Vous êtes sur la page 1sur 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap orang dalam hidupnya pasti akan menghadapi yang namanya
masalah, sikap seseorang dalam menghadapi sangat ditentukan oleh keyakinan
mereka masing-masing. Keyakinan yang dimiliki setiap orang selalu dikaitkan
dengan kepercayaan atau agama. Spiritual, keyakinan dan agama merupakan
hal yang berbeda namun seringkali diartikan sama. Penting sekali bagi
seorang perawat memahami perbedaan antara Spiritual, keyakinan dan agama
guna menghindarkan salah pengertian yang akan mempengaruhi pendekatan
perawat dengan pasien.
Pasien yang sedang dirawat dirumah sakit membutuhkan asuhan
keperawatan yang holistik dimana perawat dituntut untuk mampu memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensif bukan hanya pada masalah secara
fisik namun juga spiritualnya.
Pasien dalam perspektif keperawatan merupakan individu, keluarga
atau masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan
untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatannya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, klien memiliki
beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka keperawatan
memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek
fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara
dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak
sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis,
sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai
kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera.

Page 1
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Jelaskan definisi spiritualitas dan religi?
2. Sebutkan aspek-aspek spiritualitas?
3. Jelaskan dimensi spiritualitas?
4. Bagaimana cara berfikir kritis dan spiritual?
5. Jelaskan kesehatan spiritualitas?
6. Jelaskan masalah spiritualitas?
7. Sebutkan karakteristik spiritualitas?
8. Bagaimana perkembangan aspek spiritual keperawatan?
9. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual?
10. Bagaimana proses keperawatan dengan spiritualitas?
11. Bagaimana asuhan keperawatan spiritual?

1.3 Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka terdapat tujuan sebagai
berikut :
1. Mengetahui definisi spiritualitas dan religi
2. Mengetahui aspek-aspek spiritualitas
3. Mengetahui dimensi spiritualitas
4. Mengetahui cara berfikir kritis dan spiritual
5. Mengetahui kesehatan spiritualitas
6. Mengetahui masalah spiritualitas
7. Mengetahui karakteristik spiritualitas
8. Mengetahui perkembangan aspek spiritual keperawatan
9. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual
10. Mengetahui proses keperawatan dengan spiritualitas
11. Mengetahui asuhan keperawatan spiritual

Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spiritualitas dan religi


2.1.1 Definisi spiritualitas dan religi
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya
kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas
mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan
menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa dan
sebagainya (Hawari, 2002).
Berdasarkan kamus, religi berarti suatu sistem kepercayaan dan
praktek yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa (Smith, 1995).
Pargamet (1997) mendefinisikan religi sebagai suatu pencarian
kebenaran tentang cara-cara yang berhubungan dengan korban atau
persembahan. Seringkali kali kata spiritual dan religi digunakan secara
bertukaran, akan tetapi sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Dari
definisi religi, dapat digunakan sebagai dasar bahwa religi merupakan
sebuah konsep yang lebih sempit dari pada spiritual. Jadi dapat
dikatakan religi merupakan jembatan menuju spiritual yang membantu
cara berfikir, merasakan, dan berperilaku serta membantu seseorang
menemukan makna hidup. Sedangkan praktek religi merupakan cara
individu mengekspresikan spiritualnya.
2.1.2 Aspek spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan.
Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian;
kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan
keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual
manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa
percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002).

Menurut Burkhardt (Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek


sebagai berikut:
1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian
dalam kehidupan
2. Menemukan arti dan tujuan hidup

Page 3
3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan
dalam diri sendiri
4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang
Maha Tinggi.
2.1.3 Dimensi spiritual
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk
menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress
emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat
menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier,
2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi
eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah
hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan 9
lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi
tersebut (Hawari, 2002).
2.1.4 Berfikir kritis dan spiritual
Perawat ahli membutuhkan kemampuan untuk menggali privasi
klien untuk menerima dan mencari bantuan. Perawat memiliki caring
holistik memberdayakan mereka untuk mendapat tingkat kenyamanan
dan dukungan yang bersifat intutif. Intuitif klinik (Young, 1987) Perawat
mengetahui tentang klien yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-
kata. Intusisi (rasa hangat dan empati dari dalam) memberikan aspek
berpikir kritis yang menganalisis dan merasakan isyarat yang berbeda,
ingatan, dan perasaan untuk membantu perawat memiliki kesadaran
lebih baik tentang kebutuhan klien.
Perawat mengetahui isyarat spiritual yang ditunjukkan klien
selama masa penyembuhan, perubahan, penyakit, dan kehilangan. Intuisi
dapat muncul dari rada kedekatan dengan klien.
2.1.5 Kesehatan spiritual

Page 4
Dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara, nilai
hidup, hasil dan system kepercayaan, hubungan antara diri sendiri dan
orang lain.
Kesehatan spiritual atau kesejahteraan adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan
Tuhan (Carson,1989).
Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan, atau
kehilangan, seseorang mungkin berbalik ke cara-cara lama dalam
merespons atau menyesuaikan dengan situasi. Sering kali gaya koping
ini terdapat dalam keyakinan atau nilai dasar orang tersebut. Keyakinan
ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup
seorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih
menyadari tentang makna, tujuan, dan nilai hidup.
Spiritualitas dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka
dan hubungan mereka dengan orang lain. Banyak orang dewasa
mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang
langgeng.
Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara
bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritualitas. Menetapkan
hubungan dengan yang maha agung, kehidupan, atau nilai adalah salah
satu cara mengembangkan spiritualitas. Kesehatan spiritualitas yang
sehat adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan
tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang
langgeng dengan yang Maha Agung. Penyakit dan kehilangan dapat
mengancam dan menantang proses perkembangan spiritual. Kesehatan
spiritual tercapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara
nilai hidup, tujuan hidup, sistem keyakinan, dan hubungan seseorang
dengan diri sendiri atau orang lain.
Tanda-tanda kesehatan spiritualnya adalah Seseorang yang
mempunyai karakter baik juga mempunyai kehidupan spiritual yang
sehat. Dari jumlah banyaknya keluhan orang, mungkin kalian akan
segera mengetahui berapa banyak karakter buruk yang masih tertinggal

Page 5
didalam diri seseorang. Dan ketika kalian mampu menghilangkan
seluruh keluhan yang kalian miliki, kalian kemudian akan mengetahui
bahwa kalian itu sehat dan tidak ada lagi karakter buruk yang tertinggal.
Hal ini sangat penting bagi seseorang untuk memiliki karakter yang baik.
Jika seseorang tidak mempunyai keluhan lagi, berarti dia sudah memiliki
kesabaran dan ini berarti dia mempunyai iman yang sejati. Kesabaran
adalah sebuah tindakan melawan semua keinginan ego.
2.1.6 Masalah spiritual
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang,
kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau
pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama penyakit
atau misalnya individu sering menjadi kurang mampu untuk merawat
diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan
dukungan. Distress spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang
mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat
mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain.
Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan
pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dar
makna hidup.

Distres spiritual terdiri dari atas :


1. Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang
yang dicintai atau dari penderitaan yang berat.
2. Spiritual yang khawatir, yatitu terjadi pertentangan kepercayaan dan
sistem nilai seperti adanya aborsi.
3. Spiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan
dalam kegiatan keagamaan.
2.1.7 Karakteristik spiritualitas
Untuk memudahkan dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan memperhatikan kebutuhan spiritual penerima layanan
keperawatan, maka perawat mutlak perlu memiliki kemampuan

Page 6
mengidentifikasi atau mengenal karakteristik spiritualitas sebagai
berikut:
a. Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-
reliance:
1. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya)
2. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa
depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri
sendiri).
b. Hubungan dengan alam harmonis:
1. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim
2. Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki),
mengabadikan, dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:
1. Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik
2. Mengasuh anak, orangtua, dan orang sakit
3. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan
lain-lain).
Bila tidak harmonis akan terjadi:
1. Konflik dengan orang lain
2. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

d. Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:


1. Sembahyang/berdoa/meditasi
2. Perlengkapan keagamaan
3. Bersatu dengan alam.
Secara ringkas, dapat dinyatakan seseorang terpenuhi
kebutuhan spiritualitasnya jika mampu:
1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan
keberadaannya di dunia/kehidupan
2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari
suatu kejadian atau penderitaan

Page 7
3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa
percaya, dan cinta
4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga
5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan
6. Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.
2.1.8 Perkembangan aspek spiritual keperawatan
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari
manusia, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap
perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan
mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa
muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum
tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses
perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya
dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan
dilanjutkan dengan instropeksi. Namun, berikut akan dibahas pula
perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia
(Carson, 2002).
a. Bayi dan Toodler
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa
perkembangan bayi. Hamid (2000) menjelaskan bahwa
perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan
spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk
mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan
sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada
bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan
orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai
spiritual pada bayi.
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada
masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami
peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar

Page 8
membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran
kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini
memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat
dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal
dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari
kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan
berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam
kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika
menerima pengalamanpengalaman baru, termasuk pengalaman
spiritual (Hamid, 2000).
b. Pra Sekolah
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6
tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya
yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan
sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan
norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar
atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya
dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah
adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual.
Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai
berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan
mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masihkesulitan
membedakan Tuhan dan orang tuanya (Hamid, 2000).
c. Usia Sekolah
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami
peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12
tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat
menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan
makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai
ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan
menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi

Page 9
pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid,
2000).
d. Remaja (12-18 tahun)
Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan
hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil
keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang
dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan
kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau
menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika
menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada
tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya
daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain
biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan
memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap
paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing
anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua
dan remaja (Hamid, 2000).
e. Dewasa muda (18-25 tahun)
Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya
dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk
memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-
kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka
sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini,
mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak
memungkiri bahwa mereka sudah dewasa (Hamid, 2000).
f. Dewasa pertengahan (25-38 tahun)
Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual
yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang
salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik
sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan
kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap
kepercayaan dan nilai spiritual (Hamid, 2000).

Page 10
g. Dewasa akhir (38-65 tahun)
Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual,
kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari
diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini
kebutuhan ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000).
h. Lanjut usia (65 tahun sampai kematian)
Pada tahap perkembangan ini, pada masa ini walaupun
membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual
sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai
faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang
lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai
kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang
agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa
tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati.
Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan
dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas
terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada
kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam
kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek
spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan
yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang
mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu
menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang
berbeda (Hamid, 2000).
2.1.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut taylor, Lillis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle
(1996) dalam Hamid (2009, p. 13) faktor penting yang dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah :
a. Pertimbangan tahap perkembangan

Page 11
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa manusia mempunyai
persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda
menurut usia, seks, agama, dan kepribadian manusia.
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan
spiritual anak. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat
dan lingkungan pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di
dunia, maka pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh
pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan
saudaranya.
c. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik
dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga.
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual
kejadian atau pengalaman tersebut.
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual
seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan
kematian, khususnya pada pasien terminal atau dengan prognisis yang
buruk.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat
individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan
sistem dukungan sosial.
g. Isu moral terkait dengan terapi

Page 12
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai
cara tuhan untuk menunjukkan kebesarannya, walaupun ada juga
agama yang menolak intervensi pengobatan.
h. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberi asuhan keperawatan kepada klien, perawat
diharapkan peka kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai
alasan ada kemungkinan justru perawat menghindar untuk
memberikan asuhan spiritual sehingga mengakibatkan kebutuhan
klien akan spiritual tidak terpenuhi.

2.2 Proses keperawatan dan spiritualitas


Pada intinya keperawatan adalah komitmen tentang mengasihi
(caring). Merawat seseorang adalah suatu proses interaktif yang bersifat
individual melalui proses tersebut individu menolong satu sama lain dan
menjadi teraktualisasi (Carl,et al,1991). Suatu elemen perawatan kesehatan
berkualitas adalah untuk menunjukkan kasih sayang pada klien sehingga
terbentuk hubungan saling percaya. Rasa saling percaya diperkuat ketika
pemberi perawatan menghargai dan mendukung kesejahteraan spiritiual klien.
Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual klien
tidak sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik dan ritual
keagamaan klien. Memahami spiritualitas klien kemudian secara tepat
mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber yang diperlukan,
membutuhkan perspektif baru yang lebih luas. Perawat harus belajar untuk
memahami aspek positif dari spiritualiatas klien ketimbang berfikir bahwa
pada saat menderita suatu penyakit spiritualitas selalu mengalami ancaman.
Mendukung dan mendukung dan mengenali klien akan tersalur sepanjang
pemberian asuhan keperawatan yang efektif dari individual.
1. Pengkajian
Joint Commission on acreditation Healthcare Organizations (2000)
saat ini memandatkan bahwa setiap klien yang masuk ke intitusi
keperawatan harus dilakukan pengkajian keyakinan dan praktik spiritual.
Taylor (2000) merekomendasikan suatu pendekatan dua tingkat untuk
pengkajian spiritual. (Kozier, 2010., p.503)

Page 13
Meskipun perawat melakukan pengkajian secara kontinu,
pengkajian spiritual awal paling baik dilakukan pada akhir proses
pengkajian, atau setelah pengkajian psikososial, setelah perawat membina
hubungan saling percaya dengan pasien atau orang pendukung. Perawat
yang menunjukkan kepekaan dan kehangatan personal, serta berhasil
membina hubungan terapeutik lebih mampu melakukan pengkajian
spiritual. (Kozier, 2010., p.504)
Secara sistematis, menurut (Hamid 2008., p.20) pada dasarnya
informasi awal yang perlu digali secara umum adalah sebagai berikut.
a. Afiliasi agama
Afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian dengan
orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-
kelompok tertentu, kerja sama dan kooperasi (Chaplin, 2002). Afiliasi
menurut Poerwadarwinta (1986), adalah penggabungan, perkaitan, kerja
sama, penerimaan sebagai anggota (suatu golongan masyarakat atau
perkumpulan).
1. Partisipasi klien dalam kegiatan agama, apa dilakukan secara aktif
atau tidak
2. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
b. Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi :
1. Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau
upacara agama
2. Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3. Stress koping (bagaimana reaksi orang ketika menghadapi
stress/tekanan)
c. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi :
1. Tujuan dan arti hidup
2. Tujuan dan ari kematian, kesehatan dan pemeliharaannya
3. Hubungan dengan tuhan, diri sendiri dan orang lain
d. Pengkajian data subjektif
Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam
Craven dan Hirnle (1996) dalam (Hamid 2008., p.20) mencakup empat
area, yaitu:
1. Konsep ketuhanan
2. Sumber harapan atau kekuatan
3. Praktik agama dan ritual
4. Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
Pertanyaan yang dapat di ajukan perawat untuk memperoleh
informasi tentang pola fungsi spiritual klien, antara lain:

Page 14
a. Apakah agama atau tuhan merupakan hal penting dalam kehidupan
anda?
b. Kepada siapa biasanya anda meminta bantuan?
c. Apakah anda merasa percaya bahwa agama membantu anda? jika ya,
bagaimana dapat membantu anda?
d. Apakah sakit (atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami)
telah mengubah perasaan anda terhadap tuhan atau praktik agama
anda?
Fish dan Shelly dalam Craven dan Hirnle (1996) dalam (Hamid,
2008, p.21) juga menambah beberapa pertanyaan yang bermanfaat
untuk mengkaji data subjektif, yaitu:
1. Mengapa anda berada dirumah sakit?
2. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara
anda memandang kehidupan?
3. Apakah penyakit anda telah mempengaruhi hubungan anda dengan
orang yang paling berarti dalam kehidupan anda?
4. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara
anda melihat diri sendiri?
5. Apa yang paling anda butuhkan saat ini?
e. Pengkajian data objektif
Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian
klinis yang meliputi pengkajian afek dan sikap, prilaku, verbalisasi,
hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif
terutama dilakukan melalui observasi. (Shelley & fish, 1998;
Summer, 1998 dalam Kozier, 2010 p. 504 dan Hamid, 2008., p.22)
1. Afek dan sikap
Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas,
agitasi, apatis atau preokupasi?
2. Prilaku
a. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca
kitab suci atau buku agama?
b. Apakah pasien sering kali mengeluh, tidak dapat tidur, mimpi
buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnyya serta
bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan
kemarahannya terhadap agama?
3. Verbalisasi
a. Apakah pasien menyebut tentang makna dan arti hidup
b. Kebutuhan, doa atau topik keagamaan lainnya (walau hanya
sepintas)

Page 15
c. Apakah pasien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka
agama?
d. Apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap
kematian, kepedulian terhadap arti kehidupan, konflik batin
tentang keyakinan agama, kepedulian tentang hubungan
dengan yang maha penguasa, arti keberadaannya di dunia,
arti penderitaan atau implikasi terapi terhadap nilai
moral/etik?
4. Hubungan interpersonal (hubungan yang terdiri atas dua orang
atau lebih yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan
menggunakan pola interaksi yang konsisten)
a. Siapa pengunjung pasien?
b. Bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung?
c. Apakah pemuka agama mengunjungi pasien?
d. Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien lain dan
dengan tenaga keperawatan
5. Lingkungan
a. Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan
sembahyang lain?
b. Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur
keagamaan?
c. Apakah klien memakai pakaian yang memiliki makna
religius?
Menurut Hamid (2008)., p.23 pada umumnya
karakteristik klien yang berpotensi mengalami distress
spiritual adalah sebagai berikut.
1. Klien yang tampak kesepian dan sedikit pengunjung
2. Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
3. Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem
agama
4. Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap
kematian
5. Klien yang akan di operasi
6. Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi
sosial dan agama
7. Mengubah gaya hidup
8. Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
9. Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama
10. Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual

Page 16
11. Menverbalisasikan bahwa penyakit yang di deritanya
merupakan hukuman dari tuhan
12. Mengekspresikan kemarahannya kepada tuhan
13. Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
Tabel. Panduan Pengkajian Terfokus. Menurut Hamid, 2008., p.24
No Aspek spiritual Pertanyaan dan pendekatan
1 Keyakinan spiritual Apakah ada keyakinan spiritual atau agama
yang penting bagi anda?
Apakah keyakinan agama anda mengatur
tindakan yang berkonflik dengan terapi yang
direkomendasikan oleh dokter?
2 Praktik spiritual Uraikan praktik spiritual yang biasa anda
lakukan atau yang mengganggu kemampuan
anda uuntuk melakukannya?
Apakah saya dapat membantu anda untuk
tatap melakukannya?
3 Hubungan antaraUraikan bagaimana keyakinan spiritual anda
keyakinan spiritualmempengaruhi kehidupan anda sehari-hari?
dengan kehidupanApakah pengaruh tersebut membuat hidup
sehari-hari anda lebih sehat atau justru destruktif?
4 Defisit atau distressApakah keyakinan spiritual anda akhir-akhir
spiritual inimenyebabkan distress?
5 Kebutuhan spiritual Dengan cara apa saya dan perawat lain
membantu anda memenuhi kebutuhan
spiritual anda?
Apakah anda ingin berhubungan dengan
pemuka agama?
6 Kebutuhan Dengan cara apa keyakinan agama anda
menemukan arti danmembantua atau menghalangi anda
tujuan mengahadapi situasi yang di alamiakhir ini
serta menghadapinya dengan keberanian dan
perasaaan damai?
7 Kebutuhan mencintai Dengan cara apa keyakinan keagamaan anda
dan keterikatan-membantu atau menghalangi anda untuk
kedekatan memenuhi kebutuhan untuk dicintai dan

Page 17
mencintai?
8 Kebutuhan untukDengan cara apa keyakinan agama anda
mendapatkan membantu atau menghalangi anda untuk
pengampunan merasa damai?
9 Observasi prilakuWaspadai kemungkinan perubahan mendadak
penting dalam praktik spiritual, perubahan alam
perasaan, minat yang tiba-tiba terhadap hal-
hal spiritual dan gangguan pola tidur.
Semuanya ini mungkin menunjukkan adanya
kebutuhan spiritual yang belum terpenuhi?

2.3 Asuhan keperawatan spiritual


1. Pengkajian
a. Keyakinan dan makna
Penting untuk mempelajari tentang filosofi hidup seseorang,
perspektif spiritualitasnya, dan apakah pandangan spiritualnya sebagai
bagian darikehidupannya secara keseluruhan. Tanyakan kepada
klien,dapatkah anda katakan kepadasaya tentang filosofi hidup anda?,
jelaskan kepada saya apa yang paling penting dalam hidup anda ?
katakan kepada saya apa yang telah memberi makna hidup anda ?.
informasi ini dapat membantu perawat untuk mengenali fokus spiritual
klien dan dampak penyakit pada kehidupan seseorang. Suatu
pemahaman tentang keyakinan dan makna yang mencerminkan sumber
spiritual seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian troumatik
atau yang menyulitkan. (Potter & perry, 2005., p.571)

b. Autoritas dan pembimbing


Autoritas dapat berupa yang maha kuasa, pembuka agama,
keluarga atau teman, diri sendiri. Suatu autoritas memandu seseorang
dalam mengujai keyakinan dan mengalami pertumbuhan. Perawat
dapat mengkaji sumber autoritas dan pedomn seseorang dengan
menanyakan klien apa yang memberi anda kekuatan dari dalam?,
kepada siapa anda mencari bantuan untuk pedoman dalam hidup
anda?. Juga penting untuk mengetahui apakah ada sumber keagamaan
yang berkonflik dengan pengobatan medis. Hal ini sangat

Page 18
mempengaruhi pilihan yang diberikan perawat dan pemberi perawatan
kesehatan lainnya kepada klien. Misalnya jika klien penganut saksi
yehove sebagai sumber autoritasnya maka tranfisi darah tidak akan
diterima sebagai suatu bentuk pengobatan. (Potter & perry, 2005.,
p.571)
c. Pengalaman dan emosi
Pengkajian spiritual yang mencakup tinjauan tentang riwayat
seseorang dengan dan kapasitas pengalaman keagamaan dan apakah
pengalaman tersebut terjadi mendadak atau bertahap. Perawat dapat
menanyakan pernahkah anda mempunyai pengalaman keagamaan
atau spirirual yang membuat berbeda dalam anda menjalani hidup?.
Perawat menggali emosi atau suasana hati seperti kebahagian damai,
marah, rasa bersalah, harapan atau rasa malu yang berkaitan dengan
pengalaman keagamaan. Informasi tersebut dapat menunjukkan makna
spiritualitas yang dianut dan apakan perasaan tersebut menyatu
kedalam atau ditolak oleh keyakina klien. (Potter & perry, 2005.,
p.572)
d. Persahabatan dan komunitas
Pengkajian holistik perawat menggali keluasan jaringan
dukunan seseorang dan hubungan mereka dengan klien. Apakah klien
mempunyai satu hubungan persahabatan atau lebih? tingkat dukungan
apa yang diterima dari komunitas ini? bagaimana komunitas
mengekspresikan perasaan tentang perhatian dan persahabatan?
perawat ingin mempelajari apakah terdapat keterbukaan diantara klien
dan individu tersebut dengan siapa klien membentuk persahabatan.
(Potter & perry, 2005., p.572).
e. Ritual dan ibadat
Klien yang beragama islam mungkin berkeinginan untuk
memadukan ritual sembahyang mereka ke dalam rutinitas perawatan
kesehatan. Ketika kematian klien sudah dekat, sangat penting artinya
untuk mengetahui apakah praktik keagamaan harus di lakukan untuk
memastikan ketenangan jiwa bagi klien dan keluarganya. (Potter &
perry, 2005., p.573)
f. Dorongan dan pertumbuhan

Page 19
Pengkajian mencakup tinjauan apakah klien membiarkan
keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan baru
akan muncul. Hal ini penting karena kehilangan harapan dapat
menyebabkan keputusasaan. Jika penyakit membuat seseorang lebih
bergantung, dapatkah sumber baru muncul? (Potter & perry, 2005.,
p.574)
g. Panggilan dan konsekuensi
Individu mengekspresikan spiritulitas mereka pada rutinitas
sehari-hari, pekerjaan, hubungan, dan bidang lainnya. Hal tersebut
dapat menjadi panggilan dalam hidup dan menjadi bagian dari
identitas mereka. Perawat mengkaji apakah dalam menghadapi
penyakit, klien kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan rasa
keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar darinya. (Potter &
perry, 2005., p.574)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA 2003, mengakui tiga diagnosis yg berhubungan
dengan spiritual :
a. Distress spiritual adalah hambatan kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan makna dan tujuan dalam hidup melalui hubungan
dengan diri sendiri, orang lain, music, seni, buku, alam, ataupun dengan
Tuhan Yang Maha Esa.
b. Distress spiritual, risiko adalah beresiko terhadap hambatan
kemampuan untuk mengalami dan megintrasikan makna dan tujuan dan
tujuan dalam hidup melalui hubungan diri sendiri, orang lain, seni,
musik, buku, alam, ataupun dengan Tuhan yang Maha Esa.
c. Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah
kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan
hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, music,
buku, alam, ataupun demgam Tuhan Yang Maha Esa dan dapat
ditingkatkan.

3. Distress spiritual
a. Definisi distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) definisi distress spiritual adalah
hambatan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna

Page 20
dan tujuan dalam hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang
lain, musik, seni, buku, alam, ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
1. Hubungan dengan diri sendiri
a. Marah
b. Rasa bersalah
c. Koping buruk
d. Mengekspresikan kurangnya: Penerimaan, semangat memaafkan
diri sendiri, harapan, cinta
e. Makna dan tujuan hidup
f. Kedamaian dan ketentraman
2. Hubungan dengan orang lain
a. Mengungkapkan pengasingan
b. Menolak interaksi dengan orang terdekat
c. Menolak interaksi dengan pembimbing spiritual
3. Hubungan dengan Seni, Musik, Buku, Alam
a. Tidak tertarik pada alam
b. Tidak tertarik membaca literature keagamaan
c. Ketidakmampuan mengekspresikan status kreativitas yang
dahulu (Bernyanyi, dan mendengarkan music serta menulis)
4. Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
a. Mengungkapkan di tinggalkan
b. Mengungkapkan marah terhadap Tuhan
c. Mengungkapkan keputusasaan
d. Mengungkapkan penderitaan
e. Ketidakmampuan mengintropeksi diri atau menilik diri
f. Ketidakmampuan mengalami transendensi diri
g. Ketidakmampuan berpartisipasi dalam aktifitas keagamaan
h. Ketidakmampuan berdoa
i. Meminta berteman dengan pembimbing spiritual
j. Perubahan mendadak pada praktik spiritual
b. Faktor yang berhubungan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
faktor yang berhubungan dengan distress spiritual, sebaga berikut :
1. Menjelang ajal aktif
2. Ansietas
3. Penyakit kronik pada diri sendiri dan orang lain
4. Kematian [orang lain]
5. Perubahan hidup
6. Kesepian atau pengasingan social
7. Nyeri
8. Peniadaan diri
9. Deprivasi sosiokultural
c. Saran penggunaan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
saran penggunaan distress spiritual, sebagai berikut :

Page 21
1. Kesejahteraan spiritual sebaiknya di pikirkan secara luas dan tidak
terbatas pada agama. Semua orang beragama, dalam artin bahwa
mereka mebutuhkan sesuau yang dapat memberikan arti dalam
hidup mereka. Untuk sebagian Orang, hal ini berarti percaya
terhadap Tuhan dalam arti tradisional, untuk yang lainnya, hal ini
merupakan perasaan keselarasan dengan alam, sementara untuk
yang lainnya lagi, hal ini dapat keluarga dan anak anak. Ketika
pasien percaya bahwa hidup tidak memiliki arti atau tujuan, dalam
arti apapu, terjadi distres spiritual.
2. Beberapa alternative diagnosis yang di sarankan berikut dapat
menimbulkan distress spiritual.
d. Alternatif diagnosis yang di sarankan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
alternatif diagnosis yang di sarankan distress spiritual, sebagai berikut :
1. Ansietas, kematian
2. Konflik pembuatan keputusan
3. Koping, ketidakefektifan
4. Kepedihan, kronis
5. Distress spiritual, risiko
e. Hasil NOC distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
hasil NOC distress spiritual, sebagai berikut :
1. Kematian yang bermartabat : tindakan pribadi untuk
mempertahankan kendali dan kenyamanan dalam mendekati akhir
kehidupan.
2. Harapan : optimism yang secara pribdi memuaskan serta
mendukung hidup.
3. Kesehatan spiritual : hubungan dengan diri sendiri, orang lain,
Tuhan, seluruh kehidupan, alam, dan semesta; yang meningkatkan
trasendensi diri serta memberdayakan diri.
f. Intervensi NIC distress spiritual

Page 22
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
intervensi NIC distress spiritual, sebagai berikut :
1. Dukungan emosi: memberi ketenangan, penerimaan dan dukungan
saat stress
2. Penumbuhan harapan: memfasilitasi perkembangan sikap positif
pada situasi tertentu
3. Fasilitasi pertumbuhan spiritual: memfasilitasi pertumbuhan
kapasitas pasien untuk mengidentifikasikan, berhubungan dengan
dan memanggil sumber makna, tujuan, kenyamanan, kekuatan, dan
hatrapan dalam hidup mereka
4. Dukungan spiritual: membantu pasien untuk merasakan
keseimbangan dan hubungan dengan tuhan.
g. Aktivitas keperawatan distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) distress spiritual mempunyai
aktivitas keperawatan distress spiritual, sebagai berikut :
1. Pengkajian
Untuk pasien yang mengindikasikan adanya ketaatan
beragama, kaji adanya indikator langsung status spiritual pasien
dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah anda merasa keimanan Anda dapat membantu Anda?
Dengan cara apa keimanan tersebut penting bagi Anda saat ini?
b. Bagaimana saya dapat membantu Anda menjalani keimanan
Anda? Misalnya, apakah Anda ingin saya membacakan buku
doa untuk Anda?
c. Apakah Anda menginginkan kunjungan dari penasihat spiritual
atau layanan keagamaan dari rumah sakit?
d. Tolong beri tahu saya tentang aktivitas agama tertentu yang
penting bagi Anda.
Lakukan pengkajian tidak langsung terhadap statusa
spiritual pasien dengan melakukan langkah berikut:
a. Tentukan konsep ketuhanan pasien dengan mengamati buku-
buku yang ada disamping tempat tidur atau di program televisi

Page 23
yang dilihat pasien. Juga catat apakah kehidupan pasien tampak
memiliki arti, nilai, dan tujuan.
b. Tentukan sumber-sumber harapan dan kekuatan pasien. Apakah
tuhan dalam arti tradisional, anggota keluarga, atau kekuatan
bersumber dari dalam dirinya? catat siapa yang paling banyak
diperbincangka oleh pasien, atau tanyakan, siapa yang penting
bagi Anda?
c. Amati apakah pasien berdoa ketika Anda memasuki ruangan,
sebelum makan, atau saat tindakan.
d. Amati barang-barang, seperti leteratur keagamaan, rosario, kartu
ucapan semoga lekas sembuh yang bersifat keagamaan di
samping tempat tidur pasien.
e. Dengarkan pandangan-pandangan pasien tentang hubungan
antara kepercayaan spiritual dan kondisi spiritualnya, terutama
untuk pertanyaan, seperti, mengapa tuhan membiarkan hal ini
terjadi pada saya? atau jika saya beriman, saya pasti akan
sembuh.
2. Aktivitas Kolaboratif
a. Komunikasi kebutuhan nutrisi (misalnya, makanan halan, diet
vegetarian, dan diet tanpa-daging babi? Dengan ahli gizi
b. Minta konsultasi spiritual untuk membantu pasien atau keluarga
menentuka kebutuhan pascahospitalisasi dan sumber-sumber
dukungan di masyarakat
c. Dukungan Spiritual (NIC): Rujuk ke penasihat spiritual pilihan
pasien
3. Aktivitas lain
a. Jelaskan pembatasan yang dilakukan sehubungan dengan
perawat terhadap aktivitas keagamaan
b. Buat perubahan yang diperlukan segera untuk membantu
memenuhi keutuhan pasien (misalnya, dukung keluarga pasien
atau teman untuk membawa makanan istimewa)

Page 24
c. Jaga privasi dan beri waktu pada pasien untuk mengamati praktik
keagamaan
d. Dukungan Spiritual (NIC):
1. Terbuka terhadap ungkapan pasien tentang kesepian dan
ketidakberdayaan
2. Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien
mengklarifikasi kepercayaan dan nilai yang ia yakini, jika
perlu ungkapkan empati terhadap perasaan pasien
3. Dengarkan dengan cermat komunikasi pasien dan
kembangkan makna waktu berdoa atau ritual keagamaan
4. Beri jaminan kepada pasien bahwa perawat selalu ada untuk
mendukung pasien saat pasien measakan penderitaan
5. Anjurkan kunjungan pelayanan keagamaan, jika diinginkan
beri artikel keagamaan yan diinginkan, sesuai pilihan pasien
Perawatan Dirumah
a. Tindakan di atas tepat diterapkan dalam perawatan
dirumah
b. Bantu pasien dan keluarga menciptakan satu ruang di
dalam rumah untuk meditasi atau beribadah
Untuk lansia
Atur seseorang (misalnya, pembantu rumah tangga)
untuk membacakan kitab suci untuk klien jika klien
menginginkannya dan tidak mampu membacanya sendiri.

4. Risiko distress spiritual


a. Definisi risiko distress spiritual
Menurut Judith M.Wilkson (2009) definisi risiko distress spiritual
adalah berisiko terhadap hambatan kemampuan untuk mengalami dan
megintrasikan makna dan tujuan dan tujuan dalam hidup melalui
hubungan diri sendiri, orang lain, seni, musik, buku, alam, ataupun
dengan Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan menurut Cynthia M. Taylor
(2012) definisi risiko distress spiritual adalah beresiko terpisah dari
ikatan realigius dan cultural.

Page 25
b. Pengkajian risiko distress spiritual
Menurut Cynthia M. Taylor (2012), risiko distress spiritual
mempunyai pengkajian adalah sebagai berikut :
1. Riwayat kesehatan, meliputi penyakit, debilitas (contoh, atritis
rheumatoid); penyakit terminal; kanker rekuren; kondisi yang
mengubah citra tubuh (contoh, luka bakar, jaringan parut);
kekambuhan atau pemburukan penyakit neorologis (contoh,
sklerosis multiple); alkoholisme, depresi, penyalahgunaan; cidera
traumatic mayor
2. Dampak penyakit, cedera, atau disabilitas yang di alami saat ini
terhadap gaya hidup
3. Atatus spiritual, keyakinan yangdi anut, kepercayaan, praktek
keagamaan; hubungan dengan pemuka agama (pendeta, kyai, rabi);
kepercayaan tentang hidup, mati,penderitaan
4. Status psikologis, meliputi presepsi tentang diri, citra tubuh,
kemampuan mengatasi masalah, mekanisme koping; sumber
dukungan(keluarga, pasangan, teman, pemberi asuhan); presepsi
tentang diagnosis medis atau masalah kesehatan( kemajuan,
keparahan, prognosis, pilihan penanganan); reaksi terhadap
penyakit, cidera atau distabilitas; citra diri, alam perasaan, prilaku,
motivasi, tingkat energy; stressor,(keuangan, pekerjaan, perselisihan
perkawinan atau pasangan, kehilangan karena kematian atau
perpisahan); pengungkapan duka cita; perubahan pola tidur
5. Status keluarga meliputi status sosio ekonomi; kualitas hubungan;
polan komunikasi, metode penyelesaian konflik; kemampuan
anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan
social pasien; tujuan keluarga.
c. Faktor risiko, risiko distress spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) risiko distress spiritual
mempunyai faktor risiko, sebagai berikut :
1. Perkembangan : Perubahan hidup
2. Lingkungan : Perubahan lingkungan, bencana alam

Page 26
3. Fisik : Penyakit kronik, penyakit fisik,
penyalahgunaan zat
4. Psikososial : Ansietas, kendala untuk mengalami cinta,
perubahan pada ritual keagamaan, perubahan pada praktik spiritual,
konflik budaya, depresi, ketidakmampuan untuk memaafkan,
kehilangan, harga diri rendah, konflik ras, pemisahan dari sistem
dukungan, stres.
d. Diagnosis medis yang berhubungan dengan risiko distress spiritual
Menurut Cynthia M. Taylor (2012) risiko distress spiritual
mempunyai diagnosis medis yang berhubungan dengan risiko distress
spiritual, sebagai berikut :
Penyakit metastatic lanjut, penyakit ginjal stadium akhir,exaserbasi
atau kekambuhan sklerosis multiple, infark miokart, kekambuhan
kangker, penyakit terminal, gangguan kejang tak terkontrol.
e. Hasil yang diharapkan risiko distress spiritual
Menurut Cynthia M. Taylor (2012) risiko distress spiritual
mempunyai hasil yang diharapkan, sebagai berikut :
1. Pasien mendiskusikan kepercayaan religiusnya saat ini
2. Pasien mendiskusikan efek penyakit, cidera, atau disabilitas terhadap
kepercayaan dan praktik spiritual
3. Pasien menggunakan tehnik koping yang sehat untuk mempertahan
kan kesejahteraan spiritual
4. Pasien mengungkapkan perasaan kesejahteraan spiritual
5. Pasien di dukuing dalam upayanya mengikuti secara spiritual dalam
melakukan koping terhadap penyakit, cidera, atau disabilitas
6. Pasien menghubungi anggota keluarga, pasangan, kyai, pendeta, rabi
atau yang lainnya untuk mendapatkan bantuan.
f. Intervensi dan rasional risiko distress spiritual
Menurut Cynthia M. Taylor risiko distress spiritual mempunyai
intervensi dan rasional risiko distress spiritual, sebagai berikut :
1. Kaji arti pentingnya spiritual dalam kehidupan pasien dan dalam
koping terhadap penyakit. Perhatikan partisipasi pasien dalam ritual
dan praktik keagamaan serta keinginan pasien untuk mendiskusikan
kepercayaan spiritual. Kaji dampak penyakit, cidera, atau disabilitas

Page 27
terhadap pamdangan spiritual pasien. Pengkajian yang akurat
tentang arti spiritual bagi pasien di perlukan sebelum melakukan
intervensi.
2. Kaji keinginan pasien untuk membantu koping terhadap masalah
spiritual untuk menentukan sejauh mana pasien termotivasi untuk
membicarakan keluhan spiritual dan terbuka untuk menerima
bantuan dari orang lain
3. Ungkapan keinginan untuk mendiskusikan spiritualitas bila pasien
menghendaki untuk mengurangi isolasi dan membuat masalah
spiritual menjadi terbuka
4. Dorong pasien untuk membicarakan kepercayaan dan praktik
religious. Dengarkan secara aktif ketika pasien membicarakan
keluhan spiritualnya untuk menumbuhkan diskusi terbuka
5. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan yang berkaitan
dengan pengalaman yang mengancam jiwanya saat ini untuk
membantunya mengklarifikasi dan melakukan koping terhadap
perasaannya.
6. Komunikasikan kepada pasien bahwa anda menerima ungkapan
keluhan spiritualnya, walaupun perasannya marah dan negative,
untuk meyakinkan pasien bahwa perasaannya benar
7. Tunjukkan kesediaan untuk berdoa bersama pasien, bila ia
menghendaki, untuk memberikan dukungan spiritual
8. Pertahankan prilaku yang tidak menghakimi. Pertahankan
percakapan berfokus spiritual pasien untuk mempertahankan nilai
terapiotik interaksi anda dengan pasien.
9. Berikan kuntiunitas praktik religus pasien (contoh, bantu ia
mendapatkan benda ritual dan menghormati pembatasan diet, bila
mungkin) untuk menunjukkan dukungan dan menyampaikan
kepedulian dan penerimaan terhadap pasien.
10. Atur kunjungan oleh rohaniwan, bila memungkinkan, untuk
memberikaan dukungan kemampuan spiritual terhadap pasien .
berikan prifasi selama kunjungan.
11. Kolaborasi dengan rohaniwan atau rohaniwan rumah sakit dengan
menyusun rencana untuk menginteragsikan intervensi spiritual dan
perawatan pasien untuk menjamin kontiunitas keperawatan.
g. Dokumentasi risiko distress spiritual

Page 28
Menurut Cynthia M. Taylor risiko distress spiritual mempunyai
dokumentasi risiko distress spiritual, sebagai berikut :
1. Pernyataan pasien mengenai kepercayaan dan praktik religus.
2. Pernyataan pasien yang mengidikasikan efek krisis saat ini terhadap
pandangan spiritual
3. Pernyataan pasien tentang ritual dan praktik yang dapat membantu
mempertahankan ke sejahteraan spiritual
4. Pernyataan pasien yang mengindikasikan keefektifan intervensi
untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
5. Kunjungan oleh penasehat spiritual yang di pilih
6. Rujukan tambahan ke pemuka agama atau rohaniwan rumah sakit
7. Evaluasi masing-masing yang diharapkan

5. Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual


a. Definisi Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) definisi Kesiapan untuk
meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah kemampuan untuk
mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, music, buku, alam,
ataupun dengan Tuhan Yang Maha Esa dan dapat ditingkatkan.
Sedangkan menurut Cynthia M. Taylor (2012) adalah proses
pengembangan diri yang melibatkan kekuatan fisik, psikologis, dan
spiritual.

b. Batasan karakteristik kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan


spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai batasan karakteristik, sebagai
berikut :
1. Hubungan dengan diri sendiri
Mengungkapkan keinginan untuk meningkatkan :Penerimaan,
koping, semangat, memanfaatkan diri sendiri, harapan, kesenangan,
cinta, makna dan tujuan hidup (kedamaian dan ketentraman), filosofi
hidup yang memuaskan, pasrah, mengungkapkan kurang
ketentraman (misalnya, kedamaian), meditasi
2. Hubungan dengan seni, music, buku, alam

Page 29
a. Menunjukkan energy kreatif (misalnya menulis, membuat puisi,
bernyanyi)
b. Mendengarkan music
c. Membaca literature keagamaan
d. Menghabiskan waktu diluar rumah
3. Hubungan dengan orang lain : Melayani orang lain, meminta maaf
kepada orang lain, meminta interaksi dengan teman, keluarga,
meminta interaksi dengan keemimpinan dengan spiritual
4. Hubungan dengan Tuhan Ynag Maha Esa : Mengekspresikan
penghormatan dan kekaguman, berpartisipasi dalam aktivitas
keagamaan berdoa, melaporkan pengalaman mistis
c. Diagnosis medis yang berhubungan dengan kesiapan untuk
meningkatkan kesejahteraan spiritual
Menurut Cynthia M. Taylor (2012) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai diagnosis medis yang berhubungan
dengan kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual yaitu :
Diagnosis keperawatan ini dapat diterapkann pada individu yang
menginginkan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi.
d. Hasil NOC kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai hasil NOC, sebagai berikut :
1. Harapan : optimisme yang secara pribadi memuaskan serta
mendukung hidup. Kesejahteraan pribadi : tingkat persepsi positif
tentang status kesehatan serta situasi hidup seseorang.
2. Kualitas hidup : tingkat persepsi positif tentang situasi hidup saat ini.
3. Kesehatan spiritual : hubungan dengan diri sendiri, orang lain,
Tuhan, seluruh kehidupan, alam, dan semesta yang meningkatkan
transendensi diri dan memberdayakan diri.
e. Intervensi NIC kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai intervensi NIC, sebagai berikut :
1. Peningkatan kesadaran diri : membantu pasien menggali dan
memahami gagasan, perasaan, motivasi, dan perilaku pasien
2. Peningkatan harga diri : membantu pasien meningkatkan penilaian
personal pasien tentang harga diri
3. Klarifikasi nilai : membantu orang lain mengklarifikasi nilai yang
mereka anut untuk memfasilitasi pengambilan keputusan yang
efektif

Page 30
f. Aktivitas kolaboratif kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan
spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai aktivitas kolaboratif, yaitu dukungan
spiritual (NIC) dan dukungan kunjungan pelayanan keagamaan, jika
diinginkan
g. Aktivitas lain kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
Menurut Judith M. Wilkson (2009) kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual mempunyai aktivitas lain, sebagai berikut :
Dukungan spiritual (NIC) :
1. Terbuka terhadap perasaan pasien tentang penyakit dan kematian
2. Bantu pasien untuk mengungkapkan perasaan dengan benar dan
meredakan kemarahan dalam cara yang sesuai
3. Bersedia mendengarkan persaan pasien
4. Fasilitasi pasien dalam melakukan meditasi, berdoa, dan tradisi
serta ritual keagamaan lainnya.

Page 31
BAB III
APLIKASI TEORI

3.1 Kasus
Ny. T 50 tahun, ibu rumah tangga, sedang dalam pemulihan
masektomi radikal kanan. Kemarin dokter mengatakan bahwa kanker
payudaranya sudah metastatis dan prognosisnya buruk sehingga masektomi
radikal kiri harus dilakukan. Pagi ini perawat melihat Ny. T menangis karena
putus asa, kurang tidur dan tidak nafsu makan. Ny. T bertanya kepada perawat
Mengapa Tuhan melakukan hal ini pada saya? Mungkin karena saya banyak
dosa, selama hidup ini saya tidak pernah melakukan ibadah. Apakah Allah
SWT masih mau mengampuni dosa saya? Saya sangat takut mati dan takut
terhadap apa yang akan saya hadapi.

3.2 Asuhan keperawatan


3.2.1 Anamnesa
No. Reg : 11300
Ruang : Dahlia
Tanggal MRS : 04 Maret 2014
Tanggal pengkajian : 05 Maret 2014 Jam : 09.00 WIB
Diagnose medis : Kanker payudara
A. Identitas
Nama pasien : Ny. T
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Alamat : Surabaya

B. Data Penangggung Jawab


Nama : Tn. B
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SD
Alamat : Surabaya
Hubungan dengan pasien : Suami

3.2.2 Pemeriksaan fisik

Page 32
a. Keadaan umum (TTV) sebagai berikut :
Suhu : 36,6 C
Nadi : 88 x/menit
Napas : 22 x/menit
TD : 146/86 mmHg
b. BB/TB : 54.0 kg / 165.1 cm
c. Data Diagnostik:
SDM : 3,5 X 106ml
Hb : 10,5 g/I
Ht : 35 %
d. Pengalaman dan Emosi
Pasien merasa banyak berbuat dosa selama hidupnya. Pasien
mengatakan bahwa Allah SWT memberikan sakit karena ia merasa
berlumuran dosa dan pasien takut menghadapi kematiaannya.
Pasien merasa takut terhadap apa yang akan ia hadapi.
e. Ritual dan Ibadah
Pasien selama hidup tidak pernah melakukan ibadah. Tapi
Ny. T semenjak sakit kanker payudara, Ny. T bertaubat dan
melakukan ibadah sholat dan berdzikir.

f. Head To Toe
1. Pemeriksaan Kepala Leher
a. Rambut : Hitam, lurus
b. Kepala : Simetris, tidak ada benjolan
c. Mata : Konjungtiva tidak anemis
d. Hidung : Bersih, tidak ada polip
e. Bibir : Mukosa bibir kering
f. Gigi : Bersih
g. Telinga : Simetris
h. Leher : Tidak ada benjolan
i. Lidah : Lidah tidak kotor

Page 33
2. Pemeriksaan Integumen / Kulit
a. Turgor kulit baik
b. Warna kulit kuning langsat bersih dan tidak ada lesi
3. Pemeriksaan Payudara dan ketiak
Balutan bedah lebar di dinding dada kanan kering dan utuh
4. Pemeriksaan Thorak/dada
a. Inspeksi thorak: Simetris bentuk
dadanya, tidak ada kelainan
b. Auskultasi : Simetris, tidak
ada suara tambahan
5. Jantung
a. Perkusi : Suara peka
b. Auskultasi : S1-S2 normal tidak ada suara tambahan
2. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi : Perut buncit
b. Palpasi : Nyeri jika ditekan di left lower kuadran 4
c. Perkusi :Suara kembung
d. Auskultasi : Bising usus menurun 10 x/menit
3. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitarnya
a. Genetalia : Bersih, tidak ada kelainan pada genetalia,
personal hygiene baik.
b. Anus : Anus pasien bersih, dan tidak ada bercakbercak di
sekitarnya.
4. Pemeriksaan Muskuloskeletal
Otot pasien kuat, sedikit merasa nyeri tangan sebelah
kanan, karena dipasang infus

3.2.3 Analisa Data


Nama Pasien : Ny. T
Umur : 60 tahun
Symptom
No Problem Etiologi
(DS/DO)
1. DS : pasien mengatakan bahwa Distres Penyakit kronik
Allah SWT memberikan sakit spiritual pada diri berupa

Page 34
karena ia merasa berlumuran Masektomi dan
Ansietas akibat
dosa dan merasa takut
ketakutan
menghadapi kematian
terhadap mati
DO : Ny. T menangis karena
putus asa, kurang tidur dan
tidak nafsu makan. Pasien
terlihat putus asa.

3.2.4 Diagnosis Keperawatan


Nama pasien : Ny. T
Umur : 50 tahun
No Diagnosa
1. Distress spiritual yang berhubungan dengan ansietas karena
takut akan kematian dan penyakit kronik pada diri berupa
masektomi di buktikan dengan pasien merasa berlumuran dosa,
takut menghadapi kematian.

3.2.5 Intervensi
Nama pasien : Ny. T
Umur : 50 Tahun
Tujuan dan Nama
No. Rencana
Tgl kriteria hasil Rasional dan
Dx keperawatan
(NIC dan NOC) paraf
1 Tujuan: 1.Beri ketenangan,1. Pasien dapat
Setelah penerimaan, merasa nyaman
dilakukan dan dukungan dan menerima
asuhan saat stres atas
keperawatan penyakitnya
masalah Distres 2. Memfasilitasi
2. Pasien dapat
spiritual dapat perkembangan
merasa tenang
teratasi sikap positif
dan selalu
pada situasi
berfikir positif
Kriteria hasil: tertentu
dalam

Page 35
Memahami menghadapi
bahwa penyakit penyakitnya.
adalah suatu Tidak merasa
tantangan cemas
terhadap sistem
3. Pasien mampu
keyakinan 3. Gunakan teknik
melaksanakan
klarifikasi nilai
praktik
untuk membantu
keagamaan
pasien
mengklarifikasi
keyakinan dan
nilai yang ia
yakini

4.Jaga privasi
4. Pasien tidak
dan beri waktu
merasa kesepian
kepada pasien
dan diperhatikan
untuk
mengamati
praktik
keagamaan
5. Pasien dapat
5. Terbuka
manambah
terhadap
wawasan
ungkapan
spiritual
pasien tentang
kesepian dan
ketidakberdaya
6. Pasien mampu
an
memenuhi
kebutuhanya
6. Anjurkan
(berinteraksi
kunjungan
dengan orang
kelayanan
lain)

Page 36
keagamaan

7. Memberi
kenyamanan dan
menurunkan rasa
kesepian pada
7. Buat
pasien.
perubahan
yang
diperlukan
pasien
8. Pasien dapat
(dukungan
mengandalkan
keluarga atau
perawat untuk
orang terdekat)
selalu bersifat
8. Beri
terbuka.
jaminan kepada
pasien bahwa
perawat selalu
ada untuk
mendukung
pasien saat
pasien
merasakan
penderitaan

3.2.6 Implementasi
Nama pasien : Ny. T
Usia : 50 tahun
Nama dan
Tgl Waktu Implementasi
paraf
10.00 1. Memberi ketenangan, penerimaan,
dan dukungan saat stres
R/ Pasien kooperatif
2. Membantu pasien untuk merasakan
keseimbangan dan hubungan
dengan Tuhan

Page 37
R/ Pasien melaksanakan ibadah
3. Mendengarkan pandangan pasien
tentang hubungan antara
kepercayaan spiritual dan kondisi
kesehatannya
R/ Pasien mengungkapkan bahwa
penyakit adalah tantangan terhadap
keyakinan
4. Menggunakan teknik klarifikasi
12.00 nilai untuk membantu pasien
mengklarifikasi keyakinan dan nilai
yang ia yakini
R/ Pasien mampu menjelaskan nilai
kehidupan
5. Memberi ketenangan, penerimaan,
dan dukungan saat stres
R/ Pasien kooperatif
6. Membuat perubahan yang
diperlukan pasien (dukungan
10.00
keluarga atau orang terdekat)
R/ Pasien mau menjawab
pertanyaan perawat
7. Menjaga privasi dan beri waktu
kepada pasien untuk mengamati
praktik keagamaan
R/ Pasien melakukan ibadah
8. Memberi ketenangan, penerimaan,
dan dukungan saat stres
R/ Pasien kooperatif
9. Terbuka terhadap ungkapan pasien
tentang kesepian dan
ketidakberdayaan
R/ Pasien lebih tenang dan ceria
10. Menganjurkan kunjungan
pelayanan keagamaan
R/ Pasien kooperarif
11. Memberi jaminan kepada
pasien bahwa perawat selalu ada

Page 38
untuk mendukung pasien saat
pasien merasakan penderitaan
R/ Pasien nyaman

3.2.7 Evaluasi
Nama : Ny. T
Umur : 50 tahun
Tanggal/jam No. Dx. Per Evaluasi
15.00 1 S : Ny. T mengatakan
Tuhan maha
pengampun dan akan
membatu beliau.
O : Ny. T melakukan
ibadah sholat setiap
hari dan berdzikir.
A : Masalah teratasi
P : Rencana tindakan di
hentikan dan saat
pasien akan pulang di
berikan Health
Education.

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan untuk menangani kasus ini dapat dilihat spiritualitas


mempunyai pengertian yaitu keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha

Page 39
Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah
sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Sedangkan religi berarti suatu sistem
kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Kondisi Ny T dia tidak mau beribadah selama hidupnya, sering
menangis, tetapi dia masih bisa berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini
berarti hubungan spiritualitas dan religi dengan Tuhan tidak seimbang. Sehingga
ketika dia di diagnosis kanker payudara, dia mengalami distress spiritual. Dia
menganggap bahwa kanker payudara ini merupakan bentuk kemarahan Tuhan
terhadap dirinya yang tidak pernah beribadah seumur hidupnya.
Berdasarkan aspek spiritualitas bahwa Ny. T tidak seimbang tentang
aspek spiritualitas yang berhubungan dengan sesuatu tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan, dimana Ny. T lupa akan Tuhannya yang tidak
berwujud tetapi Tuhan itu ada. Ny. T tidak seimbang dengan aspek spiritual
mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dengan Yang Maha Tinggi
dimana Ny. T merasa tidak terikat dengan Tuhannya. Sehingga Ny. T tidak
melakukan ibadah.

BAB V
PENUTUP

3.1 Simpulan
Spiritual adalah suatu perasaan terhadap keberadaan dan arti dari zat
yang lebih tinggi dari manusia yang menjadi faktor intrinsik alamiah dan
merupakan sumber penting dalam penyembuhan. Dimana dikatakan pula
sebagai keyakinan (faith) bersumber pada kekuatan yang lebih tinggi akan
membuat hidup menjadi lebih hidup dapat mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan. Setiap interaksi dan perilaku individu sangat

Page 40
dipengaruhi oleh spiritualisme yang dialami dalam kehidupan yang sangat
erat hubungannya dengan kebudayaan yang ada.
Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat
dicapai jika terjadi keseimbangan dengan dimensi lain (fisiologis, psikologis,
sosiologis, kultural). Peran perawat adalah bagaimana perawat mampu
mendorong klien untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai kondisi,
Sehingga klien mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri
terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut.
Pengkajian spiritual paling baik dilaksanakan setelah perawat
membina hubungan terapeutik dengan klien. Informasi dapat diperoleh
mengenai konsep klien terkait diet atau dorongan kreatif, sumber harapan dan
kekuatan klien terhadap hubungan antara kesehatan dan keyakinan spiritual.
Intervensi keperawatan yang meningkatkan kesejahteraan spiritual mencakup
menawarkan kehadiran seseorang, mendukung praktik keagamaan klien,
berdoa bersama klien, dan merujuk klien ke konselor keagamaan.
Jadi spiritualitas dan religi itu harus seimbang antara manusia dengan
Tuhan , dan antara Tuhan dan manusia. Jika tidak seimbang maka distress
spiritual akan terjadi.
Kita sebagai perawat meminta orang-orang terdekat seperti keluarga,
teman dan tokoh masyarakat (ustadz) untuk membantu dalam mendukung
proses penyembuhan klien yang mengalami distress spiritual selain obat yang
diberikan di rumah sakit.
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui/menguasai tentang kesehatan
spiritual dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 41
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis.


(Kusrini Semarwati Kadar, Penerjemah). Jakarta: EGC

Cynthia M. Taylor & Sheila Sparks Ralph. 2012. Diagnosis Keperawatan Dengan
Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : EGC

Hamid, A .Y.S. 2008. Bunga rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Hawari, D. 2007. Doa dan Zikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis. Jakarta :
Penerbit FKUI

Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Ed. 6. Jakarta : EGC

Judith M. Wilkson, Nancy R Ahern. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.


Edisi 9. Jakarta : Buku kedokteran EGC

Kozier, B. et al. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik.Vol.2. Jakarta: EGC

Potter, A. Patricia, Perry, A. Griffin. 2005. Fundamental keperawatan: konsep,


proses, dan praktik. Ed.4 Vol.2. Jakarta: EGC

Page 42
Page 43

Vous aimerez peut-être aussi