Vous êtes sur la page 1sur 12

Value For Money Audit

Untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban public oleh lembaga lembaga


pemerintah maka diperlukan perluasan system pemeriksaan, tidak sekedar conventional
audit, namun perlu juga dilakukan value for money audit (VFM audit). Dalam pemeriksaan
yang konvensional, lingkup pemeriksaannya hanya sebatas audit terhadap keuangan dan
kepatuhan, sedangkan dalam pendekatan baru ini selain audit keuangan dan kepatuhan juga
perlu dilakukan audit kinerjaI (performance audit). Performance audit meliputi audit
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Audit ekonomi dan efisiensi disebut management audit
atau operational audit, sedangkan audit efektivitas disebut program audit. Istilah lain dari
performance audit tersebut adalah VFM audit atau dapat disingkat 3Es audit (economy,
efficiency, and effectiveness audit).

Karakteristik Value for Money Audit

Audit kinerja yang meliputi audit ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, pada dasarnya
merupakan perluasan dari audit keuangan dalam hal tujuan dan prosedurnya. Pada audit
keuangan dan audit kinerja, tidak terdapat perbedaan definisi yang tajam karena definisi audit
kinerja sebagai suatu proses dapat diturunkan dari definisi audit keuangan. Pengertian audit
dalam audit keuangan adalah suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan
mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai asersi atas tindakan dan kejadian ekonomi,
kesesuaiannya dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan dan kemudian
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak pihak pengguna laporan tersebut (Malan,
1984).

Audit kinerja memfokuskan pemeriksaan pada tindakan tindakan dan kejadian kejadian
ekonomi yang menggambarkan kinerja entitas atau fungsi yang diaudit. Definisi audit kinerja
adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh dan megevaluasi bukti secara obyektif, agar
dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi, efektvitas
dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan dan
hokum yang berlaku, menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak
pihak pengguna laporan tersebut (Malan, 1984).

Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi tersebut mampu melaksanakan tugas
tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan
biaya yang rendah. Secara teknis kinerja yang baik bagi suatu organisasi dicapai ketika
administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat
yang ekonomis, efisien, dan efektif. Konsep ekonomi, efisiensi, dan efektivitas saling
berhubungan satu sama lain. Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang
digunakan dalam operasional organisasi dapat diminimalkan, konsep efisien memastikan
bahwa output yang maksimal dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia, konsep efektif
berarti bahwa jasa yang disediakan atau yang dihasilkan oleh organisasi dapat melayani
kebutuhan pengguna jasa dengan tepat.
Salah satu hal yang membedakan VFM audit dengan conventional audit adalah dalam hal
laporan audit. Dalam audit konvesional, hasil audit adalah berupa pendapat auditor secara
independen dan obyektif tentang kewajaran laporan keuangan yang sesuai dengan kriteria
standar yang telah ditetapkan, tanpa pemberian rekomendasi perbaikan. Sedangkan dalam hal
VFM audit tidak sekedar menyampaikan kesimpulan berdasarkan tahapan audit yang
dilaksanakan, akan tetapi juga dilengkapi dengan rekomendasi untuk perbaikan di masa
mendatang.

Audit Ekonomi dan Efisien

Ekonomi mempunyai arti biaya terendah, sedangkan efisiensi mengacu pada rasio terbaik
antara output dengan biaya (input). Karena output dan biaya diukur dalam unit yang berbeda
maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumberdaya yang ada dapat dicapai suatu output
yang maksimal atau output tertentu dapat dicapai dengan sumberdaya yang sekecil
kecilnya. Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan :

1) Apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan


sumberdayanya (seperti karyawan, gedung, ruang, dan peralatan kantor) secara
ekonomis dan efisien
2) Penyebab terjadinya praktik praktik yang tidak ekonomis atau tidak efisien,
termasuk ketidakmampuan organisasi dalam mengelola sistem informasi, prosedur
administrasi, dan struktur organisasi.

Secara lebih spesifik, The General Accounting Office Standards (1994) menegaskan bahwa
audit ekonomi dan efisiensi dilakukan dengan mempertimbangkan apakah entitas yang
diaudit telah :

a. Mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat ;


b. Melakukan pengadaan sumber daya (jenis, mutu, dan jumlah) sesuai dengan
kebutuhan pada biaya terendah;
c. Melindungi dan memelihara semua sumber daya yang ada secara memadai;
d. Menghidari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang kurang jelas tujuannya;
e. Menghindari adanya pengangguran sumber daya atau jumlah pegawai yang
berlebihan;
f. Menggunakan prosedur kerja yang efisien;
g. Menggunakan sumber daya (staf, peralatan, fasilitas) yang minimum dengan
menghasilkan atau menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan kualitas yang
tepat;
h. Mematuhi persyaratan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
perolehan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya Negara;
i. Melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kehematan
dan efisiensi.

Pada audit ekonomi dan efisiensi, ukuran output idealnya dispesifikasikan oleh organisasi
yang bersangkutan dan ukuran tersebut digunakan untuk mengukur kinerja manajer. Akan
menyimpang bila auditor mengukur efisiensi berdasarkan kriteria yang tidak digunakan oleh
manajer dalam mencapai tujuan. Begaimanapun juga, dalam praktek mungkin output
organisasi sector public tidak dapat dinyatakan secara eksplisit. Dengan berdasarkan pada
ukuran input dan output yang telah ditetapkan sebelumnya, auditor harus mampu menilai
apakah output telah dihasilkan dengan biaya yang lebih rendah atau apakah biaya yang terjadi
dapat menghasilkan output yang lebih besar.
Untuk dapat mengetahui apakah organisasi telah menghasilkan output yang optimal dengan
sumber daya yang dimilikinya, auditor dapat membandingkan output yang telah dicapai pada
periode yang bersangkutan dengan :
1. Standar yang telah ditetapkan sebelumnya
2. Kinerja tahun tahun sebelumnya
3. Unit lain pada organisasi yang sama atau pada organisasi yang berbeda

Prosedur untuk melakukan audit ekonomi dan efisiensi sama dengan jenis audit yang lainnya.
Secara umum, tahapan tahapan audit yang dilakukan meliputi :

1. Perencanaan audit
2. Me review sistem akuntansi dan pengendalian intern
3. Menguji sistem akuntansi dan pengendalian intern
4. Melaksanakan audit
5. Menyampaikan laporan

Audit Efektivitas

Efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Menurut Audit Commission (1986),


efektivitas berarti menyediakan jasa jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang
berwenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya. Audit efektivitas (audit
program) bertujuan untuk menentukan : (1) tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang
diinginkan (2) kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya (3) apakah entitas
yang diaudit telah mempertimbangkan alternative lain yang memberikan hasil yang sama
dengan biaya yang paling rendah.

Secara lebih rinci, tujuan pelaksanaan audit efektivitas atau audit program adalah untuk :

a. Menilai tujuan program, baik yang baru maupun yang sudah berjalan, apakah sudah
memadai dan tepat;
b. Menentukan tingkat pencapaian hasil suatu program yang diinginkan;
c. Menilai efektivitas program dan unsur unsur program secara terpisah
d. Mengidentifikasi faktor yang menghambat pelaksanaan kinerja yang baik dan
memuaskan
e. Menentukan apakah manajemen telah mempertimbangkan alternatif untuk
melaksanakan program yang mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik dan
dengan biaya yang lebih rendah;
f. Menentukan apakah program tersebut saling melengkapi, tumpang-tindih atau
bertentangan dengan program lain yang terkait;
g. Mengidentifikasi cara untuk dapat melaksanakan program tersebut dengan lebih baik;
h. Menilai ketaatan terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku untuk
program tersebut;
i. Menilai apakah sistem pengendalian manajemen sudah cukup memadai untuk
mengukur, melaporkan, dan memantau tingkat efektivitas program;
j. Menentukan apakah manajemen telah melaporkan ukuran yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai efektivitas program.

Efektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi pengguna jasa. Untuk mengukur
efektivitas suatu kegiatan harus didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Jika hal ini belum tersedia, auditor bekerja sama dengan top management dan badan pembuat
keputusan untuk menghasilkan kriterie tersebut dengan berpedoman pada tujuan pelaksanaan
suatu program. Meskipun efektivitas suatu program tidak dapat diukur secara langsung, ada
beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan suatu program
yaitu : 1) Proksi untuk mengukur dampak/pengaruh 2) Evaluasi oleh konsumen 3) Evaluasi
yang menitikberatkan pada proses bukan pada hasil.

Sebagaimna kita ketahui bersama bahwa tingkat complain dan tingkat permintaan dari
penguna jasa dapat dijadikan proksi pengukuran standar kinerja yang sederhana untuk
berbagai jasa. Evaluasi terhadap pelaksanaan suatu program hendaknya senantiasa
mempertimbangkan hal hal berikut : 1) Apakah program tersebut relevan atau realistik 2)
Apakah ada pengaruh dari program tersebut 3) Evaluasi yang menitikberatkan pada proses
bukan pada hasil.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa audit kinerja pada dasarnya merupakan perluasan
dari audit keuangan dalam hal tujuan dan prosedurnya. Pada audit kinerja, kegiatan
pemeriksaan terhadap pengelolaan organisasi sector publik terutama didasarkan pada tiga
elemen utama, yaitu : ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Penekanan kegiatan audit pada
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas suatu organisasi memberikan ciri khusus yang
membedakan audit kinerja dengan audit jenis lainnya. Adapun bagan yang menjelaskan
karakteristik audit kinerja yang merupakan gabungan antara audit manajemen dan audit
program :
Ekonomi
Audit
Manajemen Audit Kinerja/ VFM
3E
Efisiensi Audit
Audit
Efektivitas Program

Penjelasan secara komprehensif terhadap konsep value for money dapat dilihat kembali pada
bab - bab sebelumnya. Value for money audit secara umum mempunyai tiga kategori
kegiatan yaitu : 1) By Product VFM work, 2) an Arrangement Review, dan 3)
Performance Review.

1. By-product VFM work


Pekerjaan value for money audit merupakan tujuan yang sekunder di samping
pekerjaan pekerjaan utama yang lebih penting, pekerjaan ini biasanya kurang
terstruktur dibandingkan dengan kegiatan/tugas yang lainnya. Tipe pekerjaan ini
biasanya berupaya untuk mencari penghemat penghematan dengan jalan melakukan
sedikit perubahan dalam praktik kerja. Perubahan yang dilakukan mungkin hanya
sebagian kecil tapi seringkali memiliki manfaat yang substansial.
2. An Arrangement Review
Pekerjaan value for money audit yang dilakukan untuk menjamin/ mamstikan bahwa
klien telah melakukan tugas administrasi yang diperlukan untuk mencapai value for
money. Dalam organisasi yang memberikan jasa yang kompleks, operasi yang
ekonomis, efisien, dan afektif hanya dapat dilakukan jika terdapat serangkaian
peraturan formal untuk mengontrol penggunaan sumber daya. Auditor dapat
mengecek dan menilai keberadaan peraturan formal semacam ini. Arrangement
Review akan memberikan gambaran bagi auditor untuk me review kinerja dan me
review jasa jasa tertentu/khusus.
3. Performance Review
Pekerjaan yang dilakukan untuk menilai secara obyektif value for money yang telah
dicapai oleh klien dan membandingkannya dengan kriteria (pembanding) yang valid.
Penilaian terhadap kinerja klien dapat dilakukan dengan kinerja masa lalu, target yang
telah ditetapkan sebelumnya atau kinerja organisasi sejenis lainnya.

Untuk melaksanakan proses audit kinerja pada organisasi sektor publik diperlukan beberapa
prasyarat. Adapun prasyarat yang harus dipenuhi dalam audit kinerja yaitu :

1. Auditor (orang/lembaga yang melakukan audit), auditee (pihak yang diaudit),


recipient (pihak yang menerima hasil audit)
2. Hubungan akuntabilitas antara auditee (subordinate) dan audit recipient (otoritas tang
lebih tinggi)
3. Independensi antara auditor dan auditee
4. Pengujian dan evaluasi tertentu atas aktivitas yang menjadi tanggung jawab auditee
oleh auditor untuk audit recipient.

Auditor sering disebut pihak pertama dan memgang peran utama dalam pelaksanaan audit
kinerja karena auditor dapat mengakses informasi keuangan dan informasi manajemen dari
organisasi yang diaudit, memiliki kemampuan professional dan bersifat independen.
Walaupun pada kenyataannya prinsip independen ini sulit untuk benar benar dilaksanakan
secara mutlak, antara auditor dan auditee harus berusaha untuk menjaga independensi
tersebut sehingga tujuan audit tercapai. Pihak auditee biasanya terdiri dari manajemen atau
pekerja suatu organisasi yang bertanggungjawab kepada recipent dan biasa disebut pihak
kedua. Recipent merupakan pihak pihak yang menerima laporan dan biasa disebut pihak
ketiga yang terdiri dari beberapa kelompok antara lain : tingkatan yang lebih tinggi dalam
organisasi yang sama, dewan komisaris, stockholder, masyarakat, dan investor baik secara
individu maupun kelompok.
Hubungan antara pihak pihak yang terlibat dalam audit kinerja dan fungsi yang terjadi
diantara pihak pihak tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut :

Pihak Pertama : Auditor

Fungsi Atestasi Fungsi Audit

Pihak ketiga : pihak yang Fungsi Akuntabilitas Pihak kedua : Entitas


menuntut adanya yang di audit
akuntabiitas

Sebagaimana profesi di bidang lainnya, untuk menjadi seorang auditor sektor public
diperlukan beberapa syarat, yaitu :

1. Seorang auditor harus telah diakui dapat melakukan pemeriksaan (audit);


a. Memiliki pemahaman tentang akun akun yang ada, sesuai dengan peraturan
yang berlaku serta mentaati undang undang yang ada.
b. Auditor telah diakui kemampuannya dalam melakukan praktik audit.
c. Auditor harus dapat memahami apakah klien telah memanfaatkan sumber
daya yang dimiliki secara ekonomis, efisien dan efektif.
2. Seorang auditor harus mematuhi kode etik yang berlaku.
3. Seorang auditor harus dapat melakukan audit dengan bertanggungjawab, karena
terdorong oleh kesadaran bahwa audit yang akan dilaksanakannya pada organisasi
otganisasi sektor public, terutama untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Secara umum, ada dua prosedur utama untuk melaksanakan praktik auditing terhadap kinerja
organisasi secara komprehensif. Prosedur tersebut adalah management and technical review
dan special studies.

Management and Technical Review

Telaah fungsi manajemen secara umum mengenai perencanaan, pengorganisasian,


pengarahan, pengendalian dan metode/teknik khusus yang digunakan oleh entitas untuk
menentukan apakah: 1) Rencana yang matang telah dikembangkan untuk mencapai hasil
yang diinginkan, 2) Terdapat struktur yang memadai tentang wewenang dan tanggungjawab
manajemen, 3) Manajemen telah secara jelas mengkomunikasikan ekspektasinya kepada
pihak pihak yang bertanggungjawab atas operasi, 4) Pelaksanaan diawasi dan dievaluasi
secara reguler dengan menggunakan kriteria yang memadai sehingga varian dari rencana
dapat dideteksi dan dikoreksi tepat waktu.

Special Studies

Telaah yang diarahkan untuk mencapai kesesuaian terhadap spesifikasi tertentu sesuai dengan
permintaan. Sebagai contoh, special studies mungkin dilaksanakan untuk: 1) Penelitian
mengenai dugaan terjadinya kesalahan atau kecurangan, 2) Menilai kecukupan pengendalian
internal dalam sistem informasi manajemen atau sistem akuntansi yang diterapkan, 3)
Konsultasi dengan manajemen berkaitan dengan masalah keuangan khusus atau berkaitan
dengan masalah kinerja, 4) Mengevaluasi penggunaan dana untuk kegiatan investasi yang
mungkin berpengaruh terhadap operasi organisasi di masa mendatang.

Standar Audit Pemerintahan (SAP) Tahun 1995

Sejauh ini, audit kinerja terhadap lembaga lembaga pemerintahan di Indonesia dilakukan
dengan berpedoman pada Standar Audit Pemerintahan (SAP) yang dikeluarkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 1995. SAP tersebut merupakan buku standar untuk
melakukan audit atas semua kegiatan pemerintah yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD,
pelaksanaan anggaran tahunan BUMN dan BUMD, serta kegiatan yayasan yang didirikan
oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan keuangan negara atau yang menerima bantuan pemerintah.

Adapun standar standar yang menjadi pedoman dalam audit kinerja terhadap lembaga
pemerintah menurut Standar Akuntansi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

1. Standar Umum
a. Staf yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif memiliki
kecakapan professional yang memadai untuk tugas yang disyaratkan.
b. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit, organisasi/lembaga
audit dan auditor, baik pemerintah maupun akuntan publik, harus independen
(secara organisasi maupun secara pribadi), bebas dari gangguan independensi
yang bersifat pribadi dan yang di luar pribadinya, yang dapat mempengaruhi
independensinya, serta harus dapat mempertahankan sikap dan penampilan
yang independen.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama.
d. Setiap organisasi/lembaga audit yang melaksanakan audit yang berdasarkan
SAP ini harus memiliki sistem pengendalian intern yang memadai, dan sistem
pengendalian mutu tersebut harus di-review oleh pihak lain yang kompeten
(pengendalian mutu ekstern).
2. Standar Pekerjaan Lapangan Audit Kinerja
Standar pekerjaan lapangan untuk audit kinerja terdiri atas tiga hal, yaitu :
a. Perencanaan
Pekerjaan harus direncanakan secara memadai
b. Supervisi
Staf harus diawasi dengan baik
c. Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang undangan
Apabila hukum, peraturan perundang undangan, dan persyaratan kepatuhan
lainnya merupakan hal yang signifikan bagi tujuan audit, auditor harus
merancang audit tersebut untuk memberikan keyakinan yang memadai
mengenai kepatuhan tersebut. Dalam semua audit kinerja, auditor harus
waspada terhadap situasi atau transaksi yang dapat merupakan indikasi adanya
unsur perbuatan melanggar/melawan hokum atau penyalahgunaan wewenang.
d. Pengendalian Manajemen
Auditor harus benar benar memahami pengendalian manajemen yang
relevan dengan audit. Apabila pengendalian manajemen signifikan terhadap
tujuan audit, maka auditor harus memperoleh bukti yang cukup untuk
mendukung pertimbangannya mengenai pengendalian tersebut.
3. Standar Pelaporan Audit Kinerja
Standar pelaporan audit kinerja berisi lima hal, yakni :
1) Bentuk
Auditor harus membuat laporan audit secara tertulis untuk dapat
mengkomunikasikan hasil setiap audit.
2) Ketepatan Waktu
Auditor harus dengan semestinya menerbitkan laporan untuk menyediakan
informasi yang dapat digunakan secara tepat waktu oleh manajemen dan pihak
lain yang berkepentingan.
3) Isi Laporan
Standar pelaporan ketiga untuk audit kinerja mencakup isi laporan. Isi laporan
audit meliputi :
a) Tujuan, Lingkup, dan Metodologi Audit
Auditor harus melaporkan tujuan, lingkup, dan metodologi audit
b) Hasil Audit
Auditor harus melaporkan temuan audit yang signifikan, dan jika
mungkin melaporkan kesimpulan auditor
c) Rekomendasi
Auditor harus menyampaikan rekomendasi untuk melakukan tindakan
perbaikan atas bidang yang bermasalah dan untuk meningkatkan
pelaksanaan kegiatan entitas yang diaudit.
d) Pernyataan Standar Audit
Auditor harus melaporkan bahwa audit dilaksanakan berdasarkan
Standar Audit Pemerintahan
e) Kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan
f) Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang undangan dan
penyalahgunaan wewenang
g) Pelaporan secara langsung tentang unsur perbuatan
melanggar/melawan hukum
h) Pengendalian manajemen
i) Tanggapan pejabat yang bertanggungjawab
j) Hasil/prestasi kerja yang patut dihargai
k) Hal yang memerlukan penelaahan lebih lanjut
l) Informasi istimewa dan rahasia
4) Penyajian Laporan
Laporan yang disajikan harus lengkap, akurat, obyektif, meyakinkan, serta
jelas dan ringkas sepanjang hal ini dimungkinkan.
5) Distribusi Laporan
Laporan tertulis audit diserahkan oleh organisasi/lembaga audit kepada: 1)
pejabat yang berwenang dalam organisasi pihak yang diaudit, 2) kepada
pejabat yang berwenang dalam organisasi pihak yang meminta audit, termasuk
organisasi luar yang memberikan dana, kecuali jika peraturan perundang
undangan melarangnya, 3) kepada pejabat lain yang mempunyai
tanggungjawab atas pengawasan secara hukum atau pihak yang
bertanggungjawab untuk melakukan tindak lanjut berdasarkan temuan dan
rekomendasi audit, dan 4) kepada pihak lain yang diberi wewenang oleh
entitas yang diaudit untuk menerima laporan tersebut.

Audit Kinerja Pemerintah Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah

Terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik, yakni
pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik
konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh pihak diluar eksekutif (yaitu masyarakat dan DPR/DPRD) untuk turut
mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan
oleh eksekutif untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga
tujuan organisasi tercapai. Pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki independensi dan memiliki kompetensi profesional untuk memeriksa apakah hasil
kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan.

Pada tataran teknis aplikatif juga berbeda, pengawasan oleh DPR/DPRD dilakukan pada
tahap awal. pengendalian

Pengendalian dilakukan terutama pada tahap menengah (operasionalisasi anggaran), yaitu


level pengendalian manajemen dan pengendalian tugas, sedangkan pemeriksaan dilakukan
pada tahap akhir. Objek yang diperiksa berupa kinerja anggaran, dan laporan
pertanggungjawaban keuangan yang terdiri atas laporan dan nota perhitungan APBN/APBD,
neraca, dan laporan aliran kas.

Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang disebabkan oleh adanya
penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif, maka pemberian wewenang tersebut harus diikuti
dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran DPR/DPRD sebagai kekuatan penyeimbang bagi
eksekutif, dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM
dan organisasi sosial kemasyarakatan sebagai bentuk social control. Penguatan fungsi
pengendalian dilakukan melalui pembuatan sistem pengendalian intern yang memadai dan
pemberdayaan auditor internal pemerintah.

Pengawasan oleh DPR/DPRD dan masyarakat tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap
perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja. Apabila DPR/DPRD
lemah dalam tahap perencanaan, maka sangat mungkin pada tahap pelaksanaan akan
mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi, harus dipahami bahwa pengawasan
DPR/DPRD terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap kebijakan yang digariskan,
bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa
yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik
yang independen. Jika DPR/DPRD menghendaki, dewan dapat meminta BPK atau auditor
independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif.

Permasalahan Audit Kinerja Lembaga Pemerintah di Indonesia

Pemberian otonomi dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah
kabupaten/kota akan membawa konsekuensi perubahan pada pola dan sistem pengawasan
dan pemeriksaan. Perubahan perubahan tersebut juga memberikan dampak pada unit unit
kerja pemerintah daerah, seperti tuntutan kepada pegawai/aparatur pemerintah daerah untuk
lebih terbuka, transparan, dan bertanggungjawab atas keputusan yang dibuat.

Perubahan pola pegawasan yang mendasar adalah dengan diberinya keleluasaan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka diperlukan
peningkatan peran DPRD dan masyarakat luas dalam pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan, karena nantinya kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD dan
masyarakat.

Pemberian kepercayaan kepada auditor dengan memberi peran yang lebih besar untuk
memeriksa lembaga lembaga pemerintahan, telah menjadi bagian penting dalam proses
terciptanya akuntabilitas publik. Bagi auditor, dengan diberinya peran yang lebih besar
tersebut, maka auditor dituntut untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme,
kompetensi, dan independensinya. Sejalan dengan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, dan Ketetapan No XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka
peran dan fungsi pengawasan dan pemeriksaan menjadi sangat strategis. Kedua ketetapan
MPR tersebut menggariskan bahwa dipandang perlu untuk memberdayakan pengawasan
oleh lembaga negara, lembaga politik, dan kemasyarakatan dan meningkatkan keterbukaan
pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk menghilangkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka


memberantas praktik KKN, pemerintah bersama DPR kemudian mengesahkan Undang-
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang Undang No. 28 Tahun 1999 tersebut kemudian
menjadi landasan hukum dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN). Dengan demikian, untuk mengawasi jalannya pemerintahan saat ini terdapat
lembaga lembaga pengawas dan pemeriksa yang sifatnya independen yang memiliki tugas
yang berbeda-beda, diantaranya terdapat badan ombudsmen, KPKPN dan BPK. Di samping
itu, masyarakat juga diharapkan berperan aktif dalam proses pengawasan penyelenggaraan
negara (watchdog) dengan cara memberikan informasi, dan menyampaikan saran dan
pendapatnya secara bertanggungjawab.

Reposisi Lembaga Pemeriksa

Otonomi dan desentralisasi memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam


melakukan pengelolaan keuangan daerah. Salah satu hal yang harus diantisipasi adalah
kemungkinan terjadinya perpindahan penyelewengan dan KKN dari pemerintah pusat ke
daerah. Kasus di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian otonomi
daerah dan desentralisasi yang terlalu cepat tanpa pengawasan yang cukup justru
meningkatkan korupsi di daerah. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan mengoptimalkan fungsi pengawasan oleh DPRD.

Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit
pemerintahan di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent,sedangkan kelemahan
kedua lebih bersifat struktural. Pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja yang
memadai sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah daerah. Hal tersebut umum
dialami organisasi sektor publik karena output yang dihasilkan oleh organisasi sektor publik
adalah berupa pelayanan publik yang tidak mudah diukur. Pengauditan terhadap kinerja
pemerintah daerah akan lebih mudah bila telah ditetapkan kriteria kinerja yang harus dicapai
pemerintah daerah. Selain tidak adanya kriteria kinerja yang memadai, permasalahan lainnya
adalah belum adanya Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang baku. Pada dasarnya
pengauditan terhadap pemerintah daerah adalah membandingkan hasil yang telah dicapai
dengan standar dan kriteris yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah akan menghadapi
masalah dalam melakukan pengukuran kinerja apabila DPRD tidak menetapkan kriteria
kinerja yang memadai. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan kesulitan bagi eksekutif
daerah, akan tetapi juga kesulitan bagi auditor yang ditunjuk DPRD untuk mengaudit kinerja
pemerintah daerah. Oleh karena itu, sangat penting bagi DPRD untuk menetapkan
performance indicator yang akan dijadikan sebagai pedoman bagi eksekutif daerah dalam
menjalankan tugasnya.

Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga pemeriksa pemerintah pusat dan daerah di
Indonesia. Permasalahan yang ada adalah banyaknya lembaga pemeriksa fungsional yang
overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan pelaksanaan pengauditan tidak efisien
dan tidak efektif. Saat ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pemeriksa fungsional
terhadap pembiayaan desentralisasi dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Wilayah Propinsi, dan
Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota.

Untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi
terhadap lembaga audit yang ada. Reposisi yang dimaksud berupa pemisahan tugas dan
fungsi yang jelas dari lembaga lembaga pemeriksa pemerintah tersebut, apakah sebagai
auditor internal atau auditor eksternal.

Audit internal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari
organisasi yang diawasi. Yang termasuk audit internal adalah audit yang dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal Departemen, Satuan Pengawasan Intern (SPI) di lingkungan lembaga
negara dan BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilporp), Inspektorat Wilayah
Kabupaten/Kota (Itwilkab/Itwilkot), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).

Sedangkan audit eksternal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa uang berada
diluar organisasi yang diperiksa. Lembaga pemeriksa eksternal tersebut merupakan lembaga
pemeriksa yang independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal
pemerintah adalah BPK, karena BPK merupakan lembaga yang independen dan merupakan
supreme auditor.

Reposisi lembaga pemeriksa tersebut akan efektif apabila semua lembaga pemeriksa yang
ada melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara baik. Reposisi lembaga pemeriksa
merupakan salah satu cara untuk memberdayakan lembaga pemeriksaan negara yang
beberapa waktu yang lalu mengalami distorsi. Jika lembaga pemeriksa telah ditata ulang,
mamka diharapkan dapat diikuti dengan dihasilkan standar akuntansi keuangan sektor publik
dan standar auditing pemerintahan secara lebih baik.

Vous aimerez peut-être aussi