Vous êtes sur la page 1sur 20

AUDIT MANAJEMEN SEBAGAI ALAT UNTUK

MENUMBUHKAN TATA KELOLA KORPORASI: SEBUAH


PENELITIAN DI SWISS

Nathalie Brender dan Bledi Yzeiraj


Haute cole de gestion de Genve, Carouge, Switzerland, dan
Emmanuel Fragniere
School of Management, Universitas Bath, Bath, Inggris dan Haute de Paris de
Gestion de Genve, Carouge, Switzerland

Abstrak

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji audit manajemen, pemeriksaan menyeluruh
terhadap organisasi dan manajemen, melalui penelitian empiris untuk
mengumpulkan data tentang bagaimana audit manajemen dirasakan dan diterapkan
di kalangan komunitas bisnis di Jenewa (swiss). Dewan direksi bertanggung jawab
pada pengawasan perusahaan. Fungsi audit internal bekerja di bawah dewan untuk
memastikan bahwa direksi melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh peraturan tata kelola korporasi. Oleh karena itu, audit manajemen
dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Namun, audit manajemen
tidak biasa digunakan sebagai alat untuk menangani tata kelola korporasi. Temuan
penelitian ini memungkinkan penulis menjelaskan mengapa audit manajemen tidak
biasa digunakan atau diacu sebagai alat untuk menangani tata kelola korporasi.
Desain/metodologi /pendekatan
Penulis menggunakan studi etnografi yang bertujuan untuk mengeksplorasi
persepsi audit manajemen di perusahaan jasa di wilayah Jenewa. Studi ini
didasarkan pada transkrip wawancara semi-terarah sebanyak 85 para profesional
yang berlatar belakang manajer dan auditing yang dilakukan selama tiga tahun
Temuan
Makalah ini mengidentifikasi tiga faktor yang mempengaruhi integrasi audit
manajemen ke dalam kegiatan perusahaan, yaitu: tingkat penerimaan alat dan
persyaratan audit manajemen, budaya nasional dan nilai-nilai yang terkandung
dalam kegiatan dan tingkat kedewasaan tata kelola korporasi. Makalah ini
menyajikan temuan berupa hipotesis yang dapat diuji dan diadopsi dalam kegiatan
tata kelola korporasi, dan bukan pada audit manajemen semata.
Keterbatasan penelitian/implikasi
Keterbatasan utama penelitian ini adalah kurangnya validasi hipotesis. Penelitian
ini perlu dilanjutkan dengan menggunakan survei kuantitatif untuk memvalidasi
hipotesis penelitian dan membuat kesimpulan statistik
Orisinalitas/nilai
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis karena studi ini dapat menjadi
landasan dalam penelitian empiris untuk menguji hubungan yang signifikan antara
audit manajemen dan tata kelola korporasi. Temuan ini juga menarik perhatian
khalayak internasional karena menunjukkan kemungkinan tindakan yang dapat
diambil dewan direksi dalam melaksanakan audit manajemen. Temuan ini
menjembatani kesenjangan antara literatur audit manajemen dan memperluas peran
fungsi audit internal. Penelitian ini juga mengkaji cara perusahaandalam konteks
Swissdalam memahami, menerima dan kesiapan untuk menerapkan audit
manajemen sebagai kegiatan tata kelola korporasi.

Kata kunci: Tata kelola korporasi, Etnografi, Audit Internal, Audit Manajemen,
Manajemen, Keterampilan Manajemen, Budaya Bisnis, Perusahaan Berbasis di
Swiss

A. Pendahuluan
Perkembangan terkini dalam tata kelola korporasi sebagian besar terfokus
pada kepatuhan peraturan dan tatanan baru, serta tanggung jawab manajemen
perusahaan dan dewan direksi. Hal ini mendorong pengembangan audit tata kelola
korporasi dan audit compliance (kepatuhan) di samping audit peraturan, keuangan
dan audit internal. Tahun 2010 Survei Audit Internal Global (IIA) yang dilakukan
oleh Institute of Internal Auditors (IIA) menunjukkan bahwa terdapat tiga teratas
kegiatan audit yang dilakukan tahun 2010 terkait dengan operasi, kepatuhan dan
risiko finansial dan kajian tata kelola korporasi yang diharapkan meningkat secara
signifikan IIA, 2011 ).
Sementara itu audit tata kelola korporasi dan audit compliance dilakukan
secara berkala di tingkat perusahaan, dan review kinerja individu karyawan pada
tingkat manajemen, namun pengkajian tentang kinerja tim manajemen sebagai
strategi perusahaan jarang dilakukan. Survai perusahaan publik yang dilakukan
tahun 2010 oleh National Association of Corporate Directors (NACD) menekankan
evaluasi dewan direksi, komite dan direktur, namun tidak disebutkan evaluasi
manajemen, dan seringkali terbatas pada evaluasi kinerja individu. Selanjutnya,
sebagian besar cenderung berupa evaluasi diri, yang secara rutin dilakukan oleh
dewan evaluasi, komite atau direksi sendiri (NACD, 2010).
Review tata kelola korporasi umumnya berupa pemeriksaan apakah prosedur,
alat dan sarana untuk mencapai strategi berjalan secara efektif pada tingkat
operasional, sehingga mengesampingkan keputusan manajemen seperti penentuan
posisi dan pengembangan pasar serta alokasi sumber daya langka. Namun, dewan
direktur bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan manajemen. Pengkajian
atas keputusan ini, apakah berkontribusi terhadap realisasi strageti perusahaan
ataupun sumber tambahan dari risiko perusahaan, seringkali terbengkalai, dan juga
tidak ada tindakan korektif. Misalnya, kegagalan Royal Bank of Scotland
disebabkan oleh keputusan manajemen yang buruk. Akibatnya, British Financial
Services Authority mereview beberapa kelemahan mendasar atas budaya
perbankan, kemampuan dan gaya manajemen serta pengaturan tata kelola secara
menyeluruh ( FSA, 2011 ).
Audit manajemen berusaha mengevaluasi apakah perusahaan memiliki
organisasi yang cocok dan tim manajemen yang sesuai dalam mencapai tujuan.
Audit manajemen terfokus pada tujuan strategis dan memungkinkan perusahaan
untuk menyesuaikan sumber daya manusia di lingkungan bisnis yang terus berubah.
Hal ini tidak hanya mencakup kajian strategi dan bagaimana strategi itu
dilaksanakan, tetapi juga mencakup evaluasi profil dan kompetensi (Hard skill dan
soft skill) tim manajemen. Audit manajemen yang dilakukan dengan baik
menggunakan kriteria kualitatif dalam menganalisis apakah manajemen dapat
mencapai strategi perusahaan secara efektif dan dalam mengevaluasi komposisi,
keterampilan, dan sikap manajemen (Craig-Cooper dan De Backer, 1993a ).
Ruang lingkup audit manajemen adalah mengevaluasi apakah organisasi telah
menerapkan alat yang tepat dan memadai untuk mencapai strateginya dan bukan
sekadar memeriksa bahwa alat ini bekerja secara efektif pada tingkat operasional
(Lewington, 1991), dan terkadang mempertanyakan strategis perusahaan dan tujuan
yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, audit manajemen dapat memberi kontribusi
dalam menjelaskan kesalahan masa lalu, namun yang lebih penting, adalah dapat
menjadi langkah antisipasi bagi direksi dalam menjamin pencapaian rencana aksi
yang tepat waktu dan akurat. Akhirnya, audit manajemen dirancang baik sebagai
alat yang prospektif dan berkelanjutan dalam meningkatkan keterampilan dan
kemampuan manajemen. Audit manajemen harus menjadi instrumen integral bagi
tata kelola korporasi untuk refleksi diri dan perubahan organisasi. Konteks
kontroversi mengenai persyaratan tata kelola yang baik dalam hubungannya dengan
kualitas manajemen mengarah ke pertanyaan penelitian berikut (RQ):
RQ1. Mengapa audit manajemen tidak digunakan atau diacu sebagai alat
untuk mengatur tata kelola korporasi?
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana audit manajemen
dirasakan dan bagaimana digunakan dan diterapkan di daerah komunitas bisnis
Jenewa (Swiss). Studi ini didasarkan pada 85 wawancara semi-terarah pada para
profesional dengan latar belakang manajerial dan auditing, sebagian besar aktif di
industri jasa di daerah Jenewa, dan mereka terdaftar dalam program EMBA di
Hautes Etudes Commerciales (HEC) Universitas Jenewa selama tahun 2008, 2009
dan 2010. Kami menerapkan pendekatan etnografi untuk mempelajari bagaimana
audit manajemen dirasakan oleh komunitas Jenewa. Kami mengidentifikasi tiga
alasan utama audit manajemen belum banyak digunakan:
1) tingkat penerimaan alat dan persyaratan audit manajemen;
2) budaya nasional dan nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan; dan
3) tingkat kematangan tata kelola korporasi.
Makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 menyajikan sebuah kajian
literatur, menekankan kegunaan audit manajemen sebagai alat tata kelola korporasi
yang efektif dan kondisi difusi praktik yang penekanan pada peran dan fungsi audit
internal atas kinerja audit manajemen. Setelah menyajikan pengembangan konsep
audit manajemen dan kegunaannya dalam tata kelola korporasi, Bagian 3 dan 4
menggambarkan kerangka teori, disain penelitian dan metodologi. Kami
membangun difusi praktik manajemen dan literatur inovasi untuk menangkap
faktor pendorong atau penghambat adopsi audit manajemen sebagai kegiatan tata
kelola korporasi yang baik. Kami membedakan antara faktor teknis, budaya dan
politik atau kekuasaan dalam memahaminya dari perspektif ethnografi. Bagian 5
menyajikan hasil penelitian dengan menggunakan empat pertanyaan terbuka
sebagai garis besar. Kami membahas temuan penelitian ini dengan mengaitkan
literatur dan kerangka teoritis yang relevan di Bagian 6 dan menyajikan hipotesis
yang dapat diuji atas adopsi kegiatan perusahaan yang baik oleh organisasi dan
bukan pada audit manajemen saja. Bagian ini diakhiri dengan memberikan
kesimpulan, kontribusi utama dari penelitian ini dan keterbatasan penelitian, juga
menyajikan saran pada bidang-bidang potensial untuk penelitian masa depan.

B. Tinjauan literatur
1. Audit manajemen sebagai alat corporate governance
Konsep tata kelola korporasi (corporate governance) telah berkembang pesat
selama 10 tahun terakhir, baik dalam literatur akademis maupun profesional. Hal
ini terutama disebabkan oleh skandal seperti Enron, World Com, Parmalat,
terutama krisis hipotek dan krisis keuangan global yang sedang berlangsung. Hal
tersebut disebabkan oleh kecurangan manajerial, kesalahan karena tidak taat aturan
dan kesembronoan yang mengakibatkan hilangnya kekayaan pemegang saham
(Baker, 2010 ). Tujuan memperbaiki tata kelola korporasi untuk menghindari
malapetaka semacam itu telah diajukan sebagai justifikasi persyaratan peraturan
yang berkembang pesat di berbagai wilayah. Sebagai contoh, adopsi Sarbanes-
Oxley Act (SOX) di AS, yang mengintensifkan kegiatan pengendalian di
perusahaan, dan pengembangan kerangka kerja Basel III dalam merespon krisis
keuangan 2008.
Tidak ada konsensus mengenai definisi tata kelola korporasi dalam literatur,
dan paper posisi IIA tentang tata kelola korporasi menguraikan elemen paling
umum dan penting. Posisi IIA menggambarkan tata kelola korporasi sebagai
seperangkat "kebijakan, proses, dan struktur yang digunakan oleh organisasi untuk
mengarahkan dan mengendalikan kegiatan, mencapai tujuan, dan melindungi
kepentingan berbagi kelompok pemangku kepentingan [...]" (IIA, 2006 , Hal. 4).
Untuk melindungi kepentingan stakeholder, dan terutama kepentingan pemegang
saham, tata kelola korporasi berusaha memisahkan dan menyeimbangkan
kekuasaan antara fungsi eksekutif (manajemen), fungsi pengawasan (dewan
direksi) dan fungsi berdaulat (pemegang saham yang mengekspresikan diri pada
General Assembly/Majelis Umum) (Fama dan Jensen, 1983). Konsep tata kelola
korporasi semakin berkembang pesat mencakup perlindungan kepentingan
stakeholder lain, seperti pelanggan, karyawan, pemasok dan otoritas publik
Freeman, 1984 ). Sesuai dengan definisi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) OECD, 2004), tata kelola korporasi merupakan seperangkat
aturan untuk mengelola hubungan antara pemegang saham, manajemen dan dewan
organisasi, serta dalam kaitannya dengan pemangku kepentingan lainnya.
Lebih lanjut, tata kelola korporasi sering dikaitkan dengan kualitas sistem
pelaporan keuangan atau perancangan dan implementasi sistem pengendalian
internal (Wright, 1996 ; Beasley et al., 2000), dan bahkan pada komite manajemen
risiko (Brown et al. , 2009). Pergeseran peraturan perundang-undangan nasional
mengharuskan dewan direksi meningkatkan pengawasan atas sistem pengendalian
internal perusahaan. Misalnya, dengan meminta auditor eksternal melakukan kajian
tahunan terhadap pengendalian internal perusahaan. Di Jerman dan Amerika
Serikat, peraturan tata kelola korporasi mensyaratkan audit sistem pengendalian
internal tahunan bagi perusahaan publik dan perusahaan yang terdaftar. Evolusi ini
telah memupuk perkembangan audit compliance dan audit tata kelola korporasi,
yang menimbulkan keluhan atas biaya tambahan kegiatan (Sneller dan Langendijk,
2007 ).
Dewan direksi merupakan pemain kunci dalam kegiatan tata kelola korporasi
(Coklat Et al. , 2009) dan bertanggung jawab atas pengawasan perusahaan secara
menyeluruh. Audit internal memberikan jaminan yang memadai kepada dewan
komisaris atas regulasi dan prosedur internal. Dewan komisaris biasanya
mendelegasikan tanggung jawab pengawasan di bidang pengendalian internal,
pelaporan keuangan, asesmen risiko dan compince terhadap komite seperti komite
audit. Untuk memenuhi tugas tersebut, komite audit mencari keahlian dan
mengandalkan pekerjaan yang dilakukan oleh fungsi audit internal dan eksternal
(Rezaee, 2010). Audit eksternal umumnya dilakukan melalui perusahaan auditing,
yang sering dipandang berkompetisi dengan fungsi audit internal. Namun,
perkembangan terakhir telah diusahakan untuk meningkatkan kerjasama antara
auditor internal dan eksternal dalam memperbaiki pengendalian risiko dan
compliance (Johl et al. , 2013). Sebagai contoh, SOX menetapkan bahwa tim audit
eksternal dan internal bekerja sama di bawah arahan komite audit (Balkaran, 2008).
Laporan audit manajemen berada dalam lingkup kegiatan korporasi misi tata
kelola korporasi dari dewan direksi. Audit manajemen dapat mengurangi masalah
pusat-agensi dan menawarkan jaminan kualitas tambahan dan esensial atas tata
kelola korporasi kepada dewan direksi, yang biasanya terkait dengan pengendalian
kinerja keuangan dan pengendalian internal. Pemeriksaan terhadap organisasi dan
manajemen secara menyeluruh ini dapat digunakan untuk membantu meningkatkan
kinerja korporasi (Dann et al. , 2002).
Dukungan audit manajemen telah muncul di sektor swasta, dan praktisi telah
melakukan audit semacam itu selama 10 tahun terakhir. Misalnya, Otoritas Jasa
Keuangan Inggris telah mengaudit manajemen atas kasus kegagalan Bank of
Scotland. Namun, kontribusi audit manajemen terhadap kualitas tata kelola
korporasi dengan mengurangi masalah principal-agency dan memperkuat kinerja
keuangan dan pengendalian internal tetap belum dikaji. Terutama, penelitian
akademik tentang audit manajemen sebagai alat tata kelola korporasi belum
dilakukan. Literatur audit manajemen terfokus pada praktik tersebut sejak pertama
kali muncul pada tahun 1930an, namun agak terpisah-pisah, dan saat ini tidak
menghubungkan audit manajemen secara sistematis dengan persyaratan tata kelola
korporasi.
Audit manajemen didefinisikan sebagai "evaluasi manajemen dan fungsi dan
kinerja organisasi terhadap ekonomi, efisiensi, dan efektivitas bidang-bidang
operasi, aktivitas, dan hasil" (Parker dan Foundation, 1986, dikutip dalam Burrowes
dan Persson, 2000 , Hal. 89) pindah ke: teknik yang digunakan untuk mengelola
perubahan secara efektif dan berkontribusi pada efisiensi dewan komisaris dan tim
eksekutif. Ia memberikan penilaian mendalam tentang sebuah perusahaan, dan,
yang lebih penting lagi, evaluasi tim manajemen, termasuk penilaian individu
masing-masing eksekutif dan seberapa baik strategi perusahaan itu sesuai (Craig-
Cooper dan De Backer, 1993c). Sedangkan audit manajemen terfokus pada
efektivitas dan efisiensi manajemen dan bagaimana mereka melaksanakan kegiatan
sebagai sebuah tim (Craig-Cooper dan De Backer, 1993b ; Innes dan Lyon, 1994 ;
Parker dan Foundation, 1986), juga berkontribusi dalam membina tata kelola
korporasi, khususnya efektivitas dewan komisaris dalam memenuhi misi
strateginya dengan membawa organisasi untuk mencapai tujuan. Sejak itu,
beberapa penulis Inggris (Baden, 1968; Bishop, 1974; Craig-Cooper dan De
Backer, 1993c; Glynn, 1987) dan Amerika (Benedict, 1948; Robertson dan Clarke,
1971; Burton dan Fairfield, 1982) mengembangkan proposal tentang bagaimana
melakukan audit semacam itu. Audit manajemen di sektor publik pertama kali
disebut sebagai value for money audit di Australia dan audit kinerja (performance
audit) di Amerika Serikat. Prakteknya kemudian menyebar ke sektor swasta, di
mana, misalnya, Undang-Undang Perusahaan Swedia 1975 mewajibkan
perusahaan Swedia mengaudit dewan direksi dan direktur pelaksana (Burrowes dan
Persson, 2000).
Perkembangan audit manajemen di sektor swasta termotivasi oleh keinginan
untuk menghindari masalah principal-agency, sehingga meningkatkan tata kelola
corporate. Cara pemegang saham memantau dan mengevaluasi perilaku manajemen
dan akuntabilitas kemudian menjadi penting bagi tata kelola yang baik (Fama,
1980). Audit telah banyak dilakukan untuk meyakinkan pemegang saham dan
pemangku kepentingan secara global tentang bagaimana perusahaan
mengendalikan risiko operasional yang terkait dengan pelaporan keuangan dan siste
pengendalian (Kirkpatrick, 2009). Namun, beberapa penulis berpendapat bahwa
fokus pada risiko operasional dan informasi keuangan untuk mengevaluasi kinerja
manajemen dan, perluasan kinerja organisasi, tidak cukup untuk mengurangi
asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham (Richardson, 2000;
Banker et al., 2000). Misalnya, Innes dan Lyon (1994) mengemukakan bahwa
fungsi audit harus berbuat lebih memastikan kinerja manajemen jangka panjang.
Mereka mengkaji dampak audit manajemen eksternal (didefinisikan sebagai
pemeriksaan independen terhadap organisasi yang dihasilkan dalam sebuah
pernyataan kepada pengguna eksternal mengenai kinerja fungsi manajemen) pada
keputusan pinjaman yang dibuat oleh penyedia dana eksternal, dan menunjukkan
korelasi positif antara hasil audit tersebut dengan alokasi serta kondisi dana
bantuan. Dari sudut pandang investor, hal ini menjadi isu penting. Investor akhirnya
menggunakan hasil audit manajemen eksternal sebagai penjaminan fungsi
manajemen seperti keuangan, pemasaran dan produksi sebelum membuat
keputusan investasi (Innes, 1990). Menilai kualitas kinerja manajemen tidak hanya
membutuhkan penggunaan indikator non-keuangan kualitatif, tetapi juga integrasi
indikator tersebut dalam proses pengambilan keputusan manajemen itu sendiri.
Sebagai contoh, Govindarajan (1989) berpendapat bahwa gaya manajemen dan
pengalaman berkitan langsung dengan keberhasilan sebuah strategi. Dia
menyimpulkan bahwa kinerja superior bisa dicapai dengan memilih manajer yang
memiliki keterampilan, pengetahuan dan perilaku yang sesuai dengan strategi
tertentu. Ketika sampai pada strategi, data yang dibutuhkan untuk menilai kontrol
manajemen yang berhasil harus lebih diperhatikan dengan tolok ukur yang
kompetitif dan ukuran kinerja non-keuangan, karena manajemen strategis
berorientasi pada masa depan dan tidak cocok untuk mengontrol dengan ukuran
tradisional seperti anggaran dan target keuntungan (Goold dan Quinn, 1990). Eccles
dan Pyburn (1992) mengkritik kekakuan dan informasi keuangan sebagai indikator
kunci dan menunjukkan bahwa manajemen memerlukan pertimbangan yang kuat
dalam membuat keputusan yang tepat. Bahkan pengenalan balanced score card dari
Kaplan dan Norton (1996), yang merupakan reaksi terhadap informasi manajemen
yang tidak efektif dan tidak berfungsi, dimaksudkan sebagai alat yang dapat
digunakan di luar produksi indicator yang harus digunakan sebagai sistem
informasi dan pembelajaran daripada sistem yang digunakan untuk mengevaluasi
kinerja masa lalu.

2. Audit manajemen sebagai kegiatan audit internal


Tata kelola korporasi menyediakan seperangkat peraturan yang mengatur
kegiatan korporasi dan hubungan antar pemangku kepentingan. Dewan direksi
adalah penjaga tata kelola korporasi dan, terutama fungsi pengawasan perusahaan,
dan fungsi audit internal bekerja di bawah naungannya untuk memastikan bahwa
dewan direksi dengan benar melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana
ditetapkan oleh peraturan tata kelola korporasi. Sementara badan profesional dan
asosiasi umumnya mendukung perluasan fungsi audit internal meliputi penilaian
tata kelola korporasi, dalam prakteknya, selama 10 tahun terakhir, auditor internal
tetap terlibat pada tingkat operasional (Power, 2005; PwC, 2014 ).
Audit manajemen merupakan salah satu praktik yang memungkinkan fungsi
audit internal memainkan peran yang lebih proaktif dan strategis dalam konteks,
sehingga memberi kontribusi untuk memperbaiki kinerja perusahaan karena untuk
mengatasi masalah kontrol yang timbul dari pengelolaan suatu kegiatan. Ia meliputi
apresiasi terhadap hal-hal terkait dengan berbagai proses manajerial yang
menggerakkan organisasi mencapai tujuannya (Pickett dan Pickett, 2010:12).
Dengan memberikan kepastian atau konsultasi mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan fungsi pengawasan dewan, seperti manajemen risiko,
pengendalian dan tata kelola, fungsi audit, dan fungsi audit internal pada
khususnya, telah menjadi salah satu landasan tata kelola korporasi yang efektif (IIA,
2006). Secara keseluruhan, kedua fungsi audit internal dan eksternal adalah bagian
dari checks and balances yang merupakan tata kelola korporasi (Wright, 2013 ),
karena audit telah memenuhi syarat sebagai gagasan penting atau model tata kelola
itu sendiri (Power, 2002).
Untuk mengetahui perubahan peran fungsi audit internal dalam organisasi
kontemporer dan perluasan cakupan dalam manajemen risiko dan tata kelola
korporasi, IIA mengupgrade definisi fungsi audit internal pada tahun 2004. Audit
internal membantu "organisasi mencapai tujuan dengan membawa pendekatan
sistematis, disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen
risiko, pengendalian, dan proses tata kelola" (IIA, 2004: 19). Lebih lnjut, "standar
internasional untuk Praktik Profesional Audit Internal" (IIA, 2012) menjelaskan
peran fungsi audit internal mengenai masalah tata kelola korporasi dan dalam
kenyataanya hal tersebut harus dilengkapi dengan pengetahuan, kompetensi dan
keterampilan yang memadai untuk melakukan misi audit terkait. Standar ini
menyoroti peningkatan peran audit internal berfungsi dalam meningkatkan tata
kelola korporasi, khususnya dalam memastikan efektifitas manajemen kinerja
organisasi dan akuntabilitas, serta mempromosikan etika dan nilai yang sesuai
dalam organisasi (IIA, 2012: 3-11).
Fungsi audit internal telah memperluas cakupan tindakan meliputi
manajemen risiko, efisiensi proses dan misi tata kelola korporasi (Goodwin-Stewart
Dan Kent, 2006). Fungsi audit internal telah mengembangkan praktik yang
memperhitungkan tujuan organisasi dan membawa nilai tambah bisnis. Mereka
telah melakukan pendekatan kemitraan dengan manajemen sejak awal abad kedua
puluh satu, yang diterjemahkan ke dalam implementasi lebih preventif, praktik
berbasis risiko daripada tindakan detektif, berbasis pengendalian (Hass et al. , 2006;
IIA, 1999; KROGSTAD et al.,1999). Perubahan dari model compliance dan model
berorientasi kontrol terhadap model manajemen risiko adalah pergeseran
paradigma (Selim Dan McNamee, 1998), yang memperluas kegiatan konsultatif
audit internal. Namun, undang-undang SOX di AS dan undang-undang serupa di
negara lain menegaskan kembali pentingnya kegiatan penjaminan, khususnya
pekerjaan complience yang terkait dengan rezim peraturan. Misalnya, survei PwC
terhadap manajer audit menunjukkan bahwa, pada tahun 2002, fungsi audit internal
mendedikasikan, secara umum, 50 persen dari sumber dayanya pada pekerjaan
complence yang dibutuhkan untuk tahun pertama pelaksanaan SOX (PwC, 2006),
yang mungkin telah mengalihkan sumber daya audit internal dari pengembangan
kegiatan yang lebih strategis.
Auditor internal diharapkan dapat mengembangkan cara-cara inovatif untuk
menafsirkan realitas bisnis saat ini yang lebih baik (Joscelyne 2004). Melville
(2003), misalnya, menyarankan keterlibatan audit internal dalam manajemen
strategis melalui implementasi balanced score card sebagai alat untuk menangani
dan melaporkan isu non finansial dan kualitatif memiliki implikasi positif terhadap
kualitas top manajemen. Selanjutnya, Hyland et al. (2003) mengembangkan sebuah
model yang menganalisis potensi penciptaan nilai dari fungsi audit internal bila
digabungkan dengan fungsi sumber daya manusia pada tingkat strategis. Mereka
berpendapat bahwa penerapan pendekatan pengelolaan risiko audit dapat
meningkatkan penciptaan nilai dalam pengelolaan sumber daya manusia yang
terfokus secara strategis. Audit internal juga terkait dengan manajemen risiko dan
bukan mekanisme tata kelola korporasi (Goodwin-Stewart dan Kent, 2006).
Akhirnya, Selim et al. (2003) menyoroti kontribusi positif fungsi audit internal
berkolaborasi dengan fungsi lain atas strategi merger dan akuisi yang efektif.
Tampaknya, audit internal memiliki fungsi ganda, di satu pihak, membantu
dewan komisaris meningkatkan kewajiban dalam menjamin tata kelola korporasi
yang baik dan benar, dan, di sisi lain, juga membantu manajemen untuk mencapai
tujuan organisasi, sehingga merespons filosofi nilai tambah. Akibatnya, fungsi
audit internal telah menjadi salah satu dari empat pilar utama tata kelola korporasi,
bersama dengan komite audit, manajemen dan auditor eksternal (Gramling et al.,
2004). Dari perspektif ini, literatur saat ini menunjukkan bahwa penelitian harus
membahas isu-isu yang timbul dalam hubungan antara fungsi-fungsi ini, khususnya
antara auditor internal dan manajemen (Joscelyne 2004; PwC, 2007). Pertanyaan
tentang independensi staf audit internal dalam hal manajemen sebagai syarat untuk
kualitas audit internal adalah salah satunya (San Miguel dan Govindarajan, 1984).
Selanjutnya, dukungan manajemen terhadap fungsi audit internal dianggap sebagai
kriteria yang penting dalam mengevaluasi kualitas audit internal (Clark et al.,
1981).
Sedangkan untuk masa depan, peran audit internal diperkirakan akan
meningkat dalam beberapa tahun ke depan, terutama dalam pengembangan strategi
dan pelatihan personil (IIA, 2011). IIA meramalkan penguatan fungsi ini dalam
kegiatan yang berhubungan dengan tata kelola, termasuk evaluasi struktur dewan,
tujuan dan dinamika, serta evaluasi manajemen. Menurut model Three Lines of
Defense, fungsi audit internal (garis ketiga pertahanan) memberikan kepastian
terhadap keefektifan tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian internal,
termasuk cara di mana manajemen operasional (lini pertahanan pertama) dan
manajemen risiko dan fungsi compliance (lini pertahanan kedua) mencapai tujuan
manajemen risikp dan pengendalian (IIA, 2013). Ada harapan tinggi bahwa auditor
internal akan mengambil peran yang lebih proaktif dalam membantu memastikan
tata kelola korporasi yang baik. Namun, sarana untuk mencapai ini harus
didefinisikan secara jelas (Leung et al., 2011), serta pertanyaan tentang
independensi fungsi audit internal. Fungsi audit internal secara langsung
melaporkan ke dewan direksi (IIA, 2013) menjadi calon kuat dalam melakukan
audit manajemen, karena akan menguntungkan baik dari independensi kegiatan
maupun dari sisi pengetahuan mendalam tentang kegiatan dan proses bisnis
dibandingkan dengan konsultan atau auditor eksternal.
Selain itu, sementara audit internal dianggap sebagai sumber dari komite
audit dan manajemen dalam empat model pilar tata kelola korporasi, literatur
memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana sumber daya ini digunakan untuk
memenuhi kedua fungsi tersebut. Sampai saat ini, misi audit internal telah berputar
lebih jauh sekitar tingkat menengah, atau kegiatan operasional. Namun, anggota
dewan dan manajemen senior saat ini mengharapkan auditor internal meningkatkan
nilai tambah bagi bisnis dan saran dalam kegiatan strategis. Dalam survei terbaru
(PwC 2014: 10), fungsi audit internal bergerak dari penyedia jaminan menjadi
penasihat terpercaya yang dapat memberikan layanan nilai tambah dan saran
strategis proaktif pada bisnis. Fokus utama harus diletakkan pada revisi praktek dan
teknik yang memungkinkan auditor internal memainkan peran kegiatan tingkat atas
dalam organisasi.
Dari pembahasan di atas, kami berpendapat bahwa audit manajemen tidak
hanya digunakan untuk mengurangi masalah keagenan, paradigma utama dalam
teori akuntansi dewasa ini (Baker, 2010), tetapi juga untuk mendorong kinerja
manajemen, khususnya, pencapaian strategi perusahaan. Selain itu, krisis keuangan
2008-2009, serta karena krisis utang, telah menunjukkan bahwa fokus hanya pada
desain dan efektivitas pengendalian internal, terutama atas pelaporan keuangan,
mungkin tidak menjamin manajemen risiko yang efisien atau kesehatan jangka
panjang organisasi dalam kerangka tata kelola yang baik (Kirkpatrick, 2009).
Sementara mayoritas audit mengatasi risiko keuangan dan operasional,
beberapa lainnya berkonsentrasi pada risiko strategis. Tapi dengan melindungi
pemegang saham, melestarikan dan menciptakan nilai perusahaan dan
mengembangkan bakat merupakan jantung dari audit manajemen. Dengan
demikian, ia harus menjadi bagian integral dari strategi tata kelola korporasi
perusahaan karena dapat meyakinkan pemegang saham dan pemangku kepentingan
tentang kekuatan organisasi dan kesehatan dalam mengatasi risiko strategis dengan
langkah-langkah antisipatif dan kualitatif ( Burrowes dan Persson, 2000 ).
Tinjauan pustaka kami mengungkapkan bahwa konsep audit manajemen dan
yang aplikasi dalam konteks mengintensifkan praktik tata kelola korporasi belum
diteliti. Hal ini menunjukkan kepentingan pekerjaan kami untuk memberikan
kontribusi terhadap literatur dan relevansinya dalam konteks tata kelola korporasi.
Dalam tulisan ini, kami bermaksud menggunakan bukti empiris untuk
menunjukkan bagaimana audit manajemen yang dirasakan dan bagaimana mereka
digunakan dan diimplementasikan pada bisnis komunitas Jenewa (Swiss). Makalah
ini juga memberikan kontribusi atas pemahaman tentang perluasan peran fungsi
audit internal dalam kegiatan strategis dengan melakukan audit manajemen.
Sepengetahuan kami, tulisan ini merupakan yang pertama dalam meneliti
secara empiris bagaimana audit manajemen yang dirasakan melalui pengalaman
manajer dan auditor dalam konteks meningkatnya kebutuhan manajemen risiko
strategis dan berkembangnya persyaratan tata kelola korporasi. Tulisan ini
bertujuan untuk mengungkap pentingnya audit manajemen sebagai alat tata kelola
korporasi dan alasan mengapa audit manajemen umumnya tidak digunakan atau
diacu sebagai alat untuk mengatasi tata kelola korporasi.

C. Kerangka Teoritis
Dalam menjawab pertanyaan, kami bergantung pada makna yang dirasakan
yang dikumpulkan melalui wawancara semi-terarah. Manajer dan auditor telah
mengalami audit manajemen, memperlakukan mereka atau setidaknya
memperhatikannya. Dalam hal ini mereka tiak memiliki, kami masih bisa
mengumpulkan informasi yang relevan mengenai pandangan pribadi tentang audit
manajemen. Kami juga ingin mengidentifikasi implikasi organisasi yang terkait
dengan pelaksanaan misi audit manajemen dalam korporasi.
Penelitian kami terdiri dari studi eksplorasi, yang kami gunakan untuk
menentukan bagaimana manajer dan auditor memandang audit ini dan
mendapatkan indikasi untuk penelitian lebih lanjut. Kami menerapkan pendekatan
ethnografi untuk menggambarkan dunia sosial audit manajemen melalui penjelasan
subjek penelitian (manajer dan auditor). Pendekatan induktif ini mengasumsikan a
priori tidak ada kerangka teoritis. Tujuanya adalah untuk menghasilkan hipotesis
penelitian baru. Metodologi ini sangat relevan ketika pengetahuan ilmiah kurang.
Ethnografi memberikan temuan yang sesuai dengan makna fenomena sosial. Dalam
kasus kami, fenomena sosial adalah kenyataan bahwa perusahaan umumnya tidak
melakukan audit manajemen. Pertanyaan penelitian kami dimulai dengan
mengapa (yaitu mengapa audit manajemen umumnya tidak digunakan atau diacu
sebagai alat untuk mengatasi tata kelola korporasi?), kami ingin mengetahui makna
fenomena sosial ini. Sebagai fakta, kami berkonsentrasi pada pembuatan (Heap,
1976) terkait dengan gagasan praktek (dalam kasus ini, yaitu audit manajemen)
dalam dunia intersubjektif yang diciptakan antara kelompok-kelompok yang
berbeda (dalam kasus ini, manajer bisnis dan auditor) (Garfinkel, 2008; Gephart,
1993; Benson dan Hughes, 1983). Kami menyampaikan keterbatasan dari studi
kami dan temuan kami tidak bisa diekstrapolasikan ke semua perusahaan di Swiss.
Namun, hal ini memungkinkan kita untuk merancang metodologi untuk mengkaji
lebih lanjut dengan kuestioner bentuk tertutup atau survei kuantitatif. Hipotesis
penelitian yang dihasilkan melalui pendekatan ethnografi kemudian dapat
divalidasi melalui statistik.
Ethnografi dipilih sebagai kerangka penelitian untuk pengumpulan data.
Ethnografi merupakan pendekatan penelitian kualitatif yang memungkinkan
peneliti belajar tentang sistem kepercayaan dan kode sosial dari suatu organisasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan episode imersion.
Etnografi tidak membuat apriori asumsi teoritis. Ini adalah alasan utama
mengapa kita menggunakannya. Dalam konteks audit manajemen, kami ingin
melakukan proses penelitian penjajakan tanpa teori yang dibentuk sebelumnya.
Akibatnya, setelah data dianalisis, kami mampu mengajukan hipotesis penelitian
baru. Selanjutnya, hipotesis baru yang dihasilkan itu dibandingkan dengan literatur
ilmiah yang telah ada.
Tujuan utama kami di sini adalah untuk memahami alasan di balik alasan
perusahaan untuk melakukan audit. Untuk mendukung identifikasi dan analisis dari
dimensi yang relevan yang menjelaskan adopsi dan difusi audit manajemen, kita
akan menggunakan literatur tentang difusi praktek--terutama, kerangka kerja yang
dikembangkan oleh Ansari et al. (2010). Kami memerlukan bingkai komprehensif
atas fenomena yang diteliti dalam melakukan pengumpulan data dan menjawab
pertanyaan secara sistematis dan jelas. Akibatnya, pendekatan induktif ini paling
cocok untuk penelitian kami, mengingat tujuan kami adalah mendapatkan wawasan
dalam konteks tertentu, yakni memahami dan menafsirkan dari lapangan.
Banyak literatur tentang penyebaran praktik yang memberikan pemahaman
tentang alasan suatu praktik pada mulanya diadopsi oleh organisasi, baik dari
perspektif ekonomi mauun sosiologi (Sturdy, 2004). Di satu sisi, para ekonom
mempertimbangkan pengadopsi dari praktek-praktek sebagai aktor rasional yang
terfokus pada manfaat atas hasil dari adopsi praktek yang ditetapkan sebelumnya.
Bagi mereka, adopsi atau difusi praktek berkaitan secara positif dengan biaya-
efektivitas (Rogers, 1995 Di sisi lain, sosiolog memandang adopsi praktek sebagai
hasil dari pilihan-pilihan rasional dan lebih terfokus pada persepsi dan dinamika
internal pihak-pihak yang mengadopsi. Secara khusus, Sturdy (2004: 169)
mengidentifikasi faktor-faktor penjelas berikut atas adopsi praktek dan berargumen
bahwa adopsi tidak didasarkan pada penilaian yang sistematis atas solusi masalah
organisasi, tapi pada dorongan, persuasi, kekuasaan, resonansi budaya, dan
legitimasi, atau semua factor tersebut.
Dalam membangun imperatif teknis dari perspektif ekonomi dan imperative
budaya dari perspektif sosial, Ansari et al. (2010) menganalisis proses difusi dengan
berfokus pada kurangnya kesesuaian antara karakteristik praktek dan karakteristik
organisasi mengadopsi. Selanjutnya, penulis ini menggunakan kategorisasi Oliver
(1992) tentang factor-faktor yang mempengaruhi praktek organisasi, menunjukkan
tiga bentuk tidak kompatibel yang dihasilkan dari asal-usul teknis, budaya dan
politik yang mungkin bisa menjelaskan adopsi dan adaptasi praktek. Menurut
kerangka Ansari et al. (2010) kesesuaian teknis berkaitan dengan sejauh mana
karakteristik praktek yang kompatibel dengan teknologi sudah digunakan oleh
pengadopsi potensial. Berdasarkan model ini, tampaknya relevan untuk tujuan
menentukan jenis keterampilan dan alat yang secara khusus diperlukan untuk audit
manajemen dibandingkan dengan audit tradisional (misalnya audit keuangan).
Kesesuaian budaya berasal dari perspektif sosial yang kita perkenalkan di atas
dan berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan struktur makna yang terkandung dalam
praktek, budaya organisasi, nilai-nilai dan keyakinan dan juga faktor-faktor supra-
organisasi seperti sebagai fenomena masyarakat. Haxhi et al. (2010), misalnya,
menemukan bahwa budaya nasional dapat berfungsi sebagai indikator yang
komprehensif dalam menjelaskan difusi kode tata kelola korporasi yang baik. Oleh
karena itu, pendekatan ethnografi penting untuk mengevaluasi baik makna yang
dirasakan dan nilai-nilai dari audit manajemen dan implikasi dari budaya bisnis dan
budaya nasional Swiss dalam adopsi praktek ini.
Faktor ketiga, disebut sebagai kesesuaian politik, menjelaskan tentang
bagaimana keseimbangan kekuasaan dan kepentingan dalam adopsi organisasi
dipengaruhi oleh adopsi praktek. Telah ditunjukkan bahwa pada tingkat analisis
yang berbeda, agen dengan kekuatan simbolik menjadi penjaga pintu difusi
(Guillen, 1994; Buchanan dan Badham, 1999). Dengan demikian, dan bahkan pada
tingkat organisasi, struktur kekuasaan formal dan informal, ketergantungan sumber
daya dan koalisi mempengaruhi bagaimana praktek dan ide-ide baru diterima oleh
organisasi (Fligstein, 1996; Mamman, 2002). Karena audit manajemen memicu
interaksi empat pilar tata kelola korporasi (komite audit, audit internal, audit
eksternal dan manajemen), kami percaya bahwa untuk menganalisis struktur
kekuasaan partai mempengaruhi persepsi audit manajemen dan, karena itu, dapat
mempengaruhi difusi (atau tidak adanya difusi) praktek audit. Selain itu, kami juga
menemukan hal menarik untuk mengatasi kekuatan gagasan dalam definisi
multidimensi budaya nasional Hofstede (1997). Karyanya berkaitan dengan sejauh
mana anggota organisasi yang kurang kuat dan lembaga menerima dan
mengharapkan kekuatan untuk didistribusikan secara merata. Kelompok mungkin
menganggap audit manajemen berbeda, dan, tergantung pada posisi mereka dalam
organisasi, mereka mungkin menantang atau bahkan mencegah untuk
merealisasikannya.

D. Desain penelitian dan metodologi


Studi kami didasarkan pada wawancara semi-terarah sebanyak 85 profesional
dengan latar belakang manajerial dan auditing, sebagian besar aktif dalam industri
jasa di daerah Jenewa dan terdaftar dalam program EMBA di Hautes Etudes
Commerciales (HEC) University of Geneva selama tahun 2008, 2009 dan 2010
(lihat gambsr 2). Konteks ekonomi selama tiga tahun ditandai dengan krisis
keuangan dalam konteks Swiss dan internasional, sehingga temuan kami tetap
sebanding selama periode waktu ini.
Gambar 1 menunjukkan rincian sektor perusahaan responden. Mayoritas
(34%) berasal dari sektor perbankan, yang konsisten dengan pentingnya sektor ini
di wilayah bisnis Geneva. Ia mencerminkan sekitar 19% dari produk domestik bruto
Jenewa (PDB), dengan total 173 bank, termasuk 60 lembaga milik asing (OCSTAT,
2013). Diperkirakan 40% dari semua aset yang dikelola warg Swiss secara langsung
atau tidak langsung dikendalikan dari Jenewa (Anhorn dan Meier, 2012).
Sektor publik adalah berikutnya, dengan 19% responden bekerja di Jenewa
Canton (county) administrasi, terutama medis, sosial dan administrai pendidikan.
Beberapa datang dari pemerintahan federal. Jenewa Canton bertanggung jawab atas
beberapa domain kebijakan sebagai bagian dari Konfederasi Swiss, yang menjadi
mayoritas kekuatan komponen-komponen kanton. Bagian lainnya, total 34%,
terdiri atas berbagai sektor seperti watch-making, media, konstruksi dan farmasi
dan bioteknologi.
Gambar 2 memberikan rincian responden berdasarkan profesi. Kami
membagi menjadi tiga kelompok, dengan manajemen tingkat atas yang mewakili
tingkat pengambil keputusan tertinggi. Kelompok ini terdiri dari CFO, CEO, direksi
umum dan asosiasi senior. Kami kemudian mengklasifikasi responden dengan
otoritas kurang sebagai manajemen tingkat menengah, termasuk direktur unit,
pemimpin tim dan manajer senior, sebagai serta beberapa manajer junior. Namun,
kami tidak memasukkan manajer risiko, auditor internal atau auditor eksternal
dalam klasifikasi ini. Sebaliknya, kami mengelompokkan mereka menurut profesi
mereka tanpa memperhatikan tingkat pengambilan keputusan. Berdasarkan pada
klasifikasi ini, 57% dari responden menjadi bagian dari tim manajemen, sedangkan
43% adalah auditor dan manajer risiko.
Setelah presentasi dan diskusi tentang konsep audit manajemen dan kerangka kerja,
responden melakukan atau menanggapi wawancara semi-terarah. Wawancara
sistematis termasuk pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimnakah pengalaman Anda dengan audit manajemen? Tujuan kami
adalah untuk menentukan apakah responden atau mereka diwawancarai
dihadapkan pada audit manajemen di masa lalu dan, jika ya, dalam keadaan
apa dan apa konsekuensinya.
2. Untuk alasan apa audit manajemen dilakukan? Tujuan kami adalah untuk
mengidentifikasi apakah audit manajemen dilakukan secar normal dlm
kegiatan bisnis, atau hanya dilakukan dalam kondisi tertentu (misalnya,
selama masa kritis, sebagai bagian dari merger dan akusisisi, sebagi bagian
dari perencanaan sukessi, dan sebagainya). Kami mengharapkan jawaban
didasarkan pada dan dipengaruhi oleh persepsi pribadi dari responden. Jadi,
dengan bertanya tentang alasan di balik audit manajemen, kami ingin untuk
mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam praktek dan nilai-nilai
yang kompatibel dengan keyakinan umum responden.
3. Bagaimanakah karakteristik dan alat-alat audit manajemen? Tujuan kami
adalah untuk menentukan sejauh mana responden kami menganggap audit
manajemen sama atau berbeda dari audit tradisional, seperti audit operasional
atau keuangan. Kami ingin mengeksplorasi implikasi teknis praktek yang
tersirat pada responden.
4. Siapa yang bisa melakukan audit manajemen? Tujuan kami adalah untuk
memahami bagaimana responden kami melihat persyaratan melakukan audit
manajemen, khususnya yang berkaitan dengan independensi auditor. Dengan
meminta responden tentang persyaratan melakukan audit manajemen, kami
mengharapkan dapat mengidentifikasi sejauh mana responden mengakui
pentingnya ketergantungan sumber daya dan struktur kekuasaan formal atau
informal dalam melaksanakan tugas dengan benar.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka itu dirancang untuk memberikan kebebasan
responden dalam membahas pola kerangk kerja manaajemen audit atau untuk
mengeksplorasi cara-cara yang membuat manajemen audit lebih efektif. Sebaagian
besar wawancara dikelola sendiri, karena responden berasal dari dua jenis populasi
(manajer bisnis dan auditor). Sekitar 70% responden menjawab pertanyaan-
pertanyaan sendiri, sisanya 30% (semua dari manajer) melakukan wawancara
dengan anggota tim atau atasan mereka.

E. Hasil
Pada bagian ini, kami menyajikan sintesis dari data yang telh dikumpulkan (dari
transkrip wawancara semi-terarah). Untuk menyederhanakan restitusi, kami
menggunakan empat pertanyaan terbuka sebagai garis besar, dan kami
menggambarkan penggunaan tanda kutip responden yang sebenarnya. Semua
sintesis adalah berdasarkan analisis mendalam dari database transkrip kami.

1. Bagaimana pengalaman Anda dengan audit manajemen?


Responden menunjukkan bahwa mereka sangat sedikit memiliki atau bias
pengalaman dengan audit manajemen. Manajer tidak akrab dengan gagasan audit
manajemen, karena sebagian besar audit manajemen dikembangkan dan diterapkan
dalam konteks Amerika Utara atau Anglo-Saxon. Responden bahkan menyatakan
bahwa audit manajemen terkait dengan kegiatan lain seperti kinerja individu atau
review kinerja tim, review pasar atau audit tata kelola atau audit internal, dan bukan
audit manajemen.
Selain itu, responden mengatakan bahwa mereka percaya audit manajemen
tidak akan cocok digunakan di Swiss, karena adanya kerahasiaan dan rasa hormat
yang kuat terhadap hirarki. Sebagai contoh, beberapa responden mengatakan bahwa
audit manajemen tidak berlaku pada sektor perbankanatau pada sektor-sektor
strategis di mana administrasi publik telah diinvestasikan. Bahkan audit manajemen
di perusahaan dipandang sebagai kegiatan yang memiliki konsekuensi negative atas
karir mereka. Audit manajemen dianggap sia-sia, karena mekanisme kontrol di
perusahaan dipandang sudah mencukupi.
Akhirnya, gagasan audit manajemen tampak dipahami dengan baik oleh
responden, namun mereka tetap mengalami ketakutan mengenai konsekuensi
(misalnya dipecat) terkait dengan pelaksanaan audit manajemen. Manajer yang
diwawancarai paling sering mengungkapkan rasa hormat terhadap hierarki jabatan.
Mereka juga percaya bahwa auditing profesional, baik internal maupun eksternal,
tidak akan cukup berpengalaman atau pengetahuan tentang industri dalam
mengevaluasi kemampuan manajemen dan keputusan.

2. Untuk alasan apa audit manajemen dilaksanakan?


Seperempat responden percaya bahwa audit manajemen harus dilakukan
selama masa perubahan besar pada sebuah perusahaan. Sebagian kecil responden
menyatakan bahwa audit manajemen bermanfaat untuk membantu memperbaiki
kinerja manajerial yang buruk atau membantu perusahaan dalam mencapai tujuan.
Responden mengakui beberapa manfaat audit manajemen yang tampaknya
memiliki motif tersembunyi. Misalnya, mereka percaya bahwa agenda sebenarnya
adalah tersembunyi dan dapat dijadikan sebagai cara untuk memecat manajer atau
tim manajemen secara menyeluruh. Sebagaimana seorang pimpinan kantor yang
berkualitas dalam industri watchmaking menyatakan audit manajemen digunakan
untuk memastikan bahwa strategi dipahami dan dikerahkan dengan baik di semua
perusahaan. Seperti halnya beberapa jenis audit, harus dianggap sebagai alat untuk
meningkatkan kinerja. Sayangnya, audit manajemen kadang-kadang dilakukan atas
nama dewan direksi untuk memecat manajer.
Manajer lain yang diwawancarai juga meyakini bahwa audit manajemen
sebenarnya merupakan jenis sanksi, dan bukan sebagai metode untuk memperbaiki
manajemen risiko dan efektivitas tim. Seorang top manajer di sektor media yang
percaya bahwa ada aspek positif dari perbaikan berkelanjutan pada audit
manajemen, menyoroti bahwa audit manajemen sering dianggap sebagai kontrol
yang dapat mengganggu dalam pekerjaan karyawan.
Selain itu, responden tampak tidak merasakan nilai tambah dari audit
manajemen yang dilakukan, terutama ketika perusahaan berjalan dengan baik dan
tidak ada rencana untuk memperluas atau mengubah strategi. Dengan demikian,
audit manajemen kadang-kadang dianggap sebagai sarana untuk memecahkan
krisis, tapi tidak dibayangkan sebagai praktek manajemen pencegahan yang
berharga.
Akhirnya, audit manajemen tidak dianggap berlaku pada semua industri.
Beberapa responden berpendapat bahwa akan sulit untuk menemukan auditor yang
kompeten, berpengetahuan dan independen di beberapa industri yang sangat
khusus. Masalah lainnya adalah kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan.
Selanjutnya, struktur hukum bank swasta Swiss sering mengamanatkan bahwa
pemilik dapat bertanggung jawab atas kekayaan pribadi. Oleh karena itu, mereka
percaya bahwa beberapa perusahaan tidak memerlukan audit tersebut karena
pemiliknya terlibat sangat signifikan dalam mengontrol perusahaan.
Meskipun audit manajemen dapat membantu mengidentifikasi kesalahan
dalam desain dan implementasi strategi, sehingga menjadi bagian penting dari
proses perbaikan kualitas perusahaan, audit manajemen dipandang identik dengan
sumber kesulitan di departemen, divisi atau manajemen. Inilah persepsi umum di
bidang bisnis Jenewa, sebagaian responden tampaknya memandang audit
manajemen memiliki konsekuensi hukuman dan terjadi pada saat merger dan
akuisisi atau krisis.

3. Apakah karakteristik dan alat-alat dari audit manajemen?


Ketika ditanya apa yang responden anggap sebagai karakteristik paling
penting dan alat audit manajemen, mereka mengusulkan desain lebih didasarkan
pada audit compliance, keuangan atau audit internal. Mereka tidak beradaptasi
dengan spesifikasi audit manajemen baik untuk tujuan ataupun metode. Beberapa
responden mengusulkan obseervasi internal perusahaan sebagai bagian dari
metode. Beberapa responden menekankan pentingnya wawancara, namun beberapa
responden lainya menggunakan instrumen audit atau wawancara terstruktur.
Ketika menjelaskan bagaimana audit manajemen harus dirancang, sebagian
besar responden menggambarkan organisasi dan persiapan audit, kinerja kerja
lapangan, analisis temuan dan pelaporan hasil audit. Mereka juga menyoroti
tahapan tersebut dalam kaitannya dengan jenis audit lainya. Misalnya, tes
pengendalian seperti yang dilakukan dalam audit eksternal, di sini tidak akan
relevan. Selin itu, responden cenderung setuju bahwa fase pertama dari audit
manajemen adalah mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk analisis,
terutama dokumentasi tentang strategi perusahaan dan struktur organisasi, mereka
tidak menjelaskan bagaimana memperoleh informasi atau mengapa hal tersebut
akan berguna. Para responden terfokus terutama tentang pentingnya pengumpulan
dan penelaahan dokumentasi, tetapi mereka tidak menjelaskan bagaimana hasilnya
akan memandu pekerjaan mereka.
Wawancara pada tahap ini juga dianggap sebagai cara untuk mengumpulkan
informasi (tapi tidak sebagai bahan utama audit). Beberapa responden
menyampaikan usulan tentang cara-cara melaksanakan wawancara. Gagassan yang
paling populer adalah wawancara formal pada individu dengan anggota manajemen
puncak dan direksi; beberapa responden mengusulkan wawancara informal untuk
membandingkan sudut pandang yang berbeda. Hanya sekelompok kecil responden
mengusulkan observasi lapangan kegiatan perusahaan.
Setelah informasi telah dikumpulkan, penting untuk menganalisanya.
Namun, hal ini adalah bagian yang paling sulit dari seluruh proses, dan, secara
keseluruhan, responden gagal menyusun metode analisis yang tepat. Analisis
kebutuhan informasi dengan jelas mencerminkan tujuan audit, tetapi saat ini tidak
dinyatakan secara sistematis dalam pekerjaan responden. Oleh karena itu, menjadi
sulit untuk mengambil informasi yang relevan untuk menganalisisnya, seperti
konsekuensi dari keputusan strategis.
Mengenai pendekatan yang lebih strategis, sebagian besar responden
mengusulkan analisis struktur dan sumber daya perusahaan untuk menilai
kemampuan dalam mencapai tujuan strategis secara efektif. Dari perspektif ini,
banyak alat yang diusulkan, seperti penerapan model COSO untuk mengevaluasi
sistem pengendalian internal atau diagram SWOT untuk menyajikan posisi
perusahaan. Namun, pada tingkat ini kurang dilakukan dalam mendorong analisis
lebih lanjut atau dalam mengevaluasi proses pembentukan strategi, penetapan
tujuan dan pelaksanaannya. Menurut responden, tahapan ini sangat sulit dilakukan
di sector bisnis yang sangat khusus.
Sebagai contoh, menilai kualitas desain dan implementasi strategi, di ini
membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang kegiatan perusahaan, operasi
industri secara menyeluruh dan konteks di mana perusahaan itu berkembang.
Langkah pertama dapat terdiri dari evaluasi apakah strategi perusahaan sesuai
dengan harapan dewan direksi atau para pemegang saham. Kemudian,
benchmarking dengan praktek industri bisa melengkapi evaluasi ini. Seorang
konsultan yang bekerja pada sebuah perusahaan yang sangaat terpercaya,
mengusulkan bahwa: setelah memahami bisnis klien, gaya manajemen, dan
prosedurnya, kami berusaha membenchmark mereka dengan berbagai masalah
pekerjaan best practice (praktik terbaik) dengan klien lain. Tujuan utamanya
adalah tidak mengadopsi praktek-praktek tersebut melainkan menjadikan mereka
sebagi dasar perbandingan. Dengan demikian, tampaknya penting untuk
mendapatkan dasar perbandingan, barangkali diilustrasikan oleh pengalaman lain
dari perusahaan atau organisasi serupa, dalam mengevaluasi strategi dan tujuan
perusahaan.
Cara lain untuk memahami dan menilai strategi perusahaan dapat berupa
analisis studi kasus tunggal implementasi strategi. Beberapa responden
mengusulkan menggunakan diagram fishbone untuk menganalisis proses
pengambilan keputusan dan untuk membantu mengidentifikasi titik lemah atau
risiko yang muncul. Dalam beberapa kasus, mereka percaya bahwa kegitn ini dapat
membantu manajemen dalam mengantisipasi masalah masa depan dan kemudian
memperbaiki strategi.
Mengenai evaluasi manajemen sebagai sebuah tim, responden juga
menemukan kesulitan dalam merancang cara mengevaluasi profil dan keterampilan
manajemen puncak yang objektif. Sebagian responden memilih wawancara sebagai
alat evaluasi, dalam beberapa kasus, bersama dengan balanced scorecard dan audit
kinerja. Hanya sebagian kecil responden yang mampu mengartikulasikan
bagaimana wawancara harus dilakukan dan bagaimana menggunakan hasil dalam
proses audit. Beberapa responden mengusulkan departemen sumber daya manusia
untuk menyelesaikan wawancara, tanpa memberikan pedoman khusus tentang cara
mengukur konvergensi antara profil manajer yang sebenarnya atau keterampilan
dan yang diinginkan secara efektif.
Beberapa responden mengusulkan alat seperti kuestioner semi-terstruktur
atau kuesioner terstruktur untuk mengidentifikasi keterampilan manajemen. Salah
satu anggota tim manajemen dari sektor konstruksi berpendapat bahwa: untuk
memastikan komunikasi yang baik dan pemahaman yang baik dalam tim
manajemen, kami harus tahu gaya manajemen masing-masing anggota. Hal ini
dapat dilakukan melalui analisis profil oleh konsultan independen. Memang benar
bahwa kepribadian masing-masing anggota tim manajemen penting bagi kinerja
tim. Dengan cara ini, manajemen dapat cepat menyadari pentingnya keahlian baru
yang kurang dimiliki oleh tim mereka.
Logika yang sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi keterampilan,
yang menjadi cara yang lebih efisien dalam mendistribusikan tugas di antara
anggota tim. Selain itu, jika tim manajemen dapat memverifikasi keterampilan apa
yang hilang dibandingkan dengan yang diharapkan secara obyektif, hal itu akan
menjadi jauh lebih mudah untuk memperkaya tim dengan menambahkan sumber
daya manusia baru atau memperbaiki yang sudah ada.
Namun, pendekatan ini, menurut responden, membutuhkan pengembangan
profil anggota tim yang cocok dan analisis kompetensi tim secara keseluruhan
sebelum kinerja audit. Harus diperhatikan bahwa setiap tindakan yang diperlukan
dilihat sebagai tindakan positif untuk melatih tim yang sebenarnya agar lebih
memenuhi harapan, bukan ancaman yang akan membahayakan pekerjaan anggota
tim. Sebagaimana manajer di negara-negara bisnis media nyatakan: bagi saya, tidak
penting siapa yang memutuskan audit manajemen, yang penting adalah transparansi
total harus dilakukan oleh auditor dan komunikasi terus menerus harus
dipertahankan antara auditor dan auditee. Hal ini sangat penting bahwa auditor
menyatakan tujuan dengan jelas pada permulaan audit dan menekankan pentingnya
perbaikan kapasitas manajemen. Selain itu, penting juga bahwa anggota tim harus
diberitahu tentang hasil audit dan tindakan yang diusulkan pada waktu yang tepat
dan diizinkan untuk mengekspresikan pandangannya.

4. Siapa yang bisa melakukan audit manajemen?


Kita bisa membagi preferensi komposisi umum dari sebuah tim audit menjadi
tiga kelompok, internal, eksternal dan campuran keduanya, tergantung pada tingkat
manajemen yang diaudiit. Sekitar sepertiga responden menyatakan bahwa
komposisi tim bisa dari internal. Menurut mereka, kerahasiaan atas independensi
dari manajemen. Posisi ini dapat dijelaskan bahwa beberapa responden memandang
audit manajemen mirip dengan audit compliance atau audit kinerja. Budaya
kerahasian sektor perbankan, khususnya, mungkin menjadi faktor penting.
Sekitar seperempat responden percaya bahwa audit eksternal atau perusahaan
konsultan harus menjalankan audit manajemen, dan mengklaim bahwa jaminan
independensi adalah sangat penting. Independensi dewan direksi dianggap sangat
penting ketika audit dilakukan di tingkat dewan atas nama pemegang saham.
Responden yang sama mengakui bahwa tim audit internal dapat melakukan audit
manajemen, tetapi hanya pada tingkat departemen. Mereka juga menganggap
fungsi audit internal tidak patut untuk mengevaluasi strategi dan manajemen karena
personil fungsi audit internal tidak akan memiliki kepercayaan.
Responden menganggap untuk menggunakan tim campuran yang terdiri dari
auditor internal dan eksternal. Pilihan ini bisa diinginkan karena dapat memastikan
baik legitimasi di dalam perusahaan dengan melibatkan staf internal maupun
profesional independen dan berpengalaman. Pendekatan ini berlaku terutama untuk
perusahaan yang memiliki fungsi audit internal yang kuat; namun, perrlu
pertimbangan alternatif bagi perusahaan kecil. Tim campuran personil perusahaan
dan konsultan eksternal juga diperlukan, namun hal ini akan memunculkan
pertanyaan tentang kompetensi audit personil perusahaan.
Mengenai organisasi publik atau administrasi publik, responden berpendapat
bahwa audit manajemen harus dijalankan oleh lembaga audit publik, dan bukan
oleh auditor swasta (private). Responden yang bekerja di administrasi publik
menyatakan lembaga seperti Genevas Court of Audit dianggap sebagai lembaga
independen yang memiliki kewenangan dan kompetensi untuk melakukan audit
manajemen organisasi.
Akhirnya, terdapat konsensus di antara responden tentang persyaratan
kompetensi yang sangat khusus: baik soft skill (misalnya wawancara, observasi)
maupun hardskill (pengetahuan teknis tentang pasar dan industri di mana
perusahaan itu beroperasi, pengetahuan tentang proses) dianggap sangat penting
dalam memahami strategi perusahaan. Tetapi tetap saja sulit untuk menemukan
semua kompetensi tersebut dalam melakukan audit manajemen di tingkat top
manajemen, kecuali pada tingkat dewan. Diperlukan dewan yang memiliki pikiran
terbuka tentang evaluasinya sendiri. Hal ini juga diperlukan konsultan eksternal
baik yang memiliki spesialisasi bisnis perusahaan maupun dalam melakukan audit
seperti di mana manusia menjadi faktor dominan.

F. Kesimpulan dan penelitian masa depan


Sementara audit manajemen dapat memperkuat kualitas manajemen dan
meningkatkan pemantauan strategi perusahaan dan efisiensi dewan (Craig-Cooper
dan De Backer, 1993c), audit manajemen umumnya tidak digunakan atau diacu
sebagai alat untuk mengatasi tata kelola korporasi. Berdasarkan survei penelitian
kualitatif di Jenewa, dapat dirumuskan hipotesis bahwa audit manajemen umumnya
tidak digunakan atau diacu sebagai alat untuk mengatasi tata kelola korporasi
karena tiga alasan berikut:
1) alat dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan audit manajemen
berbeda dengan yang diperlukan pada audit konvensional;
2) budaya nasional memainkan peranan penting karena pandangan audit
manajemen tentang hirarki dan otoritas, serta pandangan tentang sikap
manajerial; dan
3) tanpa adanya kematangan tata kelola korporasi yang tinggi, perusahaan
mengalami kesulitan dalam melakukan audit yang canggih tersebut.
Temuan ini menjembatani kesenjangan antara literatur audit manajemen dan
memperluas peran fungsi audit internal. Studi ini juga meneliti cara-cara
perusahaan memahami, merasakan dan mungkin kesiapan untuk menerapkan audit
manajemen sebagai praktek tata kelola korporasi yang baik. Namun demikian,
meskipun terdapat peningkatan yang positif dan berimplikasi bahwa audit
manajemen miliki tata kelola korporasi, ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan sebelum menerapkannya. Kontribusi utama penelitian ini adalah
adanya pengetahuan baru tentang audit manajemen berdasarkan penelitian induktif.
Dibandingkan dengan baik audit keuangan atau audit compliance, pada
dasarnya audit manajemen didasarkan pada antisipasi dan bukan deteksi.
Konsekuensinya, perlu dikembangkan teknik serta keterampilan spesifik untuk
menilai baik pencapaian tujuan strategis maupun perilaku manajemen. Teknik
wawancara dan observasi harus lebih banyak digunakan, karena audit ini bersifat
kualitatif dan partisipatif dibandingkan dengan audit tradisional dan harus dibuat
sendiri oleh industri dan perusahaan. Temuan ini menunjukkan bahwa audit
manajemen mengandung nilai-nilai yang cenderung menimbulkan perasaan
campur aduk atas kepentingan dan perasaan ketakutan, karena sering dikaitkan
dengan tindakan hukuman selama perusahaan mengalami krisis. Akibatnya,
diperlukan adanya peningkatan citra audit manajemen di dunia korporasi.
Selanjutnya, aspek budaya terkait dengan hirarki dan kekuasaan tampaknya sangat
penting dalam penerimaan praktik tata kelola korporasi. Indeks jarak kekuasaan
nasional bisa menjadi titik awal untuk menilai persepsi para aktor potensial dalam
mengadopsi praktik tata kelola yang baik. Selain itu, mengingat struktur kekuasaan
formal dalam perspektif politik, sementara audit manajemen dapat dilakukan oleh
fungsi audit internal, struktur organisasi perusahaan dan garis pelaporan cenderung
menghambat, atau bahkan mencegah, maka diperlukan kapasitas tindakan auditor
internal. Skema tata kelola korporasi baru harus dieksplorasi dan dirancang, dengan
mendasarkan pada firma khusus dan independen yang diberikan mandat oleh
departemen audit internal untuk menghindari bias politik.
Penelitian kasus daerah Jenewa ini menunjukkan bahwa difusi praktik audit
manajemen tidak semata-mata berhubungan dengan bisnis atau hambatan budaya
nasional, tetapi juga dan terutama berkitan dengan tingkat kematangan tata kelola
korporasi. Tata kelola korporasi telah menjadi perdebatan ekonomi di Swiss selama
10 tahun terakhir, tapi sementara perusahaan SMI Swiss telah berkembang menuju
praktik tata kelola korporasi yang diakui secara internasional, evolusi ini masih
berada pada tahap awal di banyak perusahaan dan Bank. Oleh karena itu, fungsi
audit internal sebagai kandidat yang masuk akal dalam membantu perkembangan
audit manajemen dan menempati posisi yang lebih strategis dalam konteks
pertumbuhan persyaratan tata kelola korporasi yang tidak dalam posisi melakukan
audit tersebut.
Meskipun terdapat keterbatasan sifat dan tingkat penelitian ini, temuan ini
menarik bagi audien internasional karena menunjukkan tindakan yang dapat
dimanfaatkan oleh dewan direksi dalam melaksanakan audit manajemen yang
diimpor dari Utara Amerika, Australia dan Inggris, da wilayah lain dengan
mempertimbangkan keyakinan dan budaya masing-msing. Mereka harus
memperhatikan tingkat kematangan tata kelola korporasi dalam negeri dan
bagaimana keseimbangan kekuasaan bisa menghambat difusi audit manajemen atau
tata kelola lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi