Vous êtes sur la page 1sur 29

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian lalat buah dapat dilakukan baik secara fisik, kimia maupun hayati.

Di Indonesia pengendalian lalat buah dilakukan secara fisik yaitu dengan cara

pembungkusan buah. Teknik ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan banyak

tenaga kerja sehingga kurang efektif dan efisien untuk usaha sekala besar.

Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia sintetik seperti insektisida juga

memiliki kekurangan yaitu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serta biaya yang

dikeluarkan untuk input pengendalian cukup besar.

Serangan yang dilakukan oleh lalat buah pada buah dapat menurunkan kualitas

maupun kuantitas buahnya. Jika serangan yang terjadi sudah besar dan tanpa dilakukan

pengendalian dapat menyebabkan gagal panen. Sifat khas lalat buah adalah hanya

dapat bertelut di dalam buah, larva (belatung) yang menetas dari telur tersebut akan

merusak daging buah, sehingga buah menjadi busuk dan gugur. Serangan hama ini juga

menyebabkan buah menjadi busuk dan dihinggapi larva lalat buah.

Akibat penyemprotan secara terus menerus dapat mengakibatkan serangga

menjadi resisten dan terbunuhnya musuh alami. Serta dapat mengakibatkan terjadinya

resujensi dan ledakan hama. Saat ini banyak dikembangkan alternatif lain dalam

mengendalikan hama lalat buah, salah satunya dengan menggunakan zat pemikat yang

berupa feromon seks. Salah satu jenis feromon seks yang sudah beredar adalah metil

46
eugenol. Metil eugenol mempunyai daya pikat dengan jangkauan radius lebih kurang

0,8 km. Oleh sebab itu, dilakukan praktikum pengendalian hama lalat buah untuk

mengetahui teknik aplikasi feromon seks, tingkat keberhasilannya dan keuntungan

dengan pengendalian menggunakan feromon seks.

B. Tujuan

1. Mengetahui teknik aplikasi feromon seks

2. Mengetahui tingkat keberhasilan pengendalian hama lalat buah dengan

menggunakan feromon seks (metil eugenol)

3. Mengetahui keuntungan pengendalian dengan menggunakan feromon seks

47
II. TINJAUAN PUSTAKA

Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman sayursayuran yang

termasuk famili Solanaceae. Buah terung disenangi setiap orang baik sebagai lalapan

segar maupun diolah menjadi berbagai jenis masakan. Terung diduga berasal dari

benua Aisa, terutama India dan Birna. Tanaman terung banyak tumbuh di Cina. Dari

daerah ini kemudian dibawa ke Spanyol dan di sebarluaskan ke negara-negara lain di

Eropa, Afrika, Amerika Selatan, Malaysia dan Indonesia (Sunarjono, 2003).

Indonesia terdapat paling sedikit 62 spesies lalat buah, 26 spesies di antaranya

ditemukan di Jawa (Hardy, 1983). Dari spesies yang ada, hanya kurang dari lima

spesies merupakan hama yang merugikan, salah satu di antaranya adalah Dacus (Syn.

Bactrocerta) dorsalis (Hendel) yang menurut Kalshoven (1981) banyak menimbulkan

kerusakan pada bebuahan seperti belimbing, mangga, jeruk dan cabai merah. Lalat

buah atau biasa dikenal dalam istilah ilmiah yaitu Bactrocera sp. merupakan salah satu

serangga yang bersifat hama atau menganggu, merusak dan menurunkan hasil

pertanian. Bactrocera sp. merupakan spesies-spesies lalat buah yang berasal dari daerah

tropika, tidak semua jenis lalat buah secara ekonomis penting, hanya kira-kira 10 %

jenis lalat buah yang merupakan hama (Widiyana et al, 2006).

Siklus hidupnya lalat buah mempunyai 4 stadium hidup yaitu telur, larva, pupa

dan dewasa. Umur imago atau lalat buah dewasa dapat mencapai 1 bulan. Lalat buah

dewasa meletakkan telur-telurnya yang berbentuk seperti pisang di bawah permukaan

48
buah atau batang, dan akan menetas dua-tiga hari kemudian. Satu ekor lalat betina

Bactrocera sp. menghasilkan telur 1200-1500 butir. Telur berwarna putih, berbentuk

bulat panjang, dan diletakkan berkelompok 2-15 butir. Seekor lalat betina dapat

meletakkan telur 1-40 butir/hari. Larva yang disebut sindat atau singgat ini kemudian

mulai menggerogoti daging buah atau jaringan batang dan matang setelah tujuh sampai

sepuluh hari. Larva kemudian berpupa di dalam tanah, di dalam sebuah selubung. Masa

pupa rata-rata 19 hari, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembaban tanah, yaitu

umur pupa lebih pendek pada kelembaban lebih tinggi( Kalshoven, 1981).

Lalat buah termasuk salah satu jenis serangga yang banyak ditemukan pada pagi

atau sore hari terbang di sela-sela tanaman buah-buahan maupun sayurs-ayuran. Lalat

buah membutuhkan karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin. Aktivitas makan

lalat buah berlangsung antara pukul 07.00-10.00 WIB (Putra, 1997). Pakan lalat buah

dewasa diperoleh dari cairan manis buah-buahan, eskudat bunga, nectar, embun madu

yang dikeluarkan oleh kutu-kutu homoptera, dan kotoran burung.

Lalat buah merupakan hama yang sangat merusak tanaman dari jenis tanaman

hortikultura, khususnya tanaman buah-buahan dan sayuran. Jenis tanaman buah dan

sayur yang sangat riskan terserang lalat buah salah satunya adalah terong. Hama ini

menimbulkan kerugian, baik secara kuantiitas misalnya berupa kerontokan pada

beberapa buah muda atau buah yang belum matang. Sementara itu, kerugian secara

kualitas, misalkan buah atau sayuran menjadi busuk dan berisi belatung. Selain itu lalat

49
buah juga merupakan pembawa (vektor) bakteri Escherichia coli yang bisa

menyebabkan penyakit pencernaan pada manusia (Sunarno, 2013).

Lalat buah biasanya menyerang buah-buah yang menjelang masak. Gejala

serangan lalat buah ditandai oleh adanya noda-noda kecil bekas tusukan ovipositor

imago betina. Noda-noda kecil ini kemudian berkembang menjadi bercak coklat

sebagai akibat dari aktivitas larva di dalam buah, perkembangan lebih lajut akan

menyebabkan buah membusuk dan rontok (Liang et al, 1991).

Monitoring atas populasi dan spesies yang menyerang sekaligus sebarannya

dapat digunakan zat pemikat atau atraktan. Jenis zat pemikat (antraktan) yang sering

digunakan dan memiliki pengaruh daya pikat yang kuat ialah: Methyl Eugenol (ME)

dan Cue Lure (Cue). Kedua atraktan ini mempunyai daya pikat yang bebeda, ME

mempunyai daya pikat dengan jangkauan radius lebih kurang 0,8 km, sedangkan Cue

hanya pada radius 0,3 km (Drew, 1978). Penelitian Kardinan (2005) dilaporkan bahwa

ekstrak selasi hijau mengandung metil eugenol sekitar 67 persen. Grainge dan Ahmed

(1987), menuliskan bahwa dalam minyak selasih hijau mengandung bahan yang

mampu untuk menarik lalat buah jantan. Dengan menggunakan antraktan disamping

dapat digunakan sebagai monitoring juga dapat digunakan sebagai perangkap untuk

pengendalian lalat buah. Dengan tertangkapnya lalat jantan maka kegiatan kawin dari

lalat buah akan terhambat sehingga dapat menekan populasi lalat buah di kemudian

hari. Sekaligus dapat menekan intensitas serangan karena semakin sedikit lalat betina

yang dibuahi semakin sedikit pula lalat betina yang meletakan telur pada buah.

50
Metil Eugenol dapat dihasilkan dari berbagai tanaman seperti cengkih, cemara

hantu, selasih dan masih banyak lagi. Tumbuhan penghasil metil eugenol yang

langsung dapat dipakai adalah dari tanaman cengkih dan selasih dari jenis O.

tenuiflorum, O. sanctum dan O. minimum merupakan kelompok penghasil methyl

eugenol yang dapat digunakan sebagai atraktan lalat buah. Senyawa metil eugenol yang

digunakan sebagai atraktan dengan perangkap dapat menarik lalat buah untuk datang

ke perangkap yang diberikan larutan senyawa metil eugenol. Senyawa metil eugenol

hanya dapat menarik lalat jantan saja dan lalat betina tidak tertarik pada metil eugenol

(Shelly, 2004).

51
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum pengendalian hama lalat buah meliputi :

metil eugenol. Alat yang digunakan pada praktikum pengendalian hama lalat buah

meliputi : botol aqua bekas, kapas, tali rafia, kantong plastik, label, kertas plano, alat

tulis, pensil warna atau krayon dan sepidol berwarna.

B. PROSEDUR KERJA

1. Praktikan dikelompokan sesuai dengan rombongannya,

2. Kapas yang telah diolesi metil eugenol dipasang oleh tiap kelompok di dalam

botol aqua bekas yang telah dilubangi,

3. Perangkap tersebut kemudian dipasang pada pertanaman terong,

4. Kemudian perangkap diamati setiap hari selama 3 hari,

5. Jumlah serangga dewasa lalat buat yang terperangkap dihitung,

6. Kemudian bentuk tubuh lalat buat digambar pada kertas plano dan diberi warna,

7. Kemudian spesies dari lalat yang tertangkap ditentukan dan dideskripsikan seperti

morfologinya, gejala serangan dan lain sebagainya.

8. Kemudian hasil pengamatan dipresentasikan

52
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 9. Transek Lalat Buah Tanaman Terong

53
Gambar 10. Lalat Buah Bactrocera papaya

54
B. Pembahasan

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 4 Oktober 2016. Praktikan

memasang perangkap metil eugenol dengan menggunakan botol kemudian diletakkan

dibagian cabang tanaman terong, didekat buah. Pengamatan dilakukan selama 3 hari,

mulai tanggal 4-6 Oktober 2016. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,

pengamatan dilakukan terhadap perangkap lalat buah menggunakan umpan kapas yang

telah di lapisi feromon seks yang di taruh pada tanaman terong. Kami tidak menemukan

lalat buah di dalam perangkap.

Berdasarkan morfologi ukuran rubuh lalat jantan lebih kecil dari pada lalat betina,

terdapat sisir kelamin sebesar ujung abdomen tumpul, dan lebih hitam. Muka berwarna

kuning coklat dengan speasang spot hitam berbentuk oval. Sayap dengan costal band

tipis berwarna hitam coklat. Abdomen berwarna coklat oranye dengan pola T jelas

dengan garis hitam tipis melintang. Torak, skutum, berwarna hitam dominan, pita

warna kuning disisi lateral. Menurut Isnaeni (2013), lalat buah Bactrocera papayae

memiliki ciri pita hitam pada garis costa dan garis anal sangat jelas, abdomen dengan

ruas-ruas jelas, tergit 3 terdapat garis melintang, dan warna hitam dominan pada

skutum dan mempunyai rambut supra, skutum dengan pita berwarna kuning/orange

disisi lateral.

Perilaku lalat buah, seperti kegiatan mencari makanan, meletakkan telur, dan

melakukan hubungan seksual, dikendalikan dan dirangsang oleh bahan kimia yang

dikenal sebagai semiochemicals yang salah satu jenisnya adalah kairomones.

55
Kairomones. Kairomones yang dapat merangsang alat sensor serangga adalah metil

eugenol yang merupakan antraktan atau pemikat lalat buah (Kardinan, 2005).

Perbedaan Antara Lalat Buah Jantan Dan Betina

Jantan Betina

Ukuran lebih kecil dari betina Ukuran tubuh lebih besar dari jantan

Sayap lebih pendek dari sayap betina Sayap lebih panjang dai sayap jantan

Terdapat sisir kelamin (Sex comb) Tidak terdapat sisir kelamin (sex comb)

Ujung abdomen tumpul da lebih hitam Ujung abdomen runcing

(Putra, 1997).

Gejala awal ditandai dengan noda atau titik bekas tusukan ovipositor (alat peletak

telur) lalat betina saat meletakkan telur ke dalam buah. Selanjutnya karena aktivitas

hama di dalam buah, noda tersebut berkembang menjadi meluas. Larva makan daging

buah sehingga menyebabkan buah busuk sebelum masak. Apabila dibelah pada daging

buah terdapat belatung-belatung kecil dengan ukuran antara 4-10 mm yang biasanya

meloncat apabila tersentuh. Kerugian yang disebabkan oleh hama ini mencapai 30-

60%. Kerusakan yang ditimbulkan oleh larvanya akan menyebabkan gugurnya buah

sebelum mencapai kematangan yang diinginkan (Khalsoven, 1981).

Lalat betina memerlukan nutrisi untuk proses pematangan telur. Beberapa nutrisi

yang diperlukan dan terdapat di alam antara lain nektar dan madu. Lalat betina

56
merupakan penyebab kerusakan pada buah-buahan karena lalat betina inilah yang

meletakkan telur-telurnya kedalam buah dengan alat peletak telur (Ovipositor). Telur

tersebut kemudian menetas menjadi larva atau belatung yang merusak buah. Berbeda

dengan lalat betina, lalat jantan tidak berperan langsung dalam menimbulkan kerugian,

tetapi peranannya sebagai pejantan yang membuahi lalat buah betina sangat

berpengaruh terhadap populasi lalat buah di alam (Kardinan, 2005).

Beberapa cara pengendalian yang dilakukan, antara lain :

a. Fisik (Mekanis)

Cara mekanis adalah dengan pengumpulan dan pemungutan sisa buah yang tidak

dipanen terutama buah sotiran untuk menghindarkan hama tersebut menjadi inang

potensial, akan menjadi sumber serangan berikutnya. Pengendalian mekanis juga dapat

dilakukan dengan mengumpulkan buah yang busuk atau sudah terserang kemudian

dibenamkan kedalam tanah atau dibakar. Pembungkusan buah mulai umur 1,5 bulan

untuk mencegah peletakan telur (oviposisi), merupakan cara mekanik yang paling baik

untuk diterapkan sebagai antisipasi terhadap serangan lalat buah. Atau dapat juga

dilakukan dengan pembungkusan buah, atau penjaringan pohon buah. Namun cara-

cara ini kurang efisien jika diterapkan di kebun yang luas. Cara ini hanya efisien

diterapkan di pohon-pohon milik perseorangan. Selain itu kelemahan pengendalian

fisik atau mekanik adalah sulit diterapkan pada komoditas sayuran, seperti tmat, cabai

merah dan meolon. Kesulitan terutama terjadi karena terlalu banyak bungkus plastik

dan tenaga kerja yang diperlukan untuk membungkus sayuran (Kardinan, 2005).

57
b. Kultur Teknis

Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan pengolahan tanah

(membalik tanah) di bawah pohon/tajuk tanaman dengan tujuan agar pupa terangkat ke

permukaan tanah sehingga terkena sinar matahari dan akhirnya mati (Putra, 1997).

c. Kimia

Penyemprotan insektisida dianggap kurang efektif karena menyebabkan

pemborosan sebab banyak yang tidak tepat sasaran, mengingat sifat lalat buah yang

selalu bergerak. Penggunaan insektisida juga bisa menyebabkan pencemaran

lingkungan dan meninggalkan residu berbahaya pada komoditas yang ditanam

(Kardinan, 2005).

Pengendalian dengan cara kimia dilakukan dengan menggunakan senyawa

perangkap atau atraktan yang dikombinasikan dengan insektisida. Senyawa yang

umum digunakan adalah Methyl eugenol. Caranya dengan meneteskan pada segumpal

kapas sampai basah namun tidak menetes, ditambah dengan insektisida dan dipasang

pada perangkap yang sederhana, modifikasi dari model perangkap Stiener. Alat

perangkap terbuat dari dari botol bekas air minum mineral yang lehernya berbentuk

kerucut atau toples plastik. Botol diberi lubang dan setiap lubang diberi corong. Corong

tersebut berperan sebagai tempat masuknya lalat. Kapas yang telah ditetesi metil

eugenol gigantung di dalam botol. Perangkap dipasang dekat pertanaman atau pada

cabang atau ranting tanaman. Pemasangan dilakukan sejak buah pentil sampai panen.

58
Pemberian cairan atraktan diulang setiap 2 minggu sampai 1 bulan. Setiap satu hektar

dapat dipasang 15-25 perangkap (Putra, 1997).

Masih ada lagi cara pengendalian lalat buah, yakini dengan menggunakan

protein bait (Pencampuran protein hidrolisat yang merupakan makanan lalat buah

dengan insektisida). Keunggulan penggunaan protein bait adalah daya bunuhnya yang

tinggi. Jika lalat bua mengkonsumsinya, bisa dipastikan langsung mati sehingga tidak

memerlukan perangkap lagi (Kardinan, 2005).

d. Biologi

Pengendalian lalat buah secara biologis bisa dilakukan dengan cara menghasilkan

lalat buah jantan yang mandul. Teknik pengandalian ini masih dalam penelitian, tetapi

dianggap kurang praktis karena untuk menghasilkan lalat jantan mandul diperlukan alat

dan teknoloi khusus. Untuk membuat lalat jantan mandul diperlukan sejumlah lalat

jantan yang disinari dengan sinar gamma (biasanya cobalt 60 atau phosphor 132)

(Kardinan, 2005). Penyinaran sebenarnya dapat dilakukan pada beberapa fase, seperti

pada fase telur, larva, kepompong dan pada serangga dewasa. Penyinaran yang umum

dilakukan adalah pada fase kepompong. Hal ini dikarenakan pada fase kepompong

merupakan fase perkembangannyaitu terjadi transformasi organ muda menjadi organ

dewasa, yakini terbentuknya sperma dan telur. Umur kepompong yang baik untuk

dilakukan radiasi yaitu pada akhir fase kepompong (1 atau 2 hari sebelum eklosi).

Karena pada fase tersebut jaringan terbentuk mendekati sempurna (Widiyana et al.,

2006).

59
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dinamika populasi adalah faktor suhu,

kelembaban, cahaya, curah hujan, tanaman inang, dan musuh alami. Faktor iklim

berpengaruh pada pemencaran, perkembangan, daya bertahan hidup, perilaku,

reproduksi, dinamika populasi, dan peledakan hama (McPheron dan Steck, 1996).

Menurut Siwi et al (2006), iklim berpengaruh terhadap perilaku seperti aktifitas kawin

dan peletakan telur yang mempengaruhi angka kelahiran, kematian, dan penyebaran

serangga.

Curah hujan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kelimpahan buah inang

dan populasi. Kemunculan imago lalat buah dari pupa juga dipengaruhi oleh

kelembaban tanah. Kelembaban tanah yang optimal bagi kehidupan pupa lalat buah

antara 80-90% (Sodiq, 1992). Pada umumnya kepadatan populasi meningkat dengan

curah hujan yang meningkat, akan tetapi melalui melalui studi diketahui bahwa terjadi

ledakan pada kepadatan populasi setelah badai topan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

iklim berperan sebagai faktor mortalitas yang tidak tergantung kepadatan.

Kelembaban udara yang terlalu tinggi (95-100%) dapat mengurangi laju

peletakan telur. Semakin tinggi kelembaban udara maka lama perkembangan akan

semakin panjang. Kelmebaban yang optimu perkembangan lalt buah berkisar antara

70-80%. Lalat buah dapat hidup baik pada kelembaban antara 62-90% (Landolt dan

Quilici, 1996).

Intensitas cahaya dan lama penyinaran dapat mempengaruhi aktivitas lalat betina

dalam perilaku makan, peletakan telur, dan kopulasi. Lalat aktif pada keadaan terang,

60
yaitu pada siang hari dan kopulasi pada intensitas cahaya rendah. Selain itu, lalat betina

yang banyak mendapatkan sinar akan lebih cepat bertelur (Siwi et al, 2006).

Suhu adalah faktor yang mempengaruhi laju perkembangan stadium muda lalat

buah dan akan menentukan fluktuasi populasinya Pada daerah tropis yang tidak banyak

mengalami fluktuasi suhu, fluktuasi populasi lalat buah secara nyata tetap terjadi.

Populasi lebih besar terjdi selama musim kemarau daripada di musim hujan. Untuk

lalat buah yang multivoltine, suhu di bawah 21C dapat menurunkan laju pertumbuhan

lalat buah selama stadium muda. Produksi telur maksimum terjadi pada suhu 25C

sampai dengan 30C (Alwood, 1996).

Tingkat kematangan buah berpengaruh terhadap kehidupan lalat buah. Buah yang

lebih matang lebih disukai oleh lalat buah untuk meletakkan telur daripada buah yang

masih hijau. Tingkat kematangan buah sangat mempengaruhi populasi lalat buah. Jenis

pakan yang banyak mengandung asam amino, vitamin, mineral, air, dan karbohidrat

dapat memperpanjang umur serta meningkatkan keperidian lalat buah. Peletakkan telur

dipengaruhi oleh bentuk, warna, dan tekstur buah. Bagian buah yang ternaungi dan

agak lunak merupakan tempat ideal untuk peletakan telur (Siwi, 2006).

Musuh alami lain bagi lalat buah di alam berupa parasitoid dari genus Biosteres

dan Opius dan beberapa predator seperti semut, sayap jala (Chrysopidae va. (ordo

Neuroptera)), kepik Pentatomide (ordo Hemiptera) dan beberapa kumbang tanah (ordo

Coleoptera). Peran musuh alami belum banyak dimanfaatkan mengingat populasinya

yang rendah dan banyaknya petani yang mengendalikan hama menggunakan

61
insektisida. Parasitoid dan predator ini lebih rentan terhadap insektisida daripada hama

yang diserangnya (Khalsoven, 1981).

Prinsip kerja perangkap lalat buah ini adalah memikat lalat buah agar masuk ke

dalam perangkap. Lalat buah akan masuk, lengket atau tenggelam di dalam botol dan

akhirnya mati. Perangkap ini bisa dibuat dari botol air minum kemasan yang bagian

lehernya dipotong dan dipasang lagi dengan posisi terbalik. Di dalam botol tersebut

dipasang kapas yang ditetesi metil eugenol, atraktan yang menyerupai feromon seks

lalat betina. Metil eugenol ini mengeluarkan aroma wangi yang disenangi lalat buah

jantan, sehingga lalat buah jantan akan tertarik masuk perangkap. Kalau lalat buah

jantannya terperangkap, artinya populasi lalat buah bisa diminimalisir. Perangkap ini

dipasang pada tiang atau ranting pohon setinggi 2-3 meter dari permukaan tanah.

Dipasang terus menerus selama tanaman berbuah dan zat pemikat harus diisi ulang jika

aromannya telah hilang.

Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah dalam 3 cara,

yaitu : (a) mendeteksi atau memonitor populasi lalat buah, (b) menarik lalat buah untuk

kemudian dibunuh dengan perangkap dan (c) mengacaukan lalat buah dalam

melakukan perkawinan, berkumpul ataupun tingkah laku makan (Miele et al.,

2001). Salah satu bahan antraktan adalah metil eugenol. Metil eugenol adalah zat yang

bersifat volatile atau menguap dan melepaskan aroma wangi. Susunan kimia metil

eugenol terdiri dari unsur C, H dan O (C12H24O2). Radius aroma antraktan bisa

62
mencapai 20-100 m, tetapi jika dibantu angin jangkauannya bisa mencapai 3 km

(Kardinan, 2005).

Di alam, lalat jantan mengkonsumsi metil eugenol untuk kemudian setelah

diproses dalam tubuhnya melalui suatu metabolisme akan menghasilkan zat penarik

(sex pheromone) bagi lalat betina yang sangat diperlukan pada proses perkawinan.

Atraktan berbahan aktif metil eugenol ini tergolong kepada Food lure artinya lalat

jantan akan datang tertarik untuk keperluan makan (Food), bukan untuk keperluan

sexual secara langsung. Lalat jantan akan berusaha keras untuk mendapatkan metil

eugenol sebelum melakukan perkawinan (Rouse et al., 2005).

Metil eugenol dapat dibuat secara sintetis dari bahan-bahan kimia. Selain dari

bahan kimia sintetis, metil eugenol juga dapat dibuat secara langsung dari eugenol.

Salah satu tanaman penghasil eugenol adalah cengkeh. Eugenol cengkeh diproses lebih

lanjut dengan proses metilasi untuk kemudian menjadi metil eugenol. Di alam lalat

jantan bisa mendapatkan eugenol dari beberapa jenis tanaman, seperti trengguli dan

selasih (Kardinan, 2005).

Cara untuk menanggulangi adanya hama lalat buah dengan dilakukan

pengendalian hama secara terpadu, jadi pengendalian hama lalat buah tidak hanya

menggunakan satu jenis cara semisal pembuatan perangkap, namun harus dilakukan

pula pengendalian lain seperti melakukan pemanenan sebelum buah terlalu matang,

pembungkusan buah, pemasangan mulsa, menggunakan musuh Alamo dan sanitasi

lingkungan, sehingga dengan diterapkannya semua jenis. Pengendalian dapat menekan

63
populasi dari lalat buah sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunarno (2013).

Perlindungan tanaman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan

ekosistem pertanian secara keseluruhan, memegang peranan penting dalam progaram

peningkatan produksi tanaman hortikultura, yaitu untuk mengamankan produksi dari

gangguan OPT. Dalam usaha pengendalian OPT pemerintah telah menetapkan

kebijakan untuk menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang

prinsipnya mengutamakan penerapan pengendalian yang ramah lingkungan.

Lalat buah sendiri tidak membawa virus atau patogen, namun patogen bisa

menginfeksi buah yang luka akibat tusukan ovipositor lalat buah, sehingga adanya luka

pada buah bisa menjadi tempat perkembangbiakan patogen dengan cara patogen masuk

melalui percikan air hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nirwanto (2008) menurut

hasil penelitian penyebaran penyakit bercak ungu pada tanaman bawang merah melalui

percikan air hujan. Konidia disebarkan ke daun-daun lain oleh angin dan percikan air

hujan. Tidak semua patogen disebarkan oleh percikan air namun bisa melalui udara

atau gesekan dengan tanaman yang terjangkit.

Pengendalian yang diterapkan pada kebun terong di belakang kampus fakultas

pertanian sudah menggunakan mulsa plastik, selain mulsa berperan mengatur

kelembapan dalam tanah mulsa juga bisa dijadikan sebagai salah satu cara

pengendalian pupa lalat buah, sebab pupa lalat buah berada pada dalam tanah. Mulsa

plastik berfungsi untuk memutus siklus hidup lalat buah yaitu menghalangi larva instar

terakhir untuk masuk dan berpupa di dalam tanah sedangkan mulsa jerami dipercaya

64
dapat menumbuhkan jamur parasit yang dapat menyerang pupa. Hal ini sesuai dengan

pendapat Wahyono dan Tarigan (2007) bahwa larva lalat buah kemudian berpupa di

dalam tanah dan masa pupa rata-rata 19 hari, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi

kelembaban tanah, yaitu umur pupa lebih pendek pada kelembaban lebih tinggi

(Montoya, 2008).

Menurut Hasyim et al (2010), teknologi pengendalian hama lalat buah perlu

dilakukan untuk mengurangi kerugian hasil produksi. Diantara teknologi pengendalian

hama lalat buah yang ramah lingkungan ialah :

1. Secara kultur teknis

a. Sanitasi lahan, bertujuan untuk memutuskan daur hidup lalat buah, sehingga

perkembangan lalat buah dapat ditekan. Sanitasi dilakukan dengan cara

mengumpulkan buah yang jatuh atau busuk kemudian dimusnahkan dan

dibakar atau dibenamkan di dalam tanah dengan cara membuat lubang

berukuran 1 x 0,5 m atau 1 x 1 m sampah/serasah di sekitar tanaman juga harus

dikumpulkan dan dibakar atau dipendam dalam tanah. Pastikan ke dalam tanah

tidak memungkinkan larva berkembang menjadi pupa. Pupa yang ada dalam

tanah dapat dimusnahkan dengan cara mengembalikkan tanah di sekitar

tanaman.

b. Gunakan perangkap lem kuning atau lem tikus bening yang dicampur dengan

sedikit metyl eugenol untuk menangkap lalat buah dewasa.

65
c. Pengapasan dengan membakar sampah kering, dan dibagian atasnya ditutupi

sampah basah, agar dapat dihasilkan asap dan tidak sampai terbakar. Kepulan

asap yang menyebar ke seluruh bagian tanaman akan mengusir keberadaan

hama lalat buah.

2. Secara fisik/mekanis

Gunakan perangkap atraktan metyl eugenol yang dipasang atau digantung di

dalam perangkap yang terbuat dari bekas air mineral untuk menangkap lalat

jantan. Bagian dasar botol diberi sedikit air lalat buah mati terendam air.

Sebaiknya perangkap dipasang dibagian luar lahan atau di bagian pinggir

pertanaman, hal ini bertujuan agar lalat tidak terkumpul di tengah pertanaman.

3. Secara biologi

a. Pengendalian secara biologi dapat dilakukan degan cara menghasilkan lalat

buah jantan mandul. Teknik pengendalian jantan mandul berhasil

mengendalikan hama lalat buah di Jepang. Dengan melepaskan serangga jantan

yang sudah mandul, maka telur yang dihasilkan dari perkawinan dengan lalat

betina menjadi steril atau tidak bisa menghasilkan keturunan, dan akhirnya

populasi akan turun dan musnah.

b. Memanfaatkan musuh alami baik parasitoid, predator, atau patogen namun di

Indonesia belum banyak diterapkan. Jenis parasitoid yang banyak ditemukan

Biosteres sp. dan Opius sp. Predator lalat buah yang umum adalah semut, laba-

66
laba, kumbang stafilinid dan cocopet. Jenis patogen yang banyak menyerang

pupa lalat buah adalah Beauveria sp.

4. Secara kimia

a. Dapat dilakukan dengan cara pengabutan/pengasapan (fogging). Caranya

menggunakan alat pengabutan panas (fogger) dan pestisida yang keluar

berbentuk kabut/asap karena ukuran dropletnya sangat kecil.

Pencampuran insektisida dengan zat penarik (atraktan) maupun food attraktan

(tertarik dengan makanan). Food attraktan yang biasanya digunakan adalah berupa

protein hidrolisa yang berasal dari limbah bird an diberi insektisida spinosad kemudian

disemprotkan pada tanaman. Umpan beracun akan dimakan oleh lalat buah jantan atau

betina yang akhirnya dapat membunuh lalat buah.

Fungsi dari lalat buah jantan adalah sebagai lalat yang mengawini lalat betina

untuk menghasilkan keturunan. Lalat buah terong disebabkan oleh faktor genetik dan

faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, tanaman inang, dan

musuh alami. Selain itu faktor kematangan buah, dimana tingkat kematangan buah

berpengaruh terhadap kehidupan lalat buah. Buah yang lebih matang lebih disukai oleh

lalat buah untuk meletakkan telur daripada buah yang masih hijau. Tingkat kematangan

buah sangat mempengaruhi populasi lalat buah. Jenis pakan yang banyak mengandung

asam amino, vitamin, mineral, air, dan karbohidrat dapat memperpanjang umur serta

meningkatkan keperidian lalat buah. Peletakan telur dipengaruhi oleh bentuk, warna,

dan tekstur buah. Bagian buah yang ternaungi dan agak lunak merupakan tempat ideal

67
untuk peletakan telur (Siwi, 2005). Dinamika populasi lalat buah terjadi karena

pengaruh kombinasi antara faktor lingkungan yang bekerja pada populasi dan

karakteristik intrinsik spesies dan individu-individu. Faktor-faktor lain yang

mempengaruhi dinamika populasi adalah faktor suhu, kelembaban, cahaya, curah

hujan, tanaman inang, dan musuh alami. Faktor iklim berpengaruh pada pemencaran,

perkembangan, daya bertahan hidup, perilaku, reproduksi, dinamika populasi, dan

peledakan hama (McPheron & Steck, 1996).

Ciri-ciri lalat Bactrocera papayae (Semangun, 2007):

1. Telur berwarna putih berukuran dengan panjang 0.8 mm dan lebar 0.2 mm.

2. Larva berukuran dengan panjang 7.5-10 mm dan lebar 1.5-2 mm, tidak berkaki dan

berwarna putih kecoklatan.

3. Pupa berwarna coklat berbentuk oval dengan panjang 3-5mm.

4. Imago memiliki thoraks berwarna hitam dengan garis kuning di tepi thoraks, pada

bagian abdomen berwana coklat kekuningan, dan sayap yang transparan (panjang

satu sayap 4mm-6mm).

5. Panjang dari imago berukuran 6mm-8mm dengan lebar 1,5-2 mm.

6. Jenis kelamin Bactrocera dorsalis dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya

ovipositor pada ujung abdomen. Bila terdapat ovipositor dapat dipastikan betina.

Menurut Vijayasegaran (2006) siklus hidup dari lalat buah (Bactrocera papayae)

adalah sebagai berikut :

68
1. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, diletakkan berkelompok 2 - 15 butir

dan diletakkan dibawah kulit buah, dalam waktu 2 hari telur akan menetas

menjadi 1arva yang akan membuat terowongan kedalam buah dan memakan

dagingnya kurang lebih 2 minggu. Seekor lalat betina mampu menghasilkan telur

1200 - 1500 butir.

2. Larva berwarna putih keruh atau putih kekuning-kuningan, berbentuk bulat

panjang dengan salah satu ujungnya runcing. Larva terdiri atas tiga instar, dengan

lama stadium larva 6 - 9 hari. Larva setelah berkembang maksimum akan membuat

lubang keluar untuk meloncat dan melenting dari buah dan masuk ke dalam tanah

untuk menjadi pupa.

3. Pupa terbentuk dari larva yang telah dewasa yang meninggalkan buah dan jatuh di

atas tanah, kemudian masuk kedalam tanah dan membentuk pupa didalamnya.

Pupa berwarna coklat, dengan bentuk oval, panjang 5 mm dan lama stadium

pupa 4 - 10 hari.

4. Imago rata-rata berukuran panjang 7 mm, lebar 3 mm. Lalat buah dewasa

berwarna kuning, sayapnya datar dan transparan dengan bercak-bercak pita (band)

yang bervariasi merupakan ciri masing-masing spesies lalat buah. Pada ujung

sayap ada bercak coklat kekuningan. Pada abdomen terdapat pita-pita hitam pada

thoraxnya ada bercak-bercak kekuningan. Ovipositornya terdiri dari 3 ruas dengan

bahan seperti tanduk keras. Pada lalat betina ujung abdomennya lebih runcing dan

69
mempunyai alat peletak telur, sedangkan abdomen lalat jantan lebih bulat. Secara

keseluruhan daur hidup lalat buah berkisar 25 hari.

70
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Aplikasi feromon seks dilakukan pada tanaman terong dengan penggunaan botol

aqua bekas yang diberi lubang berbentuk segitiga dan diberi kapas yang telah diberi

feromon sek.

2. Berdasarkan hasil pengamatan tidak diperoleh jumlah lalat buah yang masuk

kedalam botol.

3. Keuntungan menggunakan metil eugenol adalah dapat menekan populasi lalat di

lapang secara tidak langsung, dengan menangkap lalat buah jantan agar tidak

mengawini lalat betina

B. Saran

Praktikan harus bisa mengira-ngira ukuran lubang perangkap yang tepat agar lalat

yang sudah masuk tidak keluar kembali, dan praktikan juga harus benar-benar teliti

dalam menentukan jenis lalat yang didapatkan dalam perangkap.

71
DAFTAR PUSTAKA

Alwood, A.J. dan Leblanc, L. 1996. Losses Caused by Fruit Flies (Diptera:
Tephiritidae) in Seven Pacific Island Countries: 208-211. Prosiding ACIAR
Management of fruit Flies In the Pacific. A Regional symposium, Nadi, Diji
28-31 October 1996.

Drew, R.A.I. 1978. Economic Fruit Flies of the South Pacific Region. Romig
Queensland : MCF.

Grainge, M. and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest-Control Properties.


John Wiley & Sons, New York.

Hardy, D.E. 1983. The fruit flies: The genus Dacus of Java, Sumatra, & Lombok,
Indonesia. Treubia.

Hasyim, A, Boy, A dan Hilman, Y. 2010. Respon Hama Lalat Buah Jantan Terhadap
Beberapa Jenis Attraktan dan Warna Perangkap di Kebun Petani. Jurnal
Hortikultura. Vol 2(42) : 164-170.

Isnaeni, Yanuarti Nur. 2013. Identifikasi Spesies dan Kelimpahan Lalat Buah
Bactrocera spp di Kabupaten Demak. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Kalshoven. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Lalat Buah Pada Beberapa


Sistem Penggunaan Lahan di Bukit Rigis. Sumber Jaya, Lampung Barat.

Kardinan, A. 2005. Mengenal Labih Dekat Tanaman Pengendali Lalat Buah.


Agromedia Pustaka, Tangerang

Landolt PJ dan Quilici, S. 1996. Overview of Research on the Behavior of Fruit Flies.
In Fruit Fly Pest : A World Assessment of Their Biology and Management. St.
Lucie Press, Florida.

Liang, G.Q., Yang G.H., Liang F, Ian Q.Q, and Xu W. 1991. The First Report of an
Analysis of Protein from Larvae of Four Species of Fruit Fleis with
Elechoplioresis. Acta Agricultural Univenity Jianxiensis. Vol 5(13) : 134-136.

McPheron, B.A. and G.J. Steck. 1996. Overview of Research on the Behavior of Fruit
Flies. In Fruit Fly Pests: A World Assessment of Their Biology and Management.
St Lucie Press, Florida.

72
Montoya, P., S. Flores, & J. Toledo. 2008. Effect of rainfall and soil moisture on
survival of adults and immature stages of Anastrepha ludens and A. obliqua
(Diptera: Tephritidae) under semi-field conditions. Florida Entomologist. Vol
9(1): 643-650.

Nirwanto, Herry. 2008. Kajian Aspek Spasial Penyakit Bercak Ungu (Alternaria porri
Cif. (Ell) pada Tanaman Bawang Merah. Jurnal Pertanian Mapeta. Vol 10 (3):
25-31.

Putra, N.S. 1997. Hama Lalat Buah dan Pengendaliannya. Kanisius, Yogyakarta.

Rouse P., PF. Duyck, S. Quilici and P. Ryckewaert. 2005. Adjustment of Field Cage
Methodology for Testing Food Attractants for Friut Flies (Diptera : Tephritidae).
Ann. Entomol. Soc. Am. Vol 98(3) : 402-408.

Semangun. 2007. Pedoman Identifikasi Hama Lalat Buah. Direktorat Perlindungan


Tanaman Hortikultura, Jakarta.

Shelly, T.E and, R. Nishida. 2004. Larval and Adult Feeding on Methyl Eugenol and
the Mating Success of Male Oriental Fruit Flies, Bactrocera dorsalis (Hendel)
(Diptera: Tephritidae). Entomol. Exp. Appl. Vol 11(2) :155-158.

Siwi S.S, P. Hidayat dan Suputra. 2006. Taksonomi dan Bioekologi Lalat Buah
Penting, Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae) di Indonesia. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Bogor.

Sodiq, M. 1992. Musuh Alami Lalat Buah di Indonesia. Fakultas Pertanian UPN
Veteran, Jawa Timur.

Sunarjono, H. A., A. Soetasad dan S. Muryanti. 2003. Budidaya Terung Lokal dan
Terung Jepang. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sunarno dan Stefen Popoko. 2013. Keragaman Jenis Lalat Buah (Bactrocera Spp) Di
Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Agroforestri. Vol 8(4): 34-41.

Wahyono, T.E. dan N. Tarigan. 2007. Uji Patogenisitas Agen Hayati Beauveria
Bassiana dan Metarhizium anisopliae terhadap Ulat Serendang (Xystrocera
festiva). Buletin Teknik Pertanian. Vol. 12 (1): 56-63.

Widiyana, Rachmia, Achmad Nasroh dan Kuswadi. 2006. Pengaruh Iradiasi Gamma
Terhadap Kemampuan Kawin dan Fertilitas Lalat Buah Bactrocera carambolae
(DREW dan HANCOCK). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi.
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Batan.

73
Vijayasegaran S, and Drew RAI. 2006. Fruit Fly Spesies of Indonesia : Host Range
and Distribution. ICMPFF : Griffith University.

74

Vous aimerez peut-être aussi