Vous êtes sur la page 1sur 113

MATERI AKUNTANSI

Mata Kuliah : SEMINAR AKUNTANSI

Kode Mata Kuliah/sks : EAA 606 / 3 SKS

Dosen : Dr. MF. Arrozi, SE, M.Si, Akt

Deskripsi Mata Kuliah :

Mata kuliah ini merupakan mata kuliah pilihan bagi mahasiswa jurusan

akuntansi yang diberikan pada semester akhir (VII) menjelang penyusunan tugas akhir.

Sistematika materi mata kuliah disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa

melakukan penelaan terhadap pengembangan isu-isu akuntansi kontemporer yang terjadi

pada prkatek akuntansi keuangan dan pasar modal. Kerangka paradigma maupun

konsep/pemikiran dari isue kontemporer akan memperluas pandangan calon akuntan.

Implikasinya adalah pengembangan calon akuntan yang pada akhirnya mendukung calon

akuntan dalam penguasaan analitis kritis isue kontemporer akuntansi.

Fokus pengajaran pada aspek analitis kritis maka pembahasan di kelas menitik beratkan

pada pembahasan isue kontemporer melalui review artikel pada presentasi tugas

kelompok, diskusi dan presentasi kelas, analisis isue dan makalah individu.

Standar Kompetensi :

1. Mampu Menganalisis Perkembangan Isu-Isu Akuntansi dan aplikasinya

2. Mampu menganalisis perkembangan Standar Akuntansi Keuangan terbaru

3. Mampu membuat kritikal review isu akuntansi

4. Mampu Mengaplikasikan Isu Akuntansi untuk perkembangan riset di bidang akuntansi

1
Jadwal Pertemuan

Terdapat 14 kali pertemuan dengan durasi pertemuan masing masing 150 menit.

Pertemua Topik Bahasan Bahan Bacaan


n

A. TEORI AKUNTANSI POSITIF (PAT)


1 PERATAAN LABA (INCOME SMOOTHING) IS: 1,2,3, dan
4/FAT,PAT
2 MODAL INTELEKTUAL (INTELECTUAL CAPITAL) IC: 1,2, dan 3
3 TANGGUNG JAWAB SOSIAL (CORPORATE SOCIAL CSR: 1,2,3,4,
RESPONSIBILITY) dan 5
4 TATA KELOLA PERUSAHAAN (GOOD GCG: 1
CORPORATE GOVERNANCE)
5 EFISIENSI PASAR (EFFICIENT SECURITIES ESM : 1/FAT,
MARKETS) PAT
6 AKUNTANSI LINGKUNGAN (ENVIRONMENT EA: 1, dan 2
ACCOUNTING)
7 ASIMETRI INFORMASI (INFORMATION IA: 1 / FAT,
ASYMETRY) PAT
UJIAN TENGAH SEMESTER
8 RELEVANSI NILAI AKUNTANSI (VALUE VR: 1 / FAT
RELEVANCE)
9 KANDUNGAN INFORMASI (INFORMATION IC: 1 / FAT
CONTENT)
10 KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN (FINANCIAL FQ: 1 / FAT
QUALITYS)
BEHAVIOR ACCOUNTING IN FINANCIAL
ACCOUNTING
11 PERILAKU MENTAL DISCOUNTING MD: 1
12 REVISI KEYAKINAN ATAS INFORMASI RK: 1
AKUNTANSI
B. TEORI AKUNTANSI NORMATIF

13 FAIR VALUE FV: 1


14 CONSERVATISM ACCOUNTING CA: 1
UJIAN AKHIR SEMESTER

2
MATERI I
INCOME SMOOTHING

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan penerapan manajemen laba terkait dengan

penggunaan metode akuntansi

Bahan Ajar

1. PERATAAN LABA DALAM MENGANTISIPASI LABA MASA DEPAN

PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK

JAKARTA, SOPA SUGIARTO-UGM.

2. ASOSIASI ANTARA PRAKTIK PERATAAN LABA DAN REAKSI PASAR MODAL

DI INDONESIA

DRS. IMAM SUBEKTI, M.Si., AK-Dosen Fak. Ekonomi Unibraw

Sintesis Jurnal dan Artikel

Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan yang

bertujuan untuk menilai kinerja manajemen, membantu mengestimasi kemamnpuan laba

yang representatif dalam jangka panjang, meramalkan laba, menaksir resiko dalam

berinvestasi. Hal ini disadari oleh manajemen, sehingga manajemen cenderung melakukan

disfunctional behavior (perilaku tak semestinya) yaitu dengan melakukan perataan laba

untuk mengatasi berbagai konflik yang timbul antara manajemen dengan berbagai pihak

3
yang berkepentingan dengan perusahaan. Informasi akuntansi yang kurang benar yang

dihasilkan dari tindakan tak semestinya akan merugikan perkembangan pasar modal.

Kebijakan akuntansi konvensional membatasi manager untuk membuat

discretionary accounting untuk meratakan laba yang dilaporkan (reported earnings)

(Smith, at. All, 1994; Ronen and Sadan, 1981). Teori baru yang dikembangkan oleh

Fudenberg dan Tirole (1995) yang memberikan perhatian pada keamanan pekerjaan

mendorong manajer untuk meratakan laba dengan mendasarkan pada kinerja masa kini

(current performance) dan masa depan (future performance). Asumsi yang dikembangkan

teori ini adalah kinerja yang buruk akan meningkatkan kemungkinan pemecatan. Teori ini

menyatakan bahwa jika kinerja masa kini buruk, manajer mempunyai dorongan untuk

merubah laba masa depan (future earnings) menjadi laba masa kini (current earnings)

untuk mengurangi kemungkinan pemecatan. Dan sebaliknya jika kinerja masa depan

(future performance) diperkirakan buruk, maka manajer merubah laba masa kini menjadi

laba masa depan. Implikasi dari teori ini ada dua, yaitu 1) jika laba masa kini relatif

rendah, dan diperkirakan laba masa depan tinggi, maka manajer akan menggunakan

pilihan prosedur akuntansi untuk meningkatkan discretionary accruals masa kini.

Akibatnya manajer akan meminjam laba masa depan; 2) jika laba masa kini relatif

tinggi dan diperkirakan laba masa depan rendah, maka manajer akan memakai pilihan

prosedur akuntansi untuk menurunkan discretionary accruals masa kini. Akibatnya

manajer akan menabung laba masa kini untuk kemungkinan digunakan masa depan.

Perataan laba telah banyak menjadi topik penelitian dan telah di deteksi dalam

beberapa tingkat antar sampel yang berbeda. Bryshaw dan Eldin (1989) menemukan bukti

bahwa alasan manajemen melakukan praktek perataan laba adalah: 1) skema kompensasi

manajemen yang dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang disajikan dalam laba

akuntansi yang dilaporkan; 2) Fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan

4
intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambil-alihan atau

penggantian manajemen secara langsung. Ancaman penggantian tersebut mendorong

manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik.

Moses (1987) tidak berhasil menemukan bahwa praktek perataan laba

berhubungan dengan kendali kepemilikan, pangsa pasar, kekuatan serikat pekerja dan

variabilitas pada masa lalu. Dia hanya menemukan bahwa praktek perataan laba

berhubungan dengan ukuran perusahaan, keberadaan perencanaan bonus, perbedaan laba

aktual dengan laba normal serta pengaruh perubahan kebijakan akuntansi.

Defond dan Park (1997) juga menemukan bukti bahwa 27,3% dari jumlah

sampel perusahaan telah melakukan praktek perataan laba dengan cara menaikkan atau

menurunkan tingkat discretionary accruals masa kini atau masa depan untuk menghindari

resiko pemecatan oleh pemilik. Temuan inilah yang menjadi acuan penulis dalam

melakukan penelitian.

Khusus di Indonesia, beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang tidak

konsisten, Ilmainir (1993) menemukan bukti bahwa perataan laba didorong oleh harga

saham, perbedaan antara laba aktual dan laba normal dan pengaruh perubahan kebijakan

akuntansi yang dipilih oleh manajemen. Ashari et al. (1994) memperoleh bukti bahwa

perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock Exchange

(SSE) berkaitan dengan profitabilitas. Sedangkan Zuhroh (1996) menemukan bukti bahwa

faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba adalah Leverage Operasi. Naim dan

Hartono (1996) menemukan manajer yang menghadapi investigasi pelanggaran undang-

undang antitrust akan menurunkan laba untuk menghindari pinalti pelanggaran antitrust.

Wimbari (1998) mendapatkan hasil bahwa perataan laba disebabkan oleh faktor

profitabilitas dan jenis industri. Jin (1998) menemukan bahwa faktor yang berpengaruh

5
terhadap praktek perataan laba adalah ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas, sektor

industri dan Leverage-nya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara

peningkatan atau penurunan discretionary accruals dengan kinerja masa kini dan

ekspektasi kinerja masa depan dalam praktek perataan laba. Perbedaan dengan penelitian

sebelumnya adalah penggunaan laba masa depan sebagai faktor yang mempengaruhi

perataan laba.

PERATAAN LABA

Definisi perataan laba

Menurut Fudenberg dan Tirole (1995), perataan laba adalah proses manipulasi

waktu terjadinya laba atau laporan laba agar laba yang dilaporkan kelihatan stabil.

Sedangkan Barnea et al. (1976) membuat definisi perataan laba sebagai pengurangan yang

disengaja terhadap fluktuasi terhadap beberapa level laba supaya dianggap normal bagi

perusahaan.

Definisi menurut Brayshaw dan Eldin (1989) adalah tindakan sukarela

manajemen yang didorong oleh aspek perilaku dalam perusahaan dan lingkungannnya.

Sementara Beidleman (1973) menyatakan bahwa perataan laba adalah suatu usaha yang

dilakukan manajemen untuk menekan variasi dalam laba sepanjang hal itu diperbolehkan

oleh Prinsip-prinsip Akuntansi yang berlaku.

Faktor pendorong perataan laba

Perataan laba dalam laporan keuangan merupakan hal yang biasa dan dianggap hal

yang masuk akal (Bartov, 1993). Dalam banyak literatur dinyatakan bahwa Prinsip

Akuntansi Berterima Umum (PABU) sendiri memberikan banyak pilihan metode

6
akuntansi dalam pencatatan yang dapat digunakan untuk memaksimalkan atau

meminimalkan laba agar laba kelihatan stabil (Moses, 1987).

Beberapa faktor yang mendorong perataan laba oleh manajemen adalah :

1. Kompensasi bonus

Pada penelitian itu Healy menemukan bukti bahwa manajer yang tidak dapat

memenuhi target laba yang ditentukan akan memanipulasi laba dengan meningkatkan

discretionary accruals agar dapat mentransfer laba masa kini menjadi laba masa

depan.

2. Kontrak Hutang

Defond dan Jimbalvo (1994) mengevaluasi tingkat akrual perusahaan yang melanggar

perjanjian hutang. Dengan menggunakan model Jones, Defond dan Jimbalvo (1994)

memproksikan normal akrual yang menemukan bukti bahwa perusahaan yang

melanggar perjanjian hutang telah merekayasa labanya satu periode sebelum perjanjian

utang dibuat.

3. Faktor politik

Jones (1991) yang meneliti perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh International

Trade Commision (ITC), menemukan bukti bahwa produsen domestik cenderung

menurunkan laba dengan menggunakan teknik discretionary accrual untuk

mempengaruhi keputusan regulasi impor. Sementara Naim dan Hartono (1996)

meneliti perusahaan yang diduga melakukan monopoli dan menemukan bahwa

manajer perusahaan itu melakukan perataan laba untuk menghindari UU Anti-Trust.

4. Pengurangan Pajak.

Penelitian yang dilakukan Dopuch dan Pincus (1988) menyatakan bahwa perusahaan

yang menggunakan metode LIFO dalam persediaannya akan menerima jumlah pajak

7
yang lebih besar dan sebaliknya perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan

menerima tagihan jumlah pajak yang kecil.

5. Perubahan CEO

Pourciau (1993) menemukan bukti bahwa perekayasaan laba dilakukan dengan

meningkatkan unexpected accruals pada periode satu tahun sebelum penggantian tak

rutin eksekutif.

6. Penawaran saham perdana

penelitian yang dilakukan oleh Clarkson et al (1992) menyatakan bahwa ada reaksi

positif dari pengumuman earnings forcast yang ada di prospektus dengan tingkat

penjualan saham pada waktu IPO karena publik hanya melihat laporan keuangan yang

dilaporkan pada regulator. Dan banyak perusahaan yang akan melakukan penawaran

saham perdana melakukan perataan laba untuk meningkatkan sinyal positif dari publik.

Teknik-teknik perataan laba

Berbagai teknik yang digunakan dalam perataan laba diantaranya adalah sebagai

berikut :

1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi. Pihak

manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan

manajemen sendiri ( accruals ), misal : pengeluaran biaya riset dan pengembangan.

Selain itu banyak juga perusahaan yang menerapkan kebijakan diskon dan kredit

sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada

bulan terakhir tiap kuarter, sehingga laba kelihatan stabil pada periode tertentu.

2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer memiliki

kewenangan untuk mengalokasikan pendapatan dan atau beban untuk periode tertentu.

8
Misalnya, jika penjualan meningkat maka manajemen dapat membebankan biaya riset

dan penelitian serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba.

3. Perataan melalui klasifikasi, Manajemen memiliki kewenangan dan kebijakan sendiri

untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya,

jika pendapatan non-operasi sulit untuk didefinisikan maka manajer dapat

mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi. Dan

hal ini dapat digunakan sewaktu-waktu untuk meratakan laba melihat kondisi

pendapatan periode itu.

Teknik-teknik itu memang mungkin untuk dilakukan karena Prinsip Akuntansi

Berterima Umum (PABU) memberikan berbagai pilihan dalam mencatat berbagai

peristiwa keuangan. Manajemen memiliki keleluasaan untuk mengganti satu metode ke

metode yang lain.

Keleluasaan untuk memakai teknik-teknik akuntansi dalam mencatat terbukti

telah disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan Koeh

(1981) mensinyalir bahwa perataan laba banyak dilakukan dengan menggunakan teknik-

teknik akuntansi yaitu dengan merubah kebijakan akuntansi. Berdasar pada kenyataan ini

maka penelitian tentang perataan laba ini dilakukan dengan mengambil perubahan

kebijakan akuntansi sebagai objek dihubungkan dengan antisipasi laba masa depan untuk

menghindari pemecatan.

EXPECTED EARNINGS

Expected earnings adalah perkiraan dan harapan laba yang ingin dicapai

perusahaan di masa yang akan datang. Perkiraan Expected earnings diambil dari lembaran

prospektus yang biasanya dikeluarkan perusahaan ketika ingin terdaftar di Bursa Efek

9
Jakarta, selain itu Expected earnings juga terdapat di laporan keuangan tahunan

perusahaan.

Prospektus merupakan gambaran umum perusahaan secara tertulis memuat

keterangan secara lengkap dan jujur tentang keadaan perusahaan dan prospek perusahaan

di masa mendatang serta informasi yang diperlukan lainnya. Informasi proyeksi ini

diperlukan bagi investor untuk memprediksi kemampuan perusahaan dalam memberikan

manfaat di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan laporan keuangan yang

tercantum dalam SFAC No 1. Oleh karena itu proyeksi earnings ini diambil dari

prospektus dan laporan keuangan tahunan perusahaan. Meskipun pengungkapan earnings

projection dalam prospektus bukanlah kewajiban tetapi hal ini dapat menjadi indikator

yang baik bagi investor untuk men-disclose informasi yang perlu untuk menarik investor.

Sesuai dengan UU no 8 tahun 1995 BAB IX pasal 78 dan 79 dan dijabarkan lebih lanjut

dalam peraturan BAPEPAM NO IX C.2, hal ini dipandang perlu untuk mengumumkan

earnings projection agar menjadi sinyal positif bagi investor tentang keterbukaan

informasi perusahaan.

Ekspektasi laba yang tercantum di prospektus juga merupakan tantangan bagi

manajer untuk mencapainya karena jika manajer tidak bisa mencapainya atau kinerjanya

dibawah rata-rata industri maka kemungkinan tindakan pemecatan akan semakin besar

(Morck et al, 1989;dan Blackwell et al, 1994)

PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Fudenberg dan Tirole (1995) mengembangkan model teori yang mendorong

manajer memperkirakan laba masa depan dengan berdasarkan pada pemakaian

discretionary accrounting. Pengembangan teori ini berdasarkan pada 3 asumsi :

10
1. Manajer mengasumsikan bahwa mereka akan menerima keuntungan yang bersifat Non-

moneter dengan menjalankan perusahaan. Dugaan bahwa motivasi manajer didorong

lebih dari hanya sekedar bonus dan gaji didukung penelitian yang dilakukan Merchant

(1989), yang mengatakan bahwa jika manajer gagal mencapai taget yang ditentukan

maka manajer akan mengutamakan agar tidak kehilangan kredibilitas dari pada

hilangnya bonus.

2. Kinerja yang buruk akan memperbesar kemungkinan pemecatan terhadap manajemen.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Murphy dan Zimmerman (1993),

Warner et al. (1988) dan Weisbach (1988) yang menunjukkkan bahwa pergantian

manajemen yang tak rutin biasanya disebabkan oleh kinerja yang buruk. Implikasi yang

muncul dari asumsi kedua adalah selama tahun yang kinerjanya buruk, manajer

mempunyai dorongan untuk meratakan laba yang dilaporkan (reported earnings)

dengan cara merubah laba masa depan menjadi laba masa kini. Skenario ini dilakukan

dengan memakai prosedur akuntansi untuk meningkatkan discretionary accruals, yang

akibatnya dapat merubah laba masa depan menjadi laba masa kini.

H1: Peningkatan discretionary accruals mempunyai hubungan dengan

perusahaan yang mempunyai kinerja masa kini yang buruk dan ekspektasi

kinerja masa depan yang baik.

3. Asumsi ketiga yang dipakai Fudenberg dan Tirole adalah Laba masa kini mempunyai

arti yang lebih penting dari pada laba masa lalu. Implikasinya adalah kinerja yang baik

pada masa kini tidak akan dikompensasikan pada kinerja buruk dimasa depan, begitu

juga dengan kinerja yang baik dimasa lalu tidak akan dikompensasikan pada kinerja

buruk di masa kini. Oleh karena itulah, jika kinerja masa depan diekspektasikan buruk

maka manajer akan merubah laba masa kini menjadi laba masa depan untuk

mengurangi kemungkinan pemecatan. Hal ini dilakukan dengan cara menurunkan laba

11
masa kini dengan menggunakan prosedur akuntansi yaitu penurunan discretionary

accruals masa kini yang akibatnya dapat menyimpan laba masa kini untuk

digunakan di masa yang akan datang.

H2: Penurunan discretionary accruals mempunyai hubungan dengan perusahaan

yang mempunyai kinerja masa kini yang baik dan ekspektasi kinerja masa

depan yang buruk.

Hipotesis diatas konsisten dengan hipotesis bonus yang memprediksi bahwa

manajer akan membuat discretionary accruals sebagai respon terhadap kompensasi banus

yang berdasar pada laba (Healy, 1985)

12
MATERI II
INTELECTUAL CAPITAL

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan penerapan modal intelektual dalam praktek

akuntansi

Bahan Ajar

1. INTELLECTUAL CAPITAL DAN ABNORMAL RETURN SAHAM (Studi Peristiwa

Pada Perusahaan Publik Di Indonesia), Jennie Sir (Politeknik Negeri Kupang),

Bambang Subroto (Universitas Brawijaya Malang), Grahita Chandrarin (Universitas

Merdeka Malang)

2. EKSPLORASI KINERJA PASAR PERUSAHAAN: KAJIAN BERDASARKAN

MODAL INTELEKTUAL (Studi Empiris pada Perusahaan Keuangan yang Terdaftar di

Bursa Efek Indonesia), Ni Wayan Yuniasih, Dewa Gede Wirama dan I Dewa Nyoman

Bader

13
3. PENGARUH MODAL INTELEKTUAL DAN PENGUNGKAPAN MODAL

INTELEKTUAL PADA NILAI PERUSAHAAN, Wahyu Widarjo-Universitas Tunas

Pembangunan Surakarta

Sumber Jurnal dan Artikel

Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan perusahaan berperan penting

dalam pasar modal, baik bagi investor secara individual, maupun bagi pasar secara

keseluruhan. Bagi investor, informasi berperan penting dalam pengambilan keputusan

investasi, sementara pasar memanfaatkan informasi untuk mencapai harga keseimbangan

yang baru. Efficient markets hypothesis (EMH) menjadi salah satu tema yang

membahas reaksi pasar terhadap informasi yang disajikan di pasar modal. EMH

menyatakan bahwa pasar saham merupakan pasar yang efisien, yaitu kondisi dimana

harga sekuritas secara penuh merefleksikan semua inf ormasi yang tersedia. Pada kondisi

ini, pasar akan memproses informasi yang relevan kemudian pasar akan mengevaluasi

harga saham berdasarkan informasi tersebut.

Terkait dengan pentingnya informasi dalam konteks pasar efisien, pengungkapan

informasi aset tidak berwujud (intangible asset) memegang peranan penting dalam

beberapa tahun terakhir. Hal ini dipertegas dengan munculnya IAS 38 (di Indonesia

PSAK 19), yang bertujuan untuk menentukan perlakuan akuntansi atas intangible asset

yang dimiliki perusahaan. Diterbitkannya IAS 38 (PSAK 19) ini, setidaknya telah

menjawab ketidakpuasan beberapa pihak sebagai pengguna informasi, akibat

keterbatasan dalam pengungkapan informasi perusahaan yang hanya bersumber dari

tangible asset. Holland (2002) mengungkapkan bahwa informasi keuangan tidak cukup

menjadi dasar bagi penghargaan pasar terhadap perusahaan, terutama karena lebih

didominasi oleh output data keuangan yang menunjukkan kinerja tentang penciptaan nilai.

14
Meskipun demikian, ada kesepakatan bahwa pengakuan intangible asset dalam sistem

akuntansi saat ini tidak cukup, oleh karena beberapa unsur dari intangible asset seperti:

human capital, inovasi, pelanggan, atau teknologi, yang tidak dapat dimasukkan dalam

laporan keuangan karena masalah identifikasi, pengakuan, dan pengukuran. Salah satu

alternatif yang diusulkan adalah dengan memperluas pengungkapan intangible asset

melalui pengungkapan intellectual capital (selanjutnya disingkat IC), untuk memberi

lebih banyak informasi komprehensif yang memungkinkan sebuah perusahaan memiliki

pandangan yang sama terhadap penciptaan nilai.

Semakin pentingnya informasi IC bagi pihak internal maupun pihak ekstenal

perusahaan, dibuktikan dengan beberapa temuan empiris yang menunjukkan adanya

kecenderungan perusahaan untuk meningkatkan luas pengungkapan IC dalam laporan

tahunan mereka (Petty 2000; White et al. 2007; Bruggen et al. 2008; Vandemaele et al.

2005; Abdolmohammadi 2005; Bukh et al. 2005; Garcia-Meca et al. 2005; Bozzolan et

al. 2003; Purnomosidhi 2006; serta Sihotang dan Winata 2008). Mouritsen et al. (2004)

menjelaskan adanya kesenjangan antara nilai buku dengan nilai pasar dari perusahaan,

yang disebabkan karena banyak perusahaan gagal untuk melaporkan hidden value (nilai

tersembunyi) yang berupa modal intelektual (intellectual capital) dalam laporan tahunan

mereka. Sementara Bollen et al. (2005) menyatakan bahwa intellectual capital telah

dipandang sebagai bagian integral dari perusahaan dalam proses penciptaan nilai ( value

creation), dan semakin memainkan peran penting dalam mempertahankan keunggulan

kompetitif perusahaan.

Boone dan Raman (2001) dalam Bruggen et al. (2009) menemukan bahwa pasar

akan meningkatkan likuiditasnya jika perusahaan mampu mengungkapkan IC secara luas.

Abdolmohammadi (2005) serta Sihotang dan Winata (2008) mendukung hasil penelitian

15
sebelumnya dan menemukan adanya korelasi positif antara pengungkapan IC dengan

nilai kapitalisasi pasar perusahaan.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya,

dimana penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis sejauh mana praktek

pengungkapan IC yang dilakukan perusahaan publik yang terdaftar di BEI, serta

menguji apakah pengungkapan informasi IC di respon oleh pasar, yang dinilai berdasarkan

abnormal return yang diperoleh.

Telaah Literatur

Kajian mengenai peran informasi intellectual capital sebagai bagian dari

pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) telah dilakukan oleh beberapa peneliti.

Bontis (1998) melakukan penelitian yang bersifat eksploratif dan bertujuan untuk

mengembangkan konsep dan teori dalam membangun model intellectual capital

perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa komponen IC berupa : human

capital, structural capital, dan relational capital berpengaruh signifikan terhadap kinerja

perusahaan. Setelah tahun 2000, para peneliti semakin menyadari pentingnya IC,

sehingga penelitian kemudian berfokus pada pengungkapan dan pelaporan IC oleh

perusahaan. Berbagai penelitian di mancanegara, mengkaji tingkat pengungkapkan IC

dan determinan dari luas pengungkapan IC pada perusahaan publik (Williams, 2001;

Bozzolan et al., 2003; Garcia-Meca, et al., 2005; White, et al., 2007; Singh dan Zahn,

2008; Abdolmohammadi, 2005; Bukh, et al., 2005; Bruggen et al., 2009).

Di Indonesia, Purnomosidhi (2006) menemukan bahwa rerata jumlah atribut IC

yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan publik di Indonesia sebesar 56 %.

Presentase ini menggambarkan bahwa perusahaan publik telah memiliki kesadaran

terhadap arti penting IC bagi peningkatan keunggulan kompetitif, meskipun cara

16
pengungkapan IC belum sistematis sesuai dengan kerangka kerja yang ada, serta praktik

pengungkapan IC diantara perusahaan yang masih bervariasi. Senada dengan hasil

tersebut, Sihotang dan Winata (2008) meneliti praktik pengungkapan IC dalam laporan

tahunan perusahaan, dengan mengambil sampel perusahaan publik di Indonesia yang

berbasis teknologi, dan menemukan bahwa ada kecenderungan peningkatan dalam

pengungkapan IC selama periode pengamatan, selain itu, terdapat korelasi positif antara

kapitalisasi pasar dengan tingkat pengungkapan IC. Hasil ini mendukung penelitian

sebelumnya yang juga menemukan adanya korelasi positif antara kapitalisasi pasar

dengan tingkat pengungkapan IC (Abdolmohammadi, 2005).

Meskipun belum ada penelitian sebelumnya yang secara langsung menguji

pengaruh pengungkapan intellectual capital terhadap abnormal return saham, namun

beberapa bukti empris menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara

pengungkapan sukarela terhadap return saham. Healy et al. (1999) menyatakan bahwa

pengungkapan sukarela dapat meningkatkan kinerja saham. Healy et al. (1999)

menemukan bahwa perluasan pengungkapan akan membantu investor dalam menilai

saham perusahaan, meningkatkan likuiditas saham, dan membantu pihak yang berkepent

ingan dalam menganalisis saham.

Hasil penelitian Lang dan Lundholm (2000) menunjukkan bahwa perluasan

pengungkapan, jika kredibel, akan mengurangi misevaluation harga saham perusahaan,

dan meningkatkan kapitalisasi pasar. Bukti empiris lainnya juga menemukan bahwa

pengungkapan sukarela, melalui pengungkapan informasi R&D secara signifikan

berdampak pada reaksi pasar atas harga saham, sehingga dapat diperoleh abnormal return

(Dedman et al. 2007; Chan et al., 2001; Eberhart et al., 2004; Nelson, 2006; Xu et al.,

2007). R&D merupakan bagian dari elemen intellectual capital, sehingga penelitian ini

memperluas kajian sebelumnya dengan memasukkan semua atribut dalam komponen IC.

17
Williams (2001) mendefinisikan modal intelektual sebagai informasi dan

pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Bontis et al.,

(2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk

utama dari modal intelektual, yaitu: human capital, structural capital, dan customer

capital. Menurut Bontis et al., (2000) secara sederhana human capital merepresentasikan

individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya.

Human capital merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, and

attitude tentang kehidupan dan bisnis.

Salah satu metoda yang digunakan untuk mengukur modal intelektual adalah

metoda VAIC. Metoda VAIC, dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk

menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible

asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini

dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Value

added adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Value

added dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999).

Resource based theory berpandangan bahwa perusahaan akan mendapatkan

keunggulan kompetitif dan kinerja optimal dengan mengakuisisi, menggabungkan, dan

menggunakan aset-aset vital untuk memperoleh keunggulan ko mpetitif dan kinerja

optimal (Lev, 1987). Penyatuan aset berwujud dan tidak berwujud merupakan strategi

potensial untuk meningkatkan kinerja (Belkaoui, 2003). Praktik akuntansi konservatisma

menekankan bahwa investasi perusahaan dalam intellectual capital yang disajikan dalam

laporan keuangan, dihasilkan dari peningkatan selisih antara nilai pasar dan nilai buku.

Jadi, jika misalnya pasarnya efisien, maka investor akan memberikan nilai yang tinggi

terhadap perusahaan yang memiliki modal intelektual lebih besar (Belkaoui, 2003; Firer

18
dan Williams, 2003). Physical capital sebagai bagian dari modal intelektual menjadi

sumber daya yang menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, jika modal intelektual

merupakan sumberdaya yang terukur untuk peningkatan competitive advantages, maka

modal intelektual akan memberikan kontribusi terhadap kinerja perusahaan

(Abdolmohammadi, 2005). Bagaimanapun, modal intelektual diyakini dapat berperan

penting dalam peningkatan nilai perusahaan maupun kinerja keuangan. Penelitian

Belkaoui (2003), Firer dan Williams (2003), Firer dan Stainbank (2003), dan Appuhami

(2007) menunjukkan bahwa modal intelektual memiliki hubungan positif dengan kinerja

keuangan perusahaan. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Iswati dan Anshori

(2007), Ulum et al., 2008, serta Sianipar (2009) juga menunjukkan bahwa modal

intelektual berpengaruh positif pada kinerja perusahaan.

19
MATERI III
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan program tanggung jawab sosial perusahaan dalam

masyarakat industri

Bahan Ajar

1. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN KINERJA PERUSAHAAN,

Kartika Hendra (UNIBA), Eko Suwardi (UGM), Doddy Setiawan (UNS)

2. PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONIBILITY TERHADAP KINERJA

KEUANGAN PERUSAHAAN, Febri T, Sutaryo dan M Agung Prabowo (UNS)

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PENGUNGKAPAN

TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PADA PERUSAHAAN

MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA, Febrina dan I G N Agung Suaryana

(UNUD)

20
4. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan

Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-

Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta), Fr. Reni. Retno Anggraini , USADA

Yogya

Sintesis Jurnal dan Artikel

Akhir-akhir ini topik mengenai Corporate Social Responsibility (selanjutnya

disingkat CSR) banyak di bahas. Perusahaan di dunia maupun di Indonesia juga semakin

banyak yang mengklaim bahwa mereka telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

Kesadaran tentang pentingnya mempraktikan CSR ini menjadi trend global seiring dengan

semakin maraknya kepedulian mengutamakan stakeholders. Kemajuan teknologi

informasi dan keterbukaan pasar, perusahaan harus secara serius dan terbuka

memperhatikan CSR. Sejalan dengan perkembangan tersebut, Undang-Undang RI No.

40/2007 mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan

bidang SDA untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dan wajib

melaporkan pelaksanaan tanggung jawab tersebut di Laporan Tahunan.

Penelitian mengenai CSR telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di

negara lain, misalnya Widiastuti (2002), Mahoney et al (2003), Zuhroh dan Sukmawati

(2003), Suratno et al (2006), Fauzi et al (2007), Fiori et al (2007), dan Sayekti dan

Wondabio (2007). Penelitian yang menginvestigasi hubungan CSR dan kinerja perusahaan

yang meliputi kinerja keuangan dan kinerja ekonomi dilakukan oleh Mahoney et al

(2003) yang meneliti hubungan antara kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan

kinerja keuangan (ROE dan ROA) dengan variabel kontrol debt to assets ratio dan assets.

Hasilnya menunjukkan hubungan positif. Penelitian Suratno et al (2006) menunjukkan

bahwa environmental performance berpengaruh secara positif terhadap economic

21
performance. Fauzi et al (2007) merupakan peneliti yang mengembangkan model slack

resource theory dan good manajement theory dalam meneliti hubungan Corporate Social

performance dan Corporate Financial Performance (ROE dan ROA). Hasil studi tidak

menunjukkan hubungan yang signifikan. Analisis lebih jauh dengan menggunakan slack

resource theory menunjukkan size perusahaan mempengaruhi hubungan CSP dan CFP.

Sayekti dan Wondabio (2007) meneliti pengaruh CSR disclosure terhadap

Earning Response Coefficient. Bukti empiris menu njukkan CSR berpengaruh negatif

terhadap earning response coefficient, yang mengindikasikan bahwa investor

mengapresiasi informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Widiastuti (2002) justru menunjukkan pengaruh

positif. Fiori et al (2007) meneliti CSR terutama yang berkaitan dengan reaksi investor

dan memproksi kinerja perusahaan menggunakan stock price. Hasil empirisnya

menunjukkan CSR tidak signifikan mempengaruhi stock price. Lutfi (2001) seperti yang

dikutip oleh Zuhroh dan Sukmawati (2003) tidak menemukan pengaruh yang signifikan

dari praktek pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan terhadap perubahan harga

saham.

Penelitian Zuhroh dan Sukmawati (2003) pada perusahaan-perusahaan high

profile membuktikan bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan

berpengaruh terhadap volume perdagangan saham. Brammer et al (2005)

menginvestigasi hubungan antara corporate social performance dan financial

performance yang diukur dengan stock return untuk perusahaanperusahaan di UK.

Environment dan employment berkorelasi negatif dengan return, sedangkan

community berkorelasi positif .

Adanya hasil empiris terdahulu yang masih kontradiktif dan bervariasi dalam

mengukur kinerja perusahaan serta pentingnya konsep ini dalam mempengaruhi kebijakan

22
perusahaan secara mikro dan juga membentuk kepercayaan investor, penelitian ini akan

membahas pengaruh CSR terhadap kinerja perusahaan yang di ukur dengan stock

return. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu di Indonesia adalah

pengukuran indeks CSR dilakukan untuk masing-masing parameter (environtment,

employment, community) seperti yang dilakukan Brammer et al (2005) dan Fiori et al

(2007). Hasil penelitian akan memberikan bukti empiris pengaruh CSR parameters

terhadap kinerja perusahaan dan menunjukkan parameter yang lebih banyak mendapat

perhatian perusahaan. Selain itu penelitian ini dilakukan pada perusahaan rawan

lingkungan serta mengikuti program PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Menurut Robert seperti yang dikutip Hackston dan Milne (1996), perusahaan yang

mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan (rawan lingkungan)

termasuk dalam tipe industri high profile. Perusahaan ini pada umumnya merupakan

perusahaan yang memperoleh sorotan masyarakat karena aktivitas operasinya memiliki

potensi untuk bersinggungan dengan kepentingan luas (Zuhroh dan Sukmawati, 2003).

Adanya fakta permasalahan CSR yang dilakukan perusahaan di Indonesia dan

kontradiktifnya hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan CSR dan kinerja

perusahaan serta bervariasinya ukuran yang digunakan untuk kinerja perusahaan

(Mahoney et al. 2003; Zuhroh dan Sukmawati 2003; Brammer et al. 2005; Suratno et al.

2006 ; Fauzi et al. 2007; Fiori et al. 2007; Sayekti dan Wondabio, 2007) maka

memunculkan perumusan pertanyaan masalah dalam penelitian sebagai berikut: Apakah

CSR parameter (environtment, employment, community) berpengaruh terhadap kinerja

perusahaan?

Coporate Social Responsibility (CSR)

23
Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga

tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat

perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan

bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya

berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok

kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, CA. 1994). Jika terjadi

ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka

perusahaan dalam kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam

kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994) seperti yang dikutip oleh Haniffa dan

Cooke (2005). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah

satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi

perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie dan Parker, 1990).

Praktik pengungkapan CSR bervariasi di antar waktu dan antar negara. Hal ini

disebabkan isu-isu yang dipandang penting oleh satu negara mungkin akan menjadi

kurang penting bagi negara lain (Gray et al. 1995; Williams,1999; Yusoff dan Lehman,

2003). Pengungkapan CSR perusahaan untuk meningkatkan citra perusahaan dan ingin

dilihat sebagai warga negara yang bertanggung jawab (Ahmad et al. 2003) dan

perusahaan akan mengungkapkan informasi tertentu jika ada aturan yang menghendakinya

(Anggraini, 2006). Mengenai pengertian CSR belum ada pengertian tunggal yang

disepakati oleh semua pihak. Menurut Darwin (2004) seperti yang dikutip oleh Anggraini

(2006), CSR adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela

mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan

interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang

hukum. Gray et al (1987) seperti dikutip oleh Belal (2001) mendefinisikan CSR sebagai

proses komunikasi sosial dan lingkungan dari organisasi ekonomi terhadap kelompok

24
tertentu di masyarakat, yang melibatkan tanggung jawab organisasi (terutama perusahaan),

di luar tanggung jawab keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham.

Perusahaan mempunyai tanggung jawab lebih luas dibanding hanya untuk mencari uang

bagi pemegang saham.

Dari beragam definisi CSR, ada satu kesamaan bahwa CSR tak bisa lepas dari

kepentingan shareholder dan stakeholder perusahaan. Konsep inilah yang kemudian

diterjemahkan oleh John Elkington sebagai triple bottom line, yaitu: Profit, People, dan

Planet. Maksudnya, tujuan CSR harus mampu meningkatkan laba perusahaan,

menyejahterakan karyawan dan masyarakat, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.

Pengungkapan Sosial Perusahaan

Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai

social disclosure, corporate social reporting, social accounting, atau corporate social

responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari

kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap

masyarakat secara keseluruhan (Sembiring, 2005). Pratiwi dan Djamhuri (2004)

mengartikan pengungkapan sosial sebagai suatu pelaporan atau penyampaian informasi

kepada stakeholders mengenai segala aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan

lingkungan sosialnya. Hasil penelitian di berbagai negara membuktikan, bahwa laporan

tahunan (annual report) merupakan media yang tepat untuk menyampaikan tanggung

jawab sosial perusahaan.

Tema Pengungkapan sosial

Kategori corporate social disclosures menurut William (1999) meliputi 5 (lima)

tema antara lain : (1) environment; (2) energy; (3) human resources and management; (4)

25
products and customers; and (5) community. Sedangakan Brammer et al (2005)

pengukuran CSR dengan mempertimbangkan tiga parameter CSR yaitu: Employment,

Environment dan Community.

Kinerja perusahaan

Laporan tahunan merupakan salah satu sumber informasi guna mendapatkan

gambaran kinerja perusahaan. Informasi ini diberikan oleh pihak manajemen perusahaan

merupakan salah satu cara untuk memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan

kepada para stakeholder. Kinerja manajemen perusahaan memiliki dampak terhadap

likuiditas dan volatilitas harga saham, yang dijadikan dasar oleh para investor dalam

melakukan investasi (Junaedi, 2005).

Penelitianpenelitian terdahulu yang mengangkat topik pengaruh pengungkapan

informasi dalam laporan tahunan perusahaan terhadap indikator-indikator kinerja

perusahaan seperti ROA, ROE, profitabilitas, harga saham dan return telah banyak

dilakukan baik di luar maupun di Indonesia sendiri. Penelitian yang langsung menguji

informasi CSR yang merupakan informasi non keuangan terhadap harga saham dilakukan

oleh Fiori et al (2007) menunjukkan pengaruh CSR terhadap harga saham. Penelitian

Brammer (2005) menunjukkan pengaruh CSR terhadap return. Meskipun sangat lemah,

penelitian Junaedi (2005) menemukan bahwa pengungkapan dalam laporan tahunan

berpengaruh terhadap return. Ini menunjukkan kemungkinan informasi dalam laporan

tahunan perusahaan belum dijadikan salah satu sumber informasi penting dan menentukan

dalam proses pengambilan keputusan investasi oleh para investor yang tercermin dari

volume perdagangan serta return saham yang diperdagangkan.

Secara umum konsep pengukuran kinerja perusahaan tradisional (Fiori et al,

2007) fokus pada analisis : profitability, Liquidity, Solvency, Financial efficiency,

26
Repayment capacity. Akuntansi mendasarkan ukuran kinerja keuangan adalah suatu

peramal yang cukup untuk penilaian pasar perusahaan dan return. Harga pasar saham mere

fleksikan nilai fundamental saham (Brief dan Lawson, 1992; Peasnell, 1996) seperti

dikutip oleh Fiori et al (2007). Sehingga dapat di simpulkan bahwa harga pasar saham

menggambarkan kinerja perusahaan. Lebih jauh lagi pergerakan harga saham ini akan

memp engaruhi return yang diterima oleh investor. Tentu saja juga dipengaruhi oleh

return pasar. Sehingga abnormal return yang diterima oleh investor juga akan

menggambarkan kinerja pasar perusahaan (market performance).

27
MATERI IV
GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan proses pengelolaan perusahaan sesuai tata kelola

Bahan Ajar

HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA PERUSAHAAN, Deni

Darmawati, Khomsiyah, Rika Gelar Rahayu, The Indonesian Institute for Corporate

Governance (IICG)

Sintesis Jurnal dan Artikel

Lemahnya corporate governance sering disebut sebagai salah satu penyebab krisis

keuangan di negara-negara di Asia (lihat, misal, Johnson dkk., 2000 dan Mitton, 2002).

Johnson dkk. (2000) dalam penelitiannya, telah menunjukkan bahwa variabel corporate

governance yang diterapkan dalam suatu negara lebih mampu menjelaskan luasnya

depresiasi mata uang dan menurunnya kinerja pasar modal di negara-negara berkembang

dibandingkan variabel-variabel makroekonomika, pada periode krisis. Ciri utama dari

28
lemahnya corporate governance adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri di

pihak para manajer perusahaan. Jika para manajer perusahaan melakukan tindakan-

tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor, maka

akan menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang pengembalian (return) atas

investasi yang telah mereka tanamkan. Dengan demikian, secara agregat, hal tersebut

akan mengakibatkan aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami

penurunan sedangkan aliran keluar (capital outflows) dari suatu negara mengalami

kenaikan. Akibat selanjutnya adalah menurunnya harga-harga saham di negara tersebut,

sehingga pasar modalnya menjadi tidak berkembang dan menurunnya nilai pertukaran

mata uang negara tersebut.

Pada saat ini, pembahasan tentang proteksi investor merupakan hal yang sangat

krusial. La Porta dkk. (2000) telah membuktikan bahwa di beberapa negara, ekspropriasi

yang dilakukan oleh para manajer dan para pemegang saham pengendali (controlling

shareholders) terhadap para pemegang saham minoritas dan para kreditor sangat besar.

Pada saat para investor mendanai perusahaan, mereka menghadapi risiko dan kadang-

kadang besar kemungkinannya bahwa return atas investasi yang mereka tanamkan tidak

pernah material, karena para manajer dan pemegang saham pengendali melakukan

ekspropriasi terhadap mereka.

Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat melindungi

pihak-pihak minoritas (outside investors/minority shareholders) dari ekspropriasi yang

dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali (insider) dengan penekanan

pada mekanisme legal (Shleiver dan Vishny, 1997). Pendekatan legal dari corporate

governance memiliki arti bahwa mekanisme kunci dari corporate governance adalah

proteksi investor eksternal (outside investors), baik pemegang saham maupun kreditor,

melalui sistem legal, yang dapat diartikan dengan hukum dan pelaksanaannya. Meskipun

29
reputasi dan gagasan-gagasan yang dimiliki oleh para manajer dapat membantu dalam

meraih dana, variasi dalam hukum dan pelaksanaannya merupakan hal utama dalam

memahami mengapa perusahaan-perusahaan dalam beberapa negara lebih mudah

mendapatkan dana dibanding perusahaan-perusahaan yang lainnya.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penerapan corporate governance

bervariasi antar satu negara dengan negara yang lain. Penelitian-penelitian tersebut pada

dasarnya menunjukkan adanya perbedaan sistem hukum yang melindungi investor antar

negara (lihat, misal, La Porta dkk., 2000). Perbedaan dalam sistem hukum tersebut

selanjutnya akan berpengaruh pada struktur kepemilikan, perkembangan pasar modal, dan

perekonomian suatu negara (lihat, misal, review artikel, La Porta dkk., 2000).

Adanya konsekuensi ekonomis dari variasi penerapan corporate governance di

tingkat negara menimbulkan berbagai pertanyaan baru di kalangan para pakar di bidang

ekonomi. Besar kemungkinan bahwa tidak semua perusahaan dalam negara yang sama

menawarkan proteksi dengan tingkat yang sama kepada para investornya. Pertanyaan-

pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: Apakah perbedaan proteksi investor antar

perusahaan dalam negara yang sama memiliki arti? dapatkah suatu perusahaan yang

berada dalam suatu negara yang lemah lingkungan hukumnya membedakan dirinya dan

memberikan proteksi yang lebih pada para investornya dengan mengadopsi praktek-

praktek good corporate governance dan apakah adopsi praktik-praktik good corporate

governance memiliki arti lebih di dalam negara yang secara keseluruhan memiliki sistem

hukum dang baik atau buruk? (Klapper and Love, 2002; Black dkk., 2003).

Jika corporate governance merupakan faktor yang signifikan pada kondisi krisis,

maka corporate governance tidak hanya mampu menjelaskan perbedaan kinerja antar

negara selama periode krisis, akan tetapi juga perbedaan kinerja antar perusahaan dalam

suatu negara tertentu. Penelitian tentang variasi penerapan corporate governance di

30
tingkat perusahaan masih sangat sedikit dilakukan. Penelitian dampak penerapan

corporate governance pada kinerja sangat menarik untuk dilakukan pada periode krisis.

Coporate governance menjadi sesuatu yang lebih penting dalam kondisi krisis keuangan

karena dua alasan (Mitton, 2002). Pertama, ekspropriasi terhadap pemegang saham

minoritas menjadi lebih parah pada periode krisis. Johnson (2000) berpendapat bahwa

krisis dapat mendorong para manajer untuk lebih melakukan ekspropriasi pada saat return

atas investasi yang diharapkan semakin menurun. Alasan kedua, krisis dapat mendorong

para investor untuk lebih memperhatikan pentingnya keberadaan corporate governance.

Rajan dan Zingales (1998) seperti dikutip oleh Mitton (2002) menyatakan bahwa para

investor mengabaikan kelemahan dari perusahaan-perusahaan di Asia Timur (East Asian)

pada saat negara-negara tersebut pada kondisi perekonomian yang baik, akan tetapi secara

cepat menarik investasi mereka pada saat krisis dimulai, karena para investor percaya

bahwa negara tersebut tidak memiliki proteksi institusional yang memadai terhadap

investasi yang mereka tanamkan. Dengan adanya dua lasan tersebut, perusahaan dengan

corporate governance yang kurang baik dapat kehilangan nilai relatif lebih besar pada saat

kondisi krisis.

Beberapa penelitian tentang corporate governance di tingkat perusahaan sebagian

besar dilakukan di Amerika dan di perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) (lihat, misal, survei yang

dilakukan oleh Shleifer dan Vishny, 1997). Penelitian yang dilakukan di negara yang

sedang berkembang masih sangat sedikit dilakukan. Black (2001) berargumen bahwa

pengaruh praktik corporate governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di

negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut dikarenakan oleh lebih

bervariasinya praktik corporate governance di negara berkembang dibandingkan negara

31
maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik corporate governance

lebih bervariasi di negara yang memiliki lingkungan hukum yang lebih lemah.

Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi keterkaitan corporate governance

yang diterapkan dalam suatu perusahaan dengan kinerja perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Berghe dan Ridder (1999), menghubungkan kinerja perusahaan dengan good

governance tidak mudah dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada hubungan

corporate governance dengan kinerja perusahaan, misalnya penelitian Daily dkk. (1998)

dan hasil survey CBI, Deloitte dan Touche (1996) sebagaimana yang dikutip oleh

Kakabadse dkk, (2001). Demikian juga dengan Young (2003) yang menganalisis beberapa

penelitian yang menghubungkan corporate governance dengan kinerja perusahaan. Di lain

pihak, berdasarkan beberapa hasil penelitian, Berghe dan Ridder menyatakan bahwa

perusahaan yang mempunyai poor performance disebabkan oleh poor governance.

Pernyataan ini didukung oleh penelitian Gompers dkk. (2003) yang menemukan hubungan

positif antara indeks corporate governance dengan kinerja perusahaan jangka panjang.

Menurut Kakabadse dkk, (2001) perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu: 1) perspektif teoritis yang diterapkan, 2) metodologi penelitian,

3) pengukuran kinerja, dan 4) perbedaan pandangan atas keterlibatan dewan dalam

pengambilan keputusan. Walaupun penelitian-penelitian tentang hubungan corporate

governance dengan kinerja perusahaan menunjukkan hasil yang berbeda, namun

semuanya menyatakan bahwa corporate governance mempunyai pengaruh tidak langsung

terhadap kinerja perusahaan.

Penelitian ini bertujuan menguji kembali penelitian-penelitian sebelumnya dan

berbeda dalam hal pengukuran variabel corporate governance yang telah disesuaikan

dengan kondisi lingkungan bisnis di Indonesia (menggunakan ukuran yang dikembangkan

oleh Indonesian Institute of Corporate Governance).

32
Penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi bagi pihak regulator dalam hal

menambah pemahaman tentang penyebab krisis dan keterkaitan corporate governance

dengan kejadian-kejadian makroekonomika. Bagi praktisi, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan bahwa individual perusahaan, bukan hanya di tingkat negara,

memiliki kontrol dalam tingkat proteksi yang ditawarkan kepada pemegang saham

minoritasnya. Dengan adanya berbagai pemeringkatan perusahaan berdasarkan corporate

governance yang diterapkan, yang dikeluarkan oleh beberapa institusi independen,

penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan keyakinan akan kegunaan hasil

pemeringkatan tersebut untuk dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan.

Artikel ini terdiri dari beberapa bagian. Setelah pendahuluan, bahasan teori dan

pengembangan hipotesis dibahas pada bagian kedua. Pada bagian ketiga dibahas tentang

sampel dan pengumpulan data, variabel yang digunakan dan pengukurannya. Hasil

penelitian dan diskusi akan disajikan pada bagian keempat. Bagian terakhir artikel ini

menjelaskan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan diikuti dengan implikasi

untuk penelitian selanjutnya.

Corporate Governance dan Perspektif Keagenan

Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami

corporate governance. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara principal dan

agen (dikembangkan oleh Coase, 1937; Jensen and Meckling, 1976; dan Fama and Jensen,

1983). Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahaan antara kepemilikan (di

pihak principal/investor) dan pengendalian (di pihak agent/manajer). Investor memiliki

harapan bahwa manajer akan menghasilkan returns dari uang yang mereka investasikan.

Oleh karena itu, kontrak yang baik antara investor dan manajer adalah kontrak yang

mampu menjelaskan spesifikasi-spesifikasi apa sajakah yang harus dilakukan manajer

33
dalam mengelola dana para investor, dan spesifikasi tentang pembagian return antara

manajer dengan investor. Secara ideal, investor dan manajer sebaiknya menandatangani

kontrak yang lengkap/komplit, yang menspesifikasikan secara tepat apa saja yang akan

dilakukan oleh manajer di segala kemungkinan yang terjadi, dan bagaimana laba

perusahaan akan dialokasikan. Namun demikian, sebagian besar faktor-faktor kontinjensi

sulit untuk dilihat/diramal sebelumnya, sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk

diwujudkan. Dengan demikian, investor diharuskan untuk memberikan hak pengendalian

residual (residual control right) kepada manajer, yaitu hak untuk membuat keputusan

dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat dikontrak.

Hak pengendalian residual yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk

diselewengkan dan akan menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan

sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka tanamkan tidak

dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki hak untuk mengelola

perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola

dana investor. Kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya adalah bahwa manajer dapat

melakukan ekspropriasi dana investor.

Ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer dapat dilakukan dengan berbagai

cara/bentuk, mulai dari penggelapan dana investor, menjual produk perusahaan kepada

perusahaan yang dimiliki oleh manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan

dengan harga pasar, hingga menjual aset perusahaan lainnya ke perusahaan yang dimiliki

oleh manajer. Bahkan, yang paling parah, ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer bisa

berupa mempertahankan jabatan/posisi pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak

berkompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya (Shleifer dan Vishny,

1989). Jensen dan Ruback (1983) berargumen bahwa manajer yang tidak berkualitas yang

34
bertahan untuk bisa digantikan merupakan perujudan dari masalah keagenan yang paling

mahal.

Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenanan yang terjadi jika

pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda.

Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana

suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent), yang

melakukan pekerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan

yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989). Pertama, adalah

masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari

prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi

prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen.

Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah

melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul

pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dengan

demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda yang

dikarenakan adanya perbedaan preferensi terhadap risiko.

Oleh karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi

hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan

kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Teori

keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989). Asumsi-asumsi tersebut

dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian

dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat

mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded

rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah

adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya

35
asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi adalah bahwa informasi

sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.

Konflik kepentingan yang dikarenakan oleh kemungkinan bahwa agen tidak selalu

bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan. Jensen

dan Meckling (1976) menyebutkan ada tiga jenis biaya keagenan. Prinsipal dapat

membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan

dengan mengeluarkan biaya monitoring (monitoring cost) yang dirancang untuk

membatasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan oleh agen. Dalam

beberapa situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelanjakan sumber daya

perusahaan (biaya bonding/bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan

bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan

memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Namun

demikian, masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan

keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen. Nilai uang yang

ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal juga merupakan

biaya yang timbul dari hubungan keagenan. Biaya sejenis ini disebut kerugian residual

(residual loss).

Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tiga unsur tambahan yang

dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Unsur-unsur tersebut

adalah bekerjanya pasar tenaga manajerial, bekerjanya pasar modal dan unsur bekerjanya

pasar bagi keinginan menguasai dan memiliki/mendominasi kepemilikan perusahaan

(market for corporate control).

Agen bisa tidak bermasa depan bila kinerjanya buruk sehingga diberhentikan oleh

pemegang saham. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola

yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan

36
pemegang saham perusahaan yang dikelolanya. Bekerjanya pasar modal secara efisien

bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya. Bekerjanya market

for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri

dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya

mempunyai kinerja rendah yang memungkinkan pemegang saham baru menggantinya

dengan pengelola lain setelah perusahaan diambil alih.

Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang merupakan

konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk

memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas

dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana

para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin

bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam

proyek-proyek yang tidak mengutungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah

ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengkontrol

para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).

Corporate governance merupakan suatu elemen kunci dalam meningkatkan

efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara menejemen perusahaan,

dewan direksinya (dewan direksi dan komisasris, untuk negara-negara yang menganut

sistem hukum two-tier, termasuk Indonesia), para pemegang sahamnya dan stakeholders

lainnya (OECD, 1999). Corporate governance juga memberikan suatu struktur yang

memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran (objectives) dari suatu perusahaan, dan sebagai

sarana untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dan sarana untuk menentukan teknik

monitoring kinerja. Good corporate governance harus memberikan insentif yang tepat

untuk dewan direksi dan menejemen dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang

ditentukan dari sisi kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dan juga harus

37
dapat memfasilitasi monitoring yang efektif, sehingga mendorong perusahaan untuk

menggunakan sumberdaya secara efisien (OECD, 1999).

Isu tentang corporate governance mulai hangat dibicarakan sejak terjadinya

berbagai skandal yang mengindikasikan lemahnya corporate governance di perusahaan-

perusahaan Inggris pada sekitar tahun 1950an, seperti manipulasi dana pensiun Maxwell,

skandal Rolls Royce dan lain-lainnya. Skandal-skandal tersebut dilanjutkan dengan

banyaknya pengambilalihan usaha (takeover) dan insider trading yang terjadi di tahun

1970an dan selanjutnya menimbulkan resesi di tahun 1980an (Davies, 1999; hal. 34-35).

Berkaitan dengan berbagai skandal bisnis tersebut, dibentuklah The Cadbury

Committee pada bulan Mei 1991 yang bertugas untuk membuat Code of Best Practice

yang berkaitan dengan pelaporan keuangan dan akuntabilitas. Komite-komite corporate

governance selanjutnya yang dibentuk di negara Inggris adalah The Greenbury

Committee, yang lebih menekankan pada remunerasi direksi, dan The Hampel Committee,

yang menekankan pada proteksi Investor (Davies, 1999, hal. 38-44).

Sejalan dengan perkembangan isu corporate governance di negara Inggris, di

berbagai negara maju lainnya seperti Amerika, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia, Italia, dan

Australia juga mulai marak di diskusikan. Seperti pengalaman di Inggris, isu tentang

corporate governance marak diperbincangkan berkaitan dengan adanya berbagai macam

skandal bisnis di negara-negara tersebut.

38
MATERI V
HIPOTESIS PASAR EFISIEN

Pasar modal yang efisien adalah pasar modal yang harga sahamnya merefleksikan

informasi yang ada di pasar dan dapat menyesuiakan dengan cepat terhadap informasi

baru. Bentuk efisiensi pasar terbagi menjadi efisiensi pasar bentuk lemah, setengah kuat

dan bentuk kuat (Fama, 1970). Efisiensi pasar bentuk setengah kuat dapat dikembangkan

menjadi efisiensi pasar setengah kuat secara informasi dan secara keputusan (Hartono,

2000). Efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi adalah efisiensi pasar yang

menekankan pada informasi yang fully reflect dan information available. Efisiensi pasar

bentuk setengah kuat secara keputusan menekankan informasi yang fully reflect,

information available serta kecanggihan investor dalam mengolah informasi yang tersedia

(Hartono, 2000).

Pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi mencakup pengujian

kandungan informasi dan kecepatan reaksi pasar terhadap suatu pengumuman yang

dipublikasikan. Pasar yang efisien bentuk setengah kuat secara informasi adalah pasar

yang bereaksi terhadap suatu pengumuman dan terjadi dengan cepat. Salah satu bentuk

informasi publik yang berguna adalah pengumuman dividen. Pengumuman dividen

39
merupakan sinyal yang diberikan manajemen tentang keyakinan mereka mengenai

perkembangan perusahaan (Miller dan Rock,1985 dan Gelb,1999). Dividen meningkat

(menurun) merupakan sinyal yang baik (buruk), yaitu manajer percaya bahwa prospek

perusahaan akan mengalami peningkatan (penurunan). Setiawan dan Hartono (2003)

membuktikan bahwa investor di Bursa Efek Jakarta bereaksi terhadap pengumuman

dividen secara cepat, sehingga abnormal return yang dinikmati oleh investor hanya pada

saat pengumuman.

Efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara keputusan merupakan pengembangan

dari efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi dengan menganalisis

kecanggihan investor. Investor yang canggih dapat membedakan informasi yang bernilai

ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis. Pengumuman dividen meningkat merupakan

pengumuman yang membutuhkan analisis lebih lanjut. Pengumuman dividen meningkat

membutuhkan cost yang tinggi dari emiten. Apabila emiten memang mampu menanggung

cost kenaikan dividen tersebut, maka emiten tersebut memberikan sinyal yang valid

sehingga investor akan bereaksi positif. Sinyal yang valid merupakan informasi yang

bernilai ekonomis. Sebaliknya, apabila emiten tidak dapat menanggung cost kenaikan

dividen tersebut maka sinyal kenaikan dividen tersebut merupakan sinyal yang tidak valid

sehingga investor bereaksi negatif. Pengujian ketepatan reaksi pasar terhadap

pengumuman dividen meningkat yang telah dilakukan oleh Sujoko (1999) dan Setiawan

dan Hartono (2003) menunjukkan investor di BEJ masih naif karena mereka tidak mampu

membedakan informasi yang bernilai ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis.

Pengujian terhadap kandungan informasi dividen merupakan bidang yang menarik

untuk dikaji karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

Penelitian yang dilakukan oleh Gonedes (1978) dan Brooks (1996) menunjukkan

pengumuman dividen tidak mempunyai kandungan informasi, namun penelitian yang

40
dilakukan oleh Petit (1972), Aharony dan Swary (1980), Firth (1994), Benartzi, Michaely

dan Thealer (1997), Mikhail, Walther dan Willis (1999) menunjukkan pengumuman

dividen mempunyai kandungan informasi yang berguna bagi investor untuk mengambil

keputusan investasi. Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga tidak menghasilkan bukti

yang konsisten. Amsari (1993), Soetjipto (1997), dan Raharjo (2000) tidak berhasil

membuktikan kandungan informasi pengumuman dividen, namun Suparmono (2000),

Setiawan dan Hartono (2003) dan Yusnitasari (2003) menunjukkan bahwa pengumuman

dividen mempunyai kandungan informasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sujoko (1999) dan Setiawan dan Hartono (2003)

menguji efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara keputusan periode sebelum krisis

moneter. Penelitian ini mengembangkan pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat

secara keputusan selama krisis moneter. Hal ini penting karena periode krisis moneter

mengakibatkan kinerja perusahaan mengalami penurunan dibandingkan sebelum krisis

moneter (Machfoedz,1999 dan Sulardi,2002) dan ada perbedaan risiko sistematis antara

periode sebelum dan selama krisis moneter (Setiawan,2004). Jika perusahaan memberikan

sinyal pengumuman dividen meningkat, maka investor harus menganalisis lebih lanjut

informasi tersebut. Apakah perusahaan yang memberikan sinyal tersebut mampu

menanggung cost kenaikan dividen atau tidak, karena perusahaan sendiri sedang dilanda

penurunan kinerja (Machfoedz,1999). Penelitian ini juga menguji kandungan informasi

pengumuman dividen konstan dan menurun. Pada saat perusahaan dilanda kemelut akibat

krisis moneter, jika mereka tetap mampu memberikan dividen yang sama dengan periode

sebelumnya berarti manajer yakin bahwa perusahaan akan tetap bertahan. Sinyal

pengumuman dividen konstan pada saat krisis moneter merupakan sinyal yang baik,

sehingga investor akan bereaksi positif. Jika perusahaan mengumumkan penurunan

dividen, maka sinyal yang diberikan adalah sinyal yang buruk. Investor akan bereaksi

41
negatif terhadap pengumuman dividen menurun. Penelitian ini menggunakan beta koreksi

dengan menggunakan metode Fowler dan Rorke (1983) 4 lead dan 4 lag untuk

mengantisipasi perdagangan di BEJ yang tipis (Hartono dan Surianto,2000).

Motivasi penelitian ini adalah: pertama, masih terdapat pertentangan apakah dividen

mempunyai kandungan informasi atau tidak. Penelitian ini mengembangkan pengujian

dividen pada periode krisis moneter dan juga menguji pengumuman dividen meningkat,

tetap dan mnurun. Kedua, peneliti ingin mengetahui apakah investor di BEJ sudah

melakukan keputusan secara benar dalam merespon sinyal yang diberikan pengumuman

kenaikan dividen pada saat krisis moneter.

Tujuan penelitian ini adalah: pertama, memberikan bukti empiris mengenai

kandungan informasi dividen. Kedua, memberikan bukti empiris mengenai kecepatan

reaksi pasar terhadap pengumuman dividen. Ketiga, memberikan bukti empiris mengenai

kecanggihan investor dalam mengolah informasi, sehingga mampu bertindak secara tepat

terhadap pengumuman dividen meningkat yang dikeluarkan perusahaan. Keempat,

memberikan bukti empiris apakah Bursa Efek Jakarta sudah efisien setengah kuat secara

keputusan atau belum.

Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis

Dividend signalling theory merupakan teori yang menyatakan bahwa pengumuman

dividen merupakan sinyal yang diberikan oleh manajer mengenai keyakinan mereka

tentang perkembangan perusahaan di masa depan (Miller dan Rorke,1985). Manajer

sebagai pihak dalam tentu mempunyai akses yang lebih baik mengenai kemampuan

perusahaan dan mereka dapat menyampaikan keyakinannya mengenai perkembangan

perusahaan kepada investor melalui pengumuman dividen. Gelb (1994) membuktikan

bahwa dividen merupakan suatu sinyal yang baik untuk menyampaikan maksud

42
perusahaan kepada investor. Pengumuman dividen dapat digunakan investor untuk

memperkecil asimetri informasi dengan manajer, sehingga pengumuman dividen

merupakan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan. Oleh karena itu,

pengumuman dividen mempunyai kandungan informasi yang berguna.

Penelitian tentang dividen telah banyak dilakukan dengan hasil yang tidak konsisten,

beberapa peneliti tidak berhasil membuktikan kandungan informasi dividen

(Gonedes,1978 dan Brooks,1996) sedangkan peneliti lain berhasil menemukan kandungan

informasi dividen (Petit,1972; Aharony dan Swary,1980; Bajaj dan Vijh,1995; Benartzi,

Michaely dan Thealer,1997; Mikhail, Walther dan Willis,1999). Gonedes (1978)

melakukan pengujian kandungan informasi dividen terhadap 258 pengumuman dividen

selama periode 1952-1972 di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada

abnormal return yang signifikan saat pengumuman dividen. Pengumuman dividen bukan

merupakan informasi yang digunakan oleh investor untuk mengambil keputusan. Brooks

(1996) menguji pengaruh pengumuman dividen terhadap asimetri informasi antara

manajer dan investor. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan informasi

asimetri pada periode sebelum pengumuman dan setelah pengumuman dividen. Hasil

penelitian Gonedes (1978) dan Brooks (1996) menunjukkan bahwa pengumuman dividen

tidak mempunyai kandungan informasi bagi investor.

Petit (1972) justru menunjukkan bahwa pengumuman dividen direaksi oleh

investor. Petit (1972) menguji pengumuman dividen pada periode 1964 sampai dengan

1968 dengan menggunakan return bulanan. Reaksi investor terlihat pada saat bulan

pengumuman dividen. Investor menggunakan pengumuman dividen untuk pengambilan

keputusan investasi. Aharoni dan Swary (1980) mengkonfirmasi penelitian Petit (1972)

dengan menunjukkan bahwa pengumuman dividen pada periode 1963-1976

mengakibatkan investor bereaksi pada saat pengumuman dividen dan sehari sebelumnya.

43
Reaksi investor terhadap pengumuman dividen menurun lebih kuat daripada pengumuman

dividen meningkat.

Bajaj dan Vijh (1995) meneliti tentang return pasar dan perilaku perdagangan

selama periode pengumuman dividen dengan menggunakan harga penutupan harian dan

harga transaksi. Penelitian dilakukan pada 67.592 sampel yang diambil dari bulan Juli

1962 sampai Juni 1987. Penelitian tersebut dapat menunjukkan adanya hubungan yang

positif antara excess return, volatilitas harga dan volume perdagangan. Perilaku harga

ternyata dipengaruhi oleh penyerapan informasi dividen. Penelitian tersebut mendukung

penelitian sebelumnya bahwa dividen mempunyai kandungan informasi.

Benartzi, Michaely dan Thealer (1997) melakukan pengujian dengan menggunakan

metode buy-and-hold strategy terhadap data harian, untuk menguji reaksi jangka pendek,

dan data bulanan untuk menguji reaksi jangka panjang. Sampel yang diteliti terdiri dari

255 pengumuman dividen menurun dan 4249 pengumuman dividen meningkat selama

periode 1979-1991. Hasilnya menunjukkan untuk jangka pendek yaitu 3 hari sekitar

pengumuman terdapat reaksi pasar yang signifikan. Sedangkan untuk jangka panjang

menunjukkan ada excess return signifikan yang terjadi setahun setelah pengumuman

dividen. Jadi, perusahaan yang menaikkan (menurunkan) pembagian dividen, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang, mengalami excess return yang meningkat

(menurun). Benartzi, Michaely dan Thealer (1997) juga menunjukkan investor akan

bereaksi lebih kuat terhadap pengumuman dividen menurun (-2,11%) dibandingkan

pengumuman dividen meningkat (0,81%).

Mikhail, Walther dan Willis (1999) menguji reaksi pasar terhadap perubahan

dividen selama periode 1980-1997. Sampel penelitian sebanyak 5.838 sampel yang terdiri

dari 4858 pengumuman dividen meningkat dan 980 pengumuman dividen menurun. Hasil

penelitian mereka menunjukkan bahwa pasar bereaksi positif 0,73% terhadap

44
pengumuman dividen meningkat dan bereaksi negatif 1,19% untuk pengumuman dividen

menurun. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi lebih kuat terhadap bad news

daripada good news. Penelitian ini juga membuktikan Cumulative Abnormal Return

berhubungan positif dan signifikan terhadap besarnya perubahan dividen. Secara umum

Mikhail, Walther dan Willis (1999) berhasil membuktikan kandungan informasi

pengumuman dividen. Investor menggunakan informasi pengumuman dividen sebagai

dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi.

Kandungan informasi pengumuman dividen juga dapat dilihat pada transfer

informasi pengumuman dividen pada perusahaan lain. Firth (1994) menunjukkan bahwa

pengumuman dividen (perusahaan reporter) berakibat pada pergerakan harga pada

perusahaan yang tergolong pada industri yang sama (perusahaan nonreporter). Yusnitasari

(2003) melakukan penelitian untuk menguji secara empiris transfer informasi intra industri

di sekitar pengumuman dividen di Bursa Efek Jakarta. Penelitian tersebut dilakukan pada

pengumuman penurunan dividen dan pengumuman kenaikan dividen selama tahun 1994

sampai 1996. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengumuman perubahan dividen

mempunyai nilai informasional bagi perusahaan lain yang termasuk pada jenis industri

yang sama dengan perusahaan yang mengumumkan dividen. Penelitian tersebut

mendukung adanya kandungan informasi pada pengumuman dividen. Hasil penelitian

Yusnitasari (2003) mengkonfirmasi Firth (1994).

Wilopo (2003) melakukan penelitian terhadap transfer informasi pengumuman

dividen di Bursa Efek ASEAN, yaitu: Kuala Lumpur Stock Exchange, Singapore Stock

Exchange dan Jakarta Stock Exchange. Sampel penelitian adalah perusahaan yang

mengumumkan perubahan dividen pada tahun 1993 sampai dengan 1996. Hasil penelitian

adalah pada saat suatu perusahaan mengumumkan dividen meningkat, maka pemegang

saham perusahaan yang mengumumkan atau perusahaan lain pada industri yang sama

45
memperoleh hasil abnormal return yang positif. Sebaliknya pada pengumuman dividen

menurun, pemegang saham perusahaan yang mengumumkan atau perusahaan lain pada

industri yang sama akan mengalami abnormal return negatif. Penelitian tersebut berhasil

membuktikan adanya kandungan informasi pada pengumuman dividen.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga tidak menghasilkan bukti yang

konsisten. Amsari (1993), Soetjipto (1997), Raharjo (2000) tidak berhasil membuktikan

kandungan informasi pengumuman dividen, namun Suparmono (2000), Setiawan dan

Hartono (2003). Amsari (1993) melakukan penelitian terhadap 57 perusahaan yang

mengumumkan dividen di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1990 sampai 1992. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pengumuman dividen tidak berpengaruh pada harga saham

di Bursa Efek Jakarta. Penelitian tersebut tidak berhasil menemukan bukti bahwa

pengumuman dividen mempunyai kandungan informasi bagi investor.

Soetjipto (1997) menguji tentang pengaruh pengumuman dividen terhadap return

saham di Bursa Efek Jakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut berjumlah

40 yang terbagi menjadi 12 pengumuman dividen meningkat, 9 pengumuman dividen

tetap dan 19 pengumuman dividen menurun. Hasil penelitian tersebut tidak dapat

membuktikan adanya kandungan informasi dividen. Hal itu berarti pengumuman dividen

tidak mengandung informasi yang berarti bagi investor.

Raharjo (2000) melakukan penelitian di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan

84 sampel perusahaan yang membayar dividen meningkat dan menurun. Hasil penelitian

tersebut adalah pengumuman dividen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

return saham di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1994. Perubahan pembayaran dividen

tidak memiliki pengaruh terhadap return saham selama tahun 1994. Hasil penelitian

Amsari (1993), Soetjipto (1997) dan Raharjo (2000) menunjukkan investor tidak

menggunakan informasi pengumuman dividen untuk mengambil keputusan investasi.

46
Penelitian yang dilakukan oleh Suparmono (2000) menguji pengumuman dividen

yang terjadi selama periode 1991-1998. Sampel penelitian terdiri dari 182 perusahaan

yang mengumumkan pengumuman dividen meningkat dan 158 perusahaan yang

mengumumkan pembayaran dividen menurun. Temuannya menunjukkan ada reaksi pasar

yang signifikan pada t-5 dan t-0 untuk dividen meningkat dan pada t-0 untuk dividen

menurun. Penelitian terhadap cumulative abnormal return menunjukkan bahwa pada

pengumuman dividen meningkat ternyata pasar bereaksi lambat, sehingga investor dapat

menikmati abnormal return positif selama 7 hari (t-5 sampai dengan t+1). Sedangkan

untuk pengumuman dividen menurun ternyata investor bereaksi dengan cepat, sehingga

mereka hanya mengalami kerugian pada jangka pendek saja yaitu saat pengumuman,

sedangkan periode yang lebih panjang (7 hari) ternyata investor tidak mengalami

penurunan abnormal return. Perbandingan reaksi pasar terhadap bad news dan good news

juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi lebih kuat terhadap bad news daripada good

news.

Setiawan dan Hartono (2003) melakukan pengujian terhadap pengumuman dividen

meningkat periode 1992-1996. Sampel penelitian terdiri dari 132 perusahaan. Hasilnya

menunjukkan bahwa pasar bereaksi terhadap pengumuman dividen meningkat pada saat

pengumuman. Hasil penelitian Setiawan dan Hartono (2003) mengkonfirmasi Suparmono

(2000) yang membuktikan bahwa pengumuman dividen mempunyai kandungan informasi

yang berguna bagi investor.

Penelitian sebelumnya mengenai kandungan informasi dividen di Indonesia

dilakukan pada saat periode sebelum krisis moneter. Oleh karena itu peneliti mencoba

menguji kandungan informasi dividen pada saat krisis moneter melanda Indonesia. Krisis

moneter mengakibatkan perusahaan mengalami penurunan kinerja dibandingkan periode

sebelum krisis moneter (Machfoedz,1999 dan Sulardi,2002). Penurunan kinerja

47
mengakibatkan perusahaan mengalami tekanan untuk memberikan dividen kepada

investor. Perusahaan akan menanggung cost yang lebih berat pada saat memberikan

dividen. Oleh karena itu, perusahaan yang memberikan dividen meningkat berusaha

meyakinkan investor bahwa mereka masih sanggup berkembang pada saat krisis moneter.

Kabar seperti ini jelas merupakan kabar yang baik bagi investor. Dividend signalling

theory juga memberikan argumentasi perusahaan yang memotong dividen pada saat krisis

moneter menunjukkan bahwa manajer memandang perusahaan akan mengalami tekanan

yang kuat karena krisis moneter, sehingga mereka akan mengakomodasikan dananya

untuk menghadapi kemelut karena krisis moneter. Penelitian ini juga mencoba menguji

pengumuman dividen konstan. Pengumuman dividen yang konstan merupakan sinyal dari

manajer bahwa mereka yakin perusahaan akan mampu mempertahankan laju

perkembangannya. Pada saat krisis moneter berita bahwa perusahaan mampu

mempertahankan kinerjanya, sedangkan sebagian besar perusahaan cenderung mengalami

penurunan, merupakan berita yang baik bagi investor. Secara ringkas berdasarkan

dividend signalling theory pengumuman dividen yang meningkat dan konstan merupakan

kabar baik, sehingga investor akan bereaksi positif. Sedangkan pengumuman dividen

menurun merupakan kabar buruk, sehingga investor bereaksi negatif.

48
MATERI VI
AKUNTANSI LINGKUNGAN

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan peranan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan

dari perpektif akuntansi

Bahan Ajar

1. PERSEPSI AUDITOR, AKUNTAN PENDIDIK DAN AKUNTAN MANAJEMEN

TENTANG KONSEP DASAR, PENGUKURAN DAN PENGUNGKAPAN

AKUNTANSI LINGKUNGAN, Lili Sugeng Wiyantoro, Agus Solikhan Yulianto,

Munawar Muchlis, Dadan Ramdhani (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).

2. CARBONACCOUNTING: IMPLIKASI STRATEGIS PEREKAYASAAN

AKUNTANSI MANAJEMEN, Muhammad Jafar S. Dan Lisa Kartikasari, Universitas

Islam Sultan Agung

Sintesis Jurnal dan Artikel

Tindakan internasional terhadap permasalahan lingkungan sudah mempengaruhi

perusahaan untuk mempertimbangkan pembentukan dan pemasaran suatu produk dari

sudut pandang yang berbasiskan lingkungan (Gamble dkk, 1996). Keputusan ini meliputi

49
pemilihan bahan dan produk yang ramah lingkungan, penelitian menunjukkan bahwa

konsumen lebih senang apabila produknya ramah lingkungan dan menghindari produk

yang mengakibatkan permasalahan lingkungan (Post dan Altman, 1994; Zhang, Kuo dan

Lu, 1997). Menanggapi hal ini, peraturan lingkungan seharusnya diperluas untuk

membahas program lingkungan dan biaya lingkungan yang dapat menciptakan sebuah

perubahan permanen yang sesuai dengan operasional perusahaan terhadap lingkungan

(Gamble dkk, 1996). Identifikasi atas biaya lingkungan untuk meningkatkan keakuratan

biaya produk dan mendukung perusahaan dalam mendesain produk yang lebih ramah

lingkungan (USEPA, 1995b). Dengan demikian peranan akuntansi lingkungan sangat

penting sekali harus dipahami oleh manajemen perusahaan yang berawal dari pelaksanaan

dan perkembangan praktek akuntansi manajemen belakangan ini.

Bartolomeo, Bennet dan Bouma (2000) berargumentasi bahwa akuntansi

manajemen membicarakan tentang permasalahan lingkungan secara efektif, informasi

yang berkaitan dengan keuangan dan non keuangan sebaiknya ditelusuri dan dianalisa.

Bartolomeo dkk (2000) mengindikasikan bahwa perhatian atas lingkungan saat ini sudah

mulai berkembang dalam mekanisme yang lebih baik untuk merencanakan dan

mengendalikan biaya keuangan yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan dan

manfaatnya sebagai masukan pada akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan, akan

tetapi akuntansi lingkungan sampai saat ini belum mampu mencapai kemajuan yang cukup

berarti dan belum mampu menuju pada standardisasi internasional pelaporan akuntansi

lingkungan yang baku.

Berbagai pernyataan di atas memotivasi peneliti untuk memberikan sumbangan

kerangka berpikir yang sangat bermanfaat untuk meninjau kembali pemahaman dan

implementasi akuntansi lingkungan. Penelitian ini melihat beberapa persepsi dari sudut

pandang auditor, akuntan pendidik (dosen) dan akuntan manajemen mengenai konsep

50
dasar, pengukuran dan pengungkapan akuntansi lingkungan yang diharapkan dapat

memberikan perumusan dalam penetapan standarisasi akuntansi lingkungan di Indonesia.

Akan tetapi penelitian-penelitian mengenai akuntansi lingkungan belum mencoba untuk

menjelaskan secara empiris mengenai pemahaman konsep dasar, pengukuran dan

pengungkapan akuntansi lingkungan tersebut yang ada di Indonesia. Oleh karena itu

penelitian ini diarahkan untuk menggali permasalahan tersebut dan diharapkan akan

memberikan manfaat bagi profesi akuntansi untuk merumuskan pedoman standarisasi

akuntansi lingkungan di Indonesia.

Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Perusahaan merupakan bagian dari sistem sosial yang terbentuk dari proses yang

panjang. Perusahaan merupakan subsistem dari masyarakat dimana permasalahan yang

ada di masyarakat juga merupakan masalah perusahaan, karenanya perusahaan memiliki

kewajiban atas apa yang terjadi di masyarakat. Manajer dianggap memiliki tanggungjawab

untuk melaksanakan hal itu, karena perusahaan dalam operasionalnya menggunakan dana

dari investor (stockholder) dan juga menggunakan sumber dana dari masyarakat serta

menggunakan sumber-sumber alam yang juga merupakan milik masyarakat sehingga

wajar jika masyarakat mempunyai harapan terhadap perusahaan (Hasibuan, 2001). Gray

dkk (1996) dalam Hasibuan (2001) menyatakan bahwa perusahaan dalam memenuhi

informasi yang dibutuhkan masyarakat, khususnya stakeholders harus dapat menilai

substantive environment yang terdiri dari:

1. Primary level

Terdapat interaksi antara perusahaan dengan lingkungan, pemegang saham, pemerintah

daerah, konsumen, karyawan dimana mereka berhak mendapatkan informasi

pertanggungjawaban.

51
2. Secondary level

Menggambarkan interaksi sosial perusahaan yang lebih luas yaitu pengguna infrastruktur,

pengaruh estetika, kesehatan karyawan, advertensi sampah sisa, teknologi dan sumber-

sumber serta social opportunity cost.

3. Tertiary level

Menggambarkan interaksi dalam sistem organisasional yang lebih komplek seperti moral,

pendidikan, budaya, dan estetika.

Vasin, Heyn dan Company (2001) mendefinisikan tanggungjawab sosial

perusahaan sebagai penekanan komitmen suatu organisasi untuk bertindak secara

ekonomis dan mempertimbangkan lingkungan yang sustainable dan kepentingan

stakeholders secara langsung. Vasin, Heyn & Company (2001) menyatakan alasan

perusahaan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial sebagai berikut:

1. Pertimbangan persepsi

Kondisi pertama digolongkan sebagai alasan persepsi oleh Vasin, Heyn & Company

(2001) meliputi pengertian bahwa mitra bisnis, supplier dan konsumen melakukan bisnis

dengan perusahaan yang mempunyai reputasi baik.

2. Pertimbangan Bisnis

Strategi pemasaran yang memperhatikan lingkungan dapat menciptakan pasar baru dan

memperkuat penguasaan pasar perusahaan. Kondisi ini dapat meningkatkan reputasi

dalam pandangan pemerintah dan konsumen karena reputasi yang baik, memerlukan

adanya kepercayaan.

3. Pertimbangan Altruistik

52
Perusahaan mempunyai suatu kewajiban untuk berbagi kesuksesan dengan masyarakat

karena kesuksesan perusahaan terjadi karena adanya keterlibatan masyarakat dan juga

lingkungan. Prinsip-prinsip tanggungjawab sosial perusahaan menurut Ernst dan Ernst

(1976) dalam Gray, Kouhy, dan Lavers (1995) terdiri dari lingkungan, energi, praktik

bisnis yang fair, sumberdaya manusia, dan produk. Sedangkan Carrol (1996) membagi

tanggungjawab sosial ke dalam beberapa prinsip yaitu energi dan sumberdaya mineral,

manajemen sumberdaya manusia, perlindungan terhadap lingkungan, serta perlindungan

terhadap konsumen.

Konsep Dasar Akuntansi Lingkungan

Akuntansi lingkungan secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua pokok

bahasan yaitu aspek makro dan mikro. Pada aspek mikro, akuntansi lingkungan dipahami

sebagai pengakuan dan integrasi dampak isu-isu lingkungan pada sistem akuntansi suatu

perusahaan (Rusmana, 2001). Sedangkan Seidler dan Seidler dalam Rusmana (2001)

menyatakan, akuntansi lingkungan dipandang sebagai bagian dari akuntansi sosial karena

ada beberapa konsekuensi hukum atau ekonomi terkait dengan kegiatan perusahaan.

Demikian juga dengan konsep-konsep yang dikembangkan dalam tataran masyarakat

makro.

USEPA (1995b) membedakan akuntansi lingkungan menjadi tiga tipe menurut

konteks yang berbeda, yaitu akuntansi pendapatan nasional (national income accounting),

akuntansi keuangan (financial accounting), dan akuntansi manajemen (management

accounting). Brady dkk (1999) mengatakan bahwa masih ada peluang bersaing bagi

perusahaan yang menekankan perhatiannya terhadap biaya lingkungan, pengurangan

resiko, inovasi, efisiensi, dan tekanan peraturan. Terlebih lagi, USEPA (1995b) mencatat

bahwa atribut lingkungan dari suatu produk biasanya ada dalam tahapan desain yang

53
sudah paten, biaya lingkungan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan melakukan

perubahan operasional, investasi dalam teknologi yang lebih mementingkan lingkungan

hidup, dan mendesain ulang suatu produk.

Pengukuran Akuntansi Lingkungan

Pembicaraan mengenai akuntansi lingkungan, tidak bisa dilepaskan dari

pembahasan mengenai biaya lingkungan (environmental cost) Rusmana (2003). Biaya

lingkungan, menurut EPA (1995) dalam Rusmana (2003), paling tidak harus mencakup

dua dimensi utama, yaitu pertama, biaya-biaya yang secara langsung mempunyai

pengaruh kepada laba bersih suatu perusahaan (biaya privat), kedua biaya-biaya bagi

individu, masyarakat, dan lingkungan dengan mana perusahaan tidak bertanggung jawab

dan tidak dapat menghitung biaya-biaya ini. Pengukuran atas biaya lingkungan yang

bersifat eksternalities mungkin akan lebih sederhana jika hanya dibatasi pada biaya yang

melekat pada kuantitas material buang berdasarkan suatu tabel indeks atas tiap-tiap jenis

material yang diukur dari tingkat bahaya (McCright dan Riley, 2008). Limbah padat

seperti kertas, plastik dan lainnya mungkin lebih mudah untuk ditangani dibanding dengan

limbah cair dan emisi gas buang yang dengan kandungan material kimia yang berbahaya.

Pengukuran biaya ekskternalitas atas material-material berbahaya tersebut dibatasi hanya

pada kuantitas material buangan dan kandungan untuk masing-masing bahan kimia untuk

setiap kubik material buangan. Selanjutnya biaya lingkungan yang bersifat eksternalities

ditetapkan sebesar kuantitas kandungan kimia berbahaya dikalikan dengan indeks nilai

rupiah untuk estiap jenis kandungan kimia (Larrinaga dkk, 2002).

Biaya-biaya lingkungan pada beberapa perusahaan dapat dikelompokkan ke dalam

beberapa atau bahkan terdapat dalam semua kelompok biaya dalam akuntansi

54
konvensional. Perusahaan akan lebih sulit dalam mengukur dan menghitung biaya-biaya

lingkungan tertentu. Tingkat kesulitan pengukuran tersebut digambarkan dalam spektrum

biaya lingkungan dimulai dari conventional costs, potentially hidden cost, contingent cost,

relationship costs, and societal costs (EPA, 1995).

Konsep pengukuran biaya lingkungan memerlukan dukungan suatu mekanisme

pasar untuk menentukan unit moneter atas material buangan dari suatu proses produksi.

Konsep yang ditawarkan oleh pengukuran kerugian ekonomis dari emisi gas karbon dapat

dijadikan sebagai salah satu acuan pengukuran biaya lingkungan (Ratnatunga, 2007).

Sebuah harga atas emisi gas rumah kaca (GRK) biasanya dinyatakan per metrik ton CO2,

atau dalam kasus untuk beberapa gas, per metrik ton CO2-setara, atau CO2-e. Harga

tersebut dapat dibentuk melalui mekanisme pasar yang berkembang untuk tunjangan emisi

yang dikeluarkan di bawah sistem cap-and-trade (harga penyisihan) atau melalui pajak

emisi yang ditetapkan secara langsung oleh pemerintah (Ratnatunga, 2007).

Pengungkapan Akuntansi Lingkungan

Penetapan tingkatan pengungkapan yang tepat idealnya tergantung pada tingkat

kesejahteraan sosial yang dihasilkan oleh pengungkapan (Hendriksen dan Van Breda,

2002). Jika tidak ada suatu teori etika yang memungkinkan pengukuran kesejahteraan

sosial, para regulator akuntansi berkewajiban untuk mengandalkan kriteria seperti

relevansi dan keandalan (Hendriksen dan Van Breda, 2002:427). Banyak pihak

menyarankan bahwa pengungkapan harus dibuat sebagai tambahan pada neraca dan

laporan rugi laba yang standar. Contoh-contohnya mencakup ramalan hasil keuangan masa

depan, pernyataan akuntansi, serta analisis keuangan per segmen. Sejumlah metode

pengungkapan tersedia bagi manajemen (Hendriksen dan Van Breda, 2002). Patten (2002)

55
mendefinikan Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan

dengan lingkungan di dalam laporan tahunan perusahaan.

MATERI VII
INFORMASI ASYMETRI

Kompetensi Dasar

Mampu melakukan analisa dan menjelaskan informasi yang tersembunyi dan terbuka

Bahan Ajar

PENGARUH ASIMETRI INFORMASI TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA

PADA PERUSAHAAN PERBANKAN PUBLIK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK

JAKARTA, Rahmawati, Yacob Suparno, dan Nurul Qomariyah UNS

Sintesis Jurnal dan Artikel

Teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi

antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai

prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal

dan prospek perusahaandi masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan

stakeholder lainnya. Dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat

56
asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan

kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat

dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.

Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan

kepada pihak-pihak di luar korporasi.Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual

dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan

secara riil, namun disisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan

kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari

aturan Standar AkuntansiKeuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara

sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen

laba atau earnings management.

Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba.

Richardson (1998) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistimatis antara magnitut

asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk

memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas

bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.

Bhattacharya dan Spiegel (1991) dalam Richardson (1998) melakukan penelitian, bahwa

asimetri informasi menyebabkan ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan cost

of capital sebagai pelindung harga investor itu sendiri melawan kerugian potensial dari

perdagangan dengan partisipan pasar yang diinformasikan dengan baik. Lev (1998)

berpendapat bahwa ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk

mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri informasi yang dihadapi partisipan didalam

pasar modal. Bid-asks spreads adalah salah satu ukuran dalam likuiditas pasar yang

digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri informasi

antara manajemen dan pemegang saham perusahaan.

57
Sebagai bukti dari kemampuan bid-asks dalam menangkap informasi seputar

perusahaan ditunjukkan oleh Healy (1995)yaitu seorang yang melaporkan bukti dari

hubungan yang negatif antara bid-ask spread dan kebijakan pengungkapan perusahaan.

Dari uraian diatas, penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali pengaruh asimetri

informasi terhadap praktik manajemen laba. Faktor yang membedakan dengan penelitian

sebelumnya, dimana pada periode yang berbeda tersebut keadaan ekonomi yang terjadi

juga berbeda. Selain itu penelitian ini mengambil sampel pada perusahaan perbankan go

publikyang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Berdasarkan latar belakang masalah diatas,

maka permasalahan yang dihadapi dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakahada

pengaruh positif signifikan antara asimetri informasi dengan manajemen laba?

Didasari oleh penelitian analitis Richardson (1998), penelitian ini bertujuan untuk

memberikan bukti empiris mengenai asimetri informasi dan pengaruhnya terhadap praktik

manajemen laba secara langsung. Secara khusus, penelitian ini menguji apakah ada

pengaruh positif signifikan antara asimetri informasi dengan praktik manajemen laba pada

perusahaan perbankan go public di Indonesia.

Definisi Dan Motivasi Manajemen Laba

Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.

Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan

utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs

(oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari

perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba

memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam

mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang

terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham

58
perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income

smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.

Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper

(1989) dalam Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu

intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk

memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang

netraldari proses tersebut). Menurut Assih dan Gudono (2000) mengartikan manajemen

laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General

Accepted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatanlaba yang

dilaporkan.

Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal

dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu

faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah

bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang

mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa

rekayasa(Setiawati dan Naim, 2000). Manajemen laba merupakan area yang kontroversial

dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa

manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa

manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan.

Investor mungkin tdak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk

mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994) dalam Assih (2004).

Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba

59
Dalam positif accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi

terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:

1. Bonus Plan Hypothesis

Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus

yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings

lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.

2. Debt Covenant Hypothesis

Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih

metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994). Hal ini

untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.

3. Political Cost Hypothesis

Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih

metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang

tinggi pemerintah akansegera mengambil tindakan, misalnya : mengenakan peraturan

antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain. Scott (2000: 302)

mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba :

a. Bonus Purposes

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara

oportunisticuntuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini

(Healy, 1985).

b. Political Motivations

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan

publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan

publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

c. Taxation Motivations

60
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata.

Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

d. PergantianCEO

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk

meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan

memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

e. Initital Public Offering (IPO)

Perusahaan yang akan go publicbelum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer

perusahaan yang akan go publicmelakukan manajemen laba dalam prospectus mereka

dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

f. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor

Informasi mengenai kinerja perusahaanharus disampaikan kepada investor sehingga

pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut

dalam kinerja yang baik.

3. Teknik Manajemen Laba

Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Naim (2000) dapat dilakukan

dengan tiga teknik yaitu:

(1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment(perkiraan) terhadap estimasi

akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi

aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.

(2) Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akunatansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh :

merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode

depresiasi garis lurus.

61
(3) Menggeser periode biaya atau pendapatan.

Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain : mempercepat/menunda

pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi

berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya,

mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva

tetap yang sudah tak dipakai.

4. Kondisi untuk Praktik Manajemen Laba

Trueman dan Titman (1988) berpendapat bahwa hanya manajer yang dapat mengobservasi

laba ekonomi perusahaan untuk setiap perioda. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat

menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh

perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer. Dalam menyiapkan laporan

mungkin manajer dapat memindah, antarperioda, pada saat sebagian laba ekonomi

diketahui sebagai laba akuntansi dalam laporan keuangan. Perpindahan tersebut dapat

dicapai, sebagai contoh, melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur

ekonomis perusahaan, dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer tidak dapat

memindah laba antarperioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan sama

dengan laba ekonomi perusahaan pada setiap perioda. Fleksibilitas untuk menunda laba

antarperioda hanya tersedia bagi beberapa perusahaan, dan hanya manajer yang

mengetahui apakah mereka mempunyai fleksibilitas tersebut atau tidak.

Richardson (1998) menunjukkan bukti hubungan antara ketidakseimbangan informasi

dengan manajemen laba. Hipotesisyang diajukan adalah bahwa tingkat ketidakseimbangan

informasi akan mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer

perusahaan. Hasil penelitian Richardson menunjukkan adanya hubungan yang positif

signifikan antara ukuran ketidakseimbangan informasi (bid-ask spreads dan analyst

forecast dispersion) dan manajemen laba setelah mengendalikan faktor lain yang dapat

62
mempengaruhi manajemen laba, seperti variabilitas aliran kas, ukuran, risiko, dan

pengungkapan keuangan perusahaan.

5. Pola Manajemen Laba

Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dapat dilakukan dengan cara:

a. Taking a Bath

Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan

melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan

laba di masa datang.

b. Income Minimization

Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika

laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil

laba periode sebelumnya.

c. Income Maximization

Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk

melaporkan net incomeyang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan

oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.

d. Income Smoothing

Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat

mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih

menyukai laba yang relatif stabil.

Asimetri Informasi

Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi

atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency

theorymengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dalam hal ini

63
adalah pihak bank-bank komersial/umum dengan pemilik (prinsipal) yaitu Bank

Indonesia.

Jensen dan Meckling (1976) dalam Puput (2001) menambahkan bahwa jika kedua

kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalahorang-orang yang berupaya memaksimalkan

utilitasnya, maka terdapatalasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu

bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan

menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk

membatasi aktivitas agen yang menyimpang. Ada dua tipe asimetri informasi : adverse

selectiondan moral hazard.

1. Adverse selection

Adverse selectionadalah jenis asimetriinformasi dalam mana satu pihak atau lebih yang

melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial

memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selectionterjadi karena beberapa

orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih

mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor

luar.

2. Moral Hazard

Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang

melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha

potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-

transaksi merekasedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena

adanya pemisahan pemilikan dengan pengendaliaan yang merupakan karakteristik

kebanyakan perusahaan besar.

64
MATERI VIII
VALUE RELEVANCE

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan peranan informasi akuntansi dalam hubungannya

dengan reaksi pasar atau harga saham

Bahan Ajar

PENGARUH KEBIJAKAN PEMBAGIAN DIVIDEN, KUALITAS AKRUAL DAN

UKURAN PERUSAHAAN PADA RELEVANSI NILAI DIVIDEN, NILAI BUKU,

DAN LABA, ALEXANDER ANGGONO-Konsultan dan ZAKI BARIDWAN -

Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Sintesis Jurnal dan Artikel

Berbagai model penilaian ekuitas dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok besar,

yaitu: pertama, pengujian model EBO (Edward-Bell-Ohlson) dengan mengekspresikan nilai

perusahaan sebagai fungsi laba dan nilai buku, seperti penelitian Rees (1997) yang menemukan

bahwa investor di Inggris lebih menekankan pada laba daripada nilai buku bila dibandingkan

dengan investor Kanada, hal ini mungkin disebabkan kualitas laba yang lebih tinggi di Inggris.

65
Kelompok kedua, memperluas model EBO dengan memasukkan variabel dividen dan pengeluaran

modal dalam penilaian ekuitas. Kelompok ketiga adalah model yang didasarkan pada konsep nilai

ekonomis (serupa dengan model residual atau laba abnormal). Keempat, merupakan model

pengujian yang menggunakan berbagai pendekatan penilaian, seperti Damodaran (1996) yang

menggunakan empat variabel dasar, yaitu dividend payout, pertumbuhan laba, beta dan profit

margin. Kelima, mengevaluasi logaritma yang digunakan pengadilan pada beberapa kasus hukum

dalam menentukan nilai perusahaan (Abukari et. al., 2000).

Pengujian mengenai daya penjelas (explanatory power) dari berbagai variabel dilakukan

oleh Francis dan Schipper (1999) yang meneliti mengenai: pertama, kemampuan laba untuk

menjelaskan market-adjusted returns yang disebut dengan earning relation; kedua, menguji

kemampuan aset dan kewajiban untuk menjelaskan nilai pasar ekuitas atau yang disebut balance

sheet relation; dan ketiga, menguji kemampuan nilai buku dan laba untuk menjelaskan nilai pasar

ekuitas atau disebut book value & earning relation. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

daya penjelas (explanatory power) laba untuk return secara signifikan menurun sepanjang waktu,

dan sebaliknya pengujian daya penjelas nilai buku aset dan kewajiban (baik secara terpisah atau

dikombinasikan dengan laba) untuk nilai pasar ekuitas tidak terdapat bukti terjadinya penurunan

(Francis dan Schipper, 1999).

Pada beberapa penelitian umumnya mengasumsikan bentuk linear yang nilai ekuitasnya

merupakan fungsi penjumlahan dari laba dan nilai buku, sebaliknya pada model Burgstahler dan

Dichev (1997) mengimplikasikan bahwa nilai ekuitas merupakan fungsi konveks non-penjumlahan

dari laba diharapkan dan nilai buku, yang peran laba dan nilai buku tergantung pada nilai

relatifnya. Pada saat perusahaan memiliki laba relatif lebih rendah dari nilai buku, maka nilai buku

lebih relevan. Sedangkan saat laba lebih tinggi daripada nilai buku, maka laba lebih relevan untuk

penilaian (Burgstahler dan Dichev, 1997). Menurut Abukari (2000), investor di Inggris (UK) lebih

memberikan tekanan pada laba dan tidak terlalu menekankan pada nilai buku, bila dibandingkan

dengan investor Kanada, dan ini mengindikasikan kualitas laba yang lebih tinggi pada perusahaan

di Inggris. Sedangkan pada perusahaan di Amerika, Abukari menyatakan bahwa relevansi nilai

66
book value lebih tinggi daripada laba, khususnya pada sektor transportasi dan real estate, namun

tidak terlalu penting pada sektor industrial products dan komunikasi/media.

Penelitian lainnya menggunakan dividen untuk menggantikan laba dalam regresi harga

terhadap nilai buku dan laba. Hal ini didasarkan pada dua argumen, yaitu: pertama, dividen

memiliki kandungan informasi dalam arti bahwa dividen memberikan informasi mengenai laba

permanen perusahaan, karena itu dividen dipandang sebagai surogasi untuk laba permanen.

Kedua, model penilaian akuntansi dapat diperoleh dari nilai buku dan dividen, sehingga

pentingnya konteks dalam penilaian relevansi nilai, apakah nilai buku, laba atau dividen yang

merupakan pemberi sinyal yang penting dalam penilaian tergantung pada karakteristik perusahaan

secara keseluruhan dan kinerjanya (Brief dan Zarowin, 1999).

Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengujian kembali terhadap penelitian yang

dilakukan oleh Brief dan Zarowin (1999) yang membandingkan relevansi nilai dividen dan nilai

buku, dengan laba dan nilai buku, dan mencoba untuk mengungkap pengaruh beberapa kondisi

yang mungkin berpengaruh pada relevansi nilai tersebut. Sebagaimana yang dilakukan pada

penelitian Brief dan Zarowin, maupun Francis dan Schipper (1999), penelitian ini berfokus pada

relevansi informasi laporan keuangan bagi investor untuk tujuan penilaian, dan relevansi nilai ini

secara operasional diukur berdasarkan daya penjelas (explanatory power) informasi akuntansi

untuk menjelaskan nilai pasar, yang diukur dengan nilai adjusted R2. Informasi akuntansi yang

digunakan dalam menjelaskan nilai pasar ekuitas ini meliputi nilai laba, dividen dan nilai buku.

Perbedaan dari penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Brief dan Zarowin

(1999) terletak pada: pertama, setelah dilakukan pengujian pada relevansi nilai dividen, nilai buku

dan laba (earning), kualitas akrual digunakan sebagai variabel kontrol, karena menurut Dechow

dan Dichev (2001) merupakan faktor yang berhubungan negatif dengan persistensi earning

sehingga diharapkan akan memberikan pengaruh pada relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba

(earning) tersebut. Kontrol pada akuntansi akrual ini pada penelitian Brief dan Zarowin tidak

dilakukan sehingga tidak dapat diketahui secara pasti pengaruh akuntansi akrual tersebut pada

67
daya penjelas laba dibandingkan dividen. Selain itu dilakukan kontrol juga pada ukuran

perusahaan yang diproksikan dengan total aset.

Permasalahan penelitian ini mengenai relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba yang

mencakup: pertama, bagaimana relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba dalam menjelaskan

nilai pasar perusahaan?; kedua, bagaimana relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba dalam pada

perusahaan yang memiliki laba negatif?; ketiga, apakah besarnya akrual, yang merupakan salah

satu komponen dari laba, akan mempengaruhi relevansi nilai dividen, nilai buku dan laba?; dan

yang terakhir adalah apakah ukuran perusahaan akan mempengaruhi relevansi nilai dividen, nilai

buku dan laba?

2. TINJAUAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Pengertian Relevansi Nilai

Menurut Francis dan Schipper (1999) terdapat empat kemungkinan intepretasi konstruk

relevansi nilai: Intepretasi pertama, adalah informasi laporan keuangan mempengaruhi harga

saham karena mengandung nilai intrinsik saham sehingga berpengaruh pada harga saham.

Intepretasi kedua, informasi keuangan merupakan nilai yang relevan bila mengandung variabel

yang dapat digunakan dalam model penilaian atau membantu dalam memprediksi variable.

Intepretasi relevansi nilai yang ketiga dan keempat ditunjukkan oleh hubungan statistik

antara informasi keuangan dengan harga atau return. Menurut intepretasi ketiga, relevansi nilai

diukur dengan berita dari informasi yang bernilai relevan sehingga menyebabkan perubahan

harga saham karena dengan adanya informasi tersebut menyebabkan investor merevisi

ekspektasinya. Sedangkan menurut intepretasi keempat, relevansi nilai diukur dengan

kemampuan informasi laporan keuangan untuk menangkap atau meringkas berbagai macam

informasi yang mempengaruhi nilai saham. Pada penelitian ini intepretasi relevansi nilai yang

digunakan adalah intepretasi keempat.

2.2 Penelitian Sebelumnya dan Pengembangan Hipotesis

68
2.2.1 Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen

Model penilaian berdasar laba dan nilai buku, dipandang sebagai pendekatan alternatif

untuk penilaian. Pada model teoretis yang mengasumsikan pasar yang lengkap dan sempurna,

nilai buku dan laba merupakan alternatif penilaian yang berlebihan (redundant) (Burgstahler dan

Dichev, 1997), karena menurut White (1997) pada pasar sempurna, model yang didasarkan pada

aset, dividen, arus kas dan laba adalah identik. Namun pada seting yang lebih realistis dengan

pasar yang tidak sempurna, sistem akuntansi dapat memberikan informasi mengenai nilai buku dan

laba sebagai komponen nilai ekuitas yang komplementer daripada redundant. Secara umum nilai

perusahaan merupakan fungsi laba dan nilai buku (Burgstahler dan Dichev, 1997).

Hasil penelitian Abukari et. al. melaporkan bahwa model nilai buku dan laba masih

merupakan variabel yang terpenting dalam penilaian ekuitas, namun dividen juga memiliki nilai

informasi atau sinyal yang kredibel, bahkan dividen dinilai lebih tinggi pada perusahaan yang

memiliki asimetri informasi yang tinggi (Abukari et. al., 2000). Brief dan Zarowin (1999) juga

menemukan bahwa dividen ternyata memiliki relevansi nilai sama besarnya dengan laba. Rata-

rata nilai R2 pada regresi sederhana harga terhadap laba, dan harga terhadap dividen, secara

statistik tidak terdapat perbedaan baik untuk rata-rata pengujian per tahun ataupun pengujian

secara keseluruhan (pooled).

Dilain pihak, dividend irrelevance theory menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak

berpengaruh baik pada harga saham perusahaan maupun biaya modalnya, dan nilai perusahaan

ditentukan hanya oleh laba dan risiko bisnisnya, atau tergantung pada income yang diharapkan dari

asetnya (Brigham, et.al., 1999).

Ha-1: Terdapat perbedaan relevansi nilai antara laba, nilai buku dan dividen

2.2.2 Pengaruh Laba Perusahaan Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen

Menurut Brief dan Zarowin (1999), laba negatif memiliki relevansi yang kecil dalam

penilaian. Namun, hasil penelitian Tan (2001) menunjukkan bahwa dengan semakin meningkat

(menurunnya) kemungkinan terjadinya merjer (bangkrut), laba secara signifikan berasosiasi positif

69
dengan nilai pasar ekuitas. Sedangkan hasil penelitian Subramanyam dan Venkatachalam (1998)

menunjukkan bahwa pada perusahaan yang mengalami kerugian, nilai buku memberikan daya

penjelas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laba sebelumnya dan laba saat ini. Sedangkan

pada perusahaan yang mengalami keuntungan, nilai buku tidak memberikan informasi yang lebih

besar dibandingkan laba saat ini dan laba tiga tahun sebelumnya.

Ha-2a: Nilai buku perusahaan dengan laba negatif, memiliki relevansi nilai yang

lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba

positif.

Hasil penelitian Abukari et.al. (2000) menunjukkan bahwa pada perusahaan yang

mengalami kerugian, dividen mampu memberikan sinyal untuk mengkomunikasikan profitabilitas

di masa depan, walaupun memerlukan biaya yang besar (costly),. Hasil ini konsisten dengan

profitability hypothesis yang menyatakan bahwa pengaruh dividen akan lebih tinggi pada

perusahaan yang keuntungannya rendah.

Ha-2b: Relevansi nilai dividen perusahaan dengan laba negatif yang membagikan

dividen, akan lebih tinggi bila dibandingkan perusahaan dengan laba

positif yang membagikan dividen.

2.2.3 Pengaruh Kualitas Akrual Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen

Proses akrual banyak mendapat kritikan karena didasarkan pada kos historis dan karena

laba yang dilaporkan dapat dimanipulasi melalui berbagai pilihan GAAP oleh manajer (Rayburn,

1986). Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Sloan (1996) menyatakan bahwa kinerja laba

saat ini yang mengandung kedua komponen ini akan cenderung tidak persisten jika komponen

akrual lebih utama daripada komponen arus kas.

Bernstein (1993) pada artikel Sloan (1996), mengungkapkan bahwa semakin tinggi arus

kas operasi (cash flow from operations) terhadap laba bersih, berarti semakin tinggi kualitas laba

70
tersebut; dan sebaliknya perusahaan dengan laba bersih yang tinggi namun arusnya kas rendah,

dicurigai menggunakan pengakuan laba atau pengeluaran akrual.

Richardson (2001) mengukur kualitas laba sebagai tingkat persistensi kinerja laba pada

periode selanjutnya, dan perusahaan dengan akrual yang besar akan memiliki persistensi laba yang

lebih rendah sehingga mengalami penurunan kinerja laba pada tahun berikutnya. Sedangkan hasil

penelitian Barth et.al., (1999) mendukung prediksi bahwa akrual dan arus kas memberikan

tambahan informasi dalam memprediksi laba abnormal masa depan dan dalam menjelaskan

ekuitas pasar saat ini, selain itu akrual dan arus kas memiliki relevansi nilai pada semua industri.

Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Penman dan Sougiannis (1995), yang menyatakan

bahwa akuntansi akrual (secara umum) memperlakukan investasi sebagai aset operasi yang tidak

dapat mempengaruhi laba dengan cepat dan ini menunjukkan bahwa akuntansi akrual ini

mengurangi kesalahan dalam penilaian discounted cash flow (DCF), namun karena akrual

ditentukan oleh pihak manajemen sehingga mungkin juga akan mengakibatkan kesalahan lainnya.

Ha-3: Kualitas akrual akan berpengaruh pada relevansi nilai laba.

2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan Pada Relevansi Nilai Laba, Nilai Buku dan Dividen

Penelitian Chen et.al. (1999) menemukan hasil bahwa pada perusahaan besar, variabel

laba tidak terlalu signifikan dibandingkan perusahaan yang lebih kecil. Hal ini tidka konsisten

dengan hipotesis Collin et.al. (1997) pada artikel Chen et.al. (1999), yang menyatakan bahwa nilai

buku akan lebih penting dibandingkan laba akuntansi dalam penilaian perusahaan kecil, karena:

pertama, perusahaan kecil cenderung belum dewasa dan masih memungkinkan mengalami

pertumbuhan di masa datang. Akibatnya, laba menjadi tidak persisten dan tidak dapat menjadi

proksi yang baik untuk laba masa depan, sehingga nilai buku memiliki relevansi yang lebih tinggi

dalam penilaian. Kedua, perusahaan kecil cenderung rentan mengalami kesulitan keuangan,

sehingga investor akan lebih berfokus pada nilai buku ekuitas sebagai proksi abandonment value.

Sedangkan pengujian mengenai pentingnya variabel dividen dilakukan oleh Abukari et.al. (2000)

yang menemukan hasil bahwa sinyal dividen akan lebih kuat pada perusahaan yang lebih besar.

71
Ha-4: Ukuran perusahaan akan berpengaruh pada relevansi nilai laba.

MATERI IX
INFORMATION CONTENT

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan informasi akuntansi merubah perilaku pengguna

dalam pengambilan keputusan

Bahan Ajar

MANFAAT KANDUNGAN INFORMASI AMORTISASI GOODWILL DALAM

LAPORAN KEUANGAN, ANGGARA A. ANINDHITA-Kap Sidharta Sidharta/Kpmg

dan DWI MARTANI

Dosen Departemen Akuntansi FEUI

Sintesis Jurnal dan Artikel

Dalam penggabungan usaha melalui akuisisi, selisih lebih antara biaya

perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aktiva dan kewajiban

yang dapat diidentifikasi (identifiable assets and liabilities) diakui sebagai goodwill.

Goodwill merupakan cerminan atas lebih tingginya kekuatan potensi laba perusahaan

72
yang diakuisisi daripada nilai wajarnya. Dalam prakteknya, goodwill merupakan

cerminan pembayaran premium untuk mendapatkan perusahaan yang diakuisisi.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.22 tentang Akuntansi

Penggabungan Usaha menyatakan bahwa goodwill harus diamortisasi sebagai beban

selama masa manfaatnya. Periode amortisasi goodwill selama 5 tahun dan dapat

diperpanjang sampai dengan 20 tahun dengan alasan yang tepat. Rasionalisasi atas

amortisasi ini adalah bahwa goodwill sebagai asset perusahaan dialokasikan sebagai biaya

sepanjang masa manfaatnya dan nilainya akan berkurang akibat dikonsumsi.

Semakin tinggi prospek perusahaan yang diakuisisi dan semakin besar

keinginan perusahaan pengakuisisi untuk membeli perusahaan yang diakuisisi, akan

semakin besar selisih nilai pembelian dengan nilai wajarnya. Sehingga seringkali

goodwill yang ditimbulkan dari akuisisi bernilai sangat besar. Hal ini dapat sangat

memberatkan perusahaan pengakuisisi karena beban amortisasi goodwill yang besar,

sehingga nilai laba menjadi jauh lebih kecil. Statement of Financial Accounting

Standards (SFAS) No.142 yang dikeluarkan Financial Accounting Standards Board

(FASB) mengenai Goodwill and Other Intangible Assets tidak mewajibkan perusahaan

pengakuisisi untuk mengamortisasi goodwill. Standar tersebut merupakan revisi atas

kebijakan FASB sebelumnya yang mewajibkan perusahaan pengakuisisi

mengamortisasi goodwill dengan periode maksimal 40 tahun. FASB menganjurkan

untuk mengevaluasi nilai goodwill terhadap kemungkinan penurunan nilai

(impairment) dan menghapus nilai goodwill sebesar penurunannya ketika penurunan nilai

tersebut terjadi. Penurunan nilai terjadi ketika nilai buku goodwill melebihi nilai

wajarnya. Goodwill yang tidak diamortisasi dihubungkan dengan pengujian penurunan

nilai berbasis nilai wajar (fair value-based impairment test) akan lebih memenuhi

keandalan laporan keuangan dalam hal penyajian yang jujur (representational

73
faithfulness) dan mengandung informasi keuangan yang berguna bagi pengambilan

keputusan.

Perubahan terhadap SFAS No.142 dilatarbelakangi oleh pendapat yang

menyatakan bahwa umur ekonomis goodwill tidak dapat diprediksi secara andal dan

pola penurunan nilainya juga tidak dapat ditentukan secara pasti. Pola penurunan

nilai goodwill suatu perusahaan belum tentu mengikuti pola garis lurus. Selain itu,

pola penurunan nilai goodwill pada masing-masing perusahaan berbeda-beda

tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap goodwill, seperti

kinerja perusahaan. Hal ini menyebabkan pengungkapan amortisasi goodwill secara

merata setiap periodenya gagal memenuhi karakteristik kualitatif representational

faithfulness. Selain itu banyak juga terdapat kasus beban amortisasi goodwill yang

mempunyai pengaruh signifikan terhadap laba. First Call Corp., sebuah perusahaan

analis prediksi laba di Amerika Serikat mengadakan penelitian yang hasilnya

mendukung adanya pengaruh unsure signifikan amortisasi goodwill terhadap laba.

First Call membantu perusahaan untuk menghitung dan melaporkan laba per saham

sebelum amortisasi goodwill.

Contohnya, MindSpring Enterprises melaporkan rugi bersih per saham

sebesar US$0.93, namun memiliki laba per saham sebelum amortisasi goodwill

sebesar US$0.94 (Moehrle and Wallace, 2001). Moehrle dan Wallace (1999)

menyimpulkan bahwa laba, baik laba akrual maupun laba kas, menjelaskan

pengembalian saham lebih baik daripada arus kas. Sedangkan dalam penelitian

selanjutnya, Moehrle dan Wallace (2001) menemukan bahwa 2 ukuran laba akrual,

yaitu laba sebelum amortisasi goodwill dan pos luar biasa serta laba setelah

amortisasi goodwill dan sebelum pos luar biasa, lebih dapat menjelaskan return

daripada arus kas; sementara kedua ukuran laba akrual tadi memiliki kandungan

74
informasi yang relatif sama. Laba akrual merupakan laba yang terdiri dari unsur-unsur

akrual/non-kas, seperti depresiasi dan amortisasi. Laba kas merupakan laba yang

mengeluarkan unsur-unsur akrual/non-kas, yaitu laba sebelum depresiasi dan

amortisasi. Sedangkan arus kas adalah jumlah kas yang sebenarnya dihasilkan

perusahaan melalui kegiatan operasi, pendanaan, dan investasi. Ukuran arus kas

yang relevan dengan ukuran laba adalah arus kas operasional karena terdiri dari unsur-

unsur pembentuk laba bersih.

Penelitian ini merupakan replikasi penelitian yang dilakukan oleh Moehrle

dan Wallace (2001), yaitu menguji manfaat kandungan informasi yang terdapat

dalam amortisasi goodwill, untuk kondisi yang berlaku Indonesia. Namun penelitian

ini memodifikasi model penelitian yang digunakan Moehrle dan Wallace.

PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian mengenai kandungan informasi yang terdapat dalam amortisasi

goodwill dilakukan oleh Moehrle dan Wallace (1999). Moehrle dan Wallace

menyimpulkan bahwa kandungan informasi laba setelah amortisasi sebelum pos luar

biasa tidak berbeda jauh dengan laba sebelum amortisasi dan pos luar biasa.

Selanjutnya, kedua laba tersebut lebih informatif daripada arus kas operasi. Hasil

penelitian ini mendukung proposal FASB yang ketika itu diajukan mengenai

dihapusnya ketentuan untuk mengamortisasi goodwill.

Vincent (1997) menemukan bahwa investor menyesuaikan angka akuntansi

terhadap perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode purchase dan pooling of-

interest sehingga dapat saling diperbandingkan. Lindenberg & Ross (1999)

menyimpulkan bahwa semakin besar amortisasi goodwill, semakin besar nilai price-

to-earnings sehingga meniadakan efek amortisasi Duvall (1992) menemukan bahwa

75
sejumlah besar perusahaan tidak mengungkapkan amortisasi goodwill, walaupun

nilainya material. Baridwan (1997) menghasilkan kesimpulan bahwa pengungkapan

informasi terhadap arus kas memberikan nilai tambah bagi pemakai.

Sedangkan penelitian mengenai kandungan informasi relatif antara laba

akrual dengan arus kas sudah lebih banyak lagi dilakukan. Ball & Brown (1968);

Beaver & Dukes (1972); Budiarko (1985); Dechow (1994); Biddle (1995) dan

Moehrle & Wallace (1999) mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa korelasi

laba/komponen akrual dengan pengembalian saham lebih kuat daripada dengan

laba/komponen kas. Moehrle & Wallace (1999) menambahkan kesimpulan bahwa

kondisi seperti itu diakibatkan oleh laba negatif.

Rayburn (1986); Wilson (1986 & 1987); Bowen; Burgstahler & Dahley

(1987);

dan Baridwan (1997) menyimpulkan bahwa laba akrual dan arus kas berkorelasi

sama kuatnya dengan pengembalian saham. Beaver, Griffin & Landsman (1982)

menemukan bahwa korelasi arus kas dengan pengembalian saham lebih kuat

daripada laba akrual. Cahyani (1999) menemukan bahwa korelasi laba akrual dan

arus kas dengan pengembalian saham tidak signifikan. Kurniawan (2000)

menambahkan kesimpulan Cahyani (1999) bahwa walaupun tidak signifikan, namun

arah korelasi laba akrual dan arus kas adalah positif. Sedangkan kesimpulan yang

didapat pada penelitian yang dilakukan oleh Triyono (1998) adalah bahwa total arus

kas, arus kas operasi, arus kas investasi, dan arus kas pendanaan tidak berkorelasi

signifikan terhadap harga saham.

Dari hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa

secara umum laba akrual dapat menjelaskan pengembalian saham lebih baik relatif

76
dibandingkan dengan arus kas operasi. Ukuran kinerja yang semakin bergerak

menjauhi laba akrual dan semakin mendekati arus kas, maka ukuran tersebut

semakin kehilangan kekuatan untuk menjelaskan pengembalian saham.

MATERI X
FINANCIAL QUALITY

Kompetensi Dasar

Mampu menganalisis dan menjelaskan informasi akuntansi mempunyai manfaat dalam

pengambilan keputusan

Bahan Ajar

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN DAN

KEPERCAYAAN INVESTOR, Zaenal Fanani, Sri Ningsih, Hamidah, Universitas

Airlangga

Sistesis Jurnal dan Artikel

Pengertian kualitas pelaporan keuangan hingga saat ini masih beragam namun

pada prinsipnya pengertian kualitas pelaporan keuangan dapat dipandang dalam dua sudut

pandang. Pandangan pertama menyatakan bahwa kualitas pelaporan keuangan

berhubungan dengan kinerja keseluruhan perusahaan yang tergambarkan dalam laba

perusahaan. Informasi pelaporan keuangan dikatakan tinggi (berkualitas) jika laba tahun

77
berjalan dapat menjadi indikator yang baik untuk laba perusahaan di masa yang akan

datang (Lev dan Thiagarajan, 1993) atau berasosiasi secara kuat dengan arus kas operasi

di masa yang akan datang (Dechow dan Dichev, 2002). Implikasi dari pandangan tersebut,

menunjukkan bahwa fokus pengukuran kualitas pelaporan keuangan perusahaan tersebut

berkaitan dengan sifat-sifat pelaporan keuangan. Pandangan kedua menyatakan bahwa

kualitas pelaporan keuangan berkaitan dengan kinerja saham perusahaan di pasar modal.

Hubungan yang semakin kuat antara laba dengan imbalan pasar menunjukkan informasi

pelaporan keuangan tersebut semakin tinggi (Lev dan Thiagarajan, 1993).

Penelitian kualitas pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan dua pendekatan

(Cohen, 2003; Francis et al.2004, dan Pagalung, 2006). Pendekatan pertama adalah

penelitian yang berkaitan dengan mengkaji faktor-faktor apa yang menyebabkan pelaporan

keuangan yang dihasilkan berkualitas, dan pendekatan kedua sejauhmana kualitas

pelaporan keuangan direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Pendekatan ini

berkaitan dengan kajian faktor-faktor penentu yang menghasilkan pelaporan keuangan

yang berkualitas. Fokus pendekatan ini berkaitan dengan faktor-faktor internal perusahaan

yang terkait dengan faktor inherenatau faktor intrinsik yang melekat di perusahaan itu

sendiri, yang di berbagai penelitian memberikan istilah dengan faktor spesifik atau

karakteristik perusahaan (firm spesifics or firm characteristics).

Pendekatan kedua berkaitan dengan faktor eksternal yang merupakan respons

pemakai informasi pelaporan keuangan, yaitu sejauhmana informasi pelaporan keuangan

direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Informasi pelaporan keuangan yang

berkualitas dapat meningkatkan kepercayaan investor (Gul et al., 2003; Francis et al.,2004,

2005; dan Fanani, 2006).

Motivasi penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan

pengukuran kualitas pelaporan keuangan perusahaan. Penelitian ini menggunakan

78
pengukuran kualitas pelaporan keuangan dengan menggunakan tujuh atribut kualitas

pelaporan keuangan terdiri atas empat atribut berbasis akuntansi (accounting based

attributes) yang terdiri dari kualitas akrual, persistensi, prediktabilita, perataan laba dan

tiga atribut berbasis pasar (market based attributes) yang terdiri dari relevansi nilai,

ketepatwaktuan, dan konservatisme. Variabel ini dinamakan kualitas pelaporan akuntansi

berbasis akuntansi karena diukur dengan hanya menggunakan informasi akuntansidan

kualitas pelaporan akuntansi berbasis pasar karena proksi untuk bentuk ini didasarkan

pada hubungan antara data pasar dan akuntansi. Diharapkan dengan menggunakan tujuh

atribut tersebut penelitian ini akan lebih memberikan daya penjelas yang lebih lengkap.

Kedua, penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kualitas

pelaporan keuangan perusahaan dengan fokus pada kajian faktor-faktor penentu dan

konsekuensi ekonomiknya secara langsung (direct link). Ketiga, model penelitian yang

membahas kualitas pelaporan keuangan di Indonesia masih terpisah-pisah, belum

menyatu, dan komprehensif. Model komprehensif yang dimaksud adalah model yang

membahas faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangan dan konsekuensi yang

ditimbulkan di pasar modal Indonesia secara bersamaan dalam satu penelitian. Selain itu,

pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang digunakan selama ini di Indonesia lebih

didominasi pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang berbasis pasar, seperti relevansi

nilai (value relevance) (Susanto dan Ekawati, 2006) dan koefisien responsa laba (earnings

response coefficient) (Naimah dan Sidharta, 2006).

Penelitian lain yang sudah menggunakan atribut gabungan, yaitu Pagalung (2006)

yang menggunakan pengukuran kualitas pelaporan keuangan berbasis akuntansi. Atribut

tersebut adalah kualitas akrual, persistensi, prediktabilita, dan perataan laba, sementara

Fanani (2008) menggunakan pengukuran kualitas pelaporan keuangan berbasis pasar saja.

Atribut tersebut adalah relevansi nilai, ketepatwaktuan, dan konservatisme. Keempat,

79
penelitian ini mencoba membuat dan mengkaji atribut kualitas pelaporan keuangan

alternatif, yaitu kualitas pelaporan keuangan faktorial. Masalah penelitian ini terkait

dengan faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangandan kepercayaan investor.

Kontribusi penelitian ini mencakup kontribusi teori dan kontribusi praktis. Secara

rinci kontribusi penelitian ini adalah secara teoritis: Pertama, penelitian ini menemukan

bahwa angka akuntansi diistilahkan dengan relevansi nilai berhubungan secara

signifikan dengan variabel dependen. Temuan penelitian ini dapat memberikan usulan

perbaikan atas spesifikasi model teori valuasi surplus bersih (Feltham dan Ohlsons, 1995;

1999). Kedua, penelitian ini melakukan menggunakan kualitas pelaporan keuanganlebih

dari satu pengukuran berdasarkan teori konfirmatori (Cornel dan Landsman, 2003). Cornel

dan Landsman (2003) menyatakan bahwa tidak ada ukuran tunggal yang hasil

penelitiannya konsisten dalam menggunakan kualitas pelaporan keuangan untuk

memprediksi kinerja perusahaan, oleh karena itu diperlukan pengukuran kualitas

pelaporan keuangan yang bukan tunggal. Ketiga, penelitian ini menyempurnakan teori

kualitas pelaporan keuangan terutama terkait dengan pengukuran dan konsekuensi

ekonomiknya (Cohen, 2003; Francis et al.2004, dan Pagalung, 2006, Fanani, 2008)

dengan membuat dan mengkaji atribut kualitas pelaporan keuangan alternatif. Atribut

kualitas pelaporan keuangan tersebut berupa kajian atribut kualitas pelaporan keuangan

dalam bentuk analisis faktor yang merupakan penggabungan kualitas pelaporan keuangan

berbasis akuntansi dan pasar. Kontribusi praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada manajemen

perusahaan agar membuat pelaporan keuangan yang berkualitas karena diduga akan

mempunyai konsekuensi ekonomik. Kedua, ukuran kualitas pelaporan keuangan yang

dipakai dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada investor dan analis pasar

modal. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi pelaku pasar modal (investor,

80
pialang, dan para analis sekuritas) serta calon investor dimasa yang akan datang, utamanya

dalam menentukan keputusan investasinyaterkait dengan penilaian kualitas pelaporan

keuangan perusahaan-perusahaan yang go publik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketiga,

hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menjadi umpan balik untuk

pembuatan dan evaluasi standar-standar akuntansi untuk institusi pembuat standar

(standard setters) dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan pemilihan kebijakan

dan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi

bagaimana kualitas pelaporan keuangan perusahaan yang go publik di Bursa Efek

Indonesia.

81
MATERI XI
PERILAKU MENTAL DISCOUNTING

Kompetensi Dasar

Mampu memberikan analisis dan penjelasan mengenai manfaat informasi akuntansi dalam

investasi

Bahan Ajar

PERILAKU MENTAL DISCOUNTING ANALIS EFEK DI BURSA EFEK INDONESIA

(BEI), M.F. Arrozi Adhikara - Universitas Esa Unggul, Jakarta

Sintesis Jurnal dan Artikel

Perkembangan bursa efek membawa perubahan pada tuntutan kualitas dan

keterbukaan informasi, terutama informasi akuntansi yang berperan membentuk pasar

modal efisien. Informasi ini sarat dengan topik, substansi, dan pengetahuan yang

digunakan investor, kreditor, analis efek, dan user lainnya dalam pengambilan keputusan

(Hartono, 2008; SFAC No.1, 1978). Analis efek menggunakan informasi akuntansi

untuk analisis, prediksi saham, serta pengambilan keputusan pemilihan saham.

82
Tujuannya untuk rekomendasi saham kepada investor dan pelaku pasar lainnya

(Agung dkk., 2007). Rekomendasi analis efek berdasarkan fundamental menyukai model

yang tidak rumit, mudah dipahami, dan mendasarkan informasi akuntansi (Investor, 2007;

Suad, 1996; Ho & Wong, 2004; Chen & Hsu, 2005). Hal ini ditunjukkan pada kasus

saham Bumi Resources Tbk (BUMI) di BEI. Laporan keuangan BUMI tahun 2008

menunjukkan net profit turun ( 58%) dan laba operasional naik 102 % dari tahun 2007.

Harga wajar BUMI adalah Rp. 4.500/lembar. Analis efek memberi rekomendasi buy

dengan target harga kisaran Rp. 8.400Rp.10.000/lembar. Rekomendasi tersebut dilakukan

karena fundamental-laba operasional naik 102%, sehingga kegiatan utama perusahaan

sangat menguntungkan sebab harga komoditas pertambangan di pasar global tinggi dan

prospektif.

Analis efek tidak menjelekkan saham perusahaan untuk menghindari konflik

kepentingan dan mengantisipasi investor berpindah kepada broker lain. Analis efek

memberi rekomendasi untuk menaikkan harga saham karena pergerakannya likuid

sehingga peluang investor meraih gain sangat tinggi. Rekomendasi analis efek

berdasarkan fundamental mempertimbangkan ketersediaan informasi dan kecanggihan

(sophisticated) pelaku utama pasar (Hartono,2005). Ketersediaan informasi akuntansi

menunjukkan informasi yang dikeluarkan emiten mengenai kinerja perusahaan, prospek,

uncertainty, expected values, corporate action, dan sarana responsibility kepada

stakeholder. Informasi ini merupakan signal dan mengandung informasi yang bersifat

good news atau bad news serta berfungsi sebagai stimulus (Bruns, 1966). Analis efek

yang sophisticated akan menganalisis informasi lebih lanjut untuk menentukan apakah

signal tersebut sahih, dapat dipercaya, serta mampu menghasilkan informasi yang

bernilai ekonomis. Implikasi nilai ekonomis adalah penentuan nilai saham dengan kinerja

83
fundamental yang baik, sehingga dapat digunakan untuk menilai prospek perusahaan

(Scott, 2009).

Isu utama studi ini mengkaji niat analis efek dalam pemilihan saham sebagai

hasil estimasi prospek saham untuk rekomendasi kepada investor (mental discounting).

Mental discounting dipengaruh informasi keuangan dan non-keuangan, revisi keyakinan,

norma subyektif, dan persepsi risiko serta berimplikasi pada maksimalisasi utilitas.

Dasar konsep adalah prospek dan nilai saham dipengaruhi kinerja laporan keuangan.

Analis efek mempunyai keyakinan awal mengenai kinerja saham berdasarkan laporan

keuangan. Setelah penerbitan laporan keuangan tahun berjalan, analis efek mel akukan

analisis laporan keuangan untuk mengetahui hasilnya sebagai good news atau bad news,

sahih, dapat dipercaya atau tidak. Bila signal sahih dan dipercaya, signal berfungsi

sebagai stimulus yang mempengaruhi keyakinan untuk melakukan pemilihan dan revisi

keyakinan saham. Implikasinya menunjukkan derajat afek positif melalui penerimaan

saham atau derajat afek negatif melalui penolakan saham.

Niat pemilihan saham dibentuk dari faktor yang mengindikasikan seberapa banyak

usaha direncanakan dan tergantung kepada karakteristik individu, tekanan sosial, dan

lingkungan. Faktor ini berubah menurut waktu karena informasi dan menyebabkan

motivasi berubah sebagai indikasi yang mempengaruhi niat (Ajzen, 1988).

Motivasi penelitian adalah Pertama, isu ini secara empiris masih sedikit di

pasar modal. BEI merupakan emerging market dengan pengambilan keputusan bersifat

spekulatif, terpengaruh opini dan psikologi massa. Pengambilan keputusan di bidang

akuntansi dan keuangan memfokuskan pada penggunaan dan pengevaluasian informasi

akuntansi melalui analisis fundamental. Kedua, Penelitian ini melakukan dekomposisi

sikap berperilaku menjadi karakteristik persepsi risiko, dan revisi keyakinan, serta

dekomposisi norma subyektif menjadi karakteristik pengaruh tekanan internal dan

84
pengaruh tekanan eksternal. Ketiga, adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian mengenai

sikap berperilaku dan norma subyektif terhadap niat untuk berperilaku.

Tujuan penelitian adalah mengkaji dan memperoleh bukti empiris perilaku analis

efek dalam pemilihan saham (mental discounting) di BEI dipengaruhi manfaat

informasi akuntansi, revisi keyakinan, persepsi risiko, dan norma subyektif. Implikasinya

adalah memp eroleh subyektifitas return.

Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan)

Teori tindakan beralasan dikembangkan Fishbein dan Ajzen (1975) bahwa

perilaku dilakukan karena individu mempunyai niat untuk melakukannya. Penyebab

perilaku didasarkan pada asumsi bahwa manusia melakukan sesuatu dengan cara

masuk akal, manusia mempertimbangkan semua informasi, serta manusia

memperhitungkan implikasi tindakan. Niat untuk berperilaku merupakan fungsi dari

penentu dasar, yaitu berhubungan dengan faktor pribadi dan pengaruh sosial. Penentu

faktor pribadi adalah sikap terhadap perilaku individual. Sikap ini adalah evaluasi

keyakinan atau perasaan positip atau negatif dari individual jika harus melakukan perilaku

tertentu yang dikehendaki. Penentu yang berhubungan dengan pengaruh sosial adalah

norma subyektif. Hal ini berhubungan dengan preskripsi normatif persepsian, yaitu

pandangan seseorang terhadap tekanan sosial yang mempengaruhi niat untuk melakukan

atau tidak melakukan perilaku yang dipertimbangkan.

Garis besar konsep tindakan beralasan terbagi dalam tiga hubungan, yaitu:

pertama, hubungan keyakinan dengan sikap. Keyakinan akibat perilaku merupakan

komponen berisi pengetahuan. Pengetahuan mempunyai akibat positif atau negatif karena

turut dalam tindakan. Keyakinan mempengaruhi sikap karena pengaruh pengetahuan

positif atau negatif, artinya sikap terhadap tindakan terbentuk dari pengetahuan.

85
Implikasinya, sikap dapat positif atau negatif tergantung dari komponen pengetahuan

yang membentuk keyakinan. Kedua, hubungan keyakinan normatif dengan norma

subyektif. Keyakinan normatif akan perilaku merupakan komponen pengetahuan, dan

merupakan pandangan orang lain yang mempengaruhi kehidupan seseorang yang bersifat

keharusan atau tidak seseorang ikut serta dalam suatu tindakan. Norma subyektif terhadap

suatu tindakan merupakan keputusan seseorang setelah mempertimbangkan pandangan

orang lain terhadap tindakan. Seseorang dapat terpengaruh atau tidak tergantung pada

kekuatan pribadi dalam menghadapi kehendak orang lain. Ketiga, hubungan antara sikap

dan norma subyektif dengan niat untuk berperilaku. Intensi untuk

melakukan suatu tindakan tergantung pada niat untuk melakukan suatu tindakan, dan

intensi tersebut dibentuk dari sikap terhadap suatu tindakan dan norma subyektif terhadap

tindakan. Teori ini mengungkapkan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan

apabila ia memandang perbuatan itu positif dan percaya bahwa orang lain ingin agar ia

melakukannya.

Manfaat Informasi Akuntansi (Information Usefulness)

Informasi akuntansi yang bermanfaat harus mempunyai kualitas relevan dan

reliable (Scott, 2009), mempunyai nilai dalam menambah pengetahuan dan keyakinan

profitabilitas terealisasinya harapan dalam ketidakpastian; serta mengubah keputusan atau

perilaku pemakai (Suwarjono, 2008). Financial Accounting Standard Board (1980)

menyusun standar kualitatif laporan melalui Statement Financial Accounting

Concepts/SFAC No 2 tentang Qualitative Characteristics of Accounting Information

sebagai syarat yang harus dipenuhi agar tujuan informasi sesuai dengan SFAC No 1.

Karakteristik kualitas informasi akuntansi menunjukkan laporan keuangan harus memiliki

nilai-nilai sebagai berikut:

86
a. Kualitas Primer.

SFAC No 2 menyatakan kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna

untuk pengambilan keputusan adalah relevan dan reliabel. Relevan menunjukkan

informasi akuntansi harus dapat membuat perbedaan dalam suatu keputusan. Untuk

menjadi relevan, informasi akuntansi harus mempunyai nilai prediktif, nilai umpan balik

dan tepat waktu. Reliabel adalah informasi dapat diandalkan jika terbebas dari kesalahan,

penyimpangan, serta merupakan penyajian yang jujur. Supaya reliabel, informasi

akuntansi mempunyai karakteristik dapat diperiksa, kejujuran penyajian, dan netral.

b. Kualitas Sekunder.

Informasi lebih berguna jika mempunyai karakteristik kualitas sekunder, yaitu: dapat

dibandingkan dan konsistensi.

c. Keterbatasan Laporan Keuangan.

Informasi akuntansi bermanfaat jika harus mencapai tingkat minimum dari relevan dan

reliabilitas. Hal ini menunjukkan suatu keterbatasan bagi manfaat informasi. Karakteristik

keterbatasan adalah cost and benefit, dan materialitas.

Revisi Keyakinan

Fishben dan Ajzen (1975) memberikan pandangan keyakinan sebagai komponen

yang berisikan pengetahuan tentang X. Komponen ini baik secara positif atau negatif

terjadi karena keikutsertaan dalam suatu X. Pengetahuan X dalam hal ini adalah opini

tentang sesuatu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dalam konteks

akuntansi, keyakinan adalah komponen yang mengupas secara kritis dalam proses

pengambilan keputusan dan menentukan perilaku pengambilan keputusan (Beaver, 1989).

Peran informasi adalah merubah keyakinan sehingga perilaku pengambilan keputusan

berubah ketika informasi baru tiba. Keyakinan investor tidak tampak. Harga saham dapat

87
dipandang sebagai penampakan dari proses kesetimbangan keyakinan investor. Revisi

keyakinan menunjukan investor melakukan revisi keyakinan mengenai harga saham

ketika menerima informasi dalam bentuk deviden dan earnings surprises (Hogarth dan

Einhorns, 1992). Asumsinya adalah i ndividu merubah keyakinan melalui urutan proses

anchoring and adjustment. Keyakinan sekarang bermanfaat sebagai keyakinan awal yang

akan disesuaikan menjadi keyakinan baru dan terjadi terus-menerus secara berurutan.

Teori ini juga mempertimbangkan kekuatan keyakinan awal (anchor) dan

memprediksikan bahwa anchor yang besar akan berkurang lebih banyak oleh informasi

negatif daripada anchor yang kecil, dan sebaliknya. Hal ini disebut anchoring effect.

Scott (2009) memberikan prediksi perilaku investor dalam merespon informasi laporan

keuangan, yaitu:

a. Investor mempunyai keyakinan tentang return dan risk saham emiten yang diharapkan.

Keyakinan ini didasarkan pada informasi yang tersedia di pasar, yang meliputi harga pasar

sampai sebelum current net income perusahaan diterbitkan. Tetapi, keyakinan tersebut

tidak sama karena berbeda dalam menempatkan informasi dan kemampuan interpretasi.

b. Setelah penerbitan net income tahun berjalan, investor akan menjadi lebih tahu dengan

menganalisa angka income. Contohnya, jika net income lebih tinggi dari yang

diharapkan, maka menjadi good news. Beberapa investor akan me rivisi keyakinannya

mengenai earning power dan return di masa mendatang. Investor lainnya yang

mempunyai harapan tinggi tentang betapa seharusnya net income sekarang,

menginterpretasikan net income yang sama sebagai bad news.

Persepsi Risiko

Persepsi merupakan pandangan individu dalam memahami obyek atau peristiwa

melalui pancaindera. Pandangan diperoleh dari pengalaman tentang obyek dengan

88
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bersifat subyektif dan

situasional karena obyek tergantung pada ruang dan waktu sehingga persepsi individu

terhadap obyek sangat mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi individu lain

terhadap obyek yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1995; Matlin, 1998). Risiko

investasi mempunyai pengertian yaitu penyimpangan dari keuntungan yang diharapkan.

Risiko berhubungan dengan penyimpangan dari outcome yang diterima dengan yang

diekspektasi. Dengan adanya ketidakpastian, investor akan memperoleh return di masa

datang yang belum diketahui nilainya (Hartono, 2008).

Untuk mengurangi resiko investasi, pelaku pasar harus mengenal resiko yaitu

systematic risk dan unsystematic risk (Jones, 1996). Risiko dasar saham menurut analis

adalah risiko pemilihan saham yaitu pengambilan saham yang memiliki penyimpangan

return yang merugikan (adverse selection return) lebih rendah dari rata-rata return ukuran

perusahaan yang sama atau dalam industri yang sama (Selva, 1995). Analis

meminimalisasi risiko melalui perbandingan prospek perusahaan dalam industri yang

sama dan memilih saham yang potensi kenaikan harga melebihi kenaikan indeks saham.

Analis melakukan analisis firm of size, capital structur, dan geographical segments untuk

melihat tingkat risiko industri. Harapannya tingkat resiko berhubungan dengan future

earnings dan menandingkan kenaikan harga saham dengan earnings. Persepsi risiko

mempunyai komponen subyektif, yaitu: keyakinan, sikap, dan perasaan menuju risiko

untuk situasi khusus, serta memperlihatkan bahaya (hazard). Sehingga, persepsi resiko

ditunjukkan dari pandangan individu mengenai seberapa besar kemungkinan dirinya

mengalami paparan risiko keuangan atas penggunaan laporan keuangan (Koonce, 2004).

Persepsi risiko ini merupakan model terintegrasi yang menggabungkan karakteristik risiko

keperilakuan dengan risiko dalam teori standar deviasi yang berhubungan dengan losses

89
dan gains. Premis penelitian adalah persepsi pengguna laporan keuangan lebih baik

dipahami dengan memasukkan karakteristik risiko keperilakuan.

Mental Discounting

Mental discounting merupakan proses kognitif untuk melakukan estimasi terhadap

discount rate atau return (Wahlund dan Gunnarsson, 1996). Mental discounting sebagai

bentuk mental attitude didukung oleh tiga faktor, yaitu: pertama, determination: adanya

motivasi, niat, dan tujuan yang kuat. Kedua, self dicipline: mengetahui apa dan kapan

harus melakukan sesuatu. Ketiga, fighting: kerja keras, kerja cerdas, dan manajemen

waktu. Proses mental discounting memerlukan kapabilitas tinggi yang berhubungan

dengan kemampuan individu dalam aspek kognitif, afeksi, dan konasi seperti; pemrosesan

informasi keuangan dan non keuangan, penerapan pengetahuan investasi dari aspek

fundamental dan teknikal, perubahan preferensi investasi, persepsi risk dan return, serta

pembelajaran pros es investasi.

Berkaitan dengan studi ini, mental discounting didefinisikan sebagai

kecenderungan niat untuk memilih saham kandidat yang ditentukan secara langsung oleh

keyakinan yang dimiliki analis efek terhadap estimasi return saham. Proses mental

discounting dalam diri pelaku memerlukan pengetahuan khusus untuk meyakini tentang

kinerja saham yang akan dipilih dalam investasi keseluruhan (Snelbecker et al., 1990;

Nofsinger, 2005) seperti pengetahuan analisis ekonomi, industri, fundamental, teknikal,

serta portfolio. Dalam proses pemilihan saham, analisis fundamental digunakan untuk

analisis terhadap kinerja dan prospek perusahaan. Asumsinya value of the firm, yaitu

nilai perusahaan tercermin dalam harga sekuritas (Nofsinger, 2005). Analisis tersebut

menunjukkan kandungan informasi dari laporan keuangan. Analisis berikutnya adalah

analisis ekonomi dan teknikal dengan mendasarkan pada pergerakan saham

90
kandidatterpilih (Farid dan Siswanto, 1998). Tujuannya mendapatkan estimasi perhitungan

return dan risk dari saham terpilih. Karena asset financial berisiko, maka pelaku

membandingkan dengan return dari asset bebas risiko. Hasil perbandingan memutuskan

pilihan saham yang mempunyai tingkat return yang paling tinggi diantara keduanya

berdasarkan peringkatan return dan risk.

Subyektifitas Return

Setiap investor mempertimbangkan investasi sebagai kombinasi dalam portfolio

yang menawarkan ekspektasi return yang lebih tinggi pada tingkat risiko yang diinginkan

(Markowitz, 1952). Kombinasi investasi dalam portfolio mensyaratkan investor

memikirkan diversifikasi dan mempertimbangkan tiga karakteristik penting dari tiap

investasi, yaitu parameter expected return dan level of risk, pengujian risk dan return,

dan korelasi antar return dari tiap investasi. Hal ini menunjukkan individu membuat

keputusan rasional untuk memaksimalkan kesejahteraan dalam ketidakpastian (Nofsinger,

2005).

Subyektifitas mengarah pada pandangan individu yang melibatkan pengetahuan

sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan stimulus melalui pancaindra.

Subyektifitas berkaitan dengan investasi saham merupakan keinginan individu

berdasarkan analisis yang sahih memperoleh return yang optimal baik yang berasal dari

capital gain, deviden, atau keduanya (Nofsinger, 2005). Sehingga, subyektifitas return

merupakan harapan individu untuk mendapatkan return pada setiap investasi. Harapan

tersebut diperoleh dari keputusan investasi yang dibuat investor atau hasil rekomendasi

dan advisory analis keuangan dalam suatu pemilihan saham untuk investasi berdasarkan

preferensi investor (Snelbecker et al. dalam Altman, 2006) untuk memaksimalkan

utilitasnya (Scott, 2009). Karena bersifat rasional, maka setiap pengambilan keputusan

91
investasi melakukan pemilihan dari berbagai alternatif, pertimbangan preferensi return,

dan melakukan pengambilan keputusan untuk maksimalisasi utilitas. Subyektif return

yang diinginkan investor dapat dicapai pada perbedaan kapasitas

cognitive dan gaya pengambilan keputusan investasi.

MATERI XII
REVISI KEYAKINAN ATAS SINYAL INFORMASI AKUNTANSI

Kompetensi Dasar

Mampu memberikan analisa dan penjelasan mengenai pengetahuan informasi akuntansi

dapat mempengaruhi keyakinan pengguna dalam investasi

Bahan Ajar

Revisi Keyakinan Atas Sinyal Informasi Akuntansi, MF. Arrozi Adhikara Universitas

Esa Unggul Jakarta

Sintesis Jurnal dan Artikel

Saham merupakan aktiva yang berisiko, serta memberikan pengembalian

investasi lebih tinggi dari aktiva keuangan lainnya. Oleh karena itu, investor meminta

perlindungan risiko dan bursa efek memberi-kan perlindungan melalui efisiensi pasar

(Zamahsari, 1990). Efisiensi pasar mempunyai hubungan dengan informasi akuntansi

terkait dengan manfaat informasi dalam pengambilan keputusan finansial. Namun

keterbukaan informasi untuk memenuhi pengungkapan penuh (full disclosure) dalam

92
laporan ke-uangan terjadi penyesatan informasi. Fenomena ini terjadi sepanjang kurun

waktu 2000-2009 pada emiten PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang lalai menyampaikan

fakta material penundaan proyek pipanisasi gas dan melakukan insider trading; konspirasi

PT Great River Tbk tentang penipuan dalam penyajian laporan keuangan (Investor, 2007);

manipulasi laporan keuangan pada Bank Lippo, PT Citra Marga Nusapala Persada, Bank

Duta, Xerox, PT Merck, PT Kimia Farma Tbk, dan PT Telkom (Arrozi, 2009); serta

runtuhnya perusahaan terkemuka yaitu Enron, Worldcom, Global Crossing, HIH, dan Tyco

(Imung, 2002). Implikasi tersebut ber-akibat pada Apakah Laporan Keuangan masih bisa

dipercaya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan?

Fenomena diatas menyebabkan timbulnya keraguan atas kehandalan sistem

pelaporan keuangan yang menyebabkan kerugian besar bagi investor, karyawan, kreditor,

dan pihak lain yang berkepentingan. Akibatnya, pengguna mendapatkan informasi salah

atas kondisi perusahaan karena terdapat penyembunyian informasi yang relevan dan

handal serta menggambarkan posisi keuangan yang salah. Sehingga, pengguna mengambil

suatu analisa dan keputusan salah karena kesalahan substansi informasi tentang sinyal

pengungkapan informasi akuntansi. Hal ini mengakibatkan kesalahan analisa terhadap

keuangan emiten, dan pasar tampaknya tersesat oleh kesalahan informasi yang harus

diinterpretasikan (Arrozi, 2006).

Konsekuensi negatif yang harus di-tanggung pengguna adalah penyesatan revisi

keyakinan tentang nilai pengharapan yang sudah ditentukannya melalui interpretasi

informasi akuntansi (Scott, 2009); membentuk perilaku ketidaksabaran dan kehilangan pe-

ngendalian diri serta impulsif, karena kesalah-an persepsi pada obyek yang

diinterpretasikan (Wahlund dan Gunnarsson, 1996); kesalahan dalam melakukan prediksi

terhadap subyek-tifitas pengembalian dan risiko investasi dari saham yang menjadi

kandidat terpilih dalam portfolio investasi, serta penyesatan dalam pengambilan

93
keputusan yang bersifat rasional karena pelaku pasar mengambil keputusan yang salah

karena saham yang bersangkutan dinilai secara tidak tepat secara fundamental (Lipe,

1998).

Isu utama penelitian ini adalah per-timbangan keyakinan dalam pengambilan

keputusan investasi dengan penekanan kepada pemikiran obyektif pelaku dalam memper-

timbangkan manfaat informasi akuntansi untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan

tersebut memberikan keyakinan untuk me-lakukan tindakan dan merevisi keyakinan.

Keyakinan pelaku bersifat relatif. Artinya, pelaku melakukan revisi bilamana mendapat

pengetahuan fundamental dan teknikal dari lingkungan berupa: manfaat informasi akun-

tansi dalam bentuk laba dan deviden, risiko perusahaan, serta risiko lingkungan dari pasar.

Hal ini akan menunjukkan tindakan pelaku dalam investasi adalah rasional, sikap prefer-

ensi risiko dan pengembalian investasi, serta prediktor yang baik dalam melihat ketidak-

pastian lingkungan untuk memaksimalkan utilitas.

Penelitian ini penting karena ketidak-konsistenan hasil hubungan simultan antara

manfaat informasi akuntansi, persepsi risiko, revisi keyakinan, ketidakpastian lingkungan,

serta subyektifitas pengembalian investasi.Hasil studi Beaver (1989) serta Barberis dan

Thaler (2003) menunjukkan tingkat keyakinan pengguna yang tinggi terhadap manfaat

informasi akuntansi dalam pengambilan keputusan. Pengguna melakukan analisis bahwa

informasi membawa kandungan informasi kinerja, prospek, ketidakpastian dan

nilaipengharapan (expected values) sehingga mengetahui adanya nilai ekonomis atau

tidak sehingga dilakukan revisi keyakinan. Hasil studi berbeda dari Banker dkk. (1993),

Stain-bank dan Peebles (2006), Eipsten (1975), serta Chen dan Hsu (2005) bahwa

pengguna tidak yakin manfaat informasi akuntansi meng-hasilkan subyektifitas

pengembalian investasi. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan analisa informasi sehingga

informasi tidak bernilai ekonomis. Implikasinya harapan pengem-balian investasi yang

94
diinginkan tidak ter-capai. Hasil studi Goodwin dkk. (1986), Barth dkk.. (2001), Ball dan

Brown (1968), Snelbecker dkk. (1990), Gordon (1984), Beaver (1989), Beaver dkk.

(1979), serta Esterbrook (1984) menunjukkan manfaat informasi akuntansi berpengaruh

terhadap pengembalian investasi. Informasi akuntansi menunjukkan kinerja dan prospek

melalui profitabilitas, deviden, dan nilai perusahaan. Pengguna bersikap profesional

karena mampu melakukan analisis dan interpretasi informasi sebagai sinyal yang bernilai

ekonomis dan mempunyai kemampuan prediktif dalam hubungannya dengan laba

mendatang. Per-wujudan nilai ekonomis adalah memperoleh keuntungan dalam bentuk

deviden sehingga menunjukkan citra dan kinerja perusahaan serta mudah mencari

tambahan pendanaan untuk operasional perusahaan.

Studi tentang manfaat informasi akun-tansi tidak berpengaruh terhadap persepsi

risiko dihasilkan dari studi Lambert dan Verrechia (2005) dan Ferris dkk. (1990).

Keyakinan pengguna pada kondisi keuangan perusahaan tidak merubah persepsi risiko

pengguna. Informasi akuntansi tidak mem-berikan sikap positif atau negatif terhadap

saham perusahaan meskipun menunjukkan kinerja, prospek, potensi risiko, dan nilai.

Hasil studi berbeda ditunjukkan oleh Healy dan Palepu (2001), Beaver dkk. (1970),

McDonald dan Stehle (1975), Farelly dkk. (1985), Koonce dkk.. (2004), Capstaff (1992),

Barth dkk. (2001), Lee (1999), dan Clarkson dkk. (1996). Pengguna mempunyai

keyakinan

terhadap kondisi keuangan emiten sehingga pengungkapan pelaporan menurunkan

asimetri informasi, meningkatkan permintaan saham emiten, dan meningkatkan harga

pasar sehingga mengurangi biaya modal. Disamping itu, informasi akuntansi

merefleksikan ukuran persepsi risiko pasar serta mampu menjelas-kan risiko melalui

penggabungan karakteristik keperilakuan dan risiko keuangan. Tujuan penelitian adalah

mengkaji dan memperoleh bukti empiris perilaku analis efek dalam revisi keyakinan

95
pemilihan saham di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan manfaat informasi

akuntansi, persepsi risiko, serta ketidakpastian lingkungan.

Beliefs-Adjustment Theory

Beaver (1989) mendefinisikan ke-yakinan sebagai komponen yang mengupas

secara kritis dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat keyakinan menentukan

perilaku pengambilan keputusan. Peran infor-masi adalah merubah keyakinan. Perilaku

pengambilan keputusan berubah ketika infor-masi baru merubah keyakinan. Keyakinan

investor tidak tampak. Harga saham di-pandang sebagai penampakan proses keyakinan

investor. Penggunaan laporan keuangan oleh investor sebagai pemegang saham kon-sisten

dengan orientasi pengguna utama laporan keuangan menurut FASB (1978).

Teori yang menggagas tentang revisi keyakinan dikemukakan oleh Hogarth dan

Einhorns (1992) tentang teori penyesuaian keyakinan (beliefs-adjustment theory) yaitu

investor melakukan revisi keyakinan menge-nai harga saham ketika menerima informasi

dalam bentuk deviden dan laba kejutan (earnings surprises). Asumsi teori adalah individu

memproses informasi secara ber-urutan dan mempunyai keterbatasan kapasitas memori.

Individu merubah keyakinannya melalui suatu urutan proses anchoring and adjustment.

Keyakinan sekarang bermanfaat sebagai keyakinan awal yang kemudian akan

disesuaikan. Revisi keyakinan menjadi keyakinan awal baru dan proses ini terjadi terus-

menerus secara berurutan.

Teori ini memprediksi informasi per-usahaan mempunyai sinyal yang berlawanan

(good news diikuti dengan bad news atau bad news diikuti dengan good news), perubahan

informasi akhir mempunyai pengaruh lebih besar pada pengembalian investasi daripada

informasi awal. Pengaruh ini disebut recency effect. Tetapi, untuk informasi yang

konsisten (good news diikuti dengan good news atau bad news diikuti dengan bad news),

96
seluruh infor-masi mempunyai pengaruh yang sama besar pada pengembalian investasi.

Pengaruh ini disebut dengan no order effect. Pada dua pengaruh tersebut, investor akan

bereaksi secara berbeda terhadap perbedaan dua infor-masi. Disamping itu, teori ini juga

memper-timbangkan kekuatan keyakinan awal (anchor) dan memprediksikan bahwa

anchor yang besar akan berkurang lebih banyak oleh informasi negatif daripada anchor

yang kecil. Sebaliknya, anchor yang keCil akan meningkat lebih besar oleh informasi

positif daripada anchor yang besar. Hal ini disebut anchoring effect.

Hogarth dan Einhorns (1992) mem-bagi dimensi revisi keyakinan dalam beberapa

hal yaitu: 1) Proses sekuensial adalah pemrosesan secara berurutan. Pengguna

mengevaluasi sinyal deviden dan laba kejutan yang diterima pada titik waktu yang

berbeda. 2) Kompleksitas tugas adalah evaluasi peng-umuman akan mengalami penurunan

penye-suaian bilamana informasi negatif dan se-baliknya mengalami peningkatan

penyesuaian bilamana informasi positif. 3) Panjang rangkaian bukti transaksi, adalah

merujuk pada jumlah bukti yang dievaluasi dari informasi akuntansi secara keseluruhan

dalam suatu kesatuan. 4) Response mode adalah merujuk pada prosedur evaluasi suatu

bukti dengan cara step-by-step dan end-of-sequence. Revisi keyakinan memberikan per-

timbangan prediksi mengenai perilaku inves-tor dalam merespon informasi keuangan

(Scott, 2009), yaitu: 1) Investor mempunyai keyakinan awal tentang pengembalian inves-

tasi dan risiko saham perusahaan yang diharapkan. Keyakinan ini didasarkan pada

informasi yang tersedia di pasar. Meskipun mereka mendasarkan pada informasi yang

tersedia di pasar, tetapi keyakinan mereka tidak sama karena perbedaan menempatkan

informasi dan kemampuan interpretasi. 2) Setelah penerbitan net income tahun berjalan,

investor lebih tahu dengan menganalisa angka income. Misalnya, jika net income lebih

tinggi dari yang diharapkan, maka menjadi good news. Investor lainnya yang mempunyai

harapan tinggi betapa seharusnya net income sekarang, menginterpretasikan net income

97
sebagai bad news. 3) Investor yang telah merevisi kepercayaan mengenai profitabilitas

pengembalian investasi di masa datang lebih tinggi, cenderung membeli saham perusahaan

dengan harga pasar saat ini.

Manfaat Informasi Akuntansi

Informasi akuntansi yang bermanfaat harus mempunyai kualitas informasi relevan

dan handal (Scott, 2009), mempunyai nilai dalam menambah pengetahuan, menambah

keyakinan mengenai profitabilitas terealisasi-nya harapan dalam kondisi ketidakpastian;

serta mengubah keputusan atau perilaku para pemakai (Suwarjono, 2008). Financial

Accounting Standard Board (1980) menyusun karakteristik standar kualitatif laporan

melalui Standard Financial Accounting Concepts No.2 dan merupakan syarat yang harus

dipenuhi agar tujuan informasi sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam SFAC No 1

dapat ter-capai. Karakteristik kualitas informasi akun-tansi harus memiliki nilai-nilai

sebagai berikut: 1) Kualitas Primer, Kualitas utama yang membuat informasi akuntansi

berguna untuk pengambilan keputusan adalah relevan dan handal Relevan menunjukkan

informasi akuntansi harus dapat membuat perbedaan dalam suatu keputusan. Untuk

menjadi relevan, informasi akuntansi harus mempunyai nilai prediktif, nilai umpan balik

dan tepat waktu. Handal adalah informasi dapat diandalkan jika terbebas dari kesalahan,

penyimpangan, serta merupakan penyajian yang jujur. Supaya reliabel, informasi akun-

tansi mempunyai karakteristik dapat diperiksa, kejujuran penyajian, dan netral. 2)

Kualitas Sekunder, Informasi lebih berguna jika mem-punyai karakteristik dapat

dibandingkan dan konsistensi. 3) Keterbatasan Laporan Keuangan, Informasi akuntansi

bermanfaat jika harus mencapai tingkat minimum dari relevan dan reliabilitas. Hal ini

menunjukkan suatu keterbatasan bagi manfaat informasi. Karakteristik keterbatasan adalah

biaya dan manfaat, serta materialitas.

98
MATERI XIII
FAIR VALUE

Kompetensi Dasar

Mampu memberikan analisa dan penjelasan mengenai penilaian asset dengan Fair Value

Bahan Ajar

Analisis Pendekatan Nilai Wajar dan Nilai Historis Dalam Penilaian Aset Biologis Pada

Perusahaan Agrikultur: Tinjauan Kritis Rencana Adopsi IAS 41, Saur Maruli dan Aria

Farah Mita, Universitas Indonesia

Sintesis Jurnal dan Artikel

Reformasi atas standar-standar akuntansi terhadap basis pengukuran akuntansi

yang menggunakan nilai wajar (fair value) telah menimbulkan suatu perdebat an yang

sengit terutama dalam tahun-tahun terakhir ini. Hal ini terutama karena munculnya

konvergensi akuntansi internasional yang cenderung menggunakan pendekatan nilai wajar

sebagai basis pengukuran dan pelaporan akuntansi. Di Indonesia, hal ini dirasakan ketika

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melansir rencana konvergensi akuntansi internasional,

sehingga diperlukan revisi menyeluruh terhadap PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan) sesuai dengan IFRS (International Financial Reporting Standards).

Salah satu masalah atau kendala terpenting yang mungkin dihadapi dalam

penerapan IFRS mengharuskan banyak perusahaan atau entitas bisnis merubah

pengukuran serta pelaporan akuntansinya yang sebagian besar berdasarkan pada nilai

99
historis ( historical cost), menjadi pengukuran serta pelaporan berdasarkan nilai wajar

(fair value). Meskipun terdapat tren menuju penerapan standar akuntansi berbasis nilai

wajar, reformasi ini telah menimbulkan berbagai kontroversi dari berbagai kalangan.

Terdapat beberapa kelompok dan kalangan yang mendukung penerapan nilai wajar namun

terdapat juga kelompok yang meragukan penerapan ini. Perdebatan yang belum

terselesaikan juga masih muncul dalam dunia akademis tentang value relevance dari

penerapan nilai wajar ini. Saat ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang

dalam proses mengadopsi IAS 41 tentang Akuntansi Agrikultur kedalam PSAK. Studi ini

ditujukan Sebagai analisis pendahuluan mengenai kemungkinan dampak penerapan PSAK

yang mengadopsi IAS 41.

IAS (International Accounting Standard) No. 41 membawa perdebatan-perdebatan

ini ke dalam ruang lingkup akuntansi agrikultur. Banyak pihak yang bersikap kritis

terhadap persyaratan penerapan nilai wajar terhadap aset biologis dan perubahan nilainya

yang harus diakui dalam laporan laba rugi perusahaan. Penttinen et al. (2004) menyatakan

ba hwa penerapan nilai wajar akan menyebabkan fluktuasi yang tidak realistis pada laba

bersih perusahaan-perusahaan kehutanan. Herbohn & Herbohn (2006) serta Dowling &

Godfrey (2001) menekankan pada meningkatnya volatilitas, manipulasi dan subyektifitas

dari pendapatan yang dilaporkan. Herbohn & Herbohn (2006) menghitung koefisien

varians dari laba serta keuntungan dan kerugian aset-aset kayu pada delapan perusahaan

publik dan lima perusahaan pemerintah. Mereka menyatakan bahwa pengukuran

menggunakan nilai wajar akan meningkatkan volatilitas

laba. Sedangkan Argiles & Soft (2001) dapat menerima pengukuran menggunakan nilai

wajar untuk aset biologis karena hal tersebut menghindari kompleksitas dalam menghitung

biaya. Hal ini dikarenakan banyak pertanian-pertanian keluarga di negara-negara barat

terutama di Uni Eropa, yang tidak memiliki sumber daya dan kemampuan untuk

100
melaksanakan prosedur-prosedur dan perhitungan akuntansi. Sifat industri pertanian

membuat perhitungan berdasarkan nilai historis untuk aset biologis menjadi sulit karena

aset mengalami proses kelahiran, perkembangan, kematian, demikian pula kerumitan

dalam hal alokasi biaya bersama (joint costs). Alokasi biaya tidak langsung juga

merupakan salah satu sumber lain kompleksitas perhitungan biaya di pertanian. Kroll

(1987) menyatakan bahwa kompleksitas dalam penilaian aset dengan menggunakan nilai

historis merupakan suatu halanga n utama dalam penilaian dengan basis nilai historis.

Oleh karena itu, penilaian dengan menggunakan nilai wajar harus mempertimbangkan

keseimbangan antara manfaat dan biayanya. Kemudahan (simplicity) dalam perhitungan

merupakan keuntungan utama dalam menerapkan nilai wajar dibandingkan penggunaan

nilai historis. Tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam literatur-literatur

sebelumnya dalam hal apakah terjadi volatilitas yang abnormal dalam pendapatan dan

laba, relevansi nilai, perataan pendapatan (income smoothing) serta terjadi peningkatan

atau penurunan profitabilitas akibat penerapan nilai wajar.

Penelitan ini bermaksud untuk menyediakan bukti empiris pengukuran aset

biologis menggunakan nilai wajar dalam ruang lingkup industri agrikultur, dengan

menggunakan sampel perusahaan-perusahaan agrikultur yang menggunakan nilai wajar

dan nilai historis dalam perhitungan aset biologis. Penelitan ini meliputi analisis deskriptif

yang mencakup perbandingan pada komponen-komponen aset, pendapatan dan laba

masing-masing, meliputi nilai absolut dan nilai standar deviasinya. Selain itu, penelitan

ini juga membandingkan perhitungan income smoothing index (ISI) di antara kelompok-

kelompok tersebut. Setelah memberikan penjelasan deskriptif, penelit ian ini mencoba

melihat adanya pengaruh penggunaan pendekatan nilai wajar terhadap volatilitas laba

dengan menggunakan persamaan regresi. Dengan segala keterbatasan yang ada, terutama

adalah keterbatasan data penelitian, keterbatasan metode penelitian, penelitian ini terutama

101
dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal mengenai penerapan pendekatan nilai

wajar dan nilai historis dalam penilaian aset perusahaan, khususnya penilaian aset biologis

pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di dalam bidang agrikultur.

Aset Biologis dan Perlakuan Akuntansinya

Menurut IAS 41, aset biologis didefinisikan sebag ai tumbuh-tumbuhan dan

hewan-hewan yang hidup yang dikendalikan atau dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat

dari kejadian masa lampau. Pengendalian atau penguasaan tersebut dapat melalui

kepemilikan atau jenis perjanjian legal lainnya. Dalam mengukur nilai wajar aset biologis,

IAS 41 memberikan hierarki atas metode-metode yang seharusnya digunakan untuk

menentukan nilai wajar. Metode yang paling dianjurkan adalah dengan menggunakan

harga transaksi pasar paling kini atas aset biologis (mark-to-market) yang terdapat pada

pasar aktif. Yang kedua, dapat pula menggunakan harga pasar aset yang sejenis (similar

asset / sector bencmark) dengan aset biologis yang ingin dinilai, penilaian ini dikenal

dengan istilah market-determined prices. Yang ketiga, jika harga pasar tidak tersedia,

standar yang ada menganjurkan untuk menggunakan model diskonto arus kas

(discounted-cash flows model) yang biasa disebut mark-to-model. Terakhir, apabila

semua hal di atas tidak tersedia dan tidak dapat diukur secara andal, maka aset biologis

harus diukur pada harga perolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan

pernurunan nilainya.

Keuntungan atau kerugian dari penilaian aset biologis dapat muncul pada

pengakuan awal aset biologis yaitu sebesar selisih antara nilai perolehan awal aset

biologis dengan nilai wajar aset biologis setelah dikurangi perkiraan biaya-biaya pada titik

penjualan (estimated point-of-sale costs). Keuntungan atau kerugian terhadap penilaian

aset biologis juga dapat muncul pada pengukuran setelah pengakuan awal, yaitu sebesar

102
selisih antara nilai wajar terakhir aset biologis setelah dikurangi perkiraan biaya-biaya

pada titik penjualan dengan nilai wajar aset biologis sebelumnya setelah dikurangi

perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan pada saat itu. Perubahan nilai wajar suatu aset

biologis dapat disebabkan oleh pertumbuhan, kematian, produksi dan penghasilan yang

menyebabkan perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif, generasi aset

yang baru atau tambahan aset biologis. Selain itu, perubahan nilai wajar aset biologis juga

dapat disebabkan oleh perubahan pasar atau perekonomian di suatu negara. Perubahan-

perubahan tersebut meliputi antara lain perubahan inflasi, nilai tukar mata uang,

pertumbuhan ekonomi, permintaan, atau kebijakan pemerintah.

Suatu entitas harus mengungkapkan jumlah keseluruhan keuntungan atau kerugian

yang muncul pada pengakuan awal aset biologis dan produk agrikultur dan dari

perubahan nilai wajar dikurangi dengan perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan.

Metode dan asumsi yang digunakan dalam menentukan nilai wajar juga harus

diungkapkan. Nilai wajar dikurangi dengan perkiraan biaya-biaya pada titik penjualan

terhadap produk agrikultur yang dipanen selama periode tersebut harus diungkapkan pada

titik panen. Ketika nilai wajar tidak dapat diukur dengan andal, maka pengungkapan

tambahan diperlukan.

103
MATERI XIV
CONSERVATISME AKUNTANSI

Kompetensi Dasar

Mampu memberikan analisa dan penjelasan peranan prinsip konservatis dalam praktek

akuntansi

Bahan Ajar

1. KONSERVATISME PERUSAHAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHINYA, Cynthia Sari, Desi Adhariani; Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia

2.Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Perusahaan Terhadap Akuntansi

Konservatif, Widya

Sintesis Jurnal dan Artikel

Laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan menggambarkan kinerja

manajemen dalam mengelola sumber daya perusahaannya. Informasi yang disampaikan

melalui laporan keuangan ini digunakan oleh pihak internal maupun pihak eksternal.

Laporan keuangan tersebut harus memenuhi tujuan, aturan serta prinsip prinsip

akuntansi yang sesuai dengan standar yang berlaku umum agar dapat menghasilkan

laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi setiap

penggunanya. Dalam upaya untuk menyempurnakan laporan keuangan tersebut lahirlah

konsep konservatisme. Konsep ini mengakui biaya dan rugi lebih cepat, mengakui

104
pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai yang terendah, dan

kewajiban dengan nilai yang tertinggi.

Para kreditur mendesak agar laporan keuangan disusun dengan berpedoman pada

konsep konservatisme. Maksud utama mereka adalah untuk menetralisir optimisme para

usahawan yang terlalu berlebihan dalam melaporkan hasil usahanya. Jika ditinjau lebih

jauh ke dalam laporan keuangan, setiap metode akuntansi yang dipilih oleh perusahaan

memiliki tingkat konservatisme yang berbeda beda. Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

menyebutkan ada berbagai metode yang menerapkan prinsip konservatisme, diantaranya

PSAK No. 14 mengenai persediaan yang terkait dengan pemilihan perhitungan biaya

persediaan, PSAK No. 16 mengenai aktiva tetap dan penyusutan (2007), PSAK No. 19

mengenai aktiva tidak berwujud yang berkaitan dengan amortisasi dan PSAK No. 20

tentang biaya riset dan pengembangan. Pilihan metode tersebut akan berpengaruh terhadap

angka yang disajikan dalam laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara

tidak langsung konsep konservatisme ini akan mempengaruhi hasil dari laporan keuangan

tersebut. Penerapan konsep ini juga akan menghasilkan laba yang berfluktuatif, dimana

laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas

perusahaan pada masa yang akan datang.

Konservatisma merupakan konsep akuntansi yang kontroversial (Mayangsari dan

Wilopo, 2002). Timbulnya berbagai kritik mengenai kegunaan suatu laporan keuangan

ketika penyusunannya menggunakan metoda-metoda yang sangat konservatif, karena

laporan akuntansi yang menggunakan metoda tersebut cendrung bias dan tidak

mencerminkan realita. Pendapat ini dipicu juga oleh difinisi akuntansi yang mengakui

biaya dan rugi lebih cepat, mengakui pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva

dengan nilai yang terendah, dan kewajiban nilai yang tertinggi (Basu, 1997).

105
Mayangsari dan Wilopo (2002) menyatakan bahwa secara intuitif prinsip

konservatisma bermanfaat karena bisa digunakan untuk memprediksi kondisi mendatang

yang sesuai dengan tujuan laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut disusun

berdasarkan standar akuntansi keuangan (SAK) yang telah ditetapkan oleh badan yang

berwenang menetapkan standar. Dalam SAK terdapat beberapa pilihan prosedur akuntansi

yang dapat digunakan perusahaan untuk menyusun laporan keuangan. Perusahaan

memiliki sedikit kebebasan dalam memilih salah satu dari beberapa alternatif yang

ditawarkan dalam standar akuntansi keuangan yang dianggap sesuai dengan kondisi

perusahaan. Beberapa alternatif pilihan prosedur penyusutan yang ada dalam SAK tersebut

memiliki tingkat konservatisma satu dengan yang lainya.

Penelitian ini dimotivasi oleh penelitian Qiang (2003) yang menemukan bahwa

penentu self imposed conservatism adalah kontrak hutang (debt covenant), ownership

equity. Ball et al (2000) dan Wibowo (2002) menyatakan bahwa pilihan terhadap suatu

metoda akuntansi yang terkait dengan prinsip konservatisma dipengaruhi juga oleh

struktur kepemilikan, biaya politis dengan menggunakan proksi ukuran perusahaan (Watts

dan Zimmerman 1986, dan Cahan, 1992) dan growth (pertumbuhan) (Feltham dan Ohlson,

1995, Penman, 2001)). Dalam penelitian Dewi (2003) menyatakan bahwa ukuran tingkat

konservatisma yang ada belum bisa menangkap atribut-atribut konservatisma.

Konsep Konservatisme

Watts (2003) mendefinisikan konservatisme sebagai perbedaan verifiabilitas yang

diminta untuk pengakuan laba dibandingkan rugi. Watts juga menyatakan bahwa

konservatisme akuntansi muncul dari insentif yang berkaitan dengan biaya kontrak,

litigasi, pajak, dan politik yang bermanfaat bagi perusahaan untuk mengurangi biaya

keagenan dan mengurangi pembayaran yang berlebihan kepada pihak pihak seperti

106
manajer, pemegang saham, pengadilan dan pemerintah. Selain itu, konservatisma juga

menyebabkan understatement terhadap laba dalam periode kini yang dapat mengarahkan

pada overstatement terhadap laba pada periode periode berikutnya, sebagai akibat

understatement terhadap biaya pada periode tersebut.

Bliss (dalam Watts, 2003) memberikan bentuk definisi yang paling ekstrim yaitu

tidak mengantisipasi laba tetapi mengantisipasi semua kerugian. Basu (1997) juga

menyatakan bahwa akuntansi konservatif sebagai praktik akuntansi yang mengurangi laba

(menghapuskan aktiva bersih) dalam merespon bad news, tetapi tidak meningkat laba

(meningkatkan aktiva bersih) dalam merespon good news.

Conditional dan Unconditional Conservatism

Konsep konservatisme yang dikenal secara umum sebagai pengakuan bias dibagi

menjadi dua sub-konsep: conditional and unconditional conservatism (Ball and

Shivakumar, 2005; Beaver and Ryan, 2005). Conditional conservatism mengarah pada

pemikiran bahwa earnings direfleksikan dalam pengakuan rugi dan laba dalam kondisi

asymmetric timeliness, dimana asimmetric timeliness timbul dari kecenderungan akuntan

untuk menggunakan verifikasi tingkat tinggi atas pengakuan kabar baik daripada kabar

buruk dalam laporan keuangan. Contoh dari conditional conservatism dapat dilihat pada

akuntansi persediaan (LOCOM) dan akuntansi impairment untuk aset berwujud dan tidak

berwujud jangka panjang.

Unconditional conservatism adalah munculnya bias akuntansi pelaporan nilai buku

yang rendah terhadap akun stockholders equity. Menurut Watts dan Zimmerman,

konservatisme jenis ini tidak melakukan spesifikasi secara kondisional terhadap ekuitas

atau pendapatan yang rendah, dan oleh karena itu, tidak mengacu pada pengakuan

kerugian yang berbasis waktu.

107
Pengukuran Konservatisme

Watts (2003) menyatakan dalam artikelnya yang berjudul Conservatism in

Accounting Part II: Evidence and Research Opportunities, terdapat tiga ukuran

konservatisme yaitu:

1. Earnings/stock return relation measures

Stock market price berusaha untuk merefleksikan perubahan nilai asset pada

aatterjadinya perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba dalam nilai asset- stock

return tetap berusaha untuk melaporkannya sesuai dengan waktunya. Basu (1997)

menyatakan bahwa konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang merupakan kabar

buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu pengakuan).

Hal ini disebabkan karena salah satu definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian

yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan harus segera diakui

sehingga mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan kabar

baik. Basu (1997) memprediksikan bahwa pengembalian saham dan earnings cenderung

merefleksikan kerugian dalam periode yang sama, tapi pengembalian saham

merefleksikan keuntungan lebih cepat daripada earnings.

2. Earnings/accrual measures

Ukuran konservatisme yang kedua ini menggunakan akrual, yaitu selisih antara net

income dan cash flow. Net income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi

dan amortisasi, sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow operasional.

Givoly dan Hayn (2002) melihat kecenderungan dari akun akrual selama beberapa tahun.

Apabila terjadi akrual negative (net incomelebih kecil daripada cash flow operasional)

yang konsisten selama beberapa tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya

108
conservatism. Selain itu, Givoly membagi akrual menjadi dua, yaitu operating accrual

yang merupakan jumlah akrual yang muncul dalam laporan keuangan sebagai hasil dari

kegiatan operasional perusahaan dan non-operating accrual yang merupakan jumlah akrual

yang muncul diluar hasil kegiatan operasional perusahaan.

Operating Accruals

Berdasarkan literatur Criterion Research Group, dinyatakan bahwa Operating

accrualmenangkap perubahan dalam asset lancar, kas bersih dan investasi jangka pendek,

dikurang dengan perubahan dalam asset lancar, utang jangka pendek bersih. Operating

accrualyang utama meliputi piutang dagang dan persediaan dan kewajiban. Akun ini

merupakan akun klasik yang digunakan untuk memanipulasi earnings untuk mencapai

tujuan pelaporan.

Non Operating Accrual

Berdasarkan literatur Criterion Research Group, dinyatakan bahwa Non current

(operating) accrualmenangkap perbedaan dalam non-current asset, investasi non ekuitas

jangka panjang bersih, dikurang perubahan dalam non-current liabilities, hutang jangka

panjang bersih. Komponen non operating accrual(pada sisi asset) yang utama adalah

aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud. Terdapat subjektivitas yang cukup terlibat diawal

keputusan dimana biaya dikapitalisasi baik untuk aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud

dibangun sendiri yang dapat diakui (seperti biaya pembangunan software yang

dikapitalisasi) dan keputusan kemudian terkait dengan alokasi dari biaya yang dapat

didepresiasi sepanjang masa manfaat asset yang manfaatnya dapat ditentukan. Non-current

assets ini tergantung pada write down ketika aktiva tersebut diputuskan telah di turunkan

nilainya (impaired), dan penentuan dari beberapa permanent impaeirement yang banyak

109
melibatkan abnormal manajerial. Pada sisi kewajiban terdapat sebuah varietas dari akun-

akun seperti utang jangka panjang, penangguhan pajak dan postretirement benefitsyang

juga merupakan manifestasi atas estimasi dan asumsi subjektif (seperti estimasi akuntansi

pension, pengembalian yang diharapkan atas asset, pertumbuhan yang diharapkan atas

pertumbuhan upah pegawai, dan lain lain). Givoly dan Hayn (2002) menyatakan bahwa

apabila akrual bernilai negatif, maka laba digolongkan konservatif, yang disebabkan

karena laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh perusahaan pada perioda

tertentu.

Persamaannya dapat dilihat sebagai berikut:

Non-operating accruals = Total accruals (before depreciation) Operating accruals.

Dimana:

1. Total Accrual (before depreciation) = (net income + depreciation) Cash flow from

operational.

2. Operating Accrual = Account Receivable + Inventories + prepaid expense

Account Payable - Accrued expense tax payable.

3. Net asset measures.

Ukuran ketiga yang digunakan untuk mengetahui tingkat konservatisme dalam

laporan keuangan adalah nilai aktiva yang understatement dan kewajiban yang

overstatement. Salah satu model pengukurannya adalah proksi pengukuran yang

digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) yaitu dengan mengunakan market to book ratio

yang mencerminkan nilai pasar relatif terhadap nilai buku perusahaan. Rasio yang bernilai

lebih dari 1, mengindikasikan penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan

mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya.

110
Pengukuran Lainnya

Mengukur Discretionary Accruals

Discretionary accruals(akrual diskresioner) merupakan suatu ukuran untuk

mengetahui besarnya manipulasi laba yang dilakukan manajemen (Dechow (1995),

Sweeny (1995) dan Healy and Wahlen (1999). Manajemen laba dapat dilakukan melalui

kebijakan akrual dalam mengaplikasikan standar akuntansi. Jika manajemen melakukan

hal-hal tersebut karena niat, bukan karena kondisi perubahan yang menghendaki

perubahan jugdement dan metode akuntansi serta pergeseran biaya dan pendapatan, maka

hal tersebut adalah akrual diskresioner.

Sedangkan, akrual non diskresioner adalah kebijakan akrual yang disebabkan oleh

tuntutan kondisi perusahaan, seperti peningkatan pendapatan perusahaan sehingga

dibutuhkan penyesuaian terhadap estimasi tingkat piutang tak tertagih dan perbaikan

terhadap pabrik dengan penyesuaian kembali estimasi umur pabrik. Untuk menghitung

akrual diskresioner dengan menggunakan modified jones model, persamaannya adalah

sebagai berikut:

TACCit = NDACCit + DACCit (1)

Dimana:

TACCit/TAi,t-1 = 1(1/TAi,t-1) + 2 ((REVit - RECit)/TAi,t-1) + 3 (PPEit/TAi,t-

1) + it (2)

NDACCit = 1(1/TAi,t-1) + 2 ((REVit - RECit)/TAi,t-1) + 3(PPEit/TAi,t1) (3)

Dan untuk memperoleh discretionery accruals adalah:

DACCit = (TACCit/TAi,t-1) NDACCit (4)

Manajemen Laba Dan Kaitannya Dengan Teori Akuntansi Positif

111
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba

mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan

keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment. Disamping itu manajer memiliki

pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya.

Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholdersmengenai kinerja ekonomi

perusahaan.

Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori

akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi

manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), (2)

hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik

(the political cost hypotesis) (Watts dan Zimmerman, 1986).

Watts dan Zimmerman menghubungkan teori akuntansi positif ini dengan

pemilihan manajemen terhadap prosedur akuntansi yang digunakan. Apakah manajemen

akan lebih memilih prosedur yang konservatif atau optimis.

Bonus Plan Hypothesis

Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba yang

diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut.

Debt Covenant Hypothesis

Debt covenant hypotheses memprediksikan bahwa manajer ingin meningkatkan laba dan

aktiva untuk mengurangi biaya renegosiasi kontrak utang ketika perusahaan memutuskan

perjanjian utangnya. Tidak seperti investor yang ada, kreditor yang ada tidak memiliki

mekanisme untuk meningkatkan laba mereka. Meskipun demikian, kreditor mungkin

dilindungi oleh standar akuntansi yang konservatif.

Debt/equity hypothesis yang merupakan turunan atau pembatasan dari debt covenant.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar rasio leverage, semakin besar pula

112
kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur yang meningkatkan laba yang

dilaporkan periode sekarang atau laporan keuangan disajikan cenderung tidak konservatif

(optimis).

Political Cost Hypothesis

Dalam hipotesis ini para peneliti akuntansi menyatakan bahwa perusahaan besar lebih

sensitif daripada perusahaan kecil karena terkait dengan biaya politis dan oleh karenanya

perusahaan tersebut menghadapi insentif yang berbeda dalam pemilihan prosedur metode

akuntansi (Watts dan Zimmerman, 1978).

Biaya politis sendiri timbul dari konflik kepentingan antara perusahaan (manajer) dengan

pemerintah sebagai kepanjangan tangan masyarakat yang memiliki wewenang untuk

melakukan pengalihan kekayaan dari perusahaan kepada masyarakat sesuai peraturan yang

berlaku seperti antitrust, regulasi, subsidi pemerintah, pajak, tarif, tuntutan buruh, dan

sebagainya (Watts dan Zimmerman, 1978).

Hipotesis biaya politis memprediksikan bahwa manajer ingin mengecilkan laba untuk

mengurangi biaya politis yang potensial (Watts dan Zimmerman, 1986). Semakin besar

biaya politis yang dihadapi perusahaan, maka semakin cenderung manajer memilih

prosedur akuntansi yang melaporkan laba yang lebih rendah (Scott, 2000, p. 207).

113

Vous aimerez peut-être aussi