Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ANALISIS MASALAH
1. Tuan X, kisaran usia 27 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tipe
A diantar oleh polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.
a. Apa fungsi dari IGD?
Instalasi Gawat Darurat Berperan dalam:
Memberikan pelayanan gawat darurat yang cepat, tepat dan cermat dan terjangkau sesuai
kebutuhan masyarakat. Menyiapkan fasilitas SDM yang terampil dan bermutudalam
melakukan pelayanan gawat darurat.
Meningkatkan mutu tenaga pelayanan khusus gawat darurat secara berkesinambungan.
Berpartisipasi dalam melaksanakan penelitian di bidang gawat darurat.
Instalasi Gawat Darurat bertugas:
Menyelenggarakan pelayanan medis pasien gawat darurat yaitu pasien dengan ancaman
kematian dan perlu pertolongan segera (critically ill patient), pasien yang tidak ada
ancaman kematian tetapi perlu pertolongan segera (emergency patient), dan pelayanan
pasien tidak gawat tidak darurat yang datang ke IGD selama 24 jam terus menerus.
Mengelola pelayanan khusus siaga bencana dan pelayanan medis saat bencana.
Bersama dengan Bagian Pendidikan & Penelitian mengelola pelatihan penanganan
pasien gawat darurat.
Sumber: RS Hasan Sadikin Bandung
2. Dari saksi di tempat kejadian diketahui mekanisme trauma ialah pasien yang
mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi menabrak tiang listrik lalu terpelanting
dan membentur trotoar. Saat itu pasien tidak menggunakan helm. Baju dan celana
pasien basah karena darah.
2
a. Bagaimana mekanisme trauma yang dialami tuan X pada kasus?
Tabrakan yang terjadi di muka pengendara motor biasanya mengakibatkan
pengendara motor sepenuhnya terlempar keluar atau terlempar sebagian melewati
stang. Beberapa cedera yang umum terjadi antara lain:
- Cedera kepala dan leher apabila tidak ada helm
- Cedera torakoabdominal akibat benturan dengan stang
- Fraktur pelvis open book, yaitu fraktur pelvis anterior dan posterior yang
membuka seperti buku akibat benturan dengan stang
- Cedera femur bilateral
- Abrasi dan laserasi
Dugaan mekanisme trauma pada kasus:
Pengendara motor melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak tiang listrik
deselerasi pasien terlempar melewati stang kiri membentur trotoar pada sisi
tubuh sebelah kiri
Trauma kepala ringan: benturan dengan trotoar (tanpa pengamanan helm)
trauma deselerasi penurunan kesadaran
Trauma tumpul abdomen: benturan dengan stang trauma abdomen kanan atas
Fraktur terbuka humerus sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
Fraktur terbuka femur sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
Fraktur terbuka cruris sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
c. Apa makna pasien tidak menggunakan helm dan baju serta celana pasien
basah karena darah?
Pasien tidak menggunakan helm dapat meningkatkan risiko terjadinya trauma
kepala. Dan makna baju serta celana pasien basah oleh darah berarti perdarahan
3
pada pasien banyak karena menyebabkan pakaiannya basah karena menyerap
darah dari pasien.
Mekanisme abnormal:
Konsumsi alkohol gangguan kesadaran
Alkohol secara langsung mempengaruhi tubuh melalui peningkatan aktivitas
GABA dan berpengaruh pada reseptor glutamat. Peningkatan GABA
mengakibatkan aktivitas neuron menurun sehingga respon otak menjadi lambat.
Dampak pada reseptor glutamat berimbas pada kesalahan bicara, hilang
kesadaran, hilang ingatan, dan kurangnya koordinasi tubuh.
- Breathing
Tabel 2. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan breathing
Hasil pemeriksaan Interpretasi Mekanisme abnormal
RR: 32x/menit Meningkat Perdarahan hipovolemia
(takipneu) aktivasi sistem saraf simpatis
peningkatan usaha bernafas
4
SpO2: >95% Menurun Saturasi oksigen perlu selalu dipantau
(dengan udara (ambang untuk menilai perfusi jaringan
bebas) batas) Perdarahan hipovolemia
efektivitas perfusi oksigen di paru-
paru menurun saturasi oksigen
menurun
Gerakan thoraks Normal
statis dan dinamis :
simetris
Auskultasi paru : Normal
vesikuler (+) normal
Tidak ada ronkhi Normal
Tidak ada wheezing Normal
- Circulation
Tabel 3. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan circulation
Normal Interpretasi Mekanisme
Nadi 60-100x/menit Takikardi Peningkatan laju jantung dan
145x/menit kontraktilitas adalah respons
homeostasis saat terjadi
hipovolemia.
5
Peningkatan kecepatan aliran
darah kemikrosirkulasi
berfungsi mengurangi
asidosis jaringan
(isi dan Isi dan Abnormal Akibat perdarahan
tegangan tenggangan hipovolemia
kurang) cukup
TD 70/50 120/80 mmHg Hipotensi Fase Dekompensasi :
mmHg Pada fase ini metabolisme
anaerob sudah mulai terjadi
dan semakin meningkat.
Akibatnya sistem kompensasi
yang terjadi sudah tidak lagi
efektif untuk meningkatkan
kerja jantung. Produksi asam
laktat meningkat, produksi
asam karbonat intraseluler
juga meningkat sehingga
terjadi asidosis metabolik.
Membran sel terganggu,
akhirnya terjadi kematian sel.
Terjadi juga pelepasan
mediator inflamasi seperti
TNF. Akhirnya sistem
vaskular mulai tidak dapat
mempertahankan
vasokonstriksi. Sehingga
terjadi vasodilatasi yang
menyebabkan tekanan darah
turun dibawah nilai normal
dan jarak sistol-diastol
menyempit.
6
akral Akral hangat, Abnormal Syok hemoragik hipoksia
dingin, merah. vasokonstriksi perifer
lembab untuk mempertahankan
pucat aliran darah di otak.
CRT <2 detik Memanjang Hipovolemia
(capillary
refill time)
4 detik
- Disability?
Skala AVPU V
Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai penurunan kesadaran
pasien. Tingkatan kesadaran pasien dilaporkan dengan A, V, P, atau U.
(1) A: Alert and oriented
Penilaian kesadaran dan orientasi terhadap orang, tempat, waktu,
dan kejadian. Pada level ini, pasien dalam kondisi sadar
sepenuhnya. Untuk menilainya, caranya dengan menanyakan
pertanyaan yang jawabannya bukan berupa ya atau tidak
seperti Tahun berapa sekarang?atau Sekarang anda ada
dimana?
7
(4) U: Unresponsive
Level terendah kesadaran. Terjadi jika sudah dilakukan
rangsangan nyeri di kedua sisi dan pasien tetap dalam kondisi
flasid atau tidak sadarkan diti tanpa adanya pergerakan atau
suara.
9
- Exposure
Temperatur 35.5C
Normal: 36.5-37.5 Interpretation: Hipotermia
Perdarahan massif penurunan perfusi jaringan penurunan suplai
oksigen dan energi ke sel penurunan metabolisme seluler
penurunan penghasilan energi penurunan panas
Perdarahan massif respon stress: Vasokonstriksi penurunan
pelepasan panas dari pembuluh darah penurunan suhu.
Jejas di abdomen kanan atas
Adanya jejas menandakan terlah terjadinya trauma benda tumpul. Jejas
biasanya berupa memar, perubahan warna, dan perubahan structural
yang tampak secara kasat mata. Regio abdomen kanan atas sebagian
besar diisi oleh hepar. Tumbukan benda tumpul menyebabkan gaya
yang dihantarkan melalui jaringan kulit dan otot abdomen ke organ
internal. Akibat energi tersebut, jaringan organ yang terkena mengalami
kerusakan, contohnya pembuluh darah organ.
10
ke struktur tulang humerus. Fragmen tulang humerus yang patah bisa
mencuat atau merobek kulit sehingga menyebabkan luka. Hal ini disebut
sebagai fraktur terbuka. Fragmen-fragmen patahan tulang berpotensi
merobek arteri arteri kecil maupun besar disekitar tulang. Pada lengan,
arteri besar yang besar kemungkinan rupture adalah arteri brachialis
yang terletak di bagian depan os humerus.
11
Fraktur terbuka kruris sinistra dengan perdarahan aktif.
Fraktur pada daerah kruris pada kasus ini kemungkinan besar terjadi
pada os. Tibia. Hal ini dikarenakan os tibia hanya dilapisi oleh kulit dan
fascia superficialis. Selain tibia, os fibula biasanya ikut mengalami
fraktur. Fraktur regio kruris terjadi akibat adanya trauma fisik seperti
jatuh atau tumbukan kuat. Gaya besar dari luar tersebut dihantarkan
melalui jaringan padat mulai dari luar yaitu kulit, jaringan ikat, dan otot,
yang kemudian sampai ke struktur tulang tibia. Fragmen tulang tibia
yang patah bisa mencuat atau merobek kulit sehingga menyebabkan
luka. Hal ini disebut sebagai fraktur terbuka. Fragmen-fragmen patahan
tulang berpotensi merobek arteri arteri kecil maupun besar disekitar
tulang. Pada tungkai bawah, arteri besar yang besar kemungkinan
rupture adalah arteri tibialis anterior atau posterior yang terletak di
permukaan depan dan belakang os tibia.
Hipotesis: Tn. X, kisaran usia 27 tahun diduga mengalami multiple trauma disertai syok
hemoragik.
1. Bagaimana cara mendiagnosis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
mendiagnosis penyakit pada kasus?
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
12
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitive.
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 34
unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas
yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spina.
5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur
adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
1. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah
13
fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan
ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar
akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah
kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan
di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction
splint. Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui
kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang
menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam
membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera
lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan
stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur
tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg
splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai
bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
Survey Sekunder
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi
setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan
perawatan definitif . Pentingnya survey sekunder adalah bahwa luka ringan dapat
ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang
morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera - cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate
dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki
oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
14
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2)
fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian
inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal
aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan
tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move, kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit
pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran
darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik
menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan
yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arteri.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
15
3. Bagaimana klasifikasi dari syok hemoragik?
16
mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac
output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah.
Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak memadai
mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi
kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis
metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk
pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun
akan hilang.
Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari
hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan
lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya.
Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.
Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka
akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan
jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi jaringan.
- Breathing
Terapi oksigen secara umum
Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi. Tujuan pemberian terapi O2 adalah 1.
Mengatasi keadaan hipoksemia 2. Menurunkan kerja pernafasan 3.
Menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard) Indikasi pemberian
terapi O2 adalah kerusakan 02 jaringan yang diikuti gangguan
metabolisme dan sebagai bentuk Hipoksemia, secara umum pada: Kadar
oksigen arteri (Pa 02) menurun, kerja pernafasan meningkat (laju nafas
17
meningkat, nafas dalam, bemafas dengan otot tambahan), adanya
peningkatan kerja otot jantung (miokard)
Indikasi klinisnya: Henti jantung paru, gagal nafas, gagal jantung
atau ami, syok, meningkatnya kebutuhan o2 (luka bakar, infeksi berat,
multiple trauma), keracunan co, post operasi, dll
Metode & peralatan min. yang harus diperhatikan pada therapi O2:
1. Mengatur % fraksi O2 (% FiO2)
2. Mencegah akumulasi kelebihan CO2
3. Resistensi minimal untuk pernafasan
4. Efesiensi & ekonomis dalam penggunanan 02
5. Diterima pasien Pa02 kurang dari 60 mmHg
Perkiraan konsentrasi oksigen pada alat masker semi rigid
Kecepatan aliran02 % Fi02 yang pasti 4 1/mnt 0,35 6 1/mnt 0,50 8 1/mnt
0,55 10 1/mnt 0,60 12 l/mnt 0,64 15 l/mnt 0,70 Tidak ada peralatan yang
dapat memberi O2 100 %, walaupun O2 dengan kecepatan > dari Peak
Inspiratory flow rate (PIFR)
METODE PEMBERIAN OKSIGEN
I. Sistem Aliran Rendah
1. Kateter Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan
oksigen dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien.
Bahaya : Iritasi lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan
distensi lambung, epistaksis.
2. Kanula Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan 02
dengan konsentrasi 24 - 44 % tergantung pada polaventilasi pasien.
Bahaya : Iritasi hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan
epitaksis
3. Sungkup muka sederhana Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit n 0 2
dengan konsentrasi 40 - 60 %. Bahaya : Aspirasi bila muntah,
penumpukan C02 pada aliran 02 rendah, Empisema subcutan
kedalam jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila
sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4. Sungkup muka" Rebreathing " dengan kantong 02 Oksigen :
Aliran 8-12 l/menit menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 -
80%. Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan
18
kedalam jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila
sungkup muka dipasang terlalu ketat.
5. Sungkup muka" Non Rebreathing" dengan kantong 02 Oksigen :
Aliran 8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %. Bahaya :
Sama dengan sungkup muka "Rebreathing".
19
4. Barotrauma ( Ruptur Alveoli dengan emfisema interstisiil dan
mediastinum), jika 02 diberikan langsung pada jalan nafas dengan
alat cylinder Pressure atau auflet dinding langsung.
20
- Circulation
Management circulation yang dilakukan pada kasus ii diantaranya:
Gambar 2. Pemberian posisi pada syok
Terapi cairan
1. Tentukan Estimated Blood Volume (EBV) = 70 ml x BB kg
2. Tentukan kelas syok berdasarkan tanda dan gejala
Tabel 4. Resusitasi cairan berdasarkan kelas syok hemoragik
21
40% x 70 ml x BB(kg)
4. Tentukan jenis cairan
Tabel 4. Cara penggantian cairan/ darah
Whole Blood
Darah lengkap mempunyai komponen utama yaitu eritrosit, darah
lengkap juga mempunyai kandungan trombosit dan faktor pembekuan labil (V,
VIII). Volume darah sesuai kantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250
ml, 350 ml, 450 ml. Dapat bertahan dalam suhu 42C. Darah lengkap berguna
untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma secara bersamaan. Hb
meningkat 0,90,12 g/dl dan Ht meningkat 3-4 % post transfusi 450 ml darah
lengkap. Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan
masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap
diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui.
22
Indikasi :
Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka
bakar
Pasien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25% dari
volume darah total.
Rumus kebutuhan whole blood
6 x Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien : Hb pasien saat ini
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan
volume darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan
dengan darah jenuh adalah:
1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
23
3. Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga
kemungkinan overload berkurang
4. Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain.
Indikasi:
1. Kehilangan darah >20% dan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin <8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya
empisema, atau penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
- Disability?
Pasien harus direevaluasi secara berkala AVPU, GCS, dan PEARRL
karena perburukan dapat terjadi secara mendadak atau cedera yang
terjadi merupakan jenis yang menyebabkan lusid interval. Pemberian
saline hypertonic dipertimbangkan pada pasien dengan kecurigaan edem
serebral atau hematoma. Rujuk segera ke dokter syaraf.
6. Pasang kateter untuk mengetahui urin output.
- Exposure?
Hipotermia
Tanggalkan semua pakaian pasien untuk melihat ada tidaknya
luka atau trauma lain. Kemudia segera selimuti pasien dengan selimut
tebal untuk mencegah hipotermia. Cairan saline yang diberikan juga
sebaiknya dihangatkan.
Trauma Abdomen
Lakukan peritoneal lavage untuk menilai ada tidaknya
perdarahan intraperitoneal. Caranya ada 2 macam yaitu teknik terbuka
dan teknik terututp. Jika pada peritoneal lavage ditemukan darah, maka
perlu dilakukan laparotomi segera.
Fraktur
o Pada fraktur terbuka, harus segera dinilai keparahan luka.
o Derajat fraktur terbuka dinilai dengan klasifikasi Gustillo-
Anderson
Gambar 3. Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo Anderson
24
Lakukan pembersihan luka dan penilaian arteri distal.
Untuk luka kecil, boleh dilakukan penutupan luka dengan dijahit. Untuk
luka berat, perawatan luka dilakukan dengan terbuka dan luka cukup
dibalut dengan kasa basah untuk sementara.
Berikan antibiotic i.v. untuk semua kasus fraktur terbuka, antibiotic
rekomendasi ATLS adalah golongan chepalosporin I dan
aminoglikosida. cefazolin 1-2 gram dan gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8
jam selama 5 hari
Selain antibiotic, profilaksis tetanus juga segera diberikan. Dosis yang
diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM.
Imobilisasi
Tujuan imobilisasi adalah untuk mengurangi nyeri, mencegah
kerusakan jaringan lunak sekitar akibat fragmen fraktur, mempermudah
penyembuhan, dan mencegah kerusakan neurovaskuler lebih lanjut.
Imobilisasi bisa dilakukan dengan sling, bidai traksi atau bidai papan.
Periksa terlebih dahulu ABCDE dan tangani yang mengancam jiwa
terlebih dahulu (pada kasus ini sirkulasi).
o Fraktur lengan
Luka yang terbuka dibalut dengan perban untuk mengurangi perdarahan
sementara.
Luruskan dengan hati-hati lengan atas dengan memegang siku dan
menarik kearah distal.
Imobilisasi dilakukan dengan cara sling dan swath.
Posisi lengan adduksi dan sendi siku fleksi (kearah dinding dada).
Cek pulsasi distal, jika tidak teraba, reposisi ulang sampai pulsasi teraba.
25
o Fraktur paha
Tanggalkan seluruh pakaian, awasi hipotermia.
Tutup luka yang ada dengan balutan steril.
Periksa keadaan neurovaskuler yakni pulsasi arteri distal dan sensorik
motoric.
Ukur panjang traksi splint menggunakan panjang kaki sehat.
Luruskan dengan hati hati paha jika tidak ada fraktur di tungkai bawah
dengan cara traksi di daerah ankle.
Angkat tungkai dengan hati-hati dan letakkan bidai traksi. Bagian atas
splint diletakan dibawah bokong dan bagian bawah splint diletakan
dibawah pergelangan kaki.
Periksa kembali pulsasi arteri distal.
Pasang alat pengikat traksi kemudian pasang penarik traksi pada pengait
traksi. Tarik sampai stabil dan nyeri berkurang.
Pasang strap.
Rujuk.
o Fraktur tungkai bawah
Tanggalkan seluruh pakaian, awasi hipotermia.
Tutup luka yang ada dengan balutan steril.
Periksa keadaan neurovaskuler yakni pulsasi arteri distal dan sensorik
motoric.
Pilih panjang bidai sesuai ukuran ekstremitas. Panjang bidai harus bisa
mencangkup sendi di atas dan dibawha lokasi fraktur.
Jika terdapat tonjolan tulang, pasang bantalan diatasnya
26
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang
koagulasi.
Learning Issue
1. Syok hemoragik
Definisi
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang
masif.
Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik:
Terapi antitrombosis
Koagulopati
Perdarahan saluran pencernaan
o Varises esofagus
o Ulkus peptikum dan duodenum
27
o Ca gaster dan esofagus
Obstetrik/ginekologi
o Plasenta previa
o Abruptio plasenta
o Ruptur kehamilan ektopik
o Ruptur kista ovarium
Paru
o Emboli pulmonal
o Ca paru
o Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis
Ruptur aneurisma
Perdarahan retroperitoneal
Trauma
o Laserasi
o Luka tembus pada abdomen dan toraks
o Ruptur pembuluh darah besar
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya akan
menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di bawah normal
dan timbul syok.
Klasifikasi
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of Surgeon
Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna untuk memastikan
tanda-tanda dini syok hemoragik.
Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita
Semula
Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan <750 750 - 700 700 1100 >1100
darah (ml)
Kehilangan <7% 7% 30% 30% - 40% >40%
darah (%)
Nadi (x/menit) <100 >100 >50 >30
28
Tekanan darah Normal Menurun Menurun Menurun
Frekuensi 3 11 11 30 30 40 >35
pernapasan
(x/menit)
Produksi urin >30 11 30 57 Tidak berarti
(ml/jam)
Gejala pada Normal Cemas Cemas, Bingung, lesu
saraf pusat / bingung
status mental
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
cairan (hukum darah darah
3:1)
29
Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan
ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan berkurangnya volume
darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini menimbulkan
peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada
organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.7
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing hormone
terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan glukokortikoid dan beta-
endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi
air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon
dari penurunan MAP (Mean Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan
berujung resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut
karena glukagon dan growth hormone meningkat pada gluconeogenesis dan
glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara
relative sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.7
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi peningkatan
ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis metabolik dari karbon
dioksida yang diproduksi.6
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik
mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana
pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP. Ginjal juga
mentoleransi penuruunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari
splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa
mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan
tubuh.
Gejala klinis
Gejala klinis tunggal jarang ditemukan saat diagnosis syok ditegakkan. Pasien bisa
mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya
aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah, dan lama
30
perdarahan, karena pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana
selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang dan lamanya perdarahan.
Untuk perdarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rectum
atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna
bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rectum harus diduga adanya
perdarahan hebat sampai dibuktikan sebaliknya.
Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya tanda vital tubuh: hipotensi,
takikardi, penurunan urin output, dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala tersebut
merupakan mekanisme kompensasi tubuh. Gejala umum lainnya yang bisa timbul adalah
kulit kering, pucat, dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi, dan tidak
sadar. Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya, tekanan darah
sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat,
seperti yang terdapat pada anemia kronik.
Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.
Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala
hemotoraks, suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.7
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal. Periksa panggul apakah ada
ekimosis yang mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Lakukan pemeriksaan rectum
untuk mengetahui asal darah yang keluar dari rectum.
Pasien dengan riwayat perdarahan vagina dilakukan pemeriksaan pelvis lengkap dan
lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
31
PENATALAKSANAAN
Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan
menggantikan kehilangan volume darah.
Pemeriksaan jasmani
Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita
memungkinkan.
Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Circulation kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat,
memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan
dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan
langsung pada tempat perdarahan.
Disability pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi
dan meramalkan pemulihan.
Exposure pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus
ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan
internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
Dilatasi lambung dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak
dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardia dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi
lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada pasien tidak sadar, distensi
lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung dan dapat menjadi suatu
32
komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukkan NGT.
Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria
dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Darah pada uretra
atau prostat dengan letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki
merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh.
Pengobatan dengan posisi kepala di bawah. Dengan menempatkan penderita dengan
kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan sangat membantu dalam meningkatkan
alir balik vena dan dengan demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah
ini adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai macam syok.
33
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita. Kehilangan sampai
10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan
lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat
ditunjang untuk sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume
cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x
volume yang hilang.
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara
menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan
ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena
berpotensi menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini
bertambah besar jika fungsi ginjal kurang baik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis
awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit
pertama. Jumlah cairan yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal
evaluasi penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara
akut diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan
kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule).
Namun lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi cairan dan bukti
perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluar urin, tingkat kesadaran
dan perfusi perifer.
34
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Tipe spesifik dan Tipe spesifik Emergensi
crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu
bedah
Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitive untuk perfusi ginjal.
Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup,
bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin
merupakan salah satu pemantau utama resusitasi dan respon penderita.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar
0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anakm dan 2 ml/kg/jam pada bayi
(di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau makin turunnya produksi urin dengan berat
jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut
ditambah penggantian volume dan usaha diagnostik.
Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik (tekanan sistolik 100, nadi 100, perfusi
hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan dan biasanya transfuse tidak
diperlukan. Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri.
Perhatian harus ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Namun jika
hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated blood loss), jika membaik
tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan koloid. Bila hemodinamik tetap
buruk, segera diberikan transfusi.
Transfusi darah
Indikasi transfusi darah antara lain:
- Perdarahan akut sampai Hb <8 gr/dL atau Ht <30% pada orang tua, kelainan paru,
kelainan jantung, Hb <10 gr/dL.
- Bedah mayor kehilangan darah >11% volume darah.10
Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap cairan. Tujuan utama
transfuse darah adalah memperbaiki oxygen-carrying capacity. Perbaikan volume dapat
dicapai dengan pemberian larutan kristaloid, yang sekaligus akan memperbaiki volume
interstitial dan intraseluler.
35
Darah yang baik digunakan adalah yang sepenuhnya crossmatched. Namun proses
crossmatching lengkap memerlukan sekitar 1 jam. Pengobatan mencakup transfusi darah
lengkap, apabila darah lengkap tidak tersedia, plasma biasanya dapat menggantikan darah
lengkap. Plasma tidak dapat memulihkan hematokrit normal, tetapi manusia biasanya
dapat bertahan pada penurunan hematokrit sampai kira-kira sepertiga normal sebelum
menimbulkan akibat serius jika curah jantung mencukupi. Karena itu pada keadaan akut
cukup beralasan untuk menggunakan plasma dalam menggantikan darah lengkap guna
mengobati syok hemoragik.
Kadang-kadang plasma juga tidak tersedia. Dalam hal ini, berbagai pengganti plasma
sudah dikembangkan, yang sama melaksanakan fungsi hemodinamika hampir tepat
dengan sasaran. Salah satunya adalah larutan dekstran. Syarat utama suatu pengganti
plasma yang benar-benar efektif adalah yang tetap tinggal di sistem sirkulasi yaitu tidak
tersaring melalui pori-pori kapiler ke dalam ruang jaringan. Selain itu larutan tidak boleh
toksik dan mengandung bahan yang mempunyai ukuran molekul cukup besar untuk
mendesak tekanan osmotik koloid.
Sejauh ini bahan yang paling memuaskan untuk tujuan tersebut adalah dekstran, suatu
polimer posakarida glukosa yang besar. Dekstran dengan besar molekul yang sesuai tidak
dapat melewati pori kapiler dank arena itu dapat menggantikan protein plasma sebagai
bahan osmotik koloid.
2. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah diskontinuitas struktur tulang yang mempunyai hubungan dengan
lingkungan luar melalui sebuah luka. Fraktur terbuka berhubungan dengan risiko infeksi
yang tinggi akibat kontaminasi luka yang terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu, selain
penyembuhan dari fraktur dan mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan penanganan
dari fraktur terbuka yang penting adalah adalah pencegahan infeksi (Gustilo, 1990).
Kurang lebih 30% dari pasien dengan fraktur terbuka disertai dengan multiple-system
injuries. Oleh karena itu, permasalahan yang mengancam nyawa harus diketahui dan
ditangani sebelum penanganan operatif dari fraktur dimulai (Solomon, 2001).
36
union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi ekstremitas sangat dipengaruhi
oleh tipe fraktur.
Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan lingkungan luar
berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk yang relatif bersih akibat
tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit. Kerusakan jaringan lunak pada tipe I
ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat
berupa fraktur sederhana, transverse, atau short oblique dengan kominusi yang minimal
(Gustillo, 1990).
Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini juga ditemukan
tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan kontaminasi menengah.
Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang menengah (Gustillo, 1990).
Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe ini disertai dengan
derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe ini dapat dibagi menjadi tiga
subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi yang luas, pembentukan flap
dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun jaringan lunak masih dapat menutupi
daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe ini termasuk fraktur kominutif atau segmental
akibat high energy trauma tanpa menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe
IIIB berhubungan dengan cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai
dengan periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat
kominusi yang berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih
terekspos dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua
fraktur terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa
memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak (Gustillo, 1990).
37
1) Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian, maupun
material lainnya harus diirigasi dengan larutan saline dalam jumlah besar. Material yang
masih menempel setelah irigasi harus diambil hingga bersih (Salter, 1999).
2) Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat menghambat
proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman.
Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti kulit, lemak subkutan, fasia, otot, dan
fragmen tulang yang kecil harus dieksisi (Salter, 1999). Disarankan untuk mengambil
bahan hapusan untuk kultur kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam tahap ini antara lain:
a. Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang sehat.
b. Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan pemaparan yang adekuat.
Perlu diberhatikan dalam membuat ekstensi luka agar tidak mengganggu rencana
pembuatan flap untuk penutupan luka lebih lanjut.
c. Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan dari luka. Larutan saline
dalam jumlah besar digunakan untuk mengirigasi luka. Hindari memasukan cairan irigasi
melalui sebuah lubang kecil karena dapat mendorong benda asing lebih dalam.
d. Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati harus dapat dikenali, ciri-
cirinya antara lain warna keunguan dengan konsistensi lembek, otot gagal berkontraksi
saat diberikan stimulus, dan tidak berdarah saat dipotong.
e. Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang terpotong dibiarkan begitu saja
tanpa dimanipulasi hingga luka benar-benar bersih dan tenaga yang ahli tersedia, maka
saraf dan tendon tersebut dapat disambung kembali.
3) Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang kecil, fraktur dapat
direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan, debridement, dan dibiarkan terbuka.
Namun bila luka yang terjadi cukup besar, biasanya dibutuhkan traksi skeletal atau
reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal. Secara umum, fiksasi internal dapat digunakan
bila tidak menyebabkan trauma lebih lanjut dan meningkatkan risiko infeksi
(Salter,1999).
4) Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan penanganan dalam 6
sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi minimal, immediate primary closure
merupakan suatu kontraindikasi. Setelah 4 hingga 7 hari, bila tidak didapatkan tanda-
tanda infeksi dapat dilakukan delayed primary closure.Penumpukan darah dan serum di
dasar luka dapat dicegah dengan membuat drainase luka yang baik (Olson, 2006; Salter,
1999).
38
5) Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus diberikan
sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk fraktur terbuka tipe 1 dan tipe 2
direkomendasikan menggunakan cephalosporin generasi pertama. Sedangkan pada
fraktur terbuka tipe 3 dengan derajat kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan
aminoglikosida. Pada fraktur terbuka dengan kontaminasi organik, ditambahkan
penisilin atau metronidazole (Fletcher, 2007). Namun demikian penggunaan antibiotika
tidak dapat menjamin sepenuhnya luka akan bebas dari infeksi. Antibiotik sistemik sulit
mencapai jaringan luka yang telah kehilangan suplai darahnya, oleh karena itu telah
dikembangkan berbagai macam metode untuk memberikan antibiotik secara topikal
(Olson, 2006; Salter, 1999).
6) Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka membutuhkan pencegahan
terhadap komplikasi yang jarang ditemui namun mematikan yaitu tetanus. Bila pasien
telah mendapatkan imunisasi tetanus toxoid, dapat diberikan booster toxoid. Bila tidak
didapatkan riwayat imunisasi tetanus sebelumnya, atau informasi mengenai imunisasi
tetanus tidak jelas, harus diberikan imunisasi pasif dengan menggunakan human immune
globulin tetanus 250 unit (Olson, 2006; Solomon, 2001).
Daftar Pustaka:
Cherkas, D. (2011). Traumatic hemorrhagic shock: Advances in fluid Management.
Emergency Medicine Practice, 13, 11, 1-20. Garrtson, S & Malberti, S. (2007).
Dries, D. J.. 2014. Initial Evaluation of the Trauma Patient. (emedicine.medscape.com/
article/434707-overview. diunduh pada 10 Oktober 2017)
Emergencies: Shock. In: Pediatric Emergency Medicine. 1st Edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
Price S, Wilson L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Vol. 1. Jakarta:
EGC; 1103.
Udeani J. Hemorrhagic shock. Available from http://emedicine.medscape.com/article/432650-
overview#a0104. Last updated 6th December 115.
Steven, Parks N. Advanced trauma life support (ATLS) for doctors. Jakarta: Ikatan Ahli Bedah
Indonesia (IKABI); 1104.
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. 4th ed.
Jakarta: 1106
Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1102.
39