Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SKENARIO I
Kelompok : A 8
2016/2017
Skenario 1
Seorang pasien usia 27 tahun datang ke IGD RSUD dengan keluhan nyeri pada perut sejak 3 jam
yang lalu disertai dengan keluar darah dari kemaluan. Usia kehamilan dihitung dari haid terakhir
didapatkan 34 minggu. Pasien melakukan Antenatal Care di Puskesmas sebanyak 4 kali dan
terakhir kontrol satu minggu yang lalu. Berdasarkan ANC sebelumnya didapatkan pasien
memiliki riwayat hipertensi. Pasien juga pergi ke paraji dan periksa terakhir sebelum ke RS
untuk diurut. Selama kehamilan pasien mengalami kenaikan berat badan 10 kg dan tidak ada
edema pada tungkai. Dari riwayat penyakit keluarga diketahui tidak ada riwayat penyakit
jantung, ginjal, DM, dan hipertensi dalam keluarganya. Dilakukan pemeriksaan fisik dengan
hasil pasien tampak sakit sedang dan didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi
110 kali per menit, suhu 37C dan nafas 20 kali per menit. Dari status obstetri didapatkan tinggi
fundus uteri 28 cm, denyut jantung janin tidak jelas. Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak
darah warna merah kehitaman mengalir dari OUI dan pembukaan serviks tidak ada. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil kehamilan tunggal dengan janin presentasi
kepala dan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin negatif. Dari pemeriksaan
CTG didapatkan kesan gawat janin.
Kata Sulit
1. ANC : Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa ibu dan janin secara
berkala yang diikuti dengan upaya penilaian terhadap kelainan yang ditemukan
2. Pemeriksaan CTG : Pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui kesehatan janin
dalam rahim dengan cara merekam pola DJJ dan hubungannya dengan gerakan janin atau
kontraksi rahim
3. Gawat janin : Suatu keadaan dimana janin kekurangan oksigen serta mengalami sesak
nafas, yang dapat menimbulkan kematian pada janin
Pertanyaan
Jawab
Riwayat hipertensi
Trauma
inspekulo, TTV
1. Sistem Kardiovaskuler
Meskipun terdapat peningkatan curah jantung pada ibu hamil normal, tekanan
darah tidak meningkat, tetapi sebenarnya menurun sebagai akibat resistensi perifer
berkurang. Pada ibu hamil dengan hypertensi, curah jantung biasanya tidak
berkurang, karena curah jantung tidak berkurang sedang konstriksi arteriol dan
tahanan perifer naik, maka tekanan darah akan meningkat. (Pritchard, Mac Donald,
Gant. 1991 : 616)
2. Hematologik
Perubahan-perubahan hematologik penting yang ditemukan pada wanita
hypertensi ialah penurunan atau sebenarnya tidak terjadinya hypervolemia yang
normal pada kehamilan, perubahan-perubahan mekanisme koagulasi dan adanya
peningkatan dekstruksi eritrosit. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 619).
3. Endokrin
Pada kehamilan normal, kadar plasma renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Sebaliknya pada hypertensi karena kehamilan, bahan tersebut biasanya
menurun mendekati batas normal pada keadaan tidak hamil. Peningkatan aktivitas
hormon anti deuritik juga menyebabkan oliguri, kadar chorionic gonadotropin dalam
plasma meningkat secara tidak tetap sebaliknya lactogen placenta menurun.
(Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 620).
5. Perubahan Hepar
Pada HKK (Hipertensi Karena Kehamilan) yang berat, kadang terdapat kelainan
hasil pemeriksaan hati yang meliputi peningkatan SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminace), hyperbilirubin yang berat jarang terjadi. (Pritchard, Mac
Donald, Gant. 1991 : 623)
Epidemiologi
Penyebab utama dari hipertensi kronis adalah esensial hipertensi atau hipertensi primer
(90%), sedangkan penyebab hipertensi sekunder untuk sisanya (10%). Hipertensi
sekunder mungkin karena penyakit ginjal seperti glomerulonefritis, stenosis arteri ginjal,
penyakit pembuluh darah kolagen (lupus, skleroderma), gangguan endokrin atau
(tirotoksikosis, pheochromocytoma, hiperaldosteronisme).
B. Hipertensi gestasional
Hipertensi kehamilan ini berlaku untuk wanita sudah memasuki trimester dua kehamilan
dengan tidak adanya proteinuria. Ini mungkin termasuk pasien yang kemudian
berkembang menjadi preeklamsia, tetapi yang pada saat di diagnosis belum ada
proteinuria.
Kejadian ini biasanya mempengaruhi wanita dalam waktu dekat, meskipun hipertensi
yang bentuknya parah yang timbul sebelumnya. Ketika hal ini terjadi, preeklamsia
biasanya mengikuti segera. Etiologi hipertensi kehamilan adalah tidak jelas, meskipun
tampaknya untuk mengidentifikasi wanita ditakdirkan untuk mengembangkan hipertensi
esensial di kehidupan nanti.
Tekanan darah kembali ke normal segera setelah melahirkan, tetapi kekambuhan
mungkin terjadi pada kehamilan berikutnya. Sering kali diagnosis hipertensi gestasional
yang benar hanya dapat dilakukan setelah melahirkan, ketika jelas bahwa pasien tidak
dikembangkan preeklamsia. Dan jika pasien hipertensi berlanjut, dia dianggap telah
hipertensi kronis.
Epidemiologi
Insiden: hipertensi gestasional adalah penyebab utama hipertensi dalam kehamilan yang
menyerang 6-7% ibu primigravida dan 2-4% ibu multigravida. Insiden ini meningkat
pada kehamilan ganda dan riwayat preeklampsia.
Diagnosis
Diagnosa HG ditegakkan apabila tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah
diastolic 90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu, dimana sebelum kehamilan
tekanan darah subyek tersebut normal dan tekanan darah kembali normal pada 12 minggu
setelah melahirkan.
C. Preeklamsia-Eklampsia
Preeklamsia adalah penyakit eksklusif pada kehamilan. Hal ini ditandai oleh serangan
hipertensi dan proteinuria, biasanya setelah 20 minggu kehamilan, dan umumnya
berhubungan dengan edema, hiperurisemia, dan proteinuria. Ini mempengaruhi sekitar
5% dari seluruh kehamilan dan sekitar dua kali lebih umum pada kehamilan pertama
sebagai dalam multigravidas. Namun, itu adalah umum pada multigravida yang telah
mitra baru, menunjukkan bahwa paparan sebelum antigen paternal mungkin protective.
Sindrom ibu preeklampsia ditandai dengan tekanan darah, proteinuria, dan kerusakan
yang berbeda pada sistem organ termasuk hati, ginjal, otak, jantung, dan paru-paru.
Spektrum penyakit dapat bervariasi dari kasus ringan dengan sedikit keterlibatan sistemik
(preeklampsia ringan) untuk kegagalan multiorgan (preeklamsia berat).
Pada sekitar 30% dari kasus, penyakit ini dapat menyebabkan insufisiensi plasenta cukup
untuk menyebabkan IUGR atau kematian janin. Ketika serangan kejang terjadi dalam
pengaturan preeklamsia, itu disebut eklampsia. Eklampsia kejang dapat terjadi pada
antepartum, intrapartum, langsung di masa nifas, atau setelah terlambat melahirkan (48
jam untuk 1 bulan kemudian). Anehnya, itu juga bisa terjadi pada wanita yang tidak
memiliki riwayat preeklamsia (sampai satu pertiga).
Patogenesis Preeklampsia
Cacat remodelling arteri spiralis pada saat invasi trofoblas adalah faktor predisposisi yang
paling dikenal luas untuk preeklamsia. Jauh sebelum munculnya klinis, preeklamsia,
imunologi dimediasi trofoblas yang abnormal invasi menyebabkan pembentukan plasenta
di mana spiral rahim arteri gagal untuk menjalani dinding otot yang menipis secara
normal yang memungkinkan terjadi peningkatan perfusi plasenta. Sebagai perfusi,
hasilnya ruang intervili terganggu, menyebabkan hipoksia plasenta.
Plasenta dari kehamilan preeklamsia dengan maju sering memiliki
banyak plasenta infarcts dan penyempitan arteriola sklerotik. Faktor predisposisi untuk
preeklampsia adalah sebelum ada hipertensi, penyakit ginjal kronis, obesitas, diabetes
mellitus, kehamilan multi, mola hidatidosa, dan thrombophilias (faktor V Leiden,
sindrom antifosfolipid, dan kekurangan antithrombin III). Juga, terjadi peningkatan
sensitivitas terhadap efek vasopressor dari angiotensin II, kemungkinan dihasilkan dari
konsentrasi plasma meningkat angiotensin I / reseptor B2 bradikinin heterodimers.
Faktor genetik tampaknya memainkan peran dalam pathogenesis preeklamsia.
Angiotensinogen T235 varian gen dan faktor V Leiden mutasi telah dianggap
berhubungan dengan preeklamsia. Kejadian preeklampsia pada kehamilan yang rumit
oleh trisomi 13 telah terbukti secara signifikan lebih tinggi daripada dengan kehamilan
karyotypic yang normal.
Manajemen Preeklamsia
a. Rujukan
Pengobatan yang paling dapat diandalkan preeklamsia adalah rujukan. Penghapusan plasenta
biasanya menghasilkan perbaikan yang cepat, meskipun dalam beberapa kasus, gejala dapat
bertahan selama beberapa hari setelah melahirkan. Keputusan untuk memberikan melibatkan
menyeimbangkan risiko memburuknya preeklamsia terhadap orang prematuritas. Rujukan
dijamin untuk wanita yang mengalami preeklamsia berat setelah 34 minggu kehamilan.
Dalam setiap wanita antara 32 sampai 34 minggu usia kehamilan dengan preeklamsia berat,
rujukan yang cepat harus dipertimbangkan, terutama jika manajemen konservatif telah gagal.
Wanita di bawah 28 minggu kehamilan yang mengembangkan preeklamsia berat dapat dikelola
secara konservatif jika ibu dan janin dipantau secara ketat dalam tersier pusat perinatal.
Wanita yang memiliki preeklamsia ringan juga harus tetap dimonitor untuk tanda-tanda
kerusakan yang cepat. Jika tanda-tanda, seperti sakit kepala, nyeri epigastrium, perubahan visual,
atau hasil laboratorium abnormal, maka pasien harus dirawat di rumah sakit. Ketika elevasi
tekanan darah ringan, dengan hasil laboratorium normal dan evaluasi janin yang
menguntungkan, manajemen konservatif. Pasien dapat diobati secara rawat jalan atau rawat inap,
tergantung kepatuhan pasien. Pasien yang menjaga di tempat tidur istirahat dan dapat kembali
untuk pengujian nonstress janin dan penilaian pertumbuhan dapat dikelola sebagai pasien rawat
jalan. Jika tidak, mereka harus mengaku rumah sakit. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah
kejang, tekanan darah rendah untuk menghindari akhir kerusakan organ ibu, sementara bertujuan
untuk sebagai kematangan janin sebanyak mungkin, dan untuk mempercepat rujukan saat ini.
b. Obat antihipertensi
Seperti disebutkan sebelumnya, tingkat kontrol tekanan darah optimal dalam kehamilan dengan
komplikasi hipertensi tidak diketahui. Kurang dari kontrol yang ketat dapat menurunkan resiko
kecil untuk bayi usia kehamilan, tetapi dapat meningkatkan risiko pernapasan distres sindrom
hipertensi, bayi yang baru lahir parah di ibu, dan hospitalisasi antenatal.
Tujuan utama dari pengobatan hipertensi pada pasien jarak jauh dari istilah ini untuk
memperpanjang kehamilan. Tidak ada yang menarik studi yang menunjukkan hasil klinis
diperbaiki dengan pengobatan preeklampsia ringan dan obat-obatan antihipertensi. Bahkan, studi
yang telah menggunakan labetalol untuk mengobati wanita dengan kehamilan yang ringan
hipertensi atau preeklamsia telah menunjukkan tidak ada perbaikan dalam perinatal hasil, dengan
peningkatan kejadian bayi yang kecil untuk usia kehamilan. Meskipun demikian, resiko: rasio
manfaat untuk terapi obat pada wanita dengan preeklamsia ringan tidak jelas.
Saat ini, tidak ada rekomendasi yang seragam untuk mengelola antihipertensi obat untuk pasien
dengan preeklamsia ringan.Tujuan pengobatan untuk perempuan dengan hipertensi berat adalah
untuk menurunkan tekanan darah untuk mencegah pendarahan otak. Meskipun rekomendasi
tradisional didasarkan pada tekanan darah diastolik, sebuah Tinjauan retrospektif dari 28 wanita
dengan preeklamsia berat yang mengalami kecelakaan serebrovaskular menunjukkan bahwa
90% memiliki sistolik tekanan darah 160 mm Hg, tetapi hanya 12,5% memiliki darah diastolik
tekanan 110 mmHg. Rekomendasi adalah bahwa antihipertensi terapi harus diberikan untuk
tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg, untuk mencapai pengukuran sistolik
dari 140-155 mmHg dan / atau pengukuran diastolik 90 sampai 105 mmHg.
c. Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah kejang pada wanita dengan preeclampsia. Itu telah
dibuktikan dalam acak uji klinis neurologi terkemuka saat merasa bahwa tradisional
antiepileptics (fenitoin, diazepam) lebih baik akan mengontrol kejang. Percobaan ini
membuktikan bahwa magnesium sulfat parenteral lebih unggul baik fenitoin dan diazepam
dalam mencegah awal dan berulang kejang, dan dalam menurunkan mortality ibu.
Namun, penggunaan magnesium sulfat masih kontroversial pada wanita dengan preeklamsia
ringan karena kejadian kejang pada populasi ini sangat rendah. Sebuah percobaan prospektif
besar yang melibatkan lebih dari 10.000 pasien menunjukkan bahwa penggunaan profilaksis
magnesium sulfat menurunkan risiko keseluruhan eclampsia. Namun, karena jumlah besar
diperlukan untuk mengobati, beberapa peneliti merasa bahwa seharusnya diberikan hanya bila
kondisi ini Namun "berat.", kita dan lainnya merasa bahwa karena keparahan preeklampsia
mungkin terduga, manfaat pengobatan lebih besar daripada risiko. Magnesium sulfat memiliki
manfaat tambahan mengurangi kejadian plasenta abruption.
Eklampsia berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti halilintar karena gejala eklampsia
datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan. Eklampsia juga
disebut sebuah komplikasi akut yang mengancam nyawa dari kehamilan ditandai dengan
munculnya kejang tonik - klonik, biasanya pada pasien yang telah menderita preeklampsia .
(Preeklamsia dan eklampsia secara kolektif disebut gangguan hipertensi kehamilan dan toksemia
kehamilan.) Prawiroharjo 2005. Eklampsia adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam
persalinan atau masa nifas yang di tandai dengan kejang ( bukan timbul akibat kelainan saraf )
dan atau koma dimana sebelumnya sudah menimbulkan gejala pre eklampsia. (Ong Tjandra &
John 2008)
Eklampsia termasuk kejang dan koma yang terjadi selama kehamilan. Menjelang kejang
kejang dapat didahului dengan gejalanya:
Nyeri epigastrium
Kemudiandengan teori iskemia implantasi plasenta juga dapat terjadi berbagai gejalanya
eklampsia yaitu:
1. Kenaikan tekanan darah
2. Pengeluaran protein dalam urine
3. Edema kaki, tangan sampai muka
4. Terjadinya gejala subjektif:
Sakit kepala
Penglihatan kabur
Nyeri pada epigastrium
Sesak nafas
Berkurangnya pengeluaran urine
5. Menurunnya kesadaran wanita hamil sampai koma
6. Terjadinya kejang
1. Eklampsia gravidarum
Kejadian 50% sampai 60 %
Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia parturientum
Kejadian sekitar 30 % sampai 50 %
Saat sedang inpartu
Batas dengan eklampsia gravidarum sukar di tentukan terutama saat mulai inpartu
3. Eklampsia puerperium
Kejadian jarang 10 %
Terjadi serangan kejang atau koma seletah persalinan berakhir
Etiologi eklampsia
Dengan penyebab kematian ibu adalah perdarahan otak, payah jantung atau payah ginjal, dan
aspirasi cairan lambung atau edema paru paru. Sedangkan penyebab kematian bayi adalah
asfiksia intrauterine dan persalinan prematuritas.
Patofisiologi eklampsia
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam
ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi
prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan
volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Serta pada eklampsia permeabilitas
pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin terganggu sehingga terjadi gawat-janin
sampai menyebabkan kematian karena kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan
kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada eklampsia, sehingga mudah terjadi partus
prematurus.
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga
menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah dalam
hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam dan air. Mekanisme retensi
garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi glomelurus dan
tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan normal penyerapan ini meningkat
sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus
arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan
retensi garam dan retensi air. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga
menyebabkan diuresis turun pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada beberapa arteri jarang
terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan. Setelah persalinan berakhir, retina melekat
lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan. Skotoma, diplopia, dan ambiliopia merupakan gejala yang
menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia. Komplikasi disebabkan
oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa resistensi pembuluh darah dalam
otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi pada eklampsia. Sehingga aliran darah ke otak
dan pemakaian oksigen pada eklampsia akan menurun.
Metabaolisme dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia sebabnya terjadi
pergeseran cairan dan ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini, diikuti oleh
kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan bertambahnya edema, menyebabkan
volume darah berkurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama.
Karena itu, aliran darah ke jaringan diberbagai bagian tubuh berkurang akibatnya hipoksia.
Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat
dipakai sebagai ukuran perbaikan keadaan penyakit dan berhasilnya pengobatan.
Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara. Asidum
laktikum dan asam organik lain naik, dan bikarbonas natrikus sehingga menyebabkan cadangan
alkali turun. Setelah kejang, zat organik dioksidasi sehingga natrium dilepaskan untuk dapat
bereaksi dengan asam karbonik menjadi bikarbaonas natrikus. Dengan demikian, cadangan alkali
dapat pulih kembali. Pada kehamilan cukup bulan kadar fibrinogen meningkat. Waktu
pembekuan lebih pendek dan kadang-kadang ditemukan kurang dari 1 menit pada eklampsia.
Komplikasi eklampsia
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah melahirkan bayi
hidup dari ibu yang menderita pre eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di bawah
ini biasanya terjadi pada pre eklampsia berat dan eklampsia:
1. Solusio plasenta
Karena adanya takanan darah tinggi, maka pembuluh darah dapat mudah pecah, sehingga terjadi
hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas.
2. Hipofibrinogenemia
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah biasanya di bawah 100 mg persen.
Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.
3. Hemolisis
Kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan integritas membran sel darah
merah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin. Menunjukkan gejala klinik hemolisis yang
dikenal karena ikterus.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu. Perdarahan
kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia
serebri.
6. Edema paru paru
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum.
Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-
enzimnya.
8. Sindroma HELLP
Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda: hemolisis, peningkatan enzim hati,
dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel sistemik. Sindroma HELLP dapat
timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.
9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial
tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria
sampai gagal ginjal.
10. Kopmlikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang - kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC.
11. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra uterin.
Pencegahan eklampsia
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinyadi kurangi. Usaha usaha
untuk menurunkan eklampsia terdiri atas meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan
mengusahakan agar semua wanita haiml memeriksa diri sejak hamil muda, mencari pada tiap
pemeriksaan tanda tanda pre eklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan,
mengakhiri kehamilan sedapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda
tanda pre eklampsia tidak juga dapat hilang.
Penanganan eklampsia
Tujuan utama penanganan eklampsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan
mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan.
Penanganan yang dilakukan:
Beri obat anti konvulsan
Perlengkapan untuk penanganan kejang
Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
aspirasi mulut dan tenggorokan
baringkan pasien pada sisi kiri
posisikan secar trandelenburg untuk mengurangi resiko aspirasi
berikan oksigen 4 6 liter / menit.
Pengobatan eklampsia
Eklampsia merupakan gawat darurat kebidanan yang memerlukan pengobatan di rumah sakit
untuk memberikan pertolongan yang adekuat.
Konsep pengobatannya:
a. Menghindari terjadinya:
Kejang berulang
Mengurangi koma
Meningkatkan jumlah dieresis
b. Perjalanan kerumah sakit dapat diberikan:
Obat penenang dengan injeksikan 20 mgr valium
Pasang infuse glukosa 5 % dan dapat di tambah dengan valium 10 sampai 20 mgr
c. Sertai petugas untuk memberikan pertolongan:
Hindari gigitan lidah dengan memasang spatel pada lidah
Lakukan resusitasi untuk melapangkan nafas dan berikan O2
Hindari terjadinya trauma tambahan
1. Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah
beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan
terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan
mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh
membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni
(proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
3. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan
hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan,
namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali
normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya
hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
Klasifikasi
Stadium 1
Stadium 2
(Hipertensi sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3
(Hipertensi berat) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4
(Hipertensi maligna) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
LO 1.6 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING HIPERTENSI PADA KEHAMILAN
1. HG-Hipertensi Gestasional
TD-Tekanan darah 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam kehamilan. Tidak terdapat
Proteinuria, Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca persalinan.
Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan. Dapat disertai dengan gejala PE
Berat : nyeri epgastrium atau trombositopenia.
2. PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita pre eklampsia
Proteinuria new onset 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak menunjukkan
adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. Atau Peningkatan TD atau kadar
proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia < 100.000/mm3 pada penderita hipertensi
dan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi Kronis
TD 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak
terkait dengan penyakit trofoblas gestasional
HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai > 12 minggu
pasca persalinan.
DIAGNOSIS BANDING
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang karena penyakit lain. Oleh
karena itu diagnosis banding eklamsia menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak,
hipertensi, lesi otak, kelainan metabolok, meningitis, epilepsi iatrogenik. Eklampsia selalu
didahului oleh pre-eklampsia. Perawatan pranatal untuk kehamilan dengan predisposisi
preeklampsia perlu ketat dilakukan agar dapat dikenal sedini mungkin gejala-gejala prodoma
preeklampsia. Sering dijumpai perempuan hamil yang tampak sehat mendadak kejang-kejang
eklampsia, karena tidak terdeteksi adanya preeklampsia sebelumnya.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik adalah dengan
dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut,
yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga
seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi, bola mata
menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi invers.
Semua otot tubuh pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-
30 detik.
Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai dengan
terbukanya rahang dengan tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai pula dengan
terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada
otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga
seringkali penderita terlempar dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi
otot rahang yang terbuka. Dari mulut keluar liur yang berbusa yang kadang-kadang disertai
dengan bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada
konjungtiva mata dijumpai titik-titik perdarahan.
Pada waktu timbul kejang, diafragma terfiksir sehingga pernafasan tertahan, kejang klonik
terjadi kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah dan akhirnya
penderita diam tidak bergerak.
Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit kemudian berangsur-angsur kontraksi melemah
dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma. Pada waktu timbulo kejang,
tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga suhu badan meningkat yang mungkin
oleh karena gangguan cerebral. Penderita mengalami Incontinensia disertai dengan oli guria
atau anuria dan kadang-kadang terjadi aspirasi bahan muntah.
Koma yang terjadi setelah kejang, berlangsung sangat bervariasi dan bila tidak segera tidak
diberi obat-obat anti kejang akan segera disusul dengan episode kejang berikutnya. Setelah
berakhirnya kejang, frekuensi pernafasan meningkat, dapat mencapai 50 kali permenit akibat
terjadinya hiperkardia atau hipoksia. Pada beberapa kasus bahkan dapat menimbulkan
sianosis. Penderita yang sadar kembali dari koma umumnya mengalami disorientasi dan
sedikit gelisah.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 minggu. Karena
perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan di atas 28 minggu maka sering disebut atau
digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.
Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ketiga, akan tetapi tidak jarang
juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk
dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus
akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen
bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh
plasenta yang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat
itu mulailah terjadi perdarahan.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Hal ini
disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta biasanya lebih banyak, sehingga
dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan
perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif
tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu
dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.
Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta yang secara klinis biasanya tidak
terlalu sukar untuk menentukannya adalah plasenta previa dan solusio plasenta. Oleh karena itu,
klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut :
1. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium
uteri internum).
Klasifikasi plasenta previa dibuat atas dasar hubungannya dengan ostium uteri internum pada
waktu diadakan pemeriksaan. Dalam hal ini dikenal empat macam plasenta previa, yaitu :
a) Plasenta previa totalis, apabila seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum)
tertutup oleh plasenta.
b) Plasenta previa lateralis, apabila hanya sebagian dari jalan lahir (ostium uteri internum)
tertutup oleh plasenta.
c) Plasenta previa marginalis, apabila tepi plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
jalan lahir (ostium uteri internal).
d) Plasenta letak rendah, apabila plasenta mengadakan implantasi pada segmen bawah
uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta
berada kira-kira 3 atau 4 cm di atas pinggir pembukaan sehingga tidak akan teraba pada
pembukaan jalan lahir.
Penentuan macamnya plasenta previa tergantung pada besarnya pembukaan jalan lahir. Misalnya
plasenta previa marginalis pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta previa lateralis pada
pembukaan 5 cm. Begitu juga plasenta previa totalis pada pembukaan 3 cm dapat menjadi
lateralis pada pembukaan 6 cm. Maka penentuan macamnya plasenta previa harus disertai
dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan, misalnya plasenta previa lateralis pada
pembukaan 5 cm.
2. Solusio Plasenta
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae, accidental
haemorrhage dan premature separation of the normally implanted placenta.
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari
perlekatannya sebelum janin lahir.
Berdasarkan gejala klinik dan luasnya plasenta yang lepas, maka solusio plasenta dibagi menjadi
3 tingkat, yaitu :
1. Distribusi Frekuensi
Perdarahan antepartum terjadi kira-kira 3% dari semua persalinan, yang terdiri dari plasenta
previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Seperti yang dikutip oleh D.Anurogo, Insidence Rate (IR) plasenta previa di Amerika Serikat
terjadi pada 0,3-0,5% dari semua kelahiran. Menurut FG Cuningham di Amerika Serikat (1994)
ditemukan IR perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa 0,3% atau 1 dari
setiap 260 persalinan.
Di Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan (IR 0,5%). Menurut
penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi plasenta
previa 82,9% atau 92 kasus dari 111 perdarahan antepartum. Di RS Santa Elisabeth Medan
(1999-2003), ME Simbolon menemukan 90 kasus plasenta previa dari 116 kasus perdarahan
antepartum (proporsi 77,6%) dengan kematian perinatal 4,4%.
Perdarahan antepartum yang diakibatkan solusio plasenta di Indonesia terjadi kira-kira 1 diantara
50 persalinan (IR 2%). Menurut penelitian Gunawan di RSU Padang (1997) dalam FR Bangun
ditemukan proporsi solusio plasenta 0,48% atau 1 diantara 210 persalinan. Menurut penelitian
HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001 tercatat proporsi solusio plasenta 5,4%
atau 6 kasus dari 111 perdarahan antepartum.
2. Faktor Determinan
a. Umur
Umur yang lebih tua dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan antepartum.
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-35 tahun. Wanita pada umur kurang dari 20 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami perdarahan antepartum karena alat reproduksi belum sempurna atau matang untuk
hamil. Selain itu, kematangan fisik, mental dan fungsi sosial dari calon ibu yang belum cukup
menimbulkan keragu- raguan jaminan bagi keselamatan kehamilan yang dialaminya serta
perawatan bagi anak yang dilahirkannya. Sedangkan umur di atas 35 tahun merupakan faktor
yang dapat meningkatkan kejadian perdarahan antepartum karena proses menjadi tua dari
jaringan alat reproduksi dari jalan lahir, cenderung berakibat buruk pada proses kehamilan dan
persalinannya.
Perdarahan antepartum lebih banyak pada usia di atas 35 tahun. Wanita yang berumur 35 tahun
atau lebih mempunyai resiko besar untuk terkena dibandingkan dengan wanita yang lebih muda.
Di RS Sanglah Denpasar Bali (2001-2002) ditemukan bahwa resiko plasenta previa pada wanita
dengan umur 35 tahun 2 kali lebih besar dibandingkan dengan umur <35 tahun. Peningkatan
umur ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteri kecil
dan arteriole miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga
plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran
darah yang adekuat.
b. Pendidikan
Ibu yang mempunyai pendidikan relatif tinggi, cenderung memperhatikan kesehatannya
dibandingkan ibu yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan pendidikan yang tinggi,
diharapkan ibu mempunyai pengetahuan dan mempunyai kesadaran mengantisipasi kesulitan
dalam kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan
kehamilan secara berkala dan teratur
c. Paritas
Penelitian FR Bangun di RSU Dr.Pirngadi Medan selama kurun waktu 2001- 2004 dengan
desain case series menemukan proporsi paritas kelompok resiko rendah 76,2% atau 96 orang dari
126 penderita perdarahan antepartum, sedangkan pada kelompok resiko tinggi 23,8% atau 30
orang dari 126 penderita perdarahan antepartum.
Riwayat kehamilan dan persalinan yang dialami oleh seorang ibu juga merupakan resiko tinggi
dalam terjadinya perdarahan antepartum. Cedera dalam alat kandungan atau jalan lahir dapat
ditimbulkan oleh proses kehamilan terdahulu dan berakibat buruk pada kehamilan yang sedang
dialami. Hal ini dapat berupa keguguran, bekas persalinan berulang dengan jarak pendek, bekas
operasi (seksio cesarea) atau bekas kuretase.
Menurut penelitian A.Wardhana dan K.Karkata di RS Sanglah Denpasar, Bali selama tahun
2001-2002 menemukan bahwa resiko plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus adalah
4 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat abortus.
Pasien dengan plasenta previa menghadapi 4-8% resiko terkena plasenta previa pada kehamilan
berikutnya. Kejadian solusio plasenta juga meningkat di kalangan mereka yang pernah menderita
solusio plasenta (rekurensi). Setiap pasien dengan riwayat solusio plasenta harus
dipertimbangkan mempunyai resiko pada setiap kehamilan berikutnya.
e. Kadar Hb
Pada kehamilan anemia relatif terjadi karena volume darah dalam kehamilan bertambah secara
fisiologik dengan adanya pencairan darah yang disebut hidremia. Volume darah tersebut mulai
bertambah jelas pada minggu ke-16 dan mencapai puncaknya pada minggu ke-32 sampai ke-34
yaitu kira-kira 25%. Meskipun ada peningkatan dalam volume eritrosit secara keseluruhan, tetapi
penambahan volume plasma jauh lebih besar sehingga konsentrasi haemoglobin dalam darah
menjadi lebih rendah.
Menurut WHO ( 1979 ) kejadian anemia ibu hamil berkisar antara 20% sampai 89% dengan
menetapkan Hb 11 gr% sebagai dasarnya. Ibu hamil yang menderita anemia lebih peka terhadap
infeksi dan lebih kecil kemungkinan untuk selamat dari perdarahan atau penyakit lain yang
timbul selama hamil dan melahirkan. Saat ibu mengalami perdarahan banyak, peredaran darah ke
plasenta menurun. Hal ini menyebabkan penerimaan oksigen oleh darah janin berkurang yang
pada akhirnya menyebabkan hipoksia janin.
f. Tekanan darah
Hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan atau yang kronik tidak jarang ditemukan pada wanita
hamil. Hipertensi pada kehamilan adalah apabila tekanan darahnya antara 140/90 mmHg sampai
160/100 mmHg. Hipertensi dalam kehamilan merupakan komplikasi kehamilan sebagai salah
satu trias klasik yang merupakan penyebab kematian ibu. Selain itu, pasien dengan penyakit
hipertensi kehamilan memiliki resiko pelepasan plasenta prematur.
Pada umumnya penderita mengalami perdarahan pada trimester ketiga atau setelah kehamilan 28
minggu. Perdarahan antepartum yang bersumber pada kelainan plasenta, yang secara klinis
biasanya tidak terlampau sukar untuk menentukannya ialah plasenta previa dan solusio plasenta.
Perdarahan antepartum tanpa rasa nyeri merupakan tanda khas plasenta previa, apalagi jika
disertai tanda-tanda lainnya seperti bagian terbawah janin belum masuk ke dalam pintu panggul
atas atau kelainan letak janin. Karena tanda pertamanya adalah perdarahan, pada umumnya
penderita akan segera datang untuk mendapatkan pertolongan. Beberapa penderita yang
mengalami perdarahan sedikit-sedikit, mungkin tidak akan tergesa-gesa datang untuk
mendapatkan pertolongan karena dianggap sebagai tanda persalinan biasa. Setelah
perdarahannya berlangsung banyak, mereka datang untuk mendapatkan pertolongan.
Lainnya halnya dengan solusio plasenta, kejadiannya tidak segera ditandai oleh perdarahan
pervaginam sehingga penderita tidak segera datang untuk mendapatkan pertolongan. Gejala
pertamanya adalah rasa nyeri pada kandungan yang makin lama makin hebat dan berlangsung
terus menerus. Rasa nyeri yang terus-menerus ini sering kali diabaikan atau dianggap sebagai
tanda permulaan persalinan biasa. Setelah penderita pingsan karena perdarahan retroplasenter
yang banyak, atau setelah tampak perdarahan pervaginam, mereka datang untuk mendapatkan
pertolongan. Pada keadaan demikian biasanya janin telah meninggal dalam kandungan.
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh sinus marginalis, biasanya tanda dan gejalanya
tidak khas. Vasa previa baru menimbulkan perdarahan setelah pecahnya selaput ketuban.
Perdarahan yang bersumber pada kelainan serviks dan vagina biasanya dapat diketahui apabila
dilakukan pemeriksaan dengan spekulum yang seksama. Kelainan-kelainan yang mungkin
tampak adalah erosio portionis uteris, carcinoma portionis uteris, polypus cervicis uteri, varices
vulva, dan trauma.
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama sekali harus dicurigai bahwa hal itu bersumber dari
kelainan plasenta, dengan penyebab utama yaitu plasenta previa dan solusio plasenta sampai
ternyata dugaan itu salah. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala-gejala klinis dan beberapa
pemeriksaan :
1. Anamnesis
Plasenta Previa
a. Perdarahan pervaginam yang tanpa nyeri.
b. Warna darah merah
Solusio Plasenta
a. Perdarahan pervaginam disertai sakit terus-menerus.
b. Warna darah merah gelap disertai bekuan-bekuan darah.
2. Inspeksi
a. Perdarahan yang keluar pervaginam.
b. Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemia.
4. Palpasi Abdomen
Plasenta Previa
a. Tinggi Fundus Uteri (TFU) masih normal
b. Uterus teraba lunak dan lembut
c. Bagian janin mudah diraba
Solusio Plasenta
a. TFU tambah naik karena terbentuknya hematoma retroplasenter.
b. Uterus teraba tegang dan nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
c. Bagian janin susah diraba karena uterus tegang.
6. Pemeriksan inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari uterus atau dari
kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma porsionis uteri, polipus
servisis uteri, varises vulva dan trauma. Apabila perdarahan berasal dari uterus, adanya plasenta
previa dan solusio plasenta harus dicurigai.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya untuk mempertahankan kondisi orang sehat agar tetap sehat
atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pengawasan antenatal memegang peranan yang sangat penting untuk mengetahui dan mencegah
kasus-kasus dengan perdarahan antepartum. Beberapa pemeriksaan dan perhatian yang biasa
dilakukan pada pengawasan antenatal yang dapat mengurangi kesulitan yang mungkin terjadi
ialah pemeriksaan kehamilan, pengobatan anemia kehamilan, menganjurkan ibu untuk bersalin
di rumah sakit atau di fasilitas kesehatan lainnya, memperhatikan kemungkinan adanya kelainan
plasenta dan mencegah serta mengobati penyakit hipertensi menahun dan preeklamsia.
Program kesehatan ibu di Indonesia menganjurkan agar ibu hamil memeriksakan kehamilannya
paling sedikit 4 kali, dengan jadwal 1 kunjungan pada trimester pertama, 1 kunjungan pada
trimester kedua, dan 2 kunjungan pada trimester ketiga. Tetapi apabila ada keluhan, sebaiknya
petugas kesehatan memberikan penerangan tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam
masa hamil. Perlu juga memberikan penerangan tentang pengaturan jarak kehamilan, serta cara
mengenali tanda-tanda bahaya kehamilan seperti : nyeri perut, perdarahan dalam kehamilan,
odema, sakit kepala terus-menerus, dan sebagainya.
Para ibu yang menderita anemia dalam kehamilan akan sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Kematian ibu karena perdarahan juga lebih sering terjadi pada para ibu yang
menderita anemia kehamilan sebelumnya. Anemia dalam kehamilan, yang pada umumnya
disebabkan oleh defisiensi besi, dapat dengan mudah diobati dengan jalan memberikan preparat
besi selama kehamilan. Oleh karena itu, pengobatan anemia dalam kehamilan tidak boleh
diabaikan untuk mencegah kematian ibu apabila nantinya mengalami perdarahan.
Walaupun rumah sakit yang terdekat letaknya jauh, para ibu hamil yang dicurigai akan
mengalami perdarahan antepartum hendaknya diusahakan sedapat mungkin untuk mengawasi
kehamilannya dan bersalin dirumah sakit tersebut.
Untuk kehamilan dengan letak janin yang melintang dan sukar diperbaiki atau bagian terbawah
janin belum masuk pintu atas panggul pada minggu-minggu terakhir kehamilan, dapat juga
dicurigai kemungkinan adanya plasenta previa. Preeklamsia dan hipertensi menahun sering kali
dihubungkan dengan terjadinya solusio plasenta. Apabila hal ini benar, diperlukan pencegahan
dan pengobatan secara seksama untuk mengurangi kejadian solusio plasenta.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah orang yang telah sakit menjadi semakin
parah dan mengusahakan agar sembuh dengan melakukan tindakan pengobatan yang cepat dan
tepat.
Setiap perdarahan pada kehamilan lebih dari 28 minggu yang lebih banyak dari perdarahan yang
biasa, harus dianggap sebagai perdarahan antepartum. Apapun penyebabnya, penderita harus
segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Jangan
melakukan pemeriksaan dalam di rumah atau di tempat yang tidak memungkinkan tindakan
operatif segera, karena pemeriksaan itu dapat menambah banyaknya perdarahan.
Pemasangan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali untuk menghentikan perdarahan,
tetapi akan menambah perdarahan karena sentuhan pada serviks sewaktu pemasangannya.
Perdarahan yang terjadi pertama kali jarang sekali atau boleh dikatakan tidak pernah
menyebabkan kematian, asalkan sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan dalam. Biasanya
masih terdapat cukup waktu untuk mengirimkan penderita ke rumah sakit sebelum terjadi
perdarahan berikutnya yang hampir selalu akan lebih banyak daripada sebelumnya.
Ketika penderita belum jatuh ke dalam syok, infus cairan intravena harus segera dipasang dan
dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit. Memasang jarum infus ke dalam pembuluh darah
sebelum syok akan jauh lebih memudahkan transfuse darah apabila sewaktu-waktu diperlukan.
Segera setelah tiba di rumah sakit, usaha pengadaan darah harus segera dilakukan, walaupun
perdarahannya tidak seberapa banyak. Pengambilan contoh darah penderita untuk pemeriksaan
golongan darahnya dan pemeriksaan kecocokan dengan darah donornya harus segera dilakukan.
Dalam keadaan darurat pemeriksaan seperti itu mungkin terpaksa ditunda karena tidak sempat
dilakukan sehingga terpaksa langsung mentransfusikan darah yang golongannya sama dengan
golongan darah penderita, atau mentransfusikan darah golongan O rhesus positif, dengan penuh
kesadaran akan segala bahayanya.
Pertolongan selanjutnya di rumah sakit tergantung dari paritas, tuanya kehamilan, banyaknya
perdarahan, keadaan ibu, keadaan janin, sudah atau belum mulainya persalinan dan diagnosis
yang ditegakkan.
Apabila pemeriksaan baik, perdarahan sedikit, janin masih hidup, belum inpartum, kehamilan
belum cukup 37 minggu, atau berat janin masih dibawah 2500 gram, maka kehamilan dapat
dipertahankan dan persalinan ditunda sampai janin dapat hidup di luar kandungan dengan lebih
baik lagi. Tindakan medis pada pasien dilakukan dengan istirahat dan pemberian obat-obatan
seperti spasmolitika, progestin, atau progesterone.
Sebaliknya jika perdarahan yang telah berlangsung atau yang akan berlangsung dapat
membahayakan ibu dan/atau janinnya, kehamilan juga telah mencapai 37 minggu, taksiran berat
janin telah mencapai 2500 gram, atau persalinan telah mulai, maka tindakan medis secara aktif
yaitu dengan tindakan persalinan segera harus ditempuh. Tindakan persalinan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu persalinan pervaginam dan persalinan perabdominam dengan seksio
cesarea.
Pada plasenta previa, persalinan pervaginam dapat dilakukan pada plasenta letak rendah,
plasenta marginalis, atau plasenta previa lateralis anterior (janin dalam presentasi kepala).
Sedangkan persalinan perabdominam dengan seksio cesarean dilakukan pada plasenta previa
totalis, plasenta previa lateralis posterior, dan plasenta
letak rendah dengan janin letak sungsang.
Pada solusio plasenta, dapat dilakukan persalinan perabdominam jika pembukaan belum
lengkap. Jika pembukaan telah lengkap dapat dilakukan persalinan pervaginam dengan
amniotomi (pemecahan selaput ketuban), namun bila dalam 6 jam belum lahir dilakukan seksio
cesarea.
Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian
plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio
cesarea bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan, dengan demikian
memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan dan untuk
menghindari perlukaan serviks dari segmen bawah uterus yang rapuh.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier meliputi rehabilitasi (pemulihan kesehatan) yang ditujukan terhadap
penderita yang baru pulih dari perdarahan antepartum meliputi rehabilitasi mental dan sosial,
yaitu dengan memberikan dukungan moral bagi penderita agar tidak berkecil hati, mempunyai
semangat untuk terus bertahan hidup dan tidak putus asa sehingga dapat menjadi anggota
masyarakat yang berdaya guna.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan
darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu
pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan
pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah
kelainan pembekuan darah.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu
tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-
satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi,
jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan
histerektomi perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams Obstetrics, 22nd ed,
Connecticut: Appleton & Lange, 2002.
Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006.
Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Kebidanan,
edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.
Hidayat Wijayanegara. Dalam: Makalah Lengkap Kursus Dasar Ultrasonografi Kardiotokografi.
Malang : RSUD DR. Saiful Anwar. 2002.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23913/2/Reference.pdf
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14695/1/09E02639.pdf
http:///scribd.com/doc/189465626
http://www.fetal.freeserve.co.uk/meconium.html
http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html