pengumpulan Data .................................................................................. 77

4.7 Pengolahan Data ...................................................................................... 80

4.8 Analisis Data ............................................................................................ 83

4.8.1 Analisis Univariat ........................................................................... 83

4.8.2 Analisis Bivariat .............................................................................. 83

4.8.3 Analisis Multivariat ......................................................................... 84

4.9 Penyajian Data ........................................................................................... 87

BAB V HASIL

5.1 Gambaran Umum Perusahaan ................................................................... 88

5.1.1 Profil Perusahaan .............................................................................. 88

5.1.2 Visi dan Misi .................................................................................... 89

5.1.3 Kebijakan K3 .................................................................................... 89

5.2 Analisis Univariat ...................................................................................... 91

5.2.1 Stress Kerja ....................................................................................... 91

5.2.2 Faktor Individual .............................................................................. 91

5.2.3 Faktor Pekerjaan ............................................................................... 93

5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan ................................................. 100

5.2.5 Faktor Dukungan Sosial ................................................................. 101

5.3 Analisis Bivariat ...................................................................................... 102

5.3.1 Hubungan Antara Faktor Individual dengan Stress Kerja .............. 102
5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja............... 105

5.3.4 Hubungan Antara Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress

Kerja ............................................................................................... 113

5.3.5 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja .............. 113

5.4 Analisis Multivariat ................................................................................. 114

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 120

6.2 Stress Kerja .............................................................................................. 120

6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Stress Kerja ............................ 122

6.4 Hubungan Antara Umur dengan Stress Kerja ......................................... 125

6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan dengan Stress Kerja ...................... 126

6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak dengan Stress Kerja.............................. 128

6.7 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Stress Kerja ................................ 129

6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A dengan Stress Kerja ................... 130

6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri dengan Stress Kerja ............................ 132

6.10 Hubungan Antara Kebisingan dengan Stress Kerja............................... 133

6.11 Hubungan Antara Pencahayaan dengan Stress Kerja ............................ 135

6.12 Hubungan Antara Suhu dengan Stress Kerja......................................... 136

6.13 Hubungan Antara Ventilasi dengan Stress Kerja .................................. 139

6.14 Hubungan Antara Konflik Peran dengan Stress Kerja .......................... 141

6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran dengan Stress Kerja ...................... 144

6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal dengan Stress Kerja .............. 147

6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan dengan Stress Kerja ........ 149

6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol dengan Stress Kerja.................. 152

6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja dengan Stress Kerja 154

6.20 Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja dengan Stress Kerja ................ 157
6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja dengan Stress Kerja ................ 160

6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain dengan Stress

Kerja ...................................................................................................... 162

6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan dengan Stress

Kerja ...................................................................................................... 164

6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental dengan Stress Kerja ...................... 166

6.25 Hubungan Antara Shift Kerja dengan Stress Kerja ............................... 168

6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja ..... 170

6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja ..................... 171

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan .................................................................................................. 175


7.2 Saran ........................................................................................................ 178
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 182

LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH

CCOHS : Canadian Centre of Occupational Health and Safety

CDC : Centre for Disease Control and Prevention

EAP : Employee Assistance Program

HVAC : Heating, Ventilation, and Air Conditioning

ILO : International Labour Organization

NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health

OSHA : Occupational Safety and Health Administration

WHO : World Health Organization

xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial .................................................................. 14

Bagan 2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 60

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 62

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala Stress Akut...................................................................................... 16

Tabel 2.2 Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik ................................................. 52

Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Penelitian ........................................................... 54

Tabel 4.1 Data Pekerja PT X...................................................................................... 71

Tabel 4.2 Skroing Instrumen NIOSH Generic Job Stress Questionnaire ................. 74

Tabel 4.3 Data Kode dan Skoring Variabel ............................................................... 80

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ....... 91

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ....................................................................................... 92

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian

Tipe A dan Penilaian Diri Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ..................... 92

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi dan Shift

Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................... 94

Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar Debu dan

Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014 ............................................ 95

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014 ................................................................................................ 96

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada Pekerja di PT

X Tahun 2014 ........................................................................................... 101

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014 .............................................................................................. 101

Tabel 5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Status Pernikahan dengan Stress

Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................................................ 102


xiii
Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A,

dan Penilaian Diri dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014 ............................................................................................ 103

Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift

Kerja dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ................ 106

Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ................................................................................... 107

Tabel 5.13 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan dengan Stress Kerja Pada

Pekerja di PT X Tahun 2014 .................................................................. 113

Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 ................................................................................... 114

Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar

Pekerjaan dan Dukungan Sosial dengan Stress Kerja Pada Pekerja di

PT X Tahun 2014 .................................................................................. 115

Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat ............................ 117

Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat ................................. 118

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 disebutkan bahwa pelaksanaan

keselamatan kerja dilakukan salah satunya untuk mencegah dan mengendalikan

timbulnya penyakit akibat kerja baik secara fisik, psikis, peracunan, infeksi dan

penularan. Penyakit akibat kerja sendiri terjadi akibat paparan faktor risiko yang

terdapat di tempat kerja, seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material

yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi

(NIOSH, 1999b). Dampak yang timbul jika terjadi penyakit akibat kerja

tentunya akan mempengaruhi produktivitas pekerja dalam bekerja. Hal ini

tentunya juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang berdampak pada

hasil produksi.

Stress akibat kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai

akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja

yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Kondisi tersebut dapat memicu

terjadinya stress karena beban kerja yang tidak sesuai, buruknya lingkungan

sosial, konflik yang terjadi, lingkungan kerja yang berbahaya. Kondisi tempat

kerja yang tidak nyaman tersebut menjadi peranan yang penting dalam

menyebabkan terjadinya stress kerja. Padahal stress kerja secara langsung dapat

mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan stress

kerja dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan bahkan terjadinya kecelakaan

kerja.

1
Menurut NIOSH, stress akibat kerja merupakan masalah umum yang saat

ini terjadi di tempat kerja di Amerika. Berdasarkan hasil penelitian Northwestern

National Life, satu dari empat pekerja di Amerika berpendapat bahwa pekerjaan

merupakan penyebab stress nomor satu dalam hidup mereka. Dalam sebuah

survei yang dilakukan Princeton Survey Research Associates disebutkan bahwa,

tiga dari empat orang di Amerika mengatakan bahwa pekerja pada saat ini

memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi

beberapa tahun sebelumnya (NIOSH, 1999b). Tuntutan pekerjaan yang semakin

tingginya tentunya memaksa pekerja untuk dapat bekerja secara cepat. Hal ini

yang kemudian membuktikan bahwa pekerja semakin menyadari bahwa

pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang seringkali terjadi dalam

kehidupan mereka.

Selain itu, berdasarkan data CDC , jumlah kasus stress kerja yang terjadi

di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 4409 kasus pada

tahun 1998 menjadi 5659 kasus pada tahun 2001. Jumlah kasus ini bertambah

khususnya pada pekerja yang berusia muda. Dampak yang ditimbulkan akibat

terjadinya stress kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Stress kerja dapat

mengakibatkan terjadinya hari hilang kerja akibat kecelakaan kerja dan

timbulnya kesakitan (CDC, 2004). Kerugian yang dialami perusahaan akibat

stress kerja pun tidak sedikit. Setiap tahunnya industri di Amerika Serikat

mengalami kerugian lebih dari US 300 miliar sebagai akibat dari kecelakaan,

absenteisme, turnover pekerja, dan kompensasi asuransi akibat stress kerja yang

dialami para pekerjanya (AIS, 2013).

2
Di Indonesia, berdasarkan data Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan

menyatakan bahwa dari jumlah populasi orang dewasa di Indonesia sebesar 150

juta jiwa sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental

emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi.

Meskipun data tersebut bukan merupakan data khusus mengenai stress akibat

kerja tetapi dapat memberikan gambaran mengenai jumlah kasus gangguan

mental yang saat ini terjadi di Indonesia. Adapun penelitian yang pernah

dilakukan oleh program studi Magister Kedokteran Kerja FKUI sekitar tahun

1990-an menunjukkan bahwa sekitar 30 persen pekerja pernah mengalami stress

di tempat kerja mulai dari keluhan ringan sampai berat. Data ini menunjukkan

bahwa kejadian stress kerja pada era saat ini bisa jadi semakin mengalami

peningkatan. Menurut Nurmiati Amir, dokter spesialis kejiwaan dari FKUI

RSCM dalam (Hidayat, 2012) mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen

dari total penduduk di Indonesia. Total kejadian tersebut sekitar 10-15 persennya

merupakan gejala insomnia kronis. Kejadian ini dapat disebabkan situasi masalah

keluarga maupun pekerjaan.

PT X merupakan salah satu perusahaan pengolah bahan baku keramik

dan kaca di Indonesia. PT X merupakan anak perusahaan dari regional Asia yang

berpusat di Singapura. Produk utama yang dihasilkan dari PT X yaitu berupa

pasir silika dan feldspar. PT X memiliki dua unit pengolahan yang terletak di

Cikarang dan Cikupa serta satu unit pengolahan dalam tahap pembangunan yang

terletak di Surabaya. Sedangkan lokasi penambangan PT X terletak di Capkala

dan Belitung.

3
Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja

yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki

tugas dan fungsi yang berbeda dalam menjalankan kegiatannya. Kegiatan

administrasi dilakukan pada bagian kantor sedangkan kegiatan produksi

dilakukan pada bagian plant. Para pekerja baik di kantor maupun plant memiliki

tingkat paparan sumber stress yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi dan

identifikasi bahaya di lapangan, perbedaan lokasi kerja membuat paparan bahaya

dan risiko lingkungan fisik yang diterima oleh para pekerja pun berbeda di setiap

lokasi pekerjaan terutama paparan bising dan debu yang memiliki intensitas

paparan cukup tinggi. Selain itu, pekerja pada bagian kantor tidak memiliki shift

kerja sedangkan pekerja pada bagian plant sebagian besar memiliki shift kerja

karena harus memenuhi target produksi perusahaan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di

PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4%) mengalami gejala stress

yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan

adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang

lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang

dirasakan oleh pekerja.

Stress kerja yang dialami para pekerja memiliki efek yang beragam baik

bagi kesehatan secara fisik, psikologis, perubahan perilaku maupun hubungan

sosial. Efek stress kerja yang mereka alami bisa terjadi dalam jangka waktu yang

singkat maupun lama. Dalam jangka waktu yang lama menurut Hardy et al

(1998), stress dapat memicu terjadinya insomnia, kecemasan, depresi kronis,

neurosis bahkan bunuh diri. Sedangkan menurut Sauter et al (1990), stress dapat

4
berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap kehidupan sosial

yang terdapat di sekitarnya.

Menurut Stranks (2005), stress kerja yang dialami pekerja tidak hanya

merugikan bagi pekerja tetapi juga perusahaan. Dampak stress kerja yang

dialami oleh pekerja dapat mempengaruhi performa dalam mencapai target

perusahaan. Selain itu, menurut WHO, organisasi yang tidak sehat tidak akan

mendapatkan usaha terbaik yang diberikan para pekerjanya. Hal ini tidak hanya

berdampak pada performa organisasi tetapi juga keberlangsungan organisasi ke

depannya. Kerugian akibat stress kerja yang dapat dirasakan perusahaan, antara

lain meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap

perusahaan, meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka

kecelakaan kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat

berdampak pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada

rusaknya citra perusahaan.

Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran

tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat

mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka.

Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah

dan mengendalikan stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin

melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress

kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja

yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki
5
tugas dan fungsi yang berbeda serta lokasi kerja yang berbeda juga. Selain itu,

pekerja pada bagian kantor maupun plant memiliki paparan sumber stress yang

berbeda, seperti pajanan lingkungan fisik dan shift kerja.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di

PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4 %) mengalami gejala stress

yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan

adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang

lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang

dirasakan oleh pekerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut maka

peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri)

pekerja di PT X tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu,

ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja,

jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja

lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada

pekerja di PT X tahun 2014?

4. Bagaimana gambaran faktor aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X

tahun 2014?

6
5. Bagaimana gambaran faktor dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun

2014?

6. Apakah ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri)

dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

7. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan,

suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja,

jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja

lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja)

dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

8. Apakah ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja

pada pekerja di PT X tahun 2014?

9. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada

pekerja di PT X tahun 2014?

10. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada

pekerja di PT X tahun 2014?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja

di PT X tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

7
2. Diketahuinya gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian

diri) pada pekerja di PT X tahun 2014

3. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu,

ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan

kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap

pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift

kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014

4. Diketahuinya gambaran aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X

tahun 2014

5. Diketahuinya gambaran dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun

2014

6. Diketahuinya hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur,

status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan

penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

7. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan,

pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik

interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya

kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung

jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan

mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun

2014

8
8. Diketahuinya hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress

kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

9. Diketahuinya hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada

pekerja di PT X tahun 2014

10. Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress

kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi Perusahaan

1. Sebagai gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh pekerja

2. Sebagai bahan evaluasi sumber stress yang terdapat di dalam maupun

luar lingkungan kerja

3. Sebagai masukan untuk mencegah dan mengendalikan stress yang

dialami oleh para pekerja guna meningkatkan produktivitas

perusahaan

1.5.2 Bagi Pekerja

1. Sebagai gambaran faktor penyebab stress yang dialami baik pengaruh

dari faktor pekerjaan maupun luar pekerjaan

2. Sebagai bahan evaluasi diri untuk dapat mengukur tingkat stress yang

dialami pekerja

3. Sebagai langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat stress yang

dialami pekerja dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan

1.5.3 Bagi Peneliti

1. Sebagai bahan referensi penelitian mengenai stress kerja

9
2. Pengukuran stress kerja menggunakan kuesioner yang berbeda dari

penelitian yang biasa dilakukan yaitu menggunakan NIOSH Generic

Job Questionnaire

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. Subjek

penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Penelitian ini akan dilakukan pada

bulan April-Juni 2014 di PT X. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara

mengumpulkan data primer melalui pengisian kuesioner NIOSH Job Stress

Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Jenis penelitian ini

adalah penelitian analitik. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah cross sectional. Pemilihan sampel penelitian akan dilakukan dengan cara

systematic random sampling.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stress

Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi

dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi

organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa

stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam

tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti

peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon

tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan

tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan

ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam

tubuh seseorang (Kroemer & Grandjeai, 1997).

Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade

terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi

psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress

menurut para ahli:

a. Lazarus dan Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari

ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang

tersedia.

b. Cox mendefinisikan stress sebagai sebuah fenomena persepsi yang

timbul dari adanya perbandingan antara permintaan dan kemampuan

coping.

11
c. McGrath mendefinisikan stress sebagai hasil dari permintaan

lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu.

d. McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang

mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi

dan perilaku (Oxington, 2005).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan

ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu

sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi dan perilaku.

2.2 Stress Kerja

Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya

ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk

mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada

pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di

lingkungan kerja (Kroemer & Grandjeai, 1997). Stress yang diterima setiap

individu berbeda tergantung dengan persepsi setiap individu yang

mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara

permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian

dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan

dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga

pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik

sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka (WHO, 2003).

Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi

ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya.

Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis

12
tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap

pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya

dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi setiap individu dalam

mengatasi stress berbeda-beda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal

yang mungkin untuk mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini

belum tentu dapat terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk

menghadapi keadaan stress sangat tergantung pada evaluasi yang bersifat

subjektif (OSHA, 2014).

Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan

kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan

mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal

ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu

dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja

maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah

kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan

bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan

sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress

akibat pekerjaan (WHO, 2003).

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales

(2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian

masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik

dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu

maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat

13
berdampak pada fisik, mental, dan kesehatan sosial. Sedangkan pada level

organisasi dapat berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya

produktivitas, rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu, bahaya

paparan fisik dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis

individu baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 2010). Berikut ini

adalah mekanisme terjadinya stress kerja menurut Cox, Griffiths dan Rial-

Gonzales (2000).

Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi

Desain dan Manajemen Pekerjaan

Lingkungan Fisik Lingkungan Psikososial

Pengalaman dengan
Kondisi Stress

Bahaya bagi kesehatan pekerja baik secara fisik, psikologis, dan sosial

Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010)

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial

14
2.2.1 Stress Akut

Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber

stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut

seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan

cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam

pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang

oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini

terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi

individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010).

Stress akut biasanya tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang

sehingga tidak berisiko menimbulkan kerusakan pada tubuh dan pikiran.

Stress akut biasanya hanya berupa reaksi singkat tubuh terhadap sumber

stress yang datang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan

fisiologis, emosional, dan psikologis. Akan tetapi, gangguan yang terjadi

akibat stress akut tersebut masih dapat diatasi apabila dikontrol dengan

baik (Hiriyappa, 2013). Berikut ini adalah gangguan kesehatan akibat

stress akut:

15
Tabel 2.1 Gejala Stress Akut

Fisiologis Psikologis Perilaku


a. Wajah terasa a. Nafsu makan a. Tidak sabar
panas menurun
b. Suka berdebat
b. Sakit kepala b. Sedih
berkepanjangan c. Menyebabkan
c. Nyeri dada terjadinya
c. Sulit kecelakaan kerja
d. Mulut kering berkonsentrasi
d. Penggunaan
e. Napas pendek d. Merasa tertekan alkohol/obat-
obatan
f. Tekanan darah e. Pesimis
tinggi e. Merokok
f. Merasa selalu
g. Nyeri otot gagal f. Mengabaikan
tanggung jawab
h. Sembelit atau g. Selalu merasa
diare ketakutan
i. Kelelahan h. Gelisah ketika
tidur
j. Insomnia
i. Merasa kesepian
k. Mudah sakit
j. Mudah
l. Gangguan
menangis
pencernaan
k. Merasa orang-
m. Jantung berdebar
orang tidak
cepat
ramah
n. Rahang kaku
l. Tidak dapat
o. Berkeringat menikmati hidup
banyak
m. Berbicara lebih
p. Nafsu makan sedikit
menurun/bertamb
n. Merasa tidak
ah
disukai orang-
q. Tangan gemetar orang

Sumber: NIOSH

Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara

ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan

perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat


16
berkembang menjadi munculnya suatu penyakit yang berkaitan dengan

stress. Hal ini dapat terjadi apabila stress akut tersebut terjadi dalam jangka

waktu yang lama dan individu tidak dapat mengendalikannya (Perlmutter

& Villoldo, 2011).

2.2.2 Stress Kronis

Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam

jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi

karena adanya situasi mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi.

Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan

bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya (Olpin &

Hesson, 2010) .

Di negara berkembang, menurut Cox et al (2000), stress yang

berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar

bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri.

Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the

Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa

sekitar 28 % pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang

berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan

bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para

pekerja di dunia (Flin, O'Connor, & Crichton, 2008).

Stress kronis bersifat seperti racun yang membunuh seseorang

secara perlahan. Dampak stress kronis yang dialami seseorang secara

perlahan akan merusak kesehatan tubuhnya. Ketika hal ini terjadi maka

akan muncul sejumlah penyakit dalam tubuh individu (Hiriyappa, 2013).

17
Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis,

antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit

jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan

pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan

kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung,

dan alergi.

Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi

dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak

mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal

ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak

dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya

stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis

tersebut (Praag, Kloet, & Os, 2004).

2.3 Tahapan Stress

Stress merupakan respon tubuh baik secara fisiologi maupun perilaku

terhadap keadaan terancam yang dihadapi oleh individu. Menurut Watts (1990)

dalam (Casper, 2014) respon tubuh terhadap stress terdiri dari lima tahapan,

yaitu:

a. Tahap alarm

Tahapan awal ini merupakan tahap reaksi alarm dalam tubuh berupa

mekanisme pertahanan tubuh. Untuk mengatasi stressor yang dihadapi,

tubuh membutuhkan pengeluaran energi yang cukup tinggi. Hal ini

dilakukan dengan meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid dan adrenal. Saraf

simpatik kemudian meresponnya dengan meningkatkan sekresi hormon

18
kortikoid aldosterone dan antidiuretic hormone (ADH) dalam tubuh.

Sekresi ini menghasilkan retensi natrium dan air di dalam tubuh yang

kemudian menjadi indikasi terjadinya inflamasi. Pada tahap yang lebih

lama akan menyebabkan terjadinya gastritis, diverculitis, kolitis, sinusitis

artritis, dll.

Pada tahapan ini juga terjadi peningkatan hormon stress, denyut jantung,

penyempitan pembuluh darah, kadar gula darah, kadar kolesterol,

pengeroposan tulang, pemecahan protein otot dan jaringan ikat, resistensi

insulin, perasaan stress, takut, cemas, dan depresi. Tahap alarm ini juga

menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kemampuan

berkonsentrasi, dan imunitas tubuh. Pada tahapan ini kebutuhan vitamin,

seperti C, D, E, B1, B6, dan B12 serta kalsium, tembaga, kobalt, natrium,

selenium dan seng mengalami peningkatan. Sehingga ketika individu

kekurangan nutrisi tersebut maka kemampuannya untuk mengelola respon

akan sulit dilakukan. Sisi positif dari tahapan ini adanya peningkatan

refleks dan fokus mental. Hal ini dapat menjadikan tubuh merespon

terhadap stress menuju efek yang baik atau buruk.

b. Tahap resisten

Tahap ini terdiri dari tahapan lanjutan dari stimulasi saraf simpatik yang

terjadi pada tahap alarm. Pada tahap ini tubuh berusaha mempertahankan

homeostasis akibat adanya stressor dalam tubuh. Hormon kortisol

disekresikan untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi di dalam tubuh.

Sekresi hormon kortisol ini menyebabkan terjadinya katabolisme dan

meningkatkan gula darah sehingga disebut hormon glukokortikoid. Jika

19
individu tidak dapat melewati tahapan ini maka katabolisme yang terjadi

akan menyebabkan penyakit kronis, seperti syok, disfungsi kekebalan

tubuh, fluktuasi tingkat energi, dll.

c. Tahap pemulihan

Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi

dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan,

metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan,

dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan

individu pada level yang baik.

d. Tahap adaptasi

Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan

menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya

kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai

kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi,

menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan,

gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu

merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta

hilangnya motivasi.

e. Tahap kelelahan

Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari

kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan,

maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi

dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar

tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada

20
tahap ini kadar kolesterol mengalami peningkatan sehingga berbagai

penyakit kronis timbul, seperti diabetes, kanker, penyakit jantung,

sembelit, alergi dan asma, kelelahan, dan hipoglikemia. Keadaan

berkepanjangan yang seperti ini akan membuat tubuh menjadi rentan

terhadap berbagai macam penyakit bahkan dalam kasus yang lebih

berbahaya dapat mengakibatkan kematian.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja

2.4.1 Karakteristik Pekerjaan

a. Kebisingan

Kebisingan biasa didefinisikan sebagai suara yang tidak

diinginkan yang dapat memicu timbulnya stress. Kebisingan merupakan

salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat

kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi

dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei

didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh

adalah kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya,

pencahayaan dan suhu (ILO, 2003). Kebisingan dapat memicu

terjadinya peningkatan ketidakseimbangan psikologi (Rose, 1994).

Pajanan kebisingan di tempat kerja juga berhubungan dengan berbagai

macam efek stress, seperti aktivitas neuroendokrin, peningkatan detak

jantung, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi kerja.

Berdasarkan hasil penelitian Broadbent (1971), efek dari kebisingan

yang tidak dapat diduga akan lebih parah dibandingkan dengan

kebisingan yang dapat diduga.

21
Berdasarkan hasil penelitian Evans dan Johnson (1999)

menemukan bahwa intensitas kebisingan yang rendah tidak memiliki

dampak yang besar terhadap pekerja. Akan tetapi, dalam waktu pajanan

kebisingan tersebut selama tiga jam akan memperlihatkan perubahan

motivasi kerja dan peningkatan hormon stress dalam tubuh. Hasil

penelitian Evans dan Johnson ini juga sejalan dengan penelitian sejenis

bahwa pajanan kebisingan dapat meningkatkan kadar hormon

neuroendokrin stress dalam tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan

Lindvall (1995) dan Medical Research Council (1997) menemukan

bahwa pajanan kebisingan berhubungan dengan peningkatan tekanan

darah dan beberapa penyakit lain yang berujung pada penyakit jantung

koroner (Barling, Kelloway, & Frone, 2005). Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan Ljungberg dan Neely (2007) menemukan

bahwa individu yang mengalami pajanan kebisingan akan mengalami

peningkatan hormon kortisol dengan tingkat stress yang bersifat

subjektif (Perrewe & Ganster, 2010).

b. Pencahayaan

Sumber stress lain yang berasal dari lingkungan kerja adalah

tingkat pencahayaan. Menurut Poulton (1978), tingkat pencahayaan

yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya

ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan

penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang

kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan

22
pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout

& Rout, 2002).

Selain tingkat cahaya, kualitas cahaya yang dihasilkan juga

penting. Sebagian besar individu lebih merasa bahagia ketika cahaya

matahari pada siang hari yang terang. Cahaya matahari pada siang hari

yang terang dapat mendorong terjadinya reaksi kimia dalam tubuh

yang dapat menghasilkan perasaan senang secara psikologis. Sehingga

peningkatan kualitas cahaya dapat meningkatkan kualitas lingkungan

kerja yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan

(Schroeder, 2013).

c. Suhu

Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja

berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung

bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat

dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang

diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan

keputusan dan performa kerja. Selain itu, lingkungan kerja yang terlalu

dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam

bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan. Berdasarkan

hasil penelitian Ramsey menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja

yang terlalu panas dapat menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan

kerentanan terhadap terjadinya kecelakaan (Rose, 1994).

Menurut McCormick (1976), suhu lingkungan kerja yang

terlalu panas dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja. Begitu juga

23
pada lingkungan kerja yang dingin, dimana menurut Fox (1967) dan

Enander (1987), suhu lingkungan kerja yang terlalu dingin juga

menurunkan produktivitas kerja. Pada beberapa pekerjaan seperti tugas

yang berhubungan dengan kemampuan kognitif, suhu lingkungan yang

dingin dapat meningkatkan performa kerja karena dapat menurunkan

terjadinya kelelahan. Akan tetapi, semakin kompleks tingkat pekerjaan

maka performa kerja akan semakin memburuk jika suhu lingkungan

terlalu panas atau dingin (Barling et al., 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan

bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap

proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan

suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang

membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya

terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah

teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe &

Ganster, 2010).

d. Ventilasi

Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu

terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja

sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan

beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya

sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang

juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin

24
ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di

ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Chandraseker (2011), buruknya

kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas

kerja dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan

Ajala (2012) menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang baik dapat

meningkatkan produktivitas kerja serta menurunkan pajanan terhadap

substansi udara yang berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya

penyakit akibat hubungan kerja, absenteisme, dan turnover pekerja

(Ajala, 2012).

e. Konflik Peran

Konflik peran biasanya terjadinya pada individu ketika

tingginya harapan perusahaan terhadap diri mereka. Akan tetapi,

tingginya harapan tersebut mempersulit pencapaian tugas yang

diberikan. Konflik peran merupakan bentuk umum stressor yang terjadi

di tempat kerja. Konflik ini biasanya muncul ketika pekerja diharuskan

untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka.

Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan

kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya

gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran

yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu:

1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda

3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan

25
4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan

kemampuan diri (Hubbard, 1998)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada manajer di

Singapura menunjukkan bahwa secara signifikan konflik peran

berhubungan dengan munculnya stress kerja (Quah & Campbell, 1994).

Konflik peran yang terjadi di perusahaan akan berdampak pada

tingginya angka absenteisme dan turnover pekerja.

f. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi

mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang

tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja

harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja

terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di

tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga berhubungan

dengan ketidakjelasan dalam memberikan tugas kepada pekerja.

Sehingga hal ini dapat menimbulkan terjadinya frustasi dan sulitnya

bagi pekerja untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Hasil survei yang

dilakukan Kahn et al (1964) menunjukkan bahwa 35 persen pekerja

merasa bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka tidak

jelas sehingga mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan

(Cardwell & Flanagan, 2005).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para manager

industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran

26
berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja.

Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan

semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian

berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat

stress kerja yang dialami (Ram, Khoso, Shah, Chandio, & Shaikih,

2011).

g. Konflik Interpersonal

Setiap pekerjaan pasti mengharuskan pekerjanya untuk

berinteraksi dengan orang lain, misalnya dengan rekan kerja, klien, atau

kontraktor. Dalam beberapa pekerjaan, interaksi sosial merupakan

sumber kepuasan kerja. Akan tetapi, di sisi lainnya, interaksi sosial

berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengakibatkan stress.

Dalam tingkat yang lebih bahkan konflik interpersonal tadi dapat

mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik. Penyebab munculnya konflik

interpersonal seringkali disebabkan kompetisi antar pekerja. Di

beberapa perusahaan, pekerja diwajibkan mencapai beberapa target

untuk bisa mendapatkan penghargaan, promosi jabatan atau reward.

Konflik interpersonal memang masih jarang dibahas akan tetapi

dampaknya terhadap stress kerja sangat nyata terutama dalam jangka

waktu yang lama. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam

bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat

terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar

kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi

misalnya ketika seseorang lupa mengundang rekannya untuk

27
menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat

dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel

penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja yang

mengalaminya (Jex & Britt, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di

Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun

perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara

psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang

dilakukan pada perusahaan manufaktur skala kecil dan sedang di

Jepang menunjukkan bahwa tingginya konflik interpersonal dapat

berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi (Ikeda et al., 2009).

h. Ketidakpastian Pekerjaan

Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan

pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan

salah satu sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya

performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan

di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat

direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin

meningkatkan performanya agar mereka dapat tetap bekerja. Akan

tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat menimbulkan kondisi

stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat berdampak

pada menurunnya produktivitas kerja. Dari hasil penelitian Abramis

(1994) didapatkan bahwa ketidakpastian pekerjaan tidak berhubungan

dengan performa kerja seseorang. Akan tetapi, ketidakpastian tersebut

28
sangat berhubungan dengan ketidakpuasan kerja, kecemasan dan

depresi (Heery & Salmon, 1998).

Ketidakpastian pekerjaan juga dapat berhubungan dengan

kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan

yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai

ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi ketika adanya situasi

penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini

dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut.

Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan

munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu,

kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja

(Robbins, 2009).

i. Kurangnya Kontrol

Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang

tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika

permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka

individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya

sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan

terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu

mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marmot et al (1997)

menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kemampuan kontrol kerja

lebih sedikit memiliki risiko empat kali lebih besar terkena serangan

jantung dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kontrol lebih besar

29
terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian tersebut kemudian

merekomendasikan agar para manajer lebih memberikan kebebasan

bagi para staf untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan mereka

(O'Rourke & Collins, 2009).

j. Kurangnya Kesempatan Kerja

Perekonomian dunia saat ini perlahan berusaha bangkit setelah

terjadinya krisis ekonomi. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang

semakin kuat tidak dibarengi oleh peningkatan lapangan pekerjaan yang

sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Hal ini berdampak pada

meningkatnya jumlah pengangguran yang terjadi di hampir seluruh

dunia. Sehingga hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang

sedang terjadi kembali mengalami kegoyahan (Forbes, 2012).

Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu

masalah besar bagi individu. Meskipun demikian, penelitian yang

membahas mengenai dampak kurangnya lapangan pekerjaan terhadap

kesehatan mental individu sangat jarang dibahas. Peneliti cenderung

membahas mengenai pengaruh kurangnya lapangan pekerjaan terhadap

peningkatan angka pengangguran. Padahal kurangnya lapangan

pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Hal ini

dikarenakan munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap

kemungkinan kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan

kembali (Bizymoms, 2013). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan di

masa depan akibat sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia juga

dapat memicu terjadinya frustasi (Swain, 2008).

30
Kekhawatiran yang terjadi terus menerus ini dapat

menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dewasa

menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan

pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental,

ketidakstabilan emosi, dan kecemasan (Burgard, Kalousova, &

Seefeldt, 2012). Meskipun seorang pekerja telah berusaha

mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi

maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya

depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).

k. Jumlah Beban Kerja

Beban kerja baik mental maupun fisik berpotensi menjadi

sumber stress di tempat kerja. Bekerja di bawah tekanan waktu untuk

mencapai target merupakan sumber stress yang seringkali terdapat di

tempat kerja. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tingkat

stress akan meningkat seiring dengan semakin dekatnya target yang

ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian pada pekerja di Jepang

menunjukkan bahwa jumlah beban kerja secara signifikan berkaitan

dengan munculnya sejumlah gejala stress, seperti mudah marah,

kelelahan, gelisah, dan gejala depresi (Nishitani, Sakakibara, &

Akiyama, 2013). Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dilakukan de

Jonge et al (2000) menemukan bahwa tingginya beban kerja secara

signifikan berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan dalam

31
bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan

munculnya sejumlah gejala psikosomatis.

Beban kerja yang tinggi memang dapat menimbulkan kondisi

stress bagi pekerja. Akan tetapi, beban kerja yang terlalu sedikit juga

dapat menimbulkan stress bagi pekerja. Hal ini dikarenakan pekerjaan

yang diberikan terlalu monoton, membosankan, dan terlalu jauh

dibawah kemampuan pekerja itu sendiri. Sehingga pekerja merasa

tertekan dengan kondisi pekerjaan yang demikian (Koradecka, 2010).

l. Variasi Beban Kerja

Variasi beban kerja berkaitan dengan beragam jenis pekerjaan

yang diberikan kepada pekerja dengan tuntutan kemampuan yang

berbeda-beda. Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan

stress bagi pekerja ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan

tugas tersebut. Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas

tersebut dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya

(Rose, 1994). Berdasarkan hasil survei Caplan et al (1975) pada 23

negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan

semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap petugas

pemadam kebakaran menunjukkan bahwa variasi beban kerja yang

tinggi berhubungan secara signifikan terhadap munculnya gejala stress

berupa insomnia (Afrianti, Widyahening, Amri, & Kusumawardhani,

2011). Dalam penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja

manufaktur di Jepang menunjukkan hal yang sama bahwa variasi beban

32
kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan

gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil

penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan

terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para

pekerja (Ikeda et al., 2009).

m. Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain

Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari

peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi

menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab

terhadap orang lain. Menurut Wardwell et al (1964) memegang

tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat memicu

terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung

jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain

berarti bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya

untuk berinteraksi dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja

sendiri dan sebagai konsekuensinya berdasarkan penelitian French &

Caplan (1970) akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam

tekanan.

Berdasarkan hasil penelitian Pincherle (1972) menemukan

bahwa sekitar 2000 manager di Inggris mendatangi pusat kesehatan

untuk melakukan medical check up. Dari hasil pemeriksaan kesehatan

yang mereka lakukan didapatkan hasil bahwa stress secara fisik yang

mereka alami disebabkan oleh faktor umur dan tingkat tanggung jawab

dalam pekerjaan. Semakin tua dan tinggi tanggung jawab mereka maka

33
akan semakin besar kemungkinan munculnya gejala penyakit jantung

koroner (Cooper, 2013).

Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa

seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang

lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki

tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan

munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang

tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas

kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012).

n. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan

stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika

pekerja memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu

pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan

karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang

melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam

jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi

pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross & Altmaier,

2000).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di

Jepang didapatkan hasil bahwa kemampuan pekerja yang tidak

digunakan dengan baik dapat meningkatkan risiko stress kerja yang

berdampak pada peningkatan kadar tekanan darah (Konno & Munakata,

2014). Dalam penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kemampuan

34
yang tidak digunakan dengan baik berhubungan secara signifikan

terhadap kejadian stress kerja pada level manager dan pekerja buruh

(Jamal & Ahmed, 2009).

o. Tuntutan Mental

Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan

terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung

dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang

mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber

emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak

sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti

menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang

dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk

dilakukan seorang pekerja. Di satu sisi, pekerja harus bersiap

menghadapi emosi negatif yang berasal dari klien yang dihadapi. Tetapi

di sisi lainnya mereka harus tetap bersikap ramah meskipun keadaan

emosional pekerja tidak dalam kondisi baik. Menurut Zapf (2002),

pekerjaan yang menuntut kondisi emosional yang baik sangat

berhubungan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja secara

mental (Koradecka, 2010).

p. Shift Kerja

Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko

menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan

perilaku. Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan

pernapasan, detak jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel,

35
produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama

pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para

pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya

digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift

bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang

dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan

tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta

aktivitas sosial lainnya.

Pekerjaan shift terutama saat malam hari akan memberikan

tekanan yang besar bagi tubuh. Tubuh akan merasa lebih lelah sehingga

risiko terjadinya kecelakaan akan meningkat. Jam kerja yang terlalu

lama sebaiknya juga dihindari. Urutan shift kerja yang baik yaitu shift

pagi- siang malam dan setiap shift tersebut diselesaikan tubuh akan

membutuhkan waktu sekitar 11 jam untuk beristirahat. Kurangnya

istirahat akan memberikan efek negatif dari stress dengan munculnya

gangguan kesehatan (Authority, 2006).

Hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun

pekerja shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak

ditemukan adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan

pekerja non-shift. Hasil survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al

(1977) juga menemukan hal yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak

memiliki dampak yang signifikan terhdapa penyakit jantung dan saraf

(Ivancevich & Ganster, 2014).

36
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat shift

malam menunjukkan bahwa stress kerja yang dialami oleh perawat shift

malam mempengaruhi kinerja mereka menjadi kurang baik.

Menurunnya kinerja ini disebabkan adanya tekanan emosional yang

mereka hadapi (Klau, 2010). Hubungan antara stress kerja dan shift

kerja juga signifikan pada pekerja bagian produksi di PT Newmont

Nusa Tenggara (Firmana, Firmana, & Hariyono, 2011). Selain itu, pada

penelitian terhadap operator SPBU di Magelang menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan tingkat stress kerja yang dirasakan pekerja pada

setiap shiftnya dimana pekerja pada shift malam memiliki tingkat stress

kerja paling tinggi (Nuryati, 2007).

2.4.2 Karakteristik Individu

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat

menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan

lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya

penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan

pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan

mengalami stress kerja, yaitu:

1. Perempuan memiliki peran dominan dalam merawat keluarga

sehingga total beban kerja perempuan lebih tinggi dibandingkan

laki-laki.

2. Tingkatan untuk mengontrol pekerjaan cenderung rendah karena

sebagian besar perempuan menempati jabatan di bawah laki-laki.

37
3. Semakin banyaknya perempuan yang menduduki jabatan penting

4. Semakin banyaknya perempuan yang bekerja pada tingkat stress

kerja tinggi

5. Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi dari posisi yang lebih

senior

Selain itu, respon perempuan dan laki-laki dalam menghadapi

stress juga cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Wichert

(2002) menemukan bahwa laki-laki cenderung untuk mengatasi stress

yang dialami dengan melakukan perubahan perilaku, seperti merokok,

minum alkohol, obat-obatan, dll. Sedangkan perempuan cenderung

mengatasi stress yang dihadapi dengan melakukan perubahan secara

emosional. Sehingga laki-laki cenderung mengalami penurunan kualitas

kesehatan secara fisik ketika mengalami stress. Adapun wanita

cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara psikologis

(Bickford, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Swedia

menunjukkan bahwa pada pekerja perempuan tingkat keparahan gejala

stress yang muncul cenderung lebih tinggi dibandingkan pekerja laki-

laki. Tingkat gejala stress ini dipengaruhi oleh permasalahan pekerjaan

dan keluarga yang mereka hadapi (Krantz, Burntson, & Lundberg,

2005). Dalam penelitian lainnya juga ditemukan hasil yang sama bahwa

pekerja perempuan mengalami stress kerja yang lebih tinggi

dikarenakan beban kerja dan kelelahan secara emosional (Antoniou,

Polychroni, & Vlachakis, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang

38
dilakukan pada pekerja di Thailand menemukan bahwa tingkat stress

pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Tingkat ini

dipengaruhi oleh iklim lingkungan yang tidak nyaman (Tawatsupa,

Lim, Kjellstrom, Seubsman, & Sleigh, 2010). Sedangkan dalam

penelitian lain yang dilakukan pada perawat tidak ditemukan hubungan

antara stress kerja dengan jenis kelamin (Sukmono, 2013).

b. Umur

Umur dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002), pekerja pada usia yang

lebih tua cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan

dengan pekerja berumur muda. Tetapi pengalaman stress pada pekerja

yang berumur tua lebih banyak dibandingkan dengan pekerja muda.

Pengaruh umur terhadap stress yang dialami pekerja biasanya hanya

terjadi pada pekerjaan tertentu terutama yang berhubungan dengan

kekuatan fisik dan penggunaan indera (Bickford, 2005).

Individu yang berumur lebih tua cenderung mengalami stress

lebih rendah. Individu yang berumur tua mengalami stress yang lebih

dikarenakan pengalamannya dalam menghadapi stress sudah lebih baik

dibandingkan individu yang berumur muda (Mroczek & Almeida,

2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan pada

karyawan bank di Semarang dimana ditemukan bahwa pada umur yang

lebih tua maka pekerja akan memiliki pengalaman yang lebih banyak

dibandingkan pekerja yang berumur muda sehingga tingkat stress akan

39
lebih rendah. Pada penelitian tersebut umur yang lebih tua berada pada

kategori 34 tahun ke atas (Fitri, 2013).

c. Status Pernikahan

Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress

seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat

stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak

menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat

dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang

dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan

(Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress

hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan

dengan baik.

Pernikahan yang tidak bahagia akan lebih mungkin menimbulkan

stress dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Berdasarkan

hasil penelitian Kiecolt-Glaser et al (2003) membuktikan bahwa

individu yang bercerai dan individu yang menikah tetapi tidak bahagia

akan memiliki tingkat stress yang sama tingginya dibandingkan dengan

individu yang memiliki pernikahan yang bahagia (Ogden, 2012). Hal

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada perawat dimana

terdapat hubungan antara status pernikahan dengan kejadian stress kerja

(Sukmono, 2013).

d. Jumlah Anak

Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai

penyatu hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak

40
kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dapat mengakibatkan

menurunnya kepuasan pernikahan. Menurunnya kepuasan pernikahan

ini sebagai dampak adanya transisi menjadi pasangan orang tua

sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini seringkali terjadi

setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009).

Menjadi orang tua merupakan salah satu pengalaman yang

menyenangkan. Akan tetapi, ada saatnya tuntutan dalam kehidupan

sebagai orang tua dapat menyebabkan stress. Selama ini, perawatan

terhadap anak dianggap dapat meningkatkan perasaan stress yang

dirasakan orang tua. Sehingga hal ini dapat memicu timbulnya

kemarahan, kecemasan hingga perasaan stress yang cukup berat. Hal ini

dapat dirasakan lebih berat ketika jumlah anak yang dimiliki semakin

banyak dan apabila terdapat anak yang memiliki perilaku sulit diatur

(CMHA, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Twenge et al (2005) menunjukkan

bahwa orang tua yang memiliki anak lebih dari dua akan memiliki

tingkat kepuasan pernikahan yang rendah serta tingginya stress yang

dirasakan oleh orang tua (Hess, 2008). Dalam penelitian lainnya

menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki jumlah anak lebih sedikit

akan lebih baik dalam mengelola stress sehingga tingkat stress yang

dirasakan oleh orang tua cenderung lebih rendah. Jumlah anak yang

lebih sedikit dalam penelitian ini yaitu berjumlah kurang dari tiga orang

anak (Anismasahun & Oladeni, 2012). Kedua penelitian di atas

41
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah

anak dalam pernikahan dengan kejadian stress pada orang tua.

e. Masa Kerja

Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam

menghadapi permasalahan di tempat kerja. Pekerja yang memiliki masa

kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih

banyak dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja yang masih

sedikit (Harigopal, 1995). Masa kerja yang berhubungan dengan stress

kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja

yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat

kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru.

Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di

tempat kerja (Munandar, 2001).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pustakawan di

Universitas Gadjah Mada didapatkan hubungan yang signifikan antara

masa kerja dengan stress kerja. Pada pekerja yang memiliki masa kerja

lebih dari 18 tahun memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja lebih sedikit

(Sarwono & Purwono, 2006).

f. Kepribadian Tipe A

Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat

kompetitif, ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu

dengan tipe kepribadian ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka

tanpa mempedulikan perasaan bahagia dalam diri mereka. Individu

42
yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung bereaksi secara

berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang tinggi. Selain itu,

kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah sehingga

cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya

(McLeod, 2011).

Seseorang dengan kepribadian tipe A memiliki pola yang cepat

dalam berbicara, kurang relaks, agresif, mendominasi dalam mencapai

tujuan, sangat suka bekerja sehingga pola ini dapat memprediksi infark

miokardial (Matthews, Deary, & Whiteman, 2003). Selain itu, hasil dari

penelitian yang dilakukan pada pasien yang mengalami penyakit

jantung koroner menemukan bahwa pasien yang mengakami penyakit

tersebut memiliki tingkat kepribadian tipe A yang tinggi yang juga

berdampak pada timbulnya rasa gelisah, stress yang tinggi, dan depresi

(Swapana, Singh, & Demen, 2008).

Berdasarkan penelitian King (2002), menyatakan bahwa pasien

yang terkena penyakit infark miokardial mengalami stress sebagai

penyebab terjadinya serangan jantung yang mereka alami. Begitu juga

dengan pendapat Stansfeld (2002) bahwa permasalahan stress berkaitan

dengan munculnya sejumlah penyakit sehingga ketika individu

mengalami stress maka akan semakin mudah terkena penyakit jantung

(Matthews et al., 2003).

g. Penilaian Diri

Penilaian diri adalah persepsi individu terhadap kemampuan,

keberhasilan, dan kelayakan dirinya. Penilaian individu terhadap

43
dirinya dapat mempengaruhi perilaku. Berdasarkan hasil penelitian

Randle (2001) menemukan bahwa penilaian diri individu yang positif

dapat mempengaruhi perilakunya menjadi lebih baik dalam mengatasi

sumber stress yang dihadapinya (Resnick, 2004).

Rosenberg (1986) menyatakan bahwa penilaian diri seseorang

dapat berubah setiap waktu dan dapat dipengaruhi oleh faktor yang

berasal dari luar diri individu tersebut. Selain itu, stress kerja kronis

berhubungan secara signifikan dengan peningkatan stress secara fisik,

kurangnya kompetensi, dan rendahnya penilaian diri individu tersebut

(Koslowsky, 1998).

2.4.3 Aktivitas di Luar Pekerjaan

Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam

menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model

stress kerja, aktivitas di luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber

stress bagi pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi

kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, penikahan,

kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di

luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja

akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu, menghilangkan sumber

stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya dilakukan. Hal ini

dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja seseorang serta

menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang telah didapat

ketika bekerja (Hurrell, 1990).

44
2.4.4 Faktor Pendukung

a. Dukungan Sosial

Hubungan yang baik antara individu dengan lingkungannya

akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan individu

tersebut. Hubungan yang baik bukan hanya dengan menghindari

terjadinya konflik di tempat kerja tetapi juga adanya dukungan aktif

yang diberikan kepada pekerja. Menurut House (1981), terdapat empat

jenis dukungan, yaitu:

1. Dukungan emosional berupa rasa simpati, ketertarikan, kebaikan,

dll.

2. Dukungan instrumental berupa dukungan yang nyata, seperti

bantuan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

3. Dukungan informasi berupa memberikan informasi yang berguna

dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

4. Dukungan evaluasi berupa opini yang berkaitan dengan penampilan,

perilaku atau tindakan seseorang.

Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi

kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat

mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam

lingkungan kerja yang rukun maka pekerja tidak akan mungkin

mendapatkan tindakan yang tidak adil. Selain itu, jika dalam

lingkungan kerja banyak terdapat sumber stress, dukungan sosial bisa

menjadi penahan dampak negatif sumber stress yang terdapat di

lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya dukungan untuk

45
mengatasi sumber stress tersebut sehingga tingkat stress menjadi rendah

dan tidak berdampak negatif bagi kesehatan pekerja. Dukungan sosial

juga dapat berpengaruh positif bagi kesejahteraan pekerja. Karena

pekerja yang dikelilingi lingkungan yang baik akan merasa lebih

percaya diri meskipun bekerja dalam kondisi yang sangat tertekan

sekalipun (Koradecka, 2010).

2.5 Dampak Stress Kerja

2.5.1 Dampak Bagi Pekerja

Stress merupakan masalah umum yang saat ini seringkali terjadi

pada pekerja. Stress memiliki dampak kerugian yang besar bagi

absenteisme dan rendahnya performa kerja. Selain itu, efek jangka panjang

stress dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti gangguan lambung,

gangguan tulang dan otot, hipertensi hingga penyakit jantung. Penyakit-

penyakit tersebut merupakan penyebab tingginya angka kesakitan,

kecacatan, dan kematian di negara industri (ILO).

Berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak

stress terhadap individu menemukan bahwa stress berdampak negatif pada

tiga hal, yaitu psikologis, kesehatan fisik, dan perilaku individu.

a. Efek psikologis

Efek psikologis yang dapat timbul akibat kondisi stress,

antara lain

1. Sulitnya berkonsentrasi

2. Ketidakpuasan dalam bekerja

3. Gangguan afektif, seperti kecemasan, depresi, dan mudah marah

46
4. Gangguan somatik, seperti sakit kepala, sesak napas, dan pusing

5. Rendahnya penghargaan diri

Adapun efek jangka panjang bagi kondisi psikologis individu, yaitu

insomnia, kecemasan dan depresi kronis, neurosis, dan bunuh diri

(Hardy, Carson, & Thomas, 1998).

Depresi dan kecemasan merupakan dampak langsung yang

disebabkan bahaya psikososial di tempat kerja. Di Inggris, sekitar 15-

30 persen mengalami gangguan kesehatan mental akibat pekerjaan

mereka. Berdasarkan hasil penelitian DSouza et al (2003)

menunjukkan bahwa karakteristik pekerja seperti rendahnya

pengontrolan pekerjaan, keterlibatan pengambilan keputusan,

pemanfaatan keterampilan, dan ketidakseimbangan imbalan

berhubungan erat dengan risiko depresi, rendahnya fungsi kesehatan,

kecemasan, kelelahan, ketidakpuasan kerja, dan absen karena sakit.

Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Park et al (2009)

didapatkan hasil bahwa stress kerja memiliki peran yang signifikan

dalam meningkatkan risiko terjadinya depresi (WHO, 2010). Dari

beberapa hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa stress kerja

memiliki pengaruh dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan

kesehatan mental pekerja.

b. Efek kesehatan fisik

Dampak kesehatan fisik yang timbul akibat kondisi stress

sangat beragam, seperti sakit kepala, sakit punggung, gangguan pola

tidur, gangguan sistem pernapasan, dan gangguan sistem imun

47
(Dollard, Winefield, & Winefield, 2003). Adapun efek jangka panjang

yang dapat timbul, seperti penyakit jantung, hipertensi, dan rendahnya

kondisi kesehatan secara umum (Hardy et al., 1998).

Berdasarkan hasil penelitian De Beeck & Hermasn (2000)

menemukan bahwa risiko psikososial juga dapat berdampak pada

timbulnya gangguan muskuloskeletal. Gangguan low back pain

memiliki peran yang sangat berkaitan dengan faktor psikososial,

seperti rendahnya dukungan sosial, kepuasan kerja, buruknya

organisasi kerja dan rendahnya konten pekerjaan. Dampak yang

ditimbulkan akibat paparan bahaya fisik dan psikososial terhadap

kejadian musculoskeletal akan lebih besar dibandingkan paparan

secara terpisah. Dalam penelitian Sim, Lacey, dan Lewis (2006)

menunjukkan bahwa faktor fisik dan psikososial berhubungan dengan

kerjadian sakit pada leher dan limbik bagian atas. Hal ini terjadi

dikarenakan kegiatan mengangkut yang berulang, bekerja dengan

lengan bagian atas, rendahnya kesempatan mengontrol pekerjaan, dan

rendahnya dukungan supervisor.

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa stress juga dapat

berdampak pada timbulnya penyakit jantung. Menurut Knutsson

(1989) penyakit jantung dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok,

darah tinggi, kolesterol tinggi, aterosklerosis, diabetes mellitus,

kepribadian tipe A, masalah kehidupan, rendahnya dukungan sosial,

dan shift kerja. Dalam penelitian yang dilakukan di Swedia oleh

Nurminen & Karjalainen (2001) menunjukkan bahwa peningkatan

48
sekresi hormon stress dalam tubuh akan meningkatkan risiko

terjadinya penyakit jantung.

Sindrom metabolik merupakan gangguan kesehatan yang

disebabkan akumulasi lemak visceral dalam tubuh dan berhubungan

dengan peningkatan risiko penyakit jantung, depresi dan diabetes.

Dalam penelitian Chandola, Brunner & Marmot (2006) mengenai

hubungan antara kejadian stress di tempat kerja dengan sindrom

metabolik menunjukkan bahwa adanya hubungan dosis-respon antara

paparan stress kerja dengan risiko sindrom metabolik. Pekerja yang

memiliki stress kerja kronis memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk

terkena sindrom metabolik dibandingkan dengan pekerja yang tidak

mengalami stress kerja. Hasil penelitian ini juga memberi bukti bahwa

adanya hubungan antara stressor psikososial dalam kehidupan sehari-

hari dengan kejadian penyakit jantung (WHO, 2010).

c. Efek perilaku

Perubahan perilaku akibat kondisi stress dapat terlihat dari

konsumsi alkohol, rokok dan obat-obatan, penurunan performansi

kerja, apatisme, tingginya angka absenteisme, kecelakaan kerja dan

tingginya angka turnover pekerja (Dollard et al., 2003). Sedangkan

dalam jangka waktu yang panjang, efek perilaku ini dapat juga

berdampak pada perpecahan rumah tangga dan isolasi terhadap

kehidupan sosial di sekitarnya (Hardy et al., 1998).

Menurut Cox, Griffiths, & Rial Gonzales (2000) risiko

psikososial berhubungan erat dengan munculnya perilaku tidak sehat

49
seperti konsumsi alkohol dan rokok berlebih, diet yang rendah dan

gangguan tidur. Berdasarkan hasil penelitian Ng & Jeffery (2003)

yang dilakukan pada 12110 pekerja dari 26 tempat kerja menunjukkan

adanya hubungan antara perasaan stress dengan perilaku. Berdasarkan

hasil self-reported responden dalam penelitian tersebut menunjukkan

bahwa perilaku yang biasa muncul akibat perasaan stress, seperti

perilaku seks yang tidak sehat, diet lemak yang tinggi, rendahnya

aktivitas, merokok dan peningkatan jumlah rokok, dan rendahnya

efikasi diri (WHO, 2010).

2.5.2 Dampak Bagi Perusahaan

Sikap para manager dalam menghadapi stress sangat beragam. Di

beberapa perusahaan, ada kalanya ketika pekerja mengeluhkan stress

akibat beban kerja yang dialaminya maka pilihan yang dihadapinya yaitu

berhenti dari pekerjaan tersebut. Padahal seharusnya keluhan tersebut

dijadikan bahan evaluasi terhadap stress kerja yang dialami para pekerja.

Perusahaan seringkali hanya meninjau pencapaian performa perusahaan.

Peninjauan terhadap stress kerja yang dialami pekerja seharusnya

dilakukan untuk mencegah meningkatnya tingkat stress kerja yang dialami

para pekerja. Hal ini dikarenakan stress yang dialami pekerja dapat

berdampak juga pada performa perusahaan. Berikut adalah beberapa

dampak stress kerja bagi perusahaan.

a. Meningkatnya keluhan dari klien

b. Rendahnya komitmen pekerja untuk mecapai tujuan perusahaan

c. Meningkatnya angka kecelakaan kerja

50
d. Meningkatnya angka turnover pekerja

e. Meningkatnya absenteisme

f. Menurunnya performa kerja

Para manajer seharusnya mengenali setiap gejala stress yang

dihadapi pekerjanya. Kegagalan dalam mengenali gejala stress di tempat

kerja dapat berdampak pada keberlangsungan usaha, termasuk rendahnya

motivasi, peningkatan absenteisme, rendahnya produktivitas, kesalahan

pengambilan keputusan, rendahnya efisiensi, dan rendahnya hubungan

dengan industri lain (Stranks, 2005).

2.6 Pencegahan Stress Kerja

Pada dasarnya stress kerja merupakan bahaya pekerjaan yang dapat

dicegah dan dikendalikan. Menurut WHO, terdapat tiga langkah dalam

mencegah terjadinya stress kerja, antara lain:

a. Pencegahan primer

Pencegahan stress primer dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian

ergonomik, mendesain lingkungan dan pekerjaan sesuai dengan kemampuan

pekerja, dan melakukan pengembangan organisasi dan manajemen. Dalam

mendesain lingkungan dan pekerjaan ada beberapa hal yang harus

diperhatikan agar mencegah terjadinya stress pada pekerja. Berikut ini

adalah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendesain pekerjaan

yang baik.

51
Tabel 2.2 Cara Mendesain Tempat Kerja yang Baik

Hal yang harus diperhatikan Penjelasan

Struktur organisasi yang jelas Pekerja harus disediakan informasi

yang jelas mengenai struktur, tujuan

dan praktik organisasi.

Penempatan, pelatihan, dan Keterampilan, pengetahuan dan

pengembangan pekerja yang tepat kemampuan pekerja harus disesuaikan

dengan kebutuhan yang terdapat di

tempat kerja. Sebelum melakukan

penempatan pekerja sebaiknya

dilakukan penilaian terlebih dahulu

terhadap kesesuaian antara kemampuan

pekerja dengan kebutuhan di tempat

kerja. Selain itu, pelatihan yang sesuai

juga harus disediakan agar

keterampilan pekerja dapat mengikuti

perkembangan tuntutan pekerjaan yang

dilakukannya. Supervise yang efektif

juga harus dilakukan untuk melindungi

pekerja dari kemungkinan terjadinya

stress.

52
Deskripsi kerja Deskripsi kerja tergantung dari

kebijakan, objektif dan strategi

perusahaan. Deskripsi kerja yang jelas

akan membantu pekerja dalam

memahami perannya di tempat kerja

sehingga tidak terjadi ambiguitas peran.

Deskripsi kerja yang jelas juga akan

membantu pekerja dalam memahami

tuntutan pekerjaan yang akan

dihadapinya.

Komunikasi Setiap pekerjaan yang akan dilakukan

sebaiknya dikomunikasikan dengan

baik antara staff dengan manajer.

Komunikasi pekerjaan yang dilakukan

harus bersifat komprehensif serta

konsistem dengan deskripsi kerja yang

telah ditentukan.

Lingkungan Sosial Lingkungan sosial dan kerja tim yang


baik dapat mendorong komitmen kerja
yang baik. Hal ini tentunya dapat
meningkatkan produktivitas kerja dan
menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan.

Sumber: (WHO, 2003)

53
b. Pencegahan sekunder

Untuk melakukan pencegahan stress sekunder dapat dilakukan dengan

memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pekerja dalam mencegah

dan mengatasi stress kerja.

c. Pencegahan tersier

Langkah pencegahan terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan

meningkatkan sensitivitas dan respon sistem manajemen serta meningkatkan

pelayanan kesehatan kerja. Pencegahan tersier ini menekankan pada

peningkatan respon dan pelayanan kesehatan kerja yang efisien. Program

manajemen stress kerja juga seharusnya dikembangkan dalam langkah

pencegahan ini.

2.7 Penanggulangan Stress Kerja

Menurut NIOSH, pengendalian stress di tempat kerja dapat dilakukan

dengan dua cara pendekatan, yaitu pendekatan dalam manajemen stress dan

perubahan organisasi.

a. Manajemen stress

Manajemen stress biasanya dilakukan dengan cara memberikan pelatihan

manajemen stress bagi para pekerja melalui Employee Assistance Program

(EAP). Pelatihan ini diberikan untuk meningkatkan kemampuan pekerja

dalam mengatasi situasi pekerjaan yang sulit. Hampir setengah dari

perusahaan besar di Amerika Serikat telah menyediakan pelatihan

manajemen stress bagi para pekerja mereka. Program manajemen stress ini

mencakup penjelasan mengenai sifat dan sumber stress, dampak stress

bagi kesehatan, dan kemampuan untuk mengurangi stress bagi pekerja.


54
Employee Assistance Program ini menyediakan pelayanan konseling bagi

pekerja mengenai permasalah pribadi maupun pekerjaan. Pelatihan

manajemen stress ini dapat membantu dengan cepat dalam mengurangi

gejala stress, seperti kecemasan dan gangguan tidur. Keuntungan

mengimplementasikan program ini yaitu murah dan mudah

diimplementasikan. Akan tetapi, kelemahan program ini yaitu efek gejala

stress seringkali bersifat sementara sehingga pekerja seringkali

mengabaikannya.

b. Perubahan organisasi

Perubahan organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan

untuk melakukan perbaikan kondisi kerja di suatu organisasi. Pendekatan

ini cara langsung yang dapat digunakan untuk mengurangi stress di tempat

kerja. Pendekatan cara ini dilakukan dengan cara mengidentidikasi aspek

stress kerja yang terdapat di tempat kerja, seperti beban kerja berlebih,

harapan yang bertentangan, dll dan melakukan desain strategi untuk

mengurangi atau menghilangkan stressor yang telah diidentifikasi.

Keuntungan dari pendekatan ini yaitu secara langsung mengatasi

permasalahan stress kerja hingga ke penyebab dasarnya. Akan tetapi, para

manajer seringkali tidak menyukai pendekatan ini karena melibatkan

perubahan dalam rutinitas kerja, jadwal produksi atau perubahan struktur

organisasi. Secara umum, prioritas utama dalam menanggulangi stress

kerja harus dilakukan dengan cara perubahan organisasi untuk

memperbaiki kondisi kerja. Akan tetapi, kombinasi perubahan organisasi

55
dan manajemen stress marupakan pendekatan yang paling sesuai untuk

dapat mengurangi stress di tempat kerja (NIOSH, 1999a).

2.8 Cara Pengukuran Stress Kerja

Menurut Karoley (1985) dalam (Desy, 2002), teknik pengukuran stress

dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

a. Self Report Measure

Pengukuran dengan metode ini dilakukan dengan menanyakan intensitas

pengalaman baik psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang dialami

seseorang menggunakan kuesioner. Teknik ini seringkali disebut life event

scale. Teknik ini mengukur stress dengan cara mengobservasi perubahan

perilaku seseorang, seperti kurangnya konsentrasi, cenderung berbuat

salah, bekerja dengan lambat, dll.

b. Physiological Measure

Pengukuran metode ini dilakukan dengan cara melihat perubahan yang

terjadi pada kondisi fisik seseorang, seperti perubahan tekanan darah,

ketegangan otot bahu, leher, dan pundak. Cara ini dianggap memiliki

reliabilitas paling tinggi akan tetapi sebenarnya tergantung pada alat yang

digunakan serta pengukur itu sendiri.

c. Biochemical Measure

Pengukuran metode ini dilakukan dengan melihat respon biokimia melalui

perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah dilakukan

pemberian stimulus. Reliabilitas pengukuran dengan metode ini tergolong

cukup tinggi tetapi hasil pengukurannya dapat berubah jika subjek

penelitiannya memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, dan kopi. Hal

56
ini dikarenakan kandungan dalam rokok, alkohol, dan kopi dapat

mempengaruhi kadar hormon tersebut di dalam tubuh.

Dari ketiga cara di atas pengukuran life event scale paling sering

digunakan dalam pengukuran stress. Hal ini dikarenakan penggunaannya yang

mudah serta biaya yang relatif mudah meskipun tidak dapat dihindari adanya

keterbatasan tertentu.

2.9 Instrumen Pengukuran Stress Kerja

Saat ini telah berkembang banyak penelitian mengenai stress kerja yang

dilakukan. Penelitian yang dilakukan pun menggunakan berbagai macam jenis

instrumen mengenai kondisi pekerjaan, potensial stressor, kesehatan dan

kesejahteraan pekerja, kepuasan kerja dan keadaan suasana hati. Berbagai

macam instrument pengukuran yang telah distandarisasi dan teruji baik validitas

maupun reliabilitasnya. Berikut ini adalah beberapa macam instrumen

pengukuran stress kerja.

57
Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran

Nama Instrumen Penyusun Kelebihan Kekurangan

Job Content Questionnaire Karasek, 1985 a. Dapat digunakan untuk mengukur a. Hanya berfokus pada penilaian
stress yang berhubungan dengan
situasi psikologi dan sosial di
kondisi lingkungan kerja terutama yang
lingkungan kerja
berkaitan dengan kejadian penyakit
jantung koroner
b. Tidak ada penilaian kepribadian
b. Relevan untuk digunakan dalam
dan faktor di luar pekerjaan
mengukur motivasi pekerja, kepuasan
kerja, absenteisme dan turnover
pekerja

c. Validitas dan reliabilitas kuesioner


sudah teruji

d. Dapat digunakan pada berbagai sektor


industri

54
Nama Instrumen Penyusun Kelebihan Kekurangan

AnOrganizational Stress Cartwright dan Cooper, a. Faktor sumber stress yang dinilai

Screening Tool (ASSET) 2002 berorientasi pada lingkungan kerja

b. Mengukur efek stress pada kondisi

psikologis dan kesehatan fisik pekerja

Quality of Worklife NIOSH dan Institute for a. Digunakan untuk mengevaluasi faktor a. Hanya mengukur efek stress pada

Questionnaire The Social Research yang berhubungan dengan stress kerja kesehatan fisik

University of Michigan dan kepuasan kerja

b. Dapat digunakan juga untuk

mengetahui karakteristik organisasi dan

hubungan terhadap kualitas kesehatan

dan keselamatan pekerja

55
Nama Instrumen Penyusun Kelebihan Kekurangan

Job Stress Survey (JSS) Spielberg, 1994 a. Dapat digunakan untuk menilai tingkat a. Fokus penilaian hanya pada faktor

keparahan dan frekuensi faktor lingkungan kerja dan dampaknya

lingkungan tempat kerja yang terhadap perubahan psikologis

berdampak pada psikologis pekerja


b. Validitas dan reliabilitas

b. Dapat digunakan mengevaluasi dan diragukan

peningkatan lingkungan kerja,

menurunkan kondisi stress dan

meningkatkan produktivitas kerja

56
Nama Instrumen Penyusun Kelebihan Kekurangan

NIOSH Generic Job Stress Hurrell dan McLaney, a. Mengukur sumber stress yang berasal a. Pengukuran stress kronis
dari dalam maupun luar lingkungan
Questionnaire 1988 dibutuhkan konsultasi bersama
pekerjaan serta faktor pendukung
petugas medis
lainnya

b. Mengevaluasi efek stress pada kondisi


akut dan kronis

c. Reliabilitas dan validitas instrument


telah teruji

d. Tersedia dalam berbagai bahasa

The Hassles and Uplifts Kanner, Coyne, Schaefer a. Dapat digunakan untuk mengukur a. Menyediakan informasi yang
kondisi stress yang terjadi dalam
Scales dan Lazarus, 1981 sedikit untuk melakukan
kehidupan sehari-hari
intervensi pencegahan stress kerja
b. Sumber stress yang diukur berasal dari
dalam maupun luar lingkungan kerja

57
Nama Instrumen Penyusun Kelebihan Kekurangan

HSE Indicator Tool (HSE) Health and Safety a. Dapat digunakan untuk menanggulangi a. Hanya dapat digunakan untuk
mengukur sumber stress yang
Executive faktor risiko stress yang berhubungan
terdapat di lingkungan kerja
dengan pekerjaan
b. Hasil temuan dalam instrumen ini
b. Penggunaannya dapat dipakai sebagai harus didiskusikan lagi bersama
dengan para pekerja serta
instrument tunggal atau digabungkan
dilengkapi dengan data
dengan instrumen lainnya
pendukung, seperti data turnover
pekerja, tingkat absenteisme, dll.

Life Event Scale Thomas Holmes dan a. Digunakan untuk memprediksi a. Penggunaannya harus dilakukan
hubungan antara kejadian yang dialami
Richard Rahe, 1967 dengan disertai konsultasi pada
6 bulan terakhir dengan munculnya
dokter atau data medis
penyakit

Sumber: (HSE, 2001)

Dari hasil perbandingan di atas, peneliti memilih menggunakan kuesioner NIOSH Generic Job Stress Questionnaire. Hal ini

dikarenakan kuesioner tersebut memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kuesioner lainnya terutama faktor sumber stress yang

58
diukur lebih bersifat komprehensif. Selain itu, kuesioner ini merupakan instrumen baku pengukuran stress kerja yang disahkan oleh

NIOSH. Reliabilitas dan validitas kuesioner juga dapat dipercaya karena sudah diuji dan sering digunakan dalam penelitian

59
2.10 Kerangka Teori

Faktor Individual
a. Jenis Kelamin
b. Umur
c. Status Pernikahan
d. Jumlah dan Umur Anak
e. Masa Kerja
f. Kepribadian Tipe A
g. Penilaian Diri

Faktor Pekerjaan
a. Kebisingan
b. Pencahayaan
c. Suhu
d. Ventilasi
e. Konflik Peran
f. Ketaksaan Peran
g. Konflik Interpersonal
h. Ketidakpastian Pekerjaan
i. Kurangnya Kontrol
j. Kurangnya Kesempatan Stress Kerja Stress Kerja
Kerja Akut Kronis
k. Jumlah Beban Kerja
l. Variasi Beban Kerja
m. Tanggung Jawab terhadap
Pekerja Lain
n. Kemampuan yang Tidak
Digunakan
o. Tuntutan Mental
p. Shift Kerja

Faktor di Luar Pekerjaan

Aktivitas di Luar Pekerjaan

Faktor Pendukung

Dukungan Sosial

Sumber: Caplan, Cobb, French, Harrison, dan Pinneau (1975), Cooper dan Marshal
(1976), dan House (1974) dalam (Murphy & Hurrell, 1992)
Bagan 2.2 Kerangka Teori
60
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep mengacu pada variabel yang akan diteliti. Berdasarkan

pada kerangka teori pada bab sebelumnya, maka variabel yang akan diteliti pada

penelitian ini, yaitu variabel independen yang terdiri dari faktor individual,

faktor pekerjaan, faktor aktivitas di luar pekerjaan, dan faktor pendukung.

Sedangkan variabel dependen yang akan diukur yaitu stress kerja akut. Adapun

stress kerja kronis tidak dilakukan pengukuran karena adanya keterbatasan

penelitian berupa tidak tersedianya data medical check up untuk mendukung

penentuan tingkat stress kerja kronis. Berikut ini adalah gambaran kerangka

konsep yang akan diteliti:

61
Variabel Independen

Faktor Individual
a. Jenis Kelamin
b. Umur
c. Status Pernikahan
d. Jumlah Anak
e. Masa Kerja
f. Kepribadian Tipe A
g. Penilaian Diri

Faktor Pekerjaan
a. Kebisingan Variabel Dependen
b. Pencahayaan
c. Suhu
d. Ventilasi
e. Konflik Peran
f. Ketaksaan Peran
g. Konflik Interpersonal
h. Ketidakpastian Pekerjaan Stress Kerja
i. Kurangnya Kontrol
Akut
j. Kurangnya Kesempatan
Kerja
k. Jumlah Beban Kerja
l. Variasi Beban Kerja
m. Tanggung Jawab terhadap
Pekerja Lain
n. Kemampuan yang Tidak
Digunakan
o. Tuntutan Mental
p. Shift Kerja

Faktor di Luar Pekerjaan

Aktivitas di Luar Pekerjaan

Faktor Pendukung

Dukungan Sosial

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

62
3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1 Stress Kerja Akut Keluhan stress yang dialami NIOSH Generic Menyebarkan
responden berdasarkan perubahan Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
fisiologis dan psikologis yang Questionnaire responden
dialaminya

2 Jenis Kelamin Perbedaan laki-laki dan perempuan NIOSH Generic Menyebarkan


1. Perempuan
secara biologis dan fisiologis dari Job Stress kuesioner kepada Ordinal
sejak lahir Questionnaire responden 2. Laki-laki

3 Umur Jumlah tahun yang dihitung mulai NIOSH Generic Menyebarkan


Umur saat ini
dari responden lahir sampai waktu Job Stress kuesioner kepada Rasio
(dalam tahun)
pengumpulan data ini dilakukan Questionnaire responden

4 Status Pernikahan Keterangan yang menunjukkan NIOSH Generic Menyebarkan


riwayat pernikahan tenaga kerja Job Stress kuesioner kepada 1. Tidak Menikah
Ordinal
sesuai yang tercantum di dalam Questionnaire responden 2. Menikah
kartu identitas pekerja

5 Jumlah Anak Jumlah anak yang dimiliki NIOSH Generic Menyebarkan


responden yang dalam keadaan Job Stress kuesioner kepada
Jumlah anak Rasio
hidup sampai waktu pengumpulan Questionnaire responden
data ini dilakukan

63
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

6 Masa Kerja Jumlah waktu yang telah dilalui NIOSH Generic Menyebarkan Lama kerja (dalam Rasio
pekerja sejak bekerja di PT X Job Stress kuesioner kepada bulan)
Questionnaire responden

7 Kepribadian Tipe Kepribadian individu yang NIOSH Generic Menyebarkan


A cenderung bersifat kompetitif, Job Stress kuesioner kepada Rata-rata skor Rasio
ambisius, tidak sabar, agresif dan Questionnaire responden
sangat kritis

8 Penilaian Diri Persepsi individu terhadap NIOSH Generic Menyebarkan


kemampuan, keberhasilan, dan Job Stress kuesioner kepada
kelayakan dirinya yang dapat Questionnaire responden Rata-rata skor Rasio
mempengaruhi perilaku individu
tersebut

9 Kebisingan Persepsi pekerja terhadap tingkat NIOSH Generic Menyebarkan 1. Bising Ordinal
kebisingan yang terdapat di sekitar Job Stress kuesioner kepada
lingkungan kerja yang disertai Questionnaire responden 2. Tidak bising
dengan hasil pengukuran dan Data Hasil
kebisingan di lingkungan kerja Pengukuran
sebagai data pendukung Kebisingan

64
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

10 Pencahayaan Persepsi pekerja terhadap tingkat


Menyebarkan
pencahayaan yang terdapat di kuesioner kepada
NIOSH Generic
sekitar lingkungan kerja yang responden dan 1. Buruk
Job Stress
disertai dengan pengukuran tingkat pengukuran tingkat Ordinal
Questionnaire 2. Baik
pencahayaan di lingkungan kerja pencahayaan
dan Luxmeter (hanya sebagai data
untuk mengetahui kondisi aktual
sebagai data pendukung pendukung)

11 Suhu Persepsi pekerja terhadap Menyebarkan


kenyamanan suhu di lingkungan NIOSH Generic kuesioner kepada
kerja yang disertai dengan hasil Job Stress responden dan
1. Tidak Nyaman
pengukuran suhu
pengukuran suhu udara di Questionnaire Ordinal
udara di 2. Nyaman
lingkungan kerja untuk mengetahui dan lingkungan kerja
kondisi aktual sebagai data Termohigrometer (hanya sebagai data
pendukung pendukung)

12 Ventilasi Persepsi pekerja terhadap kualitas Menyebarkan


NIOSH Generic kuesioner kepada
udara yang terdapat di sekitar
Job Stress responden dan
lingkungan kerja yang disertai
Questionnaire, pengukuran luas 1. Buruk
dengan hasil pengukuran kadar
Data Hasil ruangan serta Ordinal
debu di lingkungan kerja dan ventilasi di ruang 2. Baik
Pengukuran
ukuran ventilasi yang tersedia kerja (hanya
Kadar Debu, dan
untuk mengetahui kondisi aktual sebagai data
alat ukur meteran
sebagai data pendukung pendukung)

65
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

13 Konflik Peran Tuntutan perusahaan terhadap NIOSH Generic Menyebarkan


responden untuk bekerja di luar Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
ketentuan yang berlaku atau cara Questionnaire responden
yang berbeda

14 Ketaksaan Peran Ketidakjelasan informasi mengenai NIOSH Generic Menyebarkan


pekerjaan yang harus dilakukan Job Stress kuesioner kepada
sehingga menimbulkan Questionnaire responden Rasio
ketidakpahaman mengenai Rata-rata skor
pekerjaan yang harus dilakukan

15 Konflik Permasalahan yang dihadapi antara NIOSH Generic Menyebarkan


Interpersonal responden dengan rekan kerja Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
akibat interaksi sosial yang tidak Questionnaire responden
terjalin dengan baik

16 Ketidakpastian Ketidakpastian mengenai masa NIOSH Generic Menyebarkan


Pekerjaan depan pekerjaan yang saat ini Job Stress kuesioner kepada Rata-rata skor Rasio
dilakukan oleh responden Questionnaire responden

17 Kurangnya Kurangnya otoritas responden NIOSH Generic Menyebarkan


Kontrol untuk melakukan kontrol terhadap Job Stress kuesioner kepada
pekerjaan yang dilakukannya Questionnaire responden Rata-rata skor Rasio
maupun hal-hal yang terkait
pekerjaannya

66
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

18 Kurangnya Rendahnya kesempatan pekerjaan NIOSH Generic Menyebarkan


Kesempatan yang tersedia di perusahaan lain Job Stress kuesioner kepada Rata-rata skor Rasio
Kerja Questionnaire responden

19 Jumlah Beban Banyaknya jumlah pekerjaan yang NIOSH Generic Menyebarkan


Kerja harus dilakukan oleh responden Job Stress kuesioner kepada
Questionnaire responden Rata-rata skor Rasio

20 Variasi Beban Beragam jenis pekerjaan yang NIOSH Generic Menyebarkan


Kerja diberikan kepada pekerja dengan Job Stress kuesioner kepada
tuntutan kemampuan yang berbeda- Questionnaire responden Rata-rata skor Rasio
beda

21 Tanggung Jawab Tanggung jawab yang harus NIOSH Generic Menyebarkan


Terhadap Orang dilakukan responden terhadap Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
Lain keamanan dan keselamatan pekerja Questionnaire responden
lain

22 Keterampilan Kemampuan yang dimiliki NIOSH Generic Menyebarkan


yang Tidak responden yang tidak digunakan Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
Digunakan dalam melaksanakan pekerjaan Questionnaire responden
yang dilakukannya

67
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

23 Tuntutan Mental Tuntutan pekerjaan yang berkaitan NIOSH Generic Menyebarkan


dengan kondisi mental Job Stress kuesioner kepada Rata-rata skor Rasio
Questionnaire responden

24 Shift Kerja Kerja bergilir yang dilakukan di NIOSH Generic Menyebarkan 1. Shift
luar waktu kerja yang normal Job Stress kuesioner kepada 2. Tidak Shift
Questionnaire responden Ordinal

25 Aktivitas di Luar Kegiatan yang dilakukan di luar NIOSH Generic Menyebarkan


Pekerjaan jam kerja yang berkaitan dengan Job Stress kuesioner kepada
Rata-rata skor Rasio
keluarga, pendidikan, maupun Questionnaire responden
kegiatan di lingkungan masyarakat

26 Dukungan Sosial Hubungan sosial responden yang NIOSH Generic Menyebarkan


terjalin dengan atasan, rekan kerja Job Stress kuesioner kepada Rata-rata skor Rasio
maupun kerabat Questionnaire responden

68
3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian

diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

2. Ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu,

ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja,

jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja

lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja)

dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

3. Ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada

pekerja di PT X tahun 2014

4. Ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di

PT X tahun 2014

69
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian

yang dilakukan untuk menguji kausal atau determinan suatu fenomena. Desain

studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja

yang dapat diukur pada saat yang bersamaan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Jumlah

pekerja berjumlah 113 orang. Berikut adalah data jumlah pekerja di

masing-masing departemen.

70
Tabel 4.1 Data Pekerja PT X

Nama Departemen Jumlah Pekerja

Departemen Produksi 41 orang

Departemen HR-GA 11 orang

Departemen Supply Chain 20 orang

Departemen Engineering & Maintenance 11 orang

Departemen Project & HSE 3 orang

Departemen Finance & Admin 7 orang

Departemen Sales & Marketing 7 orang

Departemen General Resource 5 orang

Departemen Lab 8 orang


Sumber: Departemen HR-GA PT X

4.3.2 Sampel

Besar sampel untuk uji hipotesis koefisien korelasi dapat digunakan

rumus sebagai berikut :

Dimana :

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Z = 1.96

Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10 %, maka Z = 1.28

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna. Ditetapkan sebesar 0.4

Dengan demikian,
71
Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban responden

maka jumlah sampel akan dilebihkan sebesar 10 % sehingga jumlah

sampel keseluruhan menjadi 69 responden.

4.3.3 Metode Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random

sampling. Systematic random sampling dilakukan agar jumlah sampel

yang didapatkan tersebar di seluruh departemen. Adapun perhitungan

interval untuk systematic random sampling yang akan dilakukan adalah

sebagai berikut:

72
Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan interval antar sampel

sebesar dua. Sehingga sampel pertama merupakan nama pertama yang

terdapat di dalam sampling frame dan untuk sampel selanjutnya akan

ditambahkan dua dari nomor urut sampel, yaitu nomor 1, 3, 5, 7, dst.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah NIOSH Generic

Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia.

Pemilihan kuesioner ini karena kuesioner ini memiliki variabel stress kerja yang

paling lengkap untuk diukur meliputi variabel yang mempengaruhi stress

maupun variabel indikator stress. Daftar pertanyaan yang terdapat di dalam

kuesioner tersebut terdiri dari 25 variabel penyebab stress dan 2 indikator stress

berupa perubahan psikologis dan fisiologis. Indikator stress berupa perubahan

perilaku tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan tidak sesuai untuk

mengukur stress pada responden di Indonesia.

Setiap item kuesioner menggunakan skala penilaian yang berbeda-beda,

ada yang menggunakan 5 skala Likert ada juga yang menggunakan 7 skala

Likert. Berikut ini adalah contoh pemberian skoring untuk 5 skala Likert seperti

dalam tabel 4.2

73
Tabel 4.2 Skoring Instrumen NIOSH Generic Job Stress

Questionnaire

Sangat
Contoh Tidak Sangat
Tidak Biasa Saja Setuju
Item Setuju Setuju
Setuju

Skor Item 1 2 3 4 5

Positif

Skor Item 5 4 3 2 1

Negatif

Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk variabel satu

misalnya rata-rata nilai yang didapatkan pada satu orang yaitu:

A1 + A2 + A3 + A4 + A5 +A6 + A7/7

Perhitungan nilai rata-rata untuk tiap individu dilakukan dengan

membagi antara skor total jawaban dengan jumlah pertanyaan yaitu sebesar 7.

Adapun contoh penghitungan total rata-rata dari rata-rata variabel 1 :

1. 5 orang mempunyai rata-rata skor untuk variabel 1 masing-masing sebagai

berikut : 2,67 ; 2,33 ; 2,44 ; 2,56 ; 2,67

2. Maka total rata-rata populasi adalah : (2,67 + 2,33 + 2,44 + 2,56 + 2,67)/5 =

2,53

3. Begitu seterusnya pada variabel-variabel lainnya.

74
4. Kemudian rata-rata tersebut nilainya akan dibandingkan dengan nilai

median dari setiap total rata-rata minimum dan maksimum untuk tiap

variabelnya.

Selain menggunakan kuesioner, instrumen yang juga digunakan dalam

penelitian ini adalah alat luxmeter, termohigrometer, dan alat ukur meteran. Alat

luxmeter digunakan untuk mengukur tingkat pencahayaan di lingkungan kerja.

Alat termohigrometer digunakan untuk mengukur suhu udara di lingkungan

kerja. Alat ukur meteran digunakan untuk mengukur panjang dan lebar ventilasi.

4.5 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

4.5.1 Validitas

Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat

ukur dapat mengukur objek secara tepat atau tidak. Pengujian validitas

kuesioner dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun

tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid tidak dapat digunakan untuk

dilakukan pengukuran dan pengujian. Pengujian validitas dapat

menggunakan rumus statistik koefisien korelasi product moment. Hasil

analisis yang didapatkan lalu dibandingkan dengan tabel r kritis product

moment. Item pertanyaan dapat dianggap valid jika hasil perhitungan

statistik > tabel r kritis product moment dan begitu juga sebaliknya

(Notoatmodjo, 2010). NIOSH Generic Job Stress Questionnaire disusun

untuk mengukur spesifik stressor dan efek stress yang timbul. Kuesioner

ini diadaptasi dari berbagai skala yang memiliki reliabilitas dan validitas

yang dapat dipercaya sehingga kuesioner ini dapat digunakan untuk

75
mengukur stress kerja pada berbagai jenis pekerjaan (Stroh, Northcraft, &

Neale, 2008).

4.5.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas biasanya menunjukkan

sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan

berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Pengujian

reliabilitas salah satunya dapat dilakukan dengan rumus statistik alpha

cronbach. Hasil analisis reliabilitas tersebut nantinya akan dibandingkan

dengan tabel r kritis product moment. Apabila hasil perhitungan statistik >

nilai tabel r kritis product moment maka alat ukur yang digunakan

dinyatakan reliabel (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan pada petugas

pemadam kebakaran di Iran menunjukkan nilai reliabilitas NIOSH Generic

Job Stress Questionnaire sebesar lebih dari 0,7 (Kazronian, Zakerian,

Saraji, & Hosseini, 2013). Sedangkan reliabilitas NIOSH Generic Job

Stress Questionnaire yang digunakan di Jepang memiliki nilai reliabilitas

lebih dari 0,68 (Yasuaki, Takeji, & Yoshihiro, 2012). Berdasarkan hasil uji

reliabilitas yang telah dilakukan didapatkan nilai alpha cronbach sebesar

0,804. Jika dibandingkan dengan nilai r kritis sebesar 0,6 maka kuesioner

ini sudah dianggap reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penelitian.

76
4.6 Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh

pekerja di PT X dan pengukuran tingkat pencahayaan dan suhu udara. Berikut

ini adalah teknik pengumpulan data masing-masing instrumen:

a. Pengisian kuesioner

Teknik pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner

kepada pekerja yang menjadi sampel penelitian ini dan terlebih dahulu

akan dijelaskan maksud dan tujuan penelitian serta cara pengisian

kuesioner.

b. Pengukuran tingkat pencahayaan

Pengukuran cahaya dilakukan pada area office dan plant. Pengukuran

cahaya dilakukan pada penerangan setempat, yaitu pada masing-masing

meja kerja responden. Pengukuran dilakukan menggunakan alat luxmeter.

Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi terlebih dahulu.

Kemudian alat tersebut akan diletakkan pada meja responden. Pengukuran

dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap meja dan hasil akhirnya merupakan

rata-rata dari ketiga pengukuran tersebut. Hasil akhir pengukuran dari

setiap meja akan dibandingkan dengan batas minimal pencahayaan

berdasarkan SNI 03-6197-200 mengenai konservasi energi pada sistem

pencahayaan. Adapun batas minimal pencahayaan pada masing-masing

ruang kerja adalah sebagai berikut:

1. Lobby : 100 lux

2. Ruang kerja : 350 lux

77
3. Laboratorium : 500 lux

4. Plant : 200lux

c. Pengukuran suhu udara

Pengukuran suhu udara dilakukan pada seluruh area kerja responden,

yaitu area office dan plant. Pengukuran dilakukan menggunakan

termohigrometer. Alat tersebut akan diletakkan di area kerja sekitar

pekerja dan didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit maka alat akan

menunjukkan suhu dan kelembaban udara sekitar. Hasil pengukuran akan

dibandingkan dengan persyaratan suhu dan kelembaban ruang kerja

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002,

yaitu suhu sebesar 18 28oC dan kelembaban sebesar 40 60 %.

d. Pengukuran ventilasi

Pengukuran ventilasi dilakukan pada seluruh area kerja responden yaitu di

area office. Pengukuran dilakukan menggunakan alat ukur meteran.

Pengukuran dilakukan untuk mengetahui luas ruangan serta luas ventilasi

yang terdapat di ruang kerja responden. Hasil pengukuran ini akan

dibandingkan dengan persyaratan ventilasi minimum berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002, yaitu luas

ventilasi minimum 15 % dari luas lantai.

2. Data Sekunder

Adapun data sekunder yang digunakan yaitu berupa data hasil

pengukuran kadar debu dan kebisingan milik Departemen HSE PT X. Berikut

adalah tata cara pelaksanaan pengukuran yang dilakukan:

78
a. Pengukuran kebisingan

Hasil pengukuran kebisingan yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh Departemen

HSE PT X pada bulan Desember 2013. Pengukuran kebisingan ini

dilakukan pada beberapa titik, yaitu depan office, mill 1, mill 3,

warehouse, dan kompresor. Pengukuran dilakukan menggunakan alat

Sound Level Meter. Hasil pengukuran kebisingan ini akan dibandingkan

dengan NAB kebisingan berdasarkan Permenaker No 13 Tahun 2011,

yaitu sebesar 85 dB.

b. Pengukuran kadar debu

Hasil pengukuran kadar debu yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan hasil pengukuran kadar debu yang dilakukan oleh Departemen

HSE PT X pada bulan Mei 2014. Pengukuran kadar debu ini dilakukan

pada 17 titik di lingkungan kerja. Pengukuran kadar debu dilakukan

dengan menggunakan alat AirChek XR500. Sebelum dilakukan

pengukuran, alat akan dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan calibration

jar. Kemudian alat tersebut dipasangkan dengan cassette yang berfungsi

sebagai wadah penampung debu. Setelah itu, alat tersebut akan diletakkan

di lingkungan kerja yang akan diukur selama 8 jam kerja. Setelah

pengukuran selesai dilakukan pada seluruh area maka hasilnya akan

dianalisis di laboratorium dan didapatkan hasilnya. Hasil analisis tersebut

akan dibandingkan dengan NAB kadar debu silika kristalin berdasarkan

Permenaker No 13 Tahun 2011, yaitu sebesar 0,5 mg/m3.

79
4.7 Pengolahan Data

1. Mengkode data (data coding)

Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban responden. Hal

ini dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah pengolahan

data selanjutnya. Coding dilakukan pada pada seluruh bagian dalam

kuesioner, yaitu:

Tabel 4.3 Daftar Kode dan Skoring Variabel

No Variabel Kode dan Skoring Keterangan

1 Jenis kelamin Laki-laki = 1 Jenis kelamin


perempuan lebih
Perempuan = 2
berisiko mengalami
stress kerja
2 Umur Umur responden dalam tahun Semakin muda usia
maka semakin berisiko
mengalami stress kerja
3 Status pernikahan Menikah = 1 Status tidak menikah
lebih berisiko
Tidak Menikah = 2
mengalami stress kerja
4 Jumlah Anak Jumlah anak saat ini Semakin banyak
jumlah anak maka
semakin berisiko
mengalami stress kerja
5 Masa Kerja Jumlah masa kerja dalam Semakin lama masa
bulan kerja maka semakin
berisiko mengalami
stress kerja
6 Kepribadian Tipe A Sangat tidak tepat = 1 Skor total 1-5
Tidak tepat = 2 Semakin tinggi skor
maka semakin
Netral =3
berhubungan dengan
Tepat =4 stress kerja
Sangat Tepat = 5
Untuk pernyataan yang
bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.

80
No Variabel Kode dan Skoring Keterangan

7 Penilaian Diri dan Sangat tidak setuju = 1 Skor total 1-5

Dukungan Sosial Tidak setuju = 2 Semakin rendah skor


variabel tersebut maka
Netral =3 semakin berhubungan
dengan stress kerja
Setuju =4
Sangat setuju = 5
Untuk pernyataan yang
bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.

8 Kebisingan Tidak Bising = 1 Kondisi bising memicu


terjadinya stress kerja
Bising = 2

9 Pencahayaan Baik = 1 Kondisi pencahayaan


yang buruk memicu
Buruk = 2 terjadinya stress kerja

10 Suhu Nyaman = 1 Kondisi suhu yang


tidak nyaman memicu
Tidak Nyaman = 2 terjadinya stress kerja

11 Ventilasi Baik = 1 Kondisi ventilasi yang


buruk memicu
Buruk = 2 terjadinya stress kerja

12 Konflik peran dan Sangat tidak tepat sekali = 1 Skor total 1 7

ketaksaan peran Sangat tidak tepat = 2 Semakin tinggi skor


variabel tersebut maka
Kurang tepat = 3 semakin berhubungan
dengan stress kerja
Tidak tepat = 4
Tepat = 5
Sangat tepat = 6
Sangat tepat sekali = 7
Untuk pernyataan yang
bersifat berlawanan maka
pemberian kode dibalik.

81
No Variabel Kode dan Skoring Keterangan

13 Konflik Sangat tidak setuju = 1 Skor total 1-5


interpersonal,
Tidak setuju = 2 Semakin tinggi skor
Ketidakpastian variabel tersebut maka
pekerjaan, Netral =3 semakin berhubungan
Kurangnya Kontrol, dengan stress kerja
Setuju =4
Kurangnya
Kesempatan Kerja, Sangat setuju = 5
Jumlah Beban
Pemberian kode ini juga
Kerja, Variasi dilakukan untuk skala sangat
Beban Kerja, tidak yakin sangat yakin,
Tanggung Jawab tidak pernah sangat sering,
terhadap Pekerja dan sangat tidak tepat sangat
Lain, Kemampuan tepat.
yang Tidak Untuk pernyataan yang
Digunakan bersifat berlawanan dengan
variabel maka pemberian kode
dibalik.

14 Tuntutan mental Sangat setuju = 1 Skor total 1-4


Agak setuju = 2 Semakin tinggi skor
Agak tidak setuju = 3 maka semakin
berhubungan dengan
Sangat tidak setuju = 4 stress kerja
Penyataan yang berlawanan
dengan kategori maka
pemberian kode dibalik

15 Shift Kerja Tidak Shift = 1 Pekerjaan yang memiliki


shift lebih berhubungan
Shift =2 dengan stress kerja

16 Aktivitas di Luar Ya = 1 Skor Total 0 5

Pekerjaan Tidak = 0 Semakin tinggi skor


maka semakin
Pertanyaan yang bersifat berhubungan dengan
negatif maka pemberian kode stress kerja
dibalik

82
2. Menyunting data (data editing)

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti

kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, dan konsistensi pengisian

jawaban kuesioner.

3. Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data dari hasil kuesioner yang sudah diberikan kode pada

masing-masing variabel. Data dimasukkan ke dalam program SPSS untuk

dianalisis univariat dan bivariat.

4. Membersihkan data (data cleaning)

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan ke program SPSS untuk

memastikan kelengkapan data dan siap untuk diolah dan dianalisis.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi

frekuensi dan persentase masing-masing variabel independen dan

dependen pada penelitian ini.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen. Analisis data yang

dilakukan menggunakan dua jenis uji yaitu uji Korelasi Pearson untuk

seluruh variabel kecuali variabel jenis kelamin, status pernikahan,

kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, dan shift kerja menggunakan uji

T-Test Independen karena jenis data yang akan diuji berupa data kategorik

dengan data numerik .

83
Adapun rumus uji korelasi adalah sebagai berikut:

Nilai korelasi biasanya berkisar antara -1 sampai dengan 1. Nilai r dapat

diartikan sebagai berikut:

r = 0 berarti tidak ada hubungan linear

r = -1 berarti hubungan linear negatif sempurna

r = 1 berarti hubungan linear positif sempurna

Sedangkan menurut Colton, kekuatan hubungan antara dua variabel dibagi

menjadi empat, yaitu:

r = 0 - 0,25 berarti tidak ada hubungan atau hubungan lemah

r = 0,26 0,50 berarti hubungan sedang

r = 0,51 0,75 berarti hubungan kuat

r = 0,76 1 berarti hubungan sangat kuat (Amran, 2012)

4.8.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang

paling dominan berhubungan terhadap variabel dependen. Analisis

multivariat yang akan dilakukan yaitu menggunakan analisis regresi linier

ganda. Analisis regresi linier ganda ini merupakan analisis hubungan

antara beberapa variabel independen dengan variabel dependen. Fungsi

dari analisis regresi linier ganda, yaitu memprediksi dan mengestimasi.

Fungsi prediksi yaitu untuk memperkirakan variabel dependen dengan

menggunakan informasi yang ada pada sebuah variabel. Sedangkan fungsi

84
estimasi yaitu untuk mengkuantifikasi hubungan sebuah atau beberapa

variabel independen dengan sebuah variabel dependen.

Untuk melakukan analisis multivariat maka harus dilakukan uji

asumsi analisis multivariat yang terdiri dari lima tahap, antara lain:

1. Asumsi Eksistensi

Asumsi ini berkaitan dengan teknik pengambilan sampel. Cara

mengetahui asumsi ini yaitu dengan melakukan analisis

deskriptif variabel residual dari model. Bila residual

menunjukkan adanya mean mendekati nol dan sebaran maka

asumsi ini terpenuhi.

2. Asumsi Independensi

Merupakan suatu kondisi dimana masing-masing nilai variabel

dependen bebas satu sama lain. Untuk mengetahui asumsi ini

dilakukan dengan uji Durbin Watson. Bila nilai uji Durbin

Watson berkisar antara nilai -2 hingga 2 berarti asumsi

independensi terpenuhi.

3. Asumsi Liniearitas

Nilai mean dari variabel dependen dapat membentuk kombinasi

X1, X2, X3, Xk yang terletak pada garis yang dibentuk dari

persamaan regresi. Untuk mengetahui asumsi liniearitas dapat

diketahui dari uji Anova bila hasilnya signifikan Pvalue < alpha

maka model berbentuk linier.

85
4. Asumsi Homoscedascity

Asumsi ini merupakan varian nilai varibel dependen sama untuk

semua nilai variabel independen. Untuk mengetahui asumsi ini

dilakukan dengan melakukan pembuatan plot residual. Bila titik

tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata di garis titik

nol maka dapat disebut varian homogen pada setiap variabel

independen yang artinya asumsi ini terpenuhi. Bila titik tebaran

membentuk pola tertentu maka variannya diduga terjadi

heteroscedascity.

5. Asumsi Normalitas

Pada asumsi ini variabel dependen mempunyai distribusi normal

untuk setiap pengamatan variabel independen. Asumsi ini dapat

diketahui dari nilai normal P-P plot residual. Bila data menyebar

di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka

model regresi memenuhi asumsi normalitas (Amran, 2012).

Analisis ini dilakukan dengan memasukkan kandidat variabel yang

dianalisis secara multivariat. Kandidat variabel tersebut merupakan

variabel yang memiliki nilai Pvalue < 0,25. Selanjutnya setelah dianalisis

secara bersamaan maka variabel yang dapat masuk ke dalam model

multivariat hanya variabel yang memiliki nilai Pvalue 0,05. Proses

pengeluaran variabel yang memiliki Pvalue > 0,05 dilakukan satu persatu

hingga semua variabel memiliki Pvalue 0,05. Setelah itu, seluruh

variabel yang masuk ke dalam model analisis multivariat akan dilakukan

86
uji asumsi. Kemudian dilanjutkan model matematis untuk memprediksi

variabel dependennya. Berikut adalah persamaan regresi yang diperoleh:

Y = a + bnxn

Keterangan:

Y : variabel dependen X : variabel independen

4.9 Penyajian Data

Penyajian data dilakukan untuk menyusun informasi secara baik dan

akurat sehingga memudahkan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian ini akan

disajikan dalam bentuk tabel disertai uraian mengenai isi tabel tersebut.

87
BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Umum Perusahaan

5.1.1 Profil Perusahaan

PT X merupakan anggota dari Sablieres et Carriere Reunies (SCR)-

S yang berpusat di Belgia. didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas

Emsens. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan mineral terutama

silika maka SCR-S mengembangkan usahanya hingga ke beberapa negara

termasuk salah satunya Indonesia.

Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT X yang masuk ke

dalam anggota regional Asia yang merupakan hasil kerja sama antara

UNIMIN Corporation (USA), SCR-S NV (Belgium) dan PT Lautan Luas

Tbk. (Indonesia). Hingga saat ini PT X yang berlokasi di Kawasan Industri

Jababeka I Cikarang Barat telah memiliki dua daerah penambangan yaitu

di Capkala (November 2003) sebagai tempat penambangan clay (tanah

liat) dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk

cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat, yaitu

Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar serta di

Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan

Juli 2011, PT X mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality

Management System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan

ISO 9001;2000 oleh LRQA (Lioyds Register Quality Assurance) dari

badan sertifikasi Amerika Serikat. Selanjutnya sertifikasi ISO 14001

mengenai sistem manajemen lingkungan dan OHSAS 18001 mengenai

88
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja baru didapatkan pada

bulan April 2013.

5.1.2 Visi dan Misi

1. Visi

To build and organization talents choose to work for and grow a

company customer want to associate with (Membangun talenta

organisasi yang bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi

kebanggaan).

2. Misi

a. Global Competencies (Berkompetensi Global)

b. Regional Resources (Sumber daya Regional)

c. Local Excellence (Keunggulan Lokal)

3. Nilai

a. We Grow People (Kami mengembangkan karyawan)

b. We Invest in Minerals Resources (Kami berinvestasi pada sumber

daya mineral)

c. We Partner Our Customer (Kami bekerja sama dengan pelanggan

kami.

5.1.3 Kebijakan K3

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan fokus utama

perusahaan ini dalam mengembangkan bisnis mereka. Slogan Safety

Starts With Me merupakan bukti komitmen mereka dalam mengajak para

89
karyawan untuk menerapkan perilaku selamat dimulai dari diri sendiri. PT

X juga berupaya dalam meminimalisasi dampak buruk dari proses

produksi yang dapat merugikan bahwa masyarakat dan lingkungan di

sekitarnya.

Sebagai bukti komitmen mereka dalam mengutamakan

keselamatan dan kesehatan kerja (K3), PT X memiliki tiga kebijakan

utama yang berkaitan dengan K3L, antara lain:

1. PT X adalah perusahaan di bidang industri mineral yang bertujuan

untuk memuaskan atau melebihi harapan pelanggan melalui

pengembangan secara terus menerus dalam kualitas produk dan

pelayanan

2. Perusahaan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan kerja untuk

mencegah insiden dan kesakitan, mencegah pencemaran lingkungan,

mengendalikan sumber daya, dan meningkatkan hubungan sosial

sebagai bagian yang utuh dari keseluruhan aktivitas

3. Manajemen berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas sistem

manajemen perusahaan secara terus menerus, menentukan dan

meninjau kembali target dan objektif perusahaan secara periodik, dan

memenuhi seluruh perundangan dan peraturan lainnya.

90
5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Stress Kerja

Pada penelitian ini stress kerja yang diteliti yaitu stress kerja akut

merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang

bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali

terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat

menghilang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis,

emosional, dan psikologis. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi

frekuensi pada variabel dependen stress kerja:

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel Mean SD Min-Max 95% CI n

Stress Kerja 1,42 0,37 0,71-2,6 1,33-1,51 69

Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan hasil distribusi frekuensi bahwa rata-rata

tingkat stress kerja yang dialami responden, yaitu sebesar 1,42 dengan

tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 1,33-1,51.

5.2.2 Faktor Individual

Pendeskripsian faktor individual yang berkaitan dengan stress kerja

terdiri dari tujuh variabel, antara lain jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian

diri. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi faktor individual

pada pekerja di PT X:

91
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan

Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel Kategori n %

Perempuan 9 13
Jenis Kelamin
Laki-laki 60 87

Tidak Menikah 15 21,7


Status Pernikahan
Menikah 54 78,3

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja,

Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel Mean SD Min - Max 95% CI n

Umur 33,09 6,09 20 - 48 31,62 33,09 69

Jumlah 1 0,91 0-3 0,71 1,15 69


Anak

Masa Kerja 71,64 57,94 2 - 200 57,72 85,56 69

Kepribadian 3,24 0,22 2,65 - 4 3,19 3,29 69


Tipe A

Penilaian 3,59 0,45 2,7 4,8 3,48 3,69 69


Diri

1. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa dari jumlah pekerja

laki-laki yang menjadi responden pada penelitian ini lebih banyak

dibandingkan pekerja perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (87 %)

dari 69 responden.

92
2. Status Pernikahan

Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang

telah berstatus menikah, yaitu sebanyak 54 responden (78,3 %) dari 69

responden.

3. Umur

Rata-rata umur responden, yaitu sebesar 33,09 tahun dengan tingkat

kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 31,62 33,09.

4. Jumlah Anak

Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden, yaitu sebesar 1 dengan

tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 0,71 1,15.

5. Masa Kerja

Rata-rata masa kerja yang telah dilalui oleh responden, yaitu sebesar

71,64 bulan dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai

57,72 85,56.

6. Kepribadian Tipe A

Rata-rata skor kepribadian tipe A yang dimiliki responden, yaitu

sebesar 3,24 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang

nilai 3,19 3,29.

7. Penilaian Diri

Rata-rata skor penilaian diri terhadap diri responden, yaitu sebesar 3,59

dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,48 3,69.

5.2.3 Faktor Pekerjaan

Pendeskripsian faktor pekerjaan yang berkaitan dengan stress kerja

terdiri dari enam belas variabel, antara lain kebisingan, pencahayaan, suhu,

93
ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja,

jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja

lain, kemampuan yang tidak digunakan, dan shift kerja. Berikut ini adalah

hasil analisis univariat faktor pekerjaan pada pekerja di PT X:

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi

dan Shift Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014

Variabel Kategori n %

Bising 32 46,4
Kebisingan
Tidak Bising 37 53,6

Buruk 17 24,6
Pencahayaan
Baik 52 75,4

Tidak Nyaman 38 55,1


Suhu
Nyaman 31 44,9

Buruk 48 69,6
Ventilasi
Baik 21 30,4

Shift 30 43,5
Shift Kerja
Tidak Shift 39 56,5

94
Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar

Debu dan Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014

Jenis
Hasil Pengukuran n %
Pengukuran

Sesuai standar 43 62,3


Kebisingan
Tidak sesuai standar 26 36,8

Sesuai standar 32 46,4


Pencahayaan
Tidak sesuai standar 37 53,6

Sesuai standar 41 59,4


Suhu
Tidak sesuai standar 28 40,6

Sesuai standar 69 100


Kadar Debu
Tidak sesuai standar 0 0

Sesuai standar 60 86,96


Ventilasi
Tidak sesuai standar 9 13,04

95
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel Mean SD Min - Max 95% CI n

Konflik
3,56 0,83 1 - 5,62 3,36 3,76 69
Peran

Ketaksaan
2,48 0,73 1 5,33 2,3 2,66 69
Peran

Konflik
2,27 0,63 1 3,94 2,12 2,42 69
Interpersonal

Ketidakpastia
2,7 0,91 1-5 2,48 2,92 69
n Pekerjaan

Kurangnya
2,93 0,75 1 4,88 2,75 3,11 69
Kontrol

Kurangnya
Kesempatan 3,29 0,8 1-5 3,09 3,48 69
Kerja

Jumlah
3,26 0,38 2,55 4,45 3,17 3,35 69
Beban Kerja

Variasi
3,62 0,59 2-5 3,48 3,76 69
Beban Kerja

Tanggung
Jawab
2,96 1,06 1-5 2,7 3,21 69
terhadap
Pekerja Lain

Kemampuan
yang Tidak 2,55 0,81 1-5 2,36 2,74 69
Digunakan

Tuntutan
3,09 0,4 2,2 - 4 2,99 3,19 69
Mental

96
1. Kebisingan

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

berpendapat bahwa area kerja mereka tidak bising, yaitu sebanyak 37

responden (53,6 %). Adapun berdasarkan tabel 5.5, dari hasil

pengukuran kebisingan yang dilakukan, jumlah responden yang bekerja

pada area tidak bising yaitu sebanyak 43 responden (62,3 %).

2. Pencahayaan

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

berpendapat bahwa pencahayaan di area kerja mereka baik, yaitu

sebanyak 52 responden (75,4 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran

pencahayaan pada tabel 5.5 didapatkan bahwa jumlah responden yang

bekerja di area kerja dengan tingkat pencahayaan tidak sesuai standar

mencapai 37 responden (53,6 %).

3. Suhu

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

berpendapat bahwa suhu udara di area kerja mereka tidak nyaman, yaitu

sebanyak 38 responden (55,1 %). Sedangkan dari hasil pengukuran

suhu udara pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa jumlah responden

yang bekerja di area kerja dengan suhu udara yang sesuai standar

mencapai 41 responden (59,4 %).

4. Ventilasi

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

berpendapat bahwa ventilasi di area kerja mereka buruk, yaitu sebanyak

48 responden (69,6 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran kadar

97
debu pada tabel 5.5 didapatkan bahwa seluruh responden (100%)

bekerja pada area kerja yang memiliki kadar debu pada tingkat yang

aman. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran ventilasi pada tabel 5.5

didapatkan bahwa 60 responden (86,96 %) berada pada ruang kerja

yang memiliki ventilasi sesuai dengan standar minimum luas ventilasi.

5. Shift Kerja

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

memiliki sifat pekerjaan yang tidak shift, yaitu sebanyak 39 responden

(56,5 %).

6. Konflik Peran

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik

peran yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,56 dengan tingkat

kepercayaan 95 % berada rentang nilai 3,36 - 3,76.

7. Ketaksaan Peran

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor ketaksaan

peran yang dimiliki responden, yaitu sebesar 2,48 dengan tingkat

kepercayaan 95 % berada pada rentang skor 2,3 2,66.

8. Konflik Interpersonal

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik

interpersonal yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,27 dengan

tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,12 2,42.

98
9. Ketidakpastian Pekerjaan

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor

ketidakpastian pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar

2,7 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,48 2,92.

10. Kurangnya Kontrol

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya

kontrol yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,93 dengan tingkat

kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,75 3,11.

11. Kurangnya Kesempatan Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya

kesempatan kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,29

dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,09 3,48.

12. Jumlah Beban Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor jumlah

beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,26 dengan

tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,17 3,35.

13. Variasi Beban Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor variasi

beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,62 dengan

tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,48 3,76.

14. Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tanggung

jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh responden, yaitu

99
sebesar 2,96 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,7

3,21.

15. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor

kemampuan yang tidak digunakan yang dimiliki oleh responden, yaitu

sebesar 2,55 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,36

2,74.

16. Tuntutan Mental

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tuntutan

mental yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,09 dengan

tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,99 3,19.

5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan

Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam

menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Aktivitas di luar

pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam,

seperti masalah keuangan, penikahan, kehidupan sosial, anak, dsb.

Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat

memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas

pekerjaannya. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor di luar

pekerjaan pada pekerja di PT X:

100
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada

Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel Mean SD Min-Max 95% CI n

Aktivitas di 2,19 1,17 0-5 1,91 2,47 69


Luar
Pekerjaan

Berdasarkan tabel 5.7 rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan yang

dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,19 dengan tingkat kepercayaan 95

% berada pada rentang nilai 1,91 2,47.

5.2.5 Faktor Dukungan Sosial

Hubungan yang baik antara individu dengan orang lain di

lingkungannya akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan

individu tersebut. Hal ini yang kemudian menjadikan dukungan sosial

yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dapat

terjadi dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya

faktor yang dapat menyebabkan stress. Berikut ini adalah hasil analisis

univariat faktor pendukung pada pekerja di PT X:

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel Mean SD Min-Max 95% CI n

Dukungan 3,87 0,67 2,12 - 5 3,71 4,03 69


Sosial

101
Berdasarkan tabel 5.8, didapatkan hasil bahwa rata-rata skor dukungan

sosial yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,87 dengan tingkat

kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,71 4,03.

5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Hubungan Antara Faktor Individual Dengan Stress Kerja

Faktor individual merupakan faktor instrinsik yang dapat

mempengaruhi munculnya stress kerja pada diri seseorang. Adapun faktor

individual yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja, yaitu jenis

kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian

tipe A, dan penilaian diri. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat

hubungan antara faktor-faktor individual dengan stress kerja pada pekerja

di PT X seperti pada tabel 5.9 dan 5.10

Tabel 5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Status Pernikahan

Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel Kategori Mean SD n 95% CI Pvalue

Perempuan 1,34 0,348 9


Jenis Kelamin -0,170,36 0,479
Laki-laki 1,43 0,374 60

Tidak
Status 1,39 0,32 15
Menikah -0,170,26 0,726
Pernikahan
Menikah 1,43 0,38 54

102
Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja,

Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Dengan Stress Kerja

Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel r Pvalue

Umur 0,034 0,784

Jumlah Anak -0,063 0,607

Masa Kerja -0,08 0,946

Kepribadian Tipe A 0,09 0,461

Penilaian Diri -0,323 0,007

1. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja laki-

laki yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai

standar deviasi sebesar 0,374. Sedangkan rata-rata pekerja perempuan

yang mengalami stress kerja hanya sebesar 1,34 dengan standar deviasi

sebesar 1,348. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas

sebesar 0,479 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak

terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan stress kerja.

2. Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

berstatus menikah yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43

dengan nilai standar deviasi sebesar 0,38. Sedangkan rata-rata pekerja

yang berstatus tidak menikah dan mengalami stress kerja hanya

103
sebesar 1,39 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji statistik

didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,726 sehingga pada tingkat

kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara status

pernikahan dengan stress kerja.

3. Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara umur

dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola

positif artinya semakin bertambah umur maka akan semakin meningkat

tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai

probabilitas sebesar 0,784 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak

terdapat hubungan antara umur dengan stress kerja.

4. Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

jumlah anak dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola

negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,607

artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara

jumlah anak dengan stress kerja.

5. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara masa

kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,946 artinya

pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara masa

kerja dengan stress kerja.

104
6. Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

kepribadian tipe A dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah kepribadian tipe

A maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,461 artinya

pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara

kepribadian tipe A dengan stress kerja.

7. Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

penilaian diri dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola

negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007

artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara

penilaian diri dengan stress kerja.

5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap munculnya stess kerja. Faktor pekerjaan yang dapat

memengaruhi stress kerja, meliputi kebisingan, pencahayaan, suhu,

ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal,

ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja,

jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja

lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja.

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor

105
pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.11

dan 5.12

Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu,

Ventilasi, dan Shift Kerja Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014

Variabel Kategori Mean SD n 95% CI Pvalue

Bising 1,46 0,42 32


Kebisingan -0,25-0,1 0,392
Tidak
1,38 0,32 37
Bising

Buruk 1,41 0,45 17


Pencahayaan -0,21-0,2 0,95
Baik 1,42 0,34 52

Suhu Tidak
1,5 0,43 38 -0,35- -
Nyaman 0,046
0,003
Nyaman 1,32 0,26 31

Ventilasi Buruk 1,47 0,39 48


-0,35-0,03 0,09
Baik 1,3 0,28 21

Shift Kerja Shift 1,41 0,39 30

Tidak -0,17-0,19 0,92


1,42 0,35 39
Shift

106
Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress
Kerja Pada Pekerja di PT X
Tahun 2014
Variabel r Pvalue

Konflik Peran 0,324 0,007

Ketaksaan Peran 0,245 0,043

Konflik Interpersonal 0,308 0,01

Ketidakpastian Pekerjaan 0,346 0,004

Kurangnya Kontrol - 0,209 0,085

Kurangnya Kesempatan Kerja 0,154 0,208

Jumlah Beban Kerja 0,375 0,001

Variasi Beban Kerja 0,16 0,19

Tanggung Jawab terhadap Pekerja


- 0,031 0,801
Lain

Kemampuan yang Tidak Digunakan - 0,061 0,617

Tuntutan Mental 0,097 0,428

1. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

mengalami stress kerja karena area kerja yang bising lebih besar yaitu

1,46 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,42. Sedangkan rata-rata

pekerja yang mengalami stress kerja karena area kerja yang tidak

bising hanya sebesar 1,38 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji

statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,392 sehingga pada

tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara

kebisingan dengan stress kerja.

107
2. Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

mengalami stress kerja akibat pencahayaan area kerja yang baik lebih

besar yaitu 1,42 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,34. Sedangkan

rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat pencahayaan area

kerja yang tidak baik hanya sebesar 1,41 dengan standar deviasi

sebesar 0,45. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas

sebesar 0,95 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak

terdapat hubungan antara pencahayaan dengan stress kerja.

3. Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

mengalami stress kerja akibat suhu area kerja yang tidak nyaman lebih

besar yaitu 1,5 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,43. Sedangkan

rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat suhu area kerja

yang nyaman hanya sebesar 1,32 dengan standar deviasi sebesar 0,26.

Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,046

sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti terdapat hubungan

antara suhu dengan stress kerja.

4. Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

mengalami stress kerja akibat ventilasi di area kerja yang buruk lebih

besar yaitu 1,47 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,39. Sedangkan

rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi kerja

yang baik hanya sebesar 1,3 dengan standar deviasi 0,28. Dari hasil uji

108
statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,09 sehingga pada

tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara

ventilasi dengan stress kerja.

5. Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang

mengalami stress kerja akibat bekerja tidak shift lebih besar yaitu 1,42

dengan nilai standar deviasi sebesar 0,35. Sedangkan rata-rata pekerja

yang mengalami stress kerja akibat bekerja secara shift hanya sebesar

1,41 dengan standar deviasi 0,39. Dari hasil uji statistik didapatkan

nilai probabilitas sebesar 0,92 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 %

berarti tidak terdapat hubungan antara shift kerja dengan stress kerja.

6. Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

konflik peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang

dan berpola positif artinya semakin meningkat konflik peran maka

akan semakin meningkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara konflik peran dengan

stress kerja.

7. Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

ketaksaan peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah ketaksaan peran

maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil

109
uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,043 artinya pada

tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara ketaksaan peran

dengan stress kerja.

8. Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

konflik interpersonal dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

sedang dan berpola positif artinya semakin bertambah konflik

interpersonal maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang

dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,01

artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara

konflik interpersonal dengan stress kerja.

9. Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan

yang sedang dan berpola positif artinya semakin bertambah

ketidakpastian pekerjaan maka akan semakin meningkat tingkat stress

kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas

sebesar 0,004 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat

hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja.

10. Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

kurangnya kontrol dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas

110
sebesar 0,085 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat

hubungan antara kurangnya kontrol dengan stress kerja.

11. Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress

Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja menunjukkan

hubungan yang berpola positif berarti semakin besar kurang

kesempatan kerja maka akan semakin tinggi tingkat stress kerja yang

dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar

0,208 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan

antara kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja.

12. Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

jumlah beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

sedang dan berpola positif artinya semakin banyak jumlah beban kerja

maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,001 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara jumlah beban kerja dengan

stress kerja.

13. Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

variasi beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

lemah dan berpola positif artinya semakin banyak variasi beban kerja

maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

111
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,19 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara variasi beban kerja

dengan stress kerja.

14. Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain

Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan stress kerja menunjukkan

hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai

probabilitas sebesar 0,801 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak

terdapat hubungan antara tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan

stress kerja.

15. Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan

Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

kemampuan yang tidak digunakan dengan stress kerja menunjukkan

hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai

probabilitas sebesar 0,617 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak

terdapat hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan

stress kerja.

16. Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara

tuntutan mental dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang

sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tuntutan mental

maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

112
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,428 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara tuntutan mental

dengan stress kerja.

5.3.3 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan aktivitas di luar

pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.13

Tabel 5.13 Hubungan Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress

Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014

Variabel r Pvalue

Aktivitas di Luar Pekerjaan 0,127 0,297

Berdasarkan tabel 5.13 didapatkan hasil bahwa hubungan antara aktivitas

di luar pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah

dan berpola positif artinya semakin banyak aktivitas di luar pekerjaan

maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Hasil uji

statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,297 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara aktivitas di luar

pekerjaan dengan stress kerja.

5.3.4 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara dukungan

sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.14

113
Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja

Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel r Pvalue

Dukungan Sosial - 0,231 0,056

Berdasarkan tabel 5.14 didapatkan hasil bahwa hubungan antara dukungan

sosial dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil

uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,056 artinya pada tingkat

kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan

stress kerja.

5.4 Analisis Multivariat

Untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap

stress kerja maka dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi linier

ganda. Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat

dengan model prediksi:

1. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat

Pada penelitian ini terdapat 25 variabel yang diduga memiliki pengaruh

terhadap stress kerja, yaitu faktor individual (jenis kelamin, umur, status

pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian

diri), faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik

peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,

kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja,

variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan

yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja), faktor aktivitas di

114
luar pekerjaan, dan faktor dukungan sosial. Untuk pemilihan kandidat

variabel yang akan dimasukkan ke dalam model prediksi uji regresi linier

ganda, seluruh variabel tersebut dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu

dengan variabel dependen. Setelah analisis bivariat dilakukan maka

variabel yang memiliki Pvalue < 0,25 akan menjadi variabel kandidat yang

dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Hasil analisis bivariat antara

variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas

di Luar Pekerjaan dan Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Pada

Pekerja di PT X

Tahun 2014

No Variabel Pvalue
1 Faktor Individual
Jenis Kelamin 0,479
Umur 0,784
Status Pernikahan 0,726
Jumlah Anak 0,607
Masa Kerja 0,946
Kepribadian Tipe A 0,461
Penilaian Diri 0,007
2 Faktor Pekerjaan
Kebisingan 0,392
Pencahayaan 0,95
Suhu 0,046
Ventilasi 0,09
Konflik Peran 0,007
Ketaksaan Peran 0,043
Konflik Interpersonal 0,01

115
Ketidakpastian Pekerjaan 0,004
Kurangnya Kontrol 0,085
Kurangnya Kesempatan Kerja 0,208
Jumlah Beban Kerja 0,001
Variasi Beban Kerja 0,19
Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain 0,801
Kemampuan yang Tidak Digunakan 0,617
Tuntutan Mental 0,428
Shift Kerja 0,92
3 Aktivitas di Luar Pekerjaan 0,297
4 Dukungan Sosial 0,056

Berdasarkan tabel di atas terdapat 12 variabel yang memiliki Pvalue <

0,25, yaitu penilaian diri, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran,

konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol,

kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, dan

dukungan sosial. Dengan demikian, variabel-variabel tersebut masuk ke

dalam model prediksi uji regresi linier ganda.

2. Pembuatan model faktor yang paling dominan berhubungan secara statistik

dengan variabel stress kerja

Dalam pemodelan ini, semua variabel kandidat dianalisis secara

bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selajutnya adalah

variabel yang memiliki pvalue 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki

pvalue > 0,05 dikeluarkan dari model. Pengeluaran model akan dilakukan

secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki pvalue paling besar.

Berikut adalah hasil pembuatan model faktor penentu pada tabel 5.16

116
Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat

Pvalue
Variabel
1 2 3 4 5 6 7 8
Penilaian Diri 0,125 0,118 0,117 0,118 0,125 0,143 0,071 -
Suhu 0,106 0,103 0,1 0,102 0,097 0,102 0,05 0,026
Ventilasi 0,75 0,748 0,715 0,672 - - - -
Konflik Peran 0,73 0,727 0,746 - - - - -
Ketaksaan Peran 0,979 - - - - - - -
Konflik
0,08 0,068 0,054 0,038 0,033 0,036 0,049 0,011
Interpersonal
Ketidakpastian
0,622 0,616 0,588 0,6 0,618 - - -
Pekerjaan
Kurangnya
0,167 0,161 0,16 0,167 0,184 0,211 - -
Kontrol
Kurangnya
Kesempatan 0,011 0,01 0,006 0,006 0,006 0,005 0,008 0,001
Kerja
Jumlah Beban
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Kerja
Variasi Beban
0,052 0,049 0,044 0,042 0,04 0,044 0,047 0,038
Kerja
Dukungan
0,875 0,873 - - - - - -
Sosial

Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa variabel yang

dominan berhubungan dengan stress keja, yaitu suhu, konflik

interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan

variasi beban kerja. Hasil analisis multivariat variabel tersebut dapat

dilihat pada tabel 5.17

117
Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat

R Partial
Variabel R Pvalue
Square Correlation

Suhu 0,171 0,277

Konflik
0,156 0,315
Interpersonal

Kurangnya
Kesempatan 0,171 0,404
0,621 0,386 0,000 -1,117
Kerja

Jumlah Beban
0,623 0,482
Kerja

Variasi Beban
-0,188 -0,258
Kerja

Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa:

1. Hubungan antara variabel tersebut dengan stress kerja memiliki hubungan

yang kuat dan berpola positif sehingga semakin tinggi suhu, konflik

interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi

beban kerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para

pekerja.

2. Nilai koefisien determinannya adalah 0,386 yang berarti model regresi yang

diperoleh dapat menerangkan 38% variasi stress kerja.

3. Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis di atas yaitu sebesar 0,000 artinya

pada tingkat kepercayaan 5% dapat dinyatakan bahwa model regresi fit

dengan data yang ada.

118
4. Persamaan garis yang diperoleh dari hasil analisis ini adalah sebagai berikut:

Y = + x

Stress kerja = -1,117 + 0,171 (Suhu) + 0,156 (Konflik Interpersonal) + 0,171

(Kurangnya Kesempatan Kerja) + 0,623 (Jumlah Beban

Kerja) 0,188 (Variasi Beban Kerja)

Artinya dari persamaan garis tersebut, yaitu

a. Setiap kenaikan suhu sebesar 1oC maka stress kerja akan lebih besar

sebesar 0,171 kali.

b. Setiap bertambahnya konflik interpersonal yang terjadi maka stress kerja

akan lebih besar sebesar 0,156 kali.

c. Setiap semakin sedikitnya kesempatan kerja yang diberikan maka stress

kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,171 kali.

d. Setiap semakin banyaknya jumlah beban kerja yang diberikan maka

stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,623 kali.

e. Setiap penurunan variasi beban kerja maka stress kerja yang dialami

akan lebih rendah sebesar 0,188 kali.

5. Berdasarkan hasil partial correlation didapatkan hasil bahwa variabel yang

paling dominan berhubungan dengan peningkatan stress kerja adalah

variabel jumlah beban kerja.

119
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Jumlah pertanyaan yang terlalu banyak dapat membuat responden merasa

kelelahan sehingga tidak fokus dalam mengisi kuesioner tersebut tetapi hal ini

telah ditangani dengan melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu.

2. Kuesioner yang digunakan menggunakan tipe self-report sehingga

memungkinkan pekerja untuk tidak mengisinya tidak sesuai dengan kondisi

aktual.

3. Analisis multivariat menggunakan uji regresi linier ganda untuk variabel

dependen yang tidak normal seharusnya menggunakan uji analisis yang lain.

4. Keterbatasan jumlah sampel mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi klasik

untuk dilakukannya uji regresi linier ganda.

5. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau sehingga memungkinkan

terjadinya bias recall terhadap persepsi pekerja mengenai suhu udara saat

musim hujan.

6.2 Stress Kerja

Dalam penelitian ini, pengukuran stress kerja dilakukan dengan melihat

hubungan dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya stress

kerja baik berupa faktor individual, faktor pekerjaan, faktor di luar pekerjaan

maupun faktor pendukung. Pengukuran berbagai faktor tersebut dilakukan

dengan mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman yang

dirasakan oleh responden terhadap berbagai faktor yang mereka hadapi selama

bekerja.

120
Secara umum, gejala stress kerja yang dialami seseorang dapat terlihat

dari berbagai perubahan, baik psikologis, fisiologis, dan perilaku (NIOSH,

1999b). Hasil penelitian mengenai gambaran stress kerja pada pekerja di PT X

tahun 2014 berada pada tingkat yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil

distribusi frekuensi stress kerja yang dialami responden, nilai rata-rata skor

stress kerja dari seluruh responden yaitu sebesar 1,42 dengan nilai minimum

sebesar 0,71 dan nilai maksimum sebesar 2,6. Jika rata-rata skor stress kerja

yang didapatkan dibandingkan dengan median rata-rata total skor sebesar 2

maka rata-rata skor yang didapatkan dalam penelitian ini masih di bawah nilai

rata-rata total skor. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat stress

kerja yang dialami oleh para responden tidak terlalu tinggi.

Meskipun rata-rata tingkat stress kerja yang dialami para responden

cenderung tidak tinggi tetapi faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan

tingkat stress kerja tersebut secara statistik terbukti berhubungan signifikan

dengan faktor pekerjaan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, terdapat lima

variabel yang masuk ke dalam model multivariat, yaitu suhu, konflik

interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi

beban kerja. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen sebaiknya

melakukan langkah pencegahan dan pengendalian untuk dapat mengurangi

tingkat stress kerja yang dialami para pekerja mereka.

Stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak jangka panjang

dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi dengan

baik (Perlmutter & Villoldo, 2011). Berdasarkan hasil studi kohort yang

dilakukan pada populasi MONICA/KORA di Jerman menunjukkan bahwa

121
pekerja sehat yang mengalami paparan stress di tempat kerja secara signifikan

mengalami peningkatan tekanan darah dan menghadapi risiko penyakit jantung

dua kali lebih besar. Selain itu, dari penelitian ini juga ditemukan bahwa stress

akibat kerja dapat memicu dampak psikologis yang berbahaya, seperti depresi,

gangguan tidur, dan berbagai perilaku tidak sehat lainnya (Emeny, 2013).

Selain berdampak bagi kesehatan pekerja, stress kerja yang dialami oleh

para pekerja juga dapat berdampak bagi perusahaan. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan pada pekerja di Malaysia didapatkan hasil bahwa

stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak besar pada kepuasan

kerja yang dirasakan para pekerja. Selain itu, kepuasan kerja ini yang kemudian

dapat meningkatkan terjadinya absenteisme dan turnover pekerja di suatu

perusahaan (Yahaya, Yahaya, Amat, Bon, & Zakariya, 2010). Pada penelitian

lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta dan negeri di Yunani

ditemukan bahwa meningkatnya stress kerja yang dialami para pekerja

berdampak secara signifikan terhadap menurunnya produktivitas perusahaan.

Hal ini dapat terjadi ketika pekerjaan yang mereka miliki sudah mulai

mengganggu kehidupan pribadi pekerja maka hal ini akan berdampak negatif

bagi produktivitas perusahaan (Halkos & Bousinakis, 2010).

6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan

stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko

mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress

serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, respon

122
perempuan dan laki-laki dalam menghadapi stress juga cenderung berbeda

(Bickford, 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah responden yang

berjenis kelamin perempuan (13 %) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

responden laki-laki (87 %). Pekerja perempuan biasanya mengalami stress kerja

yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini terjadi

dikarenakan keunikan sumber stress yang biasanya dihadapi oleh pekerja

perempuan di tempat kerja, seperti gaji yang kecil, diskriminasi, stereotip,

konflik pernikahan maupun di tempat kerja (Crandall & Perrewe, 1995). Selain

itu, menurut Almeida et al (2003), efek stress kerja pada pekerja perempuan

akan lebih merusak kesehatan dibandingkan dengan pekerja laki-laki (Aldwin,

2007).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel jenis kelamin tidak

berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan rata-rata stress kerja yang dialami pekerja laki-

laki (1,43) dan perempuan (1,34) tidak begitu signifikan sehingga hal ini dapat

mengakibatkan tidak terdapat perbedaan tingkat stress kerja pada pekerja

berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan yang tidak signifikan ini dapat disebabkan

tidak terdapatnya perbedaan jumlah beban kerja antara kedua jenis kelamin

tersebut sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi stress kerja yang mereka

alami. Padahal menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress

yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya

keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang

menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu peranan dalam

123
merawat keluarga, kemampuan mengontrol pekerjaan yang rendah, semakin

banyaknya perempuan menduduki jabatan penting, serta adanya diskriminasi

terhadap perempuan (Bickford, 2005).

Kesulitan untuk mengidentifikasi pengaruh jenis kelamin terhadap

perbedaan stress yang dialami pekerja berkaitan dengan permasalahan sampling

yang seringkali sulit mendapatkan sampel seimbang baik dari segi jumlah

maupun jabatan. Sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan di antara

kedua jenis kelamin tersebut. Pada penelitian ini terjadi hal yang demikian,

dimana jumlah pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan berada pada jumlah

yang sangat berbeda. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan stress kerja

antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan.

Selama ini bukti mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap gejala stress

kerja yang terjadi di tempat kerja sangat sedikit. Perbedaan yang terlihat dari

individu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya mekanisme coping.

Saat mengalami kondisi stress, pekerja perempuan cenderung mengalami

perubahan secara psikologis sedangkan pekerja laki-laki cenderung mengalami

perubahan secara fisik (Crandall & Perrewe, 1995).

Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi para pekerja

sebaiknya berusaha mengatur stress yang mereka alami dengan cara mengatur

waktu yang baik dalam menyelesaikan tugas dan mengontrol situasi antara

pekerjaan dengan kehidupan pribadi sehingga keduanya tidak menimbulkan

stress kerja khususnya bagi pekerja perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi.

Dengan melakukan langkah pencegahan ini diharapkan tidak akan terjadi stress

kerja terutama pada pekerja perempuan di kemudian hari.

124
6.4 Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja

Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

stress yang dialami oleh seseorang. Meskipun demikian, penelitian mengenai

pengaruh umur terhadap tingkat stress kerja masih belum jelas dan hasilnya

seringkali berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada

pekerja industri di Jerman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

umur dengan gejala stress akut (Rauschenbach, Krumm, Thielgen, & Hertel,

2013). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada perawat menunjukkan

bahwa pekerja yang berusia tua berhubungan secara signifikan dengan terjadinya

stress kerja (Golubic, Milosevic, Knezevic, & Mustajbegovic, 2009).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata umur pekerja adalah sebesar

33,09. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rauschenbach dan Hertel

(2011), hubungan antara umur dengan tingkat stress kerja membentuk kurva U

terbalik. Tingkat stress yang dialami pekerja muda (< 35 tahun ) cenderung

rendah dan mulai mengalami peningkatan hingga mencapai puncak stress kerja

pada pekerja usia menengah (36-50 tahun) kemudian mengalami penurunan

stress ketika pekerja memasuki golongan usia tua (> 50 tahun). Perbedaan

tingkat stress ini dipengaruhi oleh tuntutan kerja yang cenderung berbeda pada

masing-masing kelompok umur sehingga menghasilkan tingkat stress kerja yang

berbeda-beda (Schlick, Frieling, & Wegge, 2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan bahwa variabel umur

berhubungan lemah dan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa

peningkatan umur seseorang akan semakin meningkatkan tingkat stress kerja

yang dialami para pekerja. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang

125
dilakukan oleh Hansson et al (2001) yang menemukan bahwa tingkat stress kerja

yang dialami oleh pekerja berumur tua biasanya cenderung rendah. Hal ini

dikarenakan pada pekerja berusia tua, mereka sudah cenderung lebih matang

sehingga memiliki kemampuan mengolah stress lebih baik dibandingkan dengan

pekerja berusia muda (Hansson, Robson, & Limas, 2001).

Meskipun berhubungan secara positif tetapi variabel umur tidak

berhubungan signifikan dengan variabel stress kerja. Hal ini dapat terjadi karena

faktor umur tidak mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja

secara signifikan. Pekerja berumur tua cenderung mengalami stress yang lebih

tinggi akibat beban kerja dan tanggung jawab yang besar (Juneja, 2004). Pada

penelitian ini, faktor tanggung jawab dan beban kerja yang harus diemban oleh

pekerja tidak dipengaruhi oleh umur. Baik pekerja yang berusia muda maupun

tua memiliki beban kerja yang tidak berbeda sehingga variabel umur tidak

berpengaruh dengan tingkat stress kerja.

6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja

Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang.

Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih

rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi

dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya

maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari

pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress

hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan

baik.

126
Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pekerja yang berstatus

menikah (78,3 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang berstatus

tidak menikah (21,7 %). Status sebuah hubungan terhadap kesehatan merupakan

suatu hal yang penting. Akan tetapi, kualitas hubungan tersebut juga

berhubungan dengan kesehatan seseorang. Kebahagiaan sebuah pernikahan

merupakan salah satu cara memprediksi kebahagiaan secara global sehingga

dapat dikatakan bahwa pernikahan yang tidak bahagia akan menyebabkan stress

yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Ogden,

2012).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat

hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja yang dialami para pekerja

di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan rata-rata pekerja yang mengalami stress

kerja baik pada pekerja yang sudah menikah (1,43) maupun belum menikah

(1,39) juga tidak berbeda secara signifikan. Tingkat stress kerja yang cenderung

tidak berbeda ini dapat terjadi karena sama tingginya faktor pekerjaan baik pada

pekerja yang sudah menikah maupun belum menikah sehingga membuat kedua

kelompok pekerja tersebut memiliki tingkat stress kerja yang tidak jauh berbeda.

Hal ini yang kemudian mengakibatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara status pernikahan dengan stress kerja.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

terhadap pekerja kesehatan dimana terdapat hubungan antara status pernikahan

dengan stress kerja. Pekerja yang berstatus menikah cenderung mengalami stress

lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini terjadi

dikarenakan pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional

127
dari pasangannya yang tidak didapatkan oleh pekerja yang tidak menikah

sehingga stress kerja yang dialami cenderung lebih rendah (Olatunji & Mokuolu,

2014).

Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara status pernikahan

dengan stress kerja juga dapat disebabkan pada pekerja yang sudah menikah

dimana terdapat dukungan yang diberikan pasangan tidak terlalu berpengaruh

terhadap stress yang dialami akibat pekerjaannya. Sehingga tingkat stress kerja

baik pada pekerja yang berstatus menikah maupun tidak menikah tidak terlalu

dipengaruhi oleh adanya keberadaan pasangan.

6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja

Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai penyatu

hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak kehadiran anak dalam

sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan.

Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi

pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini

seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh para

pekerja berjumlah satu orang. Memiliki anak berarti bahwa pekerja memiliki

tugas tambahan untuk merawat anak mereka di rumah. Menurut Sonnentag

(2001), aktivitas merawat anak merupakan salah satu aktivitas dapat

mempengaruhi tingkat stress seseorang (Sonnentag, Perrewe, & Ganster, 2009).

Dalam beberapa keluarga, pertambahan jumlah anak dapat membuat tingkat

stress menjadi sangat tinggi (Vajdi, 1991).

128
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa jumlah anak

berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh

para pekerja di PT X. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian

Twenge et al (2005) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak lebih

dari dua akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah serta tingginya

stress yang dirasakan oleh orang tua (Hess, 2008).

Dalam penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara jumlah anak

dengan stress kerja dapat terjadi dikarenakan jumlah anak yang dimiliki rata-rata

dalam jumlah yang sedikit, yaitu satu orang. Sehingga apabila terdapat efek

stress yang timbul akibat jumlah anak maka tingkat stress yang terjadi tidak

terlalu signifikan berbeda dengan pekerja yang belum memiliki anak. Adapun

stress yang dialami para pekerja lebih mungkin berasal dari faktor pekerjaan

seperti tingginya jumlah beban kerja.

6.7 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja

Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi

permasalahan di tempat kerja. Masa kerja yang berhubungan dengan stress kerja

berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah

bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan kerja yang

lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru. Kejenuhan ini yang kemudian

dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat kerja (Munandar, 2001).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata pekerja memiliki masa kerja selama

71,64 bulan. Semakin lama masa kerja akan menyebabkan tingkat stress kerja

yang dialami seseorang semakin tinggi. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih

lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan

129
dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit sehingga pekerja yang

memiliki masa kerja lebih lama akan mengalami stress yang lebih tinggi

(Harigopal, 1995).

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel masa

kerja berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini berlawanan

dengan penelitian Frone (1998) yang menemukan bahwa semakin lama masa

kerja seseorang maka semakin tinggi stress kerja yang dialami seseorang. Hal ini

dikarenakan seseorang dengan masa kerja yang lama cenderung memiliki

pengalaman kerja yang baik sehingga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang

lebih besar (Barling et al., 2005). Sedangkan pada penelitian ini, masa kerja

tidak berhubungan dengan stress kerja bisa terjadi dikarenakan besarnya

tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja tidak tergantung pada masa

kerja. Pekerja baru maupun lama tidak memiliki perbedaan beban kerja yang

signifikan. Oleh karena itu, lama atau baru masa kerja pekerja tidak dapat

mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami pekerja di PT X.

6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja

Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat kompetitif,

ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu dengan tipe kepribadian

ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka tanpa mempedulikan perasaan

bahagia dalam diri mereka. Individu yang memiliki tipe kepribadian ini

cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang

tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah

sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya

(McLeod, 2011).

130
Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,24 dengan

nilai minimum sebesar 2,65 dan nilai maksimum sebesar 4. Jika dibandingkan

dengan total skor sebesar 1 5 maka rata-rata tersebut sudah melebihi nilai

median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor ini memiliki kecenderungan yang

tinggi. Seseorang yang memiliki kepribadian tipe A memiliki pola orientasi

untuk berprestasi dan berkompetisi, dan tidak sabar yang terlihat melalui sifat

agresif dan bermusuhan dengan orang lain. Menurut Maslach et al (2001)

kepribadian tipe A sangat berhubungan dengan kelelahan. Kepribadian tipe A

memicu ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kepribadian tipe A dapat memicu

terjadinya stress kerja yang tinggi ketika kontrol terhadap pekerjaan rendah.

Pekerja dengan kepribadian tipe A cenderung mengambil tanggung jawab lebih

besar yang mengakibatkan beban kerja berlebih dan ketegangan secara

psikologis (Pestonjee & Pandey, 2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa variabal

kepribadian tipe A berhubungan positif dengan stress kerja sehingga

peningkatan sikap yang berkaitan kepribadian tipe A akan semakin

meningkatkan stress kerja yang dialami. Meskipun demikian, variabel

kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan guru sekola

di Haryana yang menunjukkan bahwa kepribadian tipe A dapat memicu

terjadinya burnout (Kumari, 2008). Selain itu dalam penelitian lainnya yang

dilakukan pada pekerja sektor swasta menemukan bahwa kepribadian tipe A

berhubungan stress kerja yang mengakibatkan timbulnya kelelahan dalam

bekerja (Aghaei, Asadollahi, Moezzi, Beigi, & Parvinnejad, 2013). Pada

131
penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kepribadian tipe A dengan

stress kerja bisa terjadi dikarenakan baik pekerja yang memiliki kepribadian tipe

A maupun tidak memiliki tingkat stress kerja yang hampir sama sehingga stress

kerja yang dialami bukan dipengaruhi faktor kepribadian tipe A melainkan

faktor pekerjaan lainnya.

6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja

Penilaian diri adalah persepsi individu terhadap kemampuan,

keberhasilan, dan kelayakan dirinya. Penilaian individu terhadap dirinya dapat

mempengaruhi perilaku (Resnick, 2004). Penilaian diri dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam mengatasi tekanan yang berasal dari lingkungan.

Ketika penilaian seseorang terhadap dirinya baik maka orang tersebut akan

berusaha untuk menghadapi dan mengatasi setiap peristiwa yang dihadapinya

sehingga tingkat stress yang dialaminya cenderung rendah dan begitu juga

sebaiknya (Wijono, 2010).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,59 dengan

nilai minimum sebesaar 2,7 dan nilai maksimum sebesar 4,8. Jika dibandingkan

dengan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai

median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor pada variabel ini memiliki

kecenderungan yang tinggi. Penilaian diri yang rendah sangat mungkin

meningkatkan risiko tress yang dialami seseorang terutama ketika tuntutan

pekerjaan dan konflik yang dimiliki cukup tinggi (Lundberg & Cooper, 2011).

Selain mempengaruhi tingkat stress, penilaian diri juga dapat mempengaruhi

pemilihan metode coping tetapi kesuksesan atau kegagalan coping yang

132
dilakukan juga dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang (Aneshensel,

Phelan, & Bierman, 2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel penilaian diri berhubungan

negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Hasil penelitian ini

tidak sejalan dengan hasil penelitian Baumeister et al (2003) yang menemukan

bukti bahwa penilaian diri yang baik dapat membantu mengatasi stress dan

mencegah kegelisahan ketika mengalami stress bahkan trauma sekalipun (Mruk,

2006). Variabel ini tidak berhubungan dikarenakan meskipun pekerja menilai

mereka memiliki kemampuan diri yang baik tetapi penilaian diri tersebut tidak

mampu mengurangi perasaan stress yang dialami pekerja faktor pekerjaan yang

tinggi. Sehingga hal ini mengakibatkan penilaian diri tidak berhubungan secara

signifikan dengan stress kerja.

Penilaian diri yang dimiliki para pekerja sudah cenderung baik. Oleh

karena itu, sebaiknya para pekerja tetap berusaha mempertahankan penilaian diri

yang baik ini. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penurunan penilaian terhadap

diri sendiri yang dapat berdampak pada meningkatnya stress kerja.

6.10 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja

Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat

kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling

tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei

didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah

kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya, pencahayaan dan suhu

(ILO, 2003).

133
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang

merasakan tempat kerja mereka bising (46,4%) lebih rendah dibandingkan

dengan pekerja yang merasakan bahwa tempat kerja mereka tidak bising (53,6

%). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kebisingan di

tempat kerja didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang terpapar kebisingan

seharusnya hanya berjumlah 37,6%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pekerja yang seharusnya tidak terpapar kebisingan tetapi menganggap bahwa

tempat kerjanya bising. Karakteristik personal mempengaruhi respon seseorang

terhadap kebisingan yang dihadapinya. Seseorang yang menganggap tempat

kerja mereka bising biasanya memiliki perasaan yang mudah gelisah. Meskipun

demikian, kebisingan dapat diartikan berbeda pada setiap orang baik dari segi

intensitasnya, frekuensi mauun reaksinya tergantung dari pengalaman subjektif

yang pernah dirasakan orang tersebut (Sutherland & Cooper, 2010).

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa kebisingan

tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami para

pekerja di PT X. Hal ini bisa terjadi dikarenakan jumlah responden yang

menganggap tempat kerja mereka bising lebih sedikit dibandingkan dengan

pekerja yang menganggap tempat kerja mereka tidak bising. Sehingga tidak

terlihat adanya pengaruh signifikan dengan adanya kebisingan terhadap stress

kerja yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen terus berupaya

untuk mengendalikan tingkat kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja yang

diupayakan dengan melakukan pengendalian teknis untuk mencegah terjadinya

stress kerja akibat tingkat kebisingan yang tinggi.

134
6.11 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja

Pencahayaan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di

lingkungan kerja. Tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan

dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala,

kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang

kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan

pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout,

2002).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang

menganggap tempat kerja mereka memiliki pencahayaan baik (75,4) lebih

banyak dibandingkan dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat

kerja mereka buruk (24,6%). Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran tingkat

pencahayaan di tempat kerja, seharusnya pekerja yang terdapat di tempat kerja

dengan pencahayaan baik hanya sebesar 46,37 %. Hal ini menunjukkan bahwa

persepsi pekerja terhadap kondisi pencahayaan yang baik lebih tinggi

dibandingkan dengan kondisi aktual. Meskipun persepsi pekerja terhadap

pencahayaan di tempat kerja mereka baik tetapi tingkat pencahayaan yang

tidak baik dapat memicu terjadinya ketegangan pada otot mata, kerusakan

mata, kelelahan mata, sakit kepala, dan frustasi (Sutherland & Cooper, 2010).

Oleh karena itu, tingkat pencahayaan yang efektif harus diterapkan karena

pencahayaan yang efektif dapat mengurangi stress pada pekerja dan

meningkatkan kepuasan kerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja

(Leavitt & Leavitt, 2011).

135
Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan stress kerja yang dialami

para pekerja di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan tidak terdapat perbedaan rata-

rata yang signifikan antara pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat

kerja mereka baik (1,42) dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di

tempat kerja mereka buruk (1,41). Sehingga tingkat stress kerja yang dialami

pekerja tidak dipengaruhi oleh faktor pencahayaan di tempat kerja.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap

pencahayaan di tempat kerja mereka cenderung baik. Akan tetapi, jika melihat

hasil pengukuran cahaya yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar tempat kerja masih memiliki tingkat pencahayaan di bawah batas

minimal pencahayaan untuk tempat kerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak

manajemen melakukan perbaikan pencahayaan di tempat kerja agar sesuai

dengan batas minimal pencahayaan baik untuk lobby 100 lux, ruang kerja 350

lus, laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux dengan menggunakan

pencahayaan alami maupun dengan pencahayaan buatan. Langkah perbaikan

ini dilakukan untuk mencegah efek jangka panjang bagi kesehatan pekerja

akibat pencahayaan yang buruk.

6.12 Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja

Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda.

Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi

suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas,

terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan

kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu,

136
lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat

ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian

kecelakaan (Rose, 1994).

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang merasakan

suhu di tempat kerja tidak nyaman (55,1 %) lebih banyak dibandingkan dengan

pekerja yang merasakan suhu di tempat kerja mereka nyaman (44,9 %).

Padahal berdasarkan hasil pengukuran suhu udara didapatkan hasil sebanyak

59,4 % pekerja bekerja pada ruangan dengan suhu udara yang nyaman. Hal ini

membuktikan bahwa persepsi pekerja terhadap suhu udara di tempat kerja

mereka lebih buruk dibandingkan dengan kondisi aktual. Selain itu,

berdasarkan nilai rata-rata tingkat ketidaknyamanan suhu yang dirasakan para

pekerja hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar dirasakan oleh pekerja

yang bekerja di area plant. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suhu udara di area

plant yang mencapai lebih dari 30oC sehingga menimbulkan ketidaknyamanan

bagi pekerja. Efek suhu udara yang dirasakan seseorang tergantung pada jenis

pekerjaan yang dilakukan, ketebalan pakaian, dan lamanya waktu yang

dihabiskan pada suhu udara yang terlalu dingin atau panas (Barling et al.,

2005). Hal ini yang kemudian dapat menyebabkan perbedaan persepsi pekerja

terhadap kondisi aktual di tempat kerja.

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel suhu udara berhubungan

secara signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X.

Dampak umum ketika bekerja dengan kondisi yang terlalu panas dapat

membuat pekerja merasa lebih sulit untuk mengatasi stressor lain yang terdapat

di tempat kerja dan dapat menyebabkan menurunnya motivasi pekerja. Oleh

137
karena itu, persepsi subjektif pekerja terhadap kondisi suhu udara di tempat

kerja merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan

mengontrol lingkungan fisik di tempat kerja dapat menjadi penyebab utama

timbulnya persepsi suhu udara yang tidak nyaman (Sutherland & Cooper,

2010).

Selain berhubungan signifikan dengan stress kerja, variabel suhu

merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat di

rumah sakit di Iran bahwa suhu udara yang nyaman berhubungan dengan

kualitas tidur yang baik (Azmoon, Dehghan, Akbari, & Souri, 2012). Penelitian

tersebut membuktikan bahwa suhu di tempat kerja dapat mempengaruhi

kondisi stress yang dialami seseorang.

Untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja karena suhu udara yang tidak

sesuai maka pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pengendalian

bagi pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu berupa

penurunan suhu udara dan penyesuaian kualitas seragam. Bagi lokasi plant,

penurunan suhu udara dapat dilakukan dengan menggunakan ventilasi dilusi.

Ventilasi dilusi ini berfungsi untuk menyuplai dan mengeluarkan udara dalam

jumlah yang besar dalam suatu area bangunan yang biasanya menggunakan

bantuan fan. Selain itu, ventilasi dilusi ini juga dapat digunakan untuk

mengendalikan panas di dalam suatu bangunan. Pemasangan ventilasi dilusi ini

dapat digunakan untuk menurunkan suhu udara dengan cara menyeimbangkan

antara volume ruangan dengan kecepatan udara yang akan dialirkan (CCOHS,

2008). Dengan demikian suhu udara akan menurun serta dapat memberikan

138
dampak yang positif bagi kenyamanan pekerja dalam bekerja. Adapun

penyesuaian kualitas seragam yaitu dengan mengatur ukuran seragam yang

digunakan pekerja harus longgar agar dapat membantu penguapan keringat

tetapi tidak terlalu longgar karena juga dapat membahayakan pekerja. Selain

itu, bahan seragam sebaiknya terbuat dari bahan alami, seperti katun dan wool

untuk membantu pengeluaran panas (Labour, 2010).

Sedangkan bagi para pekerja disarankan agar apabila merasakan

ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja sebaiknya menyampaikannya

kepada Departemen HSE setiap safety meeting mingguan dilakukan. Dengan

menyampaikan keluhan yang dirasakan nantinya diharapkan akan ada tindak

lanjut dari Departemen HSE kepada pihak manajemen untuk dapat melakukan

perbaikan terhadap kondisi lingkungan kerja yang dirasa tidak sesuai.

6.13 Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja

Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya

sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi.

Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya

konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya

ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu

asap rokok, sistem pendingin ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik,

terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia

(Schroeder, 2013).

Dari hasil penelitian ini, pekerja yang merasakan ventilasi di tempat kerja

mereka buruk (69,6 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang

menganggap bahwa ventilasi di tempat kerja mereka baik (30,4 %). Padahal

139
berdasarkan hasil pengukuran kadar debu, seluruh responden sebenarnya

berada pada lokasi kerja dengan kadar debu pada tingkat yang aman.

Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran ventilasi menunjukkan bahwa

sebagian besar responden (86,96 %) berada tempat kerja yang memiliki

ventilasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan

1405 Tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kadar debu dan

ukuran ventilasi yang terdapat di tempat kerja mereka telah sesuai dengan

standar yang ditetapkan tetapi persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di

tempat kerja mereka tidak sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini bisa terjadi

dikarenakan meskipun ventilasi di tempat kerja mereka sudah sesuai dengan

standar tetapi pada aktivitas pekerjaan sehari-harinya ventilasi di tempat kerja

mereka tidak pernah dibuka. Sehingga pekerja menganggap bahwa sirkulasi

udara di tempat kerja mereka tidak baik. Padahal menurut Chandraseker

(2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya

produktivitas kerja dan kesehatan (Ajala, 2012). Selain itu, berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan Roelofsen (2002) menunjukkan bahwa kualitas

udara dan ventilasi memiliki pengaruh yang paling besar dengan kepuasan

kerja dan stress kerja (Awbi, 2008). Polusi udara juga dapat mempengaruhi

timbulnya emosi negatif, menurunkan interaksi interpersonal dan

meningkatkan konflik, dan pada kondisi tertentu bahkan dapat meningkatkan

perilaku agresif (Barling et al., 2005).

Meskipun sebagian besar pekerja menganggap ventilasi di tempat kerja

mereka buruk, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan stress kerja yang dialami

140
para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak terdapatnya

perbedaan rata-rata yang signifikan di antara pekerja yang menganggap

ventilasi di tempat kerja baik (1,3) maupun buruk (1,47). Sehingga pekerja

yang menganggap ventilasi baik maupun buruk tidak memiliki tingkat stress

kerja yang berbeda. Akan tetapi sebaiknya pihak manajemen berupaya

melakukan perbaikan kondisi ventilasi di tempat kerja. Hal ini dikarenakan

persepsi pekerja terhadap ventilasi di tempat kerja mereka cenderung tidak

baik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002 disebutkan

bahwa ruang kerja yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan

diupayakan agar mendapatkan pergantian udara secara alamiah dengan cara

membuka seluruh pintu atau jendela atau dengan menggunakan kipas angin.

Selain itu, pemeliharan AC berupa pembersihan filter udara juga harus

dilakukan secara periodik minimal satu tahun sekali. Hal ini dilakukan agar

sirkulasi udara di ruangan dapat berjalan dengan baik sehingga dapat

memperbaiki persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja

mereka. Dengan demikian, sirkulasi udara akan berjalan dengan baik serta

dapat mencegah timbulnya stress kerja akibat kondisi ventilasi yang buruk.

6.14 Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

Konflik peran biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk

berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut

Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara

emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara

fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan

kerja, yaitu:

141
1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda

3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan

4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan

diri (Hubbard, 1998)

Dalam penelitian ini, rata-rata skor konflik peran yang dialami para

responden yaitu sebesar 3,56 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum

5,62. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor variabel

konflik peran yaitu sebesar 3,5 maka skor pada variabel ini sudah cenderung

tinggi karena sudah melebihi nilai median. Selain itu, nilai maksimum yang

dicapai pun sudah cenderung sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa

konflik peran yang dialami para pekerja sudah cukup tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada

pekerja di perusahaan industri skala kecil dan menengah di India dimana

konflik peran berperan dalam meningkatkan stress kerja yang dialami para

pekerja. Hal ini dapat terjadi ketika pekerja diharuskan memenuhi tuntutan

bertentangan peran yang mereka lakukan. Konflik peran tersebut kemudian

membentuk harapan yang berlebihan sehingga sangat sulit untuk dicapai dan

berujung pada munculnya stress yang dialami para pekerja (Vanishree, 2014b).

Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan

dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan

performa kerja (Barling et al., 2005). Selain itu, dari hasil penelitian lainnya

juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan

142
kerja dan komitmen tetapi berhubungan secara signifikan dan positif terhadap

gangguan psikologis yang direfleksikan melalui kesehatan mental seseorang

(Dobreva-Martinova, Villeneuve, Strickland, & Matheson, 2002).

Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa konflik peran

berhubungan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti peningkatan konflik

peran yang dirasakan para pekerja dapat meningkatkan tingkat stress kerja

yang mereka alami. Apabila konflik peran terjadi secara terus menerus dan

dibarengi ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi maka

sangat mungkin menyebabkan kelelahan secara emosional yang dapat

mempengaruhi kesehatan dan performa kerja. Menurut Schwab (1981) dan

Kelloway dan Barling (1991), menyatakan bahwa konflik peran dapat

memprediksi terjadi kelelahan emosional secara signifikan. Konsekuensi lain

dari konflik peran, yaitu pengasingan diri, rendahnya privasi , frustasi, dan

burnout (Harigopal, 1995).

Meskipun variabel konflik peran memiliki kecenderungan skor yang

tinggi, tetapi variabel ini tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang

dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat teradi karena dipengaruhi

perbedaan karakteristik sampel yang dapat dipengaruhi oleh budaya kerja yang

diimplementasikan di suatu negara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika, Norwegia, Turki yang

menunjukkan hasil berbeda-beda pada setiap negara tersebut (Perrewe &

Ganster, 2011).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel konflik peran

tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun demikian,

143
hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan yang tinggi mengenai

konflik peran yang dirasakan para pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak

manajemen berupaya untuk mengurangi konflik peran yang dirasakan para

pekerja. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik

peran, yaitu melalui komunikasi efektif dan pelatihan. Peningkatan komunikasi

dengan pekerja dapat mengurangi ketidapastian yang menyebabkan terjadinya

konflik peran. Semakin banyak informasi yang diberikan mengenai tuntutan,

tantangan dan kesempatan kerja maka dapat mengurangi konflik peran yang

terjadi. Sedangkan pelatihan diberikan untuk menjelaskan spesifikasi dan

memperjelas tanggung jawab pekerjaan sehingga dapat menghindari terjadinya

konflik peran (H. Singh, 2009). Dengan tingkat stress yang rendah maka

pekerjaan akan berjalan lebih efektif.

6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja

Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai

perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai

harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang

beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan

menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga

dapat terjadi akibat perubahan teknologi, struktur organisasi, adanya pekerja

baru dalam organisasi, perubahan pekerjaan, supervisor baru, atau tempat kerja

baru (Barling et al., 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,48

dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum 5,33. Jika dibandingkan

dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 3,5 maka rata-rata skor tersebut

144
masih cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketaksaan peran

yang dirasakan para pekerja cukup rendah. Rendahnya ketaksaan peran yang

dirasakan para pekerja dapat dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial yang

baik dari supervisor maupun rekan kerja (Sutherland & Cooper, 2010). Dengan

adanya dukungan sosial yang baik dari lingkungan di sekitarnya sehingga para

pekerja mengetahui dengan baik mengenai pekerjaan yang mereka lakukan.

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel

ketaksaan peran tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami

para pekerja di PT X tetapi keduanya berhubungan positif. Hal ini berarti

apabila terjadi peningkatan ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja maka

akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para

manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran

berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga

semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga

tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada

menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang

dialami (Ram et al., 2011).

Ketaksaan peran memiliki konsekuensi yang hampir sama dengan

permasalahan konflik peran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

konflik peran dan ketaksaan peran berdampak pada timbulnya stress kerja yang

mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dari anggota organisasi, rendahnya

konsentrasi, dan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan ( (Vanishree,

2014a) dan (Anton, 2009)). Selain itu, konflik peran dan ketaksaan peran dapat

145
berpengaruh secara tidak langsung terhadap turnover pekerja melalui variabel

kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Rahim, 2011).

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan

stress kerja pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan

yang berbeda dengan penelitian lainnya. Pada penelitian Singh (2000)

ditemukan hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan stress

kerja pada para pekerja frontline di bidang jasa. Tetapi, dalam penelitian Lord

(1996) dan Narayanan et al (1999), tidak ditemukan hubungan antara ketaksaan

peran dengan stress kerja pada pekerja clerical, polisi, dan professor (Sams,

2005).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketaksaan peran tidak

berhubungan signifikan dengan stress kerja. Meskipun memiliki

kecenderungan yang rendah sebaiknya dilakukan langkah pencegahan secara

dini untuk menghindari terjadinya peningkatan ketaksaan peran di waktu yang

akan datang. Pencegahan ketaksaan peran dapat dilakukan melakukan

komunikasi yang efektif (H. Singh, 2009). Komunikasi efektif ini dapat

dilakukan setiap minggu antara atasan dengan bawahan (manajer dengan

supervisor atau supervisor dengan pekerja) ketika meeting setiap departemen

dilakukan. Melalui komunikasi yang efektif, para pekerja dapat menyampaikan

aspirasi mereka mengenai pekerjaan yang mereka lakukan dan atasan dapat

membantu pekerjanya untuk mengatasi hambatan yang dirasakan para pekerja

khususnya yang berkaitan dengan ketaksaan peran. Melalui komunikasi ini

pekerja juga dapat mengetahui peran dan tanggung jawabnya secara jelas.

146
6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja

Konflik di tempat kerja merupakan hal yang biasa terjadi dimana

ketidaksepakatan atau diskusi yang panas merupakan kondisi yang tidak

terelakkan yang terjadi di lingkungan pekerjaan. Beberapa konflik dapat

mendorong dalam meningkatkan produktivitas jika pekerja berusaha mencari

solusi permasalahan yang kreatif. Akan tetapi, ketika perbedaan dan

ketidaksepakatan tersebut memicu terjadinya perasaan sakit hati maka hal ini

dapat menimbulkan stress jangka panjang dan perasaan tidak senang

(Edelmann, 2000). Hubungan sosial yang baik antar sesama pekerja memang

dapat mengurangi perasaan stress di tempat kerja tetapi apabila yang terjadi

tidak demikian maka hal ini dapat menyebabkan timbulnya tekanan dalam

bekerja (Rout & Rout, 2002).

Dalam penelitian ini, nilai rata-rata skor yang didapatkan untuk variabel

ini yaitu sebesar 2,27 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 3,94. Jika

dibandingkan dengan nilai total skor antara 1-5 maka skor tersebut telah masih

berada di bawah nilai median sehingga rata-rata skor tersebut memiliki

kecenderungan tidak tinggi. Sedangkan konflik interpersonal yang seringkali

terjadi yaitu perbedaan pendapat di antara anggota departemen. Meskipun

kecenderungan skor dari variabel ini tidak tinggi tetapi dampak adanya konflik

interpersonal cukup serius.

Konflik interpersonal memiliki dampak terhadap stress kerja yang sangat

nyata terutama dalam jangka waktu yang panjang. Dampak yang paling

signifikan akibat adanya konflik interpersonal yaitu perasaan gelisah. Perasaan

gelisah merupakan emosi yang muncul untuk mengantisipasi permasalahan dan

147
tantangan di masa depan. Sehingga apabila seseorang pernah mengalami

konflik interpersonal maka orang tersebut akan menghabiskan waktu yang

lama untuk merenungkan masalah yang pernah dialaminya dan lebih merasa

khawatir mengenai kemungkinan terjadinya masalah serupa di masa depan (Jex

& Britt, 2008).

Secara statistik, konflik interpersonal berhubungan positif dengan stress

kerja yang dialami para pekerja berarti semakin tinggi konflik interpersonal

yang dialami para pekerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang

mereka alami. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya konflik yang dirasakan

oleh para pekerja baik dengan sesama anggota departemen maupun dengan

anggota departemen lainnya. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam

bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat terjadi

ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang

lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi misalnya ketika

seseorang lupa mengundang rekannya untuk menghadiri sebuah pertemuan

yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal

merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi

pekerja yang mengalaminya (Jex & Britt, 2008).

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel konflik interpersonal

merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di

Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan

konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et

al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan

148
manufaktur skala kecil dan sedang di Jepang menunjukkan bahwa tingginya

konflik interpersonal dapat berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi

(Ikeda et al., 2009).

Untuk mencegah timbulnya dampak yang merugikan akibat adanya

konflik interpersonal maka pihak manajemen harus berupaya melakukan

langkah pengendalian. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan dengan

melakukan komunikasi yang efektif dengan pekerja yang bertikai. Komunikasi

efektif ini dilakukan dengan cara melakukan komunikasi dua arah yang

menghasilkan umpan balik. Komunikasi yang efektif ini sebaiknya dilakukan

secara rutin setiap meeting mingguan tiap departemen untuk mengendalikan

bahkan mencegah terjadinya konflik interpersonal antar pekerja. Melalui

komunikasi yang efektif, maka pihak manajemen dapat menggali informasi

mengenai permasalahan yang dihadapi antar pekerja tersebut. Untuk

penyelesaian lanjutannya, pihak manajemen dapat menerapkan strategi

manajemen konflik. Strategi yang dapat diterapkan yaitu penyelesaian dengan

mengambil jalan tengah atau kompromi atau menggunakan peraturan

perusahaan yang berlaku sebagai cara penyelesaiannya (Wijono, 2010).

6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan

pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu

sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya performa kerja dan

menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman,

1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja.

Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka

149
dapat tetap bekerja. Akan tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat

menimbulkan kondisi stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat

berdampak pada menurunnya produktivitas kerja.

Dalam penelitian ini, didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,7 dengan

nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum mencapai 5. Jika dibandingkan

dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor tersebut sudah

melebih nilai median dan memiliki kecenderungan cukup tinggi. Selain itu,

rata-rata tingkat ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan oleh para pekerja

cenderung lebih tinggi pada pekerja yang berstatus pekerja tetap (2,77)

dibandingkan dengan pekerja tidak tetap (2,43). Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun pekerja telah berstatus sebagai pekerja tetap tetapi keyakinan para

pekerja terhadap masa depan karir mereka di perusahaan ini cenderung rendah.

Menurut Filipkowski dan Johnson (2008), ketidakpastian pekerjaan yang

dirasakan para pekerja dapat menyebabkan rendahnya komitmen pekerja

terhadap organisasi dan meningkatkan turnover pekerja (Perrewe & Ganster,

2011). Bagi para pekerja, ketidakpastian pekerjaan mereka di masa depan dapat

dinilai sebagai ancaman karena hal ini memiliki konsekuensi yang serius yaitu

dapat mengubah kehidupan seseorang secara drastis dan merubah gaya hidup

secara tidak terduga (Perrewe & Ganster, 2010).

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami

para pekerja di PT X. Akan tetapi, kedua variabel tersebut saling berhubungan

secara positif yang berarti apabila terjadi ketidakpastian pekerjaan yang terjadi

semakin tinggi maka akan menghasilkan tingkat stress kerja yang lebih tinggi

150
juga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada

pekerja dimana hasilnya menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan

berhubungan signifikan dalam meningkatkan absenteisme pekerja (Chirumbolo

& Areni, 2005). Selain itu, hasil penelitian pada pekerja di rumah sakit juga

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpastian

pekerjaan dengan stress kerja (Zyl, Eeden, & Rothmann, 2013).

Ketidakpastian pekerjaan juga dapat terjadi dikarenakan kemungkinan

perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di

masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi

ketika adanya situasi penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang

terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu

tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan

munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini

juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009).

Tidak adanya hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress

kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat dipengaruhi perbedaan

karakteristik pekerja di Indonesia. Pada beberapa hasil penelitian sebelumnya

menunjukkan adanya perbedaan hasil pada pekerja di beberapa negara, seperti

Amerika, Jerman, Hungaria, Jepang, Slovenia, Jepang, Korea, Taiwan dan

Inggris (Perrewe & Ganster, 2011). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan yang

dirasakan pekerja memang cenderung tinggi tetapi variabel ini tidak terlalu

berpengaruh jika dibandingkan dengan variabel faktor pekerjaan lainnya yang

lebih berpengaruh terhadap stress kerja. Sehingga varibel ini tidak

berhubungan dengan stress kerja.

151
Meskipun tidak berhubungan secara signifikan, tetapi harus diperhatikan

bahwa ketidakpastian pekerjaan ini lebih banyak dirasakan oleh para pekerja

tetap. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah memiliki status pekerjaan

yang jelas tetapi mereka cenderung merasa khawatir terhadap pekerjaan

mereka saat ini. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk

mengatasi rasa khawatir yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian

yang dapat dilakukan berupa meningkatkan upaya kerja yang stabil baik dari

pihak manajemen dan pekerja melalui diskusi, kontrak kerja yang jelas

mengenai status pekerja, masa kontrak dan upah yang diberikan, menetapkan

kebijakan yang jelas mengenai kepastian pekerjaan serta menghargai hak

pekerja (ILO, 2012). Dengan demikian, setelah dilakukan langkah

pengendalian diharapkan kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan

yang dirasakan para pekerja dapat berkurang sehingga mencegah timbulnya

stress kerja akibat ketidakpastian pekerjaan.

6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja

Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai

dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari

lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa

sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap

diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu

tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,93

dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 4,88. Jika

dibandingkan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah

152
melewati nilai median sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa variabel ini

memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam memberikan kebebasan

kepada para pekerja untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan yang mereka

miliki.

Kurangnya kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka

miliki merupakan salah satu faktor yang berkontribusi penting terhadap

munculnya stress dan gangguan kesehatan yang dialami pekerja (Karwowski,

2006). Menurut Newton dan Jimmieson (2008), dengan memberikan

kesempatan kepada para pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka

lakukan maka hal ini akan membantu mengurangi stress yang berkaitan dengan

pekerjaannya. Kesempatan yang diberikan kepada para pekerja dapat

meningkatkan kemudahan bagi para pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya. Dengan begitu, pekerja dapat menggunakan kemampuannya

dalam mengatasi setiap hambatan yang dihadapinya sehingga dapat

mengurangi perasaan frustasi dan stress di tempat kerja (Lewin, Kaufman, &

Gollan, 2011). Selain itu, menurut Logan dan Ganster (2007), kesempatan

pekerja untuk mengontrol pekerjaan juga dapat membantu perusahaan dalam

meningkatkan performa dari para pekerjanya (Perrewe & Ganster, 2010).

Meskipun skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi,

tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kesempatan

pekerja untuk mengontrol pekerjaan berhubungan negatif dengan stress kerja.

Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kesempatan para pekerja untuk

mengontrol pekerjaan mereka tidak dapat mempengaruhi stress kerja yang

mereka alami. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan lebih tingginya jumlah

153
beban kerja yang membebani para pekerja sehingga kesempatan para pekerja

untuk mengontrol pekerjaan yang mereka miliki saat ini masih belum mampu

membantu mereka dalam mengurangi perasaan stress yang mereka alami.

Pekerja yang memiliki beban kerja tinggi yang tidak disertai kemampuan untuk

mengontrol pekerjaan dengan baik akan memiliki risiko untuk mengalami

kematian penyakit jantung atau penyakit yang berhubunngan dengan peredaran

darah (Byrne & Rosenman, 1990).

Meskipun variabel ini sudah memiliki kecenderungan yang baik, tetapi

sebaiknya pihak manajemen tetap memastikan bahwa setiap pekerja memiliki

kontrol yang baik terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Langkah

pengendalian yang dapat dilakukan berupa melibatkan pekerja dalam

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan, cara

melakukan pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan mereka bekerja,

dan libatkan para pekerja untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi

sehingga partisipasi pekerja meningkat (ILO, 2012). Keterlibatan pekerja ini

dapat dilakukan ketika pelaksanaan rapat perencanaan, pelaksanaan maupun

evaluasi kerja. Dengan menjamin bahwa kontrol terhadap pekerjaan dapat

dilakukan dengan baik maka hal ini dapat mencegah terjadinya stress kerja

akibat kurangnya kontrol pekerja terhadap pekerjaan yang mereka lakukan.

6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja

Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah

besar bagi individu. Hal ini dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang

tersedia dapat memicu terjadinya stress. Ini dapat terjadi dikarenakan

munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan

154
kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan kembali (Bizymoms,

2013).

Dalam penelitian ini didapat nilai rata-rata skor untuk variabel kurangnya

kesempatan kerja sebesar 3,29 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5.

Jika dibandingkan dengan total skor antara 1-5 maka nilai rata-rata tersebut

sudah melebihi nilai median untuk skor variabel ini yaitu 2,5. Hal ini

menunjukkan bahwa skor yang didapatkan dalam variabel ini sudah memiliki

kecenderungan tinggi mendekati skor maksimum. Kurangnya kesempatan kerja

yang dirasakan oleh para pekerja bukan disebabkan faktor internal perusahaan

tetapi dikarenakan kekhawatiran mereka terhadap ketersediaan lowongan

pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di perusahaan lain.

Kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan oleh para pekerja menyebabkan

terjadinya stress kerja yang kemudian memicu terjadinya frustasi (Swain,

2008). Kekhawatiran akibat kurangnya kesempatan kerja yang terjadi terus

menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang

merasakannya (L. B. Singh, 2006).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif

antara variabel kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja. Hal ini berarti

semakin tinggi rasa khawatir para pekerja mengenai kurangnya kesempatan

kerja akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami mereka. Dalam

penelitian yang dilakukan selama tahun 1997 hingga 2001 pada pekerja di

Jerman menemukan bahwa kekhawatiran pekerja akibat masa depan pekerjaan

mereka dapat mengakibatkan efek yang merusak bagi kesehatan pekerja,

155
meningkatkan perilaku konsumsi alkohol dan rokok, serta depresi dan stress

(Eurofound, 2010).

Selain itu, berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel kurangnya

kesempatan kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model

multivariat. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya keyakinan para pekerja

untuk bisa mendapatkan kesempatan bekerja dan ketersediaan lowongan

pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di tempat lain. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warr (1983)

yang menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan

pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan

emosi, dan kecemasan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Cobb dan

Kasl (1977) menunjukkan bahwa meskipun seorang pekerja telah berusaha

mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal

tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan

perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).

Selain berdampak menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan dan

stress, kekhawatiran pekerja terhadap kurangnya kesempatan kerja juga dapat

berdampak pada munculnya stress kronis jika terjadi secara terus menerus

(Heaney, Israel, & House, 1994). Menurut Vuuren (1990), perasaan khawatir

yang terus dirasakan pekerja dapat membahayakan kesejahteraan dan

kesehatan pekerja. Seorang pekerja yang mengalami dua kekhawatiran dalam

waktu yang bersamaan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang buruk.

Selain merugikan bagi pekerja, kekhawatiran yang dialami pekerja juga

dapat berdampak buruk bagi perusahaan. Kekhawatiran yang dirasakan para

156
pekerja dapat menyebabkan menurunnya komitmen mereka terhadap

perusahaan, hilangnya kepercayaan terhadap manajemen, perlawanan terhadap

perubahan organisasi dan menurunnya performa kerja (Witte, 2005). Oleh

karena itu, para pekerja sebaiknya mengatasi perasaan khawatir mereka

terhadap keberadaan kesempatan bekerja di tempat lain. Langkah pengendalian

yang dapat yaitu berupa manajemen stress. Manajemen stress yang dapat

mereka lakukan yaitu dengan selalu berpikir positif terhadap kemampuan yang

dimiliki dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja serta

membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini maupun di tempat

lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru. Dengan

melakukan langkah pengendalian tersebut diharapkan para pekerja dapat

mengatasi perasaan khawatir mereka serta selalu berpikir positif terhadap

kesempatan kerja yang akan mereka dapatkan.

6.20 Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Jumlah beban kerja merupakan suatu kondisi dimana pekerja memiliki

sejumlah pekerjaan yang banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang

terbatas sehingga pekerja memiliki ketidakmampuan untuk menangani beban

kerja yang dihadapinya (Rahim, 2011). Stress yang diakibatkan jumlah beban

kerja dapat terjadi akibat beban kerja yang berlebih maupun beban kerja yang

terlalu sedikit. Jumlah beban kerja yang terlalu banyak terjadi ketika beban

kerja yang ada sangat banyak atau ketika pekerja diharuskan bekerja di bawah

tekanan waktu. Permasalahan jumlah beban kerja merupakan masalah umum

yang menyebabkan munculnya stress kerja yang dialami oleh para pekerja di

berbagai sektor industri (Karwowski, 2006).

157
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar

3,26 dengan nilai minimum sebesar 2,55 dan nilai maksimum 4,45. Jika

dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor

yang didapatkan pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi.

Berdasarkan rata-rata skor jumlah beban kerja terdapat tiga departemen yang

memiliki rata-rata skor tertinggi, yaitu Departemen Project & HSE,

Departemen Engineering & Maintenance, dan Departemen HRGA. Tingginya

skor jumlah beban kerja pada penelitian ini berkaitan dengan banyaknya

jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang terbatas.

Menurut Claessens, Van Eerde, Rutte dan Roe (2004), beban kerja yang tinggi

dapat menyebabkan rendahnya produktivitas kerja akibat sulitnya melakukan

pengaturan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan yang dimiliki. Selain itu,

peningkatan beban kerja dapat menghambat pekerja untuk mencapai sasaran

kerja mereka sehingga dapat mengakibatkan terjadinya stress akibat pekerjaan

(Perrewe & Ganster, 2010).

Secara statistik, variabel jumlah beban kerja berhubungan sedang dan

berpola positif sehingga peningkatan jumlah beban kerja yang dialami para

pekerja di PT X dapat meningkatkan terjadinya stress kerja. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa beban kerja dapat mengakibatkan gangguang

fisik yang cukup serius. Hasil penelitian Buell dan Breslow (1960) menemukan

bahwa pekerja yang memiliki jumlah beban kerja yang tinggi dua kali lebih

berisiko mengalami kematian akibat penyakit jantung. Selain itu, menurut Rau

(2004), tingginya beban kerja berhubungan dengan peningkatan kadar tekanan

darah selama bekerja. Tetapi, tekanan darah tersebut akan kembali pada kadar

158
yang normal ketika seseorang memiliki kesempatan untuk mengontrol

pekerjaan yang mereka lakukan (Jex & Britt, 2008). Dari hasil penelitian ini,

kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan masih berada pada tingkat

yang lebih rendah sehingga pekerja tidak dapat mengatur beban kerja yang

mereka miliki.

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel jumlah beban kerja

merupakan variabel yang masuk ke dalam model multivariat dan paling

dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Margolis et al (1974), jumlah

beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala

stress, seperti rendahnya motivasi kerja, rendahnya penghargaan diri, tingginya

absenteisme, serta perilaku minum alkohol (Rose, 1994). Selain itu, dalam

penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa

tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya

ketidakpuasan dalam bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi,

dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis (Koradecka, 2010). Sehingga

secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan teori stress kerja dan

penelitian terdahulunya.

Jumlah beban kerja merupakan variabel yang paling dominan

berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Secara

statistik, peningkatan beban kerja ini akan semakin meningkatkan stress kerja.

Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah pengendalian stress kerja yang saat

ini dialami oleh para pekerja. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan

dengan cara mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan

159
untuk mengatur jumlah beban kerja yang diberikan kepada para pekerja serta

menyesuaikannya dengan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki pekerja.

Selain itu, melalui desain ulang pekerjaan ini juga dapat memberi kesempatan

bagi pekerja untuk berdiskusi mengenai penyelesaian pekerjaan yang dapat

mereka lakukan. Dengan melakukan desain ulang pekerjaan ini maka bisa

tercipta prosedur dan ekspektasi yang jelas antara atasan dengan bawahannya

(Borkowski, 2011). Pengaturan jumlah beban kerja juga harus disertai dengan

perencanaan deadline yang bersifat realistis untuk dicapai dan baik bagi

kesejahteraan dan produktivitas pekerja (ILO, 2012). Pengaturan jumlah beban

kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap

bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap

pekerja.

6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja

ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut.

Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat

mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya. Bentuk variasi beban

kerja yang biasa terjadi yaitu ketika seorang pekerja dipromosikan pada jabatan

yang lebih tinggi dengan setumpuk perfoma kerja yang harus dicapai tetapi

pekerja tersebut tidak mampu melakukannya karena kurangnya pengalaman

atau pelatihan (Rose, 1994).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar

3,62 dengan nilai minimum sebesar 2 dan nilai maksimum 5. Jika

dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor

160
yang didapatkan pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena melebihi nilai

median tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja seringkali

mengalami penambahan beban kerja yang disertai kebutuhan untuk lebih

berkonsentrasi dan berpikir lebih mendalam tetapi pekerja tidak mampu

menyelesaikan beban kerja tersebut dengan baik. Variasi beban kerja sebagai

salah satu sumber stress juga berhubungan signifikan terhadap penilaian diri

yang rendah akibat ketidakmampuannya mengerjakan pekerjaan yang dimiliki

pekerja tersebut (Rose, 1994).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel variasi beban kerja

berhubungan positif dan signifikan terhadap stress kerja. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caplan et al (1975) pada 23

negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin

meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010). Dalam penelitian

lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal

yang sama bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara

signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki

maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar

dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai

kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009).

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel variasi beban kerja

merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil

analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan variasi

beban kerja dapat menurunkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kebosanan yang dirasakan oleh para

161
pekerja akibat beban kerja yang kurang beragam. Kebosanan merupakan salah

satu potensi stress yang dapat menyebabkan ketidakpuasan bekerja. Salah satu

cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebosanan yaitu dengan mengubah

karakteristik pekerjaan agar lebih menstimulasi, menantang, dan berarti bagi

pekerja (Dewe, O'Driscoll, & Cooper, 2010).

Salah satu cara yang dapat dilakukan pihak manajemen untuk

meningkatkan variasi beban kerja, yaitu dengan cara memperkaya pekerjaan.

Memperkaya pekerjaan dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan agar

sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki pekerja. Proses

mendesain ulang ini akan membantu pekerja mengurangi stress yang

dirasakannya akibat variasi beban kerja yang dianggap kurang serta

menghilangkan kebosanan pekerja akibat beban kerja yang terlalu monoton.

Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan

oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor

maupun supervisor terhadap pekerja. Dengan peningkatan variasi beban kerja

yang baru nantinya dapat meningkatkan motivasi dan tantangan terhadap tugas

yang dihadapi sehingga pekerja memiliki tingkat variasi beban kerja yang

beragam (H. Singh, 2009).

6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress

Kerja

Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan

dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu

tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain.

Memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat

162
memicu terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung

jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain berarti

bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya untuk berinteraksi

dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja sendiri dan sebagai

konsekuensinya akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam tekanan.

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,96

dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 5. Jika

dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 1 5 maka skor pada variabel ini

sudah lebih tinggi dari nilai median total skor sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan

bahwa tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh para pekerja di

PT X sudah cukup tinggi.Tanggung jawab terhadap orang lain dapat berkaitan

dengan kesuksesan dan keselamatan orang tersebut di lingkungan pekerjaan.

Sehingga semakin tinggi tanggung jawab seseorang terhadap orang lain maka

dapat memicu terjadinya stress kerja yang tinggi (Karwowski, 2006).

Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang

pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan

mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab

terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini

dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang

manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel &

Schultz, 2012).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel tanggung jawab terhadap

orang lain berhubungan negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para

pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya tanggung jawab yang

163
diemban oleh pekerja tidak mempengaruhi peningkatan stress kerja yang

dialami oleh para pekerja. Menurut Karasek dan Theorell (1990), tanggung

jawab biasanya selalu beriringan dengan kemampuan pekerja untuk

mengontrol pekerjaannya. Tanggung jawab yang tinggi yang disertai dengan

kemampuan mengontrol dengan baik akan mampu menurunkan stress kerja

yang dialami para pekerja (Aldwin, 2007). Pada penelitian ini, keduanya telah

berjalan beriringan tetapi tingginya beban kerja yang dimiliki para pekerja

lebih berpotensi menyebabkan terjadinya stress kerja. Sehingga sekalipun

besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang mampu dikontrol

dengan baik tetapi jumlah beban kerja tetap tinggi maka pekerja tetap akan

mengalami stress kerja. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen melakukan

langkah pengendalian untuk menurunkan besarnya tanggung jawab terhadap

orang lain yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian yang dapat

dilakukan yaitu dengan mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini

dilakukan untuk menyesuaikan antara pekerjaan serta tanggung jawab yang

harus diemban pekerja serta disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki

pekerja. Jika masih memungkinkan untuk mendelegasikan tanggung jawab

terhadap pihak lain yang memiliki pekerjaan lebih sedikit sebaiknya dilakukan

agar pekerjaan dan tanggung jawab tersebut tidak menumpuk pada pekerja

tertentu saja.

6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan Stress

Kerja

Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress

bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja

164
memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan

tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena sudah menggunakan

alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi

pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross &

Altmaier, 2000).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 2,55 dengan

nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan total skor

antara 1 5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai media sebesar 2,5

sehingga variabel ini memiliki kecenderungan yang cukup tinggi. Kemampuan

pekerja yang tidak digunakan dapat terjadi ketika kemampuan yang dimiliki

pekerja tersebut melebihi kualifikasi kemampuan untuk pekerjaannya (Paludi,

Vlydegger, & Paludi, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kemampuan

pekerja tidak digunakan dengan baik ketika melakukan pekerjaannya. Apabila

kemampuan tersebut benar-benar tidak digunakan maka akan menghasilkan

ketidakpuasan bekerja yang dirasakan bekerja (Penn, 1994).

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kemampuan

yang tidak digunakan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian

ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan penelitian Watari yang

menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan secara

signifikan dengan peningkatan tingkat stress yang berkaitan dengan tingginya

prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi pekerja (Konno & Munakata,

2014). Pada penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kedua variabel

dapat terjadi dikarenakan meskipun kemampuan pekerja tidak digunakan

165
dengan baik tetapi hal ini bukan merupakan suatu hal yang menyebabkan

terjadinya stress. Akan tetapi, terdapat faktor pekerjaan lainnya yang dapat

menimbulkan terjadinya stress.

6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja

Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada

pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan

khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan

orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti

kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang

diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah

terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang

mudah untuk dilakukan seorang pekerja (Koradecka, 2010).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata tuntutan mental yang

dirasakan pekerja yaitu sebesar 3,09 dengan nilai minimum 2,2 dan nilai

maksimum 4. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1 4 maka rata-

rata skor tersebut sudah melewati nilai median sebesar 2. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan

yang tinggi. Beban kerja berlebih yang dimiliki pekerja dapat menyebabkan

kurangnya waktu kerja serta sulitnya bagi pekerja untuk mencapai sasaran

organisasi. Beban kerja yang disertai dengan tuntutan mental dapat

menyebabkan terjadinya stress bahkan burnout. Ketika tuntutan mental yang

dihadapi pekerja dalam jumlah yang besar maka mereka akan mengalami

frustasi. Menurut Dean Jeffrey Klepfer, frustasi dapat menyebabkan

166
menurunnya kapasitas kerja seseorang dan menyebabkan menumpuknya beban

kerja berlebih (Gryna, 2004).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan adanya hubungan yang

positif dan sedang antara variabel tuntutan mental dengan stress kerja. Hal ini

berarti bahwa semakin tinggi tuntutan mental yang dihadapi pekerja maka akan

semaking meningkatkan stress kerja yang mereka alami. Tuntutan mental

secara berlebihan melampaui kemampuan dan kompetensi pekerja dapat

menyebabkan terjadinya ketidakmampuan, frustasi bahkan burnout. Pekerjaan

dengan tuntutan mental yang baik seharusnya berada pada level tuntutan

mental yang nyaman bagi pekerja sehingga sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya(Gryna, 2004). Meskipun demikian, kedua variabel tersebut tidak

memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja

sudah merasa terbiasa dengan tekanan pekerjaan yang dirasakannya sehingga

tidak menganggap tuntutan mental sebagai penyebab utama stress yang mereka

rasakan akibat pekerjaan. Stress yang dialami pekerja bisa saja lebih

dipengaruhi faktor pekerjaan lainnya, seperti jumlah beban kerja yang lebih

banyak dibandingkan tuntutan kerja secara mental. Sehingga variabel ini tidak

berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja.

Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi variabel tuntutan

mental berhubungan positif terhadap stress kerja. Oleh karena itu, pihak

manajemen sebaiknya melakukan upaya pencegahan terhadap tuntutan mental

yang dirasakan para pekerja. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan

mendesain ulang pekerjaan untuk mencegah tuntutan yang berlebih terhadap

pekerja. Desain ulang yang dapat dilakukan berupa pertimbangan ulang

167
mengenai jumlah pekerjaan dengan kapasitas pekerja, rotasi tingkat kesulitan

dan tantangan pada tiap pekerja, serta mengembangkan kemampuan dan

performa pekerja dalam bekerja (ILO, 2012).

6.25 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja

Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko

menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan perilaku.

Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan pernapasan, detak

jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel, produksi hormon, dan

gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan

menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada

waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu,

penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini

dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan

aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di

dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya (Authority, 2006).

Dari hasil penelitian ini didapatkan jumlah pekerja yang bekerja secara

tidak shift (56,5 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang bekerja

secara shift (43,5 %). Pekerja yang bekerja secara shift merupakan subjek yang

rentan mengalami stress kerja, seperti kelelahan, mudah marah, depresi dan

kurang minat bekerja (Speegle, 2013). Menurut hasil penelitian Riber dan

Derriennic (1999) masalah kesehatan yang seringkali dirasakan pekerja shift

adalah gangguan tidur dan kelelahan. Menurut Akerstedt (1998) tiga dari

empat pekerja shift mengalami masalah kesehatan dan mengalami kurang tidur

(Sonnentag et al., 2009).

168
Berdasarkan hasil analisis bivariat, tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara shift kerja sengan stress kerja. Hasil penelitian ini sejalan

dengan hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun pekerja

shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak ditemukan

adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hasil

survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al (1977) juga menemukan hal

yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak memiliki dampak yang signifikan

terhdapa penyakit jantung dan saraf (Ivancevich & Ganster, 2014).

Pada penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara shift kerja dengan

stress kerja dapat terjadi karena pekerja shift sudah beradaptasi dengan baik

dengan jadwal kerja mereka yang harus bergilir sehingga rata-rata tingkat

stress pekerja baik shift (1,41) maupun tidak shift (1,42) tidak berbeda jauh.

Selain itu, pengaruh pekerjaan terhadap pekerja yang berbeda shift bisa saja

tidak berbeda sehingga stress yang dialami para pekerja tidak dipengaruhi oleh

faktor shift kerja tetapi faktor pekerjaan lainnya, seperti beban kerja. Dengan

demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat stress kerja

pekerja shift dengan tidak shift.

Walaupun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja

dengan stress kerja tetapi sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah

pengendalian untuk mencegah timbulnya stress kerja akibat pengaruh shift

kerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan tetap

mempertahankan pola shift kerja pagi-siang-malam untuk mengurangi

gangguan tidur , menyesuaikan pencahayaan pada malam hari agar terlihat

terang, menyediakan diet makanan yang sehat serta penentuan jam makan yang

169
sesuai, pelarangan konsumsi alkohol dan obat terlarang (Stranks, 2005), serta

diupayakan agar pekerja berusia tua tidak bekerja secara shift lagi karena

pekerja berusia tua lebih berisiko mengalami masalah gangguan sirkadian

dibandingkan pekerja berusia muda (Barling et al., 2005).

6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan

kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model stress kerja, aktivitas di

luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber stress bagi pekerja. Aktivitas di

luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti

masalah keuangan, pernikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress

yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress

yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu,

menghilangkan sumber stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya

dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja

seseorang serta menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang

telah didapat ketika bekerja (Hurrell, 1990).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan sebesar

2,19 dengan nilai minimum sebesar 0 dengan nilai maksimum sebesar 5. Jika

dibandingkan dengan total skor antara 0 -7 maka rata-rata skor pada variabel

ini belum melebihi nilai median sebesar 3,5 sehingga memiliki kecenderungan

yang rendah. Stress yang terjadi di tempat kerja juga dapat dipengaruhi oleh

tuntutan di luar pekerjaan. Tuntutan di luar pekerjaan dapat berasal dari

keluarga maupun tuntutan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sama seperti

stress kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, maka tuntutan di

170
luar pekerjaan juga dapat mempengaruhi kehidupan di lingkungan pekerjaan

(Nelson & Quick, 2013). Konflik yang berasal dari luar pekerjaan dapat

menimbulkan gejala ketegangan,seperti ketidakpuasan kerja, ketidakpuasan

dalam kehidupan, dan kesehatan mental yang rendah (Ivancevich & Ganster,

2014).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel aktivitas di luar pekerjaan

berhubungan dengan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa

peningkatan aktivitas di luar pekerjaan dapat meningkatkan stress kerja yang

dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Allen

et al (2000) yang menunjukkan bahwa stress kerja berhubungan positif dan

sedang dengan konflik keluarga (Schabracq, Winnubst, & Cooper, 2003).

Meskipun demikian, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang

signifikan pada kedua variabel tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan

rendahnya aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki para pekerja. Sehingga

aktivitas di luar pekerjaan yang mereka miliki cenderung tidak mempengaruhi

stress kerja yang dialami. Stress kerja yang dialami para pekerja dapat terjadi

dikarenakan lebih tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja

daripada faktor aktivitas di luar pekerjaan sehingga hal ini yang mengakibatkan

faktor aktivitas di luar pekerjaan tidak berhubungan signifikan dengan stress

kerja.

6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja

Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan

pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya

faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam lingkungan kerja yang rukun

171
maka pekerja tidak akan mungkin mendapatkan tindakan yang tidak adil.

Selain itu, jika dalam lingkungan kerja banyak terdapat sumber stress,

dukungan sosial bisa menjadi penahan dampak negatif sumber stress yang

terdapat di lingkungan tersebut (Koradecka, 2010).

Dalam penelitian ini, rata-rata skor dukungan sosial yang didapatkan oleh

para responden, yaitu sebesar 3,87 dengan nilai minimum sebesar 2,12 dan

nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 1-

5 maka skor yang didapatkan dalam penelitian ini sudah melebihi nilai median

total skor. Sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan

oleh para responden di tempat kerja sudah cukup baik.

Dukungan sosial sangat baik dalam melindungi pekerja dari kondisi

stress akibat pekerjaan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kesehatan

seseorang dengan melindunginya dari berbagai dampak negatif akibat stress

kerja yang tinggi. Selain itu, deukungan sosial sangat membantu seseorang

untuk dapat mengatasi keadaan stress yang dialaminya. Dukungan sosial

bekerja dengan dua cara, yaitu seseorang yang terpapar stress kerja tinggi tetapi

memiliki dukungan sosial baik maka akan lebih menganggap keadaan stress

yang dialaminya sebagai suatu hal yang biasa saja dibandingkan dengan orang

lain yang hanya memiliki dukungan sosial yang rendah. Cara yang kedua, yaitu

dukungan sosial dapat mengubah respon seseorang terhadap keadaan stress

yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh House (1981) yang mengukur mengenai jumlah dukungan sosial yang

diterima dari supervisor, rekan kerja, keluarga, dan teman. House menemukan

bahwa pekerja yang mendapat dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja

172
akan merasakan stress yang lebih rendah. Sedangkan dukungan sosial dari

keluarga atau teman hanya memiliki dampak yang kecil atau bahkan tidak

memiliki dampak sama sekali (Rout, 2002). Selain itu, dalam mengatasi stress

yang dialami seseorang, dukungan sosial dapat berfungsi sebagai tiga hal, yaitu

efek pencegahan, efek penyembuhan, dan efek moderating (Rossi, Perrewe, &

Sauter, 2006).

Meskipun rata-rata skor yang didapatkan pada variabel ini sudah cukup

baik, tetapi secara statistik menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para

pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai

dengan teori yang menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi jika disertai

dengan dukungan sosial yang baik maka mampu mencegah dampak stress yang

dialami oleh seseorang (Kato, 2008). Hal ini dapat terjadi dikarenakan

dukungan sosial yang dimiliki oleh para pekerja tidak mampu mengurangi

perasaan stress yang diakibatkan tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah

beban kerja yang tinggi, konflik interpersonal, dan kurangnya kesempatan

kerja. Meskipun dalam teori lainnya dikatakan bahwa rendahnya dukungan

sosial lebih berisiko meningkatkan depresi dibandingkan dengan faktor

lainnya, seperti konflik peran, ketaksaan peran dan rendahnya partisipasi. Akan

tetapi dalam penelitian ini, dukungan sosial yang baik sekalipun tidak mampu

menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja akibat tingginya faktor

pemicu stress yang berasal dari faktor pekerjaan. Selain itu, berdasarkan

penelitian terdahulu juga ditemukan pengaruh karakteristik pekerjaan yang

dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga pada penelitian ini tidak

173
terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja. Selain itu, pada

beberapa studi terdahulu juga tidak ditemukan hubungan antara dukungan

sosial dengan stress kerja khususnya ketika dilakukan analisis regresi pada

kedua variabel tersebut (Rossi et al., 2006).

Dari hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa

dukungan sosial yang tercipta di lingkungan kerja sudah baik. Oleh karena itu,

lingkungan sosial yang baik ini sebaiknya tetap terjaga untuk mencegah

timbulnya stress kerja. Dukungan sosial yang baik dapat berupa hubungan

yang harmonis antara manajemen dan pekerja, saling memberikan dukungan

terhadap sesama pekerja, serta meningkatkan aktivitas sosial dan rekreasi untuk

menjaga hubungan yang baik antar pekerja.

174
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di PT X dapat

disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata tingkat stress kerja yang dialami oleh responden, yaitu sebesar

1,42.

2. Gambaran faktor individual adalah sebagai berikut:

a. Responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak, yaitu

berjumlah 60 orang (87 %).

b. Responden yang berstatus menikah lebih banyak, yaitu berjumlah 54

orang (78,3 %).

c. Rata-rata umur responden yaitu sebesar 33,09 tahun.

d. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden berjumlah satu orang.

e. Rata-rata masa kerja yang telah dilalui responden yaitu selama 71,64

bulan ( 6 tahun).

f. Rata-rata tingkat kepribadian tipe A yang dimiliki responden yaitu

sebesar 3,24.

g. Rata-rata penilaian diri responden terhadap diri mereka yaitu sebesar

3,59

3. Gambaran faktor pekerjaan adalah sebagai berikut:

a. Responden yang memiliki persepsi tempat kerja tidak bising lebih

besar yaitu berjumlah 37 orang (53,6 %).

175
b. Responden yang memiliki persepsi pencahayaan tempat kerja baik

lebih besar yaitu berjumlah 52 orang (75,4 %).

c. Responden yang memiliki persepsi suhu di tempat kerja tidak nyaman

lebih besar yaitu berjumlah 38 orang (55,1 %).

d. Responden yang memiliki persepsi ventilasi di tempat kerja buruk

lebih besar yaitu berjumlah 48 orang (69,6 %).

e. Rata-rata konflik peran yang dirasakan responden yaitu sebesar 3,56.

f. Rata-rata ketaksaan peran yang dirasakan respoden yaitu sebesar 2,48.

g. Rata-rata konflik interpersonal yang dimiliki responden yaitu sebesar

2,27.

h. Rata-rata ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan responden yaitu

sebesar 2,7.

i. Rata-rata kurangnya kontrol yang dirasakan responden yaitu sebesar

2,93.

j. Rata-rata kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan responden yaitu

sebesar 3,29.

k. Rata-rata jumlah beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar

3,26.

l. Rata-rata variasi beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar

3,62.

m. Rata-rata tanggung jawab yang dimiliki responden terhadap pekerja

lain yaitu sebesar 2,96.

n. Rata-rata kemampuan yang tidak digunakan yang dirasakan respoden

yaitu sebesar 2,55.

176
o. Rata-rata tuntutan mental yang dirasakan respoden yaitu sebesar 3,09.

p. Responden yang bekerja secara tidak shift lebih besar yaitu berjumlah

39 orang (56,5 %).

4. Rata-rata aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki responden yaitu sebesar

2,19.

5. Rata-rata dukungan sosial yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,87.

6. Hubungan antara faktor individual dengan stress kerja adalah sebagai

berikut:

a. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, umur, status pernikahan,

jumlah anak, masa kerja dan kepribadian tipe A dengan stress kerja

pada pekerja di PT X tahun 2014.

b. Ada hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja pada pekerja di

PT X tahun 2014.

7. Hubungan antara faktor pekerjaan dengan stress kerja adalah sebagai

berikut:

a. Tidak ada hubungan antara kebisingan, pencahayaan, ventilasi,

kurangnya kontrol, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap

pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan

shift kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

b. Ada hubungan antara suhu, konflik peran, ketaksaan peran, konflik

interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kesempatan kerja

dan jumlah beban kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X

tahun 2014.

177
8. Tidak ada hubungan antara faktor aktivitas di luar pekerjaan dengan stress

kerja pada pekerja di PT X 2014.

9. Tidak ada hubungan antara faktor dukungan sosial dengan stress kerja

pada pekerja di PT X 2014.

10. Faktor yang masuk model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja,

kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi

beban kerja dengan faktor yang paling dominan berhubungan yaitu faktor

jumlah beban kerja.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Perusahaan

1. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan antara jumlah beban

kerja dengan kemampuan pekerja, mendiskusikan cara penyelesaian

pekerjaan bersama dengan pekerja, dan perencanaan deadline

pekerjaan yang realistis serta memperkaya jenis pekerjaan yang

dilakukan pekerja sehingga variasi beban kerja yang dimiliki menjadi

beragam dan pekerja terhindar dari kebosanan kerja. Desain ulang ini

dapat dilakukan pada tahap perencanaan pekerjaan dan dilakukan baik

oleh pihak atasan dan bawahan (manajer dengan supervisor atau

supervisor dengan pekerja).

2. Melakukan komunikasi yang efektif secara rutin setiap meeting

mingguan tiap departemen untuk mendiskusikan masalah yang terjadi

di dalam departemen serta menerapkan strategi konflik dengan cara

kompromi atau menggunakan peraturan untuk menyelesaikan konflik

interpersonal antar pekerja.

178
3. Menurunkan suhu udara di area plant dengan menggunakan ventilasi

dilusi hingga mencapai suhu udara yang nyaman bagi pekerja (18-

28oC) serta menyesuaikan kualitas seragam dengan menggunakan

material alami, seperti katun dan wool dan ukuran yang longgar untuk

memudahkan penguapan keringat.

4. Mengendalikan kebisingan di lingkungan kerja dengan melakukan

pengendalian teknis, seperti pemasangan barrier untuk meredam

bising

5. Memperbaiki pencahayaan baik menggunakan pencahayaan alami

maupun buatan hingga sesuai dengan batas minimal pencahayaan yang

baik sesuai dengan lokasi kerja (lobby 100 lux, ruang kerja 350 lux,

laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux).

6. Melakukan pergantian udara secara alamiah dan melakukan

pemeliharaan AC secara periodik minimal satu tahun sekali agar

sirkulasi udara berjalan dengan baik.

7. Meningkatkan komunikasi dengan pekerja mengenai cara penyelesaian

pekerjaan untuk mengendalikan konflik peran yang dirasakan pekerja

dan memberikan pelatihan untuk menjelaskan spesifikasi dan tanggung

jawab pekerjaan yang harus dilakukan pekerja.

8. Melakukan komunikasi yang efektif antara atasan dengan bawahan

(manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja) untuk

mengatasi hambatan kerja dan memperjelas peran dan tanggung jawab

untuk mengendalikan ketaksaan peran.

179
9. Meningkatkan upaya kerja yang stabil, pembuatan kontrak kerja yang

jelas serta menerapkan kebijakan yang jelas mengenai kepastian kerja

untuk mengurangi kekhawatiran pekerja terhadap ketidakpastian

pekerjaan yang mereka rasakan.

10. Meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan

penyelesaian masalah melalui rapat perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi kerja untuk meningkatkan kontrol pekerja terhadap pekerjaan.

11. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan kemampuan pekerja

dengan tanggung jawab yang harus diemban dan berusaha

mendelegasikan tanggung jawab kepada pihak lain yang memiliki

pekerjaan lebih sedikit serta menyesuaikan pekerjaan dengan kapasitas

pekerja, melakukan rotasi tingkat kesulitan dan tantangan dalam

bekerja serta mengembangkan kemampuan dan performa dalam

bekerja.

7.2.2 Bagi Pekerja

1. Melakukan manajemen stress dengan berpikir positif terhadap

kemampuan diri dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja

serta membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini atau

tempat lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru.

2. Menyampaikan ketidaknyamanan suhu yang dirasakan kepada

Departemen HSE ketika dilakukannya safety meeting mingguan agar

Departemen HSE bersama pihak manajemen melakukan perbaikan

kondisi lingkungan kerja yang tidak sesuai.

180
3. Mengatur waktu dengan baik antara menyelesaikan pekerjaan dengan

kehidupan pribadi serta tidak memaksakan diri dalam bekerja.

7.2.3 Bagi Peneliti Lain

1. Meningkatkan jumlah sampel untuk penelitian multivariat.


2. Melakukan penelitian stress kerja hingga ke tahap stress kerja kronis.

181
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, R., Widyahening, I. S., Amri, Z., & Kusumawardhani, A. (2011). Stressor

Kerja dan Insomnia pada Petugas Pemadam Kebakaran di Jakarta Selatan.

Journal Indonesia Medical Association, 61(12).

Aghaei, M., Asadollahi, A., Moezzi, A. D., Beigi, M., & Parvinnejad, F. (2013). The

Relation Between PersonalitY Type, Locus of Control, Occupational

Satisfaction and Occupational Exhaustion and Determining the Effectiveness

of Stress Innoculation Training (SIT) on Reducing it among Staffers of Saipa

Company. Journal of Recent Science, 2(12), 6-11.

AIS. (2013). Workplace Stress. http://www.stress.org/workplace-stress/

Ajala, E. M. (2012). The Influence of Workplace Environment on Workers Welfare,

Performance and Productivity. African Educational Research Network, 12(1).

Aldwin, C. M. (2007). Stress, Coping, and Development: An Integrative Perspective.

United States of America: The Guilford Press.

Amran, Y. (2012). Pengolahan dan Analisis Data Statistik di Bidang Kesehatan.

Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Aneshensel, C. S., Phelan, J. C., & Bierman, A. (2013). Handbook of the Sociology

of Mental Health. New York: Springer Science.

Anismasahun, & Oladeni. (2012). Effects of Length of Marriage and Number of

Children on Marital Satisfaction Among Baptist Couples in Lagos State,

Nigeria. International Journal of Current Research, 4, 163-171.

182
Anton. (2009). The Impact of Role Stress on Workers Behavior Through Job

Satisfaction and Organizational Commitment. International Journal

Psychology, 44(3), 187-194.

Antoniou, Polychroni, F., & Vlachakis, A. N. (2006). Gender and Age Differences in

Occupational Stress and Professional Burnout Between Primary and High-

school Teachers in Greece. Journal of Managerial Psychology, 81, 682-690.

Authority, S. W. E. (2006). Stress. Swedia: Work Environment Retrieved from

http://www.av.se/dokument/inenglish/themes/stress.pdf.

Awbi, H. B. (2008). Ventilation Systems: Design and Performance. United States of

America: Taylor & Francis.

Azmoon, H., Dehghan, H., Akbari, J., & Souri, S. (2012). The Relationship bertween

Thermal Comfort and Light Intensity with Sleep Quality and Eye Tiredness

in Shift Work Nurses. Journal of Environment and Public Health.

Barling, J., Kelloway, E. K., & Frone, M. R. (2005). Handbook of Work Stress.

United States of America: Sage Publications Inc.

Bickford, M. (2005).

Stress in the Workplace: A General Overview of the Causes, the Effects, and

the Solution. http://www.cmhanl.ca/pdf/Work%20Place%20Stress.pdf

Bizymoms. (2013). The Lack of Job Opportunities. http://www.bizymoms.com/job-

career/lack-of-job-opportunities.html

Borkowski, N. (2011). Organizational Behavior in Health Care. United States of

America: Jones and Barlett Publishers.

183
Burgard, S. A., Kalousova, L., & Seefeldt, K. S. (2012). Perceived Job Insecurity and

Health: The Michigan Recession and Recovery Study. Journal of

Occupational and Environmental Medicine, 54(9), 1101-1106.

Byrne, D. G., & Rosenman, R. H. (1990). Anxiety and the Heart. United States of

America: Hemisphere Publishing Corporation.

Cardwell, M., & Flanagan, C. (2005). Psychology AS

Casper, J. (2014). Stress Response Ability.

http://nutritionalbalancing.org/center/htma/conditions/articles/distress.php

CCOHS. (2008). Industrial Ventilation.

http://www.ccohs.ca/oshanswers/prevention/ventilation/introduction.html

CDC. (2004). Worker Health Chartbook. Columbia: Department of Health and

Human Services.

Chirumbolo, A., & Areni, A. (2005). The Influence of Job Insecurity on Job

Performance and Absenteeism: The Moderating Effect of Work Attitudes.

Journal of Industrial Psychology, 31(4), 65-71.

CMHA. (2014). Children and the Stress of Parenting.

http://www.cmha.ca/mental_health/the-stress-of-parenting/#.U15CD_mSxnY

Cooper, C. L. (2013). From Stress to Wellbeing. New York: Palgrave Macmillan.

Crandall, R., & Perrewe, P. L. (1995). Occupational Stress: A Handbook. United

States of America: Taylor & Francis.

Desy. (2002). Tingkat Stress Kerja dan Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Stress Kerja pada Karyawan Bagian Marketing Services PT Unilever

Indonesia Tbk Jakarta Tahun 2002. Universitas Indonesia, Depok.

184
Dewe, P. J., O'Driscoll, M. P., & Cooper, C. L. (2010). Coping wth Work Stress: A

Review and Critique. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd.

Dobreva-Martinova, T., Villeneuve, M., Strickland, L., & Matheson, K. (2002).

Occupational Role Stress in the Canadian forces: Its association with

Individual and Organizational Well-Being. Canadian Journal of Behavioural

Science, 34(2), 111-121.

Dollard, M. F., Winefield, A. H., & Winefield, H. R. (2003). Occupational Stress in

the Service Professions. New York: Taylor & Francis Ltd.

Edelmann, R. J. (2000). Interpersonal Conflicts At Work. India: Universities Press.

Emeny, R. (2013). Workplace Stress Poses Risk to Health. Brain, Behavior, and

Immunity and Psychosomatic Medicine.

Eurofound. (2010). Work Related Stress

Fink, G. (2010). Stress Consequences: Mental, Neuropsychological, and

Socioeconomic. United Kingdom: Elsevier.

Firmana, A. S., Firmana, W. H., & Hariyono, W. (2011). Hubungan Shift Kerja

Dengan Stres Kerja Pada Karyawan Bagian Operation PT Newmon Nusa

Tenggara di Kabupaten Sumbawa. Kesehatan Masyarakat, 5.

Fitri, A. M. (2013). Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian

Stress Kerja Pada Karyawan Bank. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2.

Flin, R. H., O'Connor, P., & Crichton, M. (2008). Safety at the Sharp End: A Guide

to Non-technical Skills. United States of America: Ashgate Publishing

Limited.

185
Forbes. (2012). The Key to Economic Growth: Reduce The Unemployment Rate.

http://www.forbes.com/sites/mikepatton/2012/08/27/the-key-to-economic-

growth-reduce-the-unemployment-rate/

Gatchel, R. J., & Schultz, I. Z. (2012). Handbook of Occupational Health and

Wellness. New York: Springer.

Golubic, R., Milosevic, M., Knezevic, B., & Mustajbegovic, J. (2009). Work-related

Stress, Education, And Work Ability Among Hospital Nurses. Journal of

Advanced Nursing, 65(10), 2056-2066.

Gryna, F. M. (2004). Work Overload: Redesigning Jobs to Minimize Stress and

Burnout. United States of America: Quality Press.

Halkos, G., & Bousinakis, D. (2010). The Effct of Stress and Satisfaction on

Productivity. International Journal of Productivity and Performance

Management, 59(5), 415-431.

Hansson, R., Robson, S., & Limas, M. (2001). Stress and Coping Among Older

Workers. NCBI, 17(3), 247-256.

Hardy, S., Carson, J., & Thomas, B. (1998). Occupational Stress: Personal and

Professional Approaches. United Kingdom: Stanley Thornes Ltd.

Harigopal, K. (1995). Organizational Stress: A Study of Role Conflict

Heaney, C. A., Israel, B. A., & House, J. S. (1994). Chronic Job Insecurity Among

Automobile Workers: Effects on Job Satisfaction and Health. Social Science

Medical, 38(10), 1431-1437.

Heery, E., & Salmon, J. (1998). The Insecure Workforce: Cardiff University.

Hess, J. (2008). Marital Satisfaction and Parental Stress. (Magister), Utah State

University, Logan, Utah. Retrieved from

186
http://books.google.co.id/books?id=t-

aT34ocDf8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

Hidayat, B. U. A. (2012). Hubungan Tingkat Stress dengan Kejadian Insomnia pada

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro.

Universitas Diponegoro, Semarang. Retrieved from

http://eprints.undip.ac.id/33160/10/Artikel_HUBUNGAN_TINGKAT_STRE

S_DENGAN_KEJADIAN_INSOMNIA.pdf

Hiriyappa, B. (2013). A Person Who Can Manage The Stress At Workplace in an

Organization

HSE. (2001). A Critical Review of Psychosocial Hazard Measure.

Hubbard, J. R. (1998). Handbook of Stress Medicine: An Organ System Approach

Hurrell, J. J. (1990). An Overview of Organizational Stress and Health. United States

of America: NIOSH.

Ikeda, Nakata, Takahashi, JHojou, Haratani, Nishikido, & Kamibeppu. (2009).

Correlates of Depressive Symptomps Among Workers in Small and Medium

Scale Manufacturing Enterprises in Japan. Occupational Health, 51, 26-37.

ILO. (2003). Work Stress in The Context of Transition. Budapest: ILO.

ILO. (2012). Stress Prevention at Work Checkpoints

Ivancevich, J. M., & Ganster, D. C. (2014). Job Stress From Theory to Suggestion.

USA: Taylor & Francis.

Jamal, M., & Ahmed, S. W. (2009). Job Stress, Stress-Prone Type A Behavior, and

Personal and Organizational Consequences. Canadian Journal of

Administrative Sciences, 2(2), 360-374.

187
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A Scientist-

Practitioner Approach. Canada: John Wiley & Sons Inc.

Juneja, N. (2004). How Principals Manage Stress: Strategies for Successful Coping.

India: Krishan Mittal.

Karwowski, W. (2006). International Encyclopaedia of Ergonomics and Human

Factors. United States of America: CRC Press.

Kato, K. (2008). The Effect of Co-Worker Support on A Worker's Stress: The

Mediating Effects of Perceived Job Characteristics. Michigan States

University, Michigan. Retrieved from

http://books.google.co.id/books?id=AGNsKc11JuIC&pg=PA11&dq=qualitat

ive+workload&hl=id&sa=X&ei=0C6hU9DaBo6UuATpvoKACw&ved=0CF

IQ6AEwCA#v=onepage&q=qualitative%20workload&f=false

Kazronian, S., Zakerian, S., Saraji, J., & Hosseini, M. (2013). Reliability and

Validity Study of the NIOSH Generic Job Stress Questionnaire Among

Firefighters in Iran. Journal Health and Safety of Work, 3(3).

Klau, I. C. T. (2010). Hubungan Stres Kerja Pada Perawat Shift Malam Dengan

Kinerja Perawat di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang. Universitas

Brawijaya, Malam Retrieved from

http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan/ike%20christine.pd

Konno, & Munakata. (2014). Skill Underutilization is Associated with Higher

Prevalence of Hypertension the Watari Study. Occupational Health.

Koradecka, D. (2010). Handbook of Occupational Safety and Health. United States

of America: CRC Press.

188
Koslowsky, M. (1998). Modelling the Stress-Strain Relationship in Work Settings.

London: Routledge.

Krantz, G., Burntson, L., & Lundberg, U. (2005). Total Workload, Work Stress and

Perceived Symptoms in Swedish Male and Female White-collar Employees.

European Journal of Public Health, 15, 209-214.

Kroemer, K. H. E., & Grandjeai, E. (1997). Fitting The Task to The Human (Fifth

ed.). London: Taylor & Francis Ltd.

Kumari, M. (2008). Personality and Occupational Stress Differentials of Female

School Teachers in Haryana. Journal of the Indian Academy of Applied

Psychology, 34(2), 251-257.

Labour. (2010). Pencegahan Terhadap Serangan Hawa Panas Pada Saat Bekerja di

Lingkungan yang Panas.

http://www.labour.gov.hk/eng/public/oh/HeatStroke_Indo.pdf

Leavitt, J., & Leavitt, F. (2011). Improving Medical Outcomes: The Psychology of

Doctor-Patient Visits. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers

Inc.

Lewin, D., Kaufman, B. E., & Gollan, P. J. (2011). Advances in Industrial and Labor

Relations. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited.

Lundberg, U., & Cooper, C. L. (2011). The Science of Occupational Health: Stress,

Psychobiology, and the New World of Work. United Kingdom: Blackwell

Publishing.

Matthews, G., Deary, I. J., & Whiteman, M. C. (2003). Personality Traits

McLeod, S. (2011). Type A Personality.

http://www.simplypsychology.org/personality-a.html

189
Mroczek, D. K., & Almeida, D. M. (2004). The Effect of Daily Stress, Personality,

and Age on Daily Negative Effect. Journal of Personality.

Mruk, C. J. (2006). Self Esteem Research, Theory, and Practice. United States of

America: Springer Publishing Company.

Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.

Murphy, L. R., & Hurrell, J. (1992). Stress Management in Work Settings An

Overview of Organizational Stress and Health Retrieved from

http://www.cdc.gov/niosh/pdfs/87-111-c.pdf

Nelson, D., & Quick, J. (2013). Organizational Behavior: Science, The Real World

and You. United States of America: Cengange Learning.

NIOSH. (1999a). Stress At Work. What Can Be Done About Job Stress?

http://www.cdc.gov/niosh/docs/99-101/pdfs/99-101.pdf

NIOSH. (1999b). Stress At Work. Columbia: NIOSH.

Nishitani, N., Sakakibara, H., & Akiyama, I. (2013). Short Sleeping Time and Job

Stress in Japanese White-Collar Workers. The Open Sleep Journal, 6, 104-

109.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nuryati, K. (2007). Tingkat Stress Kerja Pada Karyawan SPBU Bagian Operator

Ditinjau Dari Shift Kerja. Universitas Katholik Soegijapranata, Semarang.

O'Rourke, J., & Collins, S. (2009). Managing Conflict and Workplace Relationships

Ogden, J. (2012). Health Psychology. New York: McGraw Hill.

Olatunji, & Mokuolu, B. (2014). The Influence of Sex, Marital Status, and Tneure of

Service on Job Stress, and Job Satisfaction of Health Workers in a Nigerian

190
Federal Health Institution. International Multidisciplinary Journal, 8(1), 126-

133.

Olpin, M., & Hesson, M. (2010). Stress Management for Life. United States of

America: Wadsworth Cengange Learning.

OSHA. (2014). Stress - Definition and Symptoms.

https://osha.europa.eu/en/topics/stress/definitions_and_causes

Oxington, K. H. (2005). Psychology of Stress. New York: Nova Science Publisher.

Paludi, M. A., Vlydegger, R., & Paludi, C. A. (2006). Understanding Workplace

Violence: A Guide for Managers and Employees. United States of America:

Praeger Publishers.

Penn, R. (1994). Skill and Occupational Change. United Kingdom: Oxford

University Press.

Perlmutter, D., & Villoldo, A. (2011). Power Up Your Brain

Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2010). New Development in Theoretical and

Conceptual Approaches to Job Stress. United Kingdom: Emerald Group.

Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2011). The Role of Individual Differences in

Occupational Stress and Well Being. United Kingdom: Emerald Group

Publishing Limited.

Pestonjee, D., & Pandey, S. (2013). Stress and Work: Perspective in Understanding

and Managing Stress. India: Sage Publishing.

Praag, H. V., Kloet, E. d., & Os, J. v. (2004). Stress, the Brain and Depression. New

York: Cambridge University Press.

191
Quah, J., & Campbell, K. M. (1994). Role Conflict and Role Ambiguity as Factors in

Work Stress Among Managers in Singapore. Huma Resource Management,

2.

Rahim, M. A. (2011). Managing Conflict in Organizations. United States of

America: Transaction Publishers.

Ram, N., Khoso, I., Shah, A. A., Chandio, F. R., & Shaikih, F. M. (2011). Role

Conflict and Role Ambiguity as Factors in Work Stress Among Managers: A

Case Study of Manufacturing Sector in Pakistan. Asian Social Science, 7(2).

Rauschenbach, C., Krumm, S., Thielgen, M., & Hertel, G. (2013). Age and Work

Related Stress: A Review and Meta Analysis. Journal of Managerial

Psychology, 28(7), 781-804.

Resnick, B. (2004). Restorative Care Nursing for Older Adults: A Guide for All Care

Settings. New York: Springer Publishing Company Inc.

Robbins, S. P. (2009). Organizational Behaviour in Southern Africa. South Africa:

Pearson Education.

Rose, A. H. (1994). Human Stress and The Environment (Vol. 5). Swiss: Gordon and

Breach Science Publishers.

Ross, R. R., & Altmaier, E. M. (2000). Intervention in Occupational Stress: A

Handbook of Counselling for Stress At Work. London: Sage Publications.

Rossi, A. M., Perrewe, P. L., & Sauter, S. L. (2006). Stress and Quality of Working

Life: Current Perspective in Occupational Health. United States of America:

IAP-Information Age Publishing Inc.

Rout, U. R., & Rout, J. K. (2002). Stress Management for Primary Health Care

Professional. United States of America: Kluwer Academic.

192
Sams, D. (2005). An Empirical Examination of Job Stress and Management of

Emotionally-Based Behavior: Frontline Social Service Personnel

Perspective. University of South Florida, United States of America. Retrieved

from

http://books.google.co.id/books?id=_5qVD8WjLvkC&pg=PA35&dq=role+c

onflict+to+job+stress&hl=id&sa=X&ei=-

XKiU_XPPMmfugSL6YHYCg&ved=0CDIQ6AEwAw#v=onepage&q=role

%20conflict%20to%20job%20stress&f=false

Sarwono, & Purwono. (2006). Hubungan Masa Kerja Dengan Stres Kerja Pada

Pustakawan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala

Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 1.

Schabracq, M. J., Winnubst, J. A., & Cooper, C. L. (2003). The Handbook of Work

and Health Psychology. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd.

Schlick, C. M., Frieling, E., & Wegge, J. (2013). Age Differentiated Work Systems.

New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Schroeder, L. (2013). Managing Environment Stress in the Workplace. (49).

www.familyserviceseap.com

Shute, N. (2009). Having Children Adds Stress to Marriage.

http://health.usnews.com/health-news/blogs/on-parenting/2009/04/13/having-

children-adds-stress-to-marriage

Singh, H. (2009). Organizational Behaviour. India: Neekuni Print Process.

Singh, L. B. (2006). The Scourge of Unemployment in India and Psychological

Health. India: Ashok Kumar Mittal.

193
Sonnentag, S., Perrewe, P. L., & Ganster, D. C. (2009). Current Perspective on Job

Stress Recovery. United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited.

Speegle, M. (2013). Safety, Health, and Environmental Concepts for the Process

Industry. United States of America: Delmar.

Stellman, J. M. (1998). Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Geneva:

ILO.

Stranks, J. (2005). Stress at Work Management and Prevention. Inggris: Elsevier

Butterworth-Heinemann.

Stroh, L. K., Northcraft, G. B., & Neale, M. A. (2008). OrganizationaL Behavior: A

Management Challenge. United States of America: Taylor & Francis.

Sukmono, T. (2013). Hubungan Antara Karakteristik Individu Dengan Tingkat

Stress Kerja Perawat Indonesia yang Bekerja di Qatar. Universitas

Muhammadiyah Semarang, Semarang. Retrieved from

http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-

gdl-trisukmono-7019

Sutherland, V. J., & Cooper, C. L. (2010). Strategic Stress Management: An

Organizational Approach. United Kingdom: Palgrave Macmillan.

Swain, S. (2008). Applied Psychology: India Specific and Cross-Cultural

Perspectives. India: New Vishals.

Swapana, C., Singh, A., & Demen, J. (2008). Type A Behavior Pattern, Stress and

Coronary Heart Disease. Annals of General Psychiatry, 7.

Tawatsupa, B., Lim, L. L., Kjellstrom, T., Seubsman, S.-a., & Sleigh, A. (2010). The

Association Between Overall Health, Psychological Distress, and

194
Occupational Heat Stress Among a Large National Cohort of 40,913 Thai

Workers. Global Health Action.

Tsuno, Kawakami, Inoue, Ishizaki, Tabata, Tsuchiya, . . . Shimazu. (2009).

Intragroup and Intergroup Conflict at Work, Psychological Distress, and

Work Engangement in a Sample of Employees in Japan. Industrial Health.

Vajdi, M. (1991). The Human Jungle. United States of America: Rosemont

Publishing.

Vanishree, P. (2014a). Impact of Role Ambiguity, Role Conflict and Role Overload

on Job STress in Small and Medium Scale Industries. Journal of

Management Sciences, 3(1), 10-13.

Vanishree, P. (2014b). Impact of Role Ambiguity, Role Conflict and Role Overload

on Job Stress in Small and Medium Scale Industries. Research Journal of

Management Sciences, 3(1), 10-13.

WHO. (2003). Work Organization and Stress. United Kingdom: WHO.

WHO. (2010). Health Impact of Psychosocial Hazards at Work: An Overview.

Wijono, S. (2010). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Kencana.

Witte, H. D. (2005). Job Insecurity: Review of The International Literature on

Definitions, Prevalence, Antecendents and Consequences. Journal of

Industrial Psychology, 31(4), 1-6.

Yahaya, A., Yahaya, N., Amat, F., Bon, A. T., & Zakariya, Z. (2010). The Effect of

Various Modes of Occupational Stress, Job Satisfactiob, Intention to Leave

and Absenteism Companies Commission of Malaysia. Australian Journal of

Basic and Applied Sciences.

195
Yasuaki, S., Takeji, U., & Yoshihiro, H. (2012). Post Traumatic Stress Disorder and

Job Stress Among Firefighters of Urban Japan.

Zyl, L. V., Eeden, C. V., & Rothmann, S. (2013). Job Insecurity and The Emotional

and Behavioral Consequences Journal Bussiness Management, 44(1).

196
No. Responden (Diisi Oleh Peneliti):

Kuesioner Penelitian

NIOSH Generic Job Stress Questionnaire

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya Asri Karima mahasiswa semester 8 peminatan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya akan melakukan penelitian mengenai Faktor-faktor yang
Berhubungan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014. Dalam rangka penelitian
tersebut, saya meminta kesediaan anda untuk mengisi kuesioner ini. Sebelum anda mengisinya,
silahkan membaca dengan seksama petunjuk pengisian. Jawablah setiap pertanyaan sesuai kondisi
yang anda alami. Jawaban yang anda tulis akan sangat membantu saya. Penelitian ini tidak akan
mencapai sasaran jika anda tidak menjawabnya sesuai dengan kondisi yang anda alami. Semua data
dalam kuesioner ini akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk penelitian. Sebelum
mengembalikan kuesioner ini, mohon periksa jawaban Anda, jangan sampai ada yang terlewat. Atas
bantuan dan kerja sama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih.

Responden Peneliti

Asri Karima

PETUNJUK PENGISIAN

1. Bacalah setiap pertanyaan dan setiap pilihan jawaban dengan seksama

2. Isilah setiap pertanyaan pada kolom jawaban yang tersedia di bagian kanan

3. Beri tanda ceklis () pada kolom pilihan jawaban yang tersedia untuk tipe pertanyaan dengan
skala Sangat Tidak Setuju Sangat Setuju / Sangat Mudah Sulit / Tidak Pernah - Sangat
Sering, dsb

4. Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia untuk tipe
pertanyaan dengan skala 0 3 / 1 5 / 1 7 . Sesuaikan jawaban anda dengan pilihan skala
yang tersedia di masing-masing pertanyaan.
IDENTITAS DIRI

Nama Lengkap
No. Handphone
Departemen

A. INFORMASI PRIBADI

No Pertanyaan Jawaban
A1 Jenis Kelamin
1. Perempuan
2. Laki-laki
A2 Tanggal lahir
A3 Status Pernikahan
1. Tidak Menikah
2. Menikah
A4 Berapa jumlah anak anda Orang

B. INFORMASI UMUM PEKERJAAN

No. Pertanyaan Jawaban

B1 Sudah berapa lama anda bekerja di perusahaan ini? Tahun Bulan

B2 Pilihlah deskripsi yang sesuai dengan situasi anda


1. Pekerja tetap
2. Pekerja kontrak
3. Pekerja lepas
B3 Pilihlah keadaan shift kerja anda
1. Rotasi shift setiap 8 jam kerja
2. Tanpa rotasi shift
B4 Jika anda bekerja secara shift, bagaimana pola rotasi shift anda?
1. Shift 8 Jam; Pagi-Sore-Malam
2. Shift 8 Jam; Malam-Sore-Pagi
3. Shift 8 Jam; tanpa pola
C. LINGKUNGAN FISIK

No. Pernyataan Benar Salah


C1 Tingkat kebisingan di area kerja saya tinggi
C2 Tingkat pencahayaan di area kerja saya rendah atau gelap
C3 Suhu di area kerja saya selama musim kemarau cenderung nyaman
C4 Suhu di area kerja saya selama musim hujan cenderung nyaman
C5 Kelembaban area kerja saya terlalu tinggi atau terlalu rendah
C6 Sirkulasi udara di area kerja saya baik
C7 Udara di area kerja saya bersih dan terbebas polusi

D. KONFLIK PERAN DAN KETAKSAAN PERAN

Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia!
Pilihan Jawaban
1 = Sangat tidak tepat sekali; 4 = Tidak tepat; 7 = Sangat tepat sekali
2 = Sangat tidak tepat; 5 = Tepat;
3 = Kurang tepat; 6 = Sangat tepat;
No Pernyataan Jawaban
D1 Saya mengetahui hak saya sebagai pekerja
D2 Saya mengetahui dengan jelas rencana, sasaran dan tujuan pekerjaan saya
D3 Saya harus menyelesaikan pekerjaan dengan cara yang berbeda atau tidak biasa
D4 Saya membagi waktu dengan baik selama bekerja
D5 Saya mendapat tugas tanpa adanya bantuan padahal saya membutuhkannya
D6 Saya mengetahui tanggung jawab kerja saya
D7 Saya harus melanggar peraturan atau kebijakan untuk menyelesaikan tugas
saya
D8 Saya bekerja dengan dua departemen atau lebih yang memiliki cara bekerja
berbeda dengan departemen saya
D9 Saya mengetahui apa yang diharapkan perusahaan dari hasil kerja saya
D10 Saya mendapat permintaan kerja yang bertentangan dari dua orang atau lebih
D11 Cara saya menyelesaikan pekerjaan tidak dapat diterima orang lain
D12 Saya menerima tugas tanpa sumber daya dan material yang cukup untuk
menyelesaikannya
D13 Saya mengetahui tugas yang harus saya selesaikan selama bekerja
D14 Saya mengerjakan hal yang tidak penting
E. KONFLIK INTERPERSONAL

Sangat
Tidak Sangat
No. Pernyataan Tidak Netral Setuju
Setuju Setuju
Setuju
Adanya kerukunan antar anggota departemen
E1.
saya
Dalam departemen saya, kami sering berselisih
E2.
mengenai pekerjaan
Adanya perbedaan pendapat di antara anggota
E3.
departemen saya
E4. Adanya perselisihan di departemen saya
Setiap anggota departemen saya saling
E5.
mendukung ide anggota lainnya
Adanya perselisihan antar tim kerja di dalam
E6.
departemen saya
Adanya keramahan di antara anggota
E7.
departemen
Adanya rasa kebersamaan di dalam departemen
E8.
saya
Adanya perselisihan antara departemen saya
E9.
dengan departemen lain
Adanya kesepakatan kerja antara departemen
E10.
saya dengan departemen lain
Departemen lain menyembunyikan informasi
E11.
penting yang dibutuhkan departemen saya
Hubungan antara departemen saya dengan
E12. departemen lain berjalan rukun dalam
mencapai tujuan organisasi
Kurangnya rasa tolong menolong antara
E13.
departemen saya dengan departemen lain
Adanya kerjasama antara departemen saya
E14.
dengan departemen lain
Adanya perselisihan antara departemen saya
E15.
dengan departemen lain
Departemen lain membuat masalah dengan
E16.
departemen saya
F. KETIDAKPASTIAN PEKERJAAN

Sangat
Tidak Cukup Sangat
No Pertanyaan Tidak Yakin
Yakin Yakin Yakin
Yakin
F1 Apakah anda yakin dengan masa depan
pekerjaan anda?
F2 Seberapa yakin anda akan mendapat kesempatan
kenaikan jabatan beberapa tahun ke depan?
F3 Seberapa yakin keterampilan kerja anda akan
berguna dan bernilai lima tahun mendatang?
F4 Seberapa yakin diri anda mengenai tanggung
jawab pekerjaan yang akan anda dapatkan
selama enam bulan ke depan?

G. SKALA OTORITAS KERJA

Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pernyataan di
bawah ini berkaitan dengan pengaruh anda dalam mengatur pekerjaan di departemen anda.

Pilihan Jawaban

1 = Sangat kecil 3 = Cukup Besar 5 = Sangat besar


2 = Kecil 4 = Besar
No Pertanyaan Jawaban
G1 Berapa besar hak anda dalam mengatur pekerjaan?
G2 Berapa besar tugas anda dalam mengatur ketersediaan pasokan alat di
departemen anda?
G3 Berapa besar hak anda dalam mengatur urutan pekerjaan yang akan dilakukan?
G4 Berapa besar hak anda dalam menentukan jumlah pekerjaan yang akan anda
lakukan?
G5 Berapa besar hak anda dalam menentukan waktu penyelesaian pekerjaan?
G6 Berapa besar pengaruh anda terhadap kualitas pekerjaan anda?
G7 Berapa besar hak anda dalam menata area kerja?
G8 Berapa besar hak anda dalam mengatur pembagian tim kerja?
G9 Berapa besar tugas anda dalam melakukan pengawasan pekerjaan?
G10 Berapa besar pengaruh anda dalam pengambilan keputusan di departemen
anda?
G11 Berapa besar pengaruh anda dalam menentukan kebijakan dan prosedur di
departemen anda?
No Pertanyaan Jawaban
G12 Berapa besar tugas anda dalam memastikan ketersediaan material kerja?
G13 Berapa besar tugas anda untuk memberikan pelatihan terhadap anggota
departemen anda?
G14 Berapa besar hak anda dalam menentukan penataan peralatan kerja?
G15 Selama bekerja, apakah anda memiliki waktu untuk beristirahat sejenak?
G16 Berapa besar pengaruh jabatan anda terhadap pekerjaan di departemen anda?

H. KESEMPATAN KERJA

Sangat Cukup Sangat


No. Pertanyaan Mudah Sulit
Mudah Mudah Sulit
H1 Apakah mudah untuk mendapatkan pekerjaan di
perusahaan lain?
H2 Apakah mudah untuk menemukan pekerjaan di
perusahaan lain sebaik pekerjaan anda saat ini?
H3 Bagaimana anda menggambarkan ketersediaan
lowongan kerja di perusahaan lain yang sesuai
dengan kemampuan diri anda?
H4 Berapa besar kemungkinan anda untuk pindah
ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan di
perusahaan lain?

I. TUNTUTAN KERJA

Tidak Kadang- Sangat


No Pertanyaan Jarang Sering
Pernah kadang Sering
I1 Seberapa sering anda dituntut bekerja sangat
cepat?
I2 Seberapa sering anda dituntut untuk bekerja
sangat keras?
I3 Seberapa sering pekerjaan anda sangat
menyita waktu anda?
I4 Seberapa sering anda diharuskan mengambil
keputusan besar yang berkaitan dengan
pekerjaan anda?
I5 Seberapa sering beban kerja anda bertambah?
I6 Seberapa sering anda harus meningkatkan
konsentrasi selama bekerja?
Tidak Kadang- Sangat
No Pertanyaan Jarang Sering
Pernah kadang Sering
I7 Seberapa sering anda diharuskan berpikir
dengan cepat selama bekerja?
I8 Seberapa sering anda menggunakan
kemampuan dan pengetahuan yang didapat
ketika sekolah?
I9 Seberapa sering anda diberi kesempatan untuk
melakukan pekerjaan dengan menggunakan
kemampuan terbaik anda?
I10 Seberapa sering anda menggunakan
keterampilan yang didapat pelatihan dalam
bekerja?

J. BEBAN KERJA DAN TANGGUNG JAWAB

Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pertanyaan di
bawah ini berkaitan dengan beban kerja anda sehari-hari.

Tidak
Tidak Agak Sangat
No Pertanyaan terlalu Banyak
ada banyak banyak
banyak
J1 Berapa banyak beban kerja yang
memperlambat anda?
J2 Selama bekerja, berapa banyak waktu yang
anda gunakan untuk berpikir dan merenung?
J3 Berapa banyak beban kerja anda?
J4 Berapa banyak pekerjaan yang harus anda
selesaikan?
J5 Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan seluruh pekerjaan?
J6 Berapa banyak proyek dan tugas yang anda
dalam bekerja?
J7 Berapa banyak ketenangan yang anda rasakan
di antara beban kerja yang berat?
J8 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap
masa depan orang lain?
J9 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap
keamanan kerja orang lain?
Tidak
Tidak Agak Sangat
No Pertanyaan terlalu Banyak
ada banyak banyak
banyak
J10 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap
moral orang lain?
J11 Berapa besar tanggung jawab anda terhadap
kesejahteraan dan kehidupan orang lain?

K. TUNTUTAN MENTAL

Agak Sangat
Sangat Agak
No Pernyataan Tidak Tidak
Setuju Setuju
Setuju Setuju
K1 Pekerjaan saya membutuhkan konsentrasi yang tinggi
K2 Pekerjaan saya mengharuskan saya mengingatkan banyak
hal
K3 Saya harus fokus dalam bekerja setiap waktu
K4 Saya selalu bekerja dengan santai tetapi pekerjaan saya
tetap selesai dengan baik
K5 Saya tetap dapat bekerja meskipun pikiran saya sedang
tidak fokus

L. PENILAIAN DIRI

Sangat
Tidak Sangat
No Pernyataan Tidak Netral Setuju
Setuju Setuju
Setuju
L1 Secara keseluruhan, saya merasa puas dengan
diri saya
L2 Saya merasa saya tidak cukup untuk
dibanggakan
L3 Terkadang saya merasa tidak berguna
L4 Saya merasa bahwa saya berharga dan setara
dengan orang lain
L5 Saya merasa saya memiliki kualitas diri yang
baik
L6 Saya cenderung merasa bahwa diri saya gagal
L7 Saya berharap bisa lebih peduli terhadap diri
saya
Sangat
Tidak Sangat
No Pernyataan Tidak Netral Setuju
Setuju Setuju
Setuju

L8 Saya bisa melakukan pekerjaan sebaik yang


dilakukan orang lain
L9 Terkadang, saya berpikir saya tidak bisa
melakukan apa-apa
L10 Saya mengambil sikap positif dari diri saya

M. AKTIVITAS DI LUAR PEKERJAAN

No Pertanyaan Ya Tidak
M1 Apakah anda memiliki pekerjaan lain?
M2 Apakah anda memiliki anak di rumah?
M3 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam mengurus anak?
M4 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam membersihkan rumah?
M5 Apakah anda memiliki tanggung jawab utama dalam merawat orang yang lanjut
usia atau orang memiliki kelainan fisik/mental?
M6 Apakah anda sedang sekolah dan mengambil kursus untuk mendapat gelar?
M7 Apakah anda mengikuti organisasi keagamaan yang menghabiskan waktu
sekitar 5-10 jam per minggu?
N. DUKUNGAN SOSIAL

Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia!

Pilihan Jawaban

1 = Tidak pernah bercerita masalah pribadi;

2 = Tidak membantu;

3 = Jarang membantu;

4 = Kadang membantu;

5 = Sangat membantu/mudah

No Pertanyaan Jawaban
N1 Apakah keberadaan atasan anda membuat pekerjaan anda lebih mudah?
N2 Apakah rekan kerja anda membuat pekerjaan anda lebih mudah?
N3 Apakah mudah berdiskusi mengenai pekerjaan dengan atasan anda?
N4 Apakah mudah berdiskusi mengenai pekerjaan dengan rekan kerja anda?
N5 Apakah atasan anda mau membantu anda ketika terjadi kesulitan saat bekerja?
Apakah rekan kerja anda mau membantu anda ketika terjadi kesulitan saat
N6
bekerja?
N7 Apakah atasan anda mau mendengarkan masalah pribadi anda?
N8 Apakah rekan kerja anda mau mendengarkan masalah pribadi anda?
O. KEPRIBADIAN TIPE A

Sangat
Tidak Tidak Sangat
No Pernyataan Tidak Tepat
Tepat Tahu Tepat
Tepat
O1 Saya sering merasa gelisah
O2 Saya bekerja dengan cepat dan
energik
O3 Saya sangat lambat ketika berbicara
di telepon
O4 Saya sering terburu-buru ketika
mengerjakan apapun
O5 Saya sering menggerakkan tangan
dan kepala ketika berbicara
O6 Saya jarang mengebut ketika
berkendara
O7 Saya suka pekerjaan yang berpindah-
pindah tempat
O8 Orang-orang mengganggap saya lebih
diam dari biasanya
O9 Gaya berbicara saya lembut
dibandingkan orang lain
O10 Saya selalu menulis dengan cepat
O11 Saya lambat dan hati-hati dalam
bekerja
O12 Cara makan saya lambat
O13 Saya senang mengebut ketika
berkendara
O14 Saya senang bekerja dengan lambat
dan hati-hati
O15 Cara berbicara saya lambat
O16 Saya membiarkan masalah selesai
dengan sendirinya
O17 Saya senang mempengaruhi orang
lain
O18 Cara berjalan saya lambat
O19 Cara makan saya cepat
O20 Saya biasa bekerja dengan cepat
P. PERUBAHAN FISIOLOGIS

Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan perubahan kesehatan yang anda rasakan selama
beberapa bulan terakhir.

Tidak Kadang- Sangat


No Pernyataan Jarang Sering
Pernah kadang Sering
Wajah terasa panas meskipun tidak bekerja
P1
dan cuaca tidak panas
Berkeringat banyak meskipun tidak bekerja
P2
dan cuaca tidak panas
P3 Mulut terasa kering
P4 Otot terasa kaku dan tegang
P5 Anda merasa sakit kepala
P6 Anda merasa kram di kepala atau migrain
Anda merasa ada gumpalan di tenggorokan
P7
atau perasaan tersendat
Tangan anda gemetar tanpa diketahui
P8
penyebabnya
Sesak napas meskipun sedang tidak bekerja
P9
yang berat
P10 Anda merasa jantung anda berdetak cepat
P11 Tangan berkeringat banyak
P12 Anda merasa pusing
Anda mengalami sakit perut saat gugup atau
P13
bingung
Jantung terasa berdebar-debar atau nyeri
P14
dada
Anda mengalami sakit yang mempengaruhi
P15
pekerjaan anda
P16 Kehilangan nafsu makan
P17 Gangguan tidur pada malam hari
Q. PERUBAHAN PSIKOLOGIS

Tuliskan angka yang merupakan jawaban anda pada kolom jawaban yang tersedia! Pernyataan di
bawah ini berkaitan dengan perasaan anda selama beberapa minggu terakhir.
Pilihan Jawaban
0 = Hampir tidak pernah (kurang dari 1 hari);
1 = Jarang terjadi (sekitar 1-2 hari);
2 = Kadang-kadang terjadi (sekitar 3-4 hari);
3 = Hampir terjadi setiap waktu (sekitar 5-7 hari)

No Pernyataan Jawaban
Q1 Saya merasa terganggu dengan hal yang biasanya tidak mengganggu
Q2 Nafsu makan saya menurun
Q3 Saya tidak dapat menghilangkan rasa sedih meskipun telah dibantu teman
atau keluarga saya
Q4 Saya merasa diri saya sebaik orang lain
Q5 Saya sulit berkonsentrasi dalam bekerja
Q6 Saya merasa tertekan atau depresi
Q7 Saya merasa semua yang saya lakukan adalah sebuah usaha
Q8 Saya merasa optimis terhadap masa depan saya
Q9 Saya merasa hidup saya merupakan sebuah kegagalan
Q10 Saya merasa ketakutan
Q11 Saya merasa gelisah ketika tidur
Q12 Saya merasa senang
Q13 Saya berbicara lebih sedikit daripada biasanya
Q14 Saya merasa kesepian
Q15 Saya merasa orang-orang tidak ramah
Q16 Saya menikmati hidup saya
Q17 Saya mudah menangis
Q18 Saya merasa sedih
Q19 Saya merasa orang-orang tidak menyukai saya
Q20 Saya sulit mengalihkan perhatian saya

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda


Hasil Pengukuran Kebisingan

No Lokasi Pengukuran Tingkat Kebisingan Keterangan

1 Depan Office 65,7 dB Aman

2 Mill 1 89,7 dB Tidak Aman

3 Mill 3 83,3 dB Aman

4 Warehouse 73,4 dB Aman

5 Kompressor 80,7 dB Tidak Aman

Hasil Pengukuran Pencahayaan

Tingkat
Lokasi Urutan
No Pencahayaan Keterangan
Pengukuran Tempat
(dalam Lux)
1 Office Lobby 36,05 Tidak Sesuai
Meja 1 441
Meja 2 390
Sesuai
Meja 3 442,3
2 Laboratorium
Meja 4 392,5
Meja 5 243,9
Tidak Sesuai
Meja 6 275,6
Meja 1 43,07
Meja 2 42,65
Meja 3 60,37
Dept. Supply Meja 4 62,34
3 Tidak Sesuai
Chain Meja 5 65,4
Meja 6 66,2
Meja 7 64,58
Meja 8 64,43
Meja 1 131,87
4 Dept. Sales Tidak Sesuai
Meja 2 128,45
5 Dept. General Meja 1 246,8 Tidak Sesuai
Tingkat
Lokasi Urutan
No Pencahayaan Keterangan
Pengukuran Tempat
(dalam Lux)
Resource Meja 2 246,46
Meja 3 246, 57
Meja 1 215,37
Meja 2 214,79
6 Dept. Finance Meja 3 216,25 Tidak Sesuai
Meja 4 215,57
Meja 5 215,47
Meja 1 179,37
Meja 2 181,24
7 Dept. HRGA Meja 3 181,56 Tidak Sesuai
Meja 4 179,53
Meja 5 178,67
Meja 1 94,1
Ruang Meja 2 90
8 Tidak Sesuai
Workshop Meja 3 91,4
Meja 4 97,28
Meja 1 124,3
9 Control Room Meja 2 143,3 Tidak Sesuai
Meja 3 155,4
Mesin 1 1601,67
Sesuai
Mesin 2 843
10 Warehouse
Mesin 3 202,57
Tidak Sesuai
Mesin 4 290,43
Hasil Pengukuran Suhu

No Lokasi Pengukuran Suhu Ruangan Keterangan


(dalam oC)

1 Lobby 24 Sesuai Standar

2 Dept SCM 24 Sesuai Standar

Dept Sales dan General


3 24 Sesuai Standar
Resource

4 Dept Finance 24 Sesuai Standar

5 Dept HRGA 23 Sesuai Standar

6 Ruang Workshop 24 Sesuai Standar

7 Laboratorium 24 Sesuai Standar

8 Control Room 23 Sesuai Standar

Warehouse Tidak Sesuai


9 33
Standar

Hasil Pengukuran Ventilasi

No Lokasi Pengukuran Luas Ruangan Luas Ventilasi Keterangan


1 Lobby 16,5 3,6 Sesuai
2 Dept. Finance 73,8 39,6 Sesuai
Dept. Sales dan
3 147,75 35,1 Sesuai
General Resource
4 Dept. SCM 49,5 10 Sesuai
5 Dept. HRGA 56,16 6,97 Tidak Sesuai
6 Workshop 61,2 10,35 Sesuai
20 4,45 Sesuai
7 Laboratorium
127,75 12,375 Tidak Sesuai
Hasil Pengukuran Kadar Debu

Kadar Debu (dalam


No Lokasi Pengukuran Keterangan
mg/m3)

1 Office 0,003 Aman

2 Laboratorium 0,024 Aman

3 Material Handling Office 0,047 Aman

4 Control Room 0,070 Aman

5 Big Bag BM501 0,146 Aman

6 Paper Bag BM503 0,009 Aman

7 Paper 3BM502 0,478 Aman

8 Feldspar Bay 0,053 Aman

9 Bulk Truck 0,021 Aman

10 Warehouse Product 0,002 Aman

11 Warehouse Nephelyne 0,263 Aman

12 Maintenance 0,042 Aman

13 Mill 1 0,060 Aman

14 Mill 3 0,008 Aman

15 Mill 2 lantai 2 0,048 Aman

16 Mill 2 lantai 3 0,161 Aman

17 Top Bin Silo 0,274 Aman


Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.804 117

Vous aimerez peut-être aussi