Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
b. Epidemiologi
Wabah Dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan selama
abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai Dengue telah digambarkan secara
global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit
dan virus Dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis tentang Dengue
berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini
secara klinis adalah demam Dengue walaupun ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit
DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958
(Soegijanto S., Sustini F, 2004) dan dilaporkan menjadi epidemi di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964),
Saigon (1965), dan Calcutta (1963) (Soedarmo, 2002).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis
baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung
(1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo, 2002). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di
Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan
dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997
dan telah terjangkit di daerah pedesaan (Suroso T, 1999). Angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia
terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu
35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang (Soegijanto S., 2004).
Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang anak-
anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai
negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar biasa (Soegijanto
S., 2004).
Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Timur selama 5 tahun terakhir
menunjukkan angka yang fluktuatif, namun secara umum cenderung mengalami peningkatan. Pada
tahun 2001 dan 2004 terjadi lonjakan kasus yang cukup drastis karena adanya KLB, yaitu tahun 2001
sebanyak 8246 penderita (angka insiden: 23,50 per-100 ribu penduduk), dan tahun 2004 (sampai dengan
Mei) sebanyak 7180 penderita (angka insidens: 20,34 per 100 ribu penduduk). Sasaran penderita DBD
juga merata, mengena pada semua kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa, baik
masyarakat pedesaan maupun perkotaan, baik orang kaya maupun orang miskin, baik yang tinggal di
perkampungan maupun di perumahan elite, semuanya bisa terkena Demam Berdarah (Huda AH., 2004).
Case Fatality Rate penderita DBD pada tahun 2004 sebesar 0,7 dan insidence rate sebesar 45.
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor
antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus, prevalensi serotipe virus
Dengue, dan kondisi metereologis. DBD secara keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan
perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki
(Soegijanto S., 2003; Soegijanto S., Sustini F., 2004). Distribusi umur pada mulanya memperlihatkan
proporsi kasus terbanyak adalah anak berumur 15 tahun.
c. Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1
dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4
ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 1954. Keempat serotif tersebut telah di temukan
pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan
natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping pula Aedes
albopictus. Vektor ini mepunyai ciri-ciri:
Badannya kecil, badannya mendatar saat hinggap
Warnanya hitam dan belang-belang
Menggigit pada siang hari
Gemar hidup di tempat tempat yang gelap
Jarak terbang <100 meter dan senang mengigit manusia
Bersarang di bejana-bejana berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum penampung air, kaleng
bekas atau tempat-tempat yang berisi air yang tidak bersentuhan dengan tanah.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk sekitar 10 hari.
d. Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian
bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam asirkulasi akan
mengaktivasi sistem komplemen (Suriadi & Yuliani, 2001).Akibat aktivasi C3 dan C5 akan
dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan
mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa
terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat
infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila seseorang
setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini
akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi
kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi .
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang
mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggoroka dan
kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-
kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh
darah dibawah kulit pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa
(Splenomegali).Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan
adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk
patokan pemberian cairan intravena. .Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler
dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan
melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan
kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan
dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak
mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat
mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Renjatan yang terjadi akut
dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif,
sedangkan pada autopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau
akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah
mungkin disebabkan mediator farmakolgis yang bekerja singkat. Jika renjatan atau hipovolemik
berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak
segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu :
perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Fenomena patofisiologi utama
yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya
permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta
aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat
berkurangnya volume plamsa, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan
renjatan. perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit
dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya
memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada
DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat. Terjadinya trobositopenia,
menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen)
merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran
gastrointestinal pada DHF. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya mega
karoisit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan
meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa
penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem retikuloendotelial. Yang menentukan beratnya
penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemoragik, renjatan terjadi secara
akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik.
e. Klasifikasi
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif,
trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis,
hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.
Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt) tekanan nadi
sempit , tekanan darah menurun.
Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak
biru.
f. Gejala klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
anatara 13 15 hari, tetapi rata-rata 5 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa
suhu tinggi, Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun,
gelisah, capillary reffil time lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah), nyeri pada otot dan
tulang, abdomen dan ulu hati, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan, lidah kotor, tidak
ada napsu makan, diare, konstipasi.Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah
supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan.
Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata
terasa pegal.Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 12
jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama
beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 6, mula mula berbentuk makula besar yang
kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya
hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-
bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih
lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa
penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis,
hematemesis, epistaksis melena, hematuria. Hati, limpa dan kelenjar getah bening. umumnya
membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit.uga
kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan
ke-7 dengan tanda anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan
lembab, denyut nadi terasa cepat.
g. Pemeriksaan fisik
Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi
sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS
Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat
terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada
grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran
hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat
hematemesis, melena.
Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing
berwarna merah.
Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi
pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.
h. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita DBD adalah jumlah trombosit dan kadar hematokrit.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menjadi pertanda penyakit demam berdarah adalah:
o Ig G dengue positif.
o Trombositopenia, yaitu menurunnya jumlah trombosit darah hingga kurang dari 100.000/mm3.
o Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura (tampak melalui rontgen dada) dan atau
hipoalbuminemia menjadi bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna terutama
pada pasien yang anemia dan atau mengalami perdarahan berat. Pada kasus syok, jumlah hematokrit
yang tinggi dan trombositopenia memperkuat diagnosis terjadinya Dengue Shock Syndrom (WHO, 2004).
o Leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofilyang akan terlihat pada
hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul
karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
o Isolasi virus
o Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
o Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah
menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.
o Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
b. Foto toraks lateral dekubitus kanan.
Terdapat efusi pleura dan bendungan vaskuler
i. Prognosis
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari
sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/ul atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb
(rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume
plasma dapat diberikan larutan garam isotonis atau ringer laktat, yang kemudian dapat
disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Ada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat
diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/ul.6(art DHF)
j. Terapi
Belum atau tanpa renjatan:
1) Grade I dan II :
a. Oral ad libitum atau
b. Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg atau
50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-sama diberikan minuman oralit, air
buah atau susu secukupnya.
Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak-banyaknya
dan sesering mungkin.
Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus
diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang
diestimasikan sebagai berikut :
100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg
60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg
50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg
Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti panas, darah 15
cc/kgBB/hari perdarahan hebat.
Dengan Renjatan ;
2) Grade III
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan
frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10
mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung
berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk
dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan
). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.
b. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih terukur
kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut memperoleh
plasma atau plasma ekspander ( dextran L atau yang lainnya ) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam
dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum
membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang
sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
c. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi
menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka
penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya)
sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu
24 jam.
k. Penatalaksanaan
a. Tirah baring atau istirahat baring.
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang ) atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif / negatif, kesan sakit
keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
Panas disertai perdarahan
Panas disertai renjatan.
c. Diet makan lunak.
d. Minum banyak (2 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit,
pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
e. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering
digunakan.
f. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk,
observasi ketat tiap jam.
g. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
h. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
i. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
j. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
k. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil
pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
l. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
m. Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi
pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen
yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
a. Biodata klien
b. Riwayat kesehatan
Biasanya klien demam, lemah, sakit kepala, anemia, nyeri ulu hati dan nyeri otot.
Sebelumnya apakah ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat kesehatan dahulu
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Kepala
- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah kotor dan hiperemia pada
tenggorokan
- Thorak
3) Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan bunyi redup karena efusi fleura
- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran hepar dan limpa
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
Bowel: konstipasi
Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan
Demam atau panas
b. Data Objektif
Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil dan
kelenturan kulit menurun
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
3. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
5. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
7. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk, hospitalisasi dan perdarahan
INTERVENSI
5. pemberian cairan
sangat penting
bagi pasien dengan
suhu tinggi.
7. Ukur berat
badan pasien
setiap minggu.
EVALUASI
a. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi
yang diberikan atau dibutuhkan.
c. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
d. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
e. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam
batas normal.
f. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
g. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
Carpenito,Lynda Jual.2001.Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi8.Jakarta:EGC.
Carpenito, Lynda Juall.2000.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktis klinis edisi 6.
Jakarta.EGC
Doengoes, Marilynn E, dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Media Aeculapius FKUI.
Kim, Mi Ja.1995.Diagnos aKeperawatan edisi 5.Jakarta:EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2006.Panduan Pelayanan
Medik.Jakarta:PBPAPDI.
Price, Sylvia A, dkk.2006.Patofisiologi volume 1.Jakarta:EGC.
Soedarto.2002.Sinopsis Klinis Penyebab, Gejala Klinis Diagnosa Banding, Diagnosa
Laboratoris dan Terapi.Surabaya:Airlangga.University Press.
Suyono, Slamet, dkk.2001.Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi ketiga.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985.Buku Kuliah 2 Kesehatan
Anak.Jakarta:Infomedika.
Diposting oleh asuhan keperawatan divi di 18.52