Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Abstrak
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji audit manajemen, pemeriksaan menyeluruh
terhadap organisasi dan manajemen, melalui penelitian empiris untuk
mengumpulkan data tentang bagaimana audit manajemen dirasakan dan diterapkan
di kalangan komunitas bisnis di Jenewa (swiss). Dewan direksi bertanggung jawab
pada pengawasan perusahaan. Fungsi audit internal bekerja di bawah dewan untuk
memastikan bahwa direksi melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh peraturan tata kelola korporasi. Oleh karena itu, audit manajemen
dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Namun, audit manajemen
tidak biasa digunakan sebagai alat untuk menangani tata kelola korporasi. Temuan
penelitian ini memungkinkan penulis menjelaskan mengapa audit manajemen tidak
biasa digunakan atau diacu sebagai alat untuk menangani tata kelola korporasi.
Desain/metodologi /pendekatan
Penulis menggunakan studi etnografi yang bertujuan untuk mengeksplorasi
persepsi audit manajemen di perusahaan jasa di wilayah Jenewa. Studi ini
didasarkan pada transkrip wawancara semi-terarah sebanyak 85 para profesional
yang berlatar belakang manajer dan auditing yang dilakukan selama tiga tahun
Temuan
Makalah ini mengidentifikasi tiga faktor yang mempengaruhi integrasi audit
manajemen ke dalam kegiatan perusahaan, yaitu: tingkat penerimaan alat dan
persyaratan audit manajemen, budaya nasional dan nilai-nilai yang terkandung
dalam kegiatan dan tingkat kedewasaan tata kelola korporasi. Makalah ini
menyajikan temuan berupa hipotesis yang dapat diuji dan diadopsi dalam kegiatan
tata kelola korporasi, dan bukan pada audit manajemen semata.
Keterbatasan penelitian/implikasi
Keterbatasan utama penelitian ini adalah kurangnya validasi hipotesis. Penelitian
ini perlu dilanjutkan dengan menggunakan survei kuantitatif untuk memvalidasi
hipotesis penelitian dan membuat kesimpulan statistik
Orisinalitas/nilai
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis karena studi ini dapat menjadi
landasan dalam penelitian empiris untuk menguji hubungan yang signifikan antara
audit manajemen dan tata kelola korporasi. Temuan ini juga menarik perhatian
khalayak internasional karena menunjukkan kemungkinan tindakan yang dapat
diambil dewan direksi dalam melaksanakan audit manajemen. Temuan ini
menjembatani kesenjangan antara literatur audit manajemen dan memperluas peran
fungsi audit internal. Penelitian ini juga mengkaji cara perusahaandalam konteks
Swissdalam memahami, menerima dan kesiapan untuk menerapkan audit
manajemen sebagai kegiatan tata kelola korporasi.
Kata kunci: Tata kelola korporasi, Etnografi, Audit Internal, Audit Manajemen,
Manajemen, Keterampilan Manajemen, Budaya Bisnis, Perusahaan Berbasis di
Swiss
A. Pendahuluan
Perkembangan terkini dalam tata kelola korporasi sebagian besar terfokus
pada kepatuhan peraturan dan tatanan baru, serta tanggung jawab manajemen
perusahaan dan dewan direksi. Hal ini mendorong pengembangan audit tata kelola
korporasi dan audit compliance (kepatuhan) di samping audit peraturan, keuangan
dan audit internal. Tahun 2010 Survei Audit Internal Global (IIA) yang dilakukan
oleh Institute of Internal Auditors (IIA) menunjukkan bahwa terdapat tiga teratas
kegiatan audit yang dilakukan tahun 2010 terkait dengan operasi, kepatuhan dan
risiko finansial dan kajian tata kelola korporasi yang diharapkan meningkat secara
signifikan IIA, 2011 ).
Sementara itu audit tata kelola korporasi dan audit compliance dilakukan
secara berkala di tingkat perusahaan, dan review kinerja individu karyawan pada
tingkat manajemen, namun pengkajian tentang kinerja tim manajemen sebagai
strategi perusahaan jarang dilakukan. Survai perusahaan publik yang dilakukan
tahun 2010 oleh National Association of Corporate Directors (NACD) menekankan
evaluasi dewan direksi, komite dan direktur, namun tidak disebutkan evaluasi
manajemen, dan seringkali terbatas pada evaluasi kinerja individu. Selanjutnya,
sebagian besar cenderung berupa evaluasi diri, yang secara rutin dilakukan oleh
dewan evaluasi, komite atau direksi sendiri (NACD, 2010).
Review tata kelola korporasi umumnya berupa pemeriksaan apakah prosedur,
alat dan sarana untuk mencapai strategi berjalan secara efektif pada tingkat
operasional, sehingga mengesampingkan keputusan manajemen seperti penentuan
posisi dan pengembangan pasar serta alokasi sumber daya langka. Namun, dewan
direktur bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan manajemen. Pengkajian
atas keputusan ini, apakah berkontribusi terhadap realisasi strageti perusahaan
ataupun sumber tambahan dari risiko perusahaan, seringkali terbengkalai, dan juga
tidak ada tindakan korektif. Misalnya, kegagalan Royal Bank of Scotland
disebabkan oleh keputusan manajemen yang buruk. Akibatnya, British Financial
Services Authority mereview beberapa kelemahan mendasar atas budaya
perbankan, kemampuan dan gaya manajemen serta pengaturan tata kelola secara
menyeluruh ( FSA, 2011 ).
Audit manajemen berusaha mengevaluasi apakah perusahaan memiliki
organisasi yang cocok dan tim manajemen yang sesuai dalam mencapai tujuan.
Audit manajemen terfokus pada tujuan strategis dan memungkinkan perusahaan
untuk menyesuaikan sumber daya manusia di lingkungan bisnis yang terus berubah.
Hal ini tidak hanya mencakup kajian strategi dan bagaimana strategi itu
dilaksanakan, tetapi juga mencakup evaluasi profil dan kompetensi (Hard skill dan
soft skill) tim manajemen. Audit manajemen yang dilakukan dengan baik
menggunakan kriteria kualitatif dalam menganalisis apakah manajemen dapat
mencapai strategi perusahaan secara efektif dan dalam mengevaluasi komposisi,
keterampilan, dan sikap manajemen (Craig-Cooper dan De Backer, 1993a ).
Ruang lingkup audit manajemen adalah mengevaluasi apakah organisasi telah
menerapkan alat yang tepat dan memadai untuk mencapai strateginya dan bukan
sekadar memeriksa bahwa alat ini bekerja secara efektif pada tingkat operasional
(Lewington, 1991), dan terkadang mempertanyakan strategis perusahaan dan tujuan
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, audit manajemen dapat memberi kontribusi
dalam menjelaskan kesalahan masa lalu, namun yang lebih penting, adalah dapat
menjadi langkah antisipasi bagi direksi dalam menjamin pencapaian rencana aksi
yang tepat waktu dan akurat. Akhirnya, audit manajemen dirancang baik sebagai
alat yang prospektif dan berkelanjutan dalam meningkatkan keterampilan dan
kemampuan manajemen. Audit manajemen harus menjadi instrumen integral bagi
tata kelola korporasi untuk refleksi diri dan perubahan organisasi. Konteks
kontroversi mengenai persyaratan tata kelola yang baik dalam hubungannya dengan
kualitas manajemen mengarah ke pertanyaan penelitian berikut (RQ):
RQ1. Mengapa audit manajemen tidak digunakan atau diacu sebagai alat
untuk mengatur tata kelola korporasi?
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana audit manajemen
dirasakan dan bagaimana digunakan dan diterapkan di daerah komunitas bisnis
Jenewa (Swiss). Studi ini didasarkan pada 85 wawancara semi-terarah pada para
profesional dengan latar belakang manajerial dan auditing, sebagian besar aktif di
industri jasa di daerah Jenewa, dan mereka terdaftar dalam program EMBA di
Hautes Etudes Commerciales (HEC) Universitas Jenewa selama tahun 2008, 2009
dan 2010. Kami menerapkan pendekatan etnografi untuk mempelajari bagaimana
audit manajemen dirasakan oleh komunitas Jenewa. Kami mengidentifikasi tiga
alasan utama audit manajemen belum banyak digunakan:
1) tingkat penerimaan alat dan persyaratan audit manajemen;
2) budaya nasional dan nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan; dan
3) tingkat kematangan tata kelola korporasi.
Makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 menyajikan sebuah kajian
literatur, menekankan kegunaan audit manajemen sebagai alat tata kelola korporasi
yang efektif dan kondisi difusi praktik yang penekanan pada peran dan fungsi audit
internal atas kinerja audit manajemen. Setelah menyajikan pengembangan konsep
audit manajemen dan kegunaannya dalam tata kelola korporasi, Bagian 3 dan 4
menggambarkan kerangka teori, disain penelitian dan metodologi. Kami
membangun difusi praktik manajemen dan literatur inovasi untuk menangkap
faktor pendorong atau penghambat adopsi audit manajemen sebagai kegiatan tata
kelola korporasi yang baik. Kami membedakan antara faktor teknis, budaya dan
politik atau kekuasaan dalam memahaminya dari perspektif ethnografi. Bagian 5
menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan empat pertanyaan terbuka
sebagai garis besar. Kami membahas temuan penelitian ini dengan mengaitkan
literatur dan kerangka teoritis yang relevan di Bagian 6 dan menyajikan hipotesis
yang dapat diuji atas adopsi kegiatan perusahaan yang baik oleh organisasi dan
bukan pada audit manajemen saja. Bagian ini diakhiri dengan memberikan
kesimpulan, kontribusi utama dari penelitian ini dan keterbatasan penelitian, juga
menyajikan saran pada bidang-bidang potensial untuk penelitian masa depan.
B. Tinjauan literatur
1. Audit manajemen sebagai alat corporate governance
Konsep tata kelola korporasi (corporate governance) telah berkembang pesat
selama 10 tahun terakhir, baik dalam literatur akademis maupun profesional. Hal
ini terutama disebabkan oleh skandal seperti Enron, World Com, Parmalat,
terutama krisis hipotek dan krisis keuangan global yang sedang berlangsung. Hal
tersebut disebabkan oleh kecurangan manajerial, kesalahan karena tidak taat aturan
dan kesembronoan yang mengakibatkan hilangnya kekayaan pemegang saham
(Baker, 2010 ). Tujuan memperbaiki tata kelola korporasi untuk menghindari
malapetaka semacam itu telah diajukan sebagai justifikasi persyaratan peraturan
yang berkembang pesat di berbagai wilayah. Sebagai contoh, adopsi Sarbanes-
Oxley Act (SOX) di AS, yang mengintensifkan kegiatan pengendalian di
perusahaan, dan pengembangan kerangka kerja Basel III dalam merespon krisis
keuangan 2008.
Tidak ada konsensus mengenai definisi tata kelola korporasi dalam literatur,
dan paper posisi IIA tentang tata kelola korporasi menguraikan elemen paling
umum dan penting. Posisi IIA menggambarkan tata kelola korporasi sebagai
seperangkat "kebijakan, proses, dan struktur yang digunakan oleh organisasi untuk
mengarahkan dan mengendalikan kegiatan, mencapai tujuan, dan melindungi
kepentingan berbagi kelompok pemangku kepentingan [...]" (IIA, 2006 , Hal. 4).
Untuk melindungi kepentingan stakeholder, dan terutama kepentingan pemegang
saham, tata kelola korporasi berusaha memisahkan dan menyeimbangkan
kekuasaan antara fungsi eksekutif (manajemen), fungsi pengawasan (dewan
direksi) dan fungsi berdaulat (pemegang saham yang mengekspresikan diri pada
General Assembly/Majelis Umum) (Fama dan Jensen, 1983). Konsep tata kelola
korporasi semakin berkembang pesat mencakup perlindungan kepentingan
stakeholder lain, seperti pelanggan, karyawan, pemasok dan otoritas publik
Freeman, 1984 ). Sesuai dengan definisi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) OECD, 2004), tata kelola korporasi merupakan seperangkat
aturan untuk mengelola hubungan antara pemegang saham, manajemen dan dewan
organisasi, serta dalam kaitannya dengan pemangku kepentingan lainnya.
Lebih lanjut, tata kelola korporasi sering dikaitkan dengan kualitas sistem
pelaporan keuangan atau perancangan dan implementasi sistem pengendalian
internal (Wright, 1996 ; Beasley et al., 2000), dan bahkan pada komite manajemen
risiko (Brown et al. , 2009). Pergeseran peraturan perundang-undangan nasional
mengharuskan dewan direksi meningkatkan pengawasan atas sistem pengendalian
internal perusahaan. Misalnya, dengan meminta auditor eksternal melakukan kajian
tahunan terhadap pengendalian internal perusahaan. Di Jerman dan Amerika
Serikat, peraturan tata kelola korporasi mensyaratkan audit sistem pengendalian
internal tahunan bagi perusahaan publik dan perusahaan yang terdaftar. Evolusi ini
telah memupuk perkembangan audit compliance dan audit tata kelola korporasi,
yang menimbulkan keluhan atas biaya tambahan kegiatan (Sneller dan Langendijk,
2007 ).
Dewan direksi merupakan pemain kunci dalam kegiatan tata kelola korporasi
(Coklat Et al. , 2009) dan bertanggung jawab atas pengawasan perusahaan secara
menyeluruh. Audit internal memberikan jaminan yang memadai kepada dewan
komisaris atas regulasi dan prosedur internal. Dewan komisaris biasanya
mendelegasikan tanggung jawab pengawasan di bidang pengendalian internal,
pelaporan keuangan, asesmen risiko dan compince terhadap komite seperti komite
audit. Untuk memenuhi tugas tersebut, komite audit mencari keahlian dan
mengandalkan pekerjaan yang dilakukan oleh fungsi audit internal dan eksternal
(Rezaee, 2010). Audit eksternal umumnya dilakukan melalui perusahaan auditing,
yang sering dipandang berkompetisi dengan fungsi audit internal. Namun,
perkembangan terakhir telah diusahakan untuk meningkatkan kerjasama antara
auditor internal dan eksternal dalam memperbaiki pengendalian risiko dan
compliance (Johl et al. , 2013). Sebagai contoh, SOX menetapkan bahwa tim audit
eksternal dan internal bekerja sama di bawah arahan komite audit (Balkaran, 2008).
Laporan audit manajemen berada dalam lingkup kegiatan korporasi misi tata
kelola korporasi dari dewan direksi. Audit manajemen dapat mengurangi masalah
pusat-agensi dan menawarkan jaminan kualitas tambahan dan esensial atas tata
kelola korporasi kepada dewan direksi, yang biasanya terkait dengan pengendalian
kinerja keuangan dan pengendalian internal. Pemeriksaan terhadap organisasi dan
manajemen secara menyeluruh ini dapat digunakan untuk membantu meningkatkan
kinerja korporasi (Dann et al. , 2002).
Dukungan audit manajemen telah muncul di sektor swasta, dan praktisi telah
melakukan audit semacam itu selama 10 tahun terakhir. Misalnya, Otoritas Jasa
Keuangan Inggris telah mengaudit manajemen atas kasus kegagalan Bank of
Scotland. Namun, kontribusi audit manajemen terhadap kualitas tata kelola
korporasi dengan mengurangi masalah principal-agency dan memperkuat kinerja
keuangan dan pengendalian internal tetap belum dikaji. Terutama, penelitian
akademik tentang audit manajemen sebagai alat tata kelola korporasi belum
dilakukan. Literatur audit manajemen terfokus pada praktik tersebut sejak pertama
kali muncul pada tahun 1930an, namun agak terpisah-pisah, dan saat ini tidak
menghubungkan audit manajemen secara sistematis dengan persyaratan tata kelola
korporasi.
Audit manajemen didefinisikan sebagai "evaluasi manajemen dan fungsi dan
kinerja organisasi terhadap ekonomi, efisiensi, dan efektivitas bidang-bidang
operasi, aktivitas, dan hasil" (Parker dan Foundation, 1986, dikutip dalam Burrowes
dan Persson, 2000 , Hal. 89) pindah ke: teknik yang digunakan untuk mengelola
perubahan secara efektif dan berkontribusi pada efisiensi dewan komisaris dan tim
eksekutif. Ia memberikan penilaian mendalam tentang sebuah perusahaan, dan,
yang lebih penting lagi, evaluasi tim manajemen, termasuk penilaian individu
masing-masing eksekutif dan seberapa baik strategi perusahaan itu sesuai (Craig-
Cooper dan De Backer, 1993c). Sedangkan audit manajemen terfokus pada
efektivitas dan efisiensi manajemen dan bagaimana mereka melaksanakan kegiatan
sebagai sebuah tim (Craig-Cooper dan De Backer, 1993b ; Innes dan Lyon, 1994 ;
Parker dan Foundation, 1986), juga berkontribusi dalam membina tata kelola
korporasi, khususnya efektivitas dewan komisaris dalam memenuhi misi
strateginya dengan membawa organisasi untuk mencapai tujuan. Sejak itu,
beberapa penulis Inggris (Baden, 1968; Bishop, 1974; Craig-Cooper dan De
Backer, 1993c; Glynn, 1987) dan Amerika (Benedict, 1948; Robertson dan Clarke,
1971; Burton dan Fairfield, 1982) mengembangkan proposal tentang bagaimana
melakukan audit semacam itu. Audit manajemen di sektor publik pertama kali
disebut sebagai value for money audit di Australia dan audit kinerja (performance
audit) di Amerika Serikat. Prakteknya kemudian menyebar ke sektor swasta, di
mana, misalnya, Undang-Undang Perusahaan Swedia 1975 mewajibkan
perusahaan Swedia mengaudit dewan direksi dan direktur pelaksana (Burrowes dan
Persson, 2000).
Perkembangan audit manajemen di sektor swasta termotivasi oleh keinginan
untuk menghindari masalah principal-agency, sehingga meningkatkan tata kelola
corporate. Cara pemegang saham memantau dan mengevaluasi perilaku manajemen
dan akuntabilitas kemudian menjadi penting bagi tata kelola yang baik (Fama,
1980). Audit telah banyak dilakukan untuk meyakinkan pemegang saham dan
pemangku kepentingan secara global tentang bagaimana perusahaan
mengendalikan risiko operasional yang terkait dengan pelaporan keuangan dan siste
pengendalian (Kirkpatrick, 2009). Namun, beberapa penulis berpendapat bahwa
fokus pada risiko operasional dan informasi keuangan untuk mengevaluasi kinerja
manajemen dan, perluasan kinerja organisasi, tidak cukup untuk mengurangi
asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham (Richardson, 2000;
Banker et al., 2000). Misalnya, Innes dan Lyon (1994) mengemukakan bahwa
fungsi audit harus berbuat lebih memastikan kinerja manajemen jangka panjang.
Mereka mengkaji dampak audit manajemen eksternal (didefinisikan sebagai
pemeriksaan independen terhadap organisasi yang dihasilkan dalam sebuah
pernyataan kepada pengguna eksternal mengenai kinerja fungsi manajemen) pada
keputusan pinjaman yang dibuat oleh penyedia dana eksternal, dan menunjukkan
korelasi positif antara hasil audit tersebut dengan alokasi serta kondisi dana
bantuan. Dari sudut pandang investor, hal ini menjadi isu penting. Investor akhirnya
menggunakan hasil audit manajemen eksternal sebagai penjaminan fungsi
manajemen seperti keuangan, pemasaran dan produksi sebelum membuat
keputusan investasi (Innes, 1990). Menilai kualitas kinerja manajemen tidak hanya
membutuhkan penggunaan indikator non-keuangan kualitatif, tetapi juga integrasi
indikator tersebut dalam proses pengambilan keputusan manajemen itu sendiri.
Sebagai contoh, Govindarajan (1989) berpendapat bahwa gaya manajemen dan
pengalaman berkitan langsung dengan keberhasilan sebuah strategi. Dia
menyimpulkan bahwa kinerja superior bisa dicapai dengan memilih manajer yang
memiliki keterampilan, pengetahuan dan perilaku yang sesuai dengan strategi
tertentu. Ketika sampai pada strategi, data yang dibutuhkan untuk menilai kontrol
manajemen yang berhasil harus lebih diperhatikan dengan tolok ukur yang
kompetitif dan ukuran kinerja non-keuangan, karena manajemen strategis
berorientasi pada masa depan dan tidak cocok untuk mengontrol dengan ukuran
tradisional seperti anggaran dan target keuntungan (Goold dan Quinn, 1990). Eccles
dan Pyburn (1992) mengkritik kekakuan dan informasi keuangan sebagai indikator
kunci dan menunjukkan bahwa manajemen memerlukan pertimbangan yang kuat
dalam membuat keputusan yang tepat. Bahkan pengenalan balanced score card dari
Kaplan dan Norton (1996), yang merupakan reaksi terhadap informasi manajemen
yang tidak efektif dan tidak berfungsi, dimaksudkan sebagai alat yang dapat
digunakan di luar produksi indicator yang harus digunakan sebagai sistem
informasi dan pembelajaran daripada sistem yang digunakan untuk mengevaluasi
kinerja masa lalu.
C. Kerangka Teoritis
Dalam menjawab pertanyaan, kami bergantung pada makna yang dirasakan
yang dikumpulkan melalui wawancara semi-terarah. Manajer dan auditor telah
mengalami audit manajemen, memperlakukan mereka atau setidaknya
memperhatikannya. Dalam hal ini mereka tiak memiliki, kami masih bisa
mengumpulkan informasi yang relevan mengenai pandangan pribadi tentang audit
manajemen. Kami juga ingin mengidentifikasi implikasi organisasi yang terkait
dengan pelaksanaan misi audit manajemen dalam korporasi.
Penelitian kami terdiri dari studi eksplorasi, yang kami gunakan untuk
menentukan bagaimana manajer dan auditor memandang audit ini dan
mendapatkan indikasi untuk penelitian lebih lanjut. Kami menerapkan pendekatan
ethnografi untuk menggambarkan dunia sosial audit manajemen melalui penjelasan
subjek penelitian (manajer dan auditor). Pendekatan induktif ini mengasumsikan a
priori tidak ada kerangka teoritis. Tujuanya adalah untuk menghasilkan hipotesis
penelitian baru. Metodologi ini sangat relevan ketika pengetahuan ilmiah kurang.
Ethnografi memberikan temuan yang sesuai dengan makna fenomena sosial. Dalam
kasus kami, fenomena sosial adalah kenyataan bahwa perusahaan umumnya tidak
melakukan audit manajemen. Pertanyaan penelitian kami dimulai dengan
mengapa (yaitu mengapa audit manajemen umumnya tidak digunakan atau diacu
sebagai alat untuk mengatasi tata kelola korporasi?), kami ingin mengetahui makna
fenomena sosial ini. Sebagai fakta, kami berkonsentrasi pada pembuatan (Heap,
1976) terkait dengan gagasan praktek (dalam kasus ini, yaitu audit manajemen)
dalam dunia intersubjektif yang diciptakan antara kelompok-kelompok yang
berbeda (dalam kasus ini, manajer bisnis dan auditor) (Garfinkel, 2008; Gephart,
1993; Benson dan Hughes, 1983). Kami menyampaikan keterbatasan dari studi
kami dan temuan kami tidak bisa diekstrapolasikan ke semua perusahaan di Swiss.
Namun, hal ini memungkinkan kita untuk merancang metodologi untuk mengkaji
lebih lanjut dengan kuestioner bentuk tertutup atau survei kuantitatif. Hipotesis
penelitian yang dihasilkan melalui pendekatan ethnografi kemudian dapat
divalidasi melalui statistik.
Ethnografi dipilih sebagai kerangka penelitian untuk pengumpulan data.
Ethnografi merupakan pendekatan penelitian kualitatif yang memungkinkan
peneliti belajar tentang sistem kepercayaan dan kode sosial dari suatu organisasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan episode imersion.
Etnografi tidak membuat apriori asumsi teoritis. Ini adalah alasan utama
mengapa kita menggunakannya. Dalam konteks audit manajemen, kami ingin
melakukan proses penelitian penjajakan tanpa teori yang dibentuk sebelumnya.
Akibatnya, setelah data dianalisis, kami mampu mengajukan hipotesis penelitian
baru. Selanjutnya, hipotesis baru yang dihasilkan itu dibandingkan dengan literatur
ilmiah yang telah ada.
Tujuan utama kami di sini adalah untuk memahami alasan di balik alasan
perusahaan untuk melakukan audit. Untuk mendukung identifikasi dan analisis dari
dimensi yang relevan yang menjelaskan adopsi dan difusi audit manajemen, kita
akan menggunakan literatur tentang difusi praktek--terutama, kerangka kerja yang
dikembangkan oleh Ansari et al. (2010). Kami memerlukan bingkai komprehensif
atas fenomena yang diteliti dalam melakukan pengumpulan data dan menjawab
pertanyaan secara sistematis dan jelas. Akibatnya, pendekatan induktif ini paling
cocok untuk penelitian kami, mengingat tujuan kami adalah mendapatkan wawasan
dalam konteks tertentu, yakni memahami dan menafsirkan dari lapangan.
Banyak literatur tentang penyebaran praktik yang memberikan pemahaman
tentang alasan suatu praktik pada mulanya diadopsi oleh organisasi, baik dari
perspektif ekonomi mauun sosiologi (Sturdy, 2004). Di satu sisi, para ekonom
mempertimbangkan pengadopsi dari praktek-praktek sebagai aktor rasional yang
terfokus pada manfaat atas hasil dari adopsi praktek yang ditetapkan sebelumnya.
Bagi mereka, adopsi atau difusi praktek berkaitan secara positif dengan biaya-
efektivitas (Rogers, 1995 Di sisi lain, sosiolog memandang adopsi praktek sebagai
hasil dari pilihan-pilihan rasional dan lebih terfokus pada persepsi dan dinamika
internal pihak-pihak yang mengadopsi. Secara khusus, Sturdy (2004: 169)
mengidentifikasi faktor-faktor penjelas berikut atas adopsi praktek dan berargumen
bahwa adopsi tidak didasarkan pada penilaian yang sistematis atas solusi masalah
organisasi, tapi pada dorongan, persuasi, kekuasaan, resonansi budaya, dan
legitimasi, atau semua factor tersebut.
Dalam membangun imperatif teknis dari perspektif ekonomi dan imperative
budaya dari perspektif sosial, Ansari et al. (2010) menganalisis proses difusi dengan
berfokus pada kurangnya kesesuaian antara karakteristik praktek dan karakteristik
organisasi mengadopsi. Selanjutnya, penulis ini menggunakan kategorisasi Oliver
(1992) tentang factor-faktor yang mempengaruhi praktek organisasi, menunjukkan
tiga bentuk tidak kompatibel yang dihasilkan dari asal-usul teknis, budaya dan
politik yang mungkin bisa menjelaskan adopsi dan adaptasi praktek. Menurut
kerangka Ansari et al. (2010) kesesuaian teknis berkaitan dengan sejauh mana
karakteristik praktek yang kompatibel dengan teknologi sudah digunakan oleh
pengadopsi potensial. Berdasarkan model ini, tampaknya relevan untuk tujuan
menentukan jenis keterampilan dan alat yang secara khusus diperlukan untuk audit
manajemen dibandingkan dengan audit tradisional (misalnya audit keuangan).
Kesesuaian budaya berasal dari perspektif sosial yang kita perkenalkan di atas
dan berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan struktur makna yang terkandung dalam
praktek, budaya organisasi, nilai-nilai dan keyakinan dan juga faktor-faktor supra-
organisasi seperti sebagai fenomena masyarakat. Haxhi et al. (2010), misalnya,
menemukan bahwa budaya nasional dapat berfungsi sebagai indikator yang
komprehensif dalam menjelaskan difusi kode tata kelola korporasi yang baik. Oleh
karena itu, pendekatan ethnografi penting untuk mengevaluasi baik makna yang
dirasakan dan nilai-nilai dari audit manajemen dan implikasi dari budaya bisnis dan
budaya nasional Swiss dalam adopsi praktek ini.
Faktor ketiga, disebut sebagai kesesuaian politik, menjelaskan tentang
bagaimana keseimbangan kekuasaan dan kepentingan dalam adopsi organisasi
dipengaruhi oleh adopsi praktek. Telah ditunjukkan bahwa pada tingkat analisis
yang berbeda, agen dengan kekuatan simbolik menjadi penjaga pintu difusi
(Guillen, 1994; Buchanan dan Badham, 1999). Dengan demikian, dan bahkan pada
tingkat organisasi, struktur kekuasaan formal dan informal, ketergantungan sumber
daya dan koalisi mempengaruhi bagaimana praktek dan ide-ide baru diterima oleh
organisasi (Fligstein, 1996; Mamman, 2002). Karena audit manajemen memicu
interaksi empat pilar tata kelola korporasi (komite audit, audit internal, audit
eksternal dan manajemen), kami percaya bahwa untuk menganalisis struktur
kekuasaan partai mempengaruhi persepsi audit manajemen dan, karena itu, dapat
mempengaruhi difusi (atau tidak adanya difusi) praktek audit. Selain itu, kami juga
menemukan hal menarik untuk mengatasi kekuatan gagasan dalam definisi
multidimensi budaya nasional Hofstede (1997). Karyanya berkaitan dengan sejauh
mana anggota organisasi yang kurang kuat dan lembaga menerima dan
mengharapkan kekuatan untuk didistribusikan secara merata. Kelompok mungkin
menganggap audit manajemen berbeda, dan, tergantung pada posisi mereka dalam
organisasi, mereka mungkin menantang atau bahkan mencegah untuk
merealisasikannya.
E. Hasil
Pada bagian ini, kami menyajikan sintesis dari data yang telh dikumpulkan (dari
transkrip wawancara semi-terarah). Untuk menyederhanakan restitusi, kami
menggunakan empat pertanyaan terbuka sebagai garis besar, dan kami
menggambarkan penggunaan tanda kutip responden yang sebenarnya. Semua
sintesis adalah berdasarkan analisis mendalam dari database transkrip kami.