Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusunoleh:
David Sethia Perdana (030.11.064)
Dwiari Setyomukti (030.11.083)
Priskila Madelyn Primauli (030.11.233)
Pembimbing :
dr. Gita Tarigan, MPH
dr. Rathia Ayuningtyas
Hana Sahara, A.Mk
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 04 APRIL 2017 10 JUNI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh:
David Sethia Perdana 030.11.064
Dwiari Setyomukti 030.11.083
Priskila Madelyn Primauli 030.11.233
Kepala Puskesmas
Kecamatan Cilandak
dr. Luigi
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Evaluasi Program mengenai Upaya
Mewujudkan Angka Bebas Pasung pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Berat
(Skizofrenia) di Kecamatan Cilandak dengan semestinya. Evaluasi program ini
disusun sedemikian rupa untuk memenuhi salah satu syarat tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Kecamatan Cilandak
periode04 April 2017 10 Juni 2017. Tentunya kami berharap pembuatan
evaluasi program ini tidak hanya berfungsi sebagai apa yang telah disebutkan
diatas. Namun, besar harapan kami agar evaluasi program ini juga dapat
dimanfaatkan oleh pihak Puskesmas Kecamatan Cilandak dalam rangka
menyempurnakan kinerjanya sehingga dapat menjadi Puskesmas unggulan di
wilayah Jakarta, khususnya dalam hal mewujudkan angka bebas pasung.
Dalam usaha penyelesaian evaluasi program ini, kami memperoleh banyak
bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. DR. Dr. Rina Kurniasri Kusumaratna, M.Kes selaku kepala bagian Iilmu
Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
sekaligus penguji proposal evaluasi program yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan rangkaian kegiatan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) dan evaluasi program
serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan evaluasi program;
2. Dr. Luigi, selaku kepala Puskesmas Kecamatan Cilandak yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) dan evaluasi program;
3. Dr. Gita Tarigan, MPH selaku dokter pembimbing evaluasi program di
fakultas sekaligus penguji evaluasi program yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik, saran, serta evaluasi demi
kemajuan penyusunan evaluasi program;
4. Dr. Rathia Ayuningtyasselaku dokter pembimbing evaluasi program di
Puskesmas Kecamatan Cilandak yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan, kritik, saran, serta evaluasi demi kemajuan
penyusunan evaluasi program;
5. Hana Sahara, A.Mk selaku pembimbing evaluasi program di Puskesmas
Kecamatan Cilandak yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, kritik, saran, serta evaluasi demi kemajuan
penyusunan evaluasi program
6. DR. dr. Maskito Asmadi Soerjoasmoro, MS selaku penguji proposal evaluasi
program dan penguji evaluasi program yang telah menyetujui serta
memberikan kritik dan saran terhadap proposal evaluasi program dan
evaluasi program;
7. Prof. DR. Dr. Adi Hidayat, MS selaku penguji evaluasi program yang telah
menyetujui serta memberikan kritik dan saran terhadap evaluasi program;
iii
8. Semua pihak di Puskesmas Kecamatan Cilandakyang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu, yang telah memberikan kontribusi terhadap proses
penyusunan evaluasi program;
9. Seluruh rekan, teman, dan sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu per
satu, yang telah setia menemani, memberikan motivasi, dan berkontribusi
dalam proses penyusunan evaluasi program.
Seperti pepatah tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa
tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan, bahkan jauh dari sempurna. Kritik
dan saran sangat diharapkan penulis guna menyempurnakan tulisan ini pada
kesempatan-kesempatan berikutnya. Penulis menaruh harapan besar agar hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua yang membutuhkannya.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
vi
BAB 6 HASIL DAN ANALISIS ...................................................................... 71
6.1 Gambaran umum pasien ODGJ berat se-Kecamatan Cilandak ...... 71
6.2 Hasil dan analisis data kualitatif : kasus pasung di
Kecamatan Cilandak ...................................................................... 73
BAB 8 PENUTUP
8.1 Kesimpulan ..................................................................................... 81
8.2 Saran ............................................................................................... 81
vii
DAFTAR TABEL
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Skizofrenia
2.2.1 Definisi
Menurut Saha et al.(9) skizofrenia adalah gangguan yang menyebabkan
disabilitas pada otak yang ditandai dengan gejala seperti halusinasi, delusi,
komunikasi yang tidak teratur, perencanaan yang buruk, berkurangnya motivasi,
dan afek yang tumpul. Sedangkan menurut Benjamin(10) skizofrenia adalah
gangguan jiwa umum yang merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor
risiko genetik dan lingkungan. Adapun menurut Tandon et al.(11) skizofrenia
adalah gangguan psikotik berat yang ditandai dengan perjalanan penyakit yang
kronik, sering kambuh, dan sering disertai remisi yang tidak lengkap dengan
penurunan status fungsional.
5
Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan
yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang
tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
conciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.(1)
2.2.2 Epidemiologi
Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat dengan insiden sebesar
15,2 per 100.000 orang per tahun.(3) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 disebutkan bahwa Indonesia memiliki prevalensi gangguan jiwa
berat sebesar 1,7 per mil.(4) Skizofrenia umumnya muncul pada usia antara 16
sampai 30 tahun dan biasanya dilaporkan memiliki prevalensi yang sama pada
pria dan wanita, walaupun banyak juga yang melaporkan bahwa prevalensi pada
pria sedikit lebih banyak.(2,3)
2.2.3 Etiologi
Hingga saat ini, para peneliti belum dapat mendeteksi faktor tunggal yang
dapat mendeskripsikan pasien-pasien dengan gejala skizofrenia. Etiologi dari
kelainan ini dianggap cukup kompleks, dan diperkirakan terdapat peranan dari
model ambang multifaktorial warisan dengan kontribusi perkembangan neurologis
dan genetik terhadap risiko.Sebuah hipotesis mengatakan bahwa skizofrenia bisa
jadi berasal dari abnormalitas yang belum begitu jelas, yang mempengaruhi sirkuit
tertentu pada otak selama perkembangan tahap awal.(12)
Berdasarkan asal-usul dan karakteristik dari kelainan neurologis serta proses
interaksi apa yang memicunya, sebuah penelitian menekankan etiologi skizofrenia
menjadi tiga poin pembahasan. Pertama, bahwa etiologi skizofrenia melibatkan
interaksi antara kerentanan otak dengan faktor-faktor lingkungan. Kedua, etiologi
ini tidak timbul karena adanya defek spesifik di suatu regio otak, melainkan dari
disfungsi sebuah sirkuit yang merupakan bagian dari regio otak multipel. Ketiga,
6
proses maturasi dan rasionalisasi otak juga berperan penting dalam proses etiologi
skizofrenia.(13)
2.2.4 Faktor Risiko
a. Jenis kelamin
Disebutkan oleh suatu penelitian bahwa skizofrenia memiliki prevalensi yang
sedikit lebih banyak pada pria dibandingkan dengan wanita (rasio risiko pria :
wanita yaitu 1,4).(3) Penelitian lain menyebutkan bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan dan biasanya disebutkan skizofrenia memiliki prevalensi
yang sama pada pria dan wanita. Adanya perbedaan ini diasumsikan karena
perjalanan penyakit yang cenderung lebih berat pada pria dibandingkan dengan
wanita, sehingga akan tercermin dalam prevalensi yang lebih tinggi pada pria
daripada wanita.(2,9)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al.(14) terdapat pria sebesar 55,3%
dan wanita sebesar 44,7%, sedangkan pada penelitian Lupini(15) terdapat 59%
pria dan 41% wanita.
b. Usia
Skizofrenia biasanya muncul pada usia antara 16 sampai 30 tahun, di mana lebih
banyak mengenai pria pada umur yang lebih muda dan lebih banyak pada
wanita dengan umur yang lebih tua.(2) Pria diduga memiliki onset skizofrenia
pada umur yang lebih muda dibandingkan dengan wanita, walaupun hasilnya
pada beberapa penelitian bervariasi mengenai selisih perbedaannya, hal ini
tergantung dari: durasi psikosis yang tidak terobati, tampilan gejala pada
stadium yang berbeda saat diteliti, dan perbedaan definisi dari masing-masing
peneliti mengenai waktu onset skizofrenia (ada yang mendefinisikan onset
adalah saat pasien mulai menampilkan gejala, saat pasien mulai menampilkan
gejala psikosis, saat pasien datang berobat pertama kali, dan saat pasien
dipastikan terdiagnosis skizofrenia). Selain itu tergantung juga dari kriteria
diagnosis yang digunakan, di mana terdapat beberapa gejala psikosis yang tidak
termasuk pada kriteria skizofrenia menurut DSM, tetapi dimasukan dalam
kriteria skizofrenia menurut ICD, sehingga penggunaan ICD lebih sering tidak
menunjukkan adanya perbedaan saat onset.(16)
7
Pada penelitian Dewi et al.(14) didapatkan pasien usia 34 tahun sebesar 59,6%
dan 34 tahun sebesar 40,4%, dengan onset sakit 40 tahun adalah 93,6% dan
40 adalah 6,4%. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eranti et al.(16)
menyatakan bahwa perbedaan usia saat onset yang lebih cepat pada pria sebesar
1.49 tahun, sedangkan penelitian oleh Kirkbride et al.(17) menemukan
perbedaannya sebesar 3.0 tahun (median usia pada pria 29,6 tahun sedangkan
wanita 32,6 tahun).
c. Riwayat Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita skizofrenia, menjadi salah satu
indikator yang kuat sebagai faktor risiko skizofrenia pada seorang individu.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa interaksi antara gen dan lingkungan
mungkin menjadi faktor yang cukup penting dalam etiologi skizofrenia. Faktor
keturunan pada skizofrenia diperkirakan berperan sebesar 60-85%, walaupun
hingga saat ini belum ditemukan secara pasti gen yang terlibat dalam kerentanan
terhadap skizofrenia. Pada populasi umum, risiko seseorang menderita
skizofrenia tidak hanya berkaitan dengan riwayat keluarga yang menderita
skizofrenia, tetapi dapat dikaitkan juga dengan hampir semua gangguan lain
yang menyebabkan hospitalisasi akibat kelainan psikiatrik. Terdapat sebuah
kelompok mayoritas dari pasien skizofrenia yang tidak memiliki riwayat
keluarga derajat pertama dengan penyakit yang sama, oleh karena itu hanya
faktor riwayat keluarga saja bukan merupakan suatu faktor risiko yang tepat
untuk mengukur risiko genetik skizofrenia. Diduga adanya interaksi antara
faktor genetik dengan faktor lingkungan (diperkirakan berperan sebesar 15-
40%), walaupun belum dapat dipastikan sebesar apa pengaruh masing-masing
faktor lingkungan tersebut.(2,18)
Penelitian yang dilakukan oleh Laursen et al.(19) menyatakan bahwa seseorang
dengan riwayat keluarga skizofrenia memiliki tingkat kejadian kumulatif
sebesar 6,11%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat keluarga adalah 0,88%.
Penelitian yang dilakukan oleh Mortensen et al.(18) menunjukkan risiko populasi
yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit mental secara umum adalah
27,1% sedangkan riwayat keluarga dengan skizofrenia adalah 6.0%. Sebuah
8
penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Dewi et al.(14) pada pasien
skizofrenia yang mengalami kekambuhan, 51,1% diantaranya memiliki riwayat
keluarga dengan skizofrenia. Penelitian yang dilakukan oleh Lupini(15) di Medan
menemukan pasien skizofrenia yang memiliki riwayat keluarga dengan
skizofrenia adalah sebesar 55%.
d. Riwayat Keluarga Pada Gangguan Depresif
Penelitian ini akan menggunakan gangguan depresif sebagai kontrol, dimana
gangguan depresif termasuk dalam kelompok gangguan mood, berbeda dengan
skizofrenia yang termasuk dalam kelompok gangguan psikotik. Pada
perkembangan penyakit gangguan mood, dinyatakan bahwa faktor genetik juga
merupakan suatu faktor yang penting. Tetapi pola penurunan genetika adalah
jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non-genetik kemungkinan
memainkan peran kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang.
Risiko untuk gangguan mood, dimana salah satunya adalah gangguan depresi
yaitu sekitar tiga kali lebih tinggi pada anak dari orang tua dengan depresi dari
pada orang tua tanpa depresi. Periode insiden tertinggi untuk gangguan depresi
mayor tetap antara usia 15 dan 20 tahun, dimana sebagian besar terdapat pada
wanita. Selain itu, penelitian keluarga telah menemukan bahwa kemungkinan
menderita suatu gangguan mood menurun saat derajat hubungan kekeluargaan
melebar.(20)
Penelitian yang dilakukan oleh Weissman et al.(21)selama 20 tahun follow-up
pada 101 orang sampel dengan satu atau lebih orang tua yang memiliki
gangguan depresif, didapatkan 80 orang diantaranya menderita gangguan mood
(p = 0,0001), dengan 65 orang diantaranya adalah gangguan mood yang berupa
gangguan depresif (p <0,0001).
e. Urbanisasi
Orang yang dilahirkan atau dibesarkan di perkotaan daripada pedesaan, lebih
mungkin untuk menderita skizofrenia. Telah diidentifikasi pula bahwa adanya
hubungan antara semakin lama seseorang tinggal di suatu area yang derajat
9
urbanisasinya lebih tinggi dengan meningkatnya risiko skizofrenia.(2)
Disebutkan oleh suatu penelitian yang dilakukan Krabbendam et al.(22) bahwa
tumbuh di lingkungan perkotaan menjelaskan sekitar 30% dari semua kasus
skizofrenia, sehingga urbanisasi dianggap sebagai faktor lingkungan yang paling
berperan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pedersen(23), urbanisasi
merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dimana faktor ini memiliki
makna yang signifikan pada tempat tinggal/kediaman setelah lahir,
dibandingkan dengan tempat lahir secara fisik yang tidak memiliki makna yang
berarti.
Banyaknya studi yang telah meneliti urbanisasi sebagai faktor risiko skizofrenia,
belum didukung oleh penelitian yang menyebutkan suatu etiologi pasti yang
terkait dengan urbanisasi. Hipotesis yang terkait urbanisasi diantaranya: infeksi,
diet, paparan zat toksik, kepadatan rumah tangga, komplikasi obstetrik, dengan
masing-masing hipotesis tersebut tidak ada yang dominan dibandingkan yang
lainnya.(2) Penelitian yang dilakukan oleh Cantor-Graae(24) menemukan adanya
kemungkinan peranan faktor sosial terkait dengan urbanisasi sebagai faktor
risiko skizofrenia, dikatakan bahwa hasil ini masih harus diteliti lebih lanjut
mengenai faktor sosial apa yang berperan dan bagaimana mekanismenya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Pedersen et al.(25) gagal menunjukkan
urbanisasi sebagai faktor risiko skizofrenia terkait dengan paparan zat toksik.
Penelitian berdasarkan tempat lahir yang dilakukan oleh Sipos et al.(9)
menemukan sebanyak 26,1% pasien lahir di kota-kota utama dan pinggiran
perkotaan, 63,3% lahir di kota besar dan industri, dan hanya 10,16% yang lahir
di pedesaan. Penelitian lain oleh Pedersen(23) mengenai urbanisasi tempat
kelahiran pada subjek berusia < 20 tahun menemukan adanya risiko sebesar 3,90
pada pria dan 2,49 pada wanita.
f. Faktor Sosioekonomi
Terdapat sebuah hipotesis populer melalui percobaan yang dilakukan pada
binatang, hipotesis ini mencoba menjelaskan mekanisme psikososial dan
biologis yang berperan dalam timbulnya gejala psikotik, yaitu social defeat
hypotesis dimana diartikan sebagai tingginya tingkat kompetisi sosial (posisi
10
sebagai bawahan atau orang luar, terutama pada imigran) dan isolasi sosial.
Pada hipotesis ini, dijelaskan bahwa paparan jangka panjang terhadap
kekalahan sosial akan meningkatkan sensitifitas sistem dopamin mesolimbik
(dan atau meningkatkan ambang aktivitas basal sistem ini) sehingga seseorang
lebih berisiko terhadap skizofrenia.(26,27) Tingginya tingkat pengangguran,
kondisi rumah tangga yang buruk, serta rendahnya tingkat edukasi dan
sosioekonomi berkaitan dengan pengucilan sosial, sehingga hipotesis kekalahan
sosial dapat dijelaskan melalui adanya faktor tersebut.(24) Berikut adalah
beberapa faktor yang termasuk dalam faktor sosioekonomi:
Pendidikan Terakhir
Pada penelitian yang dilakukan Dewi et al.(14), didapatkan pasien skizofrenia
memiliki pendidikan terakhir yang mencapai tingkat menengah (SMP &
SMA) yaitu sebesar 46,8%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Lupini(15) didapatkan pasien skizofrenia yang mencapai tingkat pendidikan
SMA sebesar 63%.
Status Perkawinan
Seseorang dengan skizofrenia lebih mungkin untuk memiliki status tidak
menikah (belum menikah/cerai), hal ini diduga berkaitan dengan hilangnya
dukungan sosial.Penelitian yang dilakukan Dewi et al.(14), didapatkan pasien
skizofrenia yang tidak menikah adalah sebanyak 70,2%, sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh Lupini(15) yang tidak menikah adalah sebesar 64%.
Status sosioekonomi yang rendah akan mempersulit seseorang untuk
menyembuhkan skizofrenia yang dideritanya dimana dapat berlaku pula
sebaliknya, yaitu seseorang dapat mengalami penurunan status sosioekonomi
akibat skizofrenia yang dideritanya.(28) Werner et al.(29) mengatakan bahwa
rendahnya tingkat sosioekonomi dan edukasi orangtua saat lahir merupakan
faktor yang berperan dalam risiko skizofrenia. Sedangkan Corcoran et al.(28)
tidak menemukan sosioekonomi sebagai faktor risiko skizofrenia.
g. Komplikasi obstetrik
Kejadian yang mempengaruhi perkembangan fetus diperkirakan berpotensi
menjadi pemicu faktor lingkungan terhadap kerentanan genetik, walaupun bisa
11
juga menjadi faktor yang sendirinya menyebabkan kerentanan terhadap
skizofrenia. Riwayat kehamilan dengan preeklampsia, diabetes, inkompabilitas
rhesus, dan perdarahan ditemukan telah meningkatan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia. Walaupun mekanisme secara pasti belum ditemukan, suatu
teori yang paling populer menyatakan adanya kaitan antara pereklampsia
maternal yang menyebabkan abnormalitas aliran darah pada fetus, yang
menimbulkan dampak hipoksia kronik pada fetus, yang memiliki efek
neurotoksik sehingga meningkatnya kerentanan risiko skizofrenia. Perdarahan
masif selama kehamilan dapat meningkatkan resiko skizofrenia pula melalui
hipotesis hipoksia fetus yang telah dijelaskan. Riwayat persalinan dengan atoni
uterus, asfiksia, dan section caesarea emergensi juga telah dibukatikan
meningkatkan kerentanan terhadap skizofrenia. Meningkatnya kerentanan ini
juga diduga karena adanya efek neurotoksik yang timbul akibat hipoksia
fetus.(2,30)
Penelitian oleh Jablenski et al.(31) menemukan pasien skizofrenia dengan riwayat
komplikasi obstetrik pada kehamilan sebesar 33,2% dan 47,% pada persalinan.
Penelitian Sipos et al.(9) menemukan 4,1% pasien skizofrenia memiliki skor
APGAR 6 pada menit pertama.
h. Penggunaan zat
Komorbiditas skizofrenia dengan gangguan terkait zat cukup sering ditemukan.
Kira-kira 30 sampai 50 persen pasien skizofrenik mungkin memenuhi kriteria
diagnostik untuk penyalahgunaan alkohol atau ketergantungan alkohol, dan dua
zat lain yang paling sering digunakan adalah kanabis (kira-kira 15 sampai 25
persen) dan kokain (kira-kira 5 sampai 10 persen).(20)
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan zat secara umum
merupakan suatu faktor kausatif bagi psikosis, dengan zat yang paling banyak
adalah kanabis. Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan kanabis sebagai
faktor kausatif pada orang tertentu dengan kerentanan genetik yang spesifik,
dengan suatu hipotesis mekanisme yang menyatakan bahwa kanabis mengubah
perkembangan otak.
12
Studi juga melibatkan kokain dalam munculnya gejala psikotik. Sebagai contoh,
pasien yang datang ke ruang emergensi dengan penggunaan kokain sering
menunjukkan gejala psikotik. Penggunaan kokain telah dikaitkan dengan onset
gejala psikosis yang lebih dini, dengan onset yang paling cepat terdapat pada
penggunaan kanabis dan kokain. Penggunaan kokain juga berkaitan dengan
kembalinya gejala psikotik setelah terapi, dan meningkatkan tingkat keparahan
gejala psikotik.(32)
i. Stres
Stres dianggap selama ini telah berkontribusi dalam patogenesis skizofrenia,
tetapi definisi dari stress ini sendiri masih belum ditetapkan secara konsisten,
berjenjang dari stress dalam kesibukan harian sampai dengan suatu kejadian
penting dalam kehidupan.(2) Kejadian hidup berkaitan stres dihipotesiskan
berperan sebagai faktor yang memperparah timbulnya gejala skizofrenia,
sebagai contoh, seorang pasien skizofrenia akan lebih mudah kambuh jika
tinggal bersama keluarga yang lebih banyak menunjukkan emosi dan perilaku
yang negatif. Stres juga dihipotesiskan berperan dalam onset skizofrenia pada
individu yang rentan. Paparan stres dapat mempengaruhi fungsi otak yang
dimediasi oleh aktivasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang
memicu pelepasan hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Elevasi hormon
kortisol yang terjadi secara kronik dapat menyebabkan perubahan otak secara
struktural yang berkaitan dengan gejala dan penurunan kognitif yang lebih berat
pada skizofrenia.(30)
2.2.5 Patofisiologi
A. Model Diatesis-Stres
Diatesis-Stres merupakan suatu model yang merupakan integrasi faktor biologis
dan faktor lingkungan, yang menyatakan bahwa seseorang mungkin memiliki
suatu kerentanan (diatesis) spesifik yang jika dikenai suatu faktor lingkungan
yang menimbulkan stres dapat memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia.
Pada model ini, yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau
lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai
contoh, infeksi) atau psikologis (sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh
13
ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar biologis untuk suatu diatesis
dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres
psikologis, dan trauma.(20)
B. Abnormalitas Neurotransmiter
Patofisiologi skizofrenia melibatkan abnormalitas neurotransmiter, teori
neurotransmiter yang berkembang paling awal diduga melibatkan epinefrin dan
norepinefrin. Dihipotesiskan pula adanya abnormalitas serotonin, glutamat,
dan/atau GABA pada pasien skizofrenia, namun selama ini dopamin diduga
memainkan peran yang paling penting dalam teori tentang dasar biokimia
skizofrenia.
Teori awal yang mendukung peranan dopamin pada skizofrenia berdasarkan
kepada dua buah bukti yang ditemukan oleh Carlsson pada tahun 1988. Pertama,
obat yang menurunkan aktivitas dopamin juga mengurangi adanya gejala
psikosis. Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopamin ternyata memicu
timbulnya episode psikotik, dan akhirnya ditemukan bahwa obat antipsikoti kini
bekerja dengan memblokir reseptor dopamin, khususnya tipe D2. Rendahnya
tingkat dopamin dikaitkan dengan fungsi sosial dan prognosis yang lebih buruk,
sedangkan tingkat dopamin yang berlebih banyak didapatkan pada pasien
dengan gejala psikotik yang lebih berat. Penelitian-penelitian selanjutnya
banyak yang terbukti gagal dalam mencari bukti nyata peningkatan dopamin
maupun metabolitnya pada cairan pada orang-orang dengan skizofrenia, tetapi
didapatkan bukti adanya peningkatan densitas ketika dilakukan penelitian terkait
reseptor dopamin walaupun akhirnya hal ini menimbulkan kontroversi karena
obat antipsikotik ternyata dapat mengubah densitas dari reseptor dopamin.(13,33)
C. Teori psikoanalitik
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia merupakan akibat fiksasi
pertumbuhan berat yang terjadi pada masa awal kehidupan. Ia mempostulasikan
bahwa terdapat suatu defek ego yang berperan dalam timbulnya gejala
skizofrenia. Defek ego tersebut terjadi saat ego belum, atau baru mulai
terbentuk. Konflik intrapsikis yang timbul akibat fiksasi dini ego dan defek ego
yang mungkin terjadi akibat relasi awal objek yang buruk menyebabkan
14
gejala psikotik. Pusat teori Freud tentang skizofrenia adalah dekatesis objek dan
regresi sebagai respons terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain. Namun,
banyak ide Freud tentang skizofrenia diwarnai oleh kurangnya keterlibatan
intensif antara dirinya dengan pasien skizofrenik.(20)
Tanpa memandang model teoretisnya, semua pendekatan psikodinamik
ditemukan atas dasar pemikiran bahwa gejala psikotik memiliki makna pada
skizofrenia. Pasien, sebagai contoh, mungkin mengalami waham kebesaran
setelah harga dirinya terluka. Senada dengan itu, semua teori mengakui bahwa
keterkaitan antar manusia mungkin menjadi sesuatu yang menakutkan pada
orang dengan skizofrenia. Meski penelitian mengenai efektivitas psikoterapi
pada skizofrenia menunjukkan hasil yang simpang siur, orang yang prihatin dan
menawarkan belas kasihan serta perlindungan dalam dunia yang memusingkan
ini harus menjadi batu acuan pada semua rencana terapi menyeluruh. Studi
tindak lanjut panjang menunjukan bahwa pasien yang mengubur episode
psikotiknya mungkin tidak akan mendapat manfaat psikoterapi eksploratif,
namun mereka yang mampu mengintegrasikan pengalaman psikotiknya ke
dalam kehidupan mereka mungkin memperoleh keuntungan dari beberapa
pendekatan berorientasi tilikan.(20)
2.2.6 Fase-fase skizofrenia
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
Fase prodromal
Biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan
ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala
timbul sering diakibatkan oleh stress atau perubahan, seperti pergi ke sekolah
baru, mulai menggunakan narkoba atau alkohol atau mengalami sakit berat atau
kematian dalam keluarga. Gejala tersebut meliputi: hendaya fungsi pekerjaan,
fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan menganggu individu serta membuat resah
keluarga dan teman, mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang
dulu. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
15
Fase aktif
Gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi,
waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang
berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat pengobatan, gejala-gejala tersebut
dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.
Gejala-gejala tersebut dapat timbul mendadak ataupun tidak. Fase ini sering
terjadi selama 4-8 minggu. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
Fase residual
Gejala-gejala fase ini sama dengan fase prodromal tetapi gejala
positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada
ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif
berupa gangguan berbicara spontan, mngurutkan peristiwa, kewaspadaan dan
eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial). Gejala tersebut dapat kembali
memburuk (relapse).
2.2.7 Diagnosis
Belum ada marker biologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
kelainan ini, oleh karena itu diagnosis skizofrenia hanya mengandalkan pada
penilaian subjektif dari presentasi klinis seorang individu. Ada beberapa alat
utama yang saat ini digunakan untuk mendiagnosis penyakit mental, yaitu
International Classification of Disease versi 10 (ICD 10), Diagnostic and
Statistical Manual for mental disorders versi 4 (DSM IV), dan sistem klasifikasi
terbaru DSM V yang dikeluarkan di tahun 2013 oleh American Psychiatric
Association. Kriteria diagnostik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang
mengacu pada ICD 10.
A. Kriteria diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ III
(1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
(a) - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
16
- thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikiran (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
(b) - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of infuence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; atau
- delusional perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat;
(c) halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
(d) waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
(2) Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
17
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau flexibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
d) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
(3) Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);
(4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tidak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude),
dan penarikan diri secara sosial.(1)
B. Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM V
(a) Dua (atau lebih) dari berikut ini, masing-masing ada dalam jangka waktu tertentu
dalam 1 bulan periode (atau kurang jika berhasil diobati). Setidaknya satu dari
berikut ini harus (1), (2), (3) :
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya inkoherensi, atau sering
keluar dari jalur)
4. Tidak terorganisasi yang tampak jelas sekali atau sikap perilaku katatonik.
5. Gejala negatif (hilangnya ekspresi emosional atau avolisi)
(b) Untuk jangka waktu yang signifikan sejak terjadinya gangguan tersebut, derajat
fungsi dalam satu atau lebih bidang mayor, seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, perawatan diri, ditemukan dibawah level yang biasanya disebabkan
18
oleh terjadinya gejala (atau apabila onset terjadi dalam masa kanak atau remaja,
ada kegagalan dalam mencapai level yang diharapkan dari fungsi interpersonal,
akademik atau fungsi okupasi)
(c) Gejala yang berkesinambungan dari gangguan bertahan setidaknya selama 6
bulan. Periode waktu 6 bulan ini harus setidaknya ada gejala 1 bulan (atau kurang
jika berhasil ditangani) yang memenuhi Kriteria A (misalnya , gejala fase aktif)
dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
prodromal dan residual ini, tanda-tanda gangguan dapat bermanifestasi dengan
hanya gejala negative atau dua atau lebih gejala yang didaftar dalam Kriteria A
ada dalam bentuk sudah melemah (misalnya, kepercayaan yang aneh, pengalaman
perseptual yang tidak biasa).
(d) Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan fitur psikotik
telah dikesampingkan karena di antaranya: 1) tidak ada episode manik atau
depresif mayor yang pernah terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, atau 2)
jika episode mood telah terjadi selama fase aktif, mereka telah ada untuk jangka
waktu yang sedikit dari durasi keseluruhan dari periode aktif dan residual dari
penyakitnya.
(e) Gangguan tidak terkait efek fisiologis suatu zat (misalnya penyalahgunaan obat,
atau dalam pengobatan) atau kondisi medis yang lainnya.
(f) Jika ada riwayat spektrum gangguan autisme atau gangguan berkomunikasi yang
terjadi pada masa kanak, diagnosa tambahan dari skizofrenia hanya ditegakkan
jika ada delusi atau halusinasi yang menonjol, sebagai tambahan terhadap gejala
lain yang dibutuhkan dari skizofrenia adalah bertahan selama setidaknya 1 bulan
(atau kurang jika berhasil diobati).
Kontinu, gejala memenuhi kriteria diagnostik dari gangguan yang tersisa
adalah gejala mayor dari gangguan, dengan periode gejala subthreshold
menjadi relatif singkat dari keseluruhan perlangsungan gangguan tersebut.
Spesifikasikan jika :
(a) Cara pengkhususan hanya digunakan setelah 1 tahun perlangsungan
gangguannya dan jika tidak dalam kontradiksi dengan kriteria
diagnostiknya.
19
(b) Episode pertama, sedang dalam episode akut : manifestasi pertama dari
gangguan sesuai dengan gejala diagnostik dan kriteria waktu. Sebuah
episode akut adalah periode waktu yang mana gejala kriteria terpenuhi.
(c) episode pertama, sedang dalam tahap remisi parsial : remisi parsial
adalah suatu periode waktu sepanjang ada peningkatan setelah episode
sebelumnya ditangani dan dimana kriteria definitif dari gangguan tersebut
hanya setengah terpenuhi.
(d) Episode pertama, sedang dalam remisi penuh : remisi penuh adalah
suatu periode waktu setelah episode sebelumnya dimana tidak ada gejala
spesifik dari gangguan tersebut yang muncul/Nampak.
(e) Banyak Episode, sedang dalam episode akut : episode multipel dapat
ditentukan setelah minimal dari 2 episode (misalnya, setelah episode
pertama, sebuah remisi dan minimal sekali relaps)
(f) Banyak episode, sedang dalam remisi parsial
(g) Banyak episode sedang, dalam remisi penuh
Catatan : diagnosa skizofrenia dapat ditegakkan tanpa menggunakan
penspesifikasi ini.
Spesifikasikan jika :
Dengan katatonia, (merujuk kepada kriteria untuk katatonia yang
berhubungan dengan gangguan mental yang lain , hal 119-120, untuk
definisinya)
Catatan penggunaan kode : gunakan kode tambahan 293.89 (F06.1)
katatonia berhubungan dengan skizofrenia untuk mengindikasikan adanya
katatonia komorbid.
Spesifikasikan keparahan saat ini :
Keparahan dinilai dengan penilaian kuantitatif dari gejala primer psikosis,
termasuk delusi, halusinasi , bicara yang tidak terorganisasi , perilaku
psikomotor abnormal , dan gejala negative. Masing-masing dari gejala ini
dapat dinilai untuk keparahannya saat ini (paling parah dalam 7 hari
terakhir) dalam skala 5 poin yang bervariasi mulai dari 0 (tidak ada gejala)
sampai 4 (ada dan parah). (lihat bab mengukur penilaian).
20
Perbedaan diagnosis skizofrenia dalam DSM IV dan DSM V hanya memiliki
sedikit perbedaan, dimana pada DSM V terdapat penghapusan subtipe skizofrenia
yang telah disetujui oleh APA (American Psychiatric Association). Menurut APA
penghapusan subtipe skizofrenia yaitu tipe paranoid, tipe hebefrenik, tipe
katatonik, tipe tak terdiferensiasi dan tipe residual karena tidak memberikan target
pengobatan yang lebih baik. Selain itu penghapusan subtipe tersebut karena
memiliki keterbatasan validitas dan realibilitas.
2.2.8 Klasifikasi subtipe Skizofrenia
A. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih
waham atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik
yang sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia
tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran.
Pasien skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada
usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik.
Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya
telah memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat membantu mengatasi
penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih besar dibanding
pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid
menunjukan regresi kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang
lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia
paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan
terkadang bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang
dapat mengendalikan diri mereka secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi
mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung utuh.
B. Skizofrenia Hebefrenik
Tipe hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan dengan memastikan gambaran khas yang
bertahan: perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan,
afek pasien dangkal dan tidak wajar, proses berpikir mengalamin disorganisasi
dan pembicaraan tak tentu serta inkoheren. Pasien menunjukkan gangguan
21
afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol.
Skizofrenia hebefrenik disebut disorganizedtype atau kacau balau yang
ditandai dengan inkoherensi, afek inappropriate, perilaku dan tertawa kekanak-
kanakan, yang terpecah-pecah, dan perilaku aneh seperti menyeringai sendiri,
menunjukkan gerakan-gerakan aneh, mengucap berulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
C. Skizofrenia katatonik
Ciri dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik, dimana
satu atau lebih dari perilaku berikut mendominasi gambaran klinisnya: stupor,
gaduh-gelisah, menampilkan posisi tubuh tertentu, negativisme, rigiditas,
fleksibiltas cerea (waxy flexibility). Gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia, karena gejala katatonik dapat dicetuskan oleh
penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat
juga terjadi pada gangguan afektif (misalnya depresi).
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap
lingkungan atau orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung
di sekitarnya.
Negativisme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau
usaha-usaha untuk menggerakkan fisiknya.
Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau
aneh.
Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin
dapat mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
D. Skizofrenia Tak Terinci (undifferentiated)
Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan ke dalam salah satu tipe. Tipe ini adalah suatu tipe dimana pasien
memenuhi gejala karakteristik skizofrenia, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk
tipe paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
22
E. Skizofrenia residual
Pada tipe ini, ditandai oleh gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, di
mana sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia dan sedikitnya sudah
melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala nyata
seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang. Persyaratan dari diagnosis
ini adalah sebagai berikut:
gejala negatifskizofrenia yang menonjol, misal perlambatan psikomotor,
aktivitas menurun, afek menumpul, terdapat disfungsi sosial;
Terdapat riwayat sedikitnya 1 episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia;
Minimal sudah melampaui kurun waktu 1 tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperi waham dan hakusinasi telah sangat
berkurang dan telah timbuh sindrom negatif skizofrenia;
Tidak ada demensia atau penyakit gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskans hendaya negatif
tersebut.
F. Skizorenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain dari episode psikotik dan
disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial. Gangguan ini kurang jelas
gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.(1)
2.2.9 Diagnosis banding(20)
Gangguan psikotik sekunder
Serangkaian kondisi medis nonpsikiatrik serta berbagai berbagai zar dapat
menginduksi gejala psikosis dan katatonia. Diagnosis yang paling tepat untuk
psikosis semacam itu adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum,
23
gangguan katatonik akibat kondisi medis umum atau gangguan psikotik
sekunder. Saat mengevaluasi pasien dengan gejala psikotik, klinisi seyogyanya
mengikuti pedoman umum untuk mengkaji kondisi non psikiatrik. Pertama
klinisi sebaiknya secara agresif mencari suatu kondisi medis non psikiatrik yang
belum terdiagnosis ketika pasien menunjukkan gejala yang tak lazim atau jarang
maupun setiap variasi tingkat kesadaran. Kedua, klinisi sebaiknya mencoba
memperoleh riwayat keluarga yang lengkap, termasuk riwayat gangguan medis,
neurologis dan psikiatrik. Ketiga, klinisi sebaiknya mempertimbangkan
kemungkinan kondisi medis non psikiatrik bahkan pada pasien sebelumnya
didiagnosis skizofrenia. Pasien skizofrenia memiliki kemungkinan yang sama
seperti pasien non skizofrenik untuk mengalami tumor otak yang menimbulkan
gejala psikotik.
Berpura-pura (malingering) dan gangguan buatan
Pada pasien yang meniru gejala skizofrenia sebenarnya tidak mengidap
gangguan tersebut, berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan
diagnosis yang sesuai. Meski demikian, sejumlah pasien skizofrenia dapat
memalsukan keluhan eksaserbasi gejala psikotik untuk memperoleh peningkatan
keuntungan pendampingan atau untuk dapat kembali dirawat inap.
Gangguan psikotik lainnya
Gangguan psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan
skizofreniform, gangguan psikotik singkat, gangguan skizoafektif, dan
gangguan waham, Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia berupa
gejala yang berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan. Gangguan
psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala berlangsung
setidaknya 1 hati tapi kurang dari 1 bulan dan bila pasien tidak kembali ke
keadaan fungsi pramorbidnya dalam waktu tersebut. Jika suatu sindrom manik
atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utam skizofrenia, gangguan
skizoafektif adalah diagnosis yang tepat. Waham non bizar timbul selama
sekurangnya 1 bulan tanpa gejalal skizofrenia lain atau gangguan mood patut
didiagnosis sebagai gangguan waham.
Gangguan mood disertai ciri psikotik
24
Diagnosis banding antara skizofrenia dan gangguan mood mungkin sulit
dilakukan namun harus dibuat karena tersedianya pengobatan spesifik dan
efektif untuk mania dan depresi. Dibandingkan durasi gejala primer, gejala
afektif atau mood pada skizofrenia semestinya singkat. Sebelum membuat
diagnosis skizofrenia yang terlalu dini, dan tanpa informasi tambahan selain
yang diperoleh dari satu pemeriksaan status mental saja, klinisi seyogyanya
menunda diagnosis akhir atau sebaiknya mengasumsikan adanya gangguan
mood.
Gangguan kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran yang
sama dengan skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan
ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala mirip. Gangguan
kepribadian obsesif kompulsif yang parah dapat menyamarkan suatu proses
skizofrenik yang mendasari. Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian
memiliki gejala ringan dan riwayat terjadi seumur hidup pasien, gangguan ini
juga tidak memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.
2.9.10 Tatalaksana
A. Terapi farmakologis
Cara utama pengobatan skizofrenia adalah dengan penggunaan obat-obatan
antipsikotik yang dibagi menjadi dua kelas mayor. Pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1950 yaitu obat antipsikotik konvensional, yang biasanya disebut
sebagai obat antipsikotik tipikal atau generasi pertama. Chlorpromazine
(Thorazine) adalah obat antipsikotik pertama yang kemudian selama tiga dekade
diikuti dengan munculnya variasi lain dari obat-obatan antipsikotik tipikal.
Obat-obatan ini mengurangi aktivitas dopamin dengan memblokir reseptor
dopamin khususnya subtipe D2, dan obat-obatan ini mempunyai efek
kemanjuran yang mirip bagi gejala positif pada skizofrenia. Pengobatan
skizofrenia yang paling efektif melibatkan kombinasi dari terapi farmakologis
dan intervensi psikososial. Cukup disayangkan terapi farmakologis ini
menimbulkan efek samping yang kurang menyenangkan seperti mulut kering,
letargi, dan peningkatan berat badan. Semakin dini memulai penggunaan obat
25
sejak onset psikosis timbul, telah terbukti memberikan prognosis yang semakin
baik.
Dosis terapi
Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan dosis
awal sesuai dosis anjuran, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan
setiap 2 minggu sampai ke dosis maintenance, dosis dipertahankan selama 6
buulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu), selanjutnya
dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat
dihentikan.(34)
Dosis clozapine yang adekuat antara 250 mg 450 mg per hari dan dalam
MIMS Indonesia, dosis terapi antar 200-450 mg/hari. Masoudzadeh et al
mengatakan dosis 200 mg/hari sudah efektif.(35)Dosis optimal haloperidol
dibawah 10 mg/hari dan hampir selalu dibawah 20 mg/hari. Dosis optimal dari
risperidon kurang dari 16 mg/hari; dosis maksimum risperidon adalah 6-8
mg/hari.(36)
Ekuivalen haloperidol 5 atau 10 mg adalah dosis yang beralasan untuk pasien
dewasa dalam keadaan akut. Pemberian lebih dari 50 mg chlorpromazine
dalam satu suntikan dapat mengakibatkan hipotensi yang serius. Ekuivalen 10-
20 mg haloperidol atau 400 mg chlorpromazine per hari merupakan terapi
yang adekuat untuk sebagian pasien dangan skizofrenia.(37)
B. Terapi psikososial
Terapi psikososial yang dilakukan bersamaan dengan terapi famakologis
terbukti memberikan prognosis yang lebih baik, dan mengurangi tingkat relaps
pada skizofrenia. Salah satu contohnya adalah terapi keluarga yang berhasil
mengurangi beban pada orang yang mengasuh pasien, dan meningkatkan
pengetahuan bagi anggota keluarga mengenai skizofrenia. Latihan keterampilan
sosial (social skill training) telah menunjukkan peningkatan fungsi dalam
kompetensi sosial, dengan mengajari keterampilan interaksi interpersonal,
26
keterlibatan dalam kegiatan rekreasi, dan pekerjaan. Cognitive Behaviour
Therapy (CBT) digunakan untuk pasien psikotik dengan menghadapi gejala-
gejalanya secara langsung, diantaranya yang telah terbukti efektif yaitu
mengurangi gejala halusinasi dan delusi pada pasien yang resisten terhadap
medikasi, dan sebagai pelengkap terhadap terapi farmakologis pada psikosis
akut. Terapi spesifik mengenai teknik manajemen stres mungkin memberi
keuntungan bagi pasien skizofrenia. Latihan manajemen stres dapat
meningkatkan kemampuan pasien dalam mengatasi stressor akut lebih efektif
dan mengurangi kemungkinan kambuhnya gejala skizofrenia. Assertive
Community Treatment (ACT) adalah terapi yang menggunakan pendekatan
komprehensif bagi penderita gangguan jiwa berat yang tinggal di komunitas.
Pasien diserahkan kepada tim multidisiplin, dengan pelayanan yang mencakup
pengantaran medikasi ke rumah, monitor status kesehatan mental dan fisik,
terapi keterampilan sosial, dan berkontak dengan keluarga. Terapi ini terbukti
telah mengurangi waktu pasien di rumah sakit, dan memperbaiki tingkat
kepuasan pasien dan keluarga.(13)
2.9.11 Prognosis(20)
Baik buruknya perjalanan penyakit skizofrenia bergantung dari beberapa faktor
yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut dirangkum dalam tabelberikut.
27
2.3 Angka Bebas Pasung
2.3.1 Definisi Pemasungan
Pemasungan adalah segala tindakan pengikatan dan pengekangan fisik yang
dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang.Pemasungan, termasuk
penelantaran tidak boleh terjadi karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan
dan merupakan pelanggaran berat terhadap HAM(Hak Asasi Manusia)
penderita.Indonesia Bebas Pasung adalah upaya untuk membuat Indonesia bebas
secara nasional dari adanya praktek pasung dan penelantaran terhadap penderita
gangguan jiwa. Upaya ini telah di deklarasikan oleh Menteri Kesehatan RI pada
10 Oktober 2010.
2.3.2 Penemuan Kasus Pasung
Masyarakat diharapkan sebagai ujung tombak penemuan kasus. Selain itu,
petugas yang ada di tengah masyarakat dapat secara aktif membantu menemukan
kasus pasung, diantaranya:
-Petugas dan Kader Kesehatan
-Petugas sosial masyarakat
-Pengurus RT dan RW setempat
-Tokoh masyarakat/ tokoh agama
Jumlah penderita gangguan jiwa yang dipasung dan ditelantarkan mencapai
puluhan ribu. Mereka dipasung dan disembunyikan di dalam rumah, dipinggiran
desa dan bahkan ada yang jauh dari pemukiman masyarakat. Tugas semua pihak
untuk menemukan kasus pasung dan penelantaran ini dan melaporkan pada
petugas keshatan terdekat untuk mendapat pengobatan.
Orang dengan gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan
diagnosa yang ditegakkan setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan. Keluarga
dan masyarakat ikut aktif atas kelangsungan pengobatan penderita. Penderita
gangguan jiwa berhak hidup layak dan mendapatkan pengobatan untuk sembuh
dan mencapai kualitas hidup yang optimal.
Menurut Menkes, untuk memenuhi kebutuhan orang dengan masalah kejiwaan
yang di pasung dan terlantar, diperlukan upaya yang komprehensif dari segala
aspek: kesehatan, ekonomi, dan sosial. Upaya tersebut dikenal dengan program
28
Menuju Indonesia Bebas Pasung. Upaya ini mengatur tentang peran pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa
untuk masyarakat miskin. Pemerintah dan pemerintah daerah bukan hanya
menemukan kasus-kasus pasung untuk kemudian melepaskannya, tetapi juga
harus memberikan edukasi pada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan.
Puskesmas diberdayakan sehingga mampu menjadi ujung tombak pelayanan
kesehatan jiwa serta juga harus menyediakan pengobatan yang diperlukan. Rumah
Sakit Umum harus menyediakan tempat tidur sehingga bisa merawat ODMK
(Orang Dengan Masalah Kejiwaan) yang memerlukan perawatan. Rumah Sakit
Jiwa selain sebagai pusat rujukan juga harus mampu menjadi pusat pembinaan
kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan di wilayahnya.Peran serta masyarakat
diharapkan mampu mengenali kasus-kasus gangguan jiwa di masyarakat,
menghindari pemasungan dan mendorong anggota masyarakat untuk berobat dan
melakukan kontrol.
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 menyatakan penderita
gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
atau orang lain, atau mengganggu ketertiban dan keamanan umum berhak
mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh karena itu
pelayanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa adalah tanggung jawab
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
29
BAB 3
DATA UMUM DAN DATA KHUSUS
A. Letak Wilayah
Wilayah Kecamatan Cilandak terletak di sebelah Barat Daya Kota Jakarta di
ketinggian 50 M diatas permukaan laut dengan sudut kemiringan 0.25 serta
curah hujan rata-rata 2.036 mm/tahun.
30
Sebelah Utara : Jl. H.Nawi dan Jl. H.Abd.Majid , Kec. KebayoranBaru.
Sebelah Selatan : Desa Pangkalan Jati, Kec. Limo, Kotamadya Depok.
Sebelah Timur : Kali Krukut , Kec. Ps. Minggu / Kec. Mp.Prapatan.
Sebelah Barat : Kali Pesanggrahan, Kec. Kebayoran Lama, Desa Cirendeu
Kecamatan Ciputat, Kab.Tanggerang.
= 100
98.338
= 100
101.161
= 97,2%
Dapat dilihat jumlah penduduk dengan umur 15-44 tahun merupakan yang
terbanyak, sedangkan penduduk usia 65 tahun merupakan jumlah yang paling
sedikit.
Disimpulkan bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung 41 orang usia
non produktifdi kecamatan Cilandak
32
3.1.3 Sosial Budaya
A. Pemeluk agama
33
3.2 Sarana Fisik dan Medis
3.2.1 Sarana Fisik
Puskesmas Kecamatan Cilandak memiliki gedung yang terdiri dari:
a. Luas tanah : 1.182 m2
b. Luas bangunan : 600 m2
c. Dibangun tahun : 1975
d. Jaringan telepon : 1 (satu) line (7194008)
e. Televisi : 4 (empat) unit
f. Air Conditioner : 28 (dua puluh delapan) unit
g. Komputer : 20 (duan puluh) unit
h. Pompa air listrik : 4 (unit) jet pump
i. Rehab terakhir tahun : 2006
j. Bangunan terdiri dari :
a) 1 (satu) ruang loket
b) 1 (satu) ruang Tata Usaha
c) 1 (satu) ruang tunggu pasien
d) 1 (satu) ruang periksa Balai Pengobatan Umum (BPU)
e) 1 (satu) ruang periksa Balai Pengobatan Gigi (BPG)
f) 1 (satu) ruang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
g) 1 (satu) ruang tindakan/suntik
h) 1 (satu) ruang Kesehatan Ibu dan Anak
i) 1 (satu) ruang KB (Keluarga Berencana)
j) 1 (satu) ruang PKPR (poli konseling pemeriksaan remaja)
k) 1 (satu) ruang obat
l) 1 (satu) ruang poli lansia
m) 1 (satu) ruang konsultasi gizi
n) 1 (satu) ruang gudang (ukuran 1 m x 1 m)
o) 3 (tiga) ruang dapur
p) 8 (delapan) kamar mandi karyawan
q) 6 (enam) kamar mandi pasien
34
3.2.2 Sarana Penunjang Lain : Sumber Dana
Sumber pendanaan Puskesmas Kecamatan Cilandak berasal dari :
Pendapatan Puskesmas
Retribusi dan Biaya Pelayanan/ Tindakan Medis
Dana puskesmas diperoleh dari :
- Dana dari BLUD untuk operasional meliputi gaji, sarana dan prasarana
aparatur serta sarana dan prasarana publik
- Dana dari BPJS Kesehatan
- Bantuan Operasional Kesehatan
Bantuan ini merupakan bantuan pemerintah kepada pemerintah daerah dalam
melaksanakan SPM Bidang Kesehatan untuk pencapaian MDGs tahun 2015
melalui peningkatan kinerja Puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.
35
3.3.2 Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen puskesmas tersebut dalam upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Upaya ini hanya diselenggarakan oleh Puskesmas
Kecamatan Cilandak adalah
1) Upaya kesehatan sekolah
2) Upaya kesehatan gigi sekolah
3) Upaya penatalaksanaan HIV
4) Upaya kesehatan lansia dan pengembangan haji
5) Upaya kesehatan jiwa
6) Upaya pengembangan tanaman obat
36
Lantai 1 : Unit Pelayanan Rumah Bersalin, ruang perawatan kelas 2 & 3
dengan 11 tempat Tidur, ruang bayi, Unit Pelayanan 24 jam, Unit Pelayanan
Lansia, Unit Pelayanan TB Paru, Unit Pelayanan IMS, loket 1, Dapur,
Gudang & Toilet.
Lantai 2 : Unit Pelayanan umum dan Ruang Tindakan, Unit Pelayanan Anak,
Unit Pelayanan Kesehatan Ibu, Unit Pelayanan 1Gizi, Loket 2 (Penyimpanan
Rekam Medik), Unit Pelayanan Obat, Unit Pelayanan Penunjang:
Laboratorium & Radiologi, Toilet.
Lantai 3 : Unit Pelayanan Gigi, Unit Pelayanan Keluarga Berencana, Unit
Kesehatan Keluarga & Remaja ( UKKR ), Ruang Kepala Puskesmas, Ruang
Tata Usaha, Ruang Koordinator Urusan Yankes, Ruang Mutu, Ruang
Keuangan, Pantry & Toilet.
Lantai 4 : Aula, Ruang Rapat Kecil, Ruang Kesmas, Musholla, Gudang,
Pantry & Toilet.
Pelayanan Pagi
Pelayanan umum : poli umum, gigi, KB, KIA, lansia, MTBS, PKPR,
konseling, paru, layanan 24 jam, rumah bersalin dan PTM,
Semi spesialis : konsultasi gizi
Fasilitas kesehatan penunjang : laboratorium dan radiologi
3.5 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan karyawan Puskesmas Kecamatan Cilandak berdasarkan profesi
sampai dengan akhir tahun 2016 adalah:
48
(5) Ruang Spool-hoek, dimana limbah cair dibuang/ dialirkan ke septic tank
khusus, terpisah dari septic tank WC
(6) Tempat cuci tangan dengan keran sikut dan sabun/desinfektans khusus
(7) Ruang perawatan bayi baru lahir.
Ruang kerja sekaligus sebagai kamar jaga untuk perawat/bidan jaga (nurse
station) mempunyai akses langsung ke ruang perawatan bayi baru lahir dengan
masalah., dilengkapi wastafel, kamar mandi dan WC untuk petugas, terdapat
ruang linnen, tempat menyimpan linnen siap pakai, serta ruang perawatan pasien.
Ruang perawatan pasien meliputi :
(1) Perawatan pasien rawat inap umum;
(2) Ruang rawat persalinan dengan 4 tempat tidur dewasa dan 3-4 box bayi
yang akan digunakan sebagai Ruang rawat gabung (rooming in) untuk ibu
dan neonatal.
B. Pelayanan gizi
Indikatornya adalah :
1) Cakupan ibu nifas yang mendapatkan kapsul vitamin A, cakupan sebesar
81,3%
48
2) Cakupan bumil yang diberi 90 tablet Fe, cakupan sebesar 93,2%
3) Balita usia 0 6 bulan mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif, cakupan
sebesar 48,8%
4) Cakupan bayi (6-11 bulan) yang diberi vitamin A dosis tinggi 1 kali per
tahun, sebesar
5) Cakupan bayi (6-11 bulan) yang diberi vitamin A dosis tinggi 1 kali per
tahun, sebesar
6) Cakupan anak balita (12-59 bulan) yang diberi vitamin A dosis tinggi 2
kali per tahun, sebesar
3.6.4 Upaya Promosi Kesehatan
Pelayanan promosi kesehatan merupakan upaya di bidang kesehatan yang
menitikberatkan pada peningkatan kesehatan taraf hidup masyarakat melalui
upayaupaya pembinaan dan pengembangan peran aktif masyarakat melalui
media penyuluhan. Tujuan dari program promosi kesehatan adalah untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.
Jenis kegiatan meliputi:
A. Melakukan penyuluhan kesehatan kelompok dengan sasaran masyarakat
umum, sekolah, dan posyandu
B. Mengikutsertakan masyarakat supaya berperan aktif dalam program kesehatan
khususnya dalam kegiatan promosi posyandu.
48
Kesehatan Lingkungan 23 63
TBC 97 64
Kesehatan Gilut 65 47
Kusta, frambusia 7 15
Kesehatan mata 24 49
Kesehatan jiwa 30 9
Kesehatan kerja 7 39
Kecacingan 11 28
Lain-lain 76 64
Tabel 15. Hasil Kegiatan P2P Diare Puskesmas Kecamatan Cilandak tahun 2016
Tabel 17. Hasil Kegiatan P2P ISPA Puskesmas Kecamatan Cilandak tahun 2016
Indikator Target Sasaran Sasaran Cakupan Pencapaian
(%) 1 Tahun Bulan Keg (%) (%)
Berjalan
Cakupan balita 100 786 786 100 100
dengan
pneumonia yang
ditemukan
48
3) Kunjungan kasus lama : Kunjungan ketiga dan seterusnya suatu kasus
(lama) penyakit yang masih dalam periode penyakit yang bersangkutan.
Untuk penyakit menahun adalah kunjungan kedua dan seterusnya pada
tahun berikutnya. Frekuensi kunjungan adalah rata-rata jumlah kunjungan
setiap kasus ke puskesmasdan jaringannya sampai sembuh.
Pelayanan pengobatan di Puskesmas Kecamatan Cilandak terdiri dari
pelayanan rawat jalan di poliklinik umum, poliklinik gigi, MTBS, KIA-KB,
pelayanan penyakit menular, pelayanan penyakit tidak menular. Pelayanan
pengobatan dibuka setiap hari Senin-Jumat pukul 07.30-16.00 WIB dan Sabtu
pukul 07.30 12.00 WIB. Puskesmas dikelola oleh 1 orang dokter gigi dan 2
orang dokter umum.
3.7 Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang
disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan
dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada. Pada
Puskesmas Kecamatan Cilandak upaya kesehatan pengembangan meliputi:
3.7.1 Upaya kesehatan sekolah (UKS)
48
Pembinaan kesehatan gigi di 100 26 26 100 100
posyandu
Pembinaan kesehatan gigi di 100 15 15 100 100
TK
Pembinaan dan bimbingan 100 42 29 69 69
sikat gigi massal SD / MI
Perawatan kesehatan gigi pada 100 42 29 69 69
SD / MI
Gigi tetap yang dicabut 100 0 0 0 0
Gigi tetap yang ditambal 100 9 9 100 100
permanen
PPIA Jumlah
Bumil yang tes HIV 2034
Bumil HIV Positif 4
Bumil mengkonsumsi ARV 4
Ibu dan Bayi HIV Positif 0
Jumlah 2042
48
Tabel 25. Daftar penyakit lansia di Puskesmas Kecamatan Cilandak
pada tahun 2016
Tabel 26. Jumlah kunjungan kasus gangguan jiwa kelompok psikotik se-Kecamatan
Cilandak tahun 2016
Tabel 27. Jumlah kunjungan kasus gangguan jiwa kelompok neurotik se-Kecamatan
Cilandak tahun 2016
Tabel 28. Jumlah kunjungan kasus gangguan jiwa kelompok NAPZA, Retardasi Mental dan
gangguan psikiatri pada anak se-Kecamatan Cilandak tahun 2016
48
B L B L B L
L P L P L P L P L P L P
1 JAN 1 0 0 0 1 0 17 0 0 0 0 0
2 FEB 5 1 0 0 1 0 17 0 0 0 0 0
3 MAR 2 0 3 0 0 1 27 0 0 0 0 0
4 APR 0 0 0 0 0 0 74 3 1 0 1 0
5 MEI 0 0 1 1 2 0 60 4 0 0 0 1
6 JUN 0 0 1 0 0 0 28 2 0 0 0 0
7 JUL 0 0 0 0 0 0 29 1 0 0 1 3
8 AGST 0 0 0 0 0 0 30 1 0 0 0 0
9 SEPT 0 0 0 0 0 0 19 1 0 0 0 0
10 OKT 0 0 0 0 7 0 0 24 1 0 0 0
11 NOV 0 0 0 0 0 0 16 1 0 0 0 0
12 DES 0 0 0 0 0 0 23 3 0 0 0 0
TOTAL 8 1 5 1 11 1 340 40 2 0 2 4
BAB 4
METODE DIAGNOSTIK KOMUNITAS
48
4.1 Desain studi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitiankualitatifdilakukan
dengan pendekatan studi kasus observasional secara eksplanatoris. Peneliti
memilih desain ini untuk mempelajari fenomena khusus mengenai tindakan
pemasungan, dengan merangkum secara mendalam mengenai perilaku subjek dan
alasan-alasan yang mendasari perilaku pemasungan yang dilakukan oleh keluarga
pasien. Penelitian kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif, yang nantinya
dapat dijadikan bahan untuk mempelajari bagaimana pengetahuan, persepsi,
ataupun sikap keluarga mengenai tindakan pemasungan terhadap pasien dengan
gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Kecamatan Cilandak.
48
BAB 5
METODE PEMECAHAN MASALAH
48
b. mencari alternatif pemecahan masalah
Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih dari sebab-sebab yang
didukung oleh data atau konfirmasi
5) Menentukan alternatif pemecahan masalah
Seringkali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab
yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung
pada alternatif pemecahan.
6) Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan
pemecahan terpilih. Apabila diketemukan beberapa alternatif maka digunakan
Hanlon kualitatif untuk menentukan atau memilih pemecahan terbaik.
7) Penyusunan rencana penerapan
Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA (Plan of
Action atau Rencana Kegiatan).
8) Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan
masalah yang sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan
menyangkut masalah itu sendiri, apakah permasalahan sudah dapat
dipecahkan.
Keseluruhan tahapan alur pemecahan masalah diringkas dalam bagan berikut ini.
48
1. Identifikasi Masalah
5. Menentukan alternatif
pemecahan masalah
48
Dari hasil cakupan Standar Pelayanan Minimal (SPM) kegiatan Puskesmas
Kecamatan Cilandakselama 1 tahun, yaitu 2016, yang masih menjadi masalah dan
perlu diupayakan pemecahannya dengan menggunakan kerangka pemikiran
pendekatan sistem adalah sebagai berikut:
Man P1
Money P2
Method P3
Material LINGKUNGAN
Machine
Fisik, Kependudukan, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Kebijakan
48
Tabel 30. Daftar Pencapaian Program Pelayanan Puskesmas
Kecamatan Cilandak 2016
48
5.4 Penentuan prioritas masalah
Setelah masalah ditemukan, kemudian ditentukan prioritas dan diurutkan
sesuai presentasi tinggi rendahnya masalah. Penentuan prioritas masalah
menggunakan metode Hanlon Kuantitatif, dengan menggunakan kriteria :
- Kriteria A: Besarnya masalah
- Kriteria B: Kegawatan masalah
- Kriteria C: Kemudahan dalam penanggulangan
- Kriteria D: Faktor PEARL
5.4.1 Kriteria A : Besar Masalah
Menetapkan faktor yang digunakan untuk menentukan besarnya masalah.
Data yang digunakan bersifat kuantitatif. Untuk menetapkan besar masalah dapat
dilihat dari populasi dan sasaran Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam
menilai besar masalah maka hal yang perlu diperhatikan adalah penetapan range
untuk menentukan nilai besarnya masalah
A. Langkah 1
Menentukan besar masalah dengan cara menghitung selisih presentase
pencapaian hasil kegiatan dengan pencapaian 100%.
B. Langkah 2
D. Langkah 4
Menentukan skala interval dan nilai tiap interval sesuai jumlah kolom/kelas:
E. Langkah 5
Menentukan nilai tiap masalah sesuai dengan kelasnya
48
Tabel 34. Kriteria B : Penentuan kegawatan masalah
48
5.4.4 Kriteria D: Faktor PEARL
Kelompok kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan
dapat atau tidaknya suatu program dilaksanakan dengan skor nilai 1 bila jawaban
ya dan 0 jika tidak. Faktor penentu tersebut adalah:
48
5.5 Urutan Prioritas Masalah
Setelah nilai dari kriteria A, B, C, dan D didapat, hasil tersebut dimasukkan
dalam formula Nilai Prioritas Dasar (NPD) serta Nilai Prioritas Total (NPT) untuk
menentukan prioritas masalah yang dihadapi:
NPD = (A + B) x C // NPT = (A + B) x C x D
48
6. Cakupan peserta KB aktif
7. Cakupan ibu nifas
8. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani
9. Ibu hamil dengan komplikasi yang ditangani
10. Cakupan pelayanan anak dan balita
48
Tabel 36. Kemungkinan Penyebab Masalah Tidak tercapainya
Budaya Keselamatan Pasien
48
INPUT
1. Media promosi dan edukasi mengenai
cara pengelolaan keselamatan pasien
masih kurang.
MATERIAL
2. Beberapa fasilitas kesehatan tidak
1. pengurus atau petugas merangkap
memiliki perlengkapan untuk
kerjanya sebagai administrasi MAN keselamatan pasien
1. Kurangnya berbagai metode edukasi
2. kurangnya pelatihan bagi caregiver ODGJ
dalapenanggung jawab budaya METHOD 2. Tidak ada penyuluhan mengenai
Bebas Pasung WUJUDKAN
keselamatan pasien MONEY 3. Kurangnya kerja sama lintas sektor
ANGKA
BEBAS
PASUNG
LINGKUNGAN
Belum ada program inspeksi
mendadak penemuan pasung P1
1. Hambatan ekonomi keluarga
100%
2. Tingkat kepatuhan minum obat yang rendah
3. Tingkat pengetahuan keluarga yang kurang
Kurangnya ide yang terhadap ODGJ
P2 4. Masih ada stigma pada masyarakat mengenai
inovatif dalam edukasi ODGJ
P3
48
5.7 Konfirmasi Kemungkinan Penyebab Masalah
Setelah dilakukan konfirmasi kepada pihak puskesmas (koordinator program
kesehatan lingkungan) mengenai program bebas pasung yang belum mencapai
target, dari kemungkinan penyebab masalah di atas maka didapatkan penyebab
masalah yang paling mungkin yaitu
1) Tingkat pengetahuan keluarga terhadap ODGJ yang masih kurang
2) Masih adanya stigma pada masyarakat mengenai ODGJ
3) Hambatan ekonomi keluarga
4) Tingkat kepatuhan minum obat yang masih rendah
48
5.9 Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah Dengan Kriteria Matriks
Setelah menemukan alternatif pemecahan masalah, maka selanjutnya
dilakukan penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah. Penentuan prioritas
alternatif pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria
matriks dengan rumus (M x I x V)/ C.
Masing-masing cara penyelesaian masalah diberi nilai berdasar kriteria:
Magnitude Besarnya penyebab masalah yang dapat diselesaikan
Dengan nilai 1-5 dimana semakin mudah masalah yang
dapat diselesaikan maka nilainya mendekati angka 5.
Importancy Pentingnya cara penyelesaian masalah
Dengan nilai 1-5 dimana semakin pentingnya masalah
untuk diselesaikan maka nilainya mendekati angka 5.
Vulnerability Sensitifitas cara penyelesaian masalah
Dengan nilai 1-5 dimana semakin sensitifnya cara
penyelesaian masalah maka nilainya mendekati angka 5.
Cost Biaya (sumber daya) yang digunakan
Dengan nilai 1-5, di mana semakin kecil biaya yang
dikeluarkan nilainya mendekati angka 1.
48
Setelah penentuan prioritas alternatif penyebab pemecahan masalah dengan
menggunakan kriteria matrix maka didapatkan urutan prioritas alternatif
pemecahan penyebab masalah tidak tercapainya angka bebas pasung adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan pengetahuan keluarga pasien ODGJ dengan penyuluhan saat
home visit
2. Merencanakan metode follow-up pasien secara on-call(untuk pasien yang
susah dijangkau tempatnya)
3. Membuat komunitas peduli ODGJ
4. Pemberdayaan ODGJ agar bisa kembali bekerja
48
5.10 Penyusunan Plan of Action (PoA)
Tabel 42. Plan of Action (PoA)
No Tujuan Indikator Cara Kegiatan Rincian Kebutuhan Sasaran Penanggung Mitra Waktu Lokasi
Kerja Perhitungan Kegiatan Anggaran& Jawab& Kerja Pelaksana Pelaksana
sumber kebutuhan
pembiayaan sumber daya
1 Meningkatkan Nilai Menghitung Penyuluhan Mengadakan Biaya Sasaran: Kepala - Mei 2017 Puskesmas
pengetahuan kuesioner nilai dari penyuluhan fotokopi semua Puskesmas, Kecamatan
masyarakat post jawaban serta pre kuesioner orang di Kepala program, Cilandak
mengenai penyuluhan yang benar dan post test dan brosur Puskesmas dokter muda
bebas pasung meningkat pada mengenai Kecamatan
dibandingkan kuesioner Bebas Cilandak
kuesioner pre pre dan post Pasung,
penyuluhan penyuluhan pemberian
brosur
2 Meningkatkan Angka Bebas Tidak Homevisit Menilai Biaya Sasaran: Kepala KPLDH Mei 2017 Rumah
pengetahuan Pasung ditemukan keadaan transportasi keluarga Puskesmas, pasien
keluarga tercapai pasien pasien dan pasien Kepala program,
pasien ODGJ yang memberikan ODGJ dokter muda
mengenai dipasung konseling
bebas pasung kepada
dan mencegah keluarga
terjadinya pasien
pemasungan
ulang di
kemudian hari
48
BAB 6
HASIL DAN ANALISIS
48
6.2 Hasil dan analisa data kualitatif: kasus pasung di Kecamatan Cilandak
Hasil wawancara terhadap pasien yang ditemukan masih dipasungdilakukan
dengan metode wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi lapangan.
Wawancara mendalam dilakukan sama halnya seperti melakukan anamnesis
psikiatri, dengan tujuan menggali informasi meliputi identitas pasien, riwayat
penyakit pasien (termasuk riwayat pengobatan), riwayat penyakit medis, riwayat
penggunaan narkoba, riwayat penyakit keluarga, riwayat tindakan pemasungan,
serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga dalam menangani pasien.
Wawancara dilakukan terhadap keluarga pasien (alloanamnesis) dengan suasana
semi terstruktur (guide interview). Observasi lapangan dilakukan dengan
mengamati keadaan sosial-ekonomi keluarga dan menilai kondisi pasien saat ini.
Hasil penelitian kualitatif pada ODGJ yang dipasung ini akan disusun dalam
laporan kasus.
I. Identitas pasien
Nama : DS
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 47 tahun
Alamat pasien : Kelurahan Lebak Bulus RT 03 RW 02
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan terakhir : SD Kelas 2
Status perkawinan : Belum Kawin
Diagnosis terakhir : Skizofrenia
No. telp. yang bisa dihubungi : Yeni (085779506307)
Status BPJS : Ada
II. Riwayat penyakit pasien
Telah dilakukan kunjungan rumah (home visit) pada hari Selasa, 16 Mei
2017 ke rumah Tn. DS pada jam 09.30. Pewawancara melakukan
48
wawancara mendalam terhadap ayah pasien, bernama Tn. I, usia 85 tahun.
Pasien dan ayah pasien tinggal serumah.
Pasien mulai menunjukkan gejala sejak usia 7 tahun. Berdasarkan cerita
ayahnya, pasien sering berbicara sendiri dan seringkali tidak ada yang
nyambung, sering mendadak mengamuk. Pasien juga sering keluyuran
keluar rumah dan jika diganggu anak kecil suka marah dan bisa mencelakai
anak kecil. Pasien sering merusak alat rumah tangga. Pasien memiliki
riwayat di rawat inap di RS Jiwa Grogol dan RS Jiwa Duren Sawit, tetapi
tidak pernah ada perbaikan. Karena pasien tidak ada perbaikan dan
merepotkan orang-orang rumah dan tetangga, pasien di kurung di dalam
pagar besi oleh ayahnya. Pasien sudah dikurung selama kurang lebih 3
tahun.Saat ini pasien mengonsumsi obat haloperidol (Haldol) 1 x 5 mg,
klorpromazine (CPZ) 1 x 100 mg, dan trihexyphenidil (THP) 3 x 2 mg.
Ayah pasien rutin meminta obat ke Puskesmas Kelurahan Lebak Bulus saat
obat habis. Kondisi terakhir dikatakan bahwa pasien tidak mengeluhkan ada
mendengar suara-suara yang mengganggu dirinya, kadang ditemukan sering
bicara sendiri menurut pengakuan ayahnya, pasien tidak pernah melakukan
perilaku tidak bertujuan seperti mengumpulkan sampah di kamar atau
telanjang ke luar rumah. Pasien kadang suka dijumpai bernyanyi-nyanyi
sendiri.
Sebelumnya pasien pernah memiliki riwayat penyakit kejang-kejang
sewaktu kecil, dan terkadang masih berlangsung hingga saat ini. Menurut
pemaparan ayah pasien, sejak sering kejang itulah pasien mulai sakit jiwa.
Ayah pasien menceritakan mengenai riwayat penyakit pasien dan riwayat
pengobatan hingga saat ini sebagai berikut.
..Sejak usia 7 tahun sering kejang, terus jadi biru.. makanya dia hapal
kalau ditanya dulu sakit apa: ngejawabnya sakit biru.. kejang terus, lama-
lama yaudah... galak sama anak-anak.. nggak boleh salah sedikit, dia
(pasien) menang terus.. semua orang dia timpukin..
..Ya berobat mah masih terus aja dok.. Sampai saat ini sih obat masih
diminta dari ibu-ibu puskesmas jiwanya siapa gitu lupa, kepala puskesmas..
yah itu, datang kemari. Biasa ambil obat di puskesmas Lebak Bulus..
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti stroke, tumor otak, demensia,
penyakit menular seksual, HIV/AIDS, ataupun tuberkulosis sebelumnya.
Pasien tidak pernah memiliki riwayat menggunakan NAPZA (Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif) seperti alkohol, opioid, ganja, obat penenang,
ekstasi, ataupun tembakau (merokok).
Ayah pasien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga (dekat ataupun
jauh) yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
III. Riwayat tindakan pemasungan
Pasien saat ini sedang dalam pemasungan. Pemasungan dilakukan atas dasar
inisiatif keluarga pasien (dalam hal ini ayah pasien) yang sudah berlangsung
3 tahun lamanya. Pasung terbentuk dari jeruji besi yang dibentuk seperti
penjara, dengan ukuran sekitar 2 meter x 3 meter. Di dalam tempat pasung
pasien terdapat ruang tengah, tempat tidur, dan toilet yang menyatu menjadi
satu (tidak terpisah oleh sekat). Pasien sehari-hari dipasung dalam kurungan
tersebut dan tidak pernah dilepas oleh ayah pasien. Kegiatan sehari-hari
meliputi makan, tidur, ganti pakaian, dan bahkan mandi, buang air besar dan
buang air kecil dilakukan di tempat yang sama (di dalam tempat pasung
tersedia jamban, pasien masih buang air kecil atau buang air besar di dalam
jamban).
48
Ayah pasien dalam hal ini adalah seorang caregiver, mengakui banyak
kesulitan dalam merawat pasien saat ini. Kesulitan-kesulitan tersebut
terutama berkaitan dengan gejala-gejala kejiwaan pada pasien yang sulit
dikontrol dan sering kali membahayakan lingkungan sekitar (bahkan pada
caregiver nya sendiri). Ayah pasien menceritakan bahwa perilaku pasien
seringkali meresahkan warga sekitar seperti melempar-lempar batu ke rumah
tetangga dan berperilaku kasar terhadap anak kecil (terutama jika anak
tersebut mengganggu atau meledek pasien). Ayah pasien juga menjelaskan
bahwa dirinya pun pernah menjadi korban perilaku pasien. Pasien menggigit
telinga kiri ayah pasien sampai ada bagian yang terputus (saat dilakukan
observasi, daun telinga kiri pasien memiliki bentuk tidak utuh). Usia ayah
pasien (caregiver) yang saat ini sudah mencapai 85 tahun seringkali menjadi
kendala dalam mengurus pasien karena kondisi fisik caregiver yang sudah
tidak sebugar dulu. Ayah pasien menceritakan :
. Dikurung mah udah 3 tahun ada kali dok.. Pernah dilepas, biasanya
pas ada acara syukuran kadang saya ajak jalan
.Saya udah nggak kuat ngelawan dia. Dulu mah saya ngelawan bisa,
sekarang mah yah, saya sudah tua. Nggak bisa melawan anak dengan
gagahnya..
..Saya juga nggak tega sama anak dok.. Anak jelek atau bagus ya
48
anak kita. Habis berhubung kita dikagetin mulu. Sekarang ada di sono, ada
di sini, suka nimpukin rumah orang, ya itu dok jadinya saya sengaja bikin
(pasung) besi tua.. Baru-baru (awal dipasung) masukinnnya susah dok,
sampai kita panggil kawan-kawan, kita panggil saudara buat masukin
dia.
. Sudah sejak usia 7 tahun kayak begitu dok.. Emang rencananya kalau
ada tempat titipan mah, mau titipin aja gitu.. gimana sekarang mah.. dulu
udah pernah di tempat apa namanya gitu namanya, di Jakarta Barat..
Tempat titipan kayak begini., tapi yahh nggak beres juga.. .
.Biarin saya aja yang deketin, yang lain jangan deketin, Masyaallah.
Penyakitnya ngobatinnya susah, Masyallah.
.Saya seneng banget kalau dia dirawat di RS Duren Sawit. Kalau bisa
ya jangan sebulan (atau) dua bulan dipulangin, kalau bisa seterusnya.
48
wawancara terhadap pasien. Berdasarkan observasi, diperoleh seorang laki-
laki dengan nama Tn. D, usia 47 tahun, tampak sesuai dengan usia,
penampilan cukup terawat, mengenakan kaos oblong dan celana panjang
ukuran selutut. Pasien sedang berada di dalam kerangkeng besi. Saat
dilakukan wawancara, pasien tampak kooperatif dan tak menunjukan sikap
agresif. Suasana hati pasien secara umum hipertim (pasien menjelaskan
bahwa dirinya senang dan tidak ada perasaan sedih ataupun kesal), dengan
ekspresi afektif yang terlihat: pengendalian cukup, echt, terlihat menumpul.
Pasien menyangkal mendengar suara-suara yang membisiki di telinga pasien
(halusinasi auditorik saat pemeriksaan tidak ditemukan). Arus pikir pasien
cepat dengan produktivitas kata yang cukup banyak, namun tidak ditemukan
hubungan antar kata dan antar kalimat yang bermakna (ditemukan adanya
flight of ideas dan asosiasi longgar). Pasien tidak bisa memberikan jawaban
sesuai dengan pertanyaan, terkadang dijumpai jawaban bertele-tele
(sirkumstansial), terkadang dijumpai jawaban yang yang tidak menjawab
pertanyaan (tangensial). Proses berpikir patologis seperti waham sulit dinilai
saat ini, karena atensi pasien mudah teralih. Tidak ditemukan adanya
preokupasi. Pasien tidak memahami bahwa dirinya sakit (tilikan buruk).
48
BAB 7
HASIL INTERVENSI PROGRAM
7.2.2 Penyuluhan
Penyuluhan juga dilakukan pada tanggal 29 Mei dan 30 Mei 2017 di
Puskesmas Kecamatan Cilandak setelah pembagian leaflet. Penyuluhan berisi
tentang definisi pasung, dasar hukum pemasungan terhadap ODGJ, sebab-sebab
masih ada tindakan pemasungan, dan upaya masyarakat dalam menciptakan angka
bebas pasung.
48
BAB 8
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Program bebas pasung saat ini masih belum dimasukkan dalam SPM
Puskesmas Kecamatan Cilandak, namun mewujudkan bebas pasung merupakan
hal yang sangat penting untuk mencapai Indonesia Bebas Pasung tahun 2019.
Banyak hal yang menjadi tantangan terhadap belum tercapainya angka bebas
pasung di Indonesia. Pada evaluasi program ini, masih ditemukan 1 kasus
pemasungan terhadap pasien ODGJ berat (skizofrenia). Masalah-masalah yang
ada meliputi : kurangnya pemahaman terhadap efek dari pemasungan terhadap
ODGJ, kurangnya pemahaman mengenai pasung itu sendiri, kurangnya caregiver
yang mampu (secara fisik ataupun mental), serta masih kurangnya juga media
promosi kesehatan yang mengangkat topik mengenai pentingnya mewujudkan
bebas pasung. Selain itu terdapat juga beberapa masalah dari puskemas misalnya
data KPLDH tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk tindakan follow up pasien
serta tenaga KPLDH yang jumlahnya kurang dan kurangnya kompetensi dalam
48
menangani kasus ODGJTelah dilakukan juga intervensi terhadap komunitas, yaitu
dengan kunjungan rumah terhadap kasus pasung pada pasien ODGJ dan
melakukan promosi kesehatan dengan topik mewujudkan bebas pasung, meliputi
membagikan leaflet, memberikan penyuluhan, dan menyebarkan kuesioner.
8.2 Saran
Mewujudkan angka bebas pasung bukanlah perkara semudah membalikkan
telapak tangan, karena sangat banyak faktor yang menyebabkan belum
tercapainya angka bebas pasung, salah satunya di Kecamatan Cilandak. Seperti
fenomena gunung es, barangkali kasus pasung yang kita ketahui saat ini masih
jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kasus yang ditemukan di lapangan.
Setelah intervensi komunitas yang telah kami lakukan, adapun beberapa saran
yang ingin kami sampaikan demi terwujudnya angka bebas pasung di kecamatan
Cilandak, antara lain:
1. Agar mensosialisasikan pentingnya program bebas pasung kepada
masyarakat melalui penyuluhan
2. Agar meningkatkan home visit terhadap pasien ODGJ (terutama untuk yang
ditemukan kasus pasung)
3. Pelatihan dan peningkatan jumlah tenaga medis untuk penanganan ODGJ
4. Menyarankan puskesmas untuk melengkapi data pasien ODGJ yang meliputi
data sosiodemografi, nomor telepon, dan alamat yang berguna untuk follow
up pasien.
5. Agar mengajak keluarga pasien ODGJ memahami pentingnya menciptakan
hubungan pasien dan keluarga yang harmonis dalam membantu proses
penyembuhan sekaligus mencegah kekambuhan dan mencegah risiko
pemasungan
48
DAFTAR PUSTAKA
48
9. Switaj P, Anczewska M, Chrostek A, Sabariego C, Cieza A, Bickenbach J, et
al. Disability and Schizophrenia: A Systematic Review of Experienced
Psychosocial Difficulties. BMC Psychiatry 2012;12:193-4
10. Awad AG, Voruganti LNP. Measuring Quality of Life in Patients with
Schizophrenia. Pharmacoeconomics 2012;30:183-95.
11. Awad AG, Voruganti LNP. The Burden of Schizophrenia on Caregivers: A
Review. Pharmacoeconomics 2008;26:149-69.
12. Jobe TH, Harrow M. Long-Term Outcome of Patients With Schizophrenia: A
Review. Can J Psychiatry 2005;50:892-900.
13. Saha S, Chant D, Welham J, McGrath J. A Systematic Review of the
Prevalence of Schizophrenia. PLoS Med 2005;2:e141-2.
14. Pickard B. Progress in Defining the Biological Causes of Schizophrenia.
Cambridge University Press 2011;13;25-6.
15. Tandon R, Nasrallah HA, Keshavan MS. Schizophrenia, just the facts 4.
Clinical Features and Conceptualization. Schizophr Res 2009;110:123.
16. Lazar NL, Neufeld RWJ, Cain DP. Contribution of Nonprimate Aanimal
Models in Understanding the Etiology of Schizophrenia. J Psychiatry
Neurosci 2011;36:E5-29.
17. Walker E, Kestler L, Bollini A, Hochman KM. Schizophrenia: Etiology and
Course. Annu Rev Psychol 2004;55:401-30.
18. Dewi R, Marchira CR. Riwayat Gangguan Jiwa pada Keluarga dengan
Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Berita
Kedokteran Masyarakat 2009;25:176-9.
19. Lupini F. Riwayat Gangguan yang Sama dalam Keluarga pada Pasien
Skizofrenik Suku Batak di Badan Layanan Umum Daerah RS Jiwa Provinsi
Sumatera Utara (disertasi). Medan: USU Repository;2009.
20. Eranti SV, MacCabe JH, Bundy H, Murray RM. Gender Dierence in Age at
Onset of Schizophrenia: A Meta-analysis. Psychol Med 2013;43:155-67.
48
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data pasien skizofrenia Puskesmas Kecamatan Cilandak s/d April 2017
48
24 H Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 KPLDH Tidak dipasung
25 M Laki-laki Gandaria Selatan 40-49 KPLDH Tidak dipasung
26 U Laki-laki Gandaria Selatan 50-59 KPLDH Tidak dipasung
27 AR Laki-laki Gandaria Selatan 60-69 KPLDH Tidak dipasung
28 MN Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 KPLDH Tidak dipasung
29 MS Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 KPLDH Tidak dipasung
30 A Laki-laki Gandaria Selatan 30-39 KPLDH Tidak dipasung
31 M Perempuan Gandaria Selatan 60-69 KPLDH Tidak dipasung
32 J Perempuan Gandaria Selatan 20-29 KPLDH Tidak dipasung
33 D Perempuan Gandaria Selatan 30-39 KPLDH Tidak dipasung
34 W Laki-laki Gandaria Selatan 30-39 KPLDH Tidak dipasung
35 IK Laki-laki Gandaria Selatan 50-59 KPLDH Tidak dipasung
36 Z Laki-laki Gandaria Selatan 60-69 KPLDH Tidak dipasung
37 I Laki-laki Pondok Labu 30-39 KPLDH Tidak dipasung
38 G Laki-laki Pondok Labu 20-29 KPLDH Tidak dipasung
39 O Laki-laki Pondok Labu 30-39 KPLDH Tidak dipasung
40 A Perempuan Pondok Labu 50-59 KPLDH Tidak dipasung
41 SN Perempuan Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
42 PH Laki-laki Gandaria Selatan 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
43 U Perempuan Gandaria Selatan 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
44 S Laki-laki Pondok Labu 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
45 N Laki-laki Gandaria Selatan 80-89 Pasien puskesmas Tidak dipasung
46 L Perempuan Pondok Labu 60-69 Pasien puskesmas Tidak dipasung
47 YP Laki-laki Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
48 AA Laki-laki Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
49 SI Laki-laki Pondok Labu 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
50 SH Laki-laki Lebak Bulus 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
51 ZL Laki-laki Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
52 HW Laki-laki Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
53 K Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
54 S Laki-laki Lebak Bulus 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
55 M Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
56 W Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
57 S Perempuan Pondok Labu 10-19 Pasien puskesmas Tidak dipasung
58 R Perempuan Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
59 DR Laki-laki Pondok Labu 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
60 N Perempuan Lebak Bulus 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
61 YB Laki-laki Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
62 Z Laki-laki Pondok Labu 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
63 MD Laki-laki Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
64 MT Laki-laki Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
65 M Laki-laki Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
66 DS Laki-laki Lebak Bulus 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
67 J Laki-laki Cilandak Barat 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
68 M Perempuan Lebak Bulus 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
69 T Perempuan Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
70 MG Laki-laki Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
71 HK Laki-laki Lebak Bulus 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
72 ZT Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
73 VR Perempuan Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
74 TH Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
75 C Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
76 E Perempuan Cilandak Barat 10-19 Pasien puskesmas Tidak dipasung
77 M Laki-laki Cilandak Barat 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
78 S Laki-laki Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
79 SR Laki-laki Lebak Bulus 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
80 J Laki-laki Lebak Bulus 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
81 WKA Laki-laki Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
82 GA Laki-laki Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
83 M Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
84 N Laki-laki Gandaria Selatan 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
85 FR Laki-laki Gandaria Selatan 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
86 SM Laki-laki Gandaria Selatan 10-19 Pasien puskesmas Tidak dipasung
87 T Perempuan Gandaria Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
88 SW Perempuan Gandaria Selatan 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
89 S Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
90 R Perempuan Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
48
91 RI Laki-laki Cilandak Barat 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
92 MES Perempuan Cilandak Barat 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
93 R Laki-laki Lebak Bulus 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
94 NA Laki-laki Gandaria Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
95 IG Perempuan Lebak Bulus 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
96 IS Laki-laki Lebak Bulus 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
97 N Perempuan Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
98 DP Laki-laki Pondok Labu 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
99 R Laki-laki Cipete Selatan 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
100 TP Perempuan Gandaria Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
101 CC Laki-laki Pondok Labu 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
102 RM Laki-laki Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
103 P Perempuan Cilandak Barat 10-19 Pasien puskesmas Tidak dipasung
104 HA Laki-laki Pondok Labu 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
105 N Perempuan Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
106 W Perempuan Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
107 D Perempuan Cilandak Barat 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
108 RH Laki-laki Lebak Bulus 10-19 Pasien puskesmas Tidak dipasung
109 NK Laki-laki Cipete Selatan 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
110 AY Laki-laki Cipete Selatan 50-59 Pasien puskesmas Tidak dipasung
111 TZ Laki-laki Cipete Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
112 MF Laki-laki Cipete Selatan 20-29 Pasien puskesmas Tidak dipasung
113 PG Laki-laki Cilandak Barat 30-39 Pasien puskesmas Tidak dipasung
114 DNP Laki-laki Cilandak Barat 40-49 Pasien puskesmas Tidak dipasung
Frequencies
Notes
48
FREQUENCIES
VARIABLES=Jenis_kelamin
Alamat_Kelurahan
Kelompok_Usia
Syntax Penemuan_Pasien
Penemuan_Pasung
/BARCHART FREQ
/FORMAT=DFREQ
/ORDER=ANALYSIS.
Processor Time 00:00:10.77
Resources
Elapsed Time 00:00:10.70
Statistics
Frequency Table
Kelompok Usia
Jenis kelamin
48
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Laki-laki 82 71.9 71.9 71.9
Valid Perempuan 32 28.1 28.1 100.0
Total 114 100.0 100.0
Alamat kelurahan
Penemuan pasien
Penemuan Pasung
Bar Chart
48
48
48
48
Lampiran 3. Lembar Home Visit
INFORMED CONSENT
Menyetujui, Peneliti,
Responden
48
(.................................) ()
STATUS PASIEN KUNJUNGAN RUMAH (HOME VISIT)
1. Identitas pasien
Nama :
Jenis kelamin :
Usia :
Alamat pasien :
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir :
Status perkawinan :
Status dalam keluarga :
Diagnosis terakhir :
No. telp. yang bisa dihubungi :
Status BPJS :
48
keterangan dan dilengkapi dengan alasan Ragu-ragu,
dari opsi yang dipilih) karena
Tidak setuju,
karena
6. Kesimpulan
1) Stresor psikososial : ............................................................................................................................
2) Respons keluarga terhadap petugas kunjungan rumah : ......................................................................
3) Motivasi keluarga membawa berobat : ................................................................................................
4) Harapan keluarga terhadap pasien: .....................................................................................................
48
48
DOKUMENTASI
48
48
Dokumentasi 2. Promosi kesehatan : Mewujudkan bebas pasung
48
48