Vous êtes sur la page 1sur 25

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Ismayani Putri
Usia : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
No RM : 288373
Tanggal masuk : 09 Agustus 2017, pukul 11:58 WITA
Tanggal keluar : 24 Agustus 2017

II. RIWAWAT KESEHATAN


Autoanamnesis
1. Keluhan utama : Kejang
2. Keluhan tambahan : Sakit Kepala , Demam , Lemas separuh badan kanan
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang rujukan dari puskesmas bunyu, dengan keluhan kejang
sebanyak 1 kali 1 hari SMRS. Kejang selama 2 menit. Kejang seluruh tubuh seperti
kelojotan. Setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. 3 hari SMRS pasien di rawat di
puskesmas bunyu karena demam 2 hari dan anggota gerak sebelah kiri lemas. Setelah
2 hari dirawat pasien mengalami kejang dan di rujuk. Pasien juga mengeluh sakit
kepala dan demam. Mual muntah disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
4. Riwayat penyakit keluarga : Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan
yang sama dengan pasien.
5. Riwayat penyakit dahulu : Sakit kepala berulang (+) sejak 3 minggu sebelumnya
Riwayat sakit gigi (+)
6. Riwayat Kebiasaan : Pasien suka mengkonsumsi makanan manis

1
III. PEMERIKSAAN FISIK
Diperiksa tanggal 07 Februari 2017 pukul 07:30 WITA

Status Generalis :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4 V5 M6

Tekanan Darah : 129/99 mmHg

Frekuensi Nadi : 78 x/menit

Frekuensi Pernapasan : 22 x/ menit

Suhu : 37.6 oC

Pemeriksaan Umum :

Gizi : Baik

Stigmata : Tidak ada

Warna Kulit : sawo matang

Kelenjar Getah Bening : tidak teraba membesar

Pembuluh Darah : bruit arteri Carotis -, kanan=kiri

Pemeriksaan Regional :

Kepala : tidak ada kelainan

Kalvarium : tidak ada kelainan

Mata : tidak ada kelainan

Hidung : tidak ada kelainan

Mulut : tidak ada kelainan

Telinga : lapang/lapang, sekret -/-, serumen-/-

Oksiput : tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

2
Toraks : pergerakan dinding dada simetris kanan=kiri

Jantung : bunyi jantung I dan II normal murmur gallop -

Paru-paru : Vokal fremitus kanan=kiri, sonor kanan=kiri, BND vesikuler ronki -/-
wheezing-/-

Abdomen : perut rata, supel, timpani, asites -, BU + 4 x /menit

Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ekstremitas : lemas separuh badan kanan

Pemeriksaan Neurologi :

Rangsang Meningeal :

Kaku kuduk (-)


Brudzinski I (-)
Brudzinski II ( -/- )
Kernig ( -/-)
Laseque > 70o / > 70o

Nervus kranialis :

N. I : Normosmia / normosmia
N. II :
Visus secara kasar : baik
Lihat warna : baik
Lapangan pandang : sama dengan pemeriksa
Funduskopi : tidak dilakukan
N. III, IV, VI :
Sikap bola mata : simetris
Pergerakan bola mata : ke segala arah
Ptosis : ( -/- )
Enoftalmus : ( -/- )
Eksoftalmus : ( -/- )
Strabismus : ( -/- )
Deviatio konjugee : ( -/- )
Diplopia : ( -/- )
Pupil : di tengah, bulat 3 mm/3mm, isokor, RCL+/+, RCTL +/+
Refleks akomodasi +/+,
N. V :
Buka-tutup mulut : baik
Gerakan rahang : baik

3
Rasa raba : kanan = kiri
Rasa nyeri : kanan = kiri
Rasa suhu : kanan = kiri
Refleks kornea +/+
Refleks maseter ( - )
N. VII :
Sikap wajah saat istirahat : simetris
Mimik : wajar
angkat alis : baik
Kerut dahi : baik
Menyeringai : simetris kanan kiri
Kembung pipi : baik
Lagoftalmus : -/-
Rasa kecap 2/3 anterior lidah : baik
N. VIII :
nistagmus
vertigo
Tes gesek jari +/+
Tes bisik +/+
Tes rinne +/+
Tes weber : tidak ada lateralisasi
Tes swabach : sama dengan pemeriksa
N. IX, X :
Uvula : di tengah
Arkus faring : simetris
Palatum molle : intak
Disfoni :
Disfagi :
Disartria : -
Refleks faring: +
Refleks muntah : +
Refleks okulokardiak : +
Refleks sinus karotikus : +
N. XI :
Angkat bahu : baik kanan=kiri
Menoleh : kanan-kiri baik
N. XII :
Posisi lidah dalam mulut : ditengah
Julur lidah : ditengah
Atrofi
Fasikulasi
Tremor
Tenaga otot lidah : baik, kanan=kiri

4
Motorik :

Derajat Kekuatan Otot :


5555 4444
5555 4444
Tonus Otot : Normotonus
Trofi Otot : Eutrofi
Gerakan Spontan Abnormal : Tidak ada

Koordinasi :

Statis :
o Duduk : baik
o Berdiri : tidak dapat dilakukan
o Berjalan : tidak dapat dilakukan
Dinamis : Tes telunjuk-telunjuk : baik

Tes telunjuk hidung : baik

Tes tumit lutut : baik

Tes Romberg : tidak dapat dilakukan

Refleks:

Refleks Tendo :

Biseps ++/++
Triseps ++/++
KPR ++/++
APR ++/++

Refleks Patologis :

Babinski -/+
Chaddock -/-
Gordon -/-
Oppenheim -/-
Schaeffer -/-
Hoffman Trommer -/-
Klonus lutut -/-
Klonus Kaki -/-

Sensibilitas :

5
Eksteroseptif :

Rasa Raba kanan=kiri


Rasa Nyeri kanan=kiri
Rasa suhu kanan=kiri

Propioseptif :

Rasa Gerak : baik


Rasa Sikap : baik
Rasa getar : baik

Fungsi otonom

Miksi : baik
Defekasi : baik

Fungsi luhur

Bahasa : baik
Memori : baik
Kognitif : baik
Afek dan emosi : serasi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap (Tanggal 09/08/2017)
WBC : 24.6 x 103 /L MXD% : 4.6 %
RBC : 4.70 x 106/L NEUT% : 83.4 %
HGB : 12.4 g/dL RDW : 12.5 %
HCT : 37.7 % PDW : 10.6 fL
MCV : 80.2 fL MPV : 8.5 fL
MCH : 26.4 pg P-LCR : 14.8 %
MCHC : 32,9 g/dL GDS : 85
PLT : 669 x 103 /L
LYM% : 12.0%
Kalium : 3.45 Natrium 138.7
Klorida 101.3
V. DIAGNOSIS
- General Tonik Klonik Seizure
VI. TATALAKSANA IGD
6
1. IVFD : NaCl 0.9 % 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
3. Inj. Mecobalamin 1 amp / 12 jam
4. Fenitoin 100 mg 2x1 tab PO
5. Paracetamol 3x500 mg PO

VII. RIWAYAT PERKEMBANGAN PASIEN


(Terlampir)

PEMBAHASAN
INFARK MIOKARD AKUT

1. Pendahuluan

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung,
dikatakan mengalami infark.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

2. Definisi
Konsensus internasional mendefenisikan keadaan infark miokard akut digunakan
apabila terdapat bukti nekrosis otot jantung dengan tampilan klinis yang konsisten dengan
keadaan iskemik miokard. WHO memberikan panduan penegakkan diagnosis infark
miokard jika terdapat kombinasi 2 dari 3 keadaan berikut :

7
a. Gejala khas infark (nyeri dan rasa tidak nyaman yang tipikal pada dada)
b. Pola EKG yang tipikal
c. Peningkatan serum enzim biomarker jantung
Dikatakan STEMI (ST Elevasi Miokard Infark) jika pada pasien dapat ditegakkan infark
dengan pola ST Elevasi pada EKG.

3. Patofisiologi
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi cedera vaskular,
di mana cedera ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respons terhadap trombolitik.

Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria
yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan
fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh
darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan
membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka
penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan
pembuluh untuk melebar. Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen menjadi tidak seimbang sehingga membahayakan miokardium.
Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan lesi
komplikata:
1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis, dicirikan dengan
penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi lemak pada daerah fokal tunika
intima. Makrofag tersebut akan memfagosit lemak dan berubah menjadi foam cell.

8
Sebagian endapan lemak berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak
fibrosa.
2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan tunika intima
yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling khas aterosklerosis.
Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah dengan permukaan opak dan mengilat yang
menyembul ke arah lumen sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri
atas inti pusat lipid dan debris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan
fibromuskular mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen. Sejalan dengan
semakin matangnya lesi, terjadi pembatasan aliran darah koroner dari ekspansi
luminal, remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah itu terjadi perbaikan
plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan timbulnya fenomena yang
disebut "ruptur plak" dan akhirnya trombosis vena.
3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan mengalami
gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis, atau ulserasi dan
dapat menyebabkan infark miokardium.

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak.


Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan
aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi
berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit.
Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri
berbahaya.
Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan pembuluh darah

untuk berespons juga berkurang, manifestasi klinis penyakit belum tampak sampai proses

aterogenik mencapai tingkat lanjut. Lesi bermakna secara klinis yang mengakibatkan iskemia dan

disfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah.

9
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard
menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal
miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih
berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri
koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+
dan ambilan Na+ oleh monosit.Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit).Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).Perkembangan perlahan dari
stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri
koroner tersumbat cepat.
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan.Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.

4. Faktor Resiko
Dapat dimodifikasi
d. Merokok
e. Hipertensi
f. Diabetes mellitus
g. Dislipidemia

10
h. Faktor resiko gaya hidup (Obesitas, Inaktivitas fisik dan diet aterogenik)

Tidak dapat dimodifikasi

a. Umur (Laki-laki>45 tahun ; Perempuan >55 tahun )


b. Riwayat keluarga terkena penyakit jantung koroner pada usia dini (Laki-laki<55
tahun , Perempuan < 65 tahun).

5. Gejala Klinis

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang
terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering
didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada
IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi
biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil
pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia
lanjut.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogarfi (EKG)

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan


nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan ke Instalasi Gawat Darurat. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG
sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

11
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard
gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.
Jika obstruksi trombus tidak total dan bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya
mengalami angina pektoris tak stabil atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa
elevasi segmen ST tidak menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
Sebelumnya, istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan
gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika
EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural/ transmural) sehingga terminologi Infark Miokard Akut gelombang Q
dan non Q menggantikan Infark Miokard Akut mural/ nontransmural.

Gambaran spesifik pada rekaman EKG

Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead V7-V9

Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan


resiprokal (depresi ST) V2 , V3, I, aVL

Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 V6, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF

Posterior Elevasi segmen ST V7,V8,V9, perubahan resiprokal


(depresi ST) pada V1,V2, V3

Ventrikel kanan Elevasi segmen ST V3R-V4R, perubahan resiprokal


(depresi ST) pada lead I, aVL

Septum Elevasi segmen ST pada lead V1,V2, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead V7, V8, V9

12
b. Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)MB dan cardiac


specific troponin cTn T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB, pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas dua kali nilai
batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5- 14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- 10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:


Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4- 8 jam.
Creatinine kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
Lactate dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

13
c. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat
luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.

d. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan
menggunakan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama
serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.

7. Diagnosis

WHO memberikan panduan penegakkan diagnosis Infark Miokard jika terdapat


kombinasi 2 dari 3 keadaan berikut :
a. Gejala khas infark (Nyeri dan rasa tidak nyaman yang tipikal pada dada)
b. Pola EKG yang tipikal : gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas
c. Peningkatan serum enzim biomarker jantung.

8. Penatalaksaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri
dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi
antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline)
dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008,
tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan
ahli yang ada.

Pengontrolan nyeri dan rasa tidak nyaman

Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama
6 jam pertama.
Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.

14
o Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
o Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal
dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
o Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
> 60 kali permenit, tekanan darah sistolik

Stabilisasi keadaan hemodinamik


Istirahat
Kontrol tekanan darah dan denyut jantung
Stool softener

Terapi reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat


disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap
luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan
trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan
angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih
PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus

15
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.

Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih
baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada
pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur
dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah
sakit.

Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),

16
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110
mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar
(<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau
reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.

Obat Fibrinolitik

17
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang
murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open
Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit
lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding
SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah
karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas
fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3
flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.

Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang manfaatnya
sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan.

Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan
STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular
Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker.

1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23%
dan infark non fatal sebesar 49%.

18
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil
penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan
pada kelompok abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu
trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.

2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang
menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang
mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan
kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal,
dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun
tertinggi (18%).

3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat
yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka
panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta

19
intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian
aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat
menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).

4) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian
SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko
tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi
ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti
klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif.2

9. Komplikasi
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan
yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
20
3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4) Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.

5) Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf


autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard.

6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI
dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas
ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama. 2

8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.

11. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA :

21
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal 6
jantung
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut


Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

12. Faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan fibrinolitik.


a. Jenis jenis agen fibrinolitik
Keberhasilan terapi fibrinolitik pada pasien dengan ST elavasi myocard infark,
tergantung dari jenis agen fibrinolitk yang digunakan. Berikut jenis agen fibrinolitik
dan keunggulannya masing-masing.

22
b. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus memiliki peranan yang cukup penting dalam keberhasilan
terapi fibrinolitik. Pada pasien dengan diabetes mellitus terjadi peningkatan
Plasminogen Activator Inhibitor 1 (PAI-1). PAI-1 akan mengurangi tingkat
keberhasilan fibrinolitik karena PAI-1 akan mengurangi potensi daripada agen
fibrinolitik. Agene fibrinolitik yang memiliki resistensi paling tinggi terhadap PAI-
1 adalah tenecteplase.

c.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
3. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 2005;
147: 6-9
4. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. 2007.
5. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwalds Heart Diseases: A Textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 2008
6. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrisons Principles of Internal Medicine. New
South Wales: McGraw Hill. 2010.
7. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA 2004
guidelines for the management of the patients with ST- elevation myocardial infarction
: a report of the American College of Cardiology American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. 2008;51:210247.
8. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for reperfusion therapy
in emergency department patients with suspected acute myocardial infarction. American
College of Emergency Physicians Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee)
on Reperfusion Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358383.

24
9. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence of
Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J
Cardiol.2000; 85 : 147-153

10. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized, Double-blind


Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with Streptokinase in Acute
Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.

11. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A


Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.

12. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute myocardial
infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation: the Task Force on
the Management of ST-Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J 2008;29:29092945.

13. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase, oral aspirin,
both or neither among 17.187 cases of suspected AMI. Lancet.1986; 1:397.

14. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL (Abciximab before
Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-
Term Follow Up) Investigators. Platelet Glycoprotein IIb/IIIa inhibition with coronary
stenting for acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.

15. Zeymer U, Gitt AK, Jnger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS) registry
investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital survivors of acute ST-
segment elevation myocardial infarction in clinical practice. Eur Heart J 2006;27:2661
66.

25

Vous aimerez peut-être aussi