Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
EKLAMPSIA
Disusun oleh
Boby Gunawan
132011101078
Pembimbing
dr. Yonas Hadisubroto, Sp.OG
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian dan kesakitan Ibu masih merupakan masalah kesehatan yang serius di
negara berkembang. World Health Organisation (WHO) mencatat sekitar delapan juta
perempuan per tahun mengalami komplikasi kehamilan dan sekitar 536.000
meninggal dunia dimana 99% terjadi di negara berkembang.1 Angka kematian ibu
akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di negara berkembang adalah 1 dari 11
perempuan dimana angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan di negara maju yaitu 1 dari
5000 perempuan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB) merupakan
masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan
selama hamil dan masa nifas. AKI di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di
Asia Tenggara, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun AKI di Indonesia
menurun secara bertahap dari 390 (1997) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup dalam
kurun waktu 10 tahun (1997 2007). Namun, angka tersebut masih jauh dari target
Milenium Development Goals (MDGs) untuk menurunkan AKI menjadi 102 per
kelahiran hidup pada tahun 2015. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan
berisiko turut mempengaruhi sulitnya pencapaian target MDGs. Angka kematian ibu di
provinsi Jawa Tengah juga masih tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari data Dinas
Kesehatan Provinsi Jateng yang menyebutkan pada tahun 2008 AKI mencapai
114,42 per 100.000 kelahiran hidup.4 Angka tersebut masih berada di atas target nasional
(MDGs) yakni sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.2 Berdasarkan laporan
Puskesmas, jumlah kematian ibu di Kota Semarang pada tahun 2011 sebanyak 31 kasus
dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 25.160 atau sekitar 128,10 per 100.000
kelahiran hidup Eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan, persalinan
maupun masa nifas yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin
disamping perdarahan dan infeksi.
2
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma, sebelumnya wanita menunjukkan
gejala gejala preeklampsia dan kejang yang timbul bukan akibat kelainan neurologik.5
Preeklampsia ditandai dengan hipertensi dan proteinuria. Berdasarkan waktu terjadinya
konvulsi, eklampsia dibagi menjadi antepartum, intrapartum dan postpartum.5 Kurang
lebih 5% dari kasus preeklampsia berkembang menjadi eklampsia dan kurang lebih 5%
wanita dengan eklampsia meninggal karena penyakit atau komplikasinya serta kematian
neonatal kurang lebih 7%.1Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh
persalinan dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan
negara maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh
paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang
merupakan faktor risikonya.5-6,8-10 Di RSUP Dr. Kariadi tahun 1997 disebutkan
angka kejadian preeklampsia sebesar 3,7% dan eklampsia 0,9% dengan angka kematian
perinatal 3,1%.11
Penyebab utama kematian ibu di RSUP Dr. Kariadi Semarang disebabkan oleh
preeklampsia dan eklampsia. Pada tahun 1996 di RSUP Dr. Kariadi Semarang di
dapatkan data penyebab utama kematian maternal yaitu preeklampsia dan eklampsia
(40%) diikuti infeksi (26,6%) dan perdarahan (24,4%). Pada tahun 1996 1998
kematian maternal oleh preeklampsia dan eklampsia 48%, perdarahan 24% dan infeksi
14%.13 Sedangkan pada tahun 1999-2000 preeklampsia dan eklampsia juga penyebab
utama kematian maternal (52,9%) diikuti perdarahan (26,5%) dan infeksi (14,7%).12-14
Kematian ibu akibat eklampsia umumnya berhubungan dengan kesalahan
pengelolaan dan komplikasinya.15Kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena
komplikasi yang terjadi, diantaranya acute vascular accident, kerusakan pusat vital pada
medula oblongata, trauma akibat konvulsi, perdarahan pascapartum atau perdarahan
solusio plasentae, dan kegagalan total organ vital.
3
Sedangkan kematian perinatal janin intrauterin diakibatkan terjadinya solusio
plasentae, asfiksia berat intrauterin akibat vasokonstriksi berat, dan persalinan
preterm. Bila janin hidup, eklampsia dapat menyebabkan berat badan bayi rendah
dan intrauterin growth retardation.6 Mattar dan Sibai menyebutkan pada tahun
1977-1998 didapatkan beberapa komplikasi mayor yang terjadi pada penderita
eklampsia adalah abruptio plasentae (10%), defisit neurologis (7%), aspirasi
pneumonia (7%), edema pulmo (5%), henti jantung paru (4%), gagal ginjal akut
(4%), dan kematian maternal (1%).8
Banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia yang
mempengaruhi luarannya. Diantara faktor faktor yang ditemukan sulit
ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.9 Penelitian di RSUP Dr.
Kariadi pada tahun 2002 mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara cara persalinan ibu dengan derajat asfiksia dan usia kehamilan
ibu dengan berat badan bayi lahir. Tetapi tidak terdapat hubungan bermakna
antara faktor risiko dengan skor Apgar, dan cara persalinan dengan berat
asfiksia.7Dhananjay (2009) menyebutkan preeklampsia antepartmum, usia gestasi
<32 minggu, konvulsi lebih dari lima, tekanan darah >160/100 mmHg, level
albumin urin >1+, kelahiran pervaginam, BBLR dan skor Apgar 5 menit yang
rendah mempengaruhi keluaran perinatal. Tekanan darah mempunyai pengaruh
yang signifikan (p<0,05) terhadap kematian perinatal.16 Sedangkan Rajasri G
Yaliwal menyebutkan mortalitas perinatal tinggi pada pasien dengan tekanan
darah sistolik 160 mmHg, tekanan darah diastolik 110 mmHg, bayi dengan
berat badan lahir <2000 gram dan urin albumin > 2+. Mortalitas perinatal rendah
di pasien yang melahirkan selama <6 jam setelah konvulsi, < 6 jam setelah
permulaan treatmen, dan bayi yang dilahirkan dengan operasi caesar.
4
1.3 Tujuan
1.Mampu menjelaskan definisi, etiologi, dan patogenesis dari eklampsia.
2.Mampu menjelaskan diagnosis dan penatalaksanaan dari eklampsia.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai eklampsia baik untuk penulis pada khususnya maupun
untuk pembaca pada umumnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
1) Genetik
6
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan
dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.21
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan
antara histokompatibilitas antigen HLA- DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga
ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih
tinggi terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth
restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut.
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan
dengan gen resesif tunggal.21 Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia
pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia
eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian
preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada preeklampsia
eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum dapat
diterangkan.
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan
elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti
dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I
dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada deciduomyometrial
junction.22
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih
dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap
7
pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta
perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah
pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti
kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan.22
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis
mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami
invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap
kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam
miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti
masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi
seperti atherosklerosis) pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri
bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah
infark pada plasenta. Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis
yang memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi
trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi
gangguan aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi
darah ke plasenta.21-22 Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR)
hingga kematian bayi.
(3 Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel
yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh
enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada
sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam
arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek
vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2
8
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi
antara trombosit dan dinding pembuluh darah.21
9
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan
produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis
yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan
pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan
kerusakan endotel.
(4. Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis
sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi
penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi
yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel
ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol
hanya terdapat 15%.22
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang
dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF- dan IL-1), enzim
proteolitik dan radikal bebas oleh desidua.22
101
0
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi Koma
Koma yang dijumpai pada kasus eklampsia dapat disebabkan oleh kerusakan dua
organ vital yaitu kerusakan hepar yang berat sehingga terjadi gangguan metabolism-
asidosis, tidak mampu mendetoksikasi toksis maternal. Selain itu juga bisa disebabkan
oleh kerusakan serebral akibat edema serebri, perdarahan dan nekrosis disekitar
perdarahan dan herniasi batang otak
1.Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan kualitatif
3. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4.Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5. Edema paru atau sianosis.
keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.9 Menurut Sibai terdapat beberapa
perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah
sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara, pandangan kabur,
fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya sekitar 50%
penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang
eklampsia adaah sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan
(20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental
sementara (5- 10%).Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang
biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa
saat kemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh,
fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan
terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
1
11
1
otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi
secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak
dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat
berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi
semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.Setelah kejang
diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama beberapa detik penderita
seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian penderita bernapas panjang dan
dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik,
kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari
kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya
koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang,
penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada
kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat
mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang
yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat. Proteinuria hampir selalu
didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang kadang sampai anuria dan pada
umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output akan meningkat dan
ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema
menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila
keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit
vaskuler kronis.
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan lebih
banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan
121
2
negara maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh
paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang
merupakan faktor risikonya. Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian
ibu di Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi tahun2011, jumlah kematian ibu yang
dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi
Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama
(5%) dan abortus (1%). Penyebab lain lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya
penyebab penyakit non obstetrik.26
131
3
:23
1) Usia
7) Kehamilan multifetus
151
5
9) Penyakit ginjal
3.5 Tatalaksana
Obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah magnesium sulfat. Bila
1
16
6
dengan obat jenis ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai jenis obat lain misalnya
diazepam. Namun pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah
berpengalaman. Cara pemberian Mgso4 dapat dilihat pada tabel di bawah.
A. ALTERNATIF 1 (Pemberian kombinasi iv dan im) (untuk Faskes primer, sekunder dan tersier)
Loading dose
Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc
aquabidest)
Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing masing pada bokong kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan
1mL Lidokain 2% untuk mengurangi nyeri
Maintenance Dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian setiap 6 jam
* Mudah, namun hanya boleh dilakukan jika dapat memastikan jalannya tetesan dengan baik
Syarat pemberian MgSO4 : laju nafas > 12x/menit, refleks patela (+), produksi urin 100cc/4jam sebelum pemberian,
tersedianya Calcium Glukonas 10% 1g (10cc) iv sebagai antidotum.
Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberikan maintenance dose (im intermitent) pada ALTERNATIF 1 dan
setiap jam jika menggunakan ALTERNATIF 2 (syringe pump / infusion pump, continuous pump)
MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir (jika terjadi kejang postpartum)
171
7
melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi.
3.6 Komplikasi
3.6.1 Komplikasi Maternal
1) Paru
181
8
Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai
eklampsia. Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah : (1)
pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah pada
saat kejang; (2) kegagalan fungsi jantung yang mungkin sebagai akibat
191
9
4) Psikosis
6) Ginjal
8) Uterus
9) Kardiovaskuler
2
20
0
10) Perubahan Metabolisme umum
3.6.2 Perdarahan
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan dari uterus dan terjadi sebelum
melahirkan. Perdarahan antepartum dapat terjadi karena robeknya plasenta yang melekat
didekat kanalis servikalis yang dikenal dengan plasenta previa atau karena robeknya
plasenta yang terletak di tempat lain di dalam rongga uterus atau yang dikenal dengan
solusio plasenta. Eklampsia merupakan faktor predisposisi terjadinya solusio plasenta
walaupun lebih banyak terjadi pada kasus hipertensi kronik.2,8
212
1
3.6.4 Komplikasi Perinatal
Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus sehingga tonus otot
sehingga dampaknya pada drnyut jantung janin seperti terjadi takikardi, kompensasi
harus mendapatkan perawatan di special care baby unit dengan indikasi prematuritas,
berat badan bayi lahir rendah, asfiksia neonatorum berat (skor apgar 5 menit <7), icterus
222
2
BAB III
PENUTUP
232
3
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas; 2010:67.
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Gant NF, Alexander GM, Bloom SL, Cassey
2003.
2003.
242
4
8. Cunningham FG, Lenevo KJ, Gant NF, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
McGRAW-HILL; 2005.
15. Sibai BM, Fairlie FM. Hypertensive disorder in pregnancy. In : High Risk
25 2
5
16. Dhananjay BS. A study factor affecting perinatal mortality in
17. Yaliwal RG, Jaju PB, Vanishree M. Eklampsia and perinatal outcome a
obstetric and gynecologic diagnosis and treatment 9th ed. New York :
19. National Hearth Lung and Blood Institute. National high blood pressure
340-4.
22. Silver HM, et al. Mechanism of increased maternal serum total aktivin A.
24. Pampus MG, Aarnoudse JG. Long term outcomes after preeclampsia. Clin
26 2
6
25. George IO, Jeremiah I. Perinatal outcome of babies delivered to
27. Edgar MN, Albert K, Richard R, Beatrice IM, Anthony NM. Maternal
28. Anna EC, Susane H, Alysin JL. Risk Factor for Eclampsia : a Population-
29. Sopiyudin D. Ukuran Kekuatan Hubungan Rasio Odd (RO) dan Risiko
272
7
2
8
2
9
3
0
31
32