Vous êtes sur la page 1sur 11

Kolokium Jalan dan Jembatan

STUDI PENGGUNAAN LINK SLAB PADA JEMBATAN KOMPOSIT

1Hidajat Sugihardjo, 2Bambang Piscesa, 3Ferindra Irawan


1Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil FTSP - ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya,
Email : hidajat_sugihardjo@yahoo.com, hidayat@ce.its.ac.id
2Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil FTSP - ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya,

Email : piscesa@ce.its.ac.id
3 Alumni Jurusan Teknik Sipil FTSP - ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya.

ABSTRACT

Most of bridge structures in Indonesia are built with simple supported system in
which the constructions between deck and abutment as well as among decks are
separated by gaps. Those gaps are commonly covered with structure called expansion
joint. The existence of expansion joints are consequently causing some following
structural problems including corrosion on both steel girder and girder bearings due to the
rain water, inconvenience to drivers or riders, excessive maintenance cost and less
service life time.
Within this study, the gaps are connected with the continuous deck structures by
using link slab. Additionally, this study is applied to the composite bridge with the various
spans including 12m, 16m, 20m, 25m, and 30m based on upper structure composite
bridge codes of Directorate of Program, Directorate General of Highways, Ministry of
Public Work Republic of Indonesia. In this research, three methods is used including
analytical method of link slab, beam element model , and solid element model.
The results of this study show that the length of debonding zone is approximately
ranging between 5.5 and 14.5 percent of the beam span. Moreover, for each type of
beam, it is found that shorter debonding zone produce greater stress in link slabs
reinforcement. Meanwhile, longer span length produce shorter debonding zone.
Additionally, in terms of the utilization of link slab structure in composite bridge, these
following recommendations are proposed; firstly, the detail design of length of debonding
zone, link slab thickness and optimum number of reinforcement in order to meet required
cracking moment is need to be carried out cautiously, secondly, the number of stud
connector at the transition zone between link slab and deck is need to be designed
accurately.

Keyword: composite bridge, expansion joint, link slab, deck.

ABSTRAK

Jembatan di Indonesia umumnya menggunakan sistem perletakan sederhana


yang berarti struktur antara lantai kendaraan dengan abutmen atau antar lantai kendaraan
terpisah dengan siar. Siar-siar tersebut biasanya ditutup dengan menggunakan konstruksi
yang dinamakan expansion joint. Dengan adanya expansion joint tersebut muncul
beberapa permasalahan yaitu menimbulkan korosi pada balok baja dan perletakannya
akibat air hujan, mengurangi kenyamanan pemakai jembatan, biaya yang tinggi dalam
perawatan serta berkurangnya umur jembatan.
Dalam studi ini, siar yang ada dihubungkan dengan konstruksi lantai menerus
menggunakan link slab. Studi dilakukan pada jembatan komposit dengan bentang 12,16,
20, 25 dan 30 m menggunakan Standar Bangunan Atas Jembatan Komposit dari
Direktorat Bina Program Jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Umum Republik Indonesia. Tiga metode digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
memodelkan link slab secara analitik, model elemen balok dan model elemen solid.
Hasil studi ini menunjukkan panjang zona nirlekat berkisar antara (5,5-14,5)% dari
bentang balok. Untuk setiap tipe balok, makin pendek zona nirlekat, makin besar
tegangan tulangan pada link slab dan semakin panjang bentang jembatan semakin kecil
panjang zona nir lekatnya. Hasil lain sehubungan penggunaan konstruksi link slab pada
jembatan komposit ini adalah berupa rekomendasi detail desain yaitu panjang zona
nirlekat, tebal link slab, penulangan yang optimum agar memenuhi momen retak yang
disyaratkan dan jumlah stud connector yang diperlukan pada daerah transisi antara link
slab dan lantai kendaraan.

Kata kunci : jembatan komposit, expansion joint, link slab, lantai kendaraan,

1. PENDAHULUAN
Jembatan merupakan bagian dari jalan yang sangat penting fungsinya terutama
sebagai infrastruktur untuk menunjang pembangunan baik itu dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya maupun lingkungan. Sebagian besar dari struktur jembatan yang ada
di Indonesia, terutama pada jalan-jalan provinsi merupakan jembatan yang terbuat
dari material beton, beton atau komposit baja dan beton. Selain itu sistem strukturnya
juga merupakan sistem struktur yang terletak di atas dua perletakan atau perletakan
sederhana yang dihubungkan dengan expansion joint.
Permasalahan yang muncul pada jembatan yang mempunyai lebih dari satu
bentang yang menggunakan expansion joint adalah seiiring berjalannya waktu maka
expansion joint tersebut akan mengalami kelelahan dan penurunan kekuatan yang
berakhir dengan terjadinya retak seperti pada Gambar 1a, Lepech [2005]. Pada saat
terjadi retak maka akan terbentuk celah kecil yang akan mengakibatkan air hujan
masuk kedalam celah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan korosi pada balok dan
perletakan jembatan seperti pada Gambar 1b dan c, Qian [2009]. Gambar 1c
menunjukkan keadaan yang lembab dicelah menyebabkan tumbuhnya tanaman
ataupun lumut yang dapat merusak material beton atau baja yang ada, Yugiantoro
[2007].

a b

Gambar 1. (a) Deteriorasi pada lantai kendaraan jembatan, (b) Kondisi perletakan
girder akibat rusaknya expansion joint (c) Kondisi penulangan ujung girder akibat
rusaknya expansion joint, (d) Tanaman dan lumut yang tumbuh di pilar akibat intrusi
air hujan

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Permasalahan yang ada ini akan memberikan ketidaknyamanan bagi para


pengguna jalan dan dapat mengakibatkan kegagalan struktur bila dibiarkan terjadi
korosi secara terus menerus. Untuk menyelesaikan masalah tersebut maka
penggunaan link slab dapat menjadi suatu alternatif penyelesaian masalah yang
timbul sebagai akibat adanya kerusakan pada expansion joint.
Pada penelitian sebelumnya, sudah dilakukan studi tentang link slab sebagai
pengganti dari expansion joint, dimana dalam studi tersebut dikhususkan untuk
jembatan pratekan, Sugihardjo [2009]. Dalam studi ini dikaji penggunaan link slab
pada jembatan komposit dimana variasi bentang yang digunakan adalah 12, 16, 20,
25 dan 30 meter, Irawan [2010], dan sebagian bentang yang digunakan diambil dari
Direktorat [1993].
Desain konvensional pada link slab jembatan komposit menimbulkan daerah
paling lemah pada interface antara link slab dan lantai kendaraan. Pada zona transisi
ini, diperlukan tambahan shear connector, dimana dalam studi ini didesain
berdasarkan penelitian Qian [2009]. Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini
adalah SNI T-02-2005, RSNI [2005], dimana sudah terjadi peningkatan beban hidup
dan beban truk.

2. METODOLOGI
2.1 Konstruksi Link Slab
Model dari link slab pada konstruksi jembatan bisa dilihat pada beberapa model
jembatan di Negara-negara lain dan juga di Indonesia, misal Jembatan Janti di
Yogyakarta. Bentuk skematis yang sering digunakan di Australia dapat dilihat di
Connal [2006]. Model ini memiliki karakteristik yang unik, dimana panjang debonding
layer pada jembatan melewati keseluruhan perletakan. Hal ini ditujukan untuk
mengurangi kekakuan dari balok jembatan sehingga energi yang diserap oleh link
slab menjadi kecil. Bentuk skematik dari link slab pada jembatan komposit baja dan
beton yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2, merupakan
studi dari Qian [2009].

Gambar 2. Skematik konsep desain link slab pada pilar tengah jembatan komposit, Qian
[2009]

2.2 Analisis Link Slab Menggunakan Metode Klasik


Dalam studi ini link slab akan dikaji dengan menggunakan dua metode yaitu
metode klasik atau analitik dan metode numerik. Metode klasik yang diperkenalkan
oleh Caner [1998] digunakan dalam studi ini. Model analitis yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 3. Link Slab didesain sedemikian rupa sehingga mampu memikul
momen akibat adanya rotasi yang terjadi pada balok yang tertumpu diatas dua

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

perletakan akibat beban hidup dengan memperhitungkan faktor kejut dan beban mati
tambahan.

Gambar 3. Skema dua balok tertumpu diatas dua perletakan dengan link slab dan
beban terpusat. (a) Rotasi pada balok, (b) Distribusi momen dan deformasi pada link
slab.

Akibat beban hidup dan beban mati tambahan, besarnya rotasi pada ujung balok,
, bisa dihitung dengan Persamaan (1) sebagai berikut:

2 3
PLsp q.Lsp
(1)
16.Ec.I sp 24.Ec.I sp

Dimana : P = Beban garis / pisau (KEL)


Lsp = Panjang bentang jembatan
Ec = Modulus elastisitas beton
Isp = Momen inersia sekunder dari girder (termasuk slab)
q = Beban terbagi rata (UDL) termasuk beban mati tambahan

Dengan menggunakan azas kontinyuitas, dimana rotasi pada titik balik momen
lentur pada link slab antara kiri dan kanan harus sama atau besarnya sama dengan
Persamaan (1). Kapasitas momen lentur yang disediakan oleh penampang link slab
harus cukup kuat menahan rotasi yang ada. Dengan menggunakan metode energi,
momen lentur Ma pada link slab yang tidak retak dapat dihitung dengan Persamaan
(2) sebagai berikut :

2 Ec I ls, g
Ma (2)
Ldz

Dimana : Ils,g = Momen inersia sekunder dari link slab (tidak retak)
Ldz = Panjang zona nirlekat

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Tegangan yang terjadi pada penulangan link slab, s, juga diperhitungkan


terhadap momen retak, rasio penulangan dan kedalaman dari zona tekan beton yang
tidak retak yang dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3). Besarnya
tegangan yang diijinkan dibatasi hingga 40 persen terhadap tegangan leleh, y,
sehingga besarnya tegangan yang bekerja adalah :

2 Ec I ls,g
Ldz
s 0.40 y
1
As d kd
3 (3)
k n n 2
2n

Dimana : As = Luas tulangan tarik


d = Panjang lengan momen dari penampang (jarak antara gaya tarik pada
baja dan blok tegangan tekan beton).
k = Koefisien blok tekan penampang beton
n = Rasio modulus elastisitas baja terhadap beton
= Rasio penulangan

2.3 Perilaku link slab pada zona transisi


Pada zona transisi antara link slab dan pelat lantai kendaraan, yang panjangnya
lebih kurang 2,5% dari dua kali bentang balok, dapat terjadi konsentrasi tegangan
yang menyebabkan terjadinya retak pada beton. Untuk mengatasi masalah ini, Qian
[2009] menambahkan shear connector pada zona transisi untuk mentransfer gaya
aksial total yang terjadi pada link slab. Jumlah konektor yang diperlukan searah
panjang balok, N, dapat dihitung dengan Persamaan (4).

ls ws t s
N (4)
N s N r Qn

Dimana : ls = tegangan pada link slab (berdasarkan regangan maksimum material)


ws= lebar link slab = lebar jembatan
ts = tebal link slab
Ng = jumlah balok utama pada jembatan
Nr = jumlah konektor per baris
Qn = kekuatan satu konektor

2.4 Analisis Link Slab Menggunakan Model Numerik


Analisis link slab dengan model elemen hingga selain menggunakan model balok
juga menggunakan elemen solid tiga dimensi untuk analisis akibat temperatur,
SAP2000 [2009]. Bentuk pemodelan elemen solid pada struktur jembatan komposit
dapat dilihat pada Gambar 4 dan detail pemodelan link slab seperti pada Gambar 5.
Pemodelan tersebut terdiri dari dua balok girder komposit yang tertumpu pada dua
tumpuan sederhana, expansion joint yang ada diganti dengan link slab. Perletakan
diidealkan sebagai sendi dan rol, karena dari hasil studi, asumsi ini memberikan
respon yang maksimum.

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Gambar 4. Pemodelan struktur jembatan komposit dengan metode elemen hingga

Gambar 5. Pemodelan link slab dengan metode elemen hingga

2.5 Material Link Slab


Pengunaan material link slab seperti yang telah dibahas pada penelitian
sebelumnya, Sugihardjo [2009] bahwa material yang digunakan tersebut harus
memiliki kekuatan tekan dan kekuatan tarik yang spesifik akibat retak lentur yang
terjadi pada zona nirlekat.
Salah satu material yang cukup baik untuk link slab adalah beton Engineering
Cementitious Composite (ECC), yaitu high-performance fiber concrete yang memiliki
kapasitas tarik hingga 350 kali dari kekuatan tarik beton normal dan lebar retak lebih
kecil dari 100 m, Kim [2004]

3. SKEMA PEMBEBANAN
3.1 Data-Data Pembebanan
Dalam penelitian ini, beban yang dberikan mengacu kepada SNI yang terbaru.
Perbedaan yang ada antara BMS dan SNI T-02 2005 dapat dilihat sebagai berikut :
Desain beban truk yang sebelumnya T = 450 kN diganti dengan 500 kN.
Desain beban roda truk yang sebelumnya 100 kN diganti dengan 112,5 kN.
Desain beban terbagi rata (UDL) yang sebelumnya q = 8 kPa diganti dengan 9
kPa.
Desain beban garis / pisau (KEL) yang sebelumnya p = 44 kN/m diganti dengan
49 kN/m.

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

3.2 Kombinasi Pembebanan


Untuk mendapatkan respon yang maksimum dari struktur jembatan, maka
beberapa skema pembebanan dilakukan sedemikian rupa seperti pada Gambar 6.
Untuk analisis perbedaan suhu antara diatas dan dibawah lantai kendaraan, pada
model balok diberikan regangan akibat rangkak sebesar 0,000104 dan regangan
akibat susut sebesar -0,00036 yang bekerja hanya pada link slab. Gaya rem bekerja
pada ketinggian 1,8 meter dari permukaan link slab dan perbedaan temperatur antara
permukaan atas dan bagian bawah slab berturut-turut adalah 40oC dan 15oC, BMS
[1992]. Untuk semua skema pembebanan, Gambar 6a sampai 6f, analisis
menggunakan elemen balok, kecuali untuk pembebanan temperatur menggunakan
elemen solid seperti ditunjukkan pada Gambar 6g.

(a) Beban hidup pada dua bentang

(b) Beban hidup pada satu bentang

(c) Beban susut dan rangkak

(d) Beban rem pada link slab

(e) Bebam mati tambahan (aspal)

(f) Beban truk pada link slab

40
8.42 0.1

0
0.2


15
0.2

(g) Beban perbedaan suhu (elemen solid)

Gambar 6. Skema pembebanan pada struktur jembatan

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

4. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI HASIL


Hasil kajian untuk tiap bentang jembatan komposit, Lsp, didapatkan demensi profil
WF dari baja Bj 41, seperti pada Tabel 1. Demensi balok baja hasil desain lebih besar
dari standar Direktorat [1993]. Hal ini bisa disebabkan oleh dua sebab yaitu untuk
memenuhi persyaratan rotasi maksimum dan karena digunakannya standar beban
yang baru. Dengan tebal link slab sebesar 200 mm yang mengikuti ukuran minimum
untuk tebal lantai kendaraan dan lebar 1200 mm, didapatkan besarnya rotasi
maksimum pada link slab sebesar 0,00374. Rotasi ini memenuhi syarat maksimum,
yaitu sebesar 0,00375, Qian [2009]. Rasio tulangan dengan fy=390 MPa didapatkan
sebesar 2,6 % atau D22-100. Dengan mutu beton fc = 35 MPa, didapatkan panjang
zona nirlekat (Ldz) optimum untuk setiap balok, dimana tegangan tulangan mendekati
0,4y. Panjang link slab didapatkan (5,5-14,5)%, dimana terlihat semakin panjang
jembatan, semakin pendek panjang zona nirlekatnya. Pemasangan link slab
diusahakan seminimum mungkin sehingga pekerjaan penggantian expansion joint
dengan link slab sesedikit mungkin.

Tabel 1 Hasil analisis link slab, Irawan [2010]


Lsp Penampang Ldz/ s/ Penulangan
balok Lsp 0.4y
(m) WF (rad) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
12 400x400x21x21 0,00363 14,5 99,27 D22-100
16 460x400x30x50 0,00374 11,5 96,76 D22-100
20 900x300x15x23 0,00347 8,5 97,09 D22-100
25 925x400x24x38 0,00364 7,0 98,84 D22-100
30 1200x500x20x35 0,00335 5,5 96,74 D22-100

Besarnya rotasi pada link slab nilainya sama dengan rotasi yang terjadi pada
gelagar utama. Untuk setiap bentang balok, semakin pendek zona nirlekat maka
semakin besar tegangan pada tulangan, seperti terlihat pada Gambar 7. Dengan
demikian besarnya tegangan pada tulangan merupakan fungsi dari rasio tulangan
untuk panjang zona nirlekat dan rotasi link slab tertentu, seperti terlihat pada Gambar
8. Pada Gambar 8 ini terlihat untuk semua bentang balok, besarnya rasio tulangan
berkisar 2,6% untuk mengoptimumkan tulangan mencapai 0,4y.

Gambar 7. Panjang zona nirlekat vs tegangan tulangan, Irawan [2010]

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Gambar 8. Rasio tulangan vs tegangan tulangan, Irawan [2010]

Berdasarkan Persamaan (4), kebutuhan stud connector dengan diameter 19 mm,


tinggi 100 mm, yang dipasang pada zona transisi per baris tiga buah, untuk masing-
masing bentang balok dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kebutuhan tambahan stud connector pada zona transisi


Bentang balok Tinggi balok Panjang zona Jumlah Jarak
Lsp (m) H (mm) transisi (mm) total (buah) memanjang (mm)
12 400 600 3x6 100
16 460 800 3x6 135
20 900 1000 3x6 165
25 925 1250 3x9 140
30 1200 1500 3x9 170

Kombinasi tegangan yang terjadi pada titik 1, 2 dan 3 pada Gambar 5 dan akibat
beban hidup, beban mati tambahan dan perbedaan temperatur pada Gambar 6 dapat
dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 tersebut dapat dilihat pada semua titik nodal 1, 2, 3,
tegangan yang bekerja masih dibawah tegangan tekan dari beton, dimana besarnya
tegangan ijin sementara boleh diambil lebih besar 25 % dari tegangan ijinnya atau 1,25
(0,45 fc) = 19,68 MPa. Nilai ini tentu dapat lebih besar jika luas tulangan dalam link slab
diperhitungkan dalam pemodelan numerik.

Tabel 3 Tegangan yang bekerja pada link slab akibat beban hidup, beban mati
tambahan dan perbedaan temperatur (MPa)
Bentang jembatan, Lsp (m)
Titik
12 16 19 25 30
1 -3.01 -3.82 -3.39 -3.01 -3.82
2 -3.19 -5.77 -6.73 -3.19 -5.77
3 -1.13 -2.21 -2.64 -1.13 -2.21

Dari studi ini bentuk dan penulangan dari link slab disarankan seperti pada Gambar
9a dan Gambar 9b. Tulangan positip pada link slab diperlukan untuk beban hidup yang
bekerja diatas link slab saja. Untuk detail sambungan pada interface pelat lantai
kendaraan disarankan seperti Gambar 9c dengan menambahkan stud connector pada

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

daerah peralihan antara pelat lantai kendaraan dengan link slab dengan panjang 2,5%
dari panjang dua bentang jembatan seperti diisyaratkan, Qian [2009].

Gambar 9. (a) Detail penulangan link slab arah memanjang, (b) Detail penulangan link
slab arah melintang, (c) Detail stud connector pada zona transisi link slab.

5. KESIMPULAN
Dari hasil studi link slab pada jembatan komposit ini dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu :
Besarnya panjang zona nirlekat berkisar antara (5,5-14,5)% bentang balok dan
rasio tulangan utama yang diperoleh kurang lebih 2,6 %.
Untuk semua tipe balok semakin pendek zona nirlekat, semakin besar tegangan
pada tulangan dan semakin panjang bentang jembatan semakin kecil panjang
zona nirlekatnya

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan


Kolokium Jalan dan Jembatan

Standar jembatan gelagar komposit Departemen Pekerjaan Umum yang


digunakan sebagai acuan ukuran profil ternyata tidak memenuhi syarat rotasi
maksimum untuk pemasangan link slab sehingga profil gelagar harus diperbesar.
Hal ini perlu diperhatikan pada pekerjaan penggantian expansion joint dengan link
slab, apalagi kalau jembatan dituntut memenuhi beban dengan standar beban
baru.

REFERENSI

BMS. 1992. Bridge Management Systems. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.

Caner, A and P. Zia. 1998. PCI Journal May-June. Behavior and design of link slab for
jointless bridge decks: 68-80.

Connal, J. 2006. Integral Abutment Bridges Australian and US Practice. Maunsell


Australia Pty Ltd

Direktorat Bina Program Jalan. 1993. Standar Jembatan Komposit. Jakarta:


Departemen Pekerjaan Umum

Irawan, F. 2010. Studi Penggunaan, Perbaikan dan Metode Sambungan untuk


Jembatan Komposit Menggunakan Link Slab. Surabaya: Tugas Akhir, Jurusan Teknik
Sipil ITS.

Kim, Y., G. Fischer and V.C Li. 2004. ACI Structural Journal. Performanced of bridge
deck link slabs designed with ductile engineered cementitious composite, V.101, No.6.
November-December 2004: 792-801.

Lepech, M and V.C Li. 2005. The 3rd International Conference on Construction
Materials. Design and Field Demonstration of ECC Link Slab for Jointless Bridge
Decks CONMAT05.

Qian, S., D. Michael, Y. Lepech, Y. Kim, and V.C Li. 2009. ACI Structural Journal.
Introduction of Transition Zone Design for Bridge Deck Link Slabs Using Ductile
Concrete, l, V. 106, No. 1, January-February 2009: 96-105.

RSNI. 2005. Draf Standar Nasional Indonesia T-02-2005. Jakarta: Departemen


Pekerjaan Umum.

SAP2000. 2009. Structural Analysis Program, version 14.1, Berkeley : Computers and
Structures, Inc.

Yugiantoro, H dan H. Vaza. 2007. Konstruksi Lantai Kendaraan Menerus pada


Jembatan Balok di Atas Dua Tumpuan. Jakarta: Direktorat Bina Program Jalan,
Direktorat Jenderal Bina Marga.

Sugihardjo, H and Supani. 2009. 1st International on rehabilitation and Maintenance in


Civil Engineering (ICRMCE), Solo. Introduction of Repairing and Joining Methods for
Simply-Supported Prestressed Bridges Using Link Slab: 66-73.

Hidajat Sugihardjo, Bambang Piscesa, Ferindra Irawan

Vous aimerez peut-être aussi