Vous êtes sur la page 1sur 48

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Kedudukan dan RuangLingkup Taqwa

1. Pengertian dan Kedudukan Taqwa

Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi dan wiqayah yang berarti takut, menjaga, memelihara dan

melindungi. Maka taqwa dapat diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam

pengalaman ajaran agama islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/ perlindungan yang

membentengi manusia dari hal-hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, orang

yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan

mengerjakanperintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya kerena takut terjerumus ke dalam

perbuatan dosa.

Taqwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam

rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang

baik dan benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain, diri sendiri dan

lingkungannya.

Dari berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama

islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang

muslim.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah

menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah

berkata, Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan

menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan

segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang

setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari

Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syariat, bukan dengan tata cara yang

diada-adakan (baca: bidah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan

kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan

tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy

al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah

2. Ruang lingkup Taqwa

1. Hubungan manusia dengan Allah SWT

2. Hubungan manusia dengan hati nuranui dan dirinya sendiri

3. Hubungan manusia dengan sesama manusia

4. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup

Hubungan dengan Allah SWT

Seorang yang bertaqwa (muttaqin) adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada Allah

SWT dan selalu menjaga hubungan dengannya setiap saat sehingga kita dapat menghindari dari

kejahatan dan kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Memelihara

hubungan dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara sunguh-sungguh dan ikhlas

seperti mendirikan shalat dengan khusyuk sehingga dapat memberikan warna dalam kehidupan kita,

melaksanakan puasa dengan ikhlas dapat melahirkan kesabaran dan pengendalian diri, menunaikan

zakat dapat mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan kita dari ketamakan. Dan hati yang dapat

mendatangkan sikap persamaan, menjauhkan dari takabur dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Segala perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya bukan untuk kepentingan Allah sendiri

melainkan merupakan untuk keselamatan manusia.


Ketaqwaan kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah menurut cara-cara

yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan

pedoman hidup manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran ayat 138 yang artinya:

inilah (Al-quran) suatu ketenangan bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang

yang bertaqwa . (QS. Ali-imran 3:138)

manusia juga harus beribadah kepada Allah dengan menjalankan shalat lima waktu, menunaikan

zakat, berpuasa selama sebulan penuh dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali dalam seumur

hidup, semua itu kita lakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Sebagai hamba Allah sudah sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya,

bersabar dalam menerima segala cobaan yang diberikan oleh Allah serta memohon ampun atas segala

dosa yang telahdilakukan.

Hubungan manusia dengan dirinya sendiri

Selain kita harus bertaqwa kepada Allah dan berhubungan baik dengan sesama serta

lingkungannya, manusia juga harus bisa menjaga hati nuraninya dengan baik seperti yang telah

dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan sifatnya yang sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani,

memegang amanah, mawas diri dll. Selain itu manusia juga harus bisa mengendalikan hawa nafsunya

karena tak banyak diantara umat manusia yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya sehingga

semasa hidupnya hanya menjadi budak nafsu belaka seperti yang tertulis dalam Al-quran Surat Yusuf

ayat 53 yang artinya:

Dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada

kejahatan, kecuali siapa yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya tuhanku maha pengampum

lagi maha penyayang. (QS. Yusuf 12:53)

Maka dari itu umat manusia harus bertaqwa kepada Allah dan diri sendiri agar mampu

mengendalikan hawa nafsu tersebut. Ketaqawaan terhadap diri sendiri dapat ditandai dengan ciri-ciri,

antara lain :
1) Sabar

2) Tawaqal

3) Syukur

4) Berani

Sebagai umat manusia kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja yang datang kepada

dirinya, baik perintah, larangan maupun musibah. Sabar dalam menjalani segala perintah Allah karena

dalam pelaksanaan perintah tersebut terdapat upaya untuk mengendalikan diri agar perintah itu bisa

dilaksanakan dengan baik. Selain bersabar, manusia juga harus selalu berusaha dalam menjalankan

segala sesuatu dan menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawaqal) karena umat manusia hanya bisa

berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah

dan berani dalam menghadapi resiko dari seemua perbuatan yang telah ditentukan.

Hubungan manusia dengan manusia

Agama islam mempunyai konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan,

kebangasaan dll. Semua konsep tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran yang

berhubungan dengan manusia dengan manusia (hablum minannas) atau disebut pula sebagai ajaran

kemasyarakatan, manusia diciptakan oleh Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka hidup

berkelompok-kelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara. Mereka saling membutuhkan satu sama

lain sehingga manusia dirsebut sebagai makhluk social. Maka tak ada tempatnya diantara mereka

salingmembanggakan dan menyombongkan diri., sebab kelebihan suatu kaum tidak terletak pada

kekuatannya, harkat dan martabatnya, ataupun dari jenis kelaminnya karena bagaimanapun semua

manusia sama derajatnya dimata allah, yang membedakannya adalah ketaqwaannya. Artinya orang

yang paling bertaqwa adalah orang yang paling mulia disisi allah swt.

Hubungan dengan allah menjadi dasar bagi hubungan sesama manusia. Hubungan antara

manusia ini dapat dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidupnya

yang selaras dengan nilai dan norma agama, selain itu sikap taqwa juga tercemin dalam bentuk

kesediaan untuk menolong orang lain, melindungi yang lemah dan keberpihakan pada kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu orang yang bertaqwa akan menjadi motor penggerak, gotong royong dan

kerja sama dalam segala bentuk kebaikan dan kebijakan.

Surat Al-baqarah ayat 177:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatukebajikan, akan tetapi

sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada allah, hari kemudian, malaikat, kitab, nabi,

danmemberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, oaring miskin,

musafir(yangmemerlukan pertolongan), dan orang-orangyang meminta-minta,

dan (merdekakanlah)hamba sahaya, mendirikan shalat danmenunaikan zakat. Dan orang-orang yang

menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang yang bersabar dalam kesempatan, penderitaan, dan

dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar(imannya)mereka itulah orang yang bertaqwa.

(Al- baqarah 2:177).

Dijelaskan bahwa ciri-ciri orang bertaqwa ialah orang yang beriman kepada Allah, hari

kemudian, malaikat dan kitab Allah. Aspek tersebut merupakan dasar keyakinan yang dimiliki orang

yang bertaqwa dan dasar hubungan dengan Allah. Selanjutnya Allan menggambarkan

hubungankemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta dan orang-orang menepati janji. Dalam ayat ini

Allah menggambarkan dengan jelas dan indah, bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap

sesama manusia dijelaskan secara terurai, yaitu siapa saja yang mesti diberi tenggang rasa, tetapi juga

mengeluarkan harta diposisikan antar aspek keimanan dan shalat

Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup

Taqwa dapat di tampilkan dalam bentuk hubungan seseorang dengan lingkungan hidupnya.

Manusia yang bertakwa adalah manusia yang memegang tugas kekhalifahannya di tengah alam,

sebagai subjek yang bertanggung jawab menggelola dan memelihara lingkungannya.

Sebagaipenggelola, manusia akan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan hidupnya didunia tanpa

harus merusak lingkungan disekitar mereka. Alam dan segala petensi yang ada didalamnya telah

diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan menjadi barang jadi yang berguna bagi manusia.
Alam yang penuh dengan sumber daya ini mengharuskan manusia untuk bekerja keras

menggunakan tenaga dan pikirannya sehingga dapat menghasilkan barang yang bermanfaat bagi

manusia. Disamping itu, manusia bertindak pula sebagai penjaga dan pemelihara lingkungan alam.

Menjaga lingkunan adalah memberikan perhatian dan kepedulian kepada lingkungan hidup dengan

saling memberikan manfaat. Manusia memanfaatkan lingkungan untuk kesejahteraan hidupnya tanpa

harus merusak dan merugikan lingkungan itu sendiri.

Orang yang bertaqwa adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan sebaik-baiknya. Ia

dapat mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga memeliharanya agar tidak habis atau

musnah. Fenomena kerusakan lingkungan sekarang ini menunjukan bahwa manusia jauh

dariketaqwaan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi pada

lingkungan itu sendiri dimasa depan sehingga mala petaka membayangi kehidupan manusia. Contoh

dari mala petaka itu adalah hutan yang dibabat habis oleh manusia mengakibatkan bencana banjir dan

erositanah sehingga terjadi longsor yang dapat merugikan manusia.

Bagi orang yang bertaqwa, lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan

cara memenfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan sebaik-baiknya. Disamping itu alam

ini juga adalah amanat yang harus dipelihara dan dirawat dengan baik. Mensyukuri nikmat

Allahdengan cara ini akan menambah kualitas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia.

Sebaliknya orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat Allah akan diberi azab yang sangat

menyedihkan. Azab Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat eksploitasi alam yang tanpa

batas karena kerusakan manusia.

B. Ciri- ciri Orang Bertaqwa

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan

melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-yat

Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS.7:96)

Ciri- ciri Orang Taqwa Menurut Al-qur'an


A. Surat al baqarah 2 - 5 :Al Kitab ini (Al Quran) adalah petunjuk buat orang yang bertaqwa,

dengan ciri sebagai berikut:

1. Beriman pada yang ghaib

2. Mendirikan salat

3. Menafkahkan sebagaian rezeki yang ALlah kurniakan kepadanya

4. Beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad saw) dan sebelum mu.

5. Yakin kepada hari akhirat

Setiap manusia tak kira agama apapun memungkinkan untuk menjadi insan yang taqwa,

Mendirikan salat misalnya, Dalam bahasa melayu "salat" disebutnya juga sembahyang.Setiap agama

mengajarkan sembahyang, Hanya cara, metoda, waktu dan tempat yang berbeda-beda.

B. Surat Al baqarah 177, Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang

yang bertaqwa dengan ciri-ciri sbb :

1. Beriman kepada Allah(Tuhan YME),hari akhirat,malaikat-malaikat,kitab-kitab,nabi-nabi

2. Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat,anak-anak yatim,orang-orang miskin,musafir

(orang dalam perjalanan),orang yang meminta-minta.

3. Membebaskan perbudakan

4. Mendirikan salat

5. Menunaikan zakat

6. Memenuhi janji bila berjanji

7. Bersabar dalam dalam kesengsaraan,penderitaan dan dalam waktu peperangan.

C. Surat Aali 'Imraan 133 - 135, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan mu dan

surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa,

yaitu :
1. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada waktu lapang maupun sempit

2. Orang-orang yang menahan amarahnya

3. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain

4. Dan (juga) orang-orang yang apabila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada

ALlah dan memohon ampun atas dosa-dosanya.

5. Dan Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu.

A. Cinta Kepada Allah

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan manusia memiliki cinta. Dengan
cinta, kehidupan terasa indah. Dengan cinta, ibadah dan muamalah semakin
bermakna. Cinta memilki sejuta makna. Cinta tak peduli usia, waktu, maupun
tempat. Dalam ibadah terdapat tiga rukun utama yaitu cinta, takut, dan harap.
Bahkan makna ibadah menurut Syaikhul-Islam adalah sesuatu yang mencakup
kesempurnaan cinta dan ketundukkan. Banyak umat Nabi Muhammad SAW yang
mengaku cinta kepada Allah, namun banyak pula di antara mereka yang tidak
merealisasikannya dengan benar.
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh
semangat dan rasa kasih sayang1. Cinta dengan pengertian demikian sudah
merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberdaan
cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga terwujud dengan
mulia. Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada
Allah SWT. Cinta kepada Allah yaitu hendaknya Allah SWT yang paling dicintai
dari semua manusia melebihi dirinya, kedua orang tuanya, dan semua yang
dimilikinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:165 yang
artinya Adapun orang orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah .

Mencintai Allah lebih dari segala-galanya tidak lain karena dia menyadari
bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah
yang mengelola dan memelihara semuanya itu. Dengan rahman-Nya Dia
menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh umat manusia jauh sebelum
manusia itu sendiri diciptakan. Dan dengan rahim-Nya Dia menyediakan segala
kenikmatan bagi orang-orang yang beriman sampai hari akhir nanti. Allah-lah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan kita mencintai Allah SWT, di
antaranya yaitu :

1. Karena Allah SWT berkata tentang orang-orang yang dicintai-Nya :


Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran [3]:31)
2. Karena Allah SWT yang telah menciptakan kita semua dari tidak ada, lalu Dia
menyempurnakan penciptaan kita dan memberikan anugerah dengan berbagai
keutamaan melebihi orang-orang yang diberi keutamaan, di antaranya dengan
kenikmatan Islam. Allah SWT pun memberikan rezeki yang teramat banyak
kepada kita tanpa kita meminta-Nya dan Dialah yang memiliki surga sebagai
balasan amal-amal, sebagai pemberian dan keutamaan, ini merupakan
keutamaan yang awal dan akhir.

1
Drs. H.Yunahar Ilyas, Lc.,MA, Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),
Yogyakarta, 2002, hal. 24
3. Rasulullah SAW berdoa agar mencintai Allah SWT. Dan beliau adalah teladan
kita, jika demikian halnya maka kitapun harus mencari cinta Allah SWT
sebagai wujud itibak dan peneladanan kita kepada beliau : Ya Allah, aku
memohon cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu dan cinta terhadap
amalan yang akan mendekatkanku kepada cinta-Mu. HR. Al-Tirmidzi.

Sejalan dengan cintanya kepada Allah SWT, seorang mukmin akan


mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta
utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta
benda, kedudukan dan segala macamnya adalah cinta menengah yang harus
berada dibawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau
diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula
sesuai dengan syariat yang telah diturunkan-Nya. Apabila cinta menengah
diangkat melebihi cinta utama maka cintanya jatuh menjadi hina, tidak ada
nilainya. Inilah yang disebut cinta paling rendah.

Abdullah Nashih Ulwan menyebut tiga tingkatan cinta itu dengan


istilah:

1. Al-mahabbah al-ula (Cinta Utama)


2. Al-mahabbah al-wustha (Cinta Menengah)
3. Al-mahabbah al-adna (Cinta paling Rendah)2

Sebagai ilustrasi bagaimana cinta menengah bisa jatuh menjadi cinta


paling rendah dapat dikemukakan dua contoh sebagai berikut:

Pertama, berdagang termasuk perwujudan dari cinta harta benda (Al-


mahabbah al-wustha). Tapi apabila seseorang dalam berdagang tidak lagi
memperdulikan halal dan haram, meghalalkan segala cara untuk mencari
keuntungan, atau dengan bahasa lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah
dan Rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda seperti itu yang semula
temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna karena
melebihi Al-mahabbah al-ula.

2
Drs. H.Yunahar Ilyas, Lc.,MA, Kuliah Akhlaq, ....................................., hal. 25
Kedua, termasuk dalam pengertian cinta kepada ibu bapak (abaukum)
adalah cinta kepada nenek moyang. Dan slah satu bentuk cinta kepada nenek
moyang adalah melestarikan tradisi yang diwarisi dari mereka secara turun
temurun. Diantara tradisi tersebut ada yang mengandung unsur syirik, atau
yang melanggar syariah islam. Bila seorang muslim tetap saja melakukannya,
dengan alasan sudah menjadi tradisi maka cinta kepada nenek moyang, yang
semula temasuk Al-mahabbah al-wustha jatuh menjadi Al-mahabbah al-adna
karena melebihi Al-mahabbah al-ula.

Ketahuilah, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua,


sesungguhnya segala sesuatu itu memiliki tanda, demikian pula halnya
kecintaan Allah kepada hambanya pun memiliki tanda-tanda di antaranya :

1. Ber-itibak (mengikuti) kepada Rasulullah SAW. Hal ini merupakan sebuah


kewajiban bagi kita sebagai Umat Rasulullah SAW. Siapa saja yang paling
mengikuti syariat Rasulullah SAW maka dia adalah orang yang paling taat
kepada Allah SWT dan paling mendapatkan cinta dan ampunan dari-Nya.
2. Banyak mengamalkan amalan-amalan sunnah seperti shalat Sunnah, Puasa
Sunnah, Haji Sunnah, Sedekah Sunnah dll. Sebagaimana dalam hadist qudsi
Allah SWT berfirman : Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya
kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah sampai Aku mencintainya. HR.
Bukhari
3. Penerimaan penduduk bumi terhadapnya dan mereka mencintainya. Hal ini di
karenakan apabila Allah SWT mencintai seorang hamba maka Allah
memerintahkan kepada Malaikat Jibril untuk meletakkan penerimaan
terhadapnya di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Jika Allah
mencintai seorang hamba maka Allah menyeru kepada Malaikat Jibril
bahwasanya Allah mencintai fulan (seseorang) maka cintailah dia lalu
Malaikat Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk
langit Sesungguhnya Allah mencintai-nya, kemudian diletakkan penerimaan
kepadanya pada seluruh penghuni bumi. HR. Bukhari.

Cinta merupakan amalan hati yang bisa menjadi sebuah ibadah atau justru
kemaksiatan. Oleh karena itu, para ulama membagi cinta menjadi beberapa macam :
1. Ibadah yaitu cinta yang merupakan bagian dari sebuah ibadah yang agung
yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah SWT. Hal ini adalah
mencintai Allah SWT dan mencintai semua yang dicintai-Nya. Dalilnya
adalah : Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintainya kepada
Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165)
2. Syirik yaitu cinta kepada selain Allah SWT yang disertai ketundukan dan
pengagungan terhadap yang dicintainya yang hal tersebut tidak layak
diberikan kecuali hanya kepada Allah SWT semata. Dalilnya adalah firman
Allah SWT : Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah ; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah [2] : 165).
3. Kemaksiatan yakni seperti kecintaan kepada kemaksiatan-kemaksiatan, cinta
kepada bidah dan pelakunya serta cinta kepada perkara-perkara yang
diharamkan oleh Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT :
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nur [24] : 19).
4. Cinta Tabiat, seperti kecintaan kepada kedua orang tua, kepada anak-anaknya,
keluarganya dll. Yang hal ini merupakan tabiat setiap manusia. Maka hal ini
dibolehkan oleh Allah SWT. Allah berfirman : Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia
, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga). QS. Ali Imran [3] :
14).

B. Ridho
Ridho secara bahasa menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap
menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi
sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta
menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin. Namun adapula
yang mengartikan, Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa
apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik
menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya
pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya atau Ridho adalah
menerima sepenuh hati tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya baik berupa perintah larangan ataupun
petunjuk petunjuk lainnya. Perilaku yang ditampakkan oleh seorang hamba
yang ridho adalah ia tidak membenci apa yang terjadi menimpa dirinya, sehingga
terjadi atau tidak terjadi adalah sama saja baginya..
Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi,
ia akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik
nikmat maupun bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata
untuk kebaikan dirinya. Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun
yang diberikan Allah kepada-Nya baik berupa nikmat maupun musibah berupa
bencana.

Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir


Allah terbagi menjadi tiga macam:

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam
dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita
sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama


mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun
jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba.
Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela
terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi
syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-
hal yang sangat diharamkan oleh syariat.

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas
qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk
dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan
dan kemungkaran di muka bumi.
Bila ditimpa musibah, janganlah kita mengucapkan celaka!, atau seruan
kasar lainnya. Atau bahkan lebih buruk lagi bila kita memukul-mukulkan anggota
tubuh atau mencoba untuk menyakiti diri sendiri.

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:


Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar
pipi (ketika tertimpa musibah), merobek-robek baju atau berdoa dengan doa
Jahiliyah (meratapi kematian mayit seraya mengharap-harap celaka). Menampar
pipi atau menyakiti diri sendiri saat terjadi musibah adalah perbuatan yang dilarang,
apalagi bila sampai melakukan bunuh diri. Naudzubillah mindzalik.
Bila seorang muslim ditimpa suatu musibah atau bencana, ucapkan inna lillahi wa
inna ilaihi rojiun. Dan janganlah berkata, oh andaikata aku tadinya melakukan itu
tentu berakibat begini dan begitu, tetapi katakanlah, ini takdir Allah dan apa yang
dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya ucapan:
andaikata dan jikalau membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan)
setan. (HR. Muslim).

C. Contoh Sikap Ridha

Dalam suatu kisah Abu Darda, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang
salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta
memuji Allah swt. Maka Abu Darda berkata kepada mereka. Engkau benar,
sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika
taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan
tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha
kepada Allah swt. dalam situasi apapun.

Dalam riwayat dikisahkan sebagai berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib
r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; Mengapa engkau
tampak bersedih hati ?. Ady menjawab ; Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua
orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran. Ali terdiam
haru, kemudian berkata, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt.
maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang
siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan
terhapus amalnya.3

Selain cerita diatas ada juga seperti ini contoh sikap ridho:

a. Bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah di berikan atau prestasi
yang telah di peroleh, sebagai sebuah ungkapan kerelaan hati yang
mendalam.
b. Bersabar dalam hati terhadap musibah yang telah menimpa dengan penuh
kesadaran bahwa musibah atau bencana tersebut merupakan takdir yang
harus diterima dengan penuh lapang dada.
c. Terus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk meraih prestasi yang lebih
baik sebagai keridaan sekaligus harapan terhadap ke mahamurahan Allah
SWT.
d. Menerima dengan penuh kerelan setiap takdir yang Allah tentukan sebagai
bagian dari keimanan kepada-Nya dan keyakinan bahwa dibalik setiap takdir
baik atau buruk selalu tersimpan rahasia dan hikmah yang amat berharga.
e. Berfikir positif terhadap setiap hasil usaha yang maksimal atau prestasi kerja
yang optimal dengan semangat evaluasi dengan semangat evaluasi untuk
memperbaiki diri.

3
Khalid, Amru, Berakhlak Seindah Rasulullah, Pustaka Nuun, Semarang, 2007, hal. 65.
A. Pengertian Ikhlas

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang

berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Maluuf, kata khalasha ini mengandung

beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa

wa salima (selamat), washala (sampai), dan Itazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam

menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih

apapun.[1]

Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung

penggunaannya dalam al-Quran. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan

kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan

kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum,

akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali.

Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu

kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak)

sebanyak delapan kali.

Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Quran juga mengandung

arti yang beragam. Dalam hal ini al-Almai merinci pemakaian term tersebut kepada empat

macam :

Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini

al-Almai mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa

Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang

sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni

Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu

dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri
akhirat. Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47,

yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.

Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaaib (suci dari segala macam kotorn),

sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih

yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan

kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat

dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut

dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bidah dan lain-

lain.

Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-

Baqarah : 94, al-Anam : 139, al-Araf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.

Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian)

menurut sebagian qiraat. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat

dalam al-Quran, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-

Araf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan

al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam

bentuk isim fail (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin

(jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang

mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Quran dinamakan surat

al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan

demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan

Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdoa dan dalam perbuatan taat lainnya

harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya

mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang

telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba

Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf

: 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada

ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51

yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-

ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).

B. Ayat-ayat Yang Menerangkan Ikhlas

1. QS. al-Bayyinah:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan

(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya

mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang

lurus

2. QS. Yunus : 105

dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas

dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik

3. QS. Al Araaf : 29

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah

muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan

ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan

(demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)"

4. QS. An Nisaa : 125

dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya

kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang

lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya


Maksud dari ayat-ayat diatas ialah amal-amal ibadah apa saja jika tidak dijiwai

dengan ikhlas berarti tidak hidup, mati bagaikan bangkai, tidak membawa manfaat sama

sekali. Malah, maaf, menjijikkan seperti bankai yang harus segera dikubur.[2]

A. Definisi, Hakikat dan Tingkatan Khauf

1. Definisi Khauf

Secara etimologi, kata khauf berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga huruf, yaitu khaf,

waw dan fa> yang bermakna al-faza ketakutan, kepanikan, terkejut, bingung.[2]

Sedangkan definisi khauf menurut terminology adalah:

Kondisi (bisikan) kejiwaan yang timbul sebagai akibat dari dugaan akan munculnya sesuatu

yang dibenci atau hilangnya sesuatu yang disenangi.

Para pakar tasawuf juga berkomentar tentang pengertian khauf, berikut uraiannya:

a. Al-Ashfahani menyatakan bahwa khauf adalah:

Perkiraan akan terjadinya sesuatu yang dibenci karena bertanda yang diduga atau yang

diyakini, sebagaimana harapan dan hasrat tinggi itu adalah perkiraan akan terjadinya sesuatu

yang disenangi karena pertanda yang diduga atau diyakini, baik dalam urusan duniawi

maupun ukhrawi.[3]

Ia pun melihat ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah ini, yakni al-khauf minalla>h

(takut dari Allah) dan al-takhwi>f minalla>h (seseorang takut akan Allah). Al-khauf

minalla>h (takut kepada Allah) bukanlah berupa ketakutan kepada Allah yang bergetar dan

terasa di dada manusia seperti takut kepada singa. Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah
diri dan perbuatan maksiat dan selanjutnya mengarahkannya untuk tunduk dan patuh kepada

Allah.[4] Oleh karena itu, tidaklah disebut sebagai seorang takut (


), bila belum sanggup

menghilangkan perbuatan-perbuatan dosa. Adapun at-takwi>f minalla>h (Membuat

seseorang takut akan Allah) adalah perintah agar tetap melaksanakan dan memelihara

kepatuhan kepada-Nya seperti firman-Nya di dalam QS.Az-Zumar [39]:16 yang berbunyi:

Terjemah:

Demikianlah Allah membuat takut hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah

kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku.

b. Menurut Abi Abdillah Muh{ammad ibn Syauman Ibn Ah{mad Ibn Mustafa al-Ramli

dalam bukunya al-Khauf min Allah Taala mengatakan bahwa khauf adalah salah satu

keadaan merasa takut kepada Tuhan jika pengabdiannya kurang, sehingga dengan persaan

takut ini, maka ia selalu terpelihara dari perbitana maksiat dan semakin bertambah sifat wara

(kehatia-hatian) pada dirinya dengan mengaplikasikan dalam bentuk ibadah kepada Tuhan.[5]

Dengan kata lain memelihara diri dengan ikatan ketaatan.[6]

c. Zu al-Nun al-Misri lebih memperjelas, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qusyairi bahwa

orang tetap bertada pada rel-rel agama adalah orang-orang yang senantiasa takut. Jika takut

tidak ada lagi pada diri seseorang, niscaya akan sesat jalannya.[7] Jadi, takut yang dimaksud

adalah takut ibadahnya tidak diterima karena adanya pelanggaran, sehingga menimbulkan

sikap kehati-hatian dalam kehidupan sehari-hari.[8]

2. Hakikat Khauf

Imam al-Ghazali berkata bahwa hakikat dari khauf adalah kepedihan dan terbakarnya hati karena

memperkirakan akan tertimpa sesuatu yang tidak menyenagkan di masa yang akan datang.

Dengan melihat berbagai definis di atas, semakin jelaslah bahwa rasa takut yang dibahas dalam

makalah ini adalah rasa takut kepada Allah. Rasa takut kepada Allah kadang timbul karena

perbuatan dosa. dan kadang timbul karena seseorang mengetahui sifat-sifat-Nya yang
mengharuskannya untuk takut kepada-Nya. Inilah tingkatan khauf yang paling sempurna.

Sebab barang siapa yang mengetahui Allah, maka dia akan takut kepada-Nya. Oleh karena

itu, Allah berfirman:

$yJR) y s !$# `B n$t6 (#syJn=9$# 3 c) !$# t qx

Terjemahan:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[9].

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fa>t}ir: 28).[10]

Allah menjadikan khauf sebagai salah satu syarat sempurnanya iman, sebagaimana terekam

dalam firman-Nya:

$yJR) N39s `s 9$# $hqs nu!$u 9rr& xs Ndq$y s?

bq%s{ur b) LZ. tZBs B

Terjemah:

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan

kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada

mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

Allah menjanjikan bagi orang yang takut kepada-Nya dengan dua surga, yakni surga makrifat di

dunia dan surga yang sangat indah di akhirat, sebagaimana terekam dalam Firman-Nya,

(QS.Ar-Rahman : 46.).

`yJ9ur t$%s{ tP$s)tB mn/u b$tFZy_

Terjemah:

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.

Dalam Qawaid at-Tashawwuf, Ahmad Zaruq menyatakan, Diantara yang memotivasi amal

adalah rasa takut, yakni penggunaan yang disertai keseganan. Dan Khauf adalah bergetarnya

hati karena Allah.[11]


Khauf terwujud dalam tangisan tersedu-sedu dari orang yang dapat mengukur bahaya

akibat dari suatu perbuatan, sehingga dia termotivasi untuk melakukan kewajiban-

kewajibannya. Dia tidak menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan menyimpang dan dosa.

bahkan dia tidak bediam diri ditempat yang diduga dapat menjerumuskannya kedalam

kejahatan dan kerusakan. Kemudian khauf-nya meningkatkan, sehingga dia menghiasi

dirinya dengan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh orang-orang yang selalu dekat dengan

Allah. Ketika itu, khauf-nya akan berpindah dari alam jasmani menuju alam rohani, sehingga

dia memiliki kesedihan-kesedihan yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang

suci.

Abdul Wahhab asy-Syarani pernah mengatakan tentang Rabiah al-Adawiyah adalah

seorang sufi yang banyak menangis dan bersedih. Jika dia mendengar tentang neraka, maka

dia akan jatuh pingsan dalam waktu yang cukup lama. Tempat sujudnya adalah ibarat kolam

kecil berisi air matanya, seolah neraka tidak dicipta kecuali untuk dirinya. Rahasia dari khauf

tersebut adalah keyakinan bahwa setiap bala selain neraka adalah perkara muda, dan setiap

bencana selain kejauhan dari Allah adalah perkara yang gampang.

Orang yang takut bukanlah orang yang menagis dan mengusap air matanya. Tapi orang

yang takut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ditakutkannya mendatangkan siksa

baginya.

Abu Sulaiman al-Darani menyatakan, khauf tidak hilang dari hati melainkan hati akan

binasa.

3. Tingkatan Khauf.

Orang-orag yang takut kepada Allah tidak berada pada satu tingkatan, tapi mereka beda pada

tingkatan yang berbeda-beda. Ibnu Ujaibah telah mengelompokkan mereka dalam tiga

kategori.

a) Takutnya orang awam dari siksaan dan hilangnya pahala.

b) Takutnya orang khawwash dari celaan dan hilangya kedekatan dari sisi-Nya.
c) Takutnya orang khawwashulkhawwash akan tertutupnya pandangan dari akhlak yang

buruk.[12]

B. Definisi, Hakikat dan Tingkatan Raja

1. Definisi Raja

Secara etimologi, kata raja berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga huruf, yaitu ra>, jim

dan ain yang bermakna ( mengembalikan, menjawab, menolak, memalingkan)[13] dan

( pengulangan).[14] Sedangkan definisi raja menurut terminology adalah: Suatu

keadaan mental yang optimis adanya limpahan rahmat Tuhan.[15] Dengan sikap optimis ini

menambah semangat untuk meningkatkan ibadah kepada Tuhan, sehingga raja itu datang

setelah khauf. Adanya harapan untuk diterima segala ibadah yang telah dilakukan.

Menrut Ahmad Zaruq definisi raja adalah kepercayaan atas karunia Allah yang dibuktikan

dengan amal. Kalau bukan demikia maka itu adalah keterpedayaan diri.[16]

Raja (pengharapan) berbeda dengan tamanni> (angan-angan). Sebab, orang yang

beharap adalah orang yang megerjakan sebab, yakni ketaatan, seraya mengharapkan ridha

dan pengabulan dari Allah. Sedangkan orang yang berangan-angan meninggalkan sebab dan

usaha, lalu dia menunggu datangnya ganjaran dan pahala dari Allah. Orang semacam inilah

yang terekam dalam sabda Nabi, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu

menurutkan hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah. (HR.Tirmidzi).

Ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja terhadap sesuatu, yaitu: pertama,

mencintai yang diharapkannya. Kedua, takut akan kehilangannya. Ketiga, usaha untuk

mendapatkannya.

Jadi, raja yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-angan semata.

Sedangkan raja itu bukan angan-angan, begitu pula sebaliknya.[17]

2. Dalil-dalil Raja
Allah telah menganjurkan kita semua untuk mengharapkan karunia-Nya dan melarang kita untuk

berputus asa dari Rahmat-Nya. Allah berfirman :

@% y $t7t t%!$# (#qu r& # n?t NgRr& w (#quZ)s? `B

puHq !$# 4 b) !$# t z>qR%!$# $ Hsd 4 mR) uqd

qt9$# Lm9$#

Terjemahannya:

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,

janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa

semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Allah telah membawa kabar gembira kepada kita semua bahwa rahmat-Nya meliputi

segala Sesutu, sebagaimana dalam firman-Nya, : (QS.Al-Ara>f : 56.)

wur (#r? F{$# yt/ $ygsn=) nq$#ur $]qyz $yJsur 4

b) |MuHqu !$# = s% iB tZsJ9$#

Terjemahannya:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan

Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan

dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat

baik.

Dan Allah menyifati orang yang selalu mengharap rahmat-Nya dalam firman-Nya, (QS.Al-

Baqarah :218.).

b) %!$# (#qZtB#u z` 9$#ur (#ry_$yd (#rygy_ur @ 6y !$#

y7s9'r& tbq_t |MyJmu !$# 4 !$#ur qx O m

Tejemahannya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan

Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.
Hadis-hadis Nabi juga banyak yang menganjurkan untuk selalu mengharap rahmat Allah.

Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda,:

Artinya:

Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya

Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, lalu mereka

memohon ampun kepada Allah,l dan Allah pun member ampun kepada mereka.

(HR.Muslim.)

Anas bin Malik berkata:

: :



.[18]

Artinya:

Allah Taala berfirman, Wahai anak Adam, sesunggunhya selama kamu bermohon kepada-Ku

dan ber-raja pada-Ku, Aku pasti mengampunimu atas segala keadaanmu dan Aku tidak

peduli. Wahai anak Adam, kalaulah dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu memohon

ampunan kepada-Ku, niscya Aku mengampunimu. Wahai anak Adam, jika sekiranya kamu

datang kepada-Ku dengan membawa dosa/ kesalahan sebanyak isi bumi tetapi kamu tidak

menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan kemampuan

sebanyak isi bumi pula (HR. Turmudzi)

Orang yang berharap dan mencari rahmat Allah harus berusaha dengan sunguh-sunguh dan

berijtihad dengan penuh ketulusan dan keikhlasan sampai dia memperoleh apa yang dicita-

citakannya Allah berfirman dalam Quran, surah al-Kahfi (QS.al-Kahfi: 110>)

@% !$yJR) O$tRr& |o0 /3=WiB #yrq n<) !$yJRr& N3gs9)

ms9) nur ( `yJs tb%x. (#q_t u!$s)9 mn/u @yJu =s WxuKt

$[s=| wur 8 oy$t7/ mn/u #Jtnr&


Terjemahan:

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:

"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap

perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan

janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Jika pada masa mudanya seorang hamba selalu berbuat maksiat dan menurutkan hawa

nafsunya maka sebaiknya khaufnya mengalahkan rajanya sedangkan hal itu terjadi diakhir

hayatnya maka sebaliknya rajanya mengalahkan khaufnya, sebagaimana terekam pada

firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi :

:
( ) " :
[ 19]

Artinya:

Meriwayatkan kepada kami Umar ibn Hafs}, meriwayatkan kepada kami bapakku,

meriwayatkan kepada kami Amasy, saya mendengar aba> S{a>lih, dari ayahku Abu

Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Berkata Allah Swt: Aku sesuai

dengan keyakinan hamba-Ku tentan Aku (HR. Bukhari).

3. Tingkatan Raja

Menurut Ibnu Ujaibah, orang-orang yang mengharap rahmat Allah tidak berada dalam satu

tingkatan, tapi mereka berada dalam tingkatan yang berbeda-beda, yaitu:

a) Pengharapan orang awam, yakni tempat kembali yang baik dengan diperolehnya pahala.

b) Pengharapan orang khawwa>s, yakni ridha dan kedekatan di sisi-Nya.


c) Pe`ngharapan orang khawwa>s al-khawwa>s, yakni kemampuan untuk melakukan

musya>hadah dan bertambahnya tingkatan derajat dalam rahasia-rahasia Tuhan yang

disembah.[20]

C. Relasi (Hubungan) Antara Khauf Dan Raja

Berbicara tentang relasi antara khauf dan raja ibarat berbicara tentang Romeo dan Juliet.

Karena setiap orang yang raja pastilah ia orang yang khauf. Seorang pejalan, jika ia takut, ia

pasti mempercepat langkahnya, kalaukalau ia tidak mendapatkan yang ditujunya. Dalam hal

ini penulis mengutip pendapat Ibnu Qayyim yang mengatakan bahwa dalam perjalanan

menujun Tuhan, cinta, takut, dan harapan merupakan inti. Setiap orang yang mencintai tentu

berharap dan takut. Mengharapkan apa yang ada pada diri kekasih dan takut tidak

diperhatikan oleh kekasih atau yang ditinggalkan, sehingga setiap cinta disertai dengan rasa

takut dan harapan, karena setiap perjalanan menuju Tuhan tidak terlepas dari dosa dan

mengharapkan ampunan, tidak terlepas dari amal saleh, [21] dan mengharapkan diterima,

tidak lepas dari istiqamah ,dan mengharapkan kekekalannya dan tidak lepas dari kedekatan

dengan Tuhan dan mengharapkan pencapaiannya. Jadi, harapan (raja) merupakan sebab

tercapaianya apa yang diinginkan.

Jika seseorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dan berjalan untuk mencapai

kedekatan di sisi-Nya, maka sebaiknya dia menggabungkan antara khauf dan raja. Jangan

sampai khaufnya mengalahkan rajanya, sehingga dia berputus asa dari rahmat dan ampunan

Allah. Dan jangan pula rajanya mengalahkan khaufnya, sehingga di terjerumus ke jurang

maksiat dan kejahatan. Dia harus terbang dengan kedua sayap itu (khauf dan raja) di udara

yang jernih, sehingga dia dapat mencapai kedekatan di hadirat Allah.

Relasi antara khauf dan raja digambarkan dengan takut kepada neraka-Nya dan mengharap

surga-Nya, takut jauh dari-Nya dan mengaharap untuk berada di dekat-Nya, takut

ditinggalkan-Nya dan mengharap ridha-Nya, takut putus hubungan dengan-Nya dan berharap

agar dapat terus berinteraksi dengan-Nya.[22]


Pengertian Tawakal

Pengertian Tawakal Beserta Contoh Dan Manfaatnya Tawakal atau tawakkul berarti untuk
mendelegasikan atau menyerah. Dalam Islam, kepercayaan berarti menyerahkan sepenuhnya
kepada Tuhan di wajah atau menunggu hasil pekerjaan, atau menunggu hasil dari suatu
kondisi.

Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, Tawakkal ialah


menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang
tenang dan hati yang tenteram.

Menurut Abu Zakaria Ansari, tawakkal ialah keteguhan hati dalam menyerahkan urusan
kepada orang lain. Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang
yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai sifat amanah (tepercaya)
terhadap apa yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang
memberikan amanat tersebut.

Tawakkal adalah sikap mental adalah hasil dari keyakinan bulat pada Tuhan, seperti dalam

monoteisme ia mengajarkan bahwa percaya hanya Tuhan yang menciptakan segala sesuatu,

Maha adalah pengetahuanNya, dia yang mengontrol dan mengatur alam semesta ini.

Keyakinan ini yang mendorong dia untuk menyerahkan semua hal ini kepada Tuhan. Hatinya

tenang dan tenteram, dan tidak ada kecurigaan, karena Tuhan Maha Tahu dan Maha

Bijaksana.

Sementara orang-orang, ada kesalahpahaman dalam melakukan kepercayaan. Ia enggan

untuk mencoba dan bekerja, tapi tunggu saja. Orang suka berpikir, tidak perlu belajar, jika

Allah menghendaki tentu pintar untuk menjadi pintar. Atau tidak perlu bekerja, jika Tuhan

ingin menjadi kaya untuk menjadi kaya, dan sebagainya.

Manfaat tawakal
Semua yang sama saja dengan seorang pria yang perutnya lapar, meskipun ada berbagai

makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah ingin menjadi puas, pasti sudah puas. Jika

pendapat ini pasti akan menyengsarakan diri kita sendiri.

Manfaat Tawakal

Dalam riwayat Islam, tawakal sudah di junjung tinggi sebagai tanda yang jelas dari seorang

yang beriman, takwa dan berserah mutlak pada Allah. Hanya mereka yang menikmati

hubungan sejati dengan Allah dapat selalu percaya pada-Nya, dalam kondisi apapun di

seluruh kehidupannya.

Seseorang yang bertawakal pada Allah kesuksesannya di dunia dan di akhirat terjamin

olehNYA, tidak pedulli apapun kesulitannya yang di alami di kehidupannya atau seberapa

dahsyatnya kekuatan musuh yang dihadapinya.

Imam Ali (a.s): Tawakal pada Allah adalah sumber pertolongan dari setiap kejahatan dan

perlindungan dari setiap musuh. [Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, vol. 56, hal. 79]. Dikutip dari:

www.cahayamanfaat.blogspot.com

Contoh Tawakal

Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci rapat, barulah

ia bertawakkal. Pada zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya

tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, Saya telah

benar-benar bertawakkal kepada Allah. Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut

berkata, Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakkal.


ARTI SYUKUR

Ibnu `Abbas menceritakan, Rasulullah bersabda,

"Orang pertama yang akan dipanggil untuk masuk surga adalah orang-orang yang senantiasa

memanjatkan puji syukur kepada Allah,yaitu orang- orang yang senantiasa memuji Allah

dalam keadaan lapang dan dalam keadaan sempit"

(Tanbihul Ghafilin 197)

Allah swt berfirman dalam Al Qur'an surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Aku akan menambah nikmat-Ku kepadamu dan

jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sesungguhnya azab- Ku sangat pedih."

Dalam ayat ini Allah swt bahkan telah menjanjikan akan menambah nikmatnya bagi siapapun

yang bs bersyukur.

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1 ) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah

(menyatakan lega, senang, dan sebagainya).

Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata

itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.

Dalam Al-Quran kata"syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh

empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al- Lughah menyebutkan empat arti

dasar dari kata tersebut yaitu,

1. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas

dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang

gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan


ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah

adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

2. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat

asy-syajarat.

3. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

4. Pernikahan, atau alat kelamin.

Untuk lebih jelasnya maka, akan kami bahas dalam pembahasan selanjutnya pada bab-bab

berikutnya.

Pengertian Syukur Menurut Bahasa dan Istilah

Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,danwa syukuran yang berarti

berterima kasih keapda- Nya.

Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya

berterimakasih bagimu, asy- syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak

berterima kasih.

Menurut Kamus Arab - Indonesia, kata syukur diambil dari katasyakara, yaskuru, syukran

dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya.

Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Menurut

bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan

atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun

dilaksanakan melalui perbuatan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah

bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang

diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun

perbuatan.
Pengertian Syukur dalam Alquran

Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai

penafsirannya masing-masing.

1 . Surah al-Furqan, 25 /042 : 62

Artinya:

"Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin

mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur" (QS. Al- Furqan: 62).

Ayat ini tergolong Makkiyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini

ada hubungannya dengan ayat sebelumnya bahwa Allah telah membeberkan beberapa dalil

tauhid dan menunjuk kepada beberapa tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam

alam yang membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali

menjelaskan perkataan dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka telah

menyaksikan segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan sesatnya malah

berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah dan tidak dapat

mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka membantu para penolong,

setan dan menjauhi para penolong ar- Rahman. Jika kau heran terhadap sesuatu, maka

heranlah terhadap perkara mereka, karena kejahilannya telah sampai kepada membahayakan

orang yang datang untuk memberikan kabar gemberia tentang kebaikan yang meyeluruh jika

mreka menaati Tuhan, dan mengingatkan mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika

mereka mengingkari-Nya. Lebih dari itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah itu.

Allah juga memerintahkan kepada rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman dan siksaan

mereka, tetapi hendaknya beliau bertawakkal kepada Tu han, bertasbih seraya memuji-Nya.

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan

siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil

pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri
nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan

kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya.

Dengan demikian diketahui bahwa ayat yang berkenaan dengan pengertian syukur dalam ayat

tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi Jadi arti syukur menurut al-

Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan

mengingat limpahan karunia-Nya.

Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat- Nya.

Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-

Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur

atas segala nikmatRabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.

Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas

segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat

Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang ciptaan-Nya.

2 . Surah Saba, 034 /058 :13

Artinya:

"Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung- gedung yang

Tinggi dan patung- patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang

tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah).

dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih". (QS. Saba: 13).

Ayat ini tergolong surah Makkiyah yang tidak ditemukan asbab al-Nuzul, ayat ini

menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada

Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana

yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring

besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah tempat.
Allah berkata kepada mereka "agar mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang telah Dia

limpahkan kepada kalian".

Syukur itu bisa berupa perbuatan begitu pula bisa berupa perkataan dan bisa pula berupa niat,

sebagaimana dikatakan:

Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu

dikarenakan sedikit dari hamba- hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat

Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.

Ayat yang berkaitan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah lafal yang

berbunyi:

Menurut al-Maragi arti kata asy- Syukur di atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur.

Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk

pengakuan, keyakinan dan perbuatan.

Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat kelemahan dirinya

sendiri untuk bersyukur.

Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy- syukuradalah berterima kasih atas

segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al- Mahalliy

dan Jalal al-Din Abd al- Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa

syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.

Penafsiran yang senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al- Mahalliy

dan Jalal al-Din Abd al- Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa

syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.


Sedangkan Depertemen agama RI menyebutkan arti kata dasarasy- syukur adalah bersyukur

atas segala nikmat yang dilimpahkan Allah kepada hamba-Nya dengan amal saleh dan

menggunakannya sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah berterima kasih dengan

bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya dengan rasa syukur dalam bentuk

pengakuan, keyakinan dan perbuatan.

3 . Surah al-Insan, 076 /098 : 9

Artinya:

"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan

Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih".

(QS. Al- Insaan: 9)

Ayat ini tergolong Madaniyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini

menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-

lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa

Dia tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian

berterimakasih kepada-Ku, dengan demikian diketahui bahwa ayat yang ada kaitannya

dengan arti syukur dadlam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi:

Menurut al-Maragi arti kata syukur di atas adalah berterimakasih kepada Allah swt.

Sementara Ibn Katsir mendefenisikan syukur itu adalah ucapan terima kasih.

Hal senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-

Din 'Abd ar-Rahman Abi Bakr al- Suyutiy, syukur adalah berterimakasih kepada Allah swt

atas segala nikmat-Nya. Apakah mereka benar-benar mengucapkan hal yang demikian

ataukah hal itu telah diketahui oleh Allah swt, kemudian Dia memuji kalian, sesungguhnya

dengan masalah ini ada dua pendapat.


Hal senada dikemukkan oleh Departemen Agama RI bahwa syukur adalah ucapan

terimakasih.Hal ini didukung pengertian secara bahasa, bahwa syukur adalah berterima kasih

kepada- Nya. Berasal dari kata - - yang berarti berterimakasih.

Berdasarkan penafsiran keempat mufasir di atas maka dapat disimpulkan bahwa syukur

adalah berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya.

Demikianlah uraian tentang pengertian syukur dalam Alquran dengan melihat beberapa

penafsiran mufasir terhadap ayat yang telah ditentukan sebelumnya.

Macam-macam syukur

Al-Raghib (tt, 265 ), membagi syukur kepada tiga macam; 1 . Syukr al-Qalb (Syukur hati) 2 .

Syukr al-Lisn (Syukur lidah) 3. Syukr siri al-Jawrih (Syukur semua anggota badan).

Syukur hati, yaitu syukur dengan cara mengingat-ingat ni'mat. Syukur Lidah, yaitu memuji

kepada yang memberi ni'mat. Syukur anggota badan, yaitu membalas ni'mat sesuai dengan

kepatutan (kepantasannya).

1. Syukur qalbi.

Dilakukan dengan mengingat- ingat ni'mat atau meng- gambarkan ni'mat yang telah diberikan

Allh dengan perasaan hati. Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya kekayaan,

dulu tidak bekerja sekarang dapat pekerjaan, dulu sakit-sakitan sekarang ada dalam

kesehatan, kita cukup sandang dan pangan sementara orang lain hidup dalam kesulitan.

Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih bersyukur kepada pemberi ni'mat.

Al-Maraghi (I:29) menyebutkan, syukur dengan hati itu dengan melahirkan ketulusan,

kemurnian hati dan rasa cinta kita pada Allh (al- Nashu wa al-Mahabbah).

2. Syukur Lidah.

Yaitu bentuk syukur yang diucapkan dengan lisan, baik kepada Allh, juga kepada sesama

manusia. Syukur lisan kepada Allh antara lain kita mengucapkan kalimat al- Hamdulillah.
Ibnu Abbas menyebutkan al-Hamdulillah adalah kalimat syukur, jika hamba menyebut al-

Hamdulillah, Allh Swt berfirman, Syakaran 'Abd. Pada kesempatan lain Ia mengatakan al-

Hamdu adalah al- Syukru dan al-Iqrru bini'amihi wa hidyatihi. Dan Jalaludin al- Suyuthi

(I:30) mengutif riwayat Ibnu Jarir dan al-Hkim, menyebutkan hadits Nabi Saw, "Rasulullah

Saw bersabda, apabila kalian mengucapkan "al- Hamdulillahi Rabbil 'Alamin" dengan

demikian engkau telah bersyukur kepada Allh dan Dia akan menambah ni'mat-Nya" Dan

syukur lisan kepada sesama manusia dilakukan dengan mengucapkan kata-kata pujian, kata

yang baik (al-Madhu-Al- Tsana`u) terhadap orang yang berbuat ihsan (baik), sebagai

ungkapan rasa syukur (Al- Maraghi, I:29)

3. Syukur anggota badan.

Dilakukan dengan membalas ni'mat atau kebaikan dengan kepatutan atau kepantasan yang

layak. Syukur Jawarih kepada Allh, dilakukan dengan membalas ni'mat Allh dengan ibadah

kepada Allh. Untuk itu Ibnu al-Mundzir dalam al-Suyuthi (I:31) menyebutkan, "Shalat itu

adalah syukur, shaum juga syukur, seluruh kebaikan yang dilakukan atas dasar karena Allh

itu adalah syukur."

wallahu a"lam
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).

Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan

mengawasi diri sendiri.


Tahapan-tahapannya

Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem
pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar
benar-benar menjadi safety net (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari
keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.

1. Muahadah.

Muahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di
alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan
ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, Bukankah Aku ini Rabbmu?
Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.(QS. 7:172) Dengan
bermuahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari
kerangka perjanjian dan kesaksian kita.

Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-
Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh
tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)

2. Muraqabah.

Setelah bermuahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan
ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.

3. Muhasabah.

Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita
lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail
tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.

4. Muaqabah.

Selain mengingat perjanjian (muahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk
mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam
mengiqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal
dengan ucapan: Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab, maka tak ada salahnya kita
menganalogikan muaqabah dengan ucapan tersebut yakni Iqablah dirimu sebelum kelak
engkau diiqab. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan
hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-
cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa
itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat
shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh
isinya, subhanallah.

5. Mujahadah

Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada


Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-
Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Kaab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda
perang dan sebagainya. Kaab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya
mujahadah pada dirinya. Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah
yang memberikan pengampunan padanya.

Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah
seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri.
Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, Kenapa engkau
menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang
akan datang. Beliau menjawab. Salahkah aku bila menjadi abdan syakuran?.

6. Mutabaah.

Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses
tersebut seperti muahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

Muraqabah

Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran


adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam
diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat waskat (pengawasan melekat atau built in
control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif
mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.(QS. 57:4), Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat
lehernya.(QS. 50:16), Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan,
dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS. 6:59)

(Luqman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi
dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.(QS. 31:16)

Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, Jangan engkau mengatakan engkau
sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui.

Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan


melahirkan maiyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW
(QS. 9:40) bahwa Sesungguhnya Allah bersama kita ketika Abu Bakar r.a sangat cemas
musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri
Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Firaun mengepung
dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan,
beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, Sekali-kali tidak (akan tersusul).
Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan.

Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran
akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun,
beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan
sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar
menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.
PENGERTIAN TAUBAT DAN SYARAT-SYARAT BERTAUBAT KEPADA ALLAH

Ust Kudhiyat | 02/28/2015 | Aqidah | Tidak ada Komentar

Manusia tidak luput dari salah dan dosa. Dosa-dosa itulah yang menjadi hijab atau pembatas

antara hamba dengan Allah SWT serta Allah memandang hamba-Nya itu dengan penuh benci

dan murka sehingga terhijab seluruh rahmat dan kasih sayang-Nya. Jika ini terjadi, segala

amal ibadah serta kebajikan yang kita lakukan tidak diterima dan tertolak. Bahkan bukan itu

saja, di Akhirat besok, Allah akan menghukum dengan Neraka yang maha dahsyat. Oleh itu

wajib setiap hamba Allah itu bertaubat dengan secepatnya jika sudah terlajur melakukan dosa

dan kesalahan.

Taubat secara bahasa artinya kembali. Secara istilah artinya kembali kepada Allah yang

Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Menyerah diri pada-Nya dengan hati penuh

penyesalan yang sungguh-sungguh. Yakni kesal, sedih, ssah serta rasa tidak patut atas dosa-

dosa yang pernah kita dilakukan sehingga menangis. Hati terasa pecah-pecah bila mengingati

dosa-dosa yang dilakukan itu. Memohon agar Allah yang Maha Pengampun akan menerima

tobat kita. Hati menyesal akan perbuatan dosa yang kiata lakukan itu menjadikan anggota-

anggota lahir (mata, telinga, kepala, kaki, tangan, kemaluan) tunduk dan patuh dengan syariat

yang Allah telah tetapkan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan-perbuatan itu

kembali.

Itulah pengertian taubat. tidak cukup dengan hanya mengucapkan istighfar di mulut,

Astaghrullahal adzim. Hati tidak merasa bersalah dan berdosa. Tidak semudah itu Allah
SWT hendak menerima taubat hamba-hamba-Nya kecuali setelah menempuh syarat-syarat

(proses) yang telah ditetapkan-Nya.

Syarat-syarat taubat ada dua bahagian sebagaimana dosa dan pahala terbahagi kepada dua,

yaitu:

Syarat taubat di atas dosa dan kesalahan dengan Allah

Syarat taubat di atas dosa dan kesalahan dengan sesama manusia

SYARAT TAUBAT DOSA DENGAN ALLAH

Antara syarat-syarat taubat yang berhubung kait dengan Allah ialah:

Menyesal sungguh di atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Yakni terasa kesal, sedih,

dukacita, rasa tidak patut kerana melanggar syariat Allah. Sekaligus datang perasaan

menyerah diri kepada-Nya.

Berazam/bercita-cita bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara yang

menjadi larangan Allah itu.

Meninggalkan perkara-perkara yang mendatangkan dosa-dosa dengan Allah sama ada dosa

besar atau dosa kecil.

a. Antara contoh-contoh dosa besar ialah meninggalkan sembahyang, tidak puasa, mengadu

nasib, minum arak, zina, judi, riba, memtnah, mengumpat, membunuh dan lain-lain lagi.

b. Di antara dosa-dosa kecil ialah mendedahkan aurat, bergaul bebas antara lelaki dan

perempuan, mendengar nyanyian yang menaikkan nafsu syahwat, bercakap perkaraperkara

lucah, bergurau berlebih-lebihan, berkelakar, membazir dan lain-lain lagi.


Oleh itu, kalaulah selama ini kita terlibat dengan perbuatan yang haram (seperti riba,

mendedahkan aurat, minum arak) maka kita tidak akan buat lagi atau terus tinggalkan

perbuatan tersebut. Juga kalau kita terlibat dengan dosa-dosa kerana meninggalkan perkara-

perkara wajib (seperti meninggalkan sembahyang dan tinggal puasa), maka kita tidak akan

meninggalkannya lagi. Ertinya kita terus melaksanakan perkara-perkara yang wajib dengan

bersungguh-sungguh dan membayar (qadha) segala perintah wajib yang tertinggal.

SYARAT TAUBAT DOSA DENGAN MANUSIA

Sekiranya seseorang itu berbuat dosa dan kesalahan yang ada hubungan sesama manusia,

antara syarat-syarat taubat yang mesti ditempuhi ialah:

Menyesal sungguh-sungguh di atas segala kesalahan yang dibuat terhadap orang lain itu.

Benar-benar terasa di hati perasaan sedih, dukacita dan rasa tidak patut berbuat begitu.

Meninggalkan terus perkara-perkara yang mendatangkan dosa dengan manusia.

Berazam bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perkara-perkara yang mendatangkan

dosa yang ada hubungan dengan manusia (muamaidh).

Meminta maaf atau meminta ridho (halal) kepada orang yang kita telah berbuat dosa

terhadapnya atau bayar semula ganti rugi atau pulangkan barang yang telah diambil.Dosadosa

sesama manusia ini kalau hendak disebutkan terlalu banyak.

Secara ringkasnya ia boleh dibagi menjadi empat kategori yaitu:

a. Dosa yang ada hubungan dengan harta.


Contohnya hutang yang tidak dibayar, harta yang dicuri, dirampas, ditipu, dibinasakan dan

lain-lain lagi. Ini semua mesti minta dihalalkan atau meminta maaf pada orang yang

bersangkutan atau bayar hutang atau dibayar ganti ruginya atau seumpamanya.

b. Dosa yang ada hubungan dengan peribadi.

Contohnya pukul, tempeleng, menyubit, menyiksa dengan barang-barang tajam atau

binatang-binatang bisa, mencacatkan anggotanya atau memotong anggotanya, mengurung

atau memenjarakannya dan lain-lain. Dosa-dosa ini semuanya mesti diminta maaf kepada

orang berkenaan dan bersedia menerima hukuman mengikut ketentuan syariat sekiranya dia

meminta untuk mengenakan hukuman di atas perbuatan kita itu.

c. Dosa yang ada hubungan dengan agamanya.

Misalnya memberi malu di depan khalayak ramai, mengumpat dirinya, menghinanya,

menuduh dia dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, tnah dan lain-lain kesalahan. Ini

mesti diminta maaf atau minta redha.

d. Dosa yang ada hubungan dengan keluarganya.

Contohnya kita pernah pegang-pegang, raba-raba, cium anak gadisnya atau zina terhadap

anggota keluarganya dan lain-lain. Maka hendaklah minta maaf dan minta ridho dari

keluarganya. Kalau mereka tidak ridho dan maafkan.


Di sini kita dapat lihat bahawa bertaubat terhadap dosa dengan sesama manusia lebih berat

daripada dosa dengan Allah. Ia mesti menempuh empat syarat tetapi dosa dengan Allah

hanya tempuh tiga syarat.

Semua tuntutan syariat ini mesti dibuat mengikut kaedah di atas, barulah taubat itu diterima

oleh Allah. Sungguhpun begitu bukan mudah untuk menunaikan syarat-syarat tadi melainkan

setelah memiliki hati yang benar-benar ikhlas. Kalau tidak dapat menunaikan syarat-syarat

ini, taubat itu tetap tidak akan diterima. Orang yang egonya tinggi amat berat untuk bertaubat.

Lebih-lebih lagi dosa yang dilakukan itu terhadap sesama manusia.

Begitulah kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya kalau mereka membuat dosa-dosa.

Masih ada peluang bertaubat untuk mendapat keampunan dari Allah dengan menempuh

syarat-syarat yang telah disebutkan. Kecuali dosa syirik yang tidak mendapat keampunan dari

Allah. Ini telah dinyatakan di dalam rman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan

mengampunkan dosa-dosa syirik tetapi akan mengampunkan selain itu. (An Nisaa: 48)

Maknanya selain syirik, orang-orang yang bertaubat daripada dosa-dosanya akan diampunkan

oleh Allah. Apabila diampunkan, maka samalah dia seperti orang yang tidak berdosa.

Sabda Rasulullah SAW: Orang yang bertaubat daripada dosa sepertilah orang yang tidak

berdosa. (Riwayat At Thobroni)

Sabdanya yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai seorang mukmin yang terjerumus

berbuat dosa tetapi bertaubat. (Riwayat Ahmad)


Seterusnya Sabda Baginda lagi: Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama

nyawa belum sampai ke tenggorokan. (Riwayat Ahmad)

Semua anak Adam pembuat kesalahan, dan sebaik-baik pembuat kesalahan ialah mereka

yang bertaubat. (Riwayat Addarami)

tidak ada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada seorang pemuda yang bertaubat.

(Riwayat Ad Dailami)

Allah juga memberitahu kita dalam rman-Nya: Maka barangsiapa yang bertaubat, sesudah

melakukan kejahatan itu dan membaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maidah: 39)

Firman Allah yang bermaksud: Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah yang mempunyai

kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi

siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Maidah: 40)

Allah berrman lagi: Dan barangsiapa yang mengerjakan ke-jahatan dan menganiaya

dirinya kemudian dia memohon ampun kepada Allah, nescaya dia mendapati Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa: 110)

Berdasarkan Hadis-Hadis dan ayat-ayat Al Quran tadi, dapat difahami bahawa wajib setiap

orang Islam itu bertaubat daripada dosa-dosanya supaya tidak menjadi hijab antara dia

dengan Allah SWT (huraian lanjut dalam Bab 28: Rahsia Hati).
Setelah bersih daripada dosa, hijab pun terangkat. Terhubunglah kembali kasih Allah yang

terputus selama ini. Dia memandang hamba-Nya itu dengan pandangan penuh kasih sayang

sehingga rahmat-Nya melimpah ruah. Justeru itu, hiduplah si hamba yang bertaubat itu

dengan penuh bahagia di dunia dan mendapat balasan Syurga di Akhirat.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Amal ibadah itu sama, ada yang lahir maupun yang batin adalah syariat. Kita beramal dan

bersyariat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk mendapat ridho, kasih sayang dan

kekuasaan Allah. Untuk mendapat pemeliharaan, perlindungan dan keselamatan dari Allah. Atau

dengan kata lain, untuk mendapat taqwa. Segala amalan itu untuk menambah taqwa. Kerana Allah

hanya menerima ibadah dari orang-orang yang bertaqwa. Allah hanya membela, membantu dan

melindungi orang-orang yang bertaqwa. Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang akan selamat di

sisi Allah Taala.

Dari berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama

islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang

muslim.

Taqwa tidak hanya berhubungan dengan Allah swt, tetapi juga berhubungan dengan manusia

dengan dirinya sendiri, antar sesama manusia, dan dengan Lingkungan Hidup.

Vous aimerez peut-être aussi