Vous êtes sur la page 1sur 16

A.

ATONI UTERI

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan
alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena
kegagalan mekanisme ini. Perdarahan
pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri
terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.

Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.

Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang )
seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas
dari dinding uterus.

Gejala Klinis:

Uterus tidak berkontraksi dan lunak

Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).


Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera
setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U
perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari
40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala
III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah
atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin lebih cepat dari
Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan
postpartum.

Penanganan Atonia Uteri;


A. Penanganan Umum

Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan
gawat darurat.
Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok tidak terlihat,
ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat memburuk
dengan cepat.
Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi
darah.
Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang
terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10 unit
oksitosin IM
Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan
perineum.
Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.

Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadarHemoglobin:

Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia berat):berilah sulfas
ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali
sehari selama 6 bulan;
Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg ditambah asam
folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;

B.Penanganan Khusus

Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.


Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi uterus yang
menghentikan perdarahan.
Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus
berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera.
Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari
vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong

4. Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuha
5. Jika perdarahan terus berlangsung:
a. Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap; Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak
adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan pembuluh
darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.
Lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah
7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan
adanya koagulopati.
6. Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan,
lakukan:
Kompresi bimanual internal atau Kompresi aorta abdominalis
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan
dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan
keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan
perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang
infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin.
Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau
ibu dengan seksama selama kala empat.
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:

Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.


Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah ligasi.

Uterotonika :

Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini
menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur
kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi
dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus
dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek
samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani
uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25
mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125
mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan
nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.
Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan pospartum (5 tablet 200 g = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang
disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga
kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan
gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri.
Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan
persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan
pemakaian Uterotonika untuk menghindari perdarahan masif yang terjadi.

Kompresi Uterus Bimanual.

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang
yang telah dicuci
Teknik :

Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan,
Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.Tangan kanan (luar) menekan dinding
abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas.
Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar,ia tidak hanya menekan
uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.

Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan
secara sempurna.Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi
bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.

Daftar Pustaka :
James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya
Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.

ASUHAN KEPERAWATAN
ATONIA UTERI
By. Ns. AFIYAH HIDAYATI, S.Kep.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia
uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.(3,4)

Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut


miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi
plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi.(4)

A. DEFINISI

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan
Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)

B. ETIOLOGI
1. overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas
tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
3. Multipara dengan jarak keahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi
6. Dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta,
sedangkan sebenarnya belum terlepas dari uterus.
C. MANIFESTASI KLINIS
Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
D. PENCEGAHAN ATONIA UTERI
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih
dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen
aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,
dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada
manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif
protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip
100-150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat
long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan
oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin
bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin
ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

E. MANAJEMEN ATONIA UTERI

1. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu


resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda
vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan.

Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)


Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera
Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-
lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika
hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan
berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama
secepat mungkin; Ulangi KBI
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

3. Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis
tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk
perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika
sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping
pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek
samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan


tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat
diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini
dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga
menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.
Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat
diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal
dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 g = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek
samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan
bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem
termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan,
berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada
pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek
samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang
sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk
mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka
kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh
atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk
mengatasi perdarahan masif yang terjadi.

4. Uterine lavage dan Uterine Packing

Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam


cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2
liter salin 47C-50C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus.
Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.

Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya
adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.

Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan


maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin,
anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus
diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan
resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak
tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.

5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan
80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping
uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan
2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum
atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina
diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke
miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang
asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm
miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria,
ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah
ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri
uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik,
jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral
ligasi vasa ovarian.

Ligasi arteri Iliaka Interna

Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya


harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter.
Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum
dan sesudah ligasi.

Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan
waktu dan kondisi pasien.

Teknik B-Lynch

Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher B
Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.
Histerektomi

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi


perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi
mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan
abdominal dibandingkan vaginal.

KOMPRESI BIMANUAL UTERUS ATONI


Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan
telanjang yang telah dicuci
Teknik :
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan

1. Eksplorasi dengan tangan kiri

Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina

1. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap
uterus dari belakang atas
2. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar

Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen
sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan
perdarahan secara sempurna.
Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual,
maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir!
PENDAHULUAN

Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan lahir yang
terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak
sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari yang sebenarnya. Darah tersebut
tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar pada spons, handuk, dan
kain, di dalam ember dan di lantai. Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai
dengan kadar hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin normal akan dapat
menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang anemia.

Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; kematian ibu yang disebabkan
oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta, kehamilan
ektopik, abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan. Selain itu, pada
keadaan dimana perdarahan pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat
mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan
pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di
luar negeri.

Klasifikasi Klinis

Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan primer dan sekunder.

1. Perdarahan pascapersalinan primer (Early Postpartum Haemorrhage, atau perdarahan


pascapersalinan segera).

Perdarahan pascapersalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama Perdarahan
pascapersalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan
lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan pascapersalinan sekunder (Late Postpartum Haemorrhage, atau perdarahan masa


nifas, atau perdarahan pascapersalinan lambat, atau PPP kasep)

Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama


Perdarahan pascapersalinan sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau membran.

Penyebab perdarahan pascapersalinan

Perdarahan pascapersalinan antara lain dapat disebabkan oleh:

1. Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya Perdarahan pascapersalinan. Pada atonia
uteri, uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan.
Copyright 2005 Nucleus Communications, Inc. All rights reserved

Predisposisi atonia uteri :

Grandemultipara
Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar (BB > 4000 gr)
Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)
Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan anteparturn)
Partus lama (exhausted mother)
Partus precipitatus
Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)
Infeksi uterus
Anemi berat
Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)
Riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya atau riwayat plasenta manual
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus
sebelum plasenta terlepas
IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati)
Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.

2. Robekan jalan lahir


Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari Perdarahan pascapersalinan.
Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pascapersalinan dengan uterus
yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.
a. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda
dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu
dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
b. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin
ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan
cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan
baru terlihat pada pemeriksaan spekulum.
Kolpaporeksis
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi
apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terjadi regangan segmen bawah uterus
dengan servik uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke
atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi
robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang
terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan
pervaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana
fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit
untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesarea. Fistula dapat terjadi mendadak
karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh
perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat-tempat
tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula
vesikovaginalis atau rektovaginalis.
c. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin
melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito bregmatika.
3. Retensio plasenta
Rentensio plasenta adalah belum lahirnya plasenta jam setelah anak lahir. Tidak semua
retensio plasenta menyebabkan terjadinya perdarahan. Apabila terjadi perdarahan, maka plasenta
dilepaskan secara manual lebih dulu.

4. Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)


Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja
pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta.

5. Inversio uterus
Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta.
Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar
uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.

Gejala klinis

1. Atonia uteri

Gejala dan tanda yang selalu ada:


a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer)

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:


a. Syok (tekanan darah rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual,dan
lain-lain).

2. Robekan jalan lahir

Gejala dan tanda yang selalu ada:


a. Perdarahan segera
b. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
c. Uterus kontraksi baik
d. Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:


a. Pucat
b. Lemah
c. Menggigil

3. Retensio plasenta

Gejala dan tanda yang selalu ada:


a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
b. Perdarahan segera
c. Uterus kontraksi baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:
a. Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
b. Inversio uteri akibat tarikan
c. Perdarahan lanjutan

4. Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)

Gejala dan tanda yang selalu ada:


a. Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap
b. Perdarahan segera

Gejala dan tanda kadang-kadang ada:


a. Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

5. Inversio uterus

Gejala dan tanda yang selalu ada:


a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi massa
c. Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
d. Perdarahan segera
e. Nyeri sedikit atau berat

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:


a. Syok neurogenik
b. Pucat dan limbung6

Diagnosis perdarahan pascapersalinan

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek.
Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka waktu lama, tanpa disadari pasien telah kehilangan
banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan
darah menurun.

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa
mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika
perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan pascapersalinan
dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran
darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan pascapersalinan dan
plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta segera. Jika plasenta sudah
lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan
jalan lahir.

Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi; sedangkan pada
perdarahan karena perlukaan jalan lahir, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus
berkontaraksi dengan baik, perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya
perlukaan jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk
melakukan transfusi darah, seharusnya kematian akibat perdarahan pascapersalinan dapat
dicegah.

Tetapi kematian tidak data terlalu dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit
dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak darah. Karena persalinan di Indonesia
sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan post partum merupakan sebab utama
kematian dalam persalinan.

Diagnosis Perdarahan Pascapersalinan


(1) Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
(2) Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
(3) Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:
- Sisa plasenta atau selaput ketuban
- Robekan rahim
- Plasenta suksenturiata
(4) Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
(5) Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dll

Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan
hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa
perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga bahaya karena kita tidak
menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam
presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada setiap ibu yang bersalin dilakukan
pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan
periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam.

Vous aimerez peut-être aussi