Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Abstrak
Abses otak merupakan penyakit berpotensi fatal, pada masa lampau hanya
bisa ditegakkan diagnosisnya dengan autopsi. Abses otak pada manusia jarang
ditemukan, patologi otak tertentu yang mendasarinya berperan sebagai nidus
(fokus infeksi) bagi terbentuknya abses. Klasifikasi abses otak berdasarkan
kemungkinan titik masuk infeksi. Pasien datang dengan: nyeri kepala (70%), mual
dan muntah (50%), kejang (25 35%), kekakuan otot dan papil edema (25)%),
defisit neurologis fokal (50%) dan demam (45% hingga 50%). Mortalitas berkisar
dari 8% hingga 25%, faktor-faktor diagnostik yang buruk mencakup adanya
penyakit yang mendasarinya. Kemajuan terbaru dalam diagnosis dan pengenalan
CT scan dan pemeriksaan MRI telah mengurangi mortaltias. Agen-agen etiologi
abses otak mencakup: Streptococcus, Bacteriodes, basil gram positif,
Pseudomonas spp, H.inzluenzae, S.pneumoniae, L.monocytogenes, jamur dan
protozoa. Diagnosis abses otak bersifat multidisiplin yang mencakup ahli
neuroradiologi, ahli bedah saraf, dan spesialis penyakit infeksi. Pemeriksaan CT
dan MRI, aspirasi stereotaktik, dan kraniotomi dibutuhkan pada sebagian besar
kasus. Terapi antimikroba empiris harus dimulai pada sebagian besar kasus. Terapi
antimikroba empiris yang harus mulai diberikan pada saat diagnosis telah
ditegakkan mencakup: vankomisin, sefalosporin generasi ketiga, klindamisin,
trimethoprim-sulfamethoxazole, meropenem, metronidazole, fluoroquinolone, dan
fluconazole.
Kata kunci: Abses otak, jamur, terapi dan penatalaksanaan antibiotika
Pendahuluan
Abses otak merupakan suatu infeksi fokal intraserebral yang dimulai
sebagai area serebritis lokal dan berkembang menjadi pengumpulan pus yang
dikisari dengan kapsul yang memiliki pembuluh darah yang baik [1]. Pada waktu
sebelumnya di akhir tahun 1800-an, abses otak hampir seluruhnya merupakan
suatu kondisi mematikan yang didiagnosis dengan autopsi saja. Penelitian yang
sangat berarti oleh William Macewan menimbulkan pemecahan dalam
penatalaksanaan kondisi ini [2]. Sebelum kedatangan infeksi virus
imunodefisiensi manusia (HIV), abses otak menyusun sekitar 1500 2500 kasus
yang diobati di Amerika Serikat Setiap tahunnya; insidensinya diperkirakan
sebesar 0.3 hingga 1.3 per 100.000 orang per tahun [3]. Pada sebagian besar
penelitian terhadap anak-anak dan orang dewasa, terdapat dominasi laki-laki
(rasio 2:1 hingga 3:1) dengan median usia 30 hingga 40 tahun, meskipun
distribusi usia beragam bergantung pada kondisi yang menjadi predisposisi yang
menyebabkan pembentukan abses otak [3]. Abses otak dikelompokkan
berdasarkan kemungkinan titik masuk infeksi. Sistem ini memungkinkan para
dokter untuk memprediksi flora mikro yang paling berkemungkinan pada abses
dan memilih terapi antimikroba yang optimal. Abses otak pada manusia cukup
jarang ditemukan. Pada model abses otak eksperimental: induksi abses biasanya
membutuhkan inokulasi organisme langsung kedalam otak hewan, karena abses
otak yang terjadi setelah bakteremia yang diinduksi secara percobaan jarang
ditemukan [4]. Meskipun beberapa patologi otak yang mendasari seperti stroke
sebelumnya, hematoma intraserebri, dan neoplasma yang mendasari dapat
berperan sebagai nidus pembentukan abses pada sebagian besar kasus, tidak
terlihat adanya keadaan yang jelas menjadi predisposisi lesi pada otak [5, 6, 7].
Tampilan klinis abses otak mencakup: nyeri kepala (70%), mual dan muntah
(50%), kejang (25 % - 35%), kaku kuduk dan papiledema (25%), defisit neurologi
fokal (50%) dan demam (45% hingga 50%). Sebagian besar pasien juga
mengalami perubahan status mentl [8]. Mortalitas telah berkisar dari 8% hingga
25%; faktor prognostik juga mencakup skala koma glasgow yang rendah dan
adanya penyakit yang mendasari. Pada sebuah penelitian yang lebih baru
mortalitas telah menurun dengan diagnosis dini dan pengenalan pemeriksaan
tomografi terkomputerisasi (CT) [9,10]. Patogen yang seringkali diisolasi dari
abses otak terdiri atas: Streptococcus (aerob, anaerob dan mikroaerofilik, S.
Milleri (S.intermedius), S.aureus, Bacteriodes, basil gram negatif enterik,
Pseudomonas spp, H.influenzae, S.pneumoniae, L.monocytogenes, jamur dan
protozoa [8]. Terapi antimikroba empiris harus dimulai bergantung pada
diagnosis, pemeriksaan radiologi atau diagnosis yang dipandu CT (Aspirasi) yang
mencakup sefalosporin generasi ketiga, klindamisin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, aztreonam, metronidazole, fluorokuinolon, dan fluconazole
untuk jamur. Artikel ini meninjau temuan terbaru mengenai abses otak bakteri.
Candida spp
Diagnosis abses otak jamur seringkali tidak terduga dan banyak kasus tidak
ditemukan hingga autopsi. Pada pemeriksaan autopsi, Candida spp telah muncul
sebagai agen etiologi yang paling sering ditemukan; lesi neuropatologis terdiri
atas mikroabses, granuloma nonkaseosa, dan nodul glia difus. Faktor risiko untuk
infeksi Candida invasif mencakup penggunaan kortikosteroid, terapi antimikroba
spektrum luas, dan hiperalimentasi.
Penyakit juga ditemukan pada bayi prematur; pada pasien dengan
keganasan, neutropenia, penyakit granuloma kronis, diabetes melitus, atau cedera
thermal, dan pada pasien-pasien yang dengan kateter menetap [25].
Aspergillus spp
Penyebaran intrakranial spesies Aspergillus terjadi selama penyebaran
organisme dari paru atau dari perluasan langsung dari tempat yang secara anatomi
berdekatan dengan otak [26]. Kasus-kasus infeksi intrakranial yang disebabkan
oleh Aspergillus spp telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan sebagian besar
kasus terjadi pada orang dewasa. Aspergilosis serebri dilaporka pada 10% hingga
20% dari semua kasus aspergilosis invasif, dan jarang sekali otak merupakan satu-
satunya tempat infeksi [27].
Mucromikosis
Mucromikosis merupakan salah satu infeksi jamur yang paling bersifat
fulminan yang diketahui [26]. Banyak kondisi yang menjadi predisposisi
mucromikosis yang telah dijelaskan, yang mencakup diabetes melitus (70%
kasus) yang biasanya berkaitan dengan asidosis, asidemia dari penyakit sistemik
yang berat (misalnya, sepsis, dehidrasi berat, diare berat, gagal ginjal kronis [25].
Pseudallecheria boydii
Penyakit SSP mungkin terjadi baik pada host yang normal maupun host
yang mengalami kelemahan imun. Organisme ini seringkali semakin banyak
dirujuk sebagai Scedos poriumpiospermum, bentuk seksual dari P.boydii.
Organisme ini dapat memasuki SSP melalui trauma langsung, melalui penyebaran
hematogen dari tempat primer infeksi, melalui kateter intravena, atau perluasan
langsung dari sinus yang terinfeksi [26]. Banyak agen etiologi meningitis jamur
juga dapat menyebabkan abses otak, misalnya Cryptococcus neoformans,
Coccidoides spp, Histoplasma capsulatum, dan Blastmyces dermatitis [25].
Tampilan klinis
Miskonsepsi yang sering terjadi diantara para dokter berkenaan dengan
frekuensi demam yang ditemukan selama tampilan klinis awal abses otak. Pada
sebagian kasus demam terjadi pada < 50% kasus, dan ketiadaannya tidak boleh
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis [35]. Perjalanan abses otak berkisar
dari indolen hingga fulminant [3]. Sebagian besar manifestasi klinis tidak
disebabkan oleh tanda-tanda sistemik infeksi, melainkan karena ukuran dan lokasi
lesi yang mendesak ruang didalam otak, dan virulensi organisme yang
menginfeksi. Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering ditemukan, dan
teramati pada rata-rata 70 % hingga 75% pasien. Nyeri kepala dapat bersifat
sedang hingga berat dan lokasinya bisa hemikranial atau generalisata, namun tidak
memiliki gambaran yang sangat membedakan untuk keterlambatan diagnosis yang
seringkali ditemukan. Perburukan nyeri kepala secara tiba-tiba, yang disertai
dengan onset meningismus baru, dapat menandakan rupturnya abses ke ruang
ventrikel, komplikasi ini seringkali berkaitan dengan angka mortalitas yang tinggi
(85% pada sebagian kasus), [36].
Lokasi abses otak menentukan tampilan klinisnya [3]. Pasien dengan abses
lobus frontalis seringkali datang dengan nyeri kepala, rasa mengantuk, sulit untuk
memberikan perhatian, perburukan status mental, hemiparesis dengan tanda-tanda
motorik unilateral, dan gangguan bicara motorik.
Hemiparesis dengan tanda-tanda motorik unilateral,d an gangguan bicara
motorik [35]. Pasien dengan abses otak Aspergillus paling sering menunjukkan
tanda-tanda stroke (akibat iskemia dari perdarahan interserebral atau keduanya)
yang dapat dirujuk ke area otak yang terlibat [25]. Rhinocereberalmucromycosis
awalnya bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang dapat terlihat pada mata atau
sinus, termasuk nyeri kepala (seringkali unilateral), nyeri pada wajah, diplopia,
lakrimasi, dan sumbatan hidung atau epistaksis. Demam adalah hal yang biasa
ditemukan [25].
Manifestasi klinis penyakit CNS yang disebabkan oleh Cryptococcus,
histoplasma, Coccidioides, Candida, dan patogen jamur lainnya bergantung pada
lokasi abses di intrakranial. Pada satu tinjauan, hampir pada satu pertiga resipien
transplantasi sumsum tulang dengan abses otak yang disebabkan oleh Candida
spp, tidak terdapat tanda atau gejala; infeksi ini seringkali didiagnosis pada
postmortem [38]. Pasien dengan sindroma imunodefisiensi didapat (AIDS) dan
ensefelitis toksoplasma seringkali memperlihatkan gejala-gejala yang nonspesifik,
seperti keluhan neuropsikiatri, nyeri kepala, disorientasi, rasa bingung, dan
letargis yang berkembang selama 2 hingga 8 minggu; demam dan penurunan berat
badan yang terkait sering ditemukan [39].
Pemeriksaan Laboratorium
Ketika abses otak dikesankan oleh pemeriksaan radiologi, diagnosis
mikrobiologi idealnya harus dilakukan untuk memandu terapi antimikroba. CT
telah menjadikan aspirasi abses yang dipandu stereotaktik mungkin untuk
dilakukan. Spesimen harus dikirimkan untuk pemeriksaan pewarnaan gram, kultur
aerob dan anaerob. Pewarnaan Ziehl-Nelsen untuk mikobakterium, pewarnaan
modifikasi untuk Nocordiai, dan pewaranaan perak untuk jamur. Kultur untuk
Mycobacterium, Nocardia, dan jamur juga harus dilakukan [8].
Terapi antimikroba
Terapi antibiotika empiris
Pada pasien dengan abses otak bakteri, ketika diagnosis telah ditegakkan
apakah itu secara presumtif melalui pemeriksaan radiologi atau dengan aspirasi
yang dipandu CT pada lesi, terapi antimikroba harus dimulai. Jika aspirasi tidak
dapat dilakukan atau pewarnaan Gram tidak menghasilkan apa-apa, terapi empiris
harus dimulai berdasarkan mekanisme patogenik yang diduga dalam pembentukan
abses misalnya otitis media atau mastoid, sinusitis frontoetmoidalis atau
sfenoidalis, abses gigi, trauma tembus atau pasca bedah saraf, penyakit jantung
kongenital, abses paru, empiema, bronkiektasis, dan andokarditis bakteri.
Regimen antimikroba mencakup: Metronidazole ditambah sefalosporin
generasi ketiga, vankomisin ditambah metronidazole ditambah sefalosporin
generasi ketiga, penisilin ditambah metronidazole, vankomisin ditambah
sefalosporin generasi ketiga, dan vankomisin ditambah gentamisin atau nafcilin
ditambah ampisilin ditambah gentamicin [8, 41, 43].
Terapi antibiotika
Dengan patogen yang telah dikonfirmasi. Jika kultur yang positif telah
didapatkan, terapi antimikroba dapat dimodifikasi untuk penatalaksanaan yang
optimal. Terapi antimikroba intravena dosis tinggi harus diteruskan selama 6
hingga 8 minggu; hal ini seringkali diikuti dengan terapi antimikroba oral jika
agen yang tepat tersedia. Rangkaian pemberian terapi yang lebih singkat
(misalnya 3 hingga 4 minggu) mungkin tidak sesuai bagi pasien-pasien yang telah
menjalani eksisi pembedahan komplit untuk abses [8, 41, 43].
Terapi pembedahan
Sebagian besar abses otak bakteri membutuhkan insisi pembedahan untuk
terapi yang optimal. Aspirasi abses dengan panduan CT stereotaktik menawarkan
ahli bedah suatu akses yang cepat, akurat dan aman ke hampir semua lokasi di
intrakranial dan memungkinkan suatu pengurangan tekanan intrakranial yang
meningkat. Namun, aspirasi memiliki suatu kerugian besar berupa drainase yang
tidak komplit terhadap lesi multilokus [8, 41, 44].
Kesimpulan
Abses otak merupakan suatu penyakit yang mematikan. Kemajuan terbaru
dalam diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan CT dan MRI, terapi antimikroba
dan teknik aspirasi otak stereotaktik telah mengurangi mortalitas. Kecurigaan
klinis yang tinggi dibutuhkan dan terapi antibiotika empiris yang tepat harus
dimulai.