Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Amelinda Mannuela Santoso
112016121
Pembimbing:
Dr. Elfrieda Simatupang, Sp A
1
Pendahuluan
Asma adalah suatu penyakit yang dapat menyerang segala usia, termasuk anak-anak.
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh
berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas saluran napas bagian
bawah. Penyakit ini hilangtimbul, dengan waktu serangan yang pendek. Serangan dari asma
sendiri ada yang bersifat ringan, sedang, maupun berat. Meskipun asma bukan penyakit yang
ditakuti karena tidak menimbulkan banyak kasus kematian, namun tetap harus dilakukan terapi
dan pencegahan yang sesuai agar tidak terjadi komplikasi.
2
ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan mengi
dan/atau batuk berulang dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada
malam/dini hari, bersifat musiman, timbul setelah aktivitas fisis, serta terdapat riwayat asma
dan/atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. Dapat timbul gejala sesak napas, batuk,
mengi, dada terasa tertekan atau berbagai kombinasi gejala tersebut. 1 Asma bronkial adalah
salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan imunologi
yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea
dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas.
Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan
maupun karena pemberian obat.2
2. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia, terutama pada
usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan menjadi
sebanding pada usia dewasa.2,3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian Riskesdas 2013 menunjukkan di Indonesia prevalensi asma sebesar
4,5% dari responden semua umur, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 5,2%.3
3. Etiologi
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi inflamasi
kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi
pencetus serangan asma adalah alergen, keletihan, infeksi, ketegangan emosi dan faktor lain
seperti asap rokok, GERD, rhinitis alergi.
Ada 2 jenis alergen yaitu alergen makanan dan alergen hirup. Untuk alergen makanan,
yang banyak ditemukan pada anak bayi dan anak masih muda yaitu alergi susu sapi, telur dan
kedelai yang biasanya bisa ditoleransi lagi ketika anak sudah diatas 3 tahun. Pada anak dan
dewasa penyebab terseringnya adalah kerang, ikan, dan kacang tanah. Makanan ini bisa
dicoba provokasi tiap 6 bulan. Sedangkan alergen hirup masih dibagi 2 menjadi alergen dalam
3
rumah seperti tungau debu atau bulu binatang peliharaan, dan alergen luar rumah seperti
serbuk sari dan jamur. Alergen ini biasanya ditemukan pada negara empat musim.4
4. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
alergi dan dapat meningkatkan resiko asma persisten. Bila salah satu orang tua menderita
asma, kemungkinan anaknya menderita 25%, jika kedua orang tuanya menderita asma
maka kemungkinannya meningkat menjadi 50%.2
b. Usia
Umumnya pada kasus asma persisten, anak mendapat serangan asma pertama kali
25% diusia dibawah 6 bulan, dan 75% dibawah usia 3 tahun.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Namun hasil penelitian Riskesdas 2013 mengatakan di Indonesia
wanita lebih banyak mengidap daripada pria.3,5
d. Lingkungan
Adanya alregen pada lingkungan sekitar dapat mencetuskan serangan asma.6
e. Ras
Prevalensi asma pada kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. Mortalitas asma pada
kulit hitam juga lebih tinggi daripada kulit putih.6
f. Polusi Udara
Partikel halus di udara serta asap rokok dapat meningkatkan prevalensi asma pada
anak. Bahkan resiko asap rokok terhadap tercetusnya asma sudah dimulai sejak anak di
dalam kandungan. Pada anak-anak yang hidup di daerah peternakan lebih terproteksi dari
asma.6 Namun pada penelitian Riskesdas di Indonesia mengatakan bahwa prevalensi
asma pada anak yang tinggal di perkotaan ataupun di pedesaan sama saja.3
g. Infeksi Respiratorik
Ketika anak sering mendapat infeksi respiratorik ketika bayi, ini dapat
menurunkan faktor resiko terhadap asma sebanyak 50%. Namun berbeda dengan infeksi
RSV (Respiratory Synctial Virus) yang dapat mencetuskan asma karena terjadi infeksi
respiratorius bawah. Jadi, infeksi respiratorius berulang yang tidak menyebabkan infeksi
respiratorius bawah dapat memproteksi anak dari asma.6
5. Klasifikasi
Klasifikasi derajat penyakit dan serangan asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara
lain gambaran klinik sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
4
pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru, serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma.2,4
a) Klasifikasi derajat penyakit asma
Derajat penyakit asma dibagi menjadi asma episode jarang, persisten ringan, persisten
sedang, dan persisten berat.
Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali per minggu, gejalanya singkat, serangan nokturnal tidak
lebih dari 2 kali/bulan, FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu,
variabilitas FEV1 dan PEF <20%.
Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tetapi kurang dari 1 kali/hari, dapat mengganggu
aktivitas dan tidur, gejala nokturnal lebih dari 2 kali/bulan, FEV1 80% predicted atau
PEF 80% nilai terbaik individu, variabilitas FEV1 dan PEF 20-30%.
Persisten sedang
Gejala dapat terjadi tiap hari, dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal
>1 kali/minggu, menggunakan agonis beta-2 setiap hari, FEV1 60-80% predicted atau
PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas FEV1 dan PEF >30%.
Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi,
FEV1 <60% predicted atau PEF <60% nilai terbaik individu, variabilitas FEV1 dan
PEF >30%.
5
paradoksus atau hanya dibawah 10 mmHg, PEF atau FEV1 pra-boronkodilator >60%
dan pasca-bronkodilator >80%, SaO2 95%, PaCO2 <45mmHg.2,4
Serangan sedang
Sesak pada anak ini masih dapat berbicara dengan penggalan kalimat dan pada bayi
tangisannya menjadi pendek serta kesulitan menyusu atau makan, anak lebih nyaman
posisi duduk, irritable, tidak ada sianosis, mengi nyaring di sepanjang inspirasi dan
ekspirasi, biasanya bernafas menggunakan otot bantu respiratorik dengan retraksi
sedang ditambah retraksi suprasternal, takipnea dan takikardi, terdapat pulsus
paradoksus 10-20 mmHg, PEF atau FEV1 pra-boronkodilator 40-60% dan pasca-
bronkodilator 60-80%, SaO2 91-95%, PaO2 >60 mmHg, PaCO2 <45mmHg.
Serangan berat
Pada serangan berat tanpa ancaman henti napas anak beristirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan atau pada bayi tidak mau makan atau minum, bicaranya per kata,
irritable, ada sianosis, mengi terdengar sangat nyaring yang terdengar tanpa stetoskop
sepanjang inspirasi dan ekspirasi, retraksinya dalam ditambah nafas cuping hidung,
takipneu dan takikardi, terdapat pulsus paradoksus >20 mmHg, PEF atau FEV1 pra-
boronkodilator <40% dan pasca-bronkodilator <60% dan hanya merespon selama 2
jam, SaO2 90%, PaO2 <60 mmHg, PaCO2 >45mmHg.
Jika terdapat ancaman henti nafas maka anak akan terlihat kebingungan, sianosis terlihat
nyata, menginya tidak terdengar, terdapat gerakan paradoks torako-abdominal, retraksinya
dangakal atau hilang, bradipnea dan bradikardi.
6. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas yang terjadi akibat hipereaktivitas
bronkus. Hipereaktivitas bronkus ini disebabkan oleh meningkatnya respon bronkus dan
menurunnya ambang rangsang konstriksi pada berbagai rangsang sehingga terjadi proses
inflamasi. Proses inflamasi ini dapat melalui dua jalur yaitu jalur imunologik dan jalur non
imunologik. Pada jalur imunologik terlibat immunoglobulin E yang bergabung dengan sel
mast atau sel basofil sehinggal menyebabkan degranulasi dan pelepasan histamin. Respon dari
proses ini ada tiga yaitu respon asma cepat, lambat, atau keduanya. Pada respon asma cepat /
early asthmatic response, reaksi terjadi setelah 10-20 menit terpajan oleh alergen, dan
serangannya berlangsung selama 1-2 jam. Mediator yang dihasilkan oleh sel mast / sel basofil,
6
seperti histamin, eosinophil chemotactic factor, neutrophil chemotactic factor, dapat
menyebabkan spasme otot polos bronkus, inflamasi, dan hipersekresi. Pada respon asma
lambat / late asthmatic response ini reaksi terjadi setelah 4-8 jam terpajan oleh alergen, dan
reaksi bertahan 12-48 jam. Reaksi ini melibatkan sel eosinofil dan mediator dari sel mast /
basofil. Pada respon yang ketiga yaitu respon asma cepat digabung respon asma lambat
disebut menjadi dual respons. Jalur inflamasi kedua, yaitu non imunologik, terjadi akibat
pajanan polutan asap atau infeksi virus RSV yang menyebabkan rusaknya epitel saluran napas
dan merangsang ujung nerves vagus. Jalur-jalur ini menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,
hipersekresi mukus, dan edema saluran nafas sehingga saluran nafas terobstruksi dan
timbullah gejala batuk, sesak dan mengi.2,4
7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya mengi berulang dan/atau batuk persisten, dengan
karakteristik timbul episodik, sering pada malam atau dini hari, setelah aktivitas fisik,
serta adanya keluarga dengan riwayat asma atau atopi. Dapat juga ditanyakan apakah
anak jika terkena pilek, masa penyembuhannya lebih dari 10 hari, dan apakah gejala
menginya membaik setelah diberikan obat anti asma.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak terdapat kelainan jika anak sedang tidak
serangan asma. Atau pada anak dengan asma yang lebih berat, sebagian kecil dapat
mengalami mengi meskipun tidak sedang serangan asma. Pada saat serangan, gejala
klinisnya tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Selain mengi dan batuk
berulang, biasanya tekanan darah meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering. Serangan asma akut biasanya
berhubungan dengan terpaparnya dengan faktor pencetus seperti infeksi virus atau
pajanan alergen atau keduanya. Sedangkan serangan yang bertahap biasanya
berhubungan dengan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit2,4.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan penunjang pengukuran fungsi paru dapat bermanfaat untuk
membantu diagnosis asma yang gejalanya tidak khas, juga dapat menilai fungsi
paru meliputi volume paru, fungsi jalan napas, dan pertukaran gas, melalui
7
pemeriksaan peak expiratory flow rate, flow expiratory volume in 1 second, dan
pulse oxymetry.
Pulse oxymetry cukup efisien dan berguna untuk parameter pertukaran gas
meskipun analisa gas darah merupakan gold standard-nya.
Peak expiratory flow dengan peak oxymetry biasanya dilakukan selama 24
jam, kalau perlu beberapa minggu, dianjurkan sebaiknya selama 2 minggu. Yang
dinilai adalah variabilitas harian, yaitu perbedaan nilai PEF dalam 1 hari, yaitu
selisih dari nilai PEF pagi terendah dengan PEF malam terendah. Jika diukur
dengan tidak teratur, hasil dari pengukuran tidak dapat menentukan perburukan
fungsi paru lebih awal tetapi dapat menemukan variabilitasnya, dan sebaiknya
diukur pada hari yang sama dan konsisten antara sebelum atau sesudah pemberian
bronkodilator. Jika selisih nilai PEF 20% dapat membantu menegakkan diagnosis,
namu pada asma intermiten atau asma berat, variabilitas tidak selalu ditemukan.
Pada pemeriksaan Flow Expiratory Volume in 1 second dengan spirometri,
perbaikan FEV 1 12% setelah pemberian bronkodilator dengan atau tanpa
pemberian glukokortikoid mendukung diagnosis asma.
Hasil pemeriksaan fungsi paru yang mendukung menurut Pedoman Nasional
Asma Anak diagnosis adalah terdapatnya variabilitas PEF / FEV 1 15%, atau
kenaikan PEF / FEV 1 15% setelah pemberian bronkodilator, atau penurunan
PEF / FEV 1 20% setelah provokasi bronkus.
Pemeriksaan Hipereaktivitas Saluran Napas
Pemeriksaan ini dlakukan dengan uji provokasi bronkus membantu
menegakkan diagnosis asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji
provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara, dan alergen non-
spesifik seperti metakolin dan histamin.
Penilaian Status Alergi
Pemeriksaan dilakukan dengan uji kulit, pemeriksaan IgE spesifik serum.
Pemeriksaan ini dapat menentukan faktor pencetus asma.2,4
8. Diagnosis Banding
a. Bronkitis akut
Bronkitis akut yaitu proses inflamasi yang mengenai trakea, bronkus utama, dan
menengah dengan gejala utama batuk, dan biasanya akan membaik sendiri setelah 2
minggu. Penyebab utama yang aling sering adalah infeksi virus, meskipun dapat juga
terjadi infeksi bakteri.1
b. Pneumonia
8
Merupakan inflamasi yang mengenai parenkim paru. Dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, aspirasi, atau hal lainnya. Tidak terdapat perbedaan mencolok pada infeksi
bakteri dan infeksi virus, seringkali biasanya terjadi infeksi virus yang kemudia berlanjut
menjadi infeksi bakteri. Sebagai pedoman, ditetapkan infeksi bakteri onsetnya cepat,
batuknya produktif, anak tampak toksik, leukositosis, serta perubahan nyata pada foto
radiologi, meskipun pemeriksaan radiologi dan laboratorium perbedaannya tidak begitu
nyata antara infeksi bakteri dan infeksi virus.
9. Serangan Asma Akut
Merupakan episode perburukan progresif gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada
tertekan, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Serangan asma berarti terdapat kegagalan
penatalaksanaan jangka panjang atau adanya faktor pencetus. Pada pasien srangan asma,
tatalaksana awalnya adalah pemberian nebulasi beta 2 agonis kerja cepat ( salbutamol 0,1-
0,15 mg/kgBB, terbutalin 2,5 mg/nebulisasi, fenoterol)dicampur dengan garam fisiologis. Jika
setelah nebulasi satu kali dan responnya sudah baik (complete response), maka ini
digolongkan kedalam serangan ringan. Pasien diobservasi 1-2jam dan jika respon bertahan
maka pasien dipulangkan dengan membawa obat beta 2 agonis hirup atau oral yang diberikan
setiap 4-6 jam sampai pasien kontrol yaitu dalam waktu 24-48jam. Jika setelah nebulasi dua
kali dengan selang 20 menit dan responnya parsial / incomplete response maka ini
digolongkan kedalam serangan sedang. Tatalaksananya dengan memberikan beta-2 agonis
ditambah dengan antikolinergik yaitu ipratropium bromida 0,1ml/kgBB yang diberikan setiap
2 jam sekali dan juga kortikosteroid sistemik oral 0,5-1mg/kgBB/hari, lalu pasien di rawat ke
ruang rawat sehari. Jika dalam 8-12 jam responnya baik maka pasien dapat dipulangkan
dengan membawa obat yang sama dengan pasien dengan serangan ringan. Namun jika dalam
12 jam masih belum membaik maka pasien digolongkan ke dalam serangan asma berat dan
dirawat inap. Pada pasien dengan serangan asma berat dapat diberikan beta-2 agonis ditambah
antikolinergik setiap 1-2 jam.7 Dan juga diberikan oksigen 2-4L/menit, lalu dipasang infus dan
diberi bolus steroid yaitu metilprednisolon 0,5-1mg/kgBB setiap 6-8jam. Jika dalam 4 jam
terakhir pasien belum mendapat aminofilin (golongan teofilin kerja cepat), maka dapat
diberikan dengan dosis 6-8mg/kgBB yang dicampur dengan larutan garam fisiologis hinga
20ml kemudian diberikan selama 20-30 menit. Bila sudah mendapat aminofilin maka
dosisnya hanya setengahnya. Lalu dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam. Jika
gejala sudah membaik maka pemberian beta-2agonis dan antikolinergik bisa diberikan tiap 4-
9
6 jam kemudian diobservasi selama 24 jam. Jika dalam 24 jam pasien stabil, maka pasien
dapat dipulangkan dengan membawa obat seperti pada pasien dengan serangan asma ringan
namun ditambah dengan steroid oral (prednison, prednisolon, triamsinolon dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari 2-3x/hari) dan kontrol dalam 24-48 jam.
10
dosis kortikosteroid hirup sudah mencapai diatas 800mcg/hari dan respon tetap tidak baik,
maka dapat ditambah steroid oral 1-2mg/kgBB/hari yang kemudian diturunkan sampai doss
minimum yang dapat mengendalikan. Jika dalam 8-12 minggu terdapat perbaikan klinis
maka steroid dapat diturunkan perlahan sampai ke dosis minimum yang dapat
mengendalikan ditambah dengan penggunaan beta-2 agonis sebagai pereda.
11. Komplikasi
Karena terjaninya obstruksi jalan napas secara luas dapat menyebabkan peningkatan
tehanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan distenis paru berlebihan/hiperinflasi
sehingga ventilasi dan perfusi tidak padu padan. Terjadi hipoventilasi alveolar yang
menyebabkan pningkatan tekanan CO2 menurun dan tekanan O2 meningkat. Lalu terjadi
vasokonstriksi pulonal dan asidosis yang memperberat vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan
penurunan produksi surfaktan sehingga terjadilah atelektasis. Selain itu, hiperinflasi paru
menyebabkan peningkata kerja napas. Tekanan intrapulmonal akan meningkat agar bisa
ekspirasi, namun peningkatan tekanan pulmonal ini juga mempersempit saluran napas
sehingga meningkatkan resiko pneumotoraks.1,10
12. Prognosis
Dengan diagnosis dan tatalaksana yang tepat, maka anak dengan peyakit asma dapat
ditangani dengan baik karena mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Berdasarkan NCHS
tahun 2000 kematian akibat asma 1,6 dari 100.000 populasi. Pada tahun yang sama pula,
didapatkan kematian anak usia 0-17 tahun akibat asma 0,3 dari 100000 anak. Ini
membuktikan bahwa kematian anak akibat penyakit asma jarang.2,4
13. Kesimpulan
11
Gejalanya meliputi sesak, batuk produktif malam/dini hari, dada terasa tertekan.
Patofisiologi asma terkait dengan terjadinya proses radang yang kemudian dengan cepat
menimbulkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular, pembentukan edema, meningkatkan
produksi mukus, dan menghambat transport mukosiliaris. Pada anak, gambaran klinis asma
dibagi menjadi: asma episodic jarang, asma episodic sering, dan asma kronik/presisten.
Penatalaksanaan asma ditujukan untuk meredakan penyempitan jalan napas secepat
mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal
secepatnya, dan untuk mencegah kekambuhan.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Indrawati C, Wahyuni Indrawati. Asma. Dalam : Kapita Selekta. Jilid II. Edisi ke 4.
Jakarta : Media Aesculapius. 2014. H. 163-171
2. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 2013. H. 83-100.
3. Akip AAP, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi ke 2.
Jakarta : Balai Penerbit IDAI. 2008. h 252 65.
4. Raharjoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. H. 71-161.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di
Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esesnsial. Ed. 6.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
7. Ronit H, Susanna CR. Pediathric asthma : natural history, assessment, and treatment. Mt
Sinai J Med. 2011 Sep; 78(5): 645660.
8. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.
Nopember 2008; 58(11), 444-51.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
10. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.
13