Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Alkohol
Etanol atau lebih dikenal dengan alkohol mempunyai rumus kimia C2H5OH. Etanol
sudah ditemukan sejak ratusan tahun lalu yakni pada proses peragian gula menjadi arak
yang dikenal sebagai minuman keras. Pada saat ini etanol banyak digunakan sebagai
bahan kosmetik, obat obatan, pembuatan karet sintesis bahkan sebagai bahan bakar
motor yang dikenal sebagai gasohol, petranol. Adanya krisis energi minyak bumi yang
terjadi selama ini maka usaha pemanfaatan etanol sebagai bahan bakar motor/mobil
semakin intensif (Sebayang, 2006).
Sifat fisika alkohol sebagai senyawa karbon yang memiliki gugus hidroksi (-OH)
alkanol bersifat polar, namun semakin panjang gugus alkilnya maka semakin berkurang
kepolarannya. Jadi, alkanol dengan gugus alkil lebih pendek akan bersifat lebih polar
sehingga lebih mudah larut dalam air dan dalam pelarut polar lainnya. Selain bersifat
polar, alkanol juga dapat membentuk ikatan hidrogen. Adanya ikatan hidrogen
menyebabkan alkanol memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan alkana
pembentuknya atau dengan eter pada berat molekul yang sama. Sifat alkanol lainnya
adalah mudah terbakar (Hassanudin, 2015).
udara lembap, karena adanya HCl yang terhidrasi membentuk kabut. Bila dilarutkan
dalam air, besi (III) klorida mengalami hidrolisis yang merupakan reaksi eksotermis
(menghasilkan panas). Hidrolisis ini menghasilkan larutan bewarna coklat, asam, dan
korosif, yang digunakan sebagai koagulan pada pengolahan limbah dan produksi air
minum. Larutan ini juga digunakan sebagai pengetsa untuk logam berbasis-tembaga pada
papan sirkuit cetak (PCB). Anhidrat dari besi(III) klorida adalah asam Lewis yang cukup
kuat, dan digunakan sebagai katalis dalam sintesis organik (Anonim, 2016).
2.6 Akuades
Akuades atau air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul
air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen.
Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu
pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K (0 ). Zat kimia ini merupakan
suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat
kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam
molekul organik. Keadaan air yang berbentuk cair merupakan suatu keadaan yang tidak
umum dalam kondisi normal, apalagi dengan memperhatikan hubungan antara hidrida-
hidrida lain yang mirip dalam kolom oksigen pada tabel periodik, yang mengisyaratkan
bahwa air seharusnya berbentuk gas, sebagaimana hidrogen sulfida.
Pada tabel periodik, terlihat bahwa unsur-unsur yang mengelilingi oksigen adalah
nitrogen, flor, fosfor, sulfur dan klor. Semua elemen-elemen ini apabila berikatan dengan
hidrogen akan menghasilkan gas pada temperatur dan tekanan normal. Alasan mengapa
hidrogen berikatan dengan oksigen membentuk fase berkeadaan cair, adalah karena
oksigen lebih bersifat elektronegatif dibandingkan dengan elemen-elemen lain tersebut
(kecuali flor). Tarikan atom oksigen pada elektron-elektron ikatan jauh lebih kuat
daripada yang dilakukan oleh atom hidrogen. Atom oksigen juga meninggalkan jumlah
muatan positif pada kedua atom hidrogen, dan jumlah muatan negatif pada atom oksigen.
Adanya muatan pada tiap-tiap atom tersebut membuat molekul air memiliki sejumlah
momen dipol.
Gaya tarik-menarik listrik antar molekul-molekul air akibat adanya dipol ini
membuat masing-masing molekul saling berdekatan, membuatnya sulit untuk dipisahkan
dan pada akhirnya menaikkan titik didih air. Gaya tarik-menarik ini disebut sebagai
ikatan hidrogen. Air sering disebut juga sebagai pelarut universal karena air melarutkan
banyak zat kimia. Air berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan padat di
bawah tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, air dapat dideskripsikan
sebagai sebuah ion hidrogen H+ yang berasosiasi (berikatan) dengan sebuah ion
hidroksida OH- (Anonim, 2016).
organik. Ada tujuh metode dalam rekristalisasi yaitu: memilih pelarut, melarutkan zat
terlarut, menghilangkan warna larutan, memindahkan zat padat, mengkristalkan larutan,
mengumpul dan mencuci kristal, serta mengeringkan produknya (Williamson, 1999).
Kemudahan suatu endapan dapat disaring dan dicuci tergantung sebagian besar
pada struktur morfologi endapan, yaitu bentuk dan ukuran-ukuran kristalnya. Semakin
besar kristal-kristal yang terbentuk selama berlangsungnya pengendapan, maka semakin
mudah penyaringannya dan semakin cepat kristal-kristal itu akan turun keluar dari
larutan. Kristal mempunyai struktur yang sederhana seperti kubus, oktahedron, atau
jarum-jarum. Struktur ini sangat menguntungkan, karena membuatnya mudah dicuci
setelah disaring. Kristal dengan struktur yang lebih kompleks, yang mengandung lekuk-
lekuk dan lubang-lubang, akan menahan cairan induk (mother liquid), bahkan setelah
dicuci dengan seksama (Svehla, 1979).
Sebagian materi padat baik alami maupun buatan terdapat dalam bentuk kristal.
Bentuk dari kristal dapat berupa orthorhombic, heksagonal, monoklinik, triklinik, dan
trigonal. Namun banyak dari kristal ini berupa polycrystalline yang juga terbentuk dari
kristal tunggal. Kristal tunggal yang sering dikonsumsi oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari antara lain kristal garam dan gula. Seperti dijelaskan di atas, proses kristalisasi
dimulai dengan menambahkan senyawa yang akan dimurnikan dengan pelarut panas
sampai kelarutan senyawa tersebut berada pada level super jenuh. Pada keadaan ini, bila
larutan tersebut didinginkan, maka molekul-molekul senyawa terlarut akan saling
menempel dan tumbuh menjadi kristal-kristal yang akan mengendap di dasar wadah,
kotoran-kotoran yang terlarut tidak ikut mengendap (Austin dkk, 1984).
Pembentukkan kristal itu sendiri terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah
nukleasi primer atau pembentukkan inti, yaitu tahap dimana kristal-kristal mulai tumbuh
namun belum mengendap. Tahap ini membutuhkan keadaan sangat jenuh dari zat terlarut.
Saat larutan didinginkan, pelarut tidak dapat menahan semua za-zat terlarut, akibatnya
molekul-molekul yang lepas dari pelarut saling menempel dan mulai tumbuh menjadi inti
kristal. Semakin banyak inti-inti yang bergabung, maka akan semakin cepat pula
pertumbuhan kristal tersebut. Tahap kedua setelah nukleasi primer adalah nukleasi
sekunder. Pada tahap ini pertumbuhan kristal semakin cepat, yang ditandai dengan saling
menempelnya inti-inti menjadi kristal-kristal padat (Austin dkk, 1984).
Rekristalisasi adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristalin. Senyawa yang
diperoleh dari hasil suatu sintesis kimia memiliki kemurnian yang tidak terlalu tinggi,
Oleh karena itu perlu dilakukan rekristalisasi. Proses rekristalisasi suatu senyawa harus
menggunakan pelarut yang sesuai dengan senyawa tersebut. Setelah senyawa tersebut
dilarutkan kedalam pelarut yang sesuai kemudian, dipanaskan (refluks) sampai semua
senyawanya larut sempurna. Apabila pada temperatur kamar, senyawa tersebut telah larut
sempurna di dalam pelarut, maka tidak perlu dilakukan pemanasan kembali. Pemanasan
hanya dilakukan apabila senyawa tersebut belum atau tidak larut secara sempurna pada
keadaan suhu kamar. Salah satu faktor penentu keberhasilan proses kristalisasi dan
rekristalisasi adalah pemilihan zat pelarut. Apabila zat atau senyawa yang akan kita
kristalisasi atau rekristalisasi tidak diketahui secara pasti, maka setidaknya harus
mengenal komponen penting dari senyawa tersebut. Jika senyawa tersebut adalah
senyawa organik, maka yang kita ketahui sebaiknya adalah gugus fungsional senyawa
tersebut. Komponen yang penting harus diketahui yaitu polaritas senyawa yang akan
dikristalisasi atau rekristalisasi (Austin dkk, 1984).
Kemurnian aspirin dapat juga diuji dengan uji titik lelehnya. Titik leleh aspirin
murni adalah 133,4C. Proses pengujian dengan titik leleh adalah dengan menyiapkan 2
buah tabung kapiler, lalu diisi dengan sampel aspirin dan hasil sintesis. Lalu, dipasang
meltingblock dan termometer distatif. Setelah itu, dimasukkan juga pipa kapiler yang
sudah diisi ke melting block. Larutan dipanaskan dengan bunsen dan diamati trayek titik
lelehnya. Apabila mencapai 133,4C, maka aspirin yang dihasilkan sudah murni (Damin,
2006).
2.10 Aspirin
Aspirin atau acetyl salicylic acid yang termasuk dalam golongan salisilat
merupakan salah satu jenis nonsteroidal anti-inflammatory drugs atau NSAIDs yang
banyak digunakan pada pengobatan nyeri ringan sampai sedang. Efek farmakologi
aspirin antara lain analgesik (melawan sakit dan nyeri), antipiretik (menurunkan panas),
anti inflamasi (mencegah peradangan) serta anti koagulan. Aspirin juga merupakan salah
satu obat yang paling sering digunakan di dunia. Diperkirakan penggunaan aspirin di
Amerika mencapai 30 milyar tablet aspirin (40 ton per hari) (Damin, 2006).
Tabel 2.1 Sifat Fisika Aspirin
NO. SIFAT FISIKA ASPIRIN
1. Massa molekul relatif aspirin 180 gram/mol
2. Titik leleh aspirin 133,4C
3. Titik lebur aspirin 138C-140C
4. Densitas aspirin 1,40 gram/cm
5. Bentuk Kristal jarum
6. Warna Putih
7. Bau/aroma Tidak berbau
8. Rasa Asam
(Sumber : Damin, 2006)
Pada era yang sama, bangsa Sumeria juga telah menggunakan senyawa yang serupa untuk
mengatasi berbagai jenis penyakit. Hal ini tercatat dalam ukiran-ukiran pada bebatuan di
daerah tersebut. Pada tahun 400 SM, filsafat Hippocrates menggunakannya sebagai
tanaman obat yang kemudian segera tersebar luas (Anonim, 2016).
Reverend Edward Stone dari Chipping Norton, Inggris, merupakan orang pertama
yang mempublikasikan penggunaan medis dari aspirin. Pada tahun 1763, ia telah berhasil
melakukan pengobatan terhadap berbagai jenis penyakit dengan menggunakan senyawa
tersebut. Pada tahun 1826, peneliti berkebangsaan Italia, Brugnatelli dan Fontana,
melakukan uji coba terhadap penggunaan suatu senyawa dari daun willow sebagai agen
medis. Dua tahun berselang, pada tahun 1828, seorang ahli farmasi Jerman, Buchner,
berhasil mengisolasi senyawa tersebut dan diberi nama salicin yang berasal dari bahasa
latin willow, yaitu salix. Senyawa ini memiliki aktivitas antipiretik yang mampu
menyembuhkan demam. Penelitian mengenai senyawa ini berlanjut hingga pada tahun
1830 ketika seorang ilmuwan Perancis bernama Leroux berhasil mengkristalkan salicin.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh ahli farmasi Jerman bernama Merck pada tahun
1833. Sebagai hasil penelitiannya, ia berhasil mendapatkan kristal senyawa salicin dalam
kondisi yang sangat murni. Senyawa asam salisilat sendiri baru ditemukan pada tahun
1839 oleh Raffaele Piria dengan rumus empiris C7H6O3 (Anonim, 2016).
Kegunaan aspirin dalam kehidupan manusia dan kebutuhan farmasi (Khatzung, 2007) :
1. Efek Anti-inflamasi
Aspirin merupakan penghambat nonselektif untuk kedua isoform siklooksigenase
(COX), tapi salisilat lebih efektif dalam menghambat kedua isoform tersebut. Aspirin
secara ireversibel menghambat COX dan menghambat agrerasi trombosit, sedangkan
salisilat nonterasetilasi tidak menghambat COX dan agregasi trombosit.
2. Efek Analgesik
Aspirin paling efektif meredakan nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang
melalui efeknya pada peradangan dan karena aspirin kemungkinan menghambat
rangsang nyeri pada lokasi subkortikal.
3. Efek Antipiretik
Efek antipiretik aspirin diperantarai baik oleh inhibasi COX di susunan saraf pusat
maupun oleh inhibisi interleukin-1 (yang dilepaskan dari makrofag selama episode
inflamasi).
4. Efek Antitrombosit
Aspirin secara ireversibel menghamabat COX trombosit sehingga efek
antitrombosit aspirin bertahan selama 8-10 hari (sesuai masa hidup trombosit).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3. Larutan dipanaskan diatas penangas air pada temperatur 50C 60C sambil
diaduk selama 15 menit.
4. Campuran dibiarkan menjadi dingin pada suhu kamar sambil diaduk sekali
sekali.
5. Aquades 40 ml ditambahkan dan diaduk dengan sempurna. Dan didiinginkan
selama 1,5 jam menggunakan batu es.
6. Selanjutnya endapan disaring dengan pompa pengisap/vakum.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Pada saat mereaksikan 2,5 gram asam salisilat dengan 7 ml asam asetat anhidrat
dihasilkan larutan berwarna bening dan masih terdapat sedikit serbuk dari asam salisilat.
Asam salisilat merupakan senyawa fenol yang bereaksi dengan gugus hidroksilnya.
Gugus hidroksil bertukar ke senyawa asam asetat anhidrat sehingga membentuk asam
asetat, sedangkan gugus asetil bertukar dengan senyawa asam salisilat menggantikan
posisi gugus hidroksil membentuk aspirin (Sulistyaningrum, 2012). Larutan asam sulfat
pekat digunakan sebagai katalis, dikarenakan reaksi berlangsung dalam suasana asam.
Setelah ditetesi larutan asam sulfat pekat, labu didih dasar bulat di goyang-goyangkan
secara perlahan sehingga seluruh serbuk asam salisilat tercampur secara homogen. Katalis
asam sulfat pekat berguna untuk mempercepat terjadinya reaksi (Damin, 2006). Larutan
tersebut dipanaskan di penangas air agar larutan tersebut bereaksi seluruhnya dengan
hingga homogen. Penambahan akuades bertujuan agar terbentuk endapan aspirin. Hal ini
dikarenakan bahan baku aspirin, yaitu asam salisilat merupakan senyawa turunan asam
benzoat yang merupakan asam lemah yang memiliki sifat sukar larut dalam air (Damin,
2006). Untuk memisahkan endapan dengan larutan digunakan pompa vakum. Endapan
yang di dapat merupakan aspirin hasil sintesis. Pada percobaan ini, didapat aspirin hasil
sintesis sebesar 2,862gram.
Rekristalisasi aspirin digunakan untuk memurnikan aspirin yang sudah
didapatkan dari hasil sintesis. Penambahan alkohol hangat bertujuan sebagai pelarut yang
cocok pada suhu tinggi untuk melarutkan aspirin dan tidak melarutkan pengotor yang
masih terdapat dalam aspirin yang didapat pada sintesis, sehingga pengotor akan
terbentuk menjadi endapan (Hassanudin, 2015). Alkohol dalam kondisi hangat
dimaksudkan agar lebih mempercepat terjadinya reaksi. Begitu juga dengan penambahan
akuades hangat, tujuannya untuk mempercepat terjadinya reaksi. Larutan dipanaskan di
penangas air agar larutan bereaksi sampai homogen (Damin, 2006). Pada saat dipanaskan
aspirin larut dan pengotor menjadi endapan. Endapan yang terbentuk saat pemanasan
langsung disaring secara cepat, agar pengotor tidak ikut saat didinginkan. Larutan
didinginkan bertujuan untuk mendapatkan kristal jarum aspirin. Kristal dapat terbentuk
karena kelarutan padatan biasanya menurun bila suhu diturunkan. Pengotor yang tersisa
tidak ikut mengkristal karena konsentrasinya tidak cukup untuk mencapai jenuh. Setelah
didinginkan, untuk memisahkan kristal dengan pengotor, dilakukan penyaringan
menggunakan pompa vakum. Pada percobaan ini dihasilkan berat aspirin hasil
rekristalisasi adalah sebesar 1 gram. Perbedaan yang cukup besar dibandingkan hasil dari
sintesis diakibatkan karna beberapa kesalahan yang terjadi selama praktikum, yaitu,
pendinginan yang kurang maksimal, pengadukan yang kurang efektif dan masih terdapat
aspirin yang tertinggal dikertas saring saat penyaringan pompa vakum.
Aspirin yang sudah direkristalisasi diuji kemurniannya dengan meneteskan FeCl3.
FeCl3 digunakan sebagai indikator uji kemurnian dikarenakan FeCl3 dapat mengikat
gugus hidroksi pada asam salisilat. Sehingga, jika masih terdapat gugus hidroksi pada
aspirin hasil rekristalisasi, maka akan dihasilkan warna ungu. Warna ungu menandakan
aspirin belum murni. Pada percobaan kali ini, aspirin yang dihasilkan murni dengan
ditunjukkan warna bening pada saat pentetesan FeCl3 (Damin, 2006).
Pada perhitungan stoikiometri secara teoritis dihasilkan 3,24 gram, sedangkan
saat sintesis dihasilkan hanya 2,862 gram. Hal ini dikarenakan beberapa kesalahan pada
saat praktikum dilaksanakan, diantaranya yaitu aluminium foil yang digunakan untuk
menutup mulut labu didih dasar bulat kurang rapat sehingga masih terdapat kemungkinan
larutan menguap dan asam asetat anhidrat yang sempat dibiarkan terbuka yang
menyebabkan ada asam asetat yang menguap (Chasana, 2014).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Aspirin dalam skala labor dapat dibuat dengan mereaksikan asam salisilat, asam
asetat anhidrat dan asam sulfat pekat.
2. Reaksi yang terjadi pada proses sintesis aspirin adalah reaksi esterifikasi karena
gugus hidroksi dari asam salisilat akan bereaksi dengan asetil dari asetat anhidrat.
3. Aspirin hasil praktikum diperoleh sebanyak 1 gram sedangkan secara stoikiometri
yaitu 3,24 gram. Rendemen pada praktikum ini sebesar 65,06% dan efisiensi
sebesar 69%.
5.2 Saran
1. Sebaiknya saat pencampuran zat dalam proses pembuatan aspirin dilakukan di
dalam lemari asam dengan hati hati.
2. Jaga rentang suhu pada saat pemanasan karena suhu tinggi menyebabkan zat
menguap.
3. Lakukan penyaringan zat pengotor dengan segera setelah aspirin dipanaskan agar
aspirin yang didapat lebih murni.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2016, Pengertian Besi (III) Klorida,
https://id.wikipedia.org/wiki/Besi%28III%29_klorida. Diakses Rabu 23 Maret
2016.
Austin, T., dan George, 1984, Shreves Chemical Process Industries, edisi 5, New
York: McGraw-Hill Book Company.
Chasana, U. N., 2014, Esterifikasi Menthol dan Anhidrida Asetat Dengan Variasi
Rasio Mol Reaktan ,1,276-277.
Hassanudin, 2015, Alkohol Pengertian, Rumus Umum, Tata Nama, Sifat, Identifikasi
Dan Kegunaan Alkohol , http://kimiadasar.com/alkohol/. Diakses Selasa 22
Maret 2016.
Katzung, Bertram. G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Sebayang, F., 2006, Pembuatan Etanol Dari Molase Secara Fermentasi Menggunakan
Sel Saccharomyces Cerevisiae Yang Termobilisasi Pada Kalsium Alginat , 75.
TGJ LIPI, 2016, Lembar Data Keselamatan Bahan Asam Sulfat Pekat ,
http://www.kimianet.lipi.go.id. Diakses Rabu 23 Maret 2016.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
% Efisiensi = 69%
% Efisiensi = teoritis percobaan 100%
Teoritis
= 3.24 gram 1 gram 100%
3.24 gram
= 69%
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI