Vous êtes sur la page 1sur 10

PEMBAHASAN

DASAR HUKUM ARAH KIBLAT

A. Pengertian Kiblat
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab asal katanya ialah artinya adalah
keadaan arah yang dihadapi. Kemudian pengertiannya dikhususkan pada suatu arah, dimana
semua orang yang akan mendirikan shalat menghadap kepadanya[1].
Zainul Arifin dalam bukunya Ilmu Falak mengartikan Kiblat yaitu[2] :
a. Arah yang merujuk ke bangunan Kabah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi
b. Jarak yang terdekat dengan Kabah.

B. Dasar Hukum Arah Kiblat


1. Al-Quran
a. Surah Al-Baqarah ayat 142-145 :





































142. Orang-orang yang kurang akalnya[3] diantara manusia akan berkata: "Apakah yang
memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus"[4]
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan[5] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[6]. Maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
145. Dan Sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan
mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian
merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. dan Sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu -kalau
begitu- Termasuk golongan orang-orang yang zalim.

b. Surah Al-Baqarah ayat 149-150 :















149. Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
150. Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya,
agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara
mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan
agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

2. Hadits
a. Hadits riwayat Imam Bukhari







}
{


{

}





Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada
kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh
belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut
dialihkan ke arah Kabah. Maka Allah menurunkan ayat: ("Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit) (QS. al Baqarah: 144). Maka kemudian Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menghadap ke Kabah. Lalu berkatalah orang-orang yang kurang akal,
yaitu orang-orang Yahudi: '(Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah: ("Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus) (QS. al Baqarah: 142). Kemudian ada seseorang yang ikut shalat
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang itu kemudian keluar setelah
menyelesaikan shalatnya. Kemudian orang itu melewati Kaum Anshar yang sedang
melaksanakan shalat 'Ashar dengan menghadap Baitul Maqdis. Lalu orang itu bersaksi
bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan menghadap
Kabah. Maka orang-orang itu pun berputar dan menghadap Kabah.(HR. Bukhari, (Hadits
no. 384 dalam Shahih Bukhari))

b. Hadits riwayat Imam Bukhari














Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada
kami Hisyam bin Abu 'abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu
Katsir dari Muhammad bin 'Abdurrahman dari Jabir bin 'Abdullah berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah
tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardlu, maka
beliau turun lalu shalat menghadap kiblat." (HR. Bukhari, (Hadits no. 385 dalam Shahih
Bukhari))

3. Ijma
Para ulama sepakat bahwa kewajiban menghadap kiblat dalam shalat bagi orang yang
melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Ka`bah (`ain al-kabah). Ia wajib menghadap
bangunan Ka`bah dengan seyakin-yakinnya. Karenanya, orang yang shalat dan ia melihat
Ka`bah, kemudian ia tidak menghadap ke bangunan Ka`bah, maka shalatnya tidak sah.
Kesepakatan ulama di atas sesuai dengan hadits yang telah diriwayatkan dari nabi saw
bahwa beliau mengerjakan shalat dengan menghadap Ka`bah, sementara orang-orang yang
berada di sekitarnya menghadap Ka`bah dari berbagai arah. Nabi bersabda :
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" (HR. Imam Bukhari).
Di pihak lain, para ulama berbeda pendapat tentang orang yang shalat namun tidak melihat
ka`bah. Apakah kewajiban menghadap kiblat dalam shalat itu menghadap bangunan Ka`bah
(`ain al-ka`bah) atau cukup dengan menghadap kearah ka`bah (`jihat al-ka`bah)?
Jawaban masalah tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
Pertama, mayoritas Ulama Madzhab Hanafi berependapat bahwa yang wajib bagi orang
shalat namun tidak melihat Ka`bah adalah menghadap arah ka`bah(`jihat al-ka`bah).
Sedangkan sebagian Ulama Hanafi lainnya berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap
bangunan ka`bah. (`ain al-ka`bah).
Imam ala al-din al-kasani al-hanafi dalam karyanya, bada`i al-shana`i fi tartib al-
syar`i, menyatakan orang yang shalat tidak lepas dari dua kondisi :
1. Mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat atau
2. Melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat.
Apabila ia termasuk orang yang dapat melihat Ka`bah , maka kiblatnya adalah bangunan
Ka`bah (ain al-ka`bah) tersebut, yaitu darimana saja ia melihatnya. sehingga jika ia
melenceng dari bangunan Ka`bah, maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman
Allah swt :










Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-
sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S Al-Baqarah
(2): 150).
Jika ia tidak melihat Ka`bah, maka ia wajib menghadap kearahnya (jihat al-ka`bah), yakni
kepada dinding tempat shalat (mihrab)-nya yang dibangun dengan tanda-tanda yang
menunjukan pada arah Ka`bah.
Pendapat ini berdasarkan hujjah bahwa yang diwajibkan adalah menghadap kepada
sesuatu yang mampu dilakukan (al-maqdur `alaih). Karenanya, tidak diwajibkan untuk
menghadap Kabah. Hal ini di sebabkan apabila bangunan Ka`bah dalam kondisi ini menjadi
kiblatnya berdasarkan ijtihad dan penelitian, maka hukum shalatnya berkisar antara sah dan
batal. Di satu sisi ia tetap menghadap ke bangunan Ka`bah (`ain al-ka`bah) dengan sangat
seksama, maka shalatnya sah. Namun, apabila ia tidak tepat kepada bengunan ka`bah, maka
shalatya tidak sah, karena ia yakin bahwa ijtihadnya jelas-jelas salah.
Sedangkan pendapat yang lain dalam Madzhab Hanafi diantaranya Ibnu Abdillah al-
Bashri mengungkapkan bahwa yang benar adalah menghadap kebangunan Ka`bah (`ain al-
ka`bah) dengan cara berijtihad dan menelitinya. lebih jauh pendapat kedua ini menegaskan
harus adanya niat menghadap bangunan Ka`bah adalah salah satu syarat sahnya shalat.
Pendapat mereka mengacu pada firman Allah swt, surah al-Baqarah ayat 150 diatas.
Ayat diatas di tafsirkan bahwa Allah swt tidak merinci apakah orang yang shalat tersebut
melihat Ka`bah atau tidak melihatnya. Disamping itu kewajiban menghadap Masjidil Haram
(Ka`bah) menunjukan kemulian bangunannya. pengertian ini hanya dapat diterapkan pada
bangunan secara fisik, bukan kepda arah letaknya.
Terlepas dari dua pendapat di atas, dengan lebih jelas Muhammad bin Abdullah al-
Timirtasyi berpendapat bahwa bagi penduduk Makkah, kiblatnya adalah bangunan Ka`bah
(`ain al-ka`bah). Sedangkan bagi penduduk diluar Makkah, kiblatnya arah Ka`bah (jihat al-
ka`bah). Dengan kata lain, bagi penduduk Makkah menghadap kiblatnya harus tepat kepada
bangunan Ka`bah (`ain ka`bah) dan penduduk yang berada diluar Makkah menghadap ke
arah Ka`bah (jihat al-ka`bah).
Kedua, mayoritas Ulama Madzhab Maliki berpendapat bahwa yang wajib bagi orang yang
tidak melihat Ka`bah adalah menghadap kearah Ka`bah (jihat al-ka`bah). Sementara diantara
mereka ada juga yang berpendapat menghadap bangunan Ka`bah (`ain al-ka`bah).
Ibnu Rusyd, salah seorang tokoh Madzhab Maliki, menyatakan apabila menghadap ke
bangunan Ka`bah itu suatu kewajiban, tentu hal ini akan menyuilitkan. padahal allah swt
telah berfirman:
....
....
...Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...
Sebab menghadap kebangunan fisik Ka`bah (`ain al-ka`bah) hanya dapat diketahui
dengan pengukuran dan teknologi dalam menentukannya. Bagaimana mungkin hal ini dapat
diketahui dengan berijtihad selain dengan cara tersebut. padahal umat islam tidak
diperintahkan untuk berijtihad dalam masalah ini, dengan susah payah melakukan
pengukuran tekhnik yang di dasarkan pada pengompasan yang menghasilkan perhitungan
panjang dan lebar suatu negeri[7].
Hal senada diungkapkan oleh Ibnu al-Arabi, beliau berpendapat bahwa kiblat orang yang
tidak melihat Ka`bah adalah arah Ka`bah (jihat al-ka`bah). hal tersebut berdasarkan :
a. Menghadap ke arah ka`bah adalah taklif yang dapat dilaksanakan.
b. Pernyataan pada poin a adalah implementasi dari kitab Allah swt yang tercantum dalam
firman-Nya "Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan dimana saja kamu (sekalian
) berada" (QS. Al-Baqarah (2) : 144).
c. Para ulama Madzhab Maliki memberikan hujjah dengan sahnya shaf yang memanjang
(dalam shalat berjamaah), yang dipastikan melebihi beberapa kali lipat dari lebar Ka`bah.

Lain lagi dengan pendapat kedua tokoh madzhab maliki di atas, Imam al-Qurthubi
menyebutkan bahwa para ulama berbeda pandangan, apakah orang yang tidak melihat
Ka`bah diwajibkan menghadap bangunan Ka`bah (`ain al-ka`bah) atau ke arahnya (jihat al-
ka`bah)? diantara mereka ada yang memilih menghadap ke bangunan Ka`bah. Dari
argumentasi ini, al-Qurthubi lebih sepakat dengan ulama yang memilih kiblat shalat bagi
orang yang tidak melihat Ka`bah adalah menghadap ke arah Ka`bah.
Ketiga, sebagian ulama Madzhab Syafi`i berpendapat yang wajib adalah menghadap ke
bangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang
wajib adalah menghadap ke arah ka`bah (`jihat al-ka`bah).
Imam al-Syirazi menyatakan jika sama sekali dia tidak memiliki petunjuk apapun, maka
dilihat masalahnya. jika ia termasuk orang yang mengetahui tanda-tanda atau petunjuk kiblat,
maka meskipun dia tidak dapat melihat Ka`bah, dia tetap harus berijtihad untuk mengetahui
kiblat. Karena dia memiliki cara untuk mengetahui melalui matahari, bulan, gunung dan
angin. sebagaimana firman Allah :


"Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang itulah
mereka petunjuk. (QS. al-Nahl (16):16).
Dengan berlandaskan ayat diatas, dia berhak untuk berijtihad (dalam menentukan letak
Ka`bah) seperti orang yang paham tentang fenomena alam.
Dalam kitab al-Umm disebutkan yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara
tepat ke bangunan Ka`bah (`ain al-ka`bah). Karena, orang yang diwajibkan menghadap
kiblat, ia wajib menghadap ke bangunan Ka`bah, seperti halnya orang Makkah. adapun
argumentasi yang digunakan oleh kelompok ini berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas yaitu:
"Sesungguhnya Rasulullah saw setelah memasuki ka`bah, belia keluar lalu melakukan
shalat dengan menghadapnya. Kemudian beliau bersabda: "inilah kiblat". (HR.Bukhari
dan Muslim)
Imam Muzani, murid Imam Syafi`i, mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap ke
arah Ka`bah (jihat al-ka`bah). Karena, seandainya yang wajib itu menghadap
bangunan Ka`bah secara fisik, maka shalat berjama`ah yang shafnya memanjang adalah tidak
sah, sebab di antara mereka terdapat orang yang menghadap kearah di luar
bangnunan Ka`bah. Pendapat yang sama diungkapSyeikh Khatib al-Syarbini, beliau
menyatakan bahwa seandainya ada suatu penghalang yang bersifat alamiah antara orang yang
berada di Makkah dan bangunan Ka`bah, misalnya gunung -gunung, atau bangunan yang
baru, maka ia boleh berijtihad untuk menentukan kiblatnya, karena ada kesulitan untuk
melihatKa`bah secara langsung.
Pendapat diatas berlandaskan sebuah hadits yang diriwayatkan abu hurairah ra dari sabda
nabi saw.
"Arah timur dan barat adalah kiblat". (HR. Tirmidzi)
Dari dua pendapat yang telah didukung oleh dalil masing-masing diatas, Imam Nawawi
salah satu mujtahid tarjih Madzhab Syafi`i, menilai bahwa pendapat yang benar dalam
madzhab sSafi`i adalah wajib menghadap kebangunan ka`bah (`ain al-ka`bah). Selanjutnya ia
menyebutkan pandangan ini dipegang juga oleh sebagian ulama madzhab Maliki dan satu
riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Penilaian Imam Nawawi tentang arah kibalat tersebut sama halnya dengan pendapat
Ibrahim al-Bajuri. neliau menyatakan bahwa perkataan ibnu qasim al-ghazi "menghadap
kiblat", maksudnya adalah menghadap kepada bangunan ka`bah, bukan pada arah ka`bah.
lebih jauh beliau menegaskan pendapat ini yang di pegang dalam madzhab syafi`i dengan
yakin melihat bangunan ka`bah bagi yang dekat dengannya, dan dengan perkiraan (zhann)
bagi yang jaraknya jauh dari ka`bah ibrahim al-bajuri, hasyiyah `ala syarh al-"alamah ibnu
qasim al-ghazi, juz 1, hlm 142 dan abi bakri al-dimyathi, `ianah al-thalibin), hlm. 123).
Keempat, Ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap
kearah Ka`bah (`jihat al-ka`bah).
Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan, "Arah antara timur dan barat adalah kiblat".
Dengan demikian, jika melenceng sedikit dari arah Ka`bah tersebut, maka shalatnya tidak
perlu di ulang. Meskipun begitu, ia harus seksama mengarahkan shalatnya pada bagian
tengah kiblat. Pendapat tersebut di kemukakan juga oleh Imam Abu Hanifah.
Bagi kalangan Hanabilah, terdapat dalil yang selalu disebut yaitu sabda nabi saw, "Arah
timur dan barat adalah kiblat". (HR. al-Tirmidzi dan ternasuk hadits Hasan shahih).
Hadits di atas menunjukan bahwa semua arah antara timur dan barat adalah kiblat. Sebab,
seandainya kewajiban itu berupa menghadap kebangunan Ka`bah(`ain al-ka`bah) secara
tepat, tentu shalat jama`ah dengan shaf yang panjang melewati garis yang lurus ke Ka`bah
adalah tidak sah. begitu pula dua orang yang berjauhan jaraknya, kemudian shalat dengan
menghadap kiblat yang sama, maka shalatnya tidak sah, karena menghadap ke bangunan
Ka`bah tidak dapat di lakukan oleh jama`ah pada shaf yang panjang (melebihi batas lebar
bangunan Ka`bah).
Jika ada yang mengatakan bahwa jarak yang berjauhan dapat memperluas cakupan orang
yang lurus dengannya, maka dapat dijawab bahwa cakupan bangunan Ka`bah menjadi luas
apabila shafnya dalam posisi melengkung, sedangkan apabila shafnya lurus memanjang,
maka cakupannya tidak menjadi luas. dengan demikian, makna syathr al-bait adalah arah dan
hadapan ka`bah.
Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa fakta berbicara, para ulama sepakat atas syahnya
shalat berjama`ah dengan shaf yang memanjang diluar garis yang lurus mengarah ke
bangunan Ka`bah. Hal ini apabila orang yang berada pada shaf tersebut yidak melihat
Ka`bah. Kesepakatan ini adalah termasuk produk hukum ijma`. Kiblat bagi orang yang
berada di sebelah utara ka`bah, apabila ia tidak melihat bangunan ka`bah, adalah arah selatan
mana saja. Kecuali apabila ia shalat di depan masjid Nabawi atau masjid-masjid yang pernah
disinggahi rasulullah saw untuk shalat, maka ia wajib menghadap bangunan ka`bah (`ain al-
ka`bah). Sebagaimana orang yang berada di sebelah selatan ka`bah, maka kiblatnya, adalah
arah utara mana saja. Begitu pula orang yang berada di sebelah barat Ka`bah, maka kiblatnya
adalah arah timur mana saja. Demikian pula orang yang berada di sebelah timur Ka`bah,
maka kiblatnya arah barat mana saja. Kaum muslimin indonesia termasuk orang-orang yang
berada di sebelah timur Ka`bah, maka kiblat mereka adalah arah barat, mana saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Izzuddin. 2012. Ilmu Falak Praktis. cet. II. Semarang : Pustaka Rizki Putra
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid Juz 1. Jakarta : Pustaka Amani
Kementerian Agama RI. 2011. Al-quranulkarim Terjemah Tafsir Per-Kata. Bandung : CV.Insan
Kamil.
Zainul Arifin. 2012. Ilmu Falak. cet. I. Yogyakarta : Lukita.

[1]Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, cet. II, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012),
hlm. 18.
[2] Zainul Arifin, Ilmu Falak, cet. I, (Yogyakarta : Lukita, 2012), hlm. 6-7.
[3] Maksudnya adalah orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud
pemindahan kiblat.
[4] Di waktu Nabi Muhammad s.a.w. berada di Mekah di tengah-tengah kaum musyirikin beliau berkiblat ke
Baitul Maqdis. tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan
Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan untuk mengambil Kabah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi
pengertian bahwa dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan Kabah itu menjadi tujuan, tetapi
menghadapkan diri kepada tuhan. untuk persatuan umat Islam, Allah menjadikan Kabah sebagai kiblat.
[5] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang
yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
[6] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya
wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
Kementerian Agama RI, Al-quranulkarim Terjemah Tafsir Per-Kata, (Bandung : CV.Insan Kamil, 2011), hlm.
22
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz 1, (Jakarta : Pustaka Amani, 1995), hlm. 93.

Vous aimerez peut-être aussi