Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan timbal balik antara dua pihak yang bersepakat dalarn satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan. Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi Iebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif maka persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik berdasarkan mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor : 434/MEN.KES/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani. Transaksi terapeutik merupakan kegiatan didalam penyelenggaraan praktek dokter berupa pemberian pelayanan medis. Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya/usaha maksimal (inspanningsverbintenis). Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis).
2. Dasar Hukum Terjadinya Transaksi Terapeutik
Untuk dapat melihat hubungan dokter dengan pasien yang mempunyai landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1313 KUH Perdata: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau keluarga pasien dengan satu orang dokter atau beberapa dokter. Dapat dilihat bahwa dalam pelayanan kesehatan memang terjadi hubungan antara pasien atau keluarga pasien yang meminta bantuan dan dokter yang dengan keahlian yang dimilikinya sanggup memenuhi bantuan yang diminta pasien/keluarga pasien. Dalam hal ini dikatakan bahwa pihak pasien/keluarga menuntut suatu prestasi dari dokter. Transaksi terapeutik itu dikategorikan sebagai perjanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUHPerdata, maka termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Selain itu, jika dilihat ciri yang dimilikinya yaitu pemberian pertolongan yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (zaakwaarnerning) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, maka transaksi terapeutik merupakan perjanjian ius generis. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pemberian jasa, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menghendaki pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan dengan kesanggupan membayar upahnya, sedangkan cara yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan pada pihak lawannya. Dalam hal ini, biasanya pihak lawan tersebut adalah seorang ahli dalam bidangnya dan telah memasang tarif untuk jasanya sekalipun transaksi terapeutik dikategorikan sebagai perjanjian pemberian jasa, namun didasarkan perkembangannya merupakan hubungan pelayanan atas kepercayaan, dan didasarkan prinsip pemberian pertolongan, sehingga disebut sebagai hubungan pemberian pertolongan medis. Didasarkan prinsip pemberian pertolongan, pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasien harus berorientasi demi kepentingan pasien Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelayanan medis yang didasarkan atas prinsip pemberian pertolongan, maka berarti pasien sebagai penerima pertolongan tidak melepaskan tanggung jawab atas dirinya seluruhnya atau pasrah kepada dokter sebagai pemberi pertolongan yang memiliki kemampuan profesional di bidang medis Didasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nornor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, maka dokter bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahliannya dan atau kewenangannya, dengan mematuhi standar profesi, dan menghormati hak pasien antara lain hak informasi dan hak untuk memberikan persetujuan. Dengan demikian, berarti bahwa pada hakikatnya prinsip etis dalam hubungan antara dokter dan pasien merupakan salah satu sumber yang melandasi peraturan hukum di bidang kesehatan.
3. Terjadinya Proses Transaksi terapeutik
Didasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, maka setiap orang bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri secara perorangan dan juga kesehatan keluarga serta lingkungannya.
Pada umumnya seseorang yang merasakan adanya gangguan terhadap
kesehatannya dan telah berusaha mengatasi gangguan tersebut tetapi tidak berhasil, maka orang tersebut akan berusaha mencari pertolongan. Di dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1992 ditegaskan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar propesi dan memenuhi hak pasien. Untuk itu, pasien juga dilibatkan untuk berperan serta sebagai mana ditegaskan dalam pasal 5 undang undang tersebut yaitu berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan keluarga ataupun lingkungannya. Oleh karena itu sekalipun transaksi teraputik merupakan perjanjian yang didasarkan pada Pasal 1313 KUHPerdata tetapi lebih dikenal dengan nama inspanningsverbintenis. Hal ini dimaksudkan sebagai perikatan yang objeknya berupa upaya yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras (met zorg en inspanning). Pertama, subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik propesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberin pertolongan dan pasien sebagai penerima pelayanan medic yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga propesional dibidang medik sedangkan pihak pasien tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan tersebut. Tetapi memerlukan pertolongan jasa pelayanan propesional dokter. Atas jasa tersebut pasien bersedia membayar honorarium kepada dokter yang menolongnya. Kedua, objeknya berupa upaya medik propesional yang bercirikan pemberian pertolongan. Ketiga, tujuannya adalah memeliharan dan meningkatkan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyekit (prefentif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Oleh karena transaksi terapeutik dilihat dari objeknya berupa upaya pemberian pertolongan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tidak dapat dan tidak boleh dijamin kapasitasnya oleh dokter.Lagi pula, pelaksanaan upaya medic tersebut tidak semata-mata bergantung pada kesungguhan dan kecermatan dokter dalam pemberian pelayanan, tetapi juga diperlukan peran serta pasien yang baik yang berorientasi demi kepentingan pasien itu sendiri. Oleh karena itu pada umumnya proses terjadinya pelayanan medik itu diawali dengan keputusan pasien dan atau keluarga untuk mengunjungi seorang dokter, maka kunjungannya ditempat kraktek pribadi dokter, atau di rumasakit atau klinik, atau sarana pelayanan medic lainnya dapat ditafsirkan bertujuan untuk mengajukan penawaran (offer, aanbod) kepada dokter untuk menerima pertolongan dalam mangatasi keluhan yang dideritanya. Pada saat dokter mulai menyusun anamnesa melaui wawancara pengobatan, lalu mendiagnosa pasien dan menentukan cara penangannnya, serta memberikan nasehat kepada pasien dalam mengatur pengobatannya termasuk memberikan resep obat, lalu pasien membayar honorarium kepada dokter tersebut, maka fase ini dapat dikategorikan sebadai fase kontraktual. Setelah fase tersebut, disebut sebagai fase postkontraktual, yang merupakan kelanjutan pelaksanaan kontrak yang sepenuhnya bergantung dari hasil komunikasi dokter dalam wawancara pengobatan, yaitu menyangkut pentaatan terhadap aturan medik, dan upaya pencapaian tujuan pelayanan medik tersebut.
4. Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik
Pada umumnya perjanjian atau kontrak telah diterima sebagai sumber dari hubungan antara dokter dan pasien, sehingga transaksi terapeutik disebut pula dengan istilah perjanjian atau kontrak terapeutik. Perjanjian Terapeutik (transaksi terapeutik) bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk mendapatkan informasi. Didasarkan pada kedua hak tersebut maka dalam menentukan tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus ada informed consent (persetujuan yang didasarkan atas informasi atau penjelasan)yang di Indonsesia diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik. Di dalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu : Adanya kata sepakat diantara para pihak. Dalam hubungan dokter pasien hal ini mudah dipahami, sebab bila salah satu tidak setuju maka tidak akan terjadi suatu transaksi terapeutik. Pasien setuju dengan dokter yang dipilihnya, dan dokter sanggup mengatasi keluhan pasien. Kecakapan para pihak dalam hukum. Dokter harus memiliki kecakapan dalam menyelesaikan masalah pasien dan pasien harus cakap dalam mengambil sebuah keputusan, jika tidak maka harus didampingi. Suatu hal tertentu. Suatu hal tetentu yang dimaksud disini adalah suatu penyakit atau keadaan yang perlu diatasi dokter. Kausa atau suatu sebab yang halal. Ini tidak berkaitan dengan kepercayaan atau agama, tetapi yang dimaksud disini adalah suatu ikatan yang tidak melanggar hukum. Oleh sebab itu didalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah perjanjian tersebut maka perjanjian itu akan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Faktor utama yang harus dimiliki oleh para pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Tujuan Transaksi Terapeutik
Dalam bidang pengobatan jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau keluarga pasien dengan satu orang dokter atau beberapa dokter. Di satu pihak pasien atau keluarga pasien memerlukan kepandaian dan keterampilan dokter untuk mcngatasi masalah kesehatannya atau keluarganya, sedangkan di pihak lain para dokter mempunyai kepandaian dan keterampilan yang dapat diberikannya untuk kesembuhan pasien. Kedua pihak bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu dalam bidang pengobatan atau kesehatan. Akibat persetujuan dan pcrjanjian ini akan terjadi "perikatan" antara kedua pihak di atas (pasien dan dokter). Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa dalam pelayanan kesehatan memang terjadi hubungan antara pasien atau keluarga pasien yang meminta bantuan dengan dokter yang dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sanggup memenuhi bantuan yang diminta pasien/keluarga pasien. Oleh karena transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan, yaitu berupa pemberian pelayanan kesehatan yang didasarkan atas keahlian, keterampilan serta ketelitian, maka tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan ilmu kesehatan itu sendiri sebagaimana tersebut di bawah ini.
a. Menyembuhkan dan mencegah penyakit
Dalam hubungan ini, pemberi Pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan bantuan Pelayanan kesehatan yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan. Hal ini secara yuridis ditegaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap tenaga kesehatan termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan hukum, sepanjang yang dilakukannya sesuai dengan standar profesi dan tidak melanggar hak pasien/klien. Dengan demikian standar profesi sebagai pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik, sebenarnya merupakan penyelenggaraan otonomi professional kesehatan dan sekaligus merupakan pembatasan dalam menjalankan profesi. Standar profesi yang dimaksud di atas adalah standar Pelayanan kesehatan yang disusun oleh masing-masing asosiasi profesi kesehatan seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, IFI dan asosiasi profesi kesehatan lainnya. Standar profesi tersebut dapat dirumuskan sebagai cara bertindak dalam peristiwa yang nyata berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. b. Meringankan penderitaan Oleh karena tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki Keadaan pasien atau agar Keadaan kesehatan pasien lebih baik dari sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindarkan. Pemberian bantuan atau pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari suatu tugas pemberi Pelayanan kesehatan professional, sehingga berlaku standar Pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ketelitian dan sikap berhati-hati. Di dalam pengertian upaya kesehatan terlihat bahwa kegiatan yang dilakukan adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, oleh karena itu dalam pengertian upaya meringankan penderitaan atau mengurangi perasaan sakit, termasuk juga menghindarkan penderitaan yang diakibatkan oleh upaya perawatan kesehatan. Secara yuridis apabila dokter/terapis tidak memenuhi kewajibannya dengan berbuat sesuatu yang meringankan atau mengurangi perasaan sakit, sehingga menimbulkan kerugian fisik ataupun non fisik pada pasien, maka dokter dan atau tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dituntut penggantian kerugian ( Pasal 58 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 ). c. Mendampingi pasien Di dalam pengertian ini termasuk juga mendampingi menuju kematiannya. Kegiatan mendampingi pasien ini seharusnya sama besar dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien. Sehubungan dengan hal tersebut seringkali tidak terpenuhinya kegiatan untuk meringankan penderitaan dan untuk mendampingi pasien dipersalahkan karena kurang atau tidak adanya waktu yang tersedia. Sekalipun kegiatan teknis medis dapat merupakan pelayanan yang baik terhadap pasien, namun hukum mewajibkan seorang dokter atau tenaga kesehatan selaku professional untuk melakukan baik kegiatan pemberian pertolongan maupun kegiatan teknis medik sesuai dengan waktu yang tersedia dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien/klien.
6. Berakhirnya Transaksi Terapeutik
Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter pasien sangatlah penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir. Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya hubungan ini dapat disebabkan karena : a. Sembuhnya pasien Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien maupun keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang dideritanya sudah benar-benar sembuh, maka pasien dapat menghkiri hubungan transaksi terapeutik dengan dokter atau Rumah Sakit yang merawatnya. b. Dokter mengundurkan diri Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter pasien dengan alasan sebagai berikut: Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut. Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain. Karena dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya. Karena dokter tersebut merekomendasikan ( merujuk ) kedokter lain atau Rumah Sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap. c. Pengakhiran oleh pasien Adalah hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah kedokter lain atau Rumah Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena kesembuhan dirinya juga merupakan tanggungjawabnya sendiri d. Pembatalan transaksi terapeutik Umumnya yang melakukan ini adalah pihak pasien maupun keluarga. Pada pasien berobat jalan, hal ini mudah dilakukan pasien. Tidak lagi berkunjung untuk pemeriksaan ulang merupajan tindakan pemutusan ikatan. Namun, jika dokter membiarkan hal ini terjadi, dokter dapat terkena masalah. Lebih baik bila pembatalan persetujuan dilakukan dengan benar, yaitu dengan membuat lembaran khusus yang menyetakan dokter telah menjelaskan keadaan pasien dan melakukan tindakan yang diperlukan, namun pasien dan keluarga meminta pulang dengan segala resiko di luar tanggung jawab dokter. Lembar seperti ini akan mempunyai kekuatan hukum lebih kuat. e. Meninggalnya pasien f. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak. g. Didalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat daruratan. h. Lewat jangka waktu apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka waktu tertentu. i. Persetujuan kedua belah pihak antar dokter dan pasiennya bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.
7. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
Suatu persetujuan medis akan timbul setelah pasien diberi penjelasan secara adekuat mengenai penyakitnya, akibat-akibatnya serta efek samping atau resiko yang bisa terjadi selama dalam perawatan atau proses penyembuhan penyakitnya. Izin perawatan ini disebut informed consent. Pemberian izin ini baru dapat diberikan setelah pasien mengetahui segala sesuatu tentang penyakitnya. Pasien berhak untuk memberikan atau menolak perawatan yang dilakukan oleh dokter, sepanjang keadaan pasien tidak dalam keadaan gawat darurat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran, dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya. Informed Consent ini merupakan dasar dari transaksi terapeutik yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam rangka memperoleh persetujuan upaya perawatan selanjutnya, baik berupa pengobatan, perawatan, maupun tindakan operasi. 1. Rony D E Hariwaluyo., 2006. Hubungan Dokter-Pasien Ditinjau dari Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Program Pasca Sarjana (S-2) Magister Ilmu Hukum. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tesis. 2. Bambang Muladi., 2005. Dokter dan Pasien (Studi tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Transaksi Terapeutik Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wonogiri). Magister Ilmu Hukum. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tesis. 3. dr. H. Yunanto, S.H., 2009. Pertanggungjawaban Dokter dalam Transaksi Terapeutik. Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, Tesis. 4. Dr. Hj. Endang Kusuma Astuti, SH. MHum,. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien dalam Upaya Pelayanan Medis. Verdis Jurnal. 5. Available from : ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/.../304_umm_scientific_journal.doc 6. Ardian Silva Kurnia., 2010. Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien dalam Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis). Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tesis. 7. Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC