Vous êtes sur la page 1sur 17

Nama : Putri Humairoh

NPM : 1102008197
Skenario 3 : Sesak Napas

TIU 1 : Memahami dan Menjelaskan Definisi, Faktor Pencetus, Patogenesis dan


Patofisiologi Asma

Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan sensitifnya trakea dan cabang-cabangnya (hipereaktivitas bronkus)
terhadap berbagai rangsangan. Rangsangan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran
napas yang menyeluruh dengan derajat yang bervariasi dan dapat membaik dengan atau
tanpa diobati. Pada kelainan ini berperan berbagai sel inflamasi antara lain sel mast dan
eosinofil.

Etiologi dan Faktor Pencetus Asma


Etiologi :
A. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

B. Faktor presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan

Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.

Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,
industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau
cuti.

Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Asma adalah gangguan inflamasi pada jalan napas. Asma dapat didefinisikan
sebagai peningkatan responsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus, bermanifestasi
sebagai penyempitan jalan napasyang meluas yang keparahannya berubah secara spontan
maupun sebagai akibat pengobatan. cira khas utamanya adalah sebagai berikut :
1. Penyempitan jalan napas dan aliran udara yang terganggu, umumnya reversibel
secara spontan atau setelah pengobatan.
2. Peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang menyebabkan bronkokonstriksi
(hiperresponsivitas)
3. Peningkatan jumlah sel inflamasi (eosinofil, sel mast, neutrofil, limfosit T) dalam
bronkus.
(Jeremy P.T et all, 2007)

Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan etiologi


Karena asma adalah suatu penyakit heterogen yang dipicu oleh beragam sebab,
sampai saat ini belum ada klasifikasi sederhana yang diterima secara luas. Bagaimanapun
biasanya asma diklasifikasikan menjadi dua kategori utama berdasarkan ada tidaknya
penyakit imun penyebab:
1. Asma ekstrinsik; episode asma biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1
yang dipicu oleh pajanan ke suatu antigen ekstrinsik. Tiga jenis asma ekstrinsik yang
dikenal: asma atopik, asma pekerjaan (banyak bentuk), dan
aspergilosisbronkopulmonal alergik (kolonisasi bronkus oleh organisme Aspergillus
diikuti oleh terbentuknya antibodi imunoglobulin E). Asma atopik merupakan asma
tersering; onset biasanya pada dua dekade pertama kehidupan, dam sering berkaitan
dengan manifestasi alergi lain pada pasien serta anggoa keuarga. Kadar IgE serum
biasanya meningka, demikian juga hitung eosinofil darah. Bentuk asma ini
diperkirakan diperantarai oleh sel TCD4+ subset TH2.
2. Asma intrinsik, yang mekanisme pemicunya bersifat nonimun. Pada bentuk, sejumlah
rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan
bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut mencakup aspirin; infeksi paru, terutama
yang disebabkan oleh virus; dingin; stres psikologis; olahraga; dan inhalasi iritan
seperti ozon dan sulfur dioksida. Biasanya tidak terdapat manifestasi alergi pada
pasien atau keluarganya, dan kadar IgE serum normal. Pasien tersebut dikatakan
mengidap diatises asmatik.Secara umum, asma yang timbul pada awal kehidupan
memiliki komponen alergi (ekstrinsik) yang kuat, sedangkan asma yang timbul
belakangan lebih sering merupakan asma tipe intrinsik. Namun, perlu ditekankan
bahwa, karena hiperreaktivitas trakeobronkus yang inheren, orang denan asma yang
ekstrinsik jega rentan mengalami serangan asma jika terpajan faktor yang berperan
dalam asma intrinsik. Selain itu, dengan semakin terungkapnya dasar molekuer dan
seluler asma, diketahui bahwa kedua jalur tersebut memiliki banyak kesamaan
sehingga dikotomi yang kaku ini sudah kurang relevan lagi.

(Robbins, 2007)
Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan
Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadi serangan yang dipantau
dengan pemeriksaan APE. Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang
me-
nyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Termasuk
dalam klasifikasi ini adalah:
Asma Intermitten
Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Di antara dua serangan APE
normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas bronkus yang ringan.
Asma Persisten
Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan sering terjadi dan
terdapat hiperaktivitas bronkus. Pada beberapa penderita asma persisten yang berlangsung
lama, faal paru tidak pernah kembali normal meskipun diberikan pengobatan kortikosteroid
yang intensif.
Brittle Asthma
Penderita jenis ini mempunyai saluran napas yang sangat sensitif, variabilitas
obstruksi saluran napas dari hari ke hari sangat ekstrim: Penderita ini mempunyai risiko tinggi
untuk mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa.

Klasifikasi asma berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma


Dibagi menjadi 3 yaitu:
Asma terkontrol
Asma terkontrol sebagian (partial)
Asma tak terkontrol

Faktor Pencetus Asma:

Polusi atmosfer
Obat-obat (OAINS, -blocker)
Sensitisasi akibat pekerjaan
Gas iritan, asap, dan debu, polusi, perubahan hawa mendadak, dan hawa yang lembab.
Faktor genetik
Infeksi virus tertentu
Emosi yang berlebihan
Udara dingin, Olahraga
Alergen terinhalasi : debu rumah, bulu atau serpihan kulit binatang anjing, kucing, kuda
dan spora jamur.
Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu.
Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.
Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.
Stres fisik atau kelelahan.

(Jeremy P.T et all, 2007)


Patogenesis
Seperti yang sudah ditekankan dari awal, denominator umum yang mendasari semua
bentuk asma adalah respons bronkokonstriksi yang berlebihan (juga disebut hiperresponsivitas
jalan napas) terhadap berbagai rangsangan. Hiperresponsivitas jalan napas mudah dibuktikan
dalam bentuk peningkatan sensitivitas terhadap zat bronkokonstriktif, seperti histamin atau
metakolin (suatu agonis kolinergik).
Asma Ekstrinsik (Alergik)
Asma ekstrinsik didorong oleh sensitisasi sel CD4+ tipe TH2. Dapat diingat bahwa sel TH2
mengeluarkan sitokin, terutama interleukin 4,5, dan 13 (IL-4,IL-5, dan IL-13), yang meningkatkan
sintesis IgE, pertumbuhan sel mast, serta pertumbuhan dan pengaktifan eosinofil. Induksi respon
TH2 merupakan hal mendasar pada patogenesis asma alergik, dan IgE, sel mast, serta eosinofil
adalah pemain kunci yang memerantarainya. Serangan asma sering memperlihatkan dua fase:
fase awal, dimulai 30-60 menit setelah inhalasi antigen dan kemudian mereda, diikuti 4-8 jam
kemudian oleh fase lanjut yang lebih berkepanjangan. Seperti dapat diperkirakan, pengaktifan
awal sel mast terjadi di permukaan mukosa; mediator yang kemudian dilepaskan membuka taut
antar sel mukosa sehingga antigen dapat masuk lebih banyak sel mast mukosa. Selain itu,
stimulasi langsung reseptor vagus (parasipatis) subepitel memicu refleks bronkokonstriksi.
Pengaktifan sel mast menyebabkan pembebbasan beragam mediator primer dan sekunder yang
berfungsi baik pada fase awal maupun lanjut asma.
Mediator fase awal mencakup:
Leukotrien C4, D4, dan E4 ; mediator sangat kuat yang menyebabkan bronkokonstriksi
berkepanjangan, peningkatan permeabilitas vaskular, dan peningkatan sekresi musin
Prostaglandin D2, E2, dan F2, memicu bronkokonstriksi dan vasodilatasi
Histamin: menyebabkan bronkospasme dan peningkatan permeabilitas vaskular
Platelet-activating factor: menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamin dari
granula
Triptase sel mast: Menginaktifkan peptida yang menyebabkan bronkodilatasi normal
(vasoactive intestinal peptide)
Reaksi awal ini diikuti oleh fase lanjut (atau selular), yang didominasi oleh leikosit rekrutmen:
basofil, neutrofil, eosinofil. Mediator sel mast yang berperan dalam rekrutmen sel radang ini
adalah :
Faktor kemotaktik dan eosinofilik dan neutrofilik serta leukotrin B4 : merekrut dan
mengaktifkan eosinofil dan neutrofil
IL-4 dan IL-5: memperkuat respons TH2 sel T CD4+ dengan meningkatkan sintesis IgE serta
kemotaksis dan ploriferasi eoosinofil
Platelet-activating factor : kemotaktik kuat bagi eosinofil bila terdapat IL-6
Faktor nekrosis tumor: mrningkatkan molekul perekat (adhesion molecules) di endotel
vaskular serta di sel radang.
Kedatangan leukosit ditempat degranulasi sel mast menimbulkan dua efek: (1) sel ini kembali
mengeluarkan serangkaian mediator yang mengaktifkan sel mast dan memperkuat respon awal,
dan (2) sel ini menyebabkan kerusakan sel epitel yang khas pada serangan asma. Sel epitel itu
sendiri merupakan sumber mediator, seperti endotelin dan nitrat oksida, yang masing-masing
dapat menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot polos. Hilangnya integritas epitel juga dapat
berperan dalam hiperresponsivitas jalan napas melalui penurunan ketersediaan nitrat oksida.
Eosinophil sangat penting pada fase lanjut. seperti telah disebutkan, penumpukan eosinophil di
tempat peradangan alergik di tunjang oleh beberapa faktor kemotaktik sel mast. Penelitian juga
mengisyaratkan adanya peran kemokin lain dalam kemotaksis eosinofil. Kemotaksin yang
pellaing poten tampaknya adalah eotaksin, yang dihasilkan oleh sel epitel bronkus aktif, makrofag,
dan otot polos jalan napas. eosinofil yang menumpuk menimbulkan beragam efek. Ragam
mediator eosinofil sama banyaknya dengan yang dilmiliki oleh sel mast dan mencakup major
basic protein (MBP) dan protein kationik eosinofil (ECP), yang bersifat toksik terhadap sel epitel.
Peroksidase eosinofil menyebabkan kerusakan jaringan melalui stress oksidatif. Eosinofil aktif
juga kaya leukotrin, terutama leukotrin C4, serta platelet-activating factor. Oleh karena itu,
eosinofil dapat memperkuat dan mempertahankan respons peradangan tanpa pajanan lebih lanjut
ke antigen pemicu. (Robbins, 2007)
Asma Intrinsik
Mekanisme peradangan dan hiperresponsivitas bronkus jauh lebih kurang dipahami pada
pasien dengan asma intrinsik (nonatopik). Yang diperkirakan berperan dalam kasus ini adalah
infeksi saluran napas oleh virus dan polutan inhalan, seperti sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen
dioksida. Zat ini meningkatkan hiperreaktivitas jalan napas, baik pada orang normal maupun
subjek asmatik. Namun, pada pada yang terakhir respons bronku, yang bermanifestasi sebagai
spasme, jauh lebih berat dan menetap. Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa efektor seluler
dan humoral pada asma intrinsik banyak bertumpang tindih dengan yang terdapat pada asma
ekstrinsik. Eosinofil adalahpemain kunci pada kedua tipe asma. Demikian juga asma yang
ditimbulkan karena aspirin diperkirakan diperantarai terutama oleh efek leukotrin, terutama
leukotrin C4. Walaupun efektor yang terletak di hilir pada hiperresponsivitas jalan napas
semakin banyak yang terungkap, mekanisme yang mendasari kerentanan ini masih belum
diketahui. (Robbins, 2007)

Patofisiologi
Keadaan yang dapat menimbulkanserangan asma menstimulasi terjadinya bronkospasme
melalui salah satu dari mekanisme, yaitu:
1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan IgE
2. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE
Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamin, yaitu suatu sllow-reacting substance
of anaphylaxis, dan kinin yang menyebabkan bronkokonstriksi.
3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast.

Episode bronkospastik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP (cyclic guanosine


monophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic adenosine monophosphate), atau konsentrasi
keduanya didalam otot polos bronkus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan
penurunan konsentrasi c-AMP intraseluler berkaitan dengan terjadinya bronkospasme, sedangkan
keadaan yang sebaliknya, yaitu penurunan konsentrasi c-GMP dan peningkatan c-AMP
menyebabkan bronkodilatasi. Produksi IgE spesifik memerlukan sensitisasi terlebih dahulu.
Penurunan aliran udara ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronkokonstriksi saja, tetapi
juga oleh adanya edema mukosa dan sekresi lendir yang berlebihan. (R. Darmanto D.,2009)

TIU 2 : Memahami dan Menjelaskan Gejala Klinis dan Diagnosis Asma Bronkial

Gejala Klinis

Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang
lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang
disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut
dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama
makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. (Medicafarma,2008)
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada serangan
asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai
sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,
putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi
bronkus dengan metakolin.
(Aru W. Sudoyo, 2007)
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat
atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali.
Batuk hampir selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin
kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat. (Medicafarma,2008)
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk
dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah
pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat
meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase
permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau
sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena
menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi
kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi
katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia. (Medicafarma,2008)
Gejala yang juga sering terlihat jelas adalah penggunaan otot napas tambahan, timbulnya
pulsus paradoksus, timbulnya Kussmauls sign. Pasien akan mencari posisi yang enak, yaitu
duduk tegak dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, dengan demikian
otot napas tambahan dapat bekerja dengan lebih baik. Takikardia akan timbul di awal serangan,
kemudian diikuti sianosis sentral. Gejala asma dapat dibedakan dengan gejala penyakit obstruksi
jalan napas lainnya, seperti bronkitis kronik, emfisema, dan fibrosis kistik. Asma terjadi pada
penderita muda yang bukan perokok; saat berada di antara eksaserbasi akut, nilai kapasitas
residual fungsional adalah normal, daya tahan saat exercise dan parameter spirometrik pada
penderita asma tidak banyak berubah dibandingkan penderita bronkitis kronik maupun penderita
emfisema.
(R. Darmanto D.,2009)

KLASIFIKASI GRADASI ASMA


(dimodifikasi dari National Asthma Education and Prevention Program)

Gambaran Klinis Sebelum Terapi


Klasifikasi Gejala Gejala malam hari Fungsi paru
Intermiten Gejala 2 kali/ 2 kali/ bulan FEV1 atau PEF
ringan minggu 80% perkiraan
Asimptomatik dan Variabilitas PEF
PEF normal diantara 20%
eksaserbasi
Eksaserbasi singkat
(beberapa jam
sampai beberapa
hari) intensitas
mungkin bervariasi
Persisten Gejala > 2 kali/ > 2 kali/ minggu
ringan minggu namun < 1
kali/hari
Eksaserbasi mungkin
mempengaruhi
aktivitas
FEV1 atau PEF
80% perkiraan
Variabilitas PEF 20-
30%
Persisten Gejala muncul setiap > 1 kali/ minggu FEV atau PEF >
sedang hari 60-80% perkiraan
Penggunaan harian Variabilitas PEF >
inhalasi agonis 2 30%
keja singkat
Eksaserbasi 2 kali/
minggu
Persisten Gejala terus menerus Sering FEV1 atau PEF
berat Aktifitas fisik terbatas 60% perkiraan
Sering eksaserbasi Variabilitas PEF >
30%

Sebagai ukuran sederhana, dapat dikatakan jika peak flow< 120 liter atau FEV1 < 1 liter,
keadaan ini disebut obstruksi saluran pernapasan berat. Untuk menentukan apakah perlu
perawatan di rumah sakit, digunakan indeks penilaian derajat serangan asma sebagai berikut.
Detak jantung > 120 kali/ menit
Takipneu dengan frekuensi > 30 menit
Pulsus paradoksus 18 mmHg
PEF 120 L/ menit
Jika keempat hal ini terdapat pada passien, diperkirakan 95% akan terjadi relaps dan perlu
perawatan di rumah sakit. Namun demikian, ternyata yang dapat digunakan sebagai petunjuk lebih
tepat adalah adalah keberhasilan pada terapi inisial. Foto rontgen hanya berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya pneumonia dan pneumotoraks, bukan untuk menilai derajat
asma, walaupun hiperinflasi paru dapat menunjukkan kemungkinan adanya serangan asma akut.

Klasifikasi asma berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma


Dibagi menjadi 3 yaitu asma terkontrol, asma terkontrol sebagian (partial), dan asma tak
terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkontrol partial Tak terkontrol


Gejala harian Tidak ada (<2 kali >2 kali per minggu 3 atau lebih dari
per minggu) karakteristik asma
terkontrol partial
terjadi dalam
seminggu
Keterbatasan Tidak Beberapa
aktifitas
Gejala asma malam Tidak Beberapa
hari
Kebutuhan akan Tidak (<2 kali per >2 kali per minggu
obat-obatan pelega minggu)
Fungsi paru (PEF Normal < 80%
atau PEV1)
Eksaserbasi Tidak Satu atau lebih dalam Satu kali dalam
setahun beberapa minggu
(Muchid dkk, 2007)
Diagnosis

Pemeriksaan
Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
(Medicafarma,2008)

b) Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
atau asidosis. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. Hiponatremia dan
kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.
(Medicafarma,2008)

c) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan
yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
(Medicafarma,2008)

d) Pemeriksaan tes kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi
yang positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel. (Medicafarma,2008)

e) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan
disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
- Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise
rotation.
- Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle
branch block).
- Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
(Medicafarma,2008)

f) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi. (Medicafarma,2008)

Diagnosis Banding
- Bronkitis Kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk
disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok
berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan
menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis.
- Emfisema Paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema. sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak
pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan
suara napas sangat lemah.
- Gagal Jantung Kiri Akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma
kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut parxysmal nocturnal dispneu. Pasien tiba-
tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila
duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala
gagal jantung. Disamping ortopneu, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
- Emboli Paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-batuk yang
dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan
fisis ditemukan adanya ortopneu, takikardia, gagal jantung kanan, pleural friction, irama
derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan
antara lain aksis jantung kekanan.
- Penyakit lain yang Jarang seperti: stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliarteritis
nodosa.

Komplikasi Asma
1. Pneumotoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga

TIU 3 : Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan dan Prognosis Asma Bronkial

PENATALAKSANAAN ASMA
Sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai
pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma
saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller).
Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan
penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol.
Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA
(NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada
gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada
keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati
normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-
obat yang digunakan kalau perlu.
Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih
pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala
dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi.

Penatalaksanaan Asma Saat Serangan


Penatalaksanaan asma saat serangan bertujuan untuk: mencegah kematian, dengan segera
menghilangkan obstruksi saluran napas; mengembalikan fungsi paru sesegera mungkin; mencegah
hipoksemia dan mencegah terjadinya serangan berikutnya.
Penatalaksanaan asma saat serangan dibagi lagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan saat serangan
di rumah dan penatalaksanaan asma saat serangan di rumah sakit.
Penatalaksanaan Saat Serangan di Rumah

1. Terapi awal
Berikan segera Inhalasi agonis beta2 kerja cepat 3 kali dalam 1 jam berarti setiap 20 menit,
contohnya Salbutamol 5mg, Terbutalin 10 mg, Fenoterol 2,5 mg
Jika tidak tersedia inhalasi agonis beta2 maka dapat diberikan agonis beta2 oral 31tablet
2 mg
2. Evaluasi respon pasien
Jika keadaan pasien membaik yaitu gejala batuk, sesak dan mengi berkurang atau tidak
terjadi serangan ulang selama 4 jam maka pemberian beta2 agonis diteruskan setiap 3-4
jam selama 1-2 hari.
Jika keadaan pasien tidak membaik atau malah memburuk maka berikan kortikosteroid oral
seperti 60-80 mg metilprednisolon kemudian pemberian beta2 agonis diulangi dan segera rujuk
pasien ke rumah sakit.
Pengelolaan Serangan Asma di Rumah Sakit

1. Terapi awal
Inhalasi beta2 agonis kerja singkat secara nebulisasi 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam atau
agonis beta2 injeksi seperti Terbutalin o,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan.
Berikan oksigen dengan kanul nasal 4-6 l/menit untuk mencapai saturasi 90% pada dewasa
dan 95% pada anak-anak. Berikan kortikosteroid sistemik seperti hidrokortison 100-200mg
atau metilprednisolon IV jika:
i. Serangan asma berat
ii. Tidak ada respon segera dengan beta2 agonis
iii. Jika pasien sedang mendapat kortikosteroid peroral
iv. Lakukan penilaian ulang APE, saturasi oksigen dan pemeriksaan lain bila diperlukan

Jika respon baik maka pasien dipulangkan, teruskan pengobatan inhalasi beta2 agonis dan
dapat ditambahkan kortikosteroid oral, berikan arahan pada pasien untuk minum obat secara
teratur. Jika respon pasien tidak sempurna dalam 1-2 jam maka pasien dirawat di rumah sakit
dengan:
1. Pemberian inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik
2. Beri kortikosteroid sistemik
3. Berikan oksigen sama seperti sebelumnya
4. Dapat diberikan aminofilin IV
Jika respon buruk dalam 1 jam maka pasien dirawat di ICU dengan diberikan

Inhalasi beta2 agonis dan inhalasi antikolinergik,


Kortikosteroid IVBeta2 agonis subkutan, IM dan IV
Beri oksigeAminofilin IV
Berikan intubasi dan ventilasi mekanik
Penatalaksanaan Asma di Luar Serangan
Penatalaksanaan asma diluar serangan, mengacu kepada berat ringannya gejala asma.
Berdasarkan berat ringannya gejala asma, maka penatalaksanaan asma di luar serangan dapat
dibagi menjadi; penatalaksanaan asma intermiten , penatalaksanaan asma persisten ringan, sedang
dan berat.
Penatalaksanaan Asma Intermiten

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala intermiten (kurang dari satu kali
seminggu), serangan singkat (beberapa jam sampai hari), gejala asma malam kurang dari dua kali
sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan VEP1 >
80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.
Pada asma intermiten ini, tidak diperlukan pengobatan pencegahan jangka panjang. Tetapi obat
yang dipakai untuk menghilangkan gejala yaitu agonis beta 2 inhalasi, obat lain tergantung
intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
Penatalaksanaan Asma Persisten Ringan

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala lebih dari 1x seminggu, tapi kurang
dari 1x per hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 2x per bulan
dan nilai APE atau VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.
Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 200-500 mikrogram,
kromoglikat, nedocromil atau teofilin lepas lambat. Dan jika diperlukan, dosis kortikosteroid
inhalasi dapat ditingkatkan sampai 800 mikrogram atau digabung dengan bronkodilator kerja lama
(khususnya untuk gejala malam), dapat juga diberikan agonis beta 2 kerja lama inhalasi atau oral
atau teofilin lepas lambat. Sedangkan untuk menghilangkan gejala digunakan: agonis beta 2
inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.

Penatalaksanaan Asma Persisten Sedang

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala setiap hari, serangan mengganggu
aktivitas dan tidur, serangan malam lebih dari 1x per minggu dan nilai APE atau VEP1 antara 60-
80% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram,
bronkodilator kerja lama, khususnya untuk gejala malam: inhalasi atau oral agonis beta 2 atau
teofilin lepas lambat. Sedangkan obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala, terdiri dari:
agonis beta 2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.

Penatalaksanaan Asma Persisten Berat

Gambaran klinis sebelum pengobatan, terdiri dari: gejala terus-menerus, sering mendapat
serangan, sering serangan malam, aktivitas fisik terbatas dan nilai APE atau VEP1 kurang dari
60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 migrogram;
bronkodilator kerja lama (inhalasi agonis beta 2 kerja lama, teofilin lepas lambat, dan atau agonis
beta 2 kerja lama tablet atau sirup; kortikosteroid kerja lama tablet atau sirup. Sedangkan, obat
yang digunakan untuk menghilangkan gejala, agonis beta 2 inhalasi bila perlu dan obat pencegah
setiap hari.
Jadi, pada prinsipnya pengobatan asma dimulai sesuai dengan tingkat beratnya asma, bila asma
tidak terkendali lanjutkan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelum itu perhatikan dulu, apakah teknik
pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (menghindari factor pencetus) telah
dilaksanakan dengan baik.
Setelah asma terkendali dengan baik, paling tidak untuk waktu 3 bulan, dapat dicoba untuk
menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat
mengandalikan gejala.
Akhir-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang berat. Penelitian
menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma serta kunjungan
ke gawat darurat karena serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.
Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai kombinsi kortikosteroid dan bronkodilator, untuk
mencegah kerusakan kronik dan gangguan fungsi paru. Panduan pengobatan menganjurkan
pemakaian kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang mengkonsumsi agonis beta 2 inhalasi
aksi pendek lebih dari sekali sehari. Ada dua penelitian yang melaporkan bahwa penambahan
salmeterol pada pasien asma ringan, sedang maupun berat yang sedang dalam pengobatan
kortikosteroid inhalasi menghasilkan perbaikan fungsi paru dan gejala asma. Bila dibandingkan
dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi dua kali lipat. Penelitian lain melaporkan perbaikan
gejala fungsi paru dan penurunan eksaserbasi pada pasien yang mendapat salmaterol yang
dikombinasi dengan flutikason propionate dibandingkan denganpasien yang memperoleh dosis
kortikosteroid dua kali lipat. Penelitian lain juga menemukan, keberhasilan kombinasi budesonide
dengan formoterol dalam satu sediaan untuk mengontrol asma dan meningkatkan kualitas hidup.2
Disamping itu semua, dalam pengobatan asma, ketaatan pemakaian obat juga menentukan
keberhasilan terapi. Ketaatan pemakaian obat akan menurunkan dalam kompleksitas pengobatan
dan seringnya frekuensi pemakaian obat. Untuk itu, diperlukan penyederhanaan rejimen
pengobatan dengan mengkonsumsikan agonis beta 2 aksi panjang dengan kortikosteroid dalam
suatu sediaan. Kombinasi ini dipakai 2 kali sehari diharapkan akan memperbaiki pengendalian
asma dan kualitas hidup pada pasien-pasien yang membutuhkan ke arah jenis pengobatan di atas.2

Pentingnya Edukasi dalam Penatalaksanaan Asma

Edukasi pada pasien asma merupakan suatu hal yang sangat penting, dan sebelumnya harus ada
dulu kerjasama yang baik antara dokter/tenaga medis dengan penderita dan keluarganya. Bila
penderita dan keluarganya memahami penyakitnya dengan baik, maka ia secara sadar akan
menghindari factor-factor pencetus serangan, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi
kepada dokter secara tepat. Panderita dan keluarganya harus diberi motivasi bahwa untuk
mengatasi penyakit asma tidak akan berhasil dengan baik bila hanya dengan obat-obatan saja,
tetapi harus juga mempunyai pengetahuan tentang penyakit asma dan penatalaksanaannya.
Salah satu factor penyulit dalam pengobatan asma adalah penderita datang dalam keadaan
penyakit berat karena penderita berusaha mengobati diri sendiri dan menunda-nunda untuk
meminta pertolongan dokter. Maka dengan edukasi yang baik, penderita diharapkan bisa
membedakan keadaan serangan yang ringan dan berat. Bahkan penderita dan keluarga harus bisa
memilah kapan harus ke dokter dan kapan tidak perlu ke dokter.
Penderita asma dan keluarganya hurus memahami tujuh masalah dalam bidang penyakit asma
untuk mengengatasi penyakitnya, yaitu:2 memahami pengertian dasar dari penyakitnya, artinya
kita harus memberikan edukasi kepada penderita dan keluarganya mengenai penyakit asma,
termasuk didalamnya: patofisiologis, gejala, berat-ringannya penyakit asma, berat-ringannya
serangan asma, factor pencetus serta pengendalian lingkungan, cara pengobatan preventif maupun
kuratif yang dianjurkan, termasuk obat asma serta efek samping dan cara pemakaiannya, dan hal-
hal lain yang dianggap perlu. Disamping itu, penderita juga diharapkan dapat menilai atau
memantau berat-ringannya penyakit asma serta berat-ringannya serangan dan termasuk
didalamnya pengelolaan yang dianjurkan; memahami dan memantau pengobatan pencegahan
asma jangka panjang; memahami dan melaksanakan rencana pengobatan emergensi untuk
mengatasi serangan asma yang mendadak; serta olahraga yang teratur untuk meningkatkan
kebugaran tubuh dan control secara teratur ke dokter pribadinya.Beberapa hal yang perlu diketahui
dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah memahami sifat-sifat dari penyakit asma :
- Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.
- Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu
bisa kambuh lagi.
- Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka
panjang secara teratur. (Medlinux,2008)
Penderita dan keluarganya juga harus mengetahui beberapa pandangan yang salah tentang
asma, seperti :
1. Bahwa asma semata-mata timbul karena alergi, kecemasan atau stres, padahal keadaan
bronkus yang hiperaktif merupakan faktor utama.
2. Tidak ada sesak bukan berarti tidak ada serangan.
3. Baru berobat atau minum obat bila sesak nafas saja dan segera berhenti minum obat bila
sesak nafas berkurang atau hilang.
(Medlinux,2008)

Pengobatan
- Mencegah ikatan alergen-IgE
o Menghindari alergen
o Hiposensitisasi, dengan meyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
ditingkatkan , diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan
mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang
dewasa saat ini masih diragukan.
- Mencegah Penglepasan Mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan
oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah penglepasan
mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah
terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan.
Natrium Kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi. Meskipun
juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat
golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat
mencegah penglepasan mediator.
- Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator
a) Simpatomimetik: 1) agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol,
prokaterol)merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat
diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau nebulizer; 2)
Einefrin diberikan subkutan sebagai pengganti angonis beta 2 pada serangan asma
yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.
b) Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal diikuri dengan
dosis pemeliharaan
c) Kortikosteroid. Tidak termasuk golongan bronkodilator tetapi secara tidak langsung,
dapat melebarkan saluran napas. Dopakai pada serangan asma akut atau terapi
pemeliharaan.
d) Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai debagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2.
e) Antibiotik Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh
rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
(Medlinux,2008)
- Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas
(Aru W. Sudoyo, 2007)

Faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan


mengurangi serangan :
Menghindari makanan yang diketahui menjadi penyebab serangan (bersifat individual).
Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.
Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.
Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan.
Berusaha menghindari polusi udara (memakai masker), udara dingin dan lembab.
Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.
Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.
Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, baik obat simptomatis maupun
obat profilaksis.
Pada waktu serangan berusaha untuk makan cukup kalori dan banyak minum air hangat
guna membantu pengenceran dahak.
Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan
dengan temperatur hangat. (Medlinux,2008)

Pengobatan Profilaksis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional, karena
sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme. Pada
umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat
sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan
meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :
a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast.
(Medlinux,2008)

a. Tatalaksana Asma Akut Intermitten


1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X 0,05-0,1 mg/kg BB
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika
(Medlinux,2008)

b. Tatalaksana Asma Berat dan Status Asmatikus


1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau Aminofilin
bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan. Catatan : pemberian Adrenalin pada orang tua
harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi dan penyakit
jantung.
2. Dexametason 5 mg IV.
3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.
4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus : Pasang infus Glukosa 5%
atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam. Rujuk segera ke Rumah Sakit.
(Medlinux,2008)
DAFTAR PUSTAKA

Kumar V., Cotran RS., Robbins SL. (2007), Buku Ajar Patologi, Edisi 7, EGC, Jakarta
Girsang M., 1998, Asma dan Masalah Lain, Cermin Dunia Kedokteran No. 121.

Vous aimerez peut-être aussi