Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Mata kuliah ini merupakan mata kuliah pilihan bagi mahasiswa jurusan
akuntansi yang diberikan pada semester akhir (VII) menjelang penyusunan tugas akhir.
Sistematika materi mata kuliah disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa
pada prkatek akuntansi keuangan dan pasar modal. Kerangka paradigma maupun
Implikasinya adalah pengembangan calon akuntan yang pada akhirnya mendukung calon
Fokus pengajaran pada aspek analitis kritis maka pembahasan di kelas menitik beratkan
pada pembahasan isue kontemporer melalui review artikel pada presentasi tugas
kelompok, diskusi dan presentasi kelas, analisis isue dan makalah individu.
Standar Kompetensi :
1
Jadwal Pertemuan
Terdapat 14 kali pertemuan dengan durasi pertemuan masing masing 150 menit.
2
MATERI I
INCOME SMOOTHING
Kompetensi Dasar
Bahan Ajar
DI INDONESIA
yang representatif dalam jangka panjang, meramalkan laba, menaksir resiko dalam
berinvestasi. Hal ini disadari oleh manajemen, sehingga manajemen cenderung melakukan
disfunctional behavior (perilaku tak semestinya) yaitu dengan melakukan perataan laba
untuk mengatasi berbagai konflik yang timbul antara manajemen dengan berbagai pihak
3
yang berkepentingan dengan perusahaan. Informasi akuntansi yang kurang benar yang
dihasilkan dari tindakan tak semestinya akan merugikan perkembangan pasar modal.
(Smith, at. All, 1994; Ronen and Sadan, 1981). Teori baru yang dikembangkan oleh
Fudenberg dan Tirole (1995) yang memberikan perhatian pada keamanan pekerjaan
mendorong manajer untuk meratakan laba dengan mendasarkan pada kinerja masa kini
(current performance) dan masa depan (future performance). Asumsi yang dikembangkan
teori ini adalah kinerja yang buruk akan meningkatkan kemungkinan pemecatan. Teori ini
menyatakan bahwa jika kinerja masa kini buruk, manajer mempunyai dorongan untuk
merubah laba masa depan (future earnings) menjadi laba masa kini (current earnings)
untuk mengurangi kemungkinan pemecatan. Dan sebaliknya jika kinerja masa depan
(future performance) diperkirakan buruk, maka manajer merubah laba masa kini menjadi
laba masa depan. Implikasi dari teori ini ada dua, yaitu 1) jika laba masa kini relatif
rendah, dan diperkirakan laba masa depan tinggi, maka manajer akan menggunakan
Akibatnya manajer akan meminjam laba masa depan; 2) jika laba masa kini relatif
tinggi dan diperkirakan laba masa depan rendah, maka manajer akan memakai pilihan
manajer akan menabung laba masa kini untuk kemungkinan digunakan masa depan.
Perataan laba telah banyak menjadi topik penelitian dan telah di deteksi dalam
beberapa tingkat antar sampel yang berbeda. Bryshaw dan Eldin (1989) menemukan bukti
bahwa alasan manajemen melakukan praktek perataan laba adalah: 1) skema kompensasi
manajemen yang dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang disajikan dalam laba
4
intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambil-alihan atau
manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik.
berhubungan dengan kendali kepemilikan, pangsa pasar, kekuatan serikat pekerja dan
variabilitas pada masa lalu. Dia hanya menemukan bahwa praktek perataan laba
Defond dan Park (1997) juga menemukan bukti bahwa 27,3% dari jumlah
sampel perusahaan telah melakukan praktek perataan laba dengan cara menaikkan atau
menurunkan tingkat discretionary accruals masa kini atau masa depan untuk menghindari
resiko pemecatan oleh pemilik. Temuan inilah yang menjadi acuan penulis dalam
melakukan penelitian.
konsisten, Ilmainir (1993) menemukan bukti bahwa perataan laba didorong oleh harga
saham, perbedaan antara laba aktual dan laba normal dan pengaruh perubahan kebijakan
akuntansi yang dipilih oleh manajemen. Ashari et al. (1994) memperoleh bukti bahwa
perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange
(SSE) berkaitan dengan profitabilitas. Sedangkan Zuhroh (1996) menemukan bukti bahwa
faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba adalah Leverage Operasi. Naim dan
undang antitrust akan menurunkan laba untuk menghindari pinalti pelanggaran antitrust.
Wimbari (1998) mendapatkan hasil bahwa perataan laba disebabkan oleh faktor
profitabilitas dan jenis industri. Jin (1998) menemukan bahwa faktor yang berpengaruh
5
terhadap praktek perataan laba adalah ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas, sektor
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara
peningkatan atau penurunan discretionary accruals dengan kinerja masa kini dan
ekspektasi kinerja masa depan dalam praktek perataan laba. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya adalah penggunaan laba masa depan sebagai faktor yang mempengaruhi
perataan laba.
PERATAAN LABA
Menurut Fudenberg dan Tirole (1995), perataan laba adalah proses manipulasi
waktu terjadinya laba atau laporan laba agar laba yang dilaporkan kelihatan stabil.
Sedangkan Barnea et al. (1976) membuat definisi perataan laba sebagai pengurangan yang
disengaja terhadap fluktuasi terhadap beberapa level laba supaya dianggap normal bagi
perusahaan.
manajemen yang didorong oleh aspek perilaku dalam perusahaan dan lingkungannnya.
Sementara Beidleman (1973) menyatakan bahwa perataan laba adalah suatu usaha yang
dilakukan manajemen untuk menekan variasi dalam laba sepanjang hal itu diperbolehkan
Perataan laba dalam laporan keuangan merupakan hal yang biasa dan dianggap hal
yang masuk akal (Bartov, 1993). Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa Prinsip
6
akuntansi dalam pencatatan yang dapat digunakan untuk memaksimalkan atau
1. Kompensasi bonus
Pada penelitian itu Healy menemukan bukti bahwa manajer yang tidak dapat
memenuhi target laba yang ditentukan akan memanipulasi laba dengan meningkatkan
discretionary accruals agar dapat mentransfer laba masa kini menjadi laba masa
depan.
2. Kontrak Hutang
Defond dan Jimbalvo (1994) mengevaluasi tingkat akrual perusahaan yang melanggar
perjanjian hutang. Dengan menggunakan model Jones, Defond dan Jimbalvo (1994)
melanggar perjanjian hutang telah merekayasa labanya satu periode sebelum perjanjian
utang dibuat.
3. Faktor politik
Jones (1991) yang meneliti perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh International
4. Pengurangan Pajak.
Penelitian yang dilakukan Dopuch dan Pincus (1988) menyatakan bahwa perusahaan
yang menggunakan metode LIFO dalam persediaannya akan menerima jumlah pajak
7
yang lebih besar dan sebaliknya perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan
5. Perubahan CEO
meningkatkan unexpected accruals pada periode satu tahun sebelum penggantian tak
rutin eksekutif.
penelitian yang dilakukan oleh Clarkson et al (1992) menyatakan bahwa ada reaksi
positif dari pengumuman earnings forcast yang ada di prospektus dengan tingkat
penjualan saham pada waktu IPO karena publik hanya melihat laporan keuangan yang
dilaporkan pada regulator. Dan banyak perusahaan yang akan melakukan penawaran
saham perdana melakukan perataan laba untuk meningkatkan sinyal positif dari publik.
Berbagai teknik yang digunakan dalam perataan laba diantaranya adalah sebagai
berikut :
Selain itu banyak juga perusahaan yang menerapkan kebijakan diskon dan kredit
sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada
bulan terakhir tiap kuarter, sehingga laba kelihatan stabil pada periode tertentu.
kewenangan untuk mengalokasikan pendapatan dan atau beban untuk periode tertentu.
8
Misalnya, jika penjualan meningkat maka manajemen dapat membebankan biaya riset
dan penelitian serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba.
untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya,
mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi. Dan
hal ini dapat digunakan sewaktu-waktu untuk meratakan laba melihat kondisi
telah disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan Koeh
(1981) mensinyalir bahwa perataan laba banyak dilakukan dengan menggunakan teknik-
teknik akuntansi yaitu dengan merubah kebijakan akuntansi. Berdasar pada kenyataan ini
maka penelitian tentang perataan laba ini dilakukan dengan mengambil perubahan
kebijakan akuntansi sebagai objek dihubungkan dengan antisipasi laba masa depan untuk
menghindari pemecatan.
EXPECTED EARNINGS
Expected earnings adalah perkiraan dan harapan laba yang ingin dicapai
perusahaan di masa yang akan datang. Perkiraan Expected earnings diambil dari lembaran
prospektus yang biasanya dikeluarkan perusahaan ketika ingin terdaftar di Bursa Efek
9
Jakarta, selain itu Expected earnings juga terdapat di laporan keuangan tahunan
perusahaan.
keterangan secara lengkap dan jujur tentang keadaan perusahaan dan prospek perusahaan
di masa mendatang serta informasi yang diperlukan lainnya. Informasi proyeksi ini
manfaat di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan laporan keuangan yang
tercantum dalam SFAC No 1. Oleh karena itu proyeksi earnings ini diambil dari
projection dalam prospektus bukanlah kewajiban tetapi hal ini dapat menjadi indikator
yang baik bagi investor untuk men-disclose informasi yang perlu untuk menarik investor.
Sesuai dengan UU no 8 tahun 1995 BAB IX pasal 78 dan 79 dan dijabarkan lebih lanjut
dalam peraturan BAPEPAM NO IX C.2, hal ini dipandang perlu untuk mengumumkan
earnings projection agar menjadi sinyal positif bagi investor tentang keterbukaan
informasi perusahaan.
manajer untuk mencapainya karena jika manajer tidak bisa mencapainya atau kinerjanya
dibawah rata-rata industri maka kemungkinan tindakan pemecatan akan semakin besar
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
10
1. Manajer mengasumsikan bahwa mereka akan menerima keuntungan yang bersifat Non-
lebih dari hanya sekedar bonus dan gaji didukung penelitian yang dilakukan Merchant
(1989), yang mengatakan bahwa jika manajer gagal mencapai taget yang ditentukan
maka manajer akan mengutamakan agar tidak kehilangan kredibilitas dari pada
hilangnya bonus.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Murphy dan Zimmerman (1993),
Warner et al. (1988) dan Weisbach (1988) yang menunjukkkan bahwa pergantian
manajemen yang tak rutin biasanya disebabkan oleh kinerja yang buruk. Implikasi yang
muncul dari asumsi kedua adalah selama tahun yang kinerjanya buruk, manajer
dengan cara merubah laba masa depan menjadi laba masa kini. Skenario ini dilakukan
akibatnya dapat merubah laba masa depan menjadi laba masa kini.
perusahaan yang mempunyai kinerja masa kini yang buruk dan ekspektasi
3. Asumsi ketiga yang dipakai Fudenberg dan Tirole adalah Laba masa kini mempunyai
arti yang lebih penting dari pada laba masa lalu. Implikasinya adalah kinerja yang baik
pada masa kini tidak akan dikompensasikan pada kinerja buruk dimasa depan, begitu
juga dengan kinerja yang baik dimasa lalu tidak akan dikompensasikan pada kinerja
buruk di masa kini. Oleh karena itulah, jika kinerja masa depan diekspektasikan buruk
maka manajer akan merubah laba masa kini menjadi laba masa depan untuk
mengurangi kemungkinan pemecatan. Hal ini dilakukan dengan cara menurunkan laba
11
masa kini dengan menggunakan prosedur akuntansi yaitu penurunan discretionary
accruals masa kini yang akibatnya dapat menyimpan laba masa kini untuk
yang mempunyai kinerja masa kini yang baik dan ekspektasi kinerja masa
manajer akan membuat discretionary accruals sebagai respon terhadap kompensasi banus
12
MATERI II
INTELECTUAL CAPITAL
Kompetensi Dasar
akuntansi
Bahan Ajar
Merdeka Malang)
Bursa Efek Indonesia), Ni Wayan Yuniasih, Dewa Gede Wirama dan I Dewa Nyoman
Bader
13
3. PENGARUH MODAL INTELEKTUAL DAN PENGUNGKAPAN MODAL
Pembangunan Surakarta
dalam pasar modal, baik bagi investor secara individual, maupun bagi pasar secara
yang baru. Efficient markets hypothesis (EMH) menjadi salah satu tema yang
membahas reaksi pasar terhadap informasi yang disajikan di pasar modal. EMH
menyatakan bahwa pasar saham merupakan pasar yang efisien, yaitu kondisi dimana
harga sekuritas secara penuh merefleksikan semua inf ormasi yang tersedia. Pada kondisi
ini, pasar akan memproses informasi yang relevan kemudian pasar akan mengevaluasi
informasi aset tidak berwujud (intangible asset) memegang peranan penting dalam
beberapa tahun terakhir. Hal ini dipertegas dengan munculnya IAS 38 (di Indonesia
PSAK 19), yang bertujuan untuk menentukan perlakuan akuntansi atas intangible asset
yang dimiliki perusahaan. Diterbitkannya IAS 38 (PSAK 19) ini, setidaknya telah
tangible asset. Holland (2002) mengungkapkan bahwa informasi keuangan tidak cukup
menjadi dasar bagi penghargaan pasar terhadap perusahaan, terutama karena lebih
didominasi oleh output data keuangan yang menunjukkan kinerja tentang penciptaan nilai.
14
Meskipun demikian, ada kesepakatan bahwa pengakuan intangible asset dalam sistem
akuntansi saat ini tidak cukup, oleh karena beberapa unsur dari intangible asset seperti:
human capital, inovasi, pelanggan, atau teknologi, yang tidak dapat dimasukkan dalam
laporan keuangan karena masalah identifikasi, pengakuan, dan pengukuran. Salah satu
tahunan mereka (Petty 2000; White et al. 2007; Bruggen et al. 2008; Vandemaele et al.
2005; Abdolmohammadi 2005; Bukh et al. 2005; Garcia-Meca et al. 2005; Bozzolan et
al. 2003; Purnomosidhi 2006; serta Sihotang dan Winata 2008). Mouritsen et al. (2004)
menjelaskan adanya kesenjangan antara nilai buku dengan nilai pasar dari perusahaan,
yang disebabkan karena banyak perusahaan gagal untuk melaporkan hidden value (nilai
tersembunyi) yang berupa modal intelektual (intellectual capital) dalam laporan tahunan
mereka. Sementara Bollen et al. (2005) menyatakan bahwa intellectual capital telah
dipandang sebagai bagian integral dari perusahaan dalam proses penciptaan nilai ( value
kompetitif perusahaan.
Boone dan Raman (2001) dalam Bruggen et al. (2009) menemukan bahwa pasar
Abdolmohammadi (2005) serta Sihotang dan Winata (2008) mendukung hasil penelitian
15
sebelumnya dan menemukan adanya korelasi positif antara pengungkapan IC dengan
dimana penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis sejauh mana praktek
menguji apakah pengungkapan informasi IC di respon oleh pasar, yang dinilai berdasarkan
Telaah Literatur
Bontis (1998) melakukan penelitian yang bersifat eksploratif dan bertujuan untuk
capital, structural capital, dan relational capital berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Setelah tahun 2000, para peneliti semakin menyadari pentingnya IC,
dan determinan dari luas pengungkapan IC pada perusahaan publik (Williams, 2001;
Bozzolan et al., 2003; Garcia-Meca, et al., 2005; White, et al., 2007; Singh dan Zahn,
16
pengungkapan IC belum sistematis sesuai dengan kerangka kerja yang ada, serta praktik
tersebut, Sihotang dan Winata (2008) meneliti praktik pengungkapan IC dalam laporan
pengungkapan IC selama periode pengamatan, selain itu, terdapat korelasi positif antara
kapitalisasi pasar dengan tingkat pengungkapan IC. Hasil ini mendukung penelitian
sebelumnya yang juga menemukan adanya korelasi positif antara kapitalisasi pasar
beberapa bukti empris menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
pengungkapan sukarela terhadap return saham. Healy et al. (1999) menyatakan bahwa
saham perusahaan, meningkatkan likuiditas saham, dan membantu pihak yang berkepent
dan meningkatkan kapitalisasi pasar. Bukti empiris lainnya juga menemukan bahwa
berdampak pada reaksi pasar atas harga saham, sehingga dapat diperoleh abnormal return
(Dedman et al. 2007; Chan et al., 2001; Eberhart et al., 2004; Nelson, 2006; Xu et al.,
2007). R&D merupakan bagian dari elemen intellectual capital, sehingga penelitian ini
memperluas kajian sebelumnya dengan memasukkan semua atribut dalam komponen IC.
17
Williams (2001) mendefinisikan modal intelektual sebagai informasi dan
pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Bontis et al.,
(2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk
utama dari modal intelektual, yaitu: human capital, structural capital, dan customer
capital. Menurut Bontis et al., (2000) secara sederhana human capital merepresentasikan
Human capital merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, and
Salah satu metoda yang digunakan untuk mengukur modal intelektual adalah
metoda VAIC. Metoda VAIC, dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk
menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible
asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini
dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Value
added adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Value
added dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999).
optimal (Lev, 1987). Penyatuan aset berwujud dan tidak berwujud merupakan strategi
menekankan bahwa investasi perusahaan dalam intellectual capital yang disajikan dalam
laporan keuangan, dihasilkan dari peningkatan selisih antara nilai pasar dan nilai buku.
Jadi, jika misalnya pasarnya efisien, maka investor akan memberikan nilai yang tinggi
terhadap perusahaan yang memiliki modal intelektual lebih besar (Belkaoui, 2003; Firer
18
dan Williams, 2003). Physical capital sebagai bagian dari modal intelektual menjadi
sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, jika modal intelektual
Belkaoui (2003), Firer dan Williams (2003), Firer dan Stainbank (2003), dan Appuhami
(2007) menunjukkan bahwa modal intelektual memiliki hubungan positif dengan kinerja
keuangan perusahaan. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Iswati dan Anshori
(2007), Ulum et al., 2008, serta Sianipar (2009) juga menunjukkan bahwa modal
19
MATERI III
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Kompetensi Dasar
Mampu menganalisis dan menjelaskan program tanggung jawab sosial perusahaan dalam
masyarakat industri
Bahan Ajar
(UNUD)
20
4. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan
Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-
Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta), Fr. Reni. Retno Anggraini , USADA
Yogya
disingkat CSR) banyak di bahas. Perusahaan di dunia maupun di Indonesia juga semakin
banyak yang mengklaim bahwa mereka telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Kesadaran tentang pentingnya mempraktikan CSR ini menjadi trend global seiring dengan
informasi dan keterbukaan pasar, perusahaan harus secara serius dan terbuka
40/2007 mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan
bidang SDA untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dan wajib
negara lain, misalnya Widiastuti (2002), Mahoney et al (2003), Zuhroh dan Sukmawati
(2003), Suratno et al (2006), Fauzi et al (2007), Fiori et al (2007), dan Sayekti dan
Wondabio (2007). Penelitian yang menginvestigasi hubungan CSR dan kinerja perusahaan
yang meliputi kinerja keuangan dan kinerja ekonomi dilakukan oleh Mahoney et al
(2003) yang meneliti hubungan antara kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan
kinerja keuangan (ROE dan ROA) dengan variabel kontrol debt to assets ratio dan assets.
21
performance. Fauzi et al (2007) merupakan peneliti yang mengembangkan model slack
resource theory dan good manajement theory dalam meneliti hubungan Corporate Social
performance dan Corporate Financial Performance (ROE dan ROA). Hasil studi tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Analisis lebih jauh dengan menggunakan slack
resource theory menunjukkan size perusahaan mempengaruhi hubungan CSP dan CFP.
Earning Response Coefficient. Bukti empiris menu njukkan CSR berpengaruh negatif
positif. Fiori et al (2007) meneliti CSR terutama yang berkaitan dengan reaksi investor
menunjukkan CSR tidak signifikan mempengaruhi stock price. Lutfi (2001) seperti yang
dikutip oleh Zuhroh dan Sukmawati (2003) tidak menemukan pengaruh yang signifikan
dari praktek pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan terhadap perubahan harga
saham.
Adanya hasil empiris terdahulu yang masih kontradiktif dan bervariasi dalam
mengukur kinerja perusahaan serta pentingnya konsep ini dalam mempengaruhi kebijakan
22
perusahaan secara mikro dan juga membentuk kepercayaan investor, penelitian ini akan
membahas pengaruh CSR terhadap kinerja perusahaan yang di ukur dengan stock
(2007). Hasil penelitian akan memberikan bukti empiris pengaruh CSR parameters
terhadap kinerja perusahaan dan menunjukkan parameter yang lebih banyak mendapat
perhatian perusahaan. Selain itu penelitian ini dilakukan pada perusahaan rawan
Menurut Robert seperti yang dikutip Hackston dan Milne (1996), perusahaan yang
termasuk dalam tipe industri high profile. Perusahaan ini pada umumnya merupakan
potensi untuk bersinggungan dengan kepentingan luas (Zuhroh dan Sukmawati, 2003).
(Mahoney et al. 2003; Zuhroh dan Sukmawati 2003; Brammer et al. 2005; Suratno et al.
2006 ; Fauzi et al. 2007; Fiori et al. 2007; Sayekti dan Wondabio, 2007) maka
perusahaan?
23
Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga
perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan
kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, CA. 1994). Jika terjadi
ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka
kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994) seperti yang dikutip oleh Haniffa dan
Cooke (2005). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah
perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie dan Parker, 1990).
Praktik pengungkapan CSR bervariasi di antar waktu dan antar negara. Hal ini
disebabkan isu-isu yang dipandang penting oleh satu negara mungkin akan menjadi
kurang penting bagi negara lain (Gray et al. 1995; Williams,1999; Yusoff dan Lehman,
2003). Pengungkapan CSR perusahaan untuk meningkatkan citra perusahaan dan ingin
dilihat sebagai warga negara yang bertanggung jawab (Ahmad et al. 2003) dan
perusahaan akan mengungkapkan informasi tertentu jika ada aturan yang menghendakinya
(Anggraini, 2006). Mengenai pengertian CSR belum ada pengertian tunggal yang
disepakati oleh semua pihak. Menurut Darwin (2004) seperti yang dikutip oleh Anggraini
(2006), CSR adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela
hukum. Gray et al (1987) seperti dikutip oleh Belal (2001) mendefinisikan CSR sebagai
proses komunikasi sosial dan lingkungan dari organisasi ekonomi terhadap kelompok
24
tertentu di masyarakat, yang melibatkan tanggung jawab organisasi (terutama perusahaan),
di luar tanggung jawab keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham.
Perusahaan mempunyai tanggung jawab lebih luas dibanding hanya untuk mencari uang
Dari beragam definisi CSR, ada satu kesamaan bahwa CSR tak bisa lepas dari
diterjemahkan oleh John Elkington sebagai triple bottom line, yaitu: Profit, People, dan
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai
social disclosure, corporate social reporting, social accounting, atau corporate social
kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap
tahunan (annual report) merupakan media yang tepat untuk menyampaikan tanggung
tema antara lain : (1) environment; (2) energy; (3) human resources and management; (4)
25
products and customers; and (5) community. Sedangakan Brammer et al (2005)
Kinerja perusahaan
gambaran kinerja perusahaan. Informasi ini diberikan oleh pihak manajemen perusahaan
merupakan salah satu cara untuk memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan
likuiditas dan volatilitas harga saham, yang dijadikan dasar oleh para investor dalam
perusahaan seperti ROA, ROE, profitabilitas, harga saham dan return telah banyak
dilakukan baik di luar maupun di Indonesia sendiri. Penelitian yang langsung menguji
informasi CSR yang merupakan informasi non keuangan terhadap harga saham dilakukan
oleh Fiori et al (2007) menunjukkan pengaruh CSR terhadap harga saham. Penelitian
Brammer (2005) menunjukkan pengaruh CSR terhadap return. Meskipun sangat lemah,
tahunan perusahaan belum dijadikan salah satu sumber informasi penting dan menentukan
dalam proses pengambilan keputusan investasi oleh para investor yang tercermin dari
26
Repayment capacity. Akuntansi mendasarkan ukuran kinerja keuangan adalah suatu
peramal yang cukup untuk penilaian pasar perusahaan dan return. Harga pasar saham mere
fleksikan nilai fundamental saham (Brief dan Lawson, 1992; Peasnell, 1996) seperti
dikutip oleh Fiori et al (2007). Sehingga dapat di simpulkan bahwa harga pasar saham
menggambarkan kinerja perusahaan. Lebih jauh lagi pergerakan harga saham ini akan
memp engaruhi return yang diterima oleh investor. Tentu saja juga dipengaruhi oleh
return pasar. Sehingga abnormal return yang diterima oleh investor juga akan
27
MATERI IV
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Kompetensi Dasar
Mampu menganalisis dan menjelaskan proses pengelolaan perusahaan sesuai tata kelola
Bahan Ajar
Darmawati, Khomsiyah, Rika Gelar Rahayu, The Indonesian Institute for Corporate
Governance (IICG)
Lemahnya corporate governance sering disebut sebagai salah satu penyebab krisis
keuangan di negara-negara di Asia (lihat, misal, Johnson dkk., 2000 dan Mitton, 2002).
Johnson dkk. (2000) dalam penelitiannya, telah menunjukkan bahwa variabel corporate
governance yang diterapkan dalam suatu negara lebih mampu menjelaskan luasnya
depresiasi mata uang dan menurunnya kinerja pasar modal di negara-negara berkembang
28
lemahnya corporate governance adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri di
pihak para manajer perusahaan. Jika para manajer perusahaan melakukan tindakan-
tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor, maka
akan menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang pengembalian (return) atas
investasi yang telah mereka tanamkan. Dengan demikian, secara agregat, hal tersebut
akan mengakibatkan aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami
penurunan sedangkan aliran keluar (capital outflows) dari suatu negara mengalami
sehingga pasar modalnya menjadi tidak berkembang dan menurunnya nilai pertukaran
Pada saat ini, pembahasan tentang proteksi investor merupakan hal yang sangat
krusial. La Porta dkk. (2000) telah membuktikan bahwa di beberapa negara, ekspropriasi
yang dilakukan oleh para manajer dan para pemegang saham pengendali (controlling
shareholders) terhadap para pemegang saham minoritas dan para kreditor sangat besar.
Pada saat para investor mendanai perusahaan, mereka menghadapi risiko dan kadang-
kadang besar kemungkinannya bahwa return atas investasi yang mereka tanamkan tidak
pernah material, karena para manajer dan pemegang saham pengendali melakukan
dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali (insider) dengan penekanan
pada mekanisme legal (Shleiver dan Vishny, 1997). Pendekatan legal dari corporate
governance memiliki arti bahwa mekanisme kunci dari corporate governance adalah
proteksi investor eksternal (outside investors), baik pemegang saham maupun kreditor,
melalui sistem legal, yang dapat diartikan dengan hukum dan pelaksanaannya. Meskipun
29
reputasi dan gagasan-gagasan yang dimiliki oleh para manajer dapat membantu dalam
meraih dana, variasi dalam hukum dan pelaksanaannya merupakan hal utama dalam
bervariasi antar satu negara dengan negara yang lain. Penelitian-penelitian tersebut pada
dasarnya menunjukkan adanya perbedaan sistem hukum yang melindungi investor antar
negara (lihat, misal, La Porta dkk., 2000). Perbedaan dalam sistem hukum tersebut
selanjutnya akan berpengaruh pada struktur kepemilikan, perkembangan pasar modal, dan
perekonomian suatu negara (lihat, misal, review artikel, La Porta dkk., 2000).
tingkat negara menimbulkan berbagai pertanyaan baru di kalangan para pakar di bidang
ekonomi. Besar kemungkinan bahwa tidak semua perusahaan dalam negara yang sama
menawarkan proteksi dengan tingkat yang sama kepada para investornya. Pertanyaan-
pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: Apakah perbedaan proteksi investor antar
perusahaan dalam negara yang sama memiliki arti? dapatkah suatu perusahaan yang
berada dalam suatu negara yang lemah lingkungan hukumnya membedakan dirinya dan
memberikan proteksi yang lebih pada para investornya dengan mengadopsi praktek-
praktek good corporate governance dan apakah adopsi praktik-praktik good corporate
governance memiliki arti lebih di dalam negara yang secara keseluruhan memiliki sistem
hukum dang baik atau buruk? (Klapper and Love, 2002; Black dkk., 2003).
Jika corporate governance merupakan faktor yang signifikan pada kondisi krisis,
maka corporate governance tidak hanya mampu menjelaskan perbedaan kinerja antar
negara selama periode krisis, akan tetapi juga perbedaan kinerja antar perusahaan dalam
30
tingkat perusahaan masih sangat sedikit dilakukan. Penelitian dampak penerapan
corporate governance pada kinerja sangat menarik untuk dilakukan pada periode krisis.
Coporate governance menjadi sesuatu yang lebih penting dalam kondisi krisis keuangan
karena dua alasan (Mitton, 2002). Pertama, ekspropriasi terhadap pemegang saham
minoritas menjadi lebih parah pada periode krisis. Johnson (2000) berpendapat bahwa
krisis dapat mendorong para manajer untuk lebih melakukan ekspropriasi pada saat return
atas investasi yang diharapkan semakin menurun. Alasan kedua, krisis dapat mendorong
Rajan dan Zingales (1998) seperti dikutip oleh Mitton (2002) menyatakan bahwa para
pada saat negara-negara tersebut pada kondisi perekonomian yang baik, akan tetapi secara
cepat menarik investasi mereka pada saat krisis dimulai, karena para investor percaya
bahwa negara tersebut tidak memiliki proteksi institusional yang memadai terhadap
investasi yang mereka tanamkan. Dengan adanya dua lasan tersebut, perusahaan dengan
corporate governance yang kurang baik dapat kehilangan nilai relatif lebih besar pada saat
kondisi krisis.
(Organization for Economic Co-operation and Development) (lihat, misal, survei yang
dilakukan oleh Shleifer dan Vishny, 1997). Penelitian yang dilakukan di negara yang
sedang berkembang masih sangat sedikit dilakukan. Black (2001) berargumen bahwa
pengaruh praktik corporate governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di
negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut dikarenakan oleh lebih
31
maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik corporate governance
lebih bervariasi di negara yang memiliki lingkungan hukum yang lebih lemah.
yang diterapkan dalam suatu perusahaan dengan kinerja perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Berghe dan Ridder (1999), menghubungkan kinerja perusahaan dengan good
governance tidak mudah dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada hubungan
corporate governance dengan kinerja perusahaan, misalnya penelitian Daily dkk. (1998)
dan hasil survey CBI, Deloitte dan Touche (1996) sebagaimana yang dikutip oleh
Kakabadse dkk, (2001). Demikian juga dengan Young (2003) yang menganalisis beberapa
pihak, berdasarkan beberapa hasil penelitian, Berghe dan Ridder menyatakan bahwa
Pernyataan ini didukung oleh penelitian Gompers dkk. (2003) yang menemukan hubungan
positif antara indeks corporate governance dengan kinerja perusahaan jangka panjang.
oleh beberapa hal, yaitu: 1) perspektif teoritis yang diterapkan, 2) metodologi penelitian,
berbeda dalam hal pengukuran variabel corporate governance yang telah disesuaikan
32
Penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi bagi pihak regulator dalam hal
memiliki kontrol dalam tingkat proteksi yang ditawarkan kepada pemegang saham
penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan keyakinan akan kegunaan hasil
Artikel ini terdiri dari beberapa bagian. Setelah pendahuluan, bahasan teori dan
pengembangan hipotesis dibahas pada bagian kedua. Pada bagian ketiga dibahas tentang
sampel dan pengumpulan data, variabel yang digunakan dan pengukurannya. Hasil
penelitian dan diskusi akan disajikan pada bagian keempat. Bagian terakhir artikel ini
corporate governance. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara principal dan
agen (dikembangkan oleh Coase, 1937; Jensen and Meckling, 1976; dan Fama and Jensen,
1983). Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahaan antara kepemilikan (di
harapan bahwa manajer akan menghasilkan returns dari uang yang mereka investasikan.
Oleh karena itu, kontrak yang baik antara investor dan manajer adalah kontrak yang
33
dalam mengelola dana para investor, dan spesifikasi tentang pembagian return antara
manajer dengan investor. Secara ideal, investor dan manajer sebaiknya menandatangani
kontrak yang lengkap/komplit, yang menspesifikasikan secara tepat apa saja yang akan
dilakukan oleh manajer di segala kemungkinan yang terjadi, dan bagaimana laba
sulit untuk dilihat/diramal sebelumnya, sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk
residual (residual control right) kepada manajer, yaitu hak untuk membuat keputusan
diselewengkan dan akan menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan
sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka tanamkan tidak
dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki hak untuk mengelola
perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola
dana investor. Kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya adalah bahwa manajer dapat
cara/bentuk, mulai dari penggelapan dana investor, menjual produk perusahaan kepada
perusahaan yang dimiliki oleh manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan
dengan harga pasar, hingga menjual aset perusahaan lainnya ke perusahaan yang dimiliki
oleh manajer. Bahkan, yang paling parah, ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer bisa
berkompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya (Shleifer dan Vishny,
1989). Jensen dan Ruback (1983) berargumen bahwa manajer yang tidak berkualitas yang
34
bertahan untuk bisa digantikan merupakan perujudan dari masalah keagenan yang paling
mahal.
Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenanan yang terjadi jika
pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda.
Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana
suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent), yang
yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989). Pertama, adalah
masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari
prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi
prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen.
Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah
melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul
pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dengan
demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda yang
Oleh karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi
hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan
kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Teori
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian
dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah
adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya
35
asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi adalah bahwa informasi
Konflik kepentingan yang dikarenakan oleh kemungkinan bahwa agen tidak selalu
bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Jensen
dan Meckling (1976) menyebutkan ada tiga jenis biaya keagenan. Prinsipal dapat
membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan
perusahaan (biaya bonding/bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan
bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan
ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal juga merupakan
biaya yang timbul dari hubungan keagenan. Biaya sejenis ini disebut kerugian residual
(residual loss).
Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tiga unsur tambahan yang
dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Unsur-unsur tersebut
adalah bekerjanya pasar tenaga manajerial, bekerjanya pasar modal dan unsur bekerjanya
Agen bisa tidak bermasa depan bila kinerjanya buruk sehingga diberhentikan oleh
pemegang saham. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola
yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan
36
pemegang saham perusahaan yang dikelolanya. Bekerjanya pasar modal secara efisien
bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya. Bekerjanya market
for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri
dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya
konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk
memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana
para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin
ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengkontrol
dewan direksinya (dewan direksi dan komisasris, untuk negara-negara yang menganut
sistem hukum two-tier, termasuk Indonesia), para pemegang sahamnya dan stakeholders
lainnya (OECD, 1999). Corporate governance juga memberikan suatu struktur yang
sarana untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dan sarana untuk menentukan teknik
monitoring kinerja. Good corporate governance harus memberikan insentif yang tepat
untuk dewan direksi dan menejemen dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang
ditentukan dari sisi kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dan juga harus
37
dapat memfasilitasi monitoring yang efektif, sehingga mendorong perusahaan untuk
perusahaan Inggris pada sekitar tahun 1950an, seperti manipulasi dana pensiun Maxwell,
banyaknya pengambilalihan usaha (takeover) dan insider trading yang terjadi di tahun
1970an dan selanjutnya menimbulkan resesi di tahun 1980an (Davies, 1999; hal. 34-35).
Committee pada bulan Mei 1991 yang bertugas untuk membuat Code of Best Practice
Committee, yang lebih menekankan pada remunerasi direksi, dan The Hampel Committee,
berbagai negara maju lainnya seperti Amerika, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia, Italia, dan
Australia juga mulai marak di diskusikan. Seperti pengalaman di Inggris, isu tentang
38
MATERI V
HIPOTESIS PASAR EFISIEN
Pasar modal yang efisien adalah pasar modal yang harga sahamnya merefleksikan
informasi yang ada di pasar dan dapat menyesuiakan dengan cepat terhadap informasi
baru. Bentuk efisiensi pasar terbagi menjadi efisiensi pasar bentuk lemah, setengah kuat
dan bentuk kuat (Fama, 1970). Efisiensi pasar bentuk setengah kuat dapat dikembangkan
menjadi efisiensi pasar setengah kuat secara informasi dan secara keputusan (Hartono,
2000). Efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi adalah efisiensi pasar yang
menekankan pada informasi yang fully reflect dan information available. Efisiensi pasar
bentuk setengah kuat secara keputusan menekankan informasi yang fully reflect,
information available serta kecanggihan investor dalam mengolah informasi yang tersedia
(Hartono, 2000).
Pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi mencakup pengujian
kandungan informasi dan kecepatan reaksi pasar terhadap suatu pengumuman yang
dipublikasikan. Pasar yang efisien bentuk setengah kuat secara informasi adalah pasar
yang bereaksi terhadap suatu pengumuman dan terjadi dengan cepat. Salah satu bentuk
39
merupakan sinyal yang diberikan manajemen tentang keyakinan mereka mengenai
(menurun) merupakan sinyal yang baik (buruk), yaitu manajer percaya bahwa prospek
dividen secara cepat, sehingga abnormal return yang dinikmati oleh investor hanya pada
saat pengumuman.
dari efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi dengan menganalisis
kecanggihan investor. Investor yang canggih dapat membedakan informasi yang bernilai
ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis. Pengumuman dividen meningkat merupakan
membutuhkan cost yang tinggi dari emiten. Apabila emiten memang mampu menanggung
cost kenaikan dividen tersebut, maka emiten tersebut memberikan sinyal yang valid
sehingga investor akan bereaksi positif. Sinyal yang valid merupakan informasi yang
bernilai ekonomis. Sebaliknya, apabila emiten tidak dapat menanggung cost kenaikan
dividen tersebut maka sinyal kenaikan dividen tersebut merupakan sinyal yang tidak valid
pengumuman dividen meningkat yang telah dilakukan oleh Sujoko (1999) dan Setiawan
dan Hartono (2003) menunjukkan investor di BEJ masih naif karena mereka tidak mampu
membedakan informasi yang bernilai ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis.
untuk dikaji karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Penelitian yang dilakukan oleh Gonedes (1978) dan Brooks (1996) menunjukkan
40
dilakukan oleh Petit (1972), Aharony dan Swary (1980), Firth (1994), Benartzi, Michaely
dan Thealer (1997), Mikhail, Walther dan Willis (1999) menunjukkan pengumuman
dividen mempunyai kandungan informasi yang berguna bagi investor untuk mengambil
keputusan investasi. Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga tidak menghasilkan bukti
yang konsisten. Amsari (1993), Soetjipto (1997), dan Raharjo (2000) tidak berhasil
Setiawan dan Hartono (2003) dan Yusnitasari (2003) menunjukkan bahwa pengumuman
Penelitian yang dilakukan oleh Sujoko (1999) dan Setiawan dan Hartono (2003)
menguji efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara keputusan periode sebelum krisis
moneter. Penelitian ini mengembangkan pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat
secara keputusan selama krisis moneter. Hal ini penting karena periode krisis moneter
moneter (Machfoedz,1999 dan Sulardi,2002) dan ada perbedaan risiko sistematis antara
periode sebelum dan selama krisis moneter (Setiawan,2004). Jika perusahaan memberikan
sinyal pengumuman dividen meningkat, maka investor harus menganalisis lebih lanjut
menanggung cost kenaikan dividen atau tidak, karena perusahaan sendiri sedang dilanda
pengumuman dividen konstan dan menurun. Pada saat perusahaan dilanda kemelut akibat
krisis moneter, jika mereka tetap mampu memberikan dividen yang sama dengan periode
sebelumnya berarti manajer yakin bahwa perusahaan akan tetap bertahan. Sinyal
pengumuman dividen konstan pada saat krisis moneter merupakan sinyal yang baik,
dividen, maka sinyal yang diberikan adalah sinyal yang buruk. Investor akan bereaksi
41
negatif terhadap pengumuman dividen menurun. Penelitian ini menggunakan beta koreksi
dengan menggunakan metode Fowler dan Rorke (1983) 4 lead dan 4 lag untuk
Motivasi penelitian ini adalah: pertama, masih terdapat pertentangan apakah dividen
dividen pada periode krisis moneter dan juga menguji pengumuman dividen meningkat,
tetap dan mnurun. Kedua, peneliti ingin mengetahui apakah investor di BEJ sudah
melakukan keputusan secara benar dalam merespon sinyal yang diberikan pengumuman
reaksi pasar terhadap pengumuman dividen. Ketiga, memberikan bukti empiris mengenai
kecanggihan investor dalam mengolah informasi, sehingga mampu bertindak secara tepat
memberikan bukti empiris apakah Bursa Efek Jakarta sudah efisien setengah kuat secara
dividen merupakan sinyal yang diberikan oleh manajer mengenai keyakinan mereka
sebagai pihak dalam tentu mempunyai akses yang lebih baik mengenai kemampuan
bahwa dividen merupakan suatu sinyal yang baik untuk menyampaikan maksud
42
perusahaan kepada investor. Pengumuman dividen dapat digunakan investor untuk
merupakan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan. Oleh karena itu,
Penelitian tentang dividen telah banyak dilakukan dengan hasil yang tidak konsisten,
informasi dividen (Petit,1972; Aharony dan Swary,1980; Bajaj dan Vijh,1995; Benartzi,
selama periode 1952-1972 di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada
abnormal return yang signifikan saat pengumuman dividen. Pengumuman dividen bukan
merupakan informasi yang digunakan oleh investor untuk mengambil keputusan. Brooks
manajer dan investor. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan informasi
asimetri pada periode sebelum pengumuman dan setelah pengumuman dividen. Hasil
penelitian Gonedes (1978) dan Brooks (1996) menunjukkan bahwa pengumuman dividen
investor. Petit (1972) menguji pengumuman dividen pada periode 1964 sampai dengan
1968 dengan menggunakan return bulanan. Reaksi investor terlihat pada saat bulan
keputusan investasi. Aharoni dan Swary (1980) mengkonfirmasi penelitian Petit (1972)
mengakibatkan investor bereaksi pada saat pengumuman dividen dan sehari sebelumnya.
43
Reaksi investor terhadap pengumuman dividen menurun lebih kuat daripada pengumuman
dividen meningkat.
Bajaj dan Vijh (1995) meneliti tentang return pasar dan perilaku perdagangan
selama periode pengumuman dividen dengan menggunakan harga penutupan harian dan
harga transaksi. Penelitian dilakukan pada 67.592 sampel yang diambil dari bulan Juli
1962 sampai Juni 1987. Penelitian tersebut dapat menunjukkan adanya hubungan yang
positif antara excess return, volatilitas harga dan volume perdagangan. Perilaku harga
metode buy-and-hold strategy terhadap data harian, untuk menguji reaksi jangka pendek,
dan data bulanan untuk menguji reaksi jangka panjang. Sampel yang diteliti terdiri dari
255 pengumuman dividen menurun dan 4249 pengumuman dividen meningkat selama
periode 1979-1991. Hasilnya menunjukkan untuk jangka pendek yaitu 3 hari sekitar
pengumuman terdapat reaksi pasar yang signifikan. Sedangkan untuk jangka panjang
menunjukkan ada excess return signifikan yang terjadi setahun setelah pengumuman
dividen. Jadi, perusahaan yang menaikkan (menurunkan) pembagian dividen, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, mengalami excess return yang meningkat
(menurun). Benartzi, Michaely dan Thealer (1997) juga menunjukkan investor akan
Mikhail, Walther dan Willis (1999) menguji reaksi pasar terhadap perubahan
dividen selama periode 1980-1997. Sampel penelitian sebanyak 5.838 sampel yang terdiri
dari 4858 pengumuman dividen meningkat dan 980 pengumuman dividen menurun. Hasil
44
pengumuman dividen meningkat dan bereaksi negatif 1,19% untuk pengumuman dividen
menurun. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi lebih kuat terhadap bad news
daripada good news. Penelitian ini juga membuktikan Cumulative Abnormal Return
berhubungan positif dan signifikan terhadap besarnya perubahan dividen. Secara umum
informasi pengumuman dividen pada perusahaan lain. Firth (1994) menunjukkan bahwa
perusahaan yang tergolong pada industri yang sama (perusahaan nonreporter). Yusnitasari
(2003) melakukan penelitian untuk menguji secara empiris transfer informasi intra industri
di sekitar pengumuman dividen di Bursa Efek Jakarta. Penelitian tersebut dilakukan pada
pengumuman penurunan dividen dan pengumuman kenaikan dividen selama tahun 1994
mempunyai nilai informasional bagi perusahaan lain yang termasuk pada jenis industri
dividen di Bursa Efek ASEAN, yaitu: Kuala Lumpur Stock Exchange, Singapore Stock
Exchange dan Jakarta Stock Exchange. Sampel penelitian adalah perusahaan yang
mengumumkan perubahan dividen pada tahun 1993 sampai dengan 1996. Hasil penelitian
adalah pada saat suatu perusahaan mengumumkan dividen meningkat, maka pemegang
saham perusahaan yang mengumumkan atau perusahaan lain pada industri yang sama
45
memperoleh hasil abnormal return yang positif. Sebaliknya pada pengumuman dividen
menurun, pemegang saham perusahaan yang mengumumkan atau perusahaan lain pada
industri yang sama akan mengalami abnormal return negatif. Penelitian tersebut berhasil
konsisten. Amsari (1993), Soetjipto (1997), Raharjo (2000) tidak berhasil membuktikan
mengumumkan dividen di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1990 sampai 1992. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengumuman dividen tidak berpengaruh pada harga saham
di Bursa Efek Jakarta. Penelitian tersebut tidak berhasil menemukan bukti bahwa
saham di Bursa Efek Jakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut berjumlah
tetap dan 19 pengumuman dividen menurun. Hasil penelitian tersebut tidak dapat
membuktikan adanya kandungan informasi dividen. Hal itu berarti pengumuman dividen
84 sampel perusahaan yang membayar dividen meningkat dan menurun. Hasil penelitian
tersebut adalah pengumuman dividen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
return saham di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1994. Perubahan pembayaran dividen
tidak memiliki pengaruh terhadap return saham selama tahun 1994. Hasil penelitian
Amsari (1993), Soetjipto (1997) dan Raharjo (2000) menunjukkan investor tidak
46
Penelitian yang dilakukan oleh Suparmono (2000) menguji pengumuman dividen
yang terjadi selama periode 1991-1998. Sampel penelitian terdiri dari 182 perusahaan
yang signifikan pada t-5 dan t-0 untuk dividen meningkat dan pada t-0 untuk dividen
pengumuman dividen meningkat ternyata pasar bereaksi lambat, sehingga investor dapat
menikmati abnormal return positif selama 7 hari (t-5 sampai dengan t+1). Sedangkan
untuk pengumuman dividen menurun ternyata investor bereaksi dengan cepat, sehingga
mereka hanya mengalami kerugian pada jangka pendek saja yaitu saat pengumuman,
sedangkan periode yang lebih panjang (7 hari) ternyata investor tidak mengalami
penurunan abnormal return. Perbandingan reaksi pasar terhadap bad news dan good news
juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi lebih kuat terhadap bad news daripada good
news.
meningkat periode 1992-1996. Sampel penelitian terdiri dari 132 perusahaan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pasar bereaksi terhadap pengumuman dividen meningkat pada saat
dilakukan pada saat periode sebelum krisis moneter. Oleh karena itu peneliti mencoba
menguji kandungan informasi dividen pada saat krisis moneter melanda Indonesia. Krisis
47
mengakibatkan perusahaan mengalami tekanan untuk memberikan dividen kepada
investor. Perusahaan akan menanggung cost yang lebih berat pada saat memberikan
dividen. Oleh karena itu, perusahaan yang memberikan dividen meningkat berusaha
meyakinkan investor bahwa mereka masih sanggup berkembang pada saat krisis moneter.
Kabar seperti ini jelas merupakan kabar yang baik bagi investor. Dividend signalling
theory juga memberikan argumentasi perusahaan yang memotong dividen pada saat krisis
yang kuat karena krisis moneter, sehingga mereka akan mengakomodasikan dananya
untuk menghadapi kemelut karena krisis moneter. Penelitian ini juga mencoba menguji
pengumuman dividen konstan. Pengumuman dividen yang konstan merupakan sinyal dari
penurunan, merupakan berita yang baik bagi investor. Secara ringkas berdasarkan
dividend signalling theory pengumuman dividen yang meningkat dan konstan merupakan
kabar baik, sehingga investor akan bereaksi positif. Sedangkan pengumuman dividen
48
MATERI VI
AKUNTANSI LINGKUNGAN
Kompetensi Dasar
Bahan Ajar
sudut pandang yang berbasiskan lingkungan (Gamble dkk, 1996). Keputusan ini meliputi
49
pemilihan bahan dan produk yang ramah lingkungan, penelitian menunjukkan bahwa
konsumen lebih senang apabila produknya ramah lingkungan dan menghindari produk
yang mengakibatkan permasalahan lingkungan (Post dan Altman, 1994; Zhang, Kuo dan
Lu, 1997). Menanggapi hal ini, peraturan lingkungan seharusnya diperluas untuk
membahas program lingkungan dan biaya lingkungan yang dapat menciptakan sebuah
(Gamble dkk, 1996). Identifikasi atas biaya lingkungan untuk meningkatkan keakuratan
biaya produk dan mendukung perusahaan dalam mendesain produk yang lebih ramah
penting sekali harus dipahami oleh manajemen perusahaan yang berawal dari pelaksanaan
yang berkaitan dengan keuangan dan non keuangan sebaiknya ditelusuri dan dianalisa.
Bartolomeo dkk (2000) mengindikasikan bahwa perhatian atas lingkungan saat ini sudah
mulai berkembang dalam mekanisme yang lebih baik untuk merencanakan dan
manfaatnya sebagai masukan pada akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan, akan
tetapi akuntansi lingkungan sampai saat ini belum mampu mencapai kemajuan yang cukup
berarti dan belum mampu menuju pada standardisasi internasional pelaporan akuntansi
kerangka berpikir yang sangat bermanfaat untuk meninjau kembali pemahaman dan
implementasi akuntansi lingkungan. Penelitian ini melihat beberapa persepsi dari sudut
pandang auditor, akuntan pendidik (dosen) dan akuntan manajemen mengenai konsep
50
dasar, pengukuran dan pengungkapan akuntansi lingkungan yang diharapkan dapat
pengungkapan akuntansi lingkungan tersebut yang ada di Indonesia. Oleh karena itu
penelitian ini diarahkan untuk menggali permasalahan tersebut dan diharapkan akan
Perusahaan merupakan bagian dari sistem sosial yang terbentuk dari proses yang
kewajiban atas apa yang terjadi di masyarakat. Manajer dianggap memiliki tanggungjawab
untuk melaksanakan hal itu, karena perusahaan dalam operasionalnya menggunakan dana
dari investor (stockholder) dan juga menggunakan sumber dana dari masyarakat serta
wajar jika masyarakat mempunyai harapan terhadap perusahaan (Hasibuan, 2001). Gray
dkk (1996) dalam Hasibuan (2001) menyatakan bahwa perusahaan dalam memenuhi
1. Primary level
pertanggungjawaban.
51
2. Secondary level
Menggambarkan interaksi sosial perusahaan yang lebih luas yaitu pengguna infrastruktur,
pengaruh estetika, kesehatan karyawan, advertensi sampah sisa, teknologi dan sumber-
3. Tertiary level
Menggambarkan interaksi dalam sistem organisasional yang lebih komplek seperti moral,
stakeholders secara langsung. Vasin, Heyn & Company (2001) menyatakan alasan
1. Pertimbangan persepsi
Kondisi pertama digolongkan sebagai alasan persepsi oleh Vasin, Heyn & Company
(2001) meliputi pengertian bahwa mitra bisnis, supplier dan konsumen melakukan bisnis
2. Pertimbangan Bisnis
Strategi pemasaran yang memperhatikan lingkungan dapat menciptakan pasar baru dan
dalam pandangan pemerintah dan konsumen karena reputasi yang baik, memerlukan
adanya kepercayaan.
3. Pertimbangan Altruistik
52
Perusahaan mempunyai suatu kewajiban untuk berbagi kesuksesan dengan masyarakat
karena kesuksesan perusahaan terjadi karena adanya keterlibatan masyarakat dan juga
(1976) dalam Gray, Kouhy, dan Lavers (1995) terdiri dari lingkungan, energi, praktik
bisnis yang fair, sumberdaya manusia, dan produk. Sedangkan Carrol (1996) membagi
tanggungjawab sosial ke dalam beberapa prinsip yaitu energi dan sumberdaya mineral,
terhadap konsumen.
bahasan yaitu aspek makro dan mikro. Pada aspek mikro, akuntansi lingkungan dipahami
sebagai pengakuan dan integrasi dampak isu-isu lingkungan pada sistem akuntansi suatu
perusahaan (Rusmana, 2001). Sedangkan Seidler dan Seidler dalam Rusmana (2001)
menyatakan, akuntansi lingkungan dipandang sebagai bagian dari akuntansi sosial karena
ada beberapa konsekuensi hukum atau ekonomi terkait dengan kegiatan perusahaan.
makro.
konteks yang berbeda, yaitu akuntansi pendapatan nasional (national income accounting),
accounting). Brady dkk (1999) mengatakan bahwa masih ada peluang bersaing bagi
resiko, inovasi, efisiensi, dan tekanan peraturan. Terlebih lagi, USEPA (1995b) mencatat
bahwa atribut lingkungan dari suatu produk biasanya ada dalam tahapan desain yang
53
sudah paten, biaya lingkungan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan melakukan
lingkungan, menurut EPA (1995) dalam Rusmana (2003), paling tidak harus mencakup
dua dimensi utama, yaitu pertama, biaya-biaya yang secara langsung mempunyai
pengaruh kepada laba bersih suatu perusahaan (biaya privat), kedua biaya-biaya bagi
individu, masyarakat, dan lingkungan dengan mana perusahaan tidak bertanggung jawab
dan tidak dapat menghitung biaya-biaya ini. Pengukuran atas biaya lingkungan yang
bersifat eksternalities mungkin akan lebih sederhana jika hanya dibatasi pada biaya yang
melekat pada kuantitas material buang berdasarkan suatu tabel indeks atas tiap-tiap jenis
material yang diukur dari tingkat bahaya (McCright dan Riley, 2008). Limbah padat
seperti kertas, plastik dan lainnya mungkin lebih mudah untuk ditangani dibanding dengan
limbah cair dan emisi gas buang yang dengan kandungan material kimia yang berbahaya.
pada kuantitas material buangan dan kandungan untuk masing-masing bahan kimia untuk
setiap kubik material buangan. Selanjutnya biaya lingkungan yang bersifat eksternalities
ditetapkan sebesar kuantitas kandungan kimia berbahaya dikalikan dengan indeks nilai
beberapa atau bahkan terdapat dalam semua kelompok biaya dalam akuntansi
54
konvensional. Perusahaan akan lebih sulit dalam mengukur dan menghitung biaya-biaya
biaya lingkungan dimulai dari conventional costs, potentially hidden cost, contingent cost,
pasar untuk menentukan unit moneter atas material buangan dari suatu proses produksi.
Konsep yang ditawarkan oleh pengukuran kerugian ekonomis dari emisi gas karbon dapat
dijadikan sebagai salah satu acuan pengukuran biaya lingkungan (Ratnatunga, 2007).
Sebuah harga atas emisi gas rumah kaca (GRK) biasanya dinyatakan per metrik ton CO2,
atau dalam kasus untuk beberapa gas, per metrik ton CO2-setara, atau CO2-e. Harga
tersebut dapat dibentuk melalui mekanisme pasar yang berkembang untuk tunjangan emisi
yang dikeluarkan di bawah sistem cap-and-trade (harga penyisihan) atau melalui pajak
kesejahteraan sosial yang dihasilkan oleh pengungkapan (Hendriksen dan Van Breda,
2002). Jika tidak ada suatu teori etika yang memungkinkan pengukuran kesejahteraan
relevansi dan keandalan (Hendriksen dan Van Breda, 2002:427). Banyak pihak
menyarankan bahwa pengungkapan harus dibuat sebagai tambahan pada neraca dan
laporan rugi laba yang standar. Contoh-contohnya mencakup ramalan hasil keuangan masa
depan, pernyataan akuntansi, serta analisis keuangan per segmen. Sejumlah metode
pengungkapan tersedia bagi manajemen (Hendriksen dan Van Breda, 2002). Patten (2002)
55
mendefinikan Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan
MATERI VII
INFORMASI ASYMETRI
Kompetensi Dasar
Mampu melakukan analisa dan menjelaskan informasi yang tersembunyi dan terbuka
Bahan Ajar
antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai
prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal
dan prospek perusahaandi masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan
56
asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan
kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat
dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan
secara riil, namun disisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan
kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari
aturan Standar AkuntansiKeuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara
sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen
Richardson (1998) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistimatis antara magnitut
memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas
bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Bhattacharya dan Spiegel (1991) dalam Richardson (1998) melakukan penelitian, bahwa
of capital sebagai pelindung harga investor itu sendiri melawan kerugian potensial dari
perdagangan dengan partisipan pasar yang diinformasikan dengan baik. Lev (1998)
berpendapat bahwa ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk
pasar modal. Bid-asks spreads adalah salah satu ukuran dalam likuiditas pasar yang
digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri informasi
57
Sebagai bukti dari kemampuan bid-asks dalam menangkap informasi seputar
perusahaan ditunjukkan oleh Healy (1995)yaitu seorang yang melaporkan bukti dari
hubungan yang negatif antara bid-ask spread dan kebijakan pengungkapan perusahaan.
Dari uraian diatas, penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali pengaruh asimetri
informasi terhadap praktik manajemen laba. Faktor yang membedakan dengan penelitian
sebelumnya, dimana pada periode yang berbeda tersebut keadaan ekonomi yang terjadi
juga berbeda. Selain itu penelitian ini mengambil sampel pada perusahaan perbankan go
publikyang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Berdasarkan latar belakang masalah diatas,
Didasari oleh penelitian analitis Richardson (1998), penelitian ini bertujuan untuk
memberikan bukti empiris mengenai asimetri informasi dan pengaruhnya terhadap praktik
manajemen laba secara langsung. Secara khusus, penelitian ini menguji apakah ada
pengaruh positif signifikan antara asimetri informasi dengan praktik manajemen laba pada
Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs
memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham
58
perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income
Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper
(1989) dalam Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu
intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk
memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang
netraldari proses tersebut). Menurut Assih dan Gudono (2000) mengartikan manajemen
laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General
dilaporkan.
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal
dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu
faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah
bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa(Setiawati dan Naim, 2000). Manajemen laba merupakan area yang kontroversial
dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa
manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa
manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan.
Investor mungkin tdak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk
mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994) dalam Assih (2004).
59
Dalam positif accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus
yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings
lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994). Hal ini
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih
metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang
antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain. Scott (2000: 302)
a. Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara
(Healy, 1985).
b. Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan
publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan
c. Taxation Motivations
60
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata.
d. PergantianCEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk
meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan
Perusahaan yang akan go publicbelum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer
pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Naim (2000) dapat dilakukan
akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi
aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
Perubahan metode akunatansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh :
merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode
61
(3) Menggeser periode biaya atau pendapatan.
Trueman dan Titman (1988) berpendapat bahwa hanya manajer yang dapat mengobservasi
laba ekonomi perusahaan untuk setiap perioda. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat
menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh
mungkin manajer dapat memindah, antarperioda, pada saat sebagian laba ekonomi
diketahui sebagai laba akuntansi dalam laporan keuangan. Perpindahan tersebut dapat
dicapai, sebagai contoh, melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur
ekonomis perusahaan, dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer tidak dapat
memindah laba antarperioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan sama
dengan laba ekonomi perusahaan pada setiap perioda. Fleksibilitas untuk menunda laba
antarperioda hanya tersedia bagi beberapa perusahaan, dan hanya manajer yang
informasi akan mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer
forecast dispersion) dan manajemen laba setelah mengendalikan faktor lain yang dapat
62
mempengaruhi manajemen laba, seperti variabilitas aliran kas, ukuran, risiko, dan
Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dapat dilakukan dengan cara:
a. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan
melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan
b. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika
laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk
melaporkan net incomeyang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat
mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih
Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi
atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency
theorymengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dalam hal ini
63
adalah pihak bank-bank komersial/umum dengan pemilik (prinsipal) yaitu Bank
Indonesia.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Puput (2001) menambahkan bahwa jika kedua
utilitasnya, maka terdapatalasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan
menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk
membatasi aktivitas agen yang menyimpang. Ada dua tipe asimetri informasi : adverse
1. Adverse selection
Adverse selectionadalah jenis asimetriinformasi dalam mana satu pihak atau lebih yang
memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selectionterjadi karena beberapa
orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih
mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor
luar.
2. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang
melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha
transaksi merekasedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena
64
MATERI VIII
VALUE RELEVANCE
Kompetensi Dasar
Bahan Ajar
Berbagai model penilaian ekuitas dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok besar,
perusahaan sebagai fungsi laba dan nilai buku, seperti penelitian Rees (1997) yang menemukan
bahwa investor di Inggris lebih menekankan pada laba daripada nilai buku bila dibandingkan
dengan investor Kanada, hal ini mungkin disebabkan kualitas laba yang lebih tinggi di Inggris.
65
Kelompok kedua, memperluas model EBO dengan memasukkan variabel dividen dan pengeluaran
modal dalam penilaian ekuitas. Kelompok ketiga adalah model yang didasarkan pada konsep nilai
ekonomis (serupa dengan model residual atau laba abnormal). Keempat, merupakan model
pengujian yang menggunakan berbagai pendekatan penilaian, seperti Damodaran (1996) yang
menggunakan empat variabel dasar, yaitu dividend payout, pertumbuhan laba, beta dan profit
margin. Kelima, mengevaluasi logaritma yang digunakan pengadilan pada beberapa kasus hukum
Pengujian mengenai daya penjelas (explanatory power) dari berbagai variabel dilakukan
oleh Francis dan Schipper (1999) yang meneliti mengenai: pertama, kemampuan laba untuk
menjelaskan market-adjusted returns yang disebut dengan earning relation; kedua, menguji
kemampuan aset dan kewajiban untuk menjelaskan nilai pasar ekuitas atau yang disebut balance
sheet relation; dan ketiga, menguji kemampuan nilai buku dan laba untuk menjelaskan nilai pasar
ekuitas atau disebut book value & earning relation. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
daya penjelas (explanatory power) laba untuk return secara signifikan menurun sepanjang waktu,
dan sebaliknya pengujian daya penjelas nilai buku aset dan kewajiban (baik secara terpisah atau
dikombinasikan dengan laba) untuk nilai pasar ekuitas tidak terdapat bukti terjadinya penurunan
Pada beberapa penelitian umumnya mengasumsikan bentuk linear yang nilai ekuitasnya
merupakan fungsi penjumlahan dari laba dan nilai buku, sebaliknya pada model Burgstahler dan
Dichev (1997) mengimplikasikan bahwa nilai ekuitas merupakan fungsi konveks non-penjumlahan
dari laba diharapkan dan nilai buku, yang peran laba dan nilai buku tergantung pada nilai
relatifnya. Pada saat perusahaan memiliki laba relatif lebih rendah dari nilai buku, maka nilai buku
lebih relevan. Sedangkan saat laba lebih tinggi daripada nilai buku, maka laba lebih relevan untuk
penilaian (Burgstahler dan Dichev, 1997). Menurut Abukari (2000), investor di Inggris (UK) lebih
memberikan tekanan pada laba dan tidak terlalu menekankan pada nilai buku, bila dibandingkan
dengan investor Kanada, dan ini mengindikasikan kualitas laba yang lebih tinggi pada perusahaan
di Inggris. Sedangkan pada perusahaan di Amerika, Abukari menyatakan bahwa relevansi nilai
66
book value lebih tinggi daripada laba, khususnya pada sektor transportasi dan real estate, namun
Penelitian lainnya menggunakan dividen untuk menggantikan laba dalam regresi harga
terhadap nilai buku dan laba. Hal ini didasarkan pada dua argumen, yaitu: pertama, dividen
memiliki kandungan informasi dalam arti bahwa dividen memberikan informasi mengenai laba
permanen perusahaan, karena itu dividen dipandang sebagai surogasi untuk laba permanen.
Kedua, model penilaian akuntansi dapat diperoleh dari nilai buku dan dividen, sehingga
pentingnya konteks dalam penilaian relevansi nilai, apakah nilai buku, laba atau dividen yang
merupakan pemberi sinyal yang penting dalam penilaian tergantung pada karakteristik perusahaan
Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengujian kembali terhadap penelitian yang
dilakukan oleh Brief dan Zarowin (1999) yang membandingkan relevansi nilai dividen dan nilai
buku, dengan laba dan nilai buku, dan mencoba untuk mengungkap pengaruh beberapa kondisi
yang mungkin berpengaruh pada relevansi nilai tersebut. Sebagaimana yang dilakukan pada
penelitian Brief dan Zarowin, maupun Francis dan Schipper (1999), penelitian ini berfokus pada
relevansi informasi laporan keuangan bagi investor untuk tujuan penilaian, dan relevansi nilai ini
secara operasional diukur berdasarkan daya penjelas (explanatory power) informasi akuntansi
untuk menjelaskan nilai pasar, yang diukur dengan nilai adjusted R2. Informasi akuntansi yang
digunakan dalam menjelaskan nilai pasar ekuitas ini meliputi nilai laba, dividen dan nilai buku.
Perbedaan dari penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Brief dan Zarowin
(1999) terletak pada: pertama, setelah dilakukan pengujian pada relevansi nilai dividen, nilai buku
dan laba (earning), kualitas akrual digunakan sebagai variabel kontrol, karena menurut Dechow
dan Dichev (2001) merupakan faktor yang berhubungan negatif dengan persistensi earning
sehingga diharapkan akan memberikan pengaruh pada relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba
(earning) tersebut. Kontrol pada akuntansi akrual ini pada penelitian Brief dan Zarowin tidak
dilakukan sehingga tidak dapat diketahui secara pasti pengaruh akuntansi akrual tersebut pada
67
daya penjelas laba dibandingkan dividen. Selain itu dilakukan kontrol juga pada ukuran
Permasalahan penelitian ini mengenai relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba yang
mencakup: pertama, bagaimana relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba dalam menjelaskan
nilai pasar perusahaan?; kedua, bagaimana relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba dalam pada
perusahaan yang memiliki laba negatif?; ketiga, apakah besarnya akrual, yang merupakan salah
satu komponen dari laba, akan mempengaruhi relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba?; dan
yang terakhir adalah apakah ukuran perusahaan akan mempengaruhi relevansi nilai dividen, nilai
Menurut Francis dan Schipper (1999) terdapat empat kemungkinan intepretasi konstruk
relevansi nilai: Intepretasi pertama, adalah informasi laporan keuangan mempengaruhi harga
saham karena mengandung nilai intrinsik saham sehingga berpengaruh pada harga saham.
Intepretasi kedua, informasi keuangan merupakan nilai yang relevan bila mengandung variabel
yang dapat digunakan dalam model penilaian atau membantu dalam memprediksi variable.
Intepretasi relevansi nilai yang ketiga dan keempat ditunjukkan oleh hubungan statistik
antara informasi keuangan dengan harga atau return. Menurut intepretasi ketiga, relevansi nilai
diukur dengan berita dari informasi yang bernilai relevan sehingga menyebabkan perubahan
harga saham karena dengan adanya informasi tersebut menyebabkan investor merevisi
kemampuan informasi laporan keuangan untuk menangkap atau meringkas berbagai macam
informasi yang mempengaruhi nilai saham. Pada penelitian ini intepretasi relevansi nilai yang
68
2.2.1 Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen
Model penilaian berdasar laba dan nilai buku, dipandang sebagai pendekatan alternatif
untuk penilaian. Pada model teoretis yang mengasumsikan pasar yang lengkap dan sempurna,
nilai buku dan laba merupakan alternatif penilaian yang berlebihan (redundant) (Burgstahler dan
Dichev, 1997), karena menurut White (1997) pada pasar sempurna, model yang didasarkan pada
aset, dividen, arus kas dan laba adalah identik. Namun pada seting yang lebih realistis dengan
pasar yang tidak sempurna, sistem akuntansi dapat memberikan informasi mengenai nilai buku dan
laba sebagai komponen nilai ekuitas yang komplementer daripada redundant. Secara umum nilai
perusahaan merupakan fungsi laba dan nilai buku (Burgstahler dan Dichev, 1997).
Hasil penelitian Abukari et. al. melaporkan bahwa model nilai buku dan laba masih
merupakan variabel yang terpenting dalam penilaian ekuitas, namun dividen juga memiliki nilai
informasi atau sinyal yang kredibel, bahkan dividen dinilai lebih tinggi pada perusahaan yang
memiliki asimetri informasi yang tinggi (Abukari et. al., 2000). Brief dan Zarowin (1999) juga
menemukan bahwa dividen ternyata memiliki relevansi nilai sama besarnya dengan laba. Rata-
rata nilai R2 pada regresi sederhana harga terhadap laba, dan harga terhadap dividen, secara
statistik tidak terdapat perbedaan baik untuk rata-rata pengujian per tahun ataupun pengujian
Dilain pihak, dividend irrelevance theory menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak
berpengaruh baik pada harga saham perusahaan maupun biaya modalnya, dan nilai perusahaan
ditentukan hanya oleh laba dan risiko bisnisnya, atau tergantung pada income yang diharapkan dari
Ha-1: Terdapat perbedaan relevansi nilai antara laba, nilai buku dan dividen
2.2.2 Pengaruh Laba Perusahaan Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen
Menurut Brief dan Zarowin (1999), laba negatif memiliki relevansi yang kecil dalam
penilaian. Namun, hasil penelitian Tan (2001) menunjukkan bahwa dengan semakin meningkat
(menurunnya) kemungkinan terjadinya merjer (bangkrut), laba secara signifikan berasosiasi positif
69
dengan nilai pasar ekuitas. Sedangkan hasil penelitian Subramanyam dan Venkatachalam (1998)
menunjukkan bahwa pada perusahaan yang mengalami kerugian, nilai buku memberikan daya
penjelas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laba sebelumnya dan laba saat ini. Sedangkan
pada perusahaan yang mengalami keuntungan, nilai buku tidak memberikan informasi yang lebih
besar dibandingkan laba saat ini dan laba tiga tahun sebelumnya.
Ha-2a: Nilai buku perusahaan dengan laba negatif, memiliki relevansi nilai yang
positif.
Hasil penelitian Abukari et.al. (2000) menunjukkan bahwa pada perusahaan yang
di masa depan, walaupun memerlukan biaya yang besar (costly),. Hasil ini konsisten dengan
profitability hypothesis yang menyatakan bahwa pengaruh dividen akan lebih tinggi pada
Ha-2b: Relevansi nilai dividen perusahaan dengan laba negatif yang membagikan
2.2.3 Pengaruh Kualitas Akrual Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen
Proses akrual banyak mendapat kritikan karena didasarkan pada kos historis dan karena
laba yang dilaporkan dapat dimanipulasi melalui berbagai pilihan GAAP oleh manajer (Rayburn,
1986). Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Sloan (1996) menyatakan bahwa kinerja laba
saat ini yang mengandung kedua komponen ini akan cenderung tidak persisten jika komponen
Bernstein (1993) pada artikel Sloan (1996), mengungkapkan bahwa semakin tinggi arus
kas operasi (cash flow from operations) terhadap laba bersih, berarti semakin tinggi kualitas laba
70
tersebut; dan sebaliknya perusahaan dengan laba bersih yang tinggi namun arusnya kas rendah,
Richardson (2001) mengukur kualitas laba sebagai tingkat persistensi kinerja laba pada
periode selanjutnya, dan perusahaan dengan akrual yang besar akan memiliki persistensi laba yang
lebih rendah sehingga mengalami penurunan kinerja laba pada tahun berikutnya. Sedangkan hasil
penelitian Barth et.al., (1999) mendukung prediksi bahwa akrual dan arus kas memberikan
tambahan informasi dalam memprediksi laba abnormal masa depan dan dalam menjelaskan
ekuitas pasar saat ini, selain itu akrual dan arus kas memiliki relevansi nilai pada semua industri.
Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Penman dan Sougiannis (1995), yang menyatakan
bahwa akuntansi akrual (secara umum) memperlakukan investasi sebagai aset operasi yang tidak
dapat mempengaruhi laba dengan cepat dan ini menunjukkan bahwa akuntansi akrual ini
mengurangi kesalahan dalam penilaian discounted cash flow (DCF), namun karena akrual
ditentukan oleh pihak manajemen sehingga mungkin juga akan mengakibatkan kesalahan lainnya.
2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen
Penelitian Chen et.al. (1999) menemukan hasil bahwa pada perusahaan besar, variabel
laba tidak terlalu signifikan dibandingkan perusahaan yang lebih kecil. Hal ini tidka konsisten
dengan hipotesis Collin et.al. (1997) pada artikel Chen et.al. (1999), yang menyatakan bahwa nilai
buku akan lebih penting dibandingkan laba akuntansi dalam penilaian perusahaan kecil, karena:
pertama, perusahaan kecil cenderung belum dewasa dan masih memungkinkan mengalami
pertumbuhan di masa datang. Akibatnya, laba menjadi tidak persisten dan tidak dapat menjadi
proksi yang baik untuk laba masa depan, sehingga nilai buku memiliki relevansi yang lebih tinggi
dalam penilaian. Kedua, perusahaan kecil cenderung rentan mengalami kesulitan keuangan,
sehingga investor akan lebih berfokus pada nilai buku ekuitas sebagai proksi abandonment value.
Sedangkan pengujian mengenai pentingnya variabel dividen dilakukan oleh Abukari et.al. (2000)
yang menemukan hasil bahwa sinyal dividen akan lebih kuat pada perusahaan yang lebih besar.
71
Ha-4: Ukuran perusahaan akan berpengaruh pada relevansi nilai laba.
MATERI IX
INFORMATION CONTENT
Kompetensi Dasar
Bahan Ajar
perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aktiva dan kewajiban
yang dapat diidentifikasi (identifiable assets and liabilities) diakui sebagai goodwill.
Goodwill merupakan cerminan atas lebih tingginya kekuatan potensi laba perusahaan
72
yang diakuisisi daripada nilai wajarnya. Dalam prakteknya, goodwill merupakan
selama masa manfaatnya. Periode amortisasi goodwill selama 5 tahun dan dapat
diperpanjang sampai dengan 20 tahun dengan alasan yang tepat. Rasionalisasi atas
amortisasi ini adalah bahwa goodwill sebagai asset perusahaan dialokasikan sebagai biaya
semakin besar selisih nilai pembelian dengan nilai wajarnya. Sehingga seringkali
goodwill yang ditimbulkan dari akuisisi bernilai sangat besar. Hal ini dapat sangat
sehingga nilai laba menjadi jauh lebih kecil. Statement of Financial Accounting
(FASB) mengenai Goodwill and Other Intangible Assets tidak mewajibkan perusahaan
(impairment) dan menghapus nilai goodwill sebesar penurunannya ketika penurunan nilai
tersebut terjadi. Penurunan nilai terjadi ketika nilai buku goodwill melebihi nilai
nilai berbasis nilai wajar (fair value-based impairment test) akan lebih memenuhi
73
faithfulness) dan mengandung informasi keuangan yang berguna bagi pengambilan
keputusan.
menyatakan bahwa umur ekonomis goodwill tidak dapat diprediksi secara andal dan
pola penurunan nilainya juga tidak dapat ditentukan secara pasti. Pola penurunan
nilai goodwill suatu perusahaan belum tentu mengikuti pola garis lurus. Selain itu,
faithfulness. Selain itu banyak juga terdapat kasus beban amortisasi goodwill yang
mempunyai pengaruh signifikan terhadap laba. First Call Corp., sebuah perusahaan
First Call membantu perusahaan untuk menghitung dan melaporkan laba per saham
sebesar US$0.93, namun memiliki laba per saham sebelum amortisasi goodwill
sebesar US$0.94 (Moehrle and Wallace, 2001). Moehrle dan Wallace (1999)
menyimpulkan bahwa laba, baik laba akrual maupun laba kas, menjelaskan
pengembalian saham lebih baik daripada arus kas. Sedangkan dalam penelitian
selanjutnya, Moehrle dan Wallace (2001) menemukan bahwa 2 ukuran laba akrual,
yaitu laba sebelum amortisasi goodwill dan pos luar biasa serta laba setelah
amortisasi goodwill dan sebelum pos luar biasa, lebih dapat menjelaskan return
daripada arus kas; sementara kedua ukuran laba akrual tadi memiliki kandungan
74
informasi yang relatif sama. Laba akrual merupakan laba yang terdiri dari unsur-unsur
akrual/non-kas, seperti depresiasi dan amortisasi. Laba kas merupakan laba yang
amortisasi. Sedangkan arus kas adalah jumlah kas yang sebenarnya dihasilkan
perusahaan melalui kegiatan operasi, pendanaan, dan investasi. Ukuran arus kas
yang relevan dengan ukuran laba adalah arus kas operasional karena terdiri dari unsur-
dan Wallace (2001), yaitu menguji manfaat kandungan informasi yang terdapat
dalam amortisasi goodwill, untuk kondisi yang berlaku Indonesia. Namun penelitian
PENELITIAN TERDAHULU
goodwill dilakukan oleh Moehrle dan Wallace (1999). Moehrle dan Wallace
menyimpulkan bahwa kandungan informasi laba setelah amortisasi sebelum pos luar
biasa tidak berbeda jauh dengan laba sebelum amortisasi dan pos luar biasa.
Selanjutnya, kedua laba tersebut lebih informatif daripada arus kas operasi. Hasil
penelitian ini mendukung proposal FASB yang ketika itu diajukan mengenai
menyimpulkan bahwa semakin besar amortisasi goodwill, semakin besar nilai price-
75
sejumlah besar perusahaan tidak mengungkapkan amortisasi goodwill, walaupun
akrual dengan arus kas sudah lebih banyak lagi dilakukan. Ball & Brown (1968);
Beaver & Dukes (1972); Budiarko (1985); Dechow (1994); Biddle (1995) dan
Moehrle & Wallace (1999) mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa korelasi
Rayburn (1986); Wilson (1986 & 1987); Bowen; Burgstahler & Dahley
(1987);
dan Baridwan (1997) menyimpulkan bahwa laba akrual dan arus kas berkorelasi
sama kuatnya dengan pengembalian saham. Beaver, Griffin & Landsman (1982)
menemukan bahwa korelasi arus kas dengan pengembalian saham lebih kuat
daripada laba akrual. Cahyani (1999) menemukan bahwa korelasi laba akrual dan
arah korelasi laba akrual dan arus kas adalah positif. Sedangkan kesimpulan yang
didapat pada penelitian yang dilakukan oleh Triyono (1998) adalah bahwa total arus
kas, arus kas operasi, arus kas investasi, dan arus kas pendanaan tidak berkorelasi
secara umum laba akrual dapat menjelaskan pengembalian saham lebih baik relatif
76
dibandingkan dengan arus kas operasi. Ukuran kinerja yang semakin bergerak
menjauhi laba akrual dan semakin mendekati arus kas, maka ukuran tersebut
MATERI X
FINANCIAL QUALITY
Kompetensi Dasar
pengambilan keputusan
Bahan Ajar
Airlangga
Pengertian kualitas pelaporan keuangan hingga saat ini masih beragam namun
pada prinsipnya pengertian kualitas pelaporan keuangan dapat dipandang dalam dua sudut
perusahaan. Informasi pelaporan keuangan dikatakan tinggi (berkualitas) jika laba tahun
77
berjalan dapat menjadi indikator yang baik untuk laba perusahaan di masa yang akan
datang (Lev dan Thiagarajan, 1993) atau berasosiasi secara kuat dengan arus kas operasi
di masa yang akan datang (Dechow dan Dichev, 2002). Implikasi dari pandangan tersebut,
kualitas pelaporan keuangan berkaitan dengan kinerja saham perusahaan di pasar modal.
Hubungan yang semakin kuat antara laba dengan imbalan pasar menunjukkan informasi
(Cohen, 2003; Francis et al.2004, dan Pagalung, 2006). Pendekatan pertama adalah
penelitian yang berkaitan dengan mengkaji faktor-faktor apa yang menyebabkan pelaporan
pelaporan keuangan direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Pendekatan ini
yang berkualitas. Fokus pendekatan ini berkaitan dengan faktor-faktor internal perusahaan
yang terkait dengan faktor inherenatau faktor intrinsik yang melekat di perusahaan itu
sendiri, yang di berbagai penelitian memberikan istilah dengan faktor spesifik atau
direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Informasi pelaporan keuangan yang
berkualitas dapat meningkatkan kepercayaan investor (Gul et al., 2003; Francis et al.,2004,
Motivasi penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan
78
pengukuran kualitas pelaporan keuangan dengan menggunakan tujuh atribut kualitas
pelaporan keuangan terdiri atas empat atribut berbasis akuntansi (accounting based
attributes) yang terdiri dari kualitas akrual, persistensi, prediktabilita, perataan laba dan
tiga atribut berbasis pasar (market based attributes) yang terdiri dari relevansi nilai,
kualitas pelaporan akuntansi berbasis pasar karena proksi untuk bentuk ini didasarkan
pada hubungan antara data pasar dan akuntansi. Diharapkan dengan menggunakan tujuh
atribut tersebut penelitian ini akan lebih memberikan daya penjelas yang lebih lengkap.
Kedua, penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kualitas
pelaporan keuangan perusahaan dengan fokus pada kajian faktor-faktor penentu dan
konsekuensi ekonomiknya secara langsung (direct link). Ketiga, model penelitian yang
menyatu, dan komprehensif. Model komprehensif yang dimaksud adalah model yang
ditimbulkan di pasar modal Indonesia secara bersamaan dalam satu penelitian. Selain itu,
pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang digunakan selama ini di Indonesia lebih
didominasi pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang berbasis pasar, seperti relevansi
nilai (value relevance) (Susanto dan Ekawati, 2006) dan koefisien responsa laba (earnings
Penelitian lain yang sudah menggunakan atribut gabungan, yaitu Pagalung (2006)
tersebut adalah kualitas akrual, persistensi, prediktabilita, dan perataan laba, sementara
Fanani (2008) menggunakan pengukuran kualitas pelaporan keuangan berbasis pasar saja.
79
penelitian ini mencoba membuat dan mengkaji atribut kualitas pelaporan keuangan
alternatif, yaitu kualitas pelaporan keuangan faktorial. Masalah penelitian ini terkait
Kontribusi penelitian ini mencakup kontribusi teori dan kontribusi praktis. Secara
rinci kontribusi penelitian ini adalah secara teoritis: Pertama, penelitian ini menemukan
signifikan dengan variabel dependen. Temuan penelitian ini dapat memberikan usulan
perbaikan atas spesifikasi model teori valuasi surplus bersih (Feltham dan Ohlsons, 1995;
dari satu pengukuran berdasarkan teori konfirmatori (Cornel dan Landsman, 2003). Cornel
dan Landsman (2003) menyatakan bahwa tidak ada ukuran tunggal yang hasil
pelaporan keuangan yang bukan tunggal. Ketiga, penelitian ini menyempurnakan teori
ekonomiknya (Cohen, 2003; Francis et al.2004, dan Pagalung, 2006, Fanani, 2008)
dengan membuat dan mengkaji atribut kualitas pelaporan keuangan alternatif. Atribut
kualitas pelaporan keuangan tersebut berupa kajian atribut kualitas pelaporan keuangan
dalam bentuk analisis faktor yang merupakan penggabungan kualitas pelaporan keuangan
berbasis akuntansi dan pasar. Kontribusi praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada manajemen
perusahaan agar membuat pelaporan keuangan yang berkualitas karena diduga akan
dipakai dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada investor dan analis pasar
modal. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi pelaku pasar modal (investor,
80
pialang, dan para analis sekuritas) serta calon investor dimasa yang akan datang, utamanya
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menjadi umpan balik untuk
dan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
Indonesia.
81
MATERI XI
PERILAKU MENTAL DISCOUNTING
Kompetensi Dasar
Mampu memberikan analisis dan penjelasan mengenai manfaat informasi akuntansi dalam
investasi
Bahan Ajar
modal efisien. Informasi ini sarat dengan topik, substansi, dan pengetahuan yang
digunakan investor, kreditor, analis efek, dan user lainnya dalam pengambilan keputusan
(Hartono, 2008; SFAC No.1, 1978). Analis efek menggunakan informasi akuntansi
82
Tujuannya untuk rekomendasi saham kepada investor dan pelaku pasar lainnya
(Agung dkk., 2007). Rekomendasi analis efek berdasarkan fundamental menyukai model
yang tidak rumit, mudah dipahami, dan mendasarkan informasi akuntansi (Investor, 2007;
Suad, 1996; Ho & Wong, 2004; Chen & Hsu, 2005). Hal ini ditunjukkan pada kasus
saham Bumi Resources Tbk (BUMI) di BEI. Laporan keuangan BUMI tahun 2008
menunjukkan net profit turun ( 58%) dan laba operasional naik 102 % dari tahun 2007.
Harga wajar BUMI adalah Rp. 4.500/lembar. Analis efek memberi rekomendasi buy
sangat menguntungkan sebab harga komoditas pertambangan di pasar global tinggi dan
prospektif.
kepentingan dan mengantisipasi investor berpindah kepada broker lain. Analis efek
sehingga peluang investor meraih gain sangat tinggi. Rekomendasi analis efek
stakeholder. Informasi ini merupakan signal dan mengandung informasi yang bersifat
good news atau bad news serta berfungsi sebagai stimulus (Bruns, 1966). Analis efek
yang sophisticated akan menganalisis informasi lebih lanjut untuk menentukan apakah
signal tersebut sahih, dapat dipercaya, serta mampu menghasilkan informasi yang
bernilai ekonomis. Implikasi nilai ekonomis adalah penentuan nilai saham dengan kinerja
83
fundamental yang baik, sehingga dapat digunakan untuk menilai prospek perusahaan
(Scott, 2009).
Isu utama studi ini mengkaji niat analis efek dalam pemilihan saham sebagai
hasil estimasi prospek saham untuk rekomendasi kepada investor (mental discounting).
norma subyektif, dan persepsi risiko serta berimplikasi pada maksimalisasi utilitas.
Dasar konsep adalah prospek dan nilai saham dipengaruhi kinerja laporan keuangan.
Analis efek mempunyai keyakinan awal mengenai kinerja saham berdasarkan laporan
keuangan. Setelah penerbitan laporan keuangan tahun berjalan, analis efek mel akukan
analisis laporan keuangan untuk mengetahui hasilnya sebagai good news atau bad news,
sahih, dapat dipercaya atau tidak. Bila signal sahih dan dipercaya, signal berfungsi
sebagai stimulus yang mempengaruhi keyakinan untuk melakukan pemilihan dan revisi
Niat pemilihan saham dibentuk dari faktor yang mengindikasikan seberapa banyak
usaha direncanakan dan tergantung kepada karakteristik individu, tekanan sosial, dan
lingkungan. Faktor ini berubah menurut waktu karena informasi dan menyebabkan
Motivasi penelitian adalah Pertama, isu ini secara empiris masih sedikit di
pasar modal. BEI merupakan emerging market dengan pengambilan keputusan bersifat
sikap berperilaku menjadi karakteristik persepsi risiko, dan revisi keyakinan, serta
84
pengaruh tekanan eksternal. Ketiga, adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian mengenai
Tujuan penelitian adalah mengkaji dan memperoleh bukti empiris perilaku analis
informasi akuntansi, revisi keyakinan, persepsi risiko, dan norma subyektif. Implikasinya
perilaku didasarkan pada asumsi bahwa manusia melakukan sesuatu dengan cara
penentu dasar, yaitu berhubungan dengan faktor pribadi dan pengaruh sosial. Penentu
faktor pribadi adalah sikap terhadap perilaku individual. Sikap ini adalah evaluasi
keyakinan atau perasaan positip atau negatif dari individual jika harus melakukan perilaku
tertentu yang dikehendaki. Penentu yang berhubungan dengan pengaruh sosial adalah
norma subyektif. Hal ini berhubungan dengan preskripsi normatif persepsian, yaitu
pandangan seseorang terhadap tekanan sosial yang mempengaruhi niat untuk melakukan
Garis besar konsep tindakan beralasan terbagi dalam tiga hubungan, yaitu:
komponen berisi pengetahuan. Pengetahuan mempunyai akibat positif atau negatif karena
positif atau negatif, artinya sikap terhadap tindakan terbentuk dari pengetahuan.
85
Implikasinya, sikap dapat positif atau negatif tergantung dari komponen pengetahuan
merupakan pandangan orang lain yang mempengaruhi kehidupan seseorang yang bersifat
keharusan atau tidak seseorang ikut serta dalam suatu tindakan. Norma subyektif terhadap
orang lain terhadap tindakan. Seseorang dapat terpengaruh atau tidak tergantung pada
kekuatan pribadi dalam menghadapi kehendak orang lain. Ketiga, hubungan antara sikap
melakukan suatu tindakan tergantung pada niat untuk melakukan suatu tindakan, dan
intensi tersebut dibentuk dari sikap terhadap suatu tindakan dan norma subyektif terhadap
tindakan. Teori ini mengungkapkan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan
apabila ia memandang perbuatan itu positif dan percaya bahwa orang lain ingin agar ia
melakukannya.
reliable (Scott, 2009), mempunyai nilai dalam menambah pengetahuan dan keyakinan
sebagai syarat yang harus dipenuhi agar tujuan informasi sesuai dengan SFAC No 1.
86
a. Kualitas Primer.
informasi akuntansi harus dapat membuat perbedaan dalam suatu keputusan. Untuk
menjadi relevan, informasi akuntansi harus mempunyai nilai prediktif, nilai umpan balik
dan tepat waktu. Reliabel adalah informasi dapat diandalkan jika terbebas dari kesalahan,
b. Kualitas Sekunder.
Informasi lebih berguna jika mempunyai karakteristik kualitas sekunder, yaitu: dapat
Informasi akuntansi bermanfaat jika harus mencapai tingkat minimum dari relevan dan
reliabilitas. Hal ini menunjukkan suatu keterbatasan bagi manfaat informasi. Karakteristik
Revisi Keyakinan
yang berisikan pengetahuan tentang X. Komponen ini baik secara positif atau negatif
terjadi karena keikutsertaan dalam suatu X. Pengetahuan X dalam hal ini adalah opini
tentang sesuatu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dalam konteks
akuntansi, keyakinan adalah komponen yang mengupas secara kritis dalam proses
berubah ketika informasi baru tiba. Keyakinan investor tidak tampak. Harga saham dapat
87
dipandang sebagai penampakan dari proses kesetimbangan keyakinan investor. Revisi
ketika menerima informasi dalam bentuk deviden dan earnings surprises (Hogarth dan
Einhorns, 1992). Asumsinya adalah i ndividu merubah keyakinan melalui urutan proses
anchoring and adjustment. Keyakinan sekarang bermanfaat sebagai keyakinan awal yang
akan disesuaikan menjadi keyakinan baru dan terjadi terus-menerus secara berurutan.
memprediksikan bahwa anchor yang besar akan berkurang lebih banyak oleh informasi
negatif daripada anchor yang kecil, dan sebaliknya. Hal ini disebut anchoring effect.
Scott (2009) memberikan prediksi perilaku investor dalam merespon informasi laporan
keuangan, yaitu:
a. Investor mempunyai keyakinan tentang return dan risk saham emiten yang diharapkan.
Keyakinan ini didasarkan pada informasi yang tersedia di pasar, yang meliputi harga pasar
sampai sebelum current net income perusahaan diterbitkan. Tetapi, keyakinan tersebut
tidak sama karena berbeda dalam menempatkan informasi dan kemampuan interpretasi.
b. Setelah penerbitan net income tahun berjalan, investor akan menjadi lebih tahu dengan
menganalisa angka income. Contohnya, jika net income lebih tinggi dari yang
diharapkan, maka menjadi good news. Beberapa investor akan me rivisi keyakinannya
mengenai earning power dan return di masa mendatang. Investor lainnya yang
Persepsi Risiko
88
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bersifat subyektif dan
situasional karena obyek tergantung pada ruang dan waktu sehingga persepsi individu
terhadap obyek sangat mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi individu lain
terhadap obyek yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1995; Matlin, 1998). Risiko
Risiko berhubungan dengan penyimpangan dari outcome yang diterima dengan yang
Untuk mengurangi resiko investasi, pelaku pasar harus mengenal resiko yaitu
systematic risk dan unsystematic risk (Jones, 1996). Risiko dasar saham menurut analis
adalah risiko pemilihan saham yaitu pengambilan saham yang memiliki penyimpangan
return yang merugikan (adverse selection return) lebih rendah dari rata-rata return ukuran
perusahaan yang sama atau dalam industri yang sama (Selva, 1995). Analis
sama dan memilih saham yang potensi kenaikan harga melebihi kenaikan indeks saham.
Analis melakukan analisis firm of size, capital structur, dan geographical segments untuk
melihat tingkat risiko industri. Harapannya tingkat resiko berhubungan dengan future
earnings dan menandingkan kenaikan harga saham dengan earnings. Persepsi risiko
mempunyai komponen subyektif, yaitu: keyakinan, sikap, dan perasaan menuju risiko
untuk situasi khusus, serta memperlihatkan bahaya (hazard). Sehingga, persepsi resiko
mengalami paparan risiko keuangan atas penggunaan laporan keuangan (Koonce, 2004).
Persepsi risiko ini merupakan model terintegrasi yang menggabungkan karakteristik risiko
keperilakuan dengan risiko dalam teori standar deviasi yang berhubungan dengan losses
89
dan gains. Premis penelitian adalah persepsi pengguna laporan keuangan lebih baik
Mental Discounting
discount rate atau return (Wahlund dan Gunnarsson, 1996). Mental discounting sebagai
bentuk mental attitude didukung oleh tiga faktor, yaitu: pertama, determination: adanya
motivasi, niat, dan tujuan yang kuat. Kedua, self dicipline: mengetahui apa dan kapan
harus melakukan sesuatu. Ketiga, fighting: kerja keras, kerja cerdas, dan manajemen
dengan kemampuan individu dalam aspek kognitif, afeksi, dan konasi seperti; pemrosesan
informasi keuangan dan non keuangan, penerapan pengetahuan investasi dari aspek
fundamental dan teknikal, perubahan preferensi investasi, persepsi risk dan return, serta
kecenderungan niat untuk memilih saham kandidat yang ditentukan secara langsung oleh
keyakinan yang dimiliki analis efek terhadap estimasi return saham. Proses mental
discounting dalam diri pelaku memerlukan pengetahuan khusus untuk meyakini tentang
kinerja saham yang akan dipilih dalam investasi keseluruhan (Snelbecker et al., 1990;
serta portfolio. Dalam proses pemilihan saham, analisis fundamental digunakan untuk
analisis terhadap kinerja dan prospek perusahaan. Asumsinya value of the firm, yaitu
nilai perusahaan tercermin dalam harga sekuritas (Nofsinger, 2005). Analisis tersebut
90
kandidatterpilih (Farid dan Siswanto, 1998). Tujuannya mendapatkan estimasi perhitungan
return dan risk dari saham terpilih. Karena asset financial berisiko, maka pelaku
membandingkan dengan return dari asset bebas risiko. Hasil perbandingan memutuskan
pilihan saham yang mempunyai tingkat return yang paling tinggi diantara keduanya
Subyektifitas Return
yang menawarkan ekspektasi return yang lebih tinggi pada tingkat risiko yang diinginkan
investasi, yaitu parameter expected return dan level of risk, pengujian risk dan return,
dan korelasi antar return dari tiap investasi. Hal ini menunjukkan individu membuat
2005).
berdasarkan analisis yang sahih memperoleh return yang optimal baik yang berasal dari
capital gain, deviden, atau keduanya (Nofsinger, 2005). Sehingga, subyektifitas return
merupakan harapan individu untuk mendapatkan return pada setiap investasi. Harapan
tersebut diperoleh dari keputusan investasi yang dibuat investor atau hasil rekomendasi
dan advisory analis keuangan dalam suatu pemilihan saham untuk investasi berdasarkan
utilitasnya (Scott, 2009). Karena bersifat rasional, maka setiap pengambilan keputusan
91
investasi melakukan pemilihan dari berbagai alternatif, pertimbangan preferensi return,
MATERI XII
REVISI KEYAKINAN ATAS SINYAL INFORMASI AKUNTANSI
Kompetensi Dasar
Bahan Ajar
Revisi Keyakinan Atas Sinyal Informasi Akuntansi, MF. Arrozi Adhikara Universitas
investasi lebih tinggi dari aktiva keuangan lainnya. Oleh karena itu, investor meminta
perlindungan risiko dan bursa efek memberi-kan perlindungan melalui efisiensi pasar
92
laporan ke-uangan terjadi penyesatan informasi. Fenomena ini terjadi sepanjang kurun
waktu 2000-2009 pada emiten PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang lalai menyampaikan
fakta material penundaan proyek pipanisasi gas dan melakukan insider trading; konspirasi
PT Great River Tbk tentang penipuan dalam penyajian laporan keuangan (Investor, 2007);
manipulasi laporan keuangan pada Bank Lippo, PT Citra Marga Nusapala Persada, Bank
Duta, Xerox, PT Merck, PT Kimia Farma Tbk, dan PT Telkom (Arrozi, 2009); serta
runtuhnya perusahaan terkemuka yaitu Enron, Worldcom, Global Crossing, HIH, dan Tyco
(Imung, 2002). Implikasi tersebut ber-akibat pada Apakah Laporan Keuangan masih bisa
pelaporan keuangan yang menyebabkan kerugian besar bagi investor, karyawan, kreditor,
dan pihak lain yang berkepentingan. Akibatnya, pengguna mendapatkan informasi salah
atas kondisi perusahaan karena terdapat penyembunyian informasi yang relevan dan
handal serta menggambarkan posisi keuangan yang salah. Sehingga, pengguna mengambil
suatu analisa dan keputusan salah karena kesalahan substansi informasi tentang sinyal
keuangan emiten, dan pasar tampaknya tersesat oleh kesalahan informasi yang harus
informasi akuntansi (Scott, 2009); membentuk perilaku ketidaksabaran dan kehilangan pe-
ngendalian diri serta impulsif, karena kesalah-an persepsi pada obyek yang
terhadap subyek-tifitas pengembalian dan risiko investasi dari saham yang menjadi
93
keputusan yang bersifat rasional karena pelaku pasar mengambil keputusan yang salah
karena saham yang bersangkutan dinilai secara tidak tepat secara fundamental (Lipe,
1998).
keputusan investasi dengan penekanan kepada pemikiran obyektif pelaku dalam memper-
Keyakinan pelaku bersifat relatif. Artinya, pelaku melakukan revisi bilamana mendapat
pengetahuan fundamental dan teknikal dari lingkungan berupa: manfaat informasi akun-
tansi dalam bentuk laba dan deviden, risiko perusahaan, serta risiko lingkungan dari pasar.
Hal ini akan menunjukkan tindakan pelaku dalam investasi adalah rasional, sikap prefer-
ensi risiko dan pengembalian investasi, serta prediktor yang baik dalam melihat ketidak-
serta subyektifitas pengembalian investasi.Hasil studi Beaver (1989) serta Barberis dan
Thaler (2003) menunjukkan tingkat keyakinan pengguna yang tinggi terhadap manfaat
tidak sehingga dilakukan revisi keyakinan. Hasil studi berbeda dari Banker dkk. (1993),
Stain-bank dan Peebles (2006), Eipsten (1975), serta Chen dan Hsu (2005) bahwa
94
diinginkan tidak ter-capai. Hasil studi Goodwin dkk. (1986), Barth dkk.. (2001), Ball dan
Brown (1968), Snelbecker dkk. (1990), Gordon (1984), Beaver (1989), Beaver dkk.
karena mampu melakukan analisis dan interpretasi informasi sebagai sinyal yang bernilai
deviden sehingga menunjukkan citra dan kinerja perusahaan serta mudah mencari
risiko dihasilkan dari studi Lambert dan Verrechia (2005) dan Ferris dkk. (1990).
Keyakinan pengguna pada kondisi keuangan perusahaan tidak merubah persepsi risiko
pengguna. Informasi akuntansi tidak mem-berikan sikap positif atau negatif terhadap
saham perusahaan meskipun menunjukkan kinerja, prospek, potensi risiko, dan nilai.
Hasil studi berbeda ditunjukkan oleh Healy dan Palepu (2001), Beaver dkk. (1970),
McDonald dan Stehle (1975), Farelly dkk. (1985), Koonce dkk.. (2004), Capstaff (1992),
Barth dkk. (2001), Lee (1999), dan Clarkson dkk. (1996). Pengguna mempunyai
keyakinan
merefleksikan ukuran persepsi risiko pasar serta mampu menjelas-kan risiko melalui
mengkaji dan memperoleh bukti empiris perilaku analis efek dalam revisi keyakinan
95
pemilihan saham di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan manfaat informasi
Beliefs-Adjustment Theory
investor tidak tampak. Harga saham di-pandang sebagai penampakan proses keyakinan
investor. Penggunaan laporan keuangan oleh investor sebagai pemegang saham kon-sisten
Teori yang menggagas tentang revisi keyakinan dikemukakan oleh Hogarth dan
investor melakukan revisi keyakinan menge-nai harga saham ketika menerima informasi
dalam bentuk deviden dan laba kejutan (earnings surprises). Asumsi teori adalah individu
Individu merubah keyakinannya melalui suatu urutan proses anchoring and adjustment.
disesuaikan. Revisi keyakinan menjadi keyakinan awal baru dan proses ini terjadi terus-
(good news diikuti dengan bad news atau bad news diikuti dengan good news), perubahan
informasi akhir mempunyai pengaruh lebih besar pada pengembalian investasi daripada
informasi awal. Pengaruh ini disebut recency effect. Tetapi, untuk informasi yang
konsisten (good news diikuti dengan good news atau bad news diikuti dengan bad news),
96
seluruh infor-masi mempunyai pengaruh yang sama besar pada pengembalian investasi.
Pengaruh ini disebut dengan no order effect. Pada dua pengaruh tersebut, investor akan
bereaksi secara berbeda terhadap perbedaan dua infor-masi. Disamping itu, teori ini juga
anchor yang besar akan berkurang lebih banyak oleh informasi negatif daripada anchor
yang kecil. Sebaliknya, anchor yang keCil akan meningkat lebih besar oleh informasi
positif daripada anchor yang besar. Hal ini disebut anchoring effect.
Hogarth dan Einhorns (1992) mem-bagi dimensi revisi keyakinan dalam beberapa
mengevaluasi sinyal deviden dan laba kejutan yang diterima pada titik waktu yang
merujuk pada jumlah bukti yang dievaluasi dari informasi akuntansi secara keseluruhan
dalam suatu kesatuan. 4) Response mode adalah merujuk pada prosedur evaluasi suatu
bukti dengan cara step-by-step dan end-of-sequence. Revisi keyakinan memberikan per-
(Scott, 2009), yaitu: 1) Investor mempunyai keyakinan awal tentang pengembalian inves-
tasi dan risiko saham perusahaan yang diharapkan. Keyakinan ini didasarkan pada
informasi yang tersedia di pasar. Meskipun mereka mendasarkan pada informasi yang
tersedia di pasar, tetapi keyakinan mereka tidak sama karena perbedaan menempatkan
informasi dan kemampuan interpretasi. 2) Setelah penerbitan net income tahun berjalan,
investor lebih tahu dengan menganalisa angka income. Misalnya, jika net income lebih
tinggi dari yang diharapkan, maka menjadi good news. Investor lainnya yang mempunyai
harapan tinggi betapa seharusnya net income sekarang, menginterpretasikan net income
97
sebagai bad news. 3) Investor yang telah merevisi kepercayaan mengenai profitabilitas
pengembalian investasi di masa datang lebih tinggi, cenderung membeli saham perusahaan
dan handal (Scott, 2009), mempunyai nilai dalam menambah pengetahuan, menambah
serta mengubah keputusan atau perilaku para pemakai (Suwarjono, 2008). Financial
melalui Standard Financial Accounting Concepts No.2 dan merupakan syarat yang harus
dipenuhi agar tujuan informasi sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam SFAC No 1
sebagai berikut: 1) Kualitas Primer, Kualitas utama yang membuat informasi akuntansi
berguna untuk pengambilan keputusan adalah relevan dan handal Relevan menunjukkan
informasi akuntansi harus dapat membuat perbedaan dalam suatu keputusan. Untuk
menjadi relevan, informasi akuntansi harus mempunyai nilai prediktif, nilai umpan balik
dan tepat waktu. Handal adalah informasi dapat diandalkan jika terbebas dari kesalahan,
penyimpangan, serta merupakan penyajian yang jujur. Supaya reliabel, informasi akun-
bermanfaat jika harus mencapai tingkat minimum dari relevan dan reliabilitas. Hal ini
98
MATERI XIII
FAIR VALUE
Kompetensi Dasar
Mampu memberikan analisa dan penjelasan mengenai penilaian asset dengan Fair Value
Bahan Ajar
Analisis Pendekatan Nilai Wajar dan Nilai Historis Dalam Penilaian Aset Biologis Pada
Perusahaan Agrikultur: Tinjauan Kritis Rencana Adopsi IAS 41, Saur Maruli dan Aria
yang menggunakan nilai wajar (fair value) telah menimbulkan suatu perdebat an yang
sengit terutama dalam tahun-tahun terakhir ini. Hal ini terutama karena munculnya
sebagai basis pengukuran dan pelaporan akuntansi. Di Indonesia, hal ini dirasakan ketika
Salah satu masalah atau kendala terpenting yang mungkin dihadapi dalam
pengukuran serta pelaporan akuntansinya yang sebagian besar berdasarkan pada nilai
99
historis ( historical cost), menjadi pengukuran serta pelaporan berdasarkan nilai wajar
(fair value). Meskipun terdapat tren menuju penerapan standar akuntansi berbasis nilai
wajar, reformasi ini telah menimbulkan berbagai kontroversi dari berbagai kalangan.
Terdapat beberapa kelompok dan kalangan yang mendukung penerapan nilai wajar namun
terdapat juga kelompok yang meragukan penerapan ini. Perdebatan yang belum
terselesaikan juga masih muncul dalam dunia akademis tentang value relevance dari
penerapan nilai wajar ini. Saat ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang
dalam proses mengadopsi IAS 41 tentang Akuntansi Agrikultur kedalam PSAK. Studi ini
ini ke dalam ruang lingkup akuntansi agrikultur. Banyak pihak yang bersikap kritis
terhadap persyaratan penerapan nilai wajar terhadap aset biologis dan perubahan nilainya
yang harus diakui dalam laporan laba rugi perusahaan. Penttinen et al. (2004) menyatakan
ba hwa penerapan nilai wajar akan menyebabkan fluktuasi yang tidak realistis pada laba
bersih perusahaan-perusahaan kehutanan. Herbohn & Herbohn (2006) serta Dowling &
dari pendapatan yang dilaporkan. Herbohn & Herbohn (2006) menghitung koefisien
varians dari laba serta keuntungan dan kerugian aset-aset kayu pada delapan perusahaan
laba. Sedangkan Argiles & Soft (2001) dapat menerima pengukuran menggunakan nilai
wajar untuk aset biologis karena hal tersebut menghindari kompleksitas dalam menghitung
terutama di Uni Eropa, yang tidak memiliki sumber daya dan kemampuan untuk
100
melaksanakan prosedur-prosedur dan perhitungan akuntansi. Sifat industri pertanian
membuat perhitungan berdasarkan nilai historis untuk aset biologis menjadi sulit karena
dalam hal alokasi biaya bersama (joint costs). Alokasi biaya tidak langsung juga
merupakan salah satu sumber lain kompleksitas perhitungan biaya di pertanian. Kroll
(1987) menyatakan bahwa kompleksitas dalam penilaian aset dengan menggunakan nilai
historis merupakan suatu halanga n utama dalam penilaian dengan basis nilai historis.
Oleh karena itu, penilaian dengan menggunakan nilai wajar harus mempertimbangkan
nilai historis. Tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam literatur-literatur
sebelumnya dalam hal apakah terjadi volatilitas yang abnormal dalam pendapatan dan
laba, relevansi nilai, perataan pendapatan (income smoothing) serta terjadi peningkatan
biologis menggunakan nilai wajar dalam ruang lingkup industri agrikultur, dengan
dan nilai historis dalam perhitungan aset biologis. Penelitan ini meliputi analisis deskriptif
masing-masing, meliputi nilai absolut dan nilai standar deviasinya. Selain itu, penelitan
ini juga membandingkan perhitungan income smoothing index (ISI) di antara kelompok-
kelompok tersebut. Setelah memberikan penjelasan deskriptif, penelit ian ini mencoba
melihat adanya pengaruh penggunaan pendekatan nilai wajar terhadap volatilitas laba
dengan menggunakan persamaan regresi. Dengan segala keterbatasan yang ada, terutama
adalah keterbatasan data penelitian, keterbatasan metode penelitian, penelitian ini terutama
101
dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal mengenai penerapan pendekatan nilai
wajar dan nilai historis dalam penilaian aset perusahaan, khususnya penilaian aset biologis
hewan-hewan yang hidup yang dikendalikan atau dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat
dari kejadian masa lampau. Pengendalian atau penguasaan tersebut dapat melalui
kepemilikan atau jenis perjanjian legal lainnya. Dalam mengukur nilai wajar aset biologis,
menentukan nilai wajar. Metode yang paling dianjurkan adalah dengan menggunakan
harga transaksi pasar paling kini atas aset biologis (mark-to-market) yang terdapat pada
pasar aktif. Yang kedua, dapat pula menggunakan harga pasar aset yang sejenis (similar
asset / sector bencmark) dengan aset biologis yang ingin dinilai, penilaian ini dikenal
dengan istilah market-determined prices. Yang ketiga, jika harga pasar tidak tersedia,
standar yang ada menganjurkan untuk menggunakan model diskonto arus kas
semua hal di atas tidak tersedia dan tidak dapat diukur secara andal, maka aset biologis
harus diukur pada harga perolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan
pernurunan nilainya.
Keuntungan atau kerugian dari penilaian aset biologis dapat muncul pada
pengakuan awal aset biologis yaitu sebesar selisih antara nilai perolehan awal aset
biologis dengan nilai wajar aset biologis setelah dikurangi perkiraan biaya-biaya pada titik
aset biologis juga dapat muncul pada pengukuran setelah pengakuan awal, yaitu sebesar
102
selisih antara nilai wajar terakhir aset biologis setelah dikurangi perkiraan biaya-biaya
pada titik penjualan dengan nilai wajar aset biologis sebelumnya setelah dikurangi
perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan pada saat itu. Perubahan nilai wajar suatu aset
biologis dapat disebabkan oleh pertumbuhan, kematian, produksi dan penghasilan yang
yang baru atau tambahan aset biologis. Selain itu, perubahan nilai wajar aset biologis juga
dapat disebabkan oleh perubahan pasar atau perekonomian di suatu negara. Perubahan-
perubahan tersebut meliputi antara lain perubahan inflasi, nilai tukar mata uang,
yang muncul pada pengakuan awal aset biologis dan produk agrikultur dan dari
perubahan nilai wajar dikurangi dengan perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan.
Metode dan asumsi yang digunakan dalam menentukan nilai wajar juga harus
diungkapkan. Nilai wajar dikurangi dengan perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan
terhadap produk agrikultur yang dipanen selama periode tersebut harus diungkapkan pada
titik panen. Ketika nilai wajar tidak dapat diukur dengan andal, maka pengungkapan
tambahan diperlukan.
103
MATERI XIV
CONSERVATISME AKUNTANSI
Kompetensi Dasar
Mampu memberikan analisa dan penjelasan peranan prinsip konservatis dalam praktek
akuntansi
Bahan Ajar
Universitas Indonesia
Konservatif, Widya
melalui laporan keuangan ini digunakan oleh pihak internal maupun pihak eksternal.
Laporan keuangan tersebut harus memenuhi tujuan, aturan serta prinsip prinsip
akuntansi yang sesuai dengan standar yang berlaku umum agar dapat menghasilkan
konsep konservatisme. Konsep ini mengakui biaya dan rugi lebih cepat, mengakui
104
pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai yang terendah, dan
Para kreditur mendesak agar laporan keuangan disusun dengan berpedoman pada
konsep konservatisme. Maksud utama mereka adalah untuk menetralisir optimisme para
usahawan yang terlalu berlebihan dalam melaporkan hasil usahanya. Jika ditinjau lebih
jauh ke dalam laporan keuangan, setiap metode akuntansi yang dipilih oleh perusahaan
memiliki tingkat konservatisme yang berbeda beda. Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
PSAK No. 14 mengenai persediaan yang terkait dengan pemilihan perhitungan biaya
persediaan, PSAK No. 16 mengenai aktiva tetap dan penyusutan (2007), PSAK No. 19
mengenai aktiva tidak berwujud yang berkaitan dengan amortisasi dan PSAK No. 20
tentang biaya riset dan pengembangan. Pilihan metode tersebut akan berpengaruh terhadap
angka yang disajikan dalam laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara
tidak langsung konsep konservatisme ini akan mempengaruhi hasil dari laporan keuangan
tersebut. Penerapan konsep ini juga akan menghasilkan laba yang berfluktuatif, dimana
laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas
Wilopo, 2002). Timbulnya berbagai kritik mengenai kegunaan suatu laporan keuangan
laporan akuntansi yang menggunakan metoda tersebut cendrung bias dan tidak
mencerminkan realita. Pendapat ini dipicu juga oleh difinisi akuntansi yang mengakui
biaya dan rugi lebih cepat, mengakui pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva
dengan nilai yang terendah, dan kewajiban nilai yang tertinggi (Basu, 1997).
105
Mayangsari dan Wilopo (2002) menyatakan bahwa secara intuitif prinsip
yang sesuai dengan tujuan laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang telah ditetapkan oleh badan yang
berwenang menetapkan standar. Dalam SAK terdapat beberapa pilihan prosedur akuntansi
memiliki sedikit kebebasan dalam memilih salah satu dari beberapa alternatif yang
ditawarkan dalam standar akuntansi keuangan yang dianggap sesuai dengan kondisi
perusahaan. Beberapa alternatif pilihan prosedur penyusutan yang ada dalam SAK tersebut
Penelitian ini dimotivasi oleh penelitian Qiang (2003) yang menemukan bahwa
penentu self imposed conservatism adalah kontrak hutang (debt covenant), ownership
equity. Ball et al (2000) dan Wibowo (2002) menyatakan bahwa pilihan terhadap suatu
metoda akuntansi yang terkait dengan prinsip konservatisma dipengaruhi juga oleh
struktur kepemilikan, biaya politis dengan menggunakan proksi ukuran perusahaan (Watts
dan Zimmerman 1986, dan Cahan, 1992) dan growth (pertumbuhan) (Feltham dan Ohlson,
1995, Penman, 2001)). Dalam penelitian Dewi (2003) menyatakan bahwa ukuran tingkat
Konsep Konservatisme
diminta untuk pengakuan laba dibandingkan rugi. Watts juga menyatakan bahwa
konservatisme akuntansi muncul dari insentif yang berkaitan dengan biaya kontrak,
litigasi, pajak, dan politik yang bermanfaat bagi perusahaan untuk mengurangi biaya
keagenan dan mengurangi pembayaran yang berlebihan kepada pihak pihak seperti
106
manajer, pemegang saham, pengadilan dan pemerintah. Selain itu, konservatisma juga
menyebabkan understatement terhadap laba dalam periode kini yang dapat mengarahkan
pada overstatement terhadap laba pada periode periode berikutnya, sebagai akibat
Bliss (dalam Watts, 2003) memberikan bentuk definisi yang paling ekstrim yaitu
tidak mengantisipasi laba tetapi mengantisipasi semua kerugian. Basu (1997) juga
menyatakan bahwa akuntansi konservatif sebagai praktik akuntansi yang mengurangi laba
(menghapuskan aktiva bersih) dalam merespon bad news, tetapi tidak meningkat laba
Konsep konservatisme yang dikenal secara umum sebagai pengakuan bias dibagi
Shivakumar, 2005; Beaver and Ryan, 2005). Conditional conservatism mengarah pada
pemikiran bahwa earnings direfleksikan dalam pengakuan rugi dan laba dalam kondisi
untuk menggunakan verifikasi tingkat tinggi atas pengakuan kabar baik daripada kabar
buruk dalam laporan keuangan. Contoh dari conditional conservatism dapat dilihat pada
akuntansi persediaan (LOCOM) dan akuntansi impairment untuk aset berwujud dan tidak
yang rendah terhadap akun stockholders equity. Menurut Watts dan Zimmerman,
konservatisme jenis ini tidak melakukan spesifikasi secara kondisional terhadap ekuitas
atau pendapatan yang rendah, dan oleh karena itu, tidak mengacu pada pengakuan
107
Pengukuran Konservatisme
Accounting Part II: Evidence and Research Opportunities, terdapat tiga ukuran
konservatisme yaitu:
Stock market price berusaha untuk merefleksikan perubahan nilai asset pada
aatterjadinya perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba dalam nilai asset- stock
return tetap berusaha untuk melaporkannya sesuai dengan waktunya. Basu (1997)
buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu pengakuan).
Hal ini disebabkan karena salah satu definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian
yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan harus segera diakui
sehingga mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan kabar
baik. Basu (1997) memprediksikan bahwa pengembalian saham dan earnings cenderung
2. Earnings/accrual measures
Ukuran konservatisme yang kedua ini menggunakan akrual, yaitu selisih antara net
income dan cash flow. Net income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi
dan amortisasi, sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow operasional.
Givoly dan Hayn (2002) melihat kecenderungan dari akun akrual selama beberapa tahun.
Apabila terjadi akrual negative (net incomelebih kecil daripada cash flow operasional)
108
conservatism. Selain itu, Givoly membagi akrual menjadi dua, yaitu operating accrual
yang merupakan jumlah akrual yang muncul dalam laporan keuangan sebagai hasil dari
kegiatan operasional perusahaan dan non-operating accrual yang merupakan jumlah akrual
Operating Accruals
accrualmenangkap perubahan dalam asset lancar, kas bersih dan investasi jangka pendek,
dikurang dengan perubahan dalam asset lancar, utang jangka pendek bersih. Operating
accrualyang utama meliputi piutang dagang dan persediaan dan kewajiban. Akun ini
merupakan akun klasik yang digunakan untuk memanipulasi earnings untuk mencapai
tujuan pelaporan.
jangka panjang bersih, dikurang perubahan dalam non-current liabilities, hutang jangka
panjang bersih. Komponen non operating accrual(pada sisi asset) yang utama adalah
aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud. Terdapat subjektivitas yang cukup terlibat diawal
keputusan dimana biaya dikapitalisasi baik untuk aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud
dibangun sendiri yang dapat diakui (seperti biaya pembangunan software yang
dikapitalisasi) dan keputusan kemudian terkait dengan alokasi dari biaya yang dapat
didepresiasi sepanjang masa manfaat asset yang manfaatnya dapat ditentukan. Non-current
assets ini tergantung pada write down ketika aktiva tersebut diputuskan telah di turunkan
nilainya (impaired), dan penentuan dari beberapa permanent impaeirement yang banyak
109
melibatkan abnormal manajerial. Pada sisi kewajiban terdapat sebuah varietas dari akun-
akun seperti utang jangka panjang, penangguhan pajak dan postretirement benefitsyang
juga merupakan manifestasi atas estimasi dan asumsi subjektif (seperti estimasi akuntansi
pension, pengembalian yang diharapkan atas asset, pertumbuhan yang diharapkan atas
pertumbuhan upah pegawai, dan lain lain). Givoly dan Hayn (2002) menyatakan bahwa
apabila akrual bernilai negatif, maka laba digolongkan konservatif, yang disebabkan
karena laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh perusahaan pada perioda
tertentu.
Dimana:
1. Total Accrual (before depreciation) = (net income + depreciation) Cash flow from
operational.
laporan keuangan adalah nilai aktiva yang understatement dan kewajiban yang
digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) yaitu dengan mengunakan market to book ratio
yang mencerminkan nilai pasar relatif terhadap nilai buku perusahaan. Rasio yang bernilai
110
Pengukuran Lainnya
Sweeny (1995) dan Healy and Wahlen (1999). Manajemen laba dapat dilakukan melalui
hal-hal tersebut karena niat, bukan karena kondisi perubahan yang menghendaki
perubahan jugdement dan metode akuntansi serta pergeseran biaya dan pendapatan, maka
Sedangkan, akrual non diskresioner adalah kebijakan akrual yang disebabkan oleh
dibutuhkan penyesuaian terhadap estimasi tingkat piutang tak tertagih dan perbaikan
terhadap pabrik dengan penyesuaian kembali estimasi umur pabrik. Untuk menghitung
sebagai berikut:
Dimana:
1) + it (2)
111
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba
keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment. Disamping itu manajer memiliki
pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya.
perusahaan.
manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2)
hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik
Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba yang
diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut.
Debt covenant hypotheses memprediksikan bahwa manajer ingin meningkatkan laba dan
aktiva untuk mengurangi biaya renegosiasi kontrak utang ketika perusahaan memutuskan
perjanjian utangnya. Tidak seperti investor yang ada, kreditor yang ada tidak memiliki
Debt/equity hypothesis yang merupakan turunan atau pembatasan dari debt covenant.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar rasio leverage, semakin besar pula
112
kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur yang meningkatkan laba yang
dilaporkan periode sekarang atau laporan keuangan disajikan cenderung tidak konservatif
(optimis).
Dalam hipotesis ini para peneliti akuntansi menyatakan bahwa perusahaan besar lebih
sensitif daripada perusahaan kecil karena terkait dengan biaya politis dan oleh karenanya
perusahaan tersebut menghadapi insentif yang berbeda dalam pemilihan prosedur metode
Biaya politis sendiri timbul dari konflik kepentingan antara perusahaan (manajer) dengan
melakukan pengalihan kekayaan dari perusahaan kepada masyarakat sesuai peraturan yang
berlaku seperti antitrust, regulasi, subsidi pemerintah, pajak, tarif, tuntutan buruh, dan
Hipotesis biaya politis memprediksikan bahwa manajer ingin mengecilkan laba untuk
mengurangi biaya politis yang potensial (Watts dan Zimmerman, 1986). Semakin besar
biaya politis yang dihadapi perusahaan, maka semakin cenderung manajer memilih
prosedur akuntansi yang melaporkan laba yang lebih rendah (Scott, 2000, p. 207).
113