Vous êtes sur la page 1sur 17

Dipresentasikan dalam

International Conference on Islamic Civilization (ICIC) 2


Siroh Nabawiyah 2

Diselenggarakan oleh Faculty of Humanities Maulana Malik Ibrahim State Islamic
University.
ISBN 978-602-1090-53-4

NILAI KEKHALIFAHAN UMAR DAN MODEL DAKWAH MODERN


DALAM MEREDUKSI PAHAM RADIKALISME

Oleh: Kisno Umbar


Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Kisno.u@gmail.com

ABSTRAK
Islam sejatinya merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Agama yang
senantiasa membawa iklim perdamaian dan menebarkan keselamatan bagi seluruh
makhluk hidup. Perkembangan dunia modern dan munculnya berbagai paham bercorak
ideologis telah memunculkan banyak pemberitaan buruk terhadap agama Islam yang
berkembang di dunia. Eksistensi Islam sebagai agama terbaik, runtuh akibat beberapa
tindakan konfrontatif beberapa paham tertentu dalam berdakwah dengan menggunakah
dalih jihad. Merespon pendapat tersebut, maka solusi alternatif untuk mengembalikan
eksistensi Islam adalah dengan bercermin pada masa kejayaan Islam sahabat, yakni
Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar bin Khattab dalam berdakwah hanya menggunakan dua metode
yakni, metode hikmah dan mauidhoh hasanah. Khalifah Umar tidak menggunakan
metode mujadalah. Namun dalam hal ini yang akan diadopsi bukanlah metode yang
digunakan oleh Khalifah Umar bin Khattab, namun beberapa prinsip dalam
berdakwahnya yang akan digunakan sebagai landasan menggunakan tiga metode
dakwah tersebut. Adapun prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab dalam berdakwah adalah persamaan derajat, kesantunan, musyawarah, toleransi
dan kesabaran. Prinsip-prinsip tersebutlah yang direkomendasikan oleh penulis
berdasarkan penelitian ini untuk kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan modern
Kata Kunci: islam, dakwah, Khalifah Umar, metode, dan prinsip

PENDAHULUAN
Konstelasi kehidupan di dunia ini manusia tidak dapat terlepas dari apa yang
dinamakan agama. Karena agama sangat inheren dalam kehidupan sosial dengan segala
dinamika yang ada. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya manusia tidak terlepas dari
nilai-nilai agama. Dalam hal ini, Islam menunjukkan sebagai agama yang memuat nilai-
nilai universal yang selalu mengikat selama dalam masa makallaf. Konsekuensi tersebut
tertuang dalam konsepsi hukum Islam yang menjamin perbaikan dan peningkatan
kehidupan umatnya di dunia dan akhirat (Bawany, 1994: 5).
Dalam tataran praktis, Islam menuntut pemeluknya senantiasa menyeru, dan
mengajak untuk menyampaikan ajarnya ke seluruh dunia. Hal tersebut menjadi sebuah
kewajiban bagi setiap muslim, dan tentunya dengan cara-cara yang diajarkan oleh
Rosulullah SAW. Dalam Islam hal ini dikenal dengan istilah dakwah. Dalam al-Quran
perintah berdakwah diwahyukan oleh Allah SWT, sebagai berikut ini:

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An-Nahl:
125).

Dari dalil di atas, disampaikan bahwasanya perintah berdakwah ditunjukkan


dengan fiil amr, dan hal tersebut menjadikan sesuatu yang wajib bagi setiap umat
muslim yang tidak dapat ditinggalkan (Aminudin, 1986: 34). Namun dalam perintah
tersebut juga telah diberikan bagaimana cara melaksanakan dengan ala Islam yakni
hikmah dan mauidhoh hasanah.
Namun realitas sekarang yang sangat menarik perhatian kita adalah kondisi
sosial masyarakat Islam di Indonesia. Banyak pemikir mulai dari klasik hingga lahirnya
banyak aliran-aliran yang menaruh perhatian terhadap dakwah, namun model dakwah
yang berkembang justru lebih mengarah pada model-model ortodok dan konfrontatif
serta tidak selaras dengan nilai-nilai Islam yang ada. Gerakan dakwah mereka
cenderung penolakan terhadap pengaruh-pengaruh modernisme dan globalisasi yang
sekarang karena mengancam keberadan Islam tradisionalis.
Di Indonesia, gerakan tersebut mulai muncul saat reformasi politik dan
demokratisasi di Indonesia sejak tahun 1998 telah membuka lahirnya berbagai
organisasi baik politik maupun non politik. Dinamika tersebut berlangsung dalam
berbagai dimensi kehidupan masyarakat dan menjadi antipoda dari konstruksi sosial
politik sebelumnya. Selain itu, kran demokratisasi yang terbuka lebar juga turut
berpengaruh besar dalam perkembangan organisasi dengan corak idologis mulai dari
wilayah pusat Jakarta hingga daera pelosok Indonesia (Mubarak, 2007:109).
Perkembangan organisasi dengan corak ideologis di Indonesia sangat signifikan.
Organisasi tersebut ada yang sifatnya diluar kerangka mainstream, ada juga yang sangat
mainstream. Golongan yang mainstream ini sering disebut dengan gerakan Islam baru
(new Islamic movement). Organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan
strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya.
Gerakan mereka lebih militan, radikal, skriptualis, konservatif, dan eksklusif (Rahmat,
2005: xi). Gerakan Islam versi mereka inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai
munculnya gerakan konfrontatif hingga gerakan-gerakan radikalis.
Radikalis dalam Islam memberikan gambaran adanya kolompok yang ekslusif
dan militan. Mereka menganggap orang lain yang tidak sepaham adalah musuh yang
harus diperangi, baik dari umat yang se-agama maupun tidak se-agama. Radikalisme
agama yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan, seakan menyiarkan ketidakpuasan
suatu kaum terhadap realitas yang ada. Hal tersebut menyangkut aspek kehidupan,
peribadatan, terutama perbedaan atas cara pandang yang mereka anut. Akhirnya dalam
menghadapi ketimpangan tersebut mereka menggunkan dokterinasi-dokterinasi yang
dikembangkan dalam golongannya yang dikenal dengan istilah jihad. Namun jihad yang
mereka kembangkan lebih bersifat konfrontatif dan mengarah pada kekerasan serta
tidak representatif apabila terus dipaksakan dengan model kehidupan sekarang ini.
Padahal sebelumnya Islam sudah menunjukkan bagaimana cara yang baik dalam
berdakwah.
Sebagai umat Islam yang baik, hendaknya tidak melupakan bagaimana sejarah
Islam berkembang serta upaya Rosulullah SAW beserta para sahabarnya berjuang
dalam menegakkan Islam dan mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Melihat
problem yang demikian, penulis mencoba mengangkat metode dakwah yang dibangun
oleh Khalifah Umar bin Khattab. Di masa Khalifah Umar bin Khattab eksistensi Islam
sangat baik, karena Islam pada waktu itu berkembang dengan baik, setelah sebelumnya
mengalami pasang surut akibatnya banyaknya pemberontakan.
Dalam hal ini, penulis menganggap ada kesamaan, yakni dimana eksistensi
Islam pada masa sahabat yang mengalami kemunduran pasca wafatnya Rosullullah, dan
dibangun kembali di masa Khalifah. Melihat realitas sekarang, eksistensi Islam di mata
dunia sangat buruk akibat model-model dakwah yang berkembang tidak sejalan dengan
Islam yang rahmatan lil alamin. Berangkat dari hal ini, penulis ingin menyapaikan
bagaimana strategi dakwah modern dengan mengadopsi nilai-nilai yang dikembangkan
oleh Khalifah Umar, hingga akhirnya mampu menjadikan meningkatkan eksistensi
Islam di mata dunia.

PEMBAHASAN
A. Motode Dakwah Modern
Dakwah secara etimologi berasal dari bahasa Arab ( - ) , artinya
ajakan, panggilan, seruan, menjamu (Yunus, 1973: 127). Berikut juga dijelaskan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyiaran, propaganda, penyiaran
agama dan pengembangan di kalangan masyarakat. Secara terminologi, para ahli sudah
banyak mendefinisikan istilah dakwah dengan berbagai sudut pandanganya. Quraih
Sihab mendefinisikan bahwasanya dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan
atau usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap
pribadi maupun masyarakat (Shihab, 1992: 194). Soedirman menambahkan,
bahwasanya dakwah adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam
kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat,
untuk memperoleh keridhoan Allah SWT (Ahmad dkk, 1972: 13-14).
Metode dakwah yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan caranya dakwah
itu harus dilaksanakan. Tindakan-tindakan atau kegiatan dakwah yang telah dirumuskan
akan efektif bilamana dilaksanakan dengan menggunakan cara yang tepat. Dalam hal
berdakwah ini ada hubungan yang sangat erat antara dai (orang yang berdakwah) dan
objeknya. Namun istilah dai harus dipahami lebih komprehensif, bukan terbatas pada
seseorang yang berdiri di mimbar kemudian memegang microphone dan menyuarakan
kebaikan. Tetapi lebih pada siapa yang mengetahui kebaikan untuk dapat disampaikan
kepada sesamanya yang belum mengetahuinya.
Dari pemaran diatas, maka metode dakwah dapat diartikan sebagai cara-cara
tertentu yang dilakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada madu (objek dakwah)
untuk mencapai suatu tujuan terntentu. Hal ini mengandung arti bahwasanya dakwah
harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented yaitu menempatkan penghargaan
yang mulai dari atas diri manusia.
Dari landasan ayat yang berhubungan dengan dakwah di atas, maka dipahat
direduksi menjadi sebuah metode dakwah dalam Islam sebagai berikut ini:
1. Al-Hikmah
Kata hikmah biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
bijaksana atau kebijaksanaan. Kata hikmah dalam Al-Quran disebutkan
sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun marifat. Bentuk
masdarnya adalah hukman yang diartikan literal dengan mencegah. Jika
dihubungkan dengan hukum berarti mencegah dari kedzaliman, dan jika
dikaitkan dengan dakwah berarti menghindari dari hal-hal yang kurang relavan
dalam melaksanakan dakwah (Santoso, 2008: 35). Sebagai metode dakwah, al-
hikmah diartikan sebagai tindakan yang bijaksana, akal budi yang mulia, dada
yang lapang, hati yang bersih dalam menarik perhatian orang kepada All SWT.
Para hali juga memiliki banyak pendapat tentang konsep al-hikmah ini,
salah satunya adalah Muhammad Abduh. Ia menjelaskan bahwasanya hikmah
adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Toha yahya Umar
menyampaikan bahwasanya hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya
dengan berfikit, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai
keadaan zaman dengan baik dan tidak bertentangan dengan larangan Allah SWT
(Shaleh, 1993: 73).
Dari padangan para ahli, metode dakwah bil hikmah dapat disimpulan
sebagai kemampuan seorang dai dalam memilih dan memilah serta menjelaskan
dokterin-dokterin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis.
Kemudian al-hikmah sendiri dipahami sebagai sebuah sistem yang menyatukan
antara teoritis dan praktis dalam dakwah.
2. Al-Mauidhzatil al-Hasanah
Al-Mauidhzatil secara etimologi berasala dari kata ( - ) ,
yang artinya nasihat, bimbingan, pendidikan, dan peringatan (Munawwir, 1997:
1568). Dan istilah hasanah diartikan sebagai kebaikan. Metode dakwah dengan
Al-Mauidhzatil al-Hasanah adalah ungkapan yang mengandung unsur-unsur
bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah berita gembira, peringatan,
pesan-pesan positif yang dijadikan dalam pedoman kehidupan di dunia dan
akhirat. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdul Hamid al-Bilali dalam
bukunya Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar (1989: 260).
3. Al-Mujadalah bi al-lati Hiya Ahsan
Kata al-Mujadalah secara etimologi berasalah dari kata yang artinya
meintal, namun jika ditambahkan alif ( )menjadi berdebat, dan mujadalah
berati perdebatan (Munawwir, 1997: 175). Dari segi terminologi kata al-
mujadalah dapat diartikan sebagai sebuah upaya bertukar pendapat yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara sinergis, tanpa adanya sesutau yang
mengharuskan keduanya bermusuhan.
Dari pemarapan diatas berarti dapat diketahui, bahwasanya metode Al-
Mujadalah bi al-lati Hiya Ahsan diartikan dengan upaya bagaimana berdiskusi,
berdialog dengan cara-cara yang baik untuk menghasilkan sesuatu yang baik
pula dengan tanpa menimbulkan permusuhan diantara pihak yang terlibat di
dalamnya.
Tiga metode diatas merupakan dasar-dasar dalam berdakwah ala Islam. Dalam
kehiduapn modern ketiganya tetap sangat relavan, tinggal bagaimana saja diaplikasikan
dengan gaya-gaya modern dan teknologi-toknologi yang berkembang sekarang.

KEKHALIFAHAN UMAR BIN KHATTAB


Khalifah Umar nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul
Uzza bin Rabah bin Qurth bin Razah bin Ady bin Kaab bin Luay. Beliau dikenal
dengan sebuatan al-Faruq karena ketegasannya membedakan antara yang haq dan yang
batil. Umar bin Khattab masuk Islam pada tahun keenam kenabian ketika berumur 27
tahun. Umar bin Khattb termasuk dari golongan terpandang dan mulia di Quraisy
karena keturunan Bani Ady (as-Suyuti, 2005: 119).
Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua setelah Abu Bakar mulai dari 13 H
23 H (634M-644M), dan beliau wafat di usianya yang ke-63 tahun karena dibunuh oleh
budak persia Abu Luluah (Bakar, 2008: 39). Saat terpilihnya Umar sebagai Khalifah
saat itu, orang-orang menyangka bahwa ia akan bersikap keras terhadap mereka, oleh
kerena itu mereka pun merasa takut terhadap Khalifah Umar bin Khattab. Menyadari
hal tersebut, Umar kemudian menyampaikan khutbahnya dihadapan umat Islam, yang
isinya sebagai berikut:
orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepada dan ini akan
bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama
Alah, begitullah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus
engkau lalui (Hassan, 1989: 15).
Allah SWT telah memberi ilham dan taufik kepada Umar bin Khttab dalam
memperkenankan panggilan zaman, menjawab tantangan hidup baru dengan
membangun sebuah negara Islam (Santoso, 2008: 52). Di zaman Khalifah Umar bin
Khattab terjadi kemajuan yang begitu pesat, diantaranya adalah ekspansi wilayah.
Dalam masa beliau, ekspansi wilayah Islam terjadi besar-besaran hingga meliputi
wilayah Jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian wilayah Persia dan Mesir (Bakar,
2006: 36-37). Kelengkapan sistem administrasi juga mulai banyak bermunculan di masa
Khalifah Umar seperti pembagian wilayah dalam bentuk provinsi serta membentuk
departemen yang dibutuhkan.
Jasa-jasa Khalifah Umar sangat banya sekali selama masa kepemimpinanya.
Jasa tersebut bisa dilihat dari segala aspek. Dalam aspek politik jasa beliau adalah
menetapkan sebutan Amirul Mukminin sebagai julukan seorang Khalifah, penetapan
tanggal hijriyah, ronda malam, muktamar tahunan para panglima dan pemimpin. Dalam
bidang ibadah, seperti penyelenggaran sholat trawih di mesjid-mesjid, shalat jenazah
dengan empat takbir, perluasan Mesjid Nabawi, memberikan hadiah. Dalam hubungan
non muslim, beiau mengusir Yahudi dari jazirah Arab, kewajiban jizyah atas ahlul kitab
sesuai dengan kemampuannya, menggugurkan kewajiban jizyah bagi ahlul kitab yang
fakir. Dalam bidang militer juga banyak ditemukan pembaruan sistem militer. Dalam
aspek administrasi, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Demikian tadi pemaparan singkat kesuksesan Khalifah Umar bin Khattab dalam
memimpin umat Islam. Namun kesuksesan tersebut bukan berarti di masanya tidak ada
pemberontakan. Dalam hal ini yang lebih disoroti adalah bagaimana strategi dakwah
yang digunakan oleh Khalifah Umar, sehingga dalam waktu 10 tahun banyak
menghasilakn kemajuan dalam agama Islam.

METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR


Kesuksesan dalam Khalifah Umar di masa keKhalifahannya tidak terlepas dari
sebuah metode dakwah yang digunakannya. Selain itu dari metode dakwah yang
digunakan adalah bagaimana tauladan yang ditunjukkan kepada umat Islam kala itu.
Dengan demikian sifat-sifat kepemimpinan dan metode dakwah yang digunakan oleh
Khalifah Umar sangat berkaitan erat. Adapun dari aspek metode yang digunakan oleh
beliau sebagai berikut:
1. Mengenal Strata Madu (objek) sebagai Landasan Normatif
Dalam menyampaikan dakwah Khaifah Umar tidak terlalu memperhatikan
strata dalam madu, karena Khalifah berpandangan bahwa setiap manusia
kedudukannya adalah sama di sisi Allah SWT. Namun dalam kepemimpinannya
Khalifah Umar sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Beliau dikenal sebagai
sosok yang jujur, tegas, dan adil dalam menegakkan hukum. Khalifah Umar juga
sangat disiplin dalam memimpin, sehingga rakyat sangat menghormati beliau.
Perhatikan pidato berikut:
demi Allah, sungguh jika salah seorang dari orang yang berbuat dzalim
melampaui batas terhadap orang-orang yang berbuat keadilan dan orang-
orang beragama, niscaya aku akan meletakkan pipinya di tanah kemudian
kuletakkan kakiku di atas pipinya hingga aku mengambil hak darinya. Setelah
itu, akan kuletakkan pipiku di tanah kepada orang-orang yang menjaga
kehormatan dan agama hingga mereka meletakkan kaki mereka di atas pipiku
sebagai wujud kasih sayang dan kelembutan terhadap mereka.
Sesungguhnya, kalian memiliki beberapa urusan yang kuberikan syarat
terhadap kalian. Pertama, selamanya aku tidak akan mengambil harta kalian.
Tidak untuk diriku ataupun keluargaku. Kedua, aku akan mengembangkan
harta dan menambah rezeki untuk kalian. Ketiga, aku tidak berlebihan dalam
mengirim kalian (berperang). Jika aku mengirim kalian maka akulah yang
menjadi penanggung keluarganya. Kalian juga memiliki perkara empat yang
harus kalian lakukan terhadapku, yaitu jika kalian tidak memerintahkanku
dengan kebaikan dan mencegahku dari kemungkaran serta menasihatiku,
maka akan kuadukan kalian kepada Allah di hari kiamat kelak (Khalid, 2007:
108-109).

2. Berbicara dengan Baik dan Santun


Dalam berbicara, Khalifah Umar sangat memprihatinkan kondisi madu yang
dihadapinya. Khalifah Umar memiliki bahasa yang lugas dan tegas dalam
menyampaikan sesuatu, sehingga objek yang diajak berkomunikasi dapat memahami
pesan yang disampaikan.
Dalam berkomunikasi, Khaifah Umar selalu memilih kata-kata yang baik.
Karena sebuah kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan
tingkah laku manusia manakala kata-kata tersebut disajikan dengan gaya yang
efektif. Hal tersebut dicontohkan ketika beliau berjalan dan bertemu dengan pemuda
yang menaiki keledainya. Pemuda itu memanggil Khalifah Umar untuk baik di atas
keledai dan pemuda itu akan berjalan menuntunnya, namun kahlifah Umar menjawab
tidak, demi Allah, lebih baik kita naik bersama-sama. Kemudian pemuda tersebut
meminta Khalifah Umar untuk duduk dibagian depan, justru Khalifah Umar
memberikan jawaban Tidak, naiklah enggkau dibagian depan yang rata dan biar
saya di belakang.
Demikian ini adalah salah satu dari sikap Khalifah Umar untuk mendidik dan
memberi pelajaran kepada masyarakatnya. Sehingga masyarakatnya akan merasa
dihargai dan tidak ada sekat perbedaan dianatara pemerintahan dan masyarakat.
Khalifah Umar juga mengajarkan kepada masyarakatnya kapan ia harus diam
dan berfikir tidak lantas mengatakannya. Hal ini ditinjau dari penting atau tidak
sesuatu tersebut untuk disampaikan. Dan jika disampaikan dapat diselesaiakan atau
justru menambah masalah yang lain.
3. Mencari Titik Temu dalam Dakwah
Hal tersebut tercermin dalam sepenggal cerita berikut ini:
Ada seorang wanita munafik mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab
bahwa ia diperkosa oleh seorang lelaki, dan karea ia melawannya maka air
mani lelaki itu tumpah di luar dan mengenai kainnya. Ia mengadukan perkara
tersebut sambil memperlihatkan tumpahan putih yang ada pada kainnya.
Mendengar itu, Khalifah Umar diam sejenak dan menyanannyakan terhadap
Ali bin Abi Thalib. Ali memberikan solusi agar kain tersebut disirami air
panas, bila ia beku dan matang tentu bercakan itu adalah putih telur, tetapi
kalau setelah disirami air panas bercak itu hilang, tentu air itu adalah mani.
Dan ternyata setelah disiram membeku dan wanita tersebut berdusta (Khalid,
2007: 130-131).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan titik temu,
Khalifah Umar tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, bahkan beliau tidak
sungkan untuk meminta pendapatnya orang lain yaitu Ali bin Abi Thalib. Hal ini
berarti menunjukkan bahwasanya kahlifah tidak bersifat otoriter, namun
mempertimbangakan sebuah kebenaran dengan hati-hati.
4. Memahami Realitas Perbedaan
Dalam Hal ini Khalifah Umar sangat mengetahui dan menyadari bajwa
memlik agama merupakan hal yang paling asasi setiap individu. Oleh sebab itu,
beliau tidak pernah memaksakan pada rakyatnya untuk memeluk agama Islam.
Khalifah Umar sangat menghormati dan melindungi rakyatnya yang berbeda
keyakinan. hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana Khalifah Umar dalam
meneruskan perjanjian dari Rosullullah SAW dan Abu Baka, yakni akan melindungi
dan berbuat adil kepada penduduk yang beragama Nasrani Najran selama mereka
memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba (Haekal, 2001:
107).
5. Menyampaikan Wasiat Ulama Salaf
Wasiat ulama salaf merupakan aspek historis dari interpretasi terhadap pesan-
pesan al-Quran dan al-Hadits. Para ulama salaf menerapkan wasiat pada level yang
tinggi sebagai metode dakwah mereka di waktu itu, yakni Khalifah Umar bin
Khattab.
Wasiat ini beliau contohkan dengan berwasiat kepada Abu Ubaidah untuk
menggantikan Khalid bin Walid sebagai komandan perang di Irak, lalu Khalifah
Umar berkata:
hendaklah kamu senantiasa bertaqwa kepada Allah, Rabb yang kekal abadi
sedang yang lainnya akan binasa, Dia-lah yang memberikan hidayah kedapa kami
dan Dia-lah yang mengeluarkan kami dari kegelapan ke alam yang terang. Aku
angkat kau menjadi panglima perang pasukan Khalid bin Walid, karena itu
kerjakanlah sebaik mungkin semua tugasmu. Jangan kau korbankan kaum muslimin
ke tempat-tempat yang bakal membinasakan mereka, hanya demi mendapatkan
ghanimah... (Haekal, 2001: 101-102).
Dalam aspek penyampaian wasiat juga Khalifah mempertimbangkan
beberapa hal penting, diantaraya adalah:
a. Esensi dari wasiat
Esensi dari dakwah adalah ucapan dari seorang dai yang berupa pesan
penting dalam upaya mengarahkan madu tentang sesuatu yang bermanfaat
dan bermuatan kebaikan. serta persolan-persoalan yang disampaikan dalam
wasiat berkaitan dengan sesuatu yang belum dan akan terjadi.
b. Kapan wasiat itu seharusnya diberikan
Wasiat adalah hal penting, oleh sebab itu maka perlu dicarikan waktu yang
tepat dalam penyampainnya. Sebaiknya wasiat diberikan dai pada
tahappembentukan dan pembinaan setelah dakwah diterima dan dipahami
madu.
c. Materi yang terkandung dalam wasiat
Materi wasiat yang diberikan kepada madu adalah materi wasiat yang
berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Materi umum sebagai materi yang
menggiring madu menuju ketaqwaan.
d. Efek Wasiat
Wasiat adalah satu model perspektif komunikasi, maka seorang dai harus
mempu memanage pesan yang sampai kepada madu, sehingga wasiat yang
diberikan memberikan efek positif.

Nilai Dakwah Khalifah Umar Sebagai Prinsip


Nilai secara etimologis berasal dari bahasa Latin yakni, volore yang berarti
berharga, baik, dan berguna. Nilai adalah sesuatu yang berharga, baik, dan berguna bagi
manusia. Nilai juga diartikan segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek,
menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau
maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat (Umbar, 2015:
12).
Rosenblatt (Kurniati, 2013: 9), menegaskan bahwa nilai tidak hanya setara yang
diingini, tetapi hal yang ditimbangkan sangat berharga untuk diingini, yang pantas
diingini. Dalam pengertiannya, nilai tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, karena yang
dapat dilihat adalah objek yang memiliki nilai atau tingkah laku yang mempunyai nilai.
Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diharapkan manusia, nilai juga dapat
dipandang sebagai konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai seuatu yang baik dan
buruk.
Dari beberapa metode dakwah yang diterapkan oleh Khalifah Umar, maka
penulis menyimpulkannya dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Persamaan Drajat
Disini Khalifah Umar tidak membedakan, beliau memandang semua dalam
posisi yang sama dihadapan Allah SWT. Namun beliau hanya membedakan
dalam kapasitas materi untuk disampaikan, karena tidak semua golongan dapat
menerima materi yang sama.
2. Kesantunan
Nilai kesantunan ini, terlihat bagaimana beliau berdakwah dengan kata-kata
yang indah kepada rakyatnya. Karena beliau paham, kata-kata akan memberikan
pengaruh besar kepada madu, bahkan tak jarang beliau memilih untuk diam
apabila waktu untuk berbicara dirasa kurang tepat.
3. Musyawarah
Beliau dalam menyelesaikan seuatu permasalahan untuk disampaikan kepada
rakyatnya tidak lantas karena keinginannya sendiri, tetapi melalui musyawarah,
seperti dicontohkan dalam dialog antara beliau dan sahabat Ali bin Abi Thalib.
Bahkan beliau menerima kritik dengan terbuka dari rakyatnya.
4. Toleransi
Terlansi seagama dan antar-agama. Dalam model dakwahnya juga Khalifah
Umar sangat memperhatikan hal tersebut. Menerapakn prinsip-prinsip tolerenasi
selama masih bisa ditoleransi sebagaimana pidato beliau dalam menghargai
golongan non Islam selama mereka masih mengikuti dan tidak mengkhianati
perjanjian yang ditentukan.
5. Kesabaran
Beliau dalam berdakwah sangat penuh dengan kesabaran. Tidak terburu-buru
terhadap apa yang disampaikan harus segera dilaksanakan, setidkanya menjadi
bahan refleksi bagi yang mendengarnya.
TANTANGAN PAHAM RADIKALSIME ISLAM
Radiklisme secara etimologi berasal dari kata radix, yang berarti akar (Zuhdi,
2010: 82). Dalam buku yang lain juga dijelaskan bahwasanya radikalisme adalah berdiri
di posisi ekstrem dan jauh dari posisi tengah-tengah, atau melewati batas kewajaran.
Sementar dalam terminologi diaerikan dengan fanatik kepada satu pendapat serta
menegasikan pendapat orang lain, abai terhadap historitas Islam, tidak dialogis, dan
tekstualis dalam memahmi teks agama (Naim, 2014: 100).
Menurut ZUmardi Azra, radikalisme adalah sebagai sikap jiwa yang membawa
kepada tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan politik
mapan, dan bisanya dengan cara-cara kekerasan, dan menggantinya dengan sistem yang
baru. Dalam definisi lain disebutkan radikalisme dipahami sebagai suatu sikap atau
posisi yang mendambakan perubahan terhadab status quo dengan jalan penghancuran
secara total, dan menggantinya dengan yang baru dan berbeda, biasanya mengguanakn
cara yang bersifat revolusioner melalui kekerrasan (violence) dan aksi-aksi ekstrem
(Juergensmeyer, 2002: 5).
Islam radikal di Indonesia muncul dilatar belakangi oleh dua faktor. Pertama
adalah faktor internal akbiat terjadinya penyimpangan norma-norma agama terutama
dengan masuknya faham sekuler dalam kehidupan umat Islam, sehingga mendorong
umat Islam melakukan gerakan kembali kepada ontentitas Islam (Azra, 2002: 4). Sikap
ini ditopang oleh pemahaman agama yang totalitas dan formalistik, bersikap kaku dalam
memahami teks agama, sehingga harus merujuk pada prilaku nabi di Makkah dan
Madinah secara literal. Karena itu identitas keadamaannya bersifat literalistik, kaku dan
cenderung menolak perubahan sosial. Kedua, faktor ekternal baik yang dilakukan
penguasa hegemoni barat. Sikap represif penguasa terhadap kelompok Islam, seperti
yang dilakukan orde baru telah membangkitkan radikalisme Islam. Begitu juga krisis
kepemimpinan yang terjadi pasca orde baru, ditunjukkan dengan lemahnya
peneggakkan hukum (Zuhdi, 2010: 88).
Gerakan radikalis telah memberikan warna yang berbeda bagi perjalanan corak
keberagamaan di Indonesia. Misalnya dalam pengalaman umat Islam terjadi polarisasi
yang sangat tajam antara Islam moderat dan Islam radikal di masa sekarang. Setelah
Islam moderat berhasil mendapatkan tempatkan tempat di hati penguasa sejak tahun
1980-an, kini di era reformasi mereka mendapatkan tantangan yang serius dari gerakan
Islam radikal. Oleh karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia
merupakan suatu kenyataan sosio-historis dalam negera majmuk, tetapi bisa menjadi
ancaman bagi pluralisme yang ada di Indonesia.
Dan jika dihubungkan dengan nilai-nilai Islam, sesungguhnya apa yang
dilakukan oleh golongan radikal tidak dapat dibenarkan. Karena Islam sendiri
mencerminkan sebagai agama damai, dan cara mengajaknya pula dengan damai.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat-ayat dakwah diatas. Kenyataan yang ada
memang tantangan sekularisme sangat besar di Indonesia, namun kekerasan bukanlah
satu-satunya cara yang dapat ditempuh. Justru adanya kekerasan akan menimbulkan
sekat yang jauh antara Islam moderat dan Islam yang radikal.

MODEL DAKWAH MODERN Ala KHALIFAH UMAR


Melihat problematika yang berkembang di era modern ini, metode dakwah
sangat berkembang. Namun perkembangan itu tidak mengarah pada perkembangan
yang baik, karena perkembangan paham ideolgis yang juga pesat ternyata memiliki
berbagai cara dalam berdakwah. Sehingga tidak jarang terjadi perdebatan-perbedabatan
sesama umat Islam karena berbeda dalam penginterpretasian teks keagamaan. Namun
bukan berarti hal tersebut adalah sebuah problem yang tidak dapat diselesaikan, namun
butuh upaya sadar dari golongan golongan pengikut paham tersebut untuk menciptakan
Islam yang rahmatan lil alamin.
Diketahui bahwsanya Khalifah Umar adalah Khalifah yang sangat sukses dalam
mengankat eksistensi Islam di masa sahabat, dan banyak kemajuan lain juga telah
dijelaskan. Hal tersebut bukan sebuh kebetulan, namun Khalifah Umar memang
memosisikan dirinya untuk menjadi tauladan bagi umatnya, sehingga keberadaanyatetap
dipandang bijaksan dan dihormati oleh semua golongan. Dalam hal ini, penulis akan
menyampaikan bagaimana prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam dakwah Khalifah
Umar untuk dikorelasikan dengan model dakwah Islam serta relavansinya dalam zaman
modern ini.
Mengadopsi prinsip-prinsip dakwah Khalifah Umar dan metode dakwah yang
diajarkan oleh Al-Quran melaui Q.S al-Rad: 125, maka dakwah dapat dilakukan oleh
setiap muslim untuk menyiarkan Islam yang dianutnya. Dakwah bukan berarti, seoarang
pendakwah harus mendapat pengakuan dari publik, namun usaha kita dalam berbuat
baik kepada sesama dan mengajarkan kebaikan adalah bentuk dakwah.
Melihat zaman modern ini, dakwah juga mendapat tantangan untuk berubah dan
menyesuaikan dengan iklim dunia modern. Namun, apabila setiap muslim dapat
menyikapinya, hal tersebut tidak akan jadi permasalahan, justru hadirnya teknologisasi
kehidupan, dakwah akan dapat dilakukan oleh individu dengan bantuan media tersebut,
sehingga pergerakan dakwah dapat lebih luas jangkaunnya dan dapat dilakukan oleh
seorang diri yang betul-betul memahami Islam.
Berikut peta konsep dakwah modern ala Khalifah Umar bin Khattab.
Dakwah modern ala Umar

Media Cetak

Gerakan Radikalisme
Hikmah Konfrontatif
Prinsip dakwah

Fundamentalis
Modern

Mauidhoh PUBLIK Ekstrem

Mujadalah Teroris
Media Elektronik

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut
ini:
Perkembangan dunia modern dan munculnya berbagai paham bercorak ideologis
telah memunculkan banyak pemberitaan buruk terhadap agama Islam yang berkembang
di dunia. Eksistensi Islam sebagai agama terbaik, runtuh akibat beberapa tindakan
konfrontatif beberapa paham tertentu dalam berdakwah dengan menggunakah dalih
jihad. Merespon pendapat tersebut, maka solusi alternatif untuk mengembalikan
eksistensi Islam adalah dengan bercermin pada masa kejayaan Islam sahabat, yakni
Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar bin Khattab dalam berdakwah hanya menggunakan dua metode
yakni, metode hikmah dan mauidhoh hasanah. Khalifah Umar tidak menggunakan
metode mujadalah. Namun dalam hal ini yang akan diadopsi bukanlah metode yang
digunakan oleh Khalifah Umar bin Khattab, namun beberapa prinsip dalam
berdakwahnya yang akan digunakan sebagai landasan menggunakan tiga metode
dakwah tersebut. Adapun prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab dalam berdakwah adalah persamaan derajat, kesantunan, musyawarah, toleransi
dan kesabaran. Prinsip-prinsip tersebutlah yang direkomendasikan oleh penulis
berdasarkan penelitian ini untuk kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan modern.

PENUTUP
Al-Bilali, Abdul Hamid. 1989. Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar.
Al-Quran Al-Karim.
Anwar, Aminudin. 1986. Pengantar Ilmu Dakwah. Semarang: Fakultas Dakwah
As-Suyuti, Imam. 2005. Tarikh Khulafau. Jakarta: Pustaka AL-Kautsar.
Bakar, Istianah Abu. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN Press
Bawany, Aisyah. 1994. Mengenal Islam Selayang Pandang. Terjemahan: Machmun
Husain. Jakarta: Bumi Aksara
Haekal, Muhammad Husain. 2001. Umar bin Khattab; Sebuah Telaah mendalam
tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu. Jakarta: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa.

Hassan, Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penterjemah: Djahdan Human.
Yogyakarta: Kota Kembang
Juergensmeyer, Marx. 2002. Teror Atas Nama Tuhan; Kebangkitan Global Kekerasan
Agama. Jakarta: Anima Publishing.
KBBI offline Versi 1.5
Khalid, Amru. 2007. Jejak Para Khalifah. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Penerjemah: Farur Muis. Solo: PT. Aqwam Profetika
Kurniati, Nur. 2013. Nilai-Nilai Pendidikan dan Budaya dalam Novel Dunia Kecil
Karya Yoyon Indra Joni. Palembang: Universitas PGRI Palembang
Mubarak, Zulfi. 2007. Tafsir Jihad; Menyingkap Tabir Fenomen Terorisme Global.
Malang: UIN Press
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Naim, Ngainun. 2014. Islam dan Pluralisme Agama. Yogyakarta: Aura Pustaka
Rahmat, Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal; Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santoso, Budi. 2008. Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Jakarta: UIN Jakarta
Shaleh, Abdul Rosyad. 1993. Manajemen Dakwah Islam.Jakarta: PT. Bulan Bintang
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan.
Umbar, Kisno dan Himmatul Istiqomah. 2015. Nilai Humanisme Perspektif Ali Syariati
dalam Diwan Sayyid Quthb. Malang: UIN Malang
Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penterjemahan.
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2010. Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi
Pemahaman al-Quran dan Hadits. Jurnal RELIGA Vol. 13, No. 1

Vous aimerez peut-être aussi